HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (MATERI UPA)



Penegertian Tata Usaha Negara terdapat dalam Pasal 1 angka 1 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Selanjutnya disebut UU PTUN) yang menentukan, bahwa : " Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintah baik di pusat maupun daerah "

Sedangkan yang diamaksud dengan "urusan pemerintahan" dalam Pasal 1 angka 1 UU PTUN, yaitu dalam penjelasan Pasal 1 angka 1 disebut sebagai kegiatan yang bersifat eksekutif. Jika berbicara tentang kegiatan yang bersifat eksekutif, maka sangat berhubungan dengan teori Trias Politika oleh Montesquiei. Dimana didalam teori Trias Politika, Kekuasaan Negara dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :
a. Kekuasaan Legislatif, yaitu kekuasaan yang membuat peraturan perundang-undangan
b. Kekuasaan Eksekutif, yaitu kekuasaan yang melaksanakan peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif
c. Kekuasaan Yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mengadili terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh kekuasaan legislatif.

Peradilan Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan sengketa antara Pejabat TUN dan Warga Negaranya baik orang (natuurlijke persoon) atau badan hukum (recht persoon), yakni sengketa yang timbul sebagai akibat dan adanya tindakan-tindakan Pejabat TUN yang dianggap melanggar hak-hak warga Negaranya. Tujuan Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu :
a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari hak-hak individu
b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tertentu.

1. KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA

Keputusan Tata Usaha Negara (Selanjutnya disebut KTUN) atau yang biasa disebut dengan istilah beschikking yang dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan yang bersifat kongkret, individual, dan final, serta menimbulkan kerugian pada seseorang atau badan hukum perdata, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 butir 3 UU PTUN bahwa : " Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara yang bersifat kongkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badna hukum perdata "

Dari pengertian KTUN di atas, terdapat unsur-unsur mengenai KTUN, yaitu :
a. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat di pusat dan di daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif
b. Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum badan atau pejabat tata usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban para orang lain
c. Bersifat kongkret artinya yang diputuskan dalam keputusan tata usaha negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu dan dapat ditentukan umpamanya keputusan mengenai rumah si A sebagai pegawai negeri
d. Bersifat final artinya sudah definitive dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan. Umpamanya keputusan pengangkatan seseorang pegawai negeri memerlukan persetujuan dari badan administrasi kepegawaian negara.

Bagir Manan, Menyatakan bahwa unsur-unsur KTUN yang dapat menjadi objek sengketa di hadapan Peradilan Tata Usaha Negara adalah :
a. Penetapan tertulis
b. Ditetapkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
c. Penetapan berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara (administratief rechtshandeling)
d. Penetapan dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
e. Bersifay kongkret, individual dan final
f. Penempatan menimbulkan akibat hukum.

Penempatan yang bersifat kongkret, individual, final dan penetapan yang menimbulkan akibat hukum merupakan murni pendapat Bagir Manan. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keputusan/ketetapan (beschikking) adalah perbuatan sepihak yang dilakukan oleh pemerintah atau wakilnya berdasarkan kekuasaan yang bersumber pada atribusi atau delegasi. Perbuatan tersebut berimplikasi pada perubahan hukum terhadap seseorang atau badan hukum perdata.


2. SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Kekuasaan absolut dan pengadilan di lingkungan peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 47 UU 5 / 1986 yang menentukan bahwa pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.

Adapun yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara menurut Pasal 1 angka 4 UU 5 / 1986 (Pasal 1 angka 10 UU 9 / 2004  jo. UU 51  / 2009) adalah :  " Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan perturan perundang-undangan yang berlaku "

Berdasarkan Ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari beberapa unsur, yaitu :
a. Sengketa yang timbul di bidang Tata Usaha Negara
b. Sengketa tersebut antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
c. Sengketa yang dimaksud sebagai akibat dikeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
d. Penjelasan Pasal 1 angka 4 UU 5 / 1986 menyebutkan bahwa istilah sengketa yang dimaksudkan dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 4 UU 5 / 1986 (Pasal 1 angka 10 UU 9 / 2004 jo. UU 51 / 2009), mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara adalah perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara.

Secara singkat, unsur sengketa Tata Usaha Negara dapat terdiri dari 2 (dua) unsur, yaitu :
a. Subjek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum privat di satu pihak dan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak
b. Objek Sengketa TUN adalah Keputusan yang dikeluarkan oleh badan atau Pejabat TUN

Pasal 2 UU No 5 / 1986 juga menentukan beberapa pengecualian untuk sejumlah KTUN yang tidak termasuk objek sengketa TUN, yaitu :
a. KTUN yang merupakan perbuatan hukum perdata
b. KTUN yang merupakan pengaturan yang bersifat umum
c. KTUN yang masih memerlukan persetujuan
d. KTUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab UU Hukum Pidana atau Kitab UU Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
e. KTUN yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
f. KTUN Mengenai tata usaha angkatan bersenjata Republik Indonesia
g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.

Selain dari itu, beberapa KTUN tertentu juga dinyatakan bukan wewenang badan Peradilan (Pengadilan) dalam lingkungan peradilan TUN (Pasal 49 UU PTUN), sehingga tidak dapat dijadikan sengketa TUN, yaitu keputusan yang dikeluarkan :
1). Dalam waktu perang
2). Keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
3). Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


3. PENGGUGAT DAN TERGUGAT TATA USAHA NEGARA

Di dalam UU No 5 / 1986 jo. UU No 9 /2004 jo. UU 51 / 2009, tidak ada ketentuan yang menyebutkan siapa yang dimaksud dengan Penggugat tersebut namun berdasarkan ketentuan Pasal 53 ayat (1) UU No 5 /1986 jo. UU No 9 / 2004 dapat diketahui siapa yang dimaksud dengan Penggugat, dengan penjelasan bahwa :  " Orang atau Badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan TUN yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan atau tanpa disertai ganti dan atau rehabilitasi "

Berdasarkan ketentuan tersebut di dapat diketahui bahwa yang dapat bertindak sebagai Penggugat dalam Sengketa TUN adalah :
a. Orang yang merasa kepentingannya dirugikan akibat terbitnya Surat Keputusan TUN
b. Badan Hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat terbitnya suatu keputusan TUN

Artinya pada pemeriksaan di persidangan di lingkungan TUN tidak dimungkinkan atau badan publik atau pejabat TUN (ambtenaar) bertindak sebagai Penggugat.  Didalam keputusan hukum TUN yang ditulis sebelum berlaku UU No 5 / 1986, masih dimungkinkan badan atau pejabat TUN bertindak sebagai Penggugat. Maka pada akhirnya yang dimaksud Penggugat adalah orang atau Badan Hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan TUN (KTUN)

Berbeda dengan siapa yang dimaksud dengan Tergugat, ditentukan dalam Pasal 1 angka 6 UU 5 / 1986 (Pasal 1 angka 12 UU 5 / 1986 jo. UU 51 / 2009) yang menyebutkan bahwa Tergugat adalah : " Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang di gugat oleh orang atau badan hukum perdata "


4. GUGATAN TATA USAHA NEGARA

Gugatan sengketa TUN diajukan kepada pengadilan yang berwenang, yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Tergugat. Apabila Tergugat lebih dari satu badan atau Pejabat TUN dan tidak berkedudukan dalam satu daerah atau wilayah hukum pengadilan, maka gugatannya diajukan di salah satu tempat kedudukan Tergugat. alasan mengajukan gugatan di Peradilan TUN berdasarkan Pasal 53 ayat 2 UU No 5 / 1986 jo. UU No 9 / 2004, sebagai berikut :
a, Keputusan TUN yang di gugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
b. Keputusan TUN yang di gugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Gugatan TUN hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak diterimanya atau diumumkannnya Keputusan Badan atau Pejabat TUN, Gugatan tersebut harus memuat :
a. Nama, Kewarganegaraan, tempat tinggal, dan Pekerjaan Penggugat atau Kuasanya
b. Nama, Jabatan, dan tempat kedudukan Tergugat
c. Dasar Gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh Pengadilan.

Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh kuasa Penggugat, maka gugatan harus disertai dengan surat kuasa yang sah. Gugatan sedapat mungkin juga disertai dengan Keputusan TUN yang disengketakan oleh Penggugat. Proses pengajuan gugatan TUN, sebagai berikut :

a. Tahap Pemeriksaan Permulaan (rapat permusyawaratan / dismissal process)
Setelah gugatan didaftarkan, berdasarkan Pasal 62 ayat (1) UU 5 / 1986. Ketua Pengadilan akan melaksanakan rapat permusyawaratan (dismissal process). Dalam rapat tersebut, dipimpin oleh ketua pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak di terima atau tidak berdasar, dalam hal :

1). Wewenang PTUN terhadap pokok sengketa, yaitu apakah pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan.
2). Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan.
3). Alasan diajukan gugatan, yaitu apakah gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
4). Apa yang di tuntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan TUN yang di gugat.
5). Daluarsa gugatan, yaitu gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

Apabila dalam putusan pemeriksaan permulaan tidak diterima, maka dapat melakukan keberatan dalam bentuk perlawanan dengan mengajukan banding administratif kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UU 5 / 1986.

Perlawanan sebagaimana dimaksud di atas diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat. Apabila perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) UU 5 / 1986 dinyatakan gugur demi hukum dan selanjutnya pokok gugatan akan diperiksa, diputus, dan diselesaikan menurut acara biasa. Sebaliknya, apabila putusan perlawanan dinyatakan kalah, maka Penggugat tidak dapat melakukan upaya hukum lain.

b. Tahap Pemeriksaan Pendahuluan / Persiapan
Setelah tahap rapat permusyawaratan selesai dan sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, hakim Pengadilan TUN wajib mengadakan pendahuluan atau pemeriksaan persiapan dengan tujuan yaitu :
a. Untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas
b. Untuk meletakkan sengketa dalam peta, baik mengenai objeknya serta fakta-fakta maupun mengenai problem hukum yang harus dijawab.

Dalam tahap pemeriksaan persiapan, yang harus dilakukan Hakim berdasarkan Pasal 63 ayat (2) UU 5 / 1986 antara lain :
1). Wajib memberi nasihat kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
2). Dapat meminta penjelasan kepada badan atau Pejabat TUN yang bersangkutan.

Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari Penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Dan terhadap putusan ini tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.

c. Tahap Pemeriksaan Persidangan
Berdasarkan Pasal 67 UU No 5 / 1986, Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya Keputusan Badan atau Pejabat TUN serta tindakan badan atau Pejabat TUN yang di gugat. Dengan alasan setiap keputusan badan atau pejabat TUN harus dianggap benar (rechmatig) dan karenanya dapat dilaksanakan sampai ada pembatalannya oleh hakim.

Akan tetapi, dalam hal ini Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan penundaan ini dapat diajukan sekaligus dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketanya, Permohonan penundaan tersebut :
1). Dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat sangat dirugikan jika Keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan
2). Tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.

Tahap persidangan TUN tidak mengenal adanya rekonvensi, dengan alasan bahwa :
1). Negara memiliki exorbitante rechten atau hak-hak istimewa, sedangkan Penggugat tidak memilikinya
2). Negara memiliki monopoli van het physiche geweld atau monopoli paksaan fisik, sedangkan Penggugat tidak memilikinya
3). Perkara Administrasi pada hakekatnya tidak menunda  kegiatan pelaksanaan administrasi negara yang tindakannya di persoalkan.

Sehingga dalam tahap pemeriksaan persidangan yang dipimpin oleh 3 (tiga) orang Majelis Hakim dan jangka waktu pemeriksaannya tidak boleh lebih dari 6 (enam) bulan memiliki tahap sebagai berikut :
1). Pembacaan Surat Gugatan
Dalam tahap ini surat gugatan dan Surat Pihak Penggugat akan dibacakan oleh Hakim Ketua Sidang.

2). Jawaban
Jika pihak tergugat ingin mengajukan jawaban atas gugatan pihak penggugat, maka pihak tergugat akan diberi kesempatan untuk menjawab isi gugatan Penggugat. Selain itu atas gugatan yang diajukan oleh Penggugat, Tergugat dapat juga mengajukan eksepsi (tangkisan) kewenangan absolut dan kewenangan relatif dalam jawaban Tergugat. Ketentuan eksepsi berdasarkan Pasal 77 UU No 5 /1986, yaitu :
  • Eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut Pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia krena jabatannya wajib menyatakan bahwa Pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.
  • Eksepsi tentang kewenangan relatif Pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa
  • Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan Pengadilan hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa.

3). Replik
Pihak Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik. Perubahan gugatan diperkenankan dalam arti menambah alasan yang menjadi dasar gugatan; merubah gugatan yang bersifat mengurangi tuntutan yang semula; dan disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan Tergugat.

4). Duplik
Pihak Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan replik  dan disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan Penggugat. Pembatasan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh kejelasan tentang hal yang menjadi pokok sengketa antara para pihak.

5). Pembuktian
Berdasarkan Pasal 100 UU 5 / 1986, alat bukti yang dapat diajukan, yaitu :
a. Surat (berupa akta otentik, akta di bawah tangan dan surat-surat lainnya yang bukan akta)
b. Keterangan ahli
c. Keterangan Saksi
Saksi dalam hal ini adalah orang yang mengalami, melihat, dan mendengar kejadian perkara. Akan tetapi, Pasal 88 UU 5 / 1986 mengecualikan beberapa orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi, yaitu :

  • Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus keatas atau kebawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa
  • Isteri atau Suami salah satu pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai
  • Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
  • Orang yang sakit ingatan
d. Pengakuan Para Pihak
e. Pengetahuan Hakim


6). Kesimpulan

7). Putusan
Kemungkinan terhadap putusan perkara yang disidangkan ada beberapa macam diantaranya adalah :
a. Gugatan ditolak. Menolak gugatan dalam hal ini berarti memperkuat keputusan badan atau pejabat administrasi negara
b. Gugatan dikabulkan. Mengabulkan gugatan dalam hal ini berarti tidak membenarkan keputusan badan atau pejabat administrasi negara, baik seluruhnya atau sebagian
c. Gugatan tidak diterima. Tidak menerima gugatan dalam hal ini berarti gugatan tidak memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
d. Gugatan Gugur. Gugatan gugur, dalam hal ini apabila (para) pihak atau (para) kuasanya, kesemuanya tidak hadir pada persidangan yang telah ditentukan dan telah dipanggil secara patut.