HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA (MATERI UPA)


Hukum Acara Peradilan Agama adalah segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun Syariat Islam yang mengatur bagaimana cara bertindak didepan persidangan Pengadilan Agama dan juga mengatur bagaimana cara Pengadilan agama dalam menyelesaikan perkara tersebut. Hukum Acara Peradilan Agama juga disebut dengan Hukum Acara Perdata Islam yang mempertahankan kaidah hukum perdata Islam materiil.

1. SUMBER-SUMBER HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

Dalam beracara di Pengadilan Agama, seorang Hakim memberikan keputusan atau penetapan mengenai hasil akhir dari sebuah perkara tersebut, harus bersumber atau berdasarkan kepada :

a. Hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku pada pengadilan umum

b. Hukum acara khusus, seperti :
1). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agma
2). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
3). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No 7 Tahun 1989 dan UU Nomor 3 Tahun 2006

c. Kompilasi Hukum Islam (KHI). Isi Kompilasi Hukum Islam terdiri dari :
1). Buku I tentang Hukum Perkawinan
2). Buku II tentang Hukum Kewarisan
3). Buku III tentang Hukum Perwakafan

d. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.
Untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah bagi umat Islam, maka dikeluarkanlah Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 tahun 2008 tentang Peraturan Mahkamah Agung RI tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah

e. Qonun
f. Doktrin atau ilmu pengetahuan lainnya.


2. KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA
Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud antara orang yang beragama Islam adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan suka rela kepada Hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama.

Terkait dengan penerapan ketentuan Pasal 49, Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama Edisi Tahun 2010 memberi beberapa pedomannya sebagai berikut :
1). Sengketa dibidang perkawinan yang perkawinannya tercatat di Kantor Urusan Agama meskipun salah satu (suami atau isteri) atau kedua belah pihak (suami isteri) keluar dari agama Islam
2). Sengketa di bidang kewarisan yang pewarisnya beragama Islam, meskipun sebagian atau seluruh ahli waris nonmuslim
3). Sengketa dibidang ekonomi syariah meskipun nasabahnya nonmuslim
4). Sengketa di bidang wakaf meskipun para pihak atau salah satu pihak beragama nonmuslim
5). Sengketa di bidang hibah dan wasiat yang dilaksanakan berdasarkan Hukum Islam.

a. Kewenangan Relatif
Kewenangan Relatif  (relative compotentie) adalah kekuasaan dan wewenang yang diberikan antara pengadilan dalam lingkungan peradilan yang sama atau wewenang yang berhubungan dengan wilayah hukum antara Pengadilan Agama dalam lingkungan Peradilan Agama.

Pasal 54 UU Pengadilan Agama menyatakan bahwa : "Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam UU ini ".
Suatu prosedur hukum acara pada Pengadilan Agama yang berbeda dengan Pengadilan Negeri, yaitu prosedur hukum acara pada perkara perceraian.

Perbedaan tersebut terletak pada penentuan yuridiksi pengadilan, dimana pada Pengadilan Negeri penentuan yuridiksi didasarkan pada tempat tinggal Tergugat sesuai Pasal 118 Ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg. Hal ini tentu berbeda dengan perkara perceraian pada Pengadilan Agama yang dijelaskan sebagai berikut :

1). Permohonan Cerai Talak
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara permohonan cerai talak diatur dalam Pasal 66 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989, sebagai berikut :
a). Apabila suami/pemohon yang mengajukan permohonan cerai talak maka yang berhak memeriksa perkara adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman isteri/termohon
b). Suami/Pemohon dapat mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/pemohon apabila isteri/termohon secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami
c). Apabila isteri/termohon bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/pemohon.
d). Apabila keduanya (suami isteri) bertempat kediaman di luar negeri, yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

2). Perkara Cerai Gugat.
Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara gugat cerai didatur dalam Pasal 73 UU Mo 7 Tahun 1989, sebagai berikut :
a). Pengadilan Agama yang berwenang memeriksa perkara cerai gugat adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman isteri/Penggugat
b). Apabila Isteri/Penggugat secara sengaja meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami maka perkara gugat cerai diajukan ke Pengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman suami/Tergugat
c). Apabila Isteri/Penggugat bertempat kediaman di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang meliputi kediaman suami/Tergugat.
d). Apabila keduanya (suami isteri) bertempat kediaman di luar negeri yang berhak adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

b. Kewenangan Absolut
Kewenangan Absolut (absolut competentie) adalah kekuasaan yang berhubungan dengan jenis perkara dan sengketa kekuasaan pengadilan . Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 49 UU No 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU No 3 Tahun 2006.
Pengadilan Agama berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang berikut :

1). Perkawinan
Adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan UU mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syariah, antara lain :
a). Izin beristri lebih dari seorang
b). Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dlam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat
c). Dispensasi kawin
d). Pencegahan perkawinan
e). Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)
f). Pembatalan perkawinan
g). Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan isteri
h). Perceraian karena talak
i). Gugatan Perceraian
j). Penyelesaian harta bersama
k). Penguasaan anak-anak
l). Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilaman bapak yang seharusnya bertanggungjawab tidak mematuhinya
m). Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri
n). Putusan tentang sah tidaknya seorang anak
o). Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua
p). Pencabutan kekuasaan wali
q). Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut
r). Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orangtuanya.
s). Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anakyang ada dibawah kekuasaannya
t). Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam
u). Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran
v). Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
2). Waris
Adalah penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
3). Wasiat
Adalah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia
4). Hibah
Adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
5). Wakaf
Adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadan dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah
6). Zakat
Adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.
7). Infaq
Adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala
8). Shadaqah
Adalah perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga / badan hukum secara spontan dan suka rela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharapkan ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata
9). Ekonomi Syariah
Adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi :
a. Bank syariah
b. Lembaga keuangan mikro syariah
c. Asuransi syariah
d. Reasuransi syariah
e. Reksa dana syariah
f. Obligasi syariahdan surat berharga berjangka menengah syariah
g. Sekuritas syariah
h. Pembiayaan syariah
i. Pegadaian syariah
j. Dana pensiun lembaga keuangan syariah
k. Bisnis syariah


3. PUTUSAN PENGADILAN AGAMA

Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan yang penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan secara tertutup. Tidak terpenuhinya ketentuan tersebut mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penerapan  atau putusannya batal menurut hukum.

Sebelum pengambilan putusan, berdasarkan Pasal 59 ayat (3) UU No 7 Tahun 1989, Hakim Pengadilan Agama menyelenggarakan rapat permusyawaratan yang bersifat rahasia. Atas rapat permusyawaratan ini hakim menetapkan dan memutuskan suatu perkara di Pengadilan Agama.

Penetapan putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
Yang dimaksudkan dengan penetapan dalam hal ini adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan. Sedangkan yang dimaksud dengan putusan dalam hal ini adalah keputusan pengadilan atas dasar perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa.
Berdsarkan Pasal 62 ayat (1) UU 7/1989 menyatakan bahwa, segala penetapan dan putusan pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan `dan dasar-dasarnya juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Tiap penetapan dan putusan pengadilan ditandatangani oleh Ketua dan Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada waktu penetapan dan putusan itu diucapkan.


4. UPAYA HUKUM

Upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan pada Pengadilan Agama memiliki persamaan dengan upaya hukum pada acara perdata biasa. Ada 2 (dua) jenis upaya hukum pada, yaitu upaya hukum biasa (perlawanan/verzet, banding, dan kasasi) dan upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali dan perlawanan eksekusi dari pihak ketiga/derden verzet). Berikut beberapa dasar terkait upaya hukum yang dijelaskan pada UU Peradilan Agama :
a. Atas penetapan dan Putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undanag menentukan lain (Pasal 61 UU NO 7 Tahun 1989)
b. Atas penetapan dan Putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara (Pasal 63 UU No 7 Tahun 1989)