HUKUM ACARA PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL (MATERI UPA)



Hubungan Industrial adalah hubungan antara pengusaha dan pekerja dalam perusahaan, serta peran serta pemerintah sebagai yang menetapkan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. Dr. Payaman J. Simanjuntak, APU. mengemukakan definisi hubungan industrial dengan : " Hubungan industrial adalah hubungan dengan semua pihak yang terkait atau berkepentingan atas proses produksi barang atau pelayanan jasa si suatu perusahaan.
Tujuannya adalah untuk menciptakan hubungan yang aman dan harmonis antara pihak-pihak tersebut, sehingga dapat meningkatkan produktivitas usaha. Dengan demikian, pembinaan hubungan industrial merupakan bagian atau salah satu aspek dari manajemen sumber daya manusia.

Hukum Acara penyelesaian perselisihan hubungan industrial adalah seperangkat peraturan yang memuat cara-cara untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi didalam hubungan industrial atau aturan-aturan hukum yang mengatur bagaimana cara menegakkan, mempertahankan hak-hak, dan kewajibandari pekerja/buruh maupun pengusaha yang telah ditentukan oleh hukum materiil.
Sumber hukum yang digunakan dalam Hukum Acara Hubungan Industrial, yaitu UU RI No 13/2003 tentang ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan UU RI No 2 /2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI).

Pada dasar hukumnya acara yang berlaku pada peradilan hubungan industrial tidak jauh berbeda dengan hukum acara yang digunakan pada peradilan negeri pada lingkungan peradilan umum. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 57 UU PPHI yang menyatakan bahwa :
" Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan Hubungan Industrial adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini "

Aturan secara khusus hukum acara Pengadilan Hubungan Industrial terdapat dalam Pasal 58 UU PPHI yang menyatakan bahwa dalam proses beracara di Pengadilan Hubungan Industrial, pihak-pihak yang berperkara tidak dikenakan biaya termasuk biaya eksekusi apabila nilai gugatannya di bawah Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).


1. JENIS-JENIS PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Dalam suatu Hubungan Industrial, antara pekerja/buruh dengan pengusaha dalam menjalankan hubungan adakalanya berjalan baik-baik saja dan ada kalanya juga bisa terjadi pertentangan-pertentangan, perbedaan-perbedaan atau konflik, sehingga menimbulkan aoa yang dinamakan perselisihan hubungan industrial.

Pasal 1 angka 1 UU PPHI menjelaskan bahwa hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU PPHI, terdapat 4 (empat) jenis perselisihan industrial, yaitu :

a. Perselisihan Hak
Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undang, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 2 UU PPHI)

b. Perselisihan Kepentingan
Perselisihan Kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (Pasal 1 angka 3 UU PPHI)

c. Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak (Pasal 1 angka 4 UU PPHI)

d. Perselisihan Antar Serikat Pekerja / Serikat Buruh hanya dalam Satu Perusahaan 
Perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan (Pasal 1 angka 5 UU PPHI).

Berdasarkan jenis-jenis perselisihan dalam bidang hubungan industrial, Pengadilan Hubungan Industrial memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara perselisihan hubungan industrial.
Tugas dan Wewenang Pengadilan Tersebut, yaitu :
1). Ditingkat pertama mengenai perselisihan hak dan perselisihan pemutusan hubungan kerja (PHK)
2). Ditingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan.


2. SUBJEK HUBUNGAN INDUSTRIAL

Dalam suatu perselisihan, tentunya ada pihak-pihak yang berselisih, Pihak-pihak yang berselisih inilah yang kemudian dapat menjadi pihak yang dapat berperkara pada lembaga-lembaga penyelesaian jika terjadi perselisihan atau sengketa.
Peradilan Hubungan Industrial ini merupakan peradilan khusus dimana para pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian perselisihan tentunya khusus pula, yaitu para yang berasal dari masyarakat industri, bukan masyarakat pada umumnya.

Ketentuan umum UU PPHI memberikan batasan terhadap para pihak yang berperkara di peradilan hubungan industrial sebagai berikut :
a. Pekerja/buruh
adalah setiap buruh yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja/buruh yang dimaksud di sini meliputi pekerja/buruh pada perusahaan swasta, BUMN/D, usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus.

b. Serikat pekerja 
adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan ataupun diluar perusahaan yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarga.

c. Pengusaha adalah
a). Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan perusahaan milik sendiri
b). Orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang secara mandiri berdiri sendiri menjalankan perusahaan yang bukan miliknya
c).  Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud di atas yang berkedudukan di luar wilayah indonesia.
d). Perusahaan adalah :
1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badna hukum, baik milik swasta atau milik negara yang memperkerjakan pekerja atau buruh dalam bentuk upahan atau imbalan dalam bentuk lain.
2. Usaha-Usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
3. Persekutuan atau badan hukum yang dimaksud di sini adalah Perusahaan Swasta, BUMN/D, usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak berbentuk perusahaan, tetapi mempunyai pengurus dan memperkerjakan orang lain dengan membayar upah.

a. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebelum melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat diselesaikan hanya dalam waktu tidak lebih dari 140 hari dengan termin waktu sebagai berikut :
1). Bipartit 30 hari kerja
2). Mediasi/Konsiliasi/Arbitrase 30 hari kerja
3). Pengadilan Hubungan Industrial 50 hari kerja
4). Mahkamah Agung 30 hari kerja.

 Jadi meskipun penyelesaian perselisihan ini harus diselesaikan sampai tingkat Kasasi di Mahkamah Agung sekalipun hanya akan membutuhkan waktu 140 hari kerja. Bahkan hanya bisa dalam kurun waktu 30 hari kerja apabila perselisihan dapat selesai dalam perundingan bipartit saja.

Berdasarkan UU PPHI, dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial dapat ditempuh melalui tiga tahap dengan pembagian :
1). Tahap pertama; Perundingan Bipartit
2). Tahap kedua; Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu mediasi atau konsiliasi atau arbitrase
3). Tahap Ketiga; penyelesaian melalui pengadilan.

Dalam paragraf ini akan di bahas terlebih dahulu penyelesaian hubungan industrial sebelum melalui pengadilan, yaitu tahap Perundingan Bipartit dan Penyelesaian di luar pengadilan, yaitu mediasi atau konsiliasi atau arbitrase.
1. Tahap Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial (Pasal 1 angka 10 UU PPHI).
2. Tahap Penyelesaian di luar Pengadilan
a. Mediasi hubungan industrial adalah yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seseorang atau lebih mediator yang netral (Pasal 1 angka 11 UU PPHI)
b. Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah peneyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan PHK atau perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral (Pasal 1 angka 13 UU PPHI)
c. Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final (Pasal 1 angka 15 UU PPHI)

Tahap dari penyelesaian perselisihan hubungan industrial dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Tahap pertama, para pihak harus mengupayakan penyelesaian perselisihan melalui perundingan bipartit dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari, Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan, tetapi tidak mencapai kesepakatan maka perundingan bipartit dianggap gagal.
2. Dalam hal perundingan bipartit gagal maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga kerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Apabila bukti-bukti tersebut tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.
3. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau kedua belah pihak, instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi (untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, atau perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh) atau melalui arbitrase (untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, atau perselisihan antarserikat pekerja/ serikat buruh)
4. Dalam hal para pihak tidak menetapkan penyelesaiannya melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
5. Dalam hal penyelesaiannya melalui konsiliasi atau arbitrase tidak mencapai kesepakatan maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan hubungan Industrial (Pasal 5 UU PPHI).


b. Gugatan
Pengajuan gugatan perselisihan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja/buruh bekerja. Jangka waktu pengajuan gugatan atas PHK pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 UU No 13 / 2003 tentang Ketenagakerjaan, dapat dilakukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanya atau diberitahukannya keputusan dari pihak pengusaha.
Pasal 171 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan menerangkan sebagai berikut : "Pekerja/buruh yang mengalami PHK tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima PHK tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya"

Untuk mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial, Penggugat wajib melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi dan konsiliasi. Apabila tidak dilampirkan risalah tersebut, Maka Pengadilan Hubungan Industrial wajib mengembalikan gugatan kepada Penggugat.
Pada prinsipnya gugatan yang melibatkan lebih dari satu Penggugat dapat diajukan secara kolektif dengan memberikan surat kuasa khusus dengan menunjuk Advokat sebagai kuasa. Apabila Penggugat adalah serikat pekerja/buruh, maka Penggugat dapat menunjuk serikat buruh yang ada di perusahaannya.
Demikian juga pengusaha dapat menunjuk organisasi pengusaha sebagai kuasanya. Hal ini didasarkan pada Pasal 87 UU PPHI yang menerangkan bahwa : "Serikat Pekerja/Serikat buruh dan organisasi pengusaha dapat bertindak sebagai kuasa hukum untuk beracara di Pengadilan Hubungan Industrial untuk mewakili anggotanya"


c. Persidangan pada Pengadilan Hubungan Industrial
Pengadilan Hubungan Industrial harus menyelesaikan perkara yang ditanganinya dalam jangka waktu 50 hari kerja sejak hari sidang yang pertama. Dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak penetapan majelis hakim, maka Ketua Majelis Hakim harus sudah melakukan sidang pertama (Pasal 89 ayat (1) UU PPHI).

Apabila sidang berjalan lancar, maka jumlah persidangan lebih kurang 8 (delapan) kali, yaitu sebagai berikut :
1). Sidang Pertama; Pembacaan Gugatan
Persidangan dalam peradilan hubungan industrial tidak mengenal mediasi seperti persidangan di Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 4 ayat (2) huruf a angka 2 Peraturan MA Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Akan tetapi, para pihak tetap diberikan keleluasaan untuk membuat perdamaian. Apabila hal itu tercapai, akan dibuat akta perdamaian yang akan disahkan oleh Pengadilan Hubungan Industrial.
Dalam sidang pertama ada kemungkinan terjadi beberapa hal, yaitu sebagai berikut :

a). Para Pihak tidak hadir dalam persidangan
Dalam hal salah satu pihak atau para pihak tidak dapat menghadiri sidang pertama tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka Ketua Majelis Hakim menunda sidang dan akan menetapkan hari sidang berikutnya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penundaan. Penundaan sidang karena ketidakhadiran salah satu pihak atau para pihak dapat diberikan sebanyak-banyaknya 2 (dua) kali penundaan (Pasal 93 UU PPHI).
b). Putusan Sela
Berdasarkan Pasal 96 ayat (1) UU PPHI menjelaskan bahwa apabila dalam persidangan pertama, secara nyata-nyata pihak pengusaha terbukti tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) UU No 13 / 2003 tentang Ketenagakerjaan, maka hakim ketua sidang harus segera menjatuhkan putusan sela berupa perintah kepada pengusaha untuk membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh yang bersangkutan.
Adapun Pasal 155 ayat (3) UU 13 / 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah mengenai kewajiban pengusaha untuk tetap membayar upah pekerja, apabila pengusaha melakukan tindakan skorsing kepada pekerja yang sedang berada pada proses PHK.
Putusan sela dalam Pasal 96 UU PPHI merupakan aturan khusus atas adanya tuntutan provisi dari pihak penggugat sebagai pekerja. Putusan sela ini pun tidak dapat diajukan perlawanan dan/atau tidak dapat digunakan upaya hukum (Pasal 96 ayat (4) UU PPHI).
c. Pencabutan Gugatan
Pencabutan Gugatan adalah tindakan untuk menarik kembali suatu gugatan yang telah didaftarkan di pengadilan, baik sebelum perkara di proses maupun sedang dalam proses pemeriksaan.
Penggugat dapat sewaktu-waktu mencabut gugatannya sebelum Tergugat memberikan jawabannya. Namun, apabila Tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan Penggugat, maka pencabutan gugatan harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Tergugat (Pasal 85 UU PPHI). Apabila Tergugat tidak menyetujui, maka gugatan tidak dapat dicabut dan pemeriksaan perkara terus berjalan.

2). Sidang Kedua : Jawaban tergugat

3). Sidang Ketiga : Replik

4). Sidang Keempat : Duplik

5). Sidang Kelima : Pembuktian (Penggugat)

6). Sidang Keenam : Pembuktian (Tergugat)

7). Sidang Ketujuh : Kesimpulan

8). Sidang Kedelapan : Putusan Hakim

Tahap persidangan sebagaimana di atas berlaku dalam persidangan secara biasa. Selain itu, peradilan hubungan industrial juga mengenal persidangan secara cepat berdasarkan Pasal 98 ayat (1) UU PPHI, yang berbunyi : " Apabila terdapat kepentingan para pihak dan/atau salah satu pihak yang cukup mendesak yang harus disimpulkan dari alasan-alasan permohonan dari yang berkepentingan, para pihak dan/atau salah satu pihak dapat memohon kepada Pengadilan Hubungan Industrial supaya pemeriksaan sengketa dipercepat "

Beberapa hal yang perlu dipahami dalam persidangan dengan acara cepat yaitu :
1. Yang dimaksud dengan kepentingan mendesak dalam Pasal 98 ayat (1) UU PPHI, antara lain PHK secara massal, terjadi huru hara yang mengganggu kepentingan produksi, keamanan dan ketertiban umum.
2. Yang dimaksud tanpa melalui prosedur pemeriksaan dalam Pasal 99 ayat (1) UU PPHI adalah sidang pemeriksaan tidak terikat pada acara perdata umumnya, antara lain tentang tenggang waktu pemanggilan, replik/duplik dan hal-hal lain yang dapat menghambat proses acara cepat. Persidangan perkara harus dilakukan pada hari kerja pertama setelah kedua belah pihak di panggil dengan tata cara pemanggilan tercepat.



d. Upaya Hukum
Upaya hukum yang dapat dilakukan dalam perkara perselisihan hubungan industrial adalah upaya hukum biasa berupa perlawanan (verzet) dan kasasi, serta upaya hukum luar biasa berupa peninjauan kembali. Upaya hukum banding tidak dapat di tempuh oleh pihak yang berperkara dalam perkara hubungan industrial dengan maksud agar penyelesaian perselisihan tidak sampai berlarut-larut :

1). Upaya hukum verzet
Verzet merupakan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Tergugat yang diputus oleh putusan verstek. Tergugat yang diputus dengan putusan verstek dapat mengajukan perlawanan berdasarkan Pasal 108 UU PPHI yang menegaskan bahwa : " Ketua Majelis Hakim Pengadilan Hubungan Industrial dapat mengeluarkan putusan yang dapat dilaksanakan lebih dahulu, meskipun putusannya diajukan perlawanan atau kasasi "

2). Upaya hukum Kasasi
Sesuai Pasal 109 UU PPHI, putusan yang dapat dimohonkan kasasi hanya putusan mengenai perselisihan hak dan/atau perselisihan PHK. Salah satu pihak dapat mengajukan permohonan kasasi secara tertulis melalui sub kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Berdasarkan Pasal 115 UU PPHI, penyelesaian perselisihan hak atau perselisihan PHK pada MA dilaksanakan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan kasasi.
Sebagai dasar hukum mengenai alasan untuk mengajukan kasasi, Pasal 30 ayat (1) UU 18 / 1985 tentang MA sebagaimana diubah dengan UU Republik Indonesia No 3 / 2009 (UU MA) untuk membatalkan putusan Pengadilan di bawahnya, yaitu sebagai berikut :
a). Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
b). Salah menerapkan atau melanggar hukum 5 yang berlaku
c). Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.

3). Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Putusan Pengadilan Hubungan Industrial yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimohonkan Peninjauan Kembali dengan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan .
Meskipun alasan atas upaya hukum Peninjauan Kembali tidak diatur secara khusus dalam UU PPHI, namun alasan-alasan tersebut dapat dilihat pada Pasal 67 UU MA sebagai berikut :
a). Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan kepada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu.
b). Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
c). Apabila dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari apa yang di tuntut.
d). Apabila mengenai sesuatu bagian tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e). Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan lainnya .

f). Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Selain itu, ada 2 (dua) ketentuan dasar yang berkaitan dengan upaya hukum, yaitu :
1). Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam suatu perusahaan merupakan putusan akhir dan bersifat tetap (Pasal 109 UU PPHI)
2). Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri mengenai perselisihan hak dan perselisihan PHK mempunyai kekuatan hukum tetap apabila tidak diajukan permohonan kasasi kepada MA dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja :
a. Bagi pihak yang hadir, terhitung sejak putusan dibacakan dalam sidang majelis hakim
b. Bagi pihak yang tidak hadir, terhitung sejak tanggal menerima pemberitahuan putusan.