HUKUM ACARA PIDANA ( HKUM4406 )

HUKUM ACARA PIDANA ( HKUM4406 )



DAFTAR ISI :

TINJAUAN MATA KULIAH
MODUL 1   : PENGANTAR HUKUM ACARA PIDANA
MODUL 2   : PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
MODUL 3   : PRAPENUNTUTAN, PENUNTUTAN, DAN DAKWAAN
MODUL 4   : PRAPEADILAN, GANTI RUGI, DAN REHABILITASI
MODUL 5   : PEMERIKSAAN SIDANG ACARA CEPAT DAN ACARA SINGKAT
MODUL 6   : PEMERIKSAAN SIDANG ACARA BIASA
MODUL 7   : MUSYAWARAH HAKIM DAN PUTUSAN
MODUL 8   : UPAYA HUKUM BIASA
MODUL 9   : UPAYA HUKUM LUAR BIASA
MODUL 10 : HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT
MODUL 11 : BANTUAN HUKUM
MODUL 12 : SISTEM PEMASYARAKATAN


MODUL 1   
PENGANTAR HUKUM ACARA PIDANA

Republik Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Adapun makna dari negara hukum yaitu bahwa hukum di negara ini ditempatkan pada posisi yang strategis di dalam konstelasi ketatanegaraan. 
Ungkapan bahasa latin "Quid sine leges moribus" yang bermakna apalah artinya suatu hukum jika tidak didukung oleh perilaku yang baik dari masyarakatnya. Oleh karena itu, perlu adanya upaya meningkatkan kesadaran masyarakat kepada hukum dengan penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen.

Penegakan hukum secara umum dapat diartikan sebagai penerapan hukum di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara demi mewujudkan ketertiban dan kepastian hukum yang berorientasi kepada keadilan.
Secara khusus penegakkan hukum dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan di dalam sistem peradilan (pidana) yang bersifat preventif, represif, dan edukatif. Penegakan hukum merupakan bagian dari pembangunan hukum yang merupakan komponen integral dari pembangunan nasional.

Dalam menegakkan dan mewujudkan kepastian hukum, tindakan aparatur penegak hukum secara formal harus ada pengaturannya, agar tindakannya tidak kontradiktif dengan undang-undang. Artinya, tidak hanya mengacu kepada ketentuan hukum pidana materiil, tetapi juga mengacu kepada hukum pidana formal, yang lazim disebut Hukum Acara Pidana.
Hukum Acara Pidana merupakan hukum formal yang di dalamnya memuat ketentuan-ketentuan tentang bagaimana suatu proses beracara dalam rangka penegakan hukum pidana (hukum materiil). 
Dalam ketentuan Hukum Acara Pidana dijabarkan bagaimana proses penangkapan suatu kasus pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga proses pengadilannya.


KEGIATAN BELAJAR 1 : PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA

A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PIDANA

Dalam Bahasa Belanda "Strafvordering"; Bahasa Inggris "Criminal Procedure Law"; Bahasa Perancis "Code d'instruction Crimonelle"; Amerika Serikat "Criminal Procedure Rules".

Simon; Hukum Acara pidana; Hukum Pidana Formal; Yang mengatur bagaimana negara melalui perantara alat-alat kekuasaannya melaksanakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dan dengan demikian termasuk acara pidananya (Het formele strafrecht regelt hoe de Staat door middel van zijne organen zijn recht tot straffen en strafoolegging doet gelden, en omvat dus het strafpoces).

Berbeda dengan Hukum Pidana Material atau Hukum Pidana yang berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidana sesuatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaa; mengatur pada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan.

Van Bemmelen; Ilmu Hukum Acara Pidana berarti mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara karena adanya dugaan terjadi pelanggarana undang-undang pidana.

Van Hattum; Hukum Pidana Formal adalah peraturan yang mengatur bagaimana caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara nyata (Het formale strafrecht bevat de voorshriften voges welke het abstractestrafrech in concretis tot gelding moet worden gebracht) .

Satochid Kertanegara; Hukum Acara Pidana sebagai Hukum Pidana dalam arti "Concreto" yaitu mengandung peraturan mengenai bagaimana hukum pidana in abstracto dibawah kedalam suatu in concreto.

Andi Hamzah; Memiliki ruang lingkup lebih sempit yaitu dimulai dari mencari kebenaran, penyelidikan, penyidikan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh jaksa.

Wiryono Prodjodikoro; Berhubungan erat dengan adanya Hukum Pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.

Samidjo; Rangkaian peraturan Hukum yang menentukan bagaimana cara-cara mengajukan ke depan pengadilan, perkara-perkara kepidanaan, dan bagaimana cara menjatuhkan hukuman oleh hakim, jika ada orang yang disangka melanggar aturan hukum pidana yang telah ditetapkan sebelum perbuatan melanggar hukum itu terjadi; dengan kata lain Hukum Acara Pidana ialah hukum yang mengatur tata-cara bagaimana alat-alat negara (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) harus bertindak jika terjadi pelanggaran.

R Abdoel Djamali; Mengatur cara Pemerintah menjaga kelangsungan pelaksanaan hukum pidana material.

Bambang Poernomo; Pengetahuan tentang Hukum Acara dengan segala bentuk dan manifestasinya yang meliputi berbagai aspek proses penyelenggaraan perkara pidana dalam hal terjadi dugaan perbuatan pidana yang diakibatkan oleh pelanggaran hukum pidana.

Berbeda dengan KUHP, KUHAP merupakan Karya Agung Bangsa Indonesia, KUHAP adalah ; Hukum Pidana Formal atau Hukum Acara Pidana yang berisi bagaimana cara untuk menegakkan Hukum Pidana materiil; Berisi tata cara atau prosesterhadap seseorang yang melanggar Hukum pidana.

KUHAP di undangkan dengan UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, terdiri 22 Bab dan 286 Pasal :
1. Bab I tentang Ketentuan Umum
2. Bab II tentang Ruang Lingkup Berlakunya Undang-Undang
3. Bab III tentang Dasar Peradilan
4. Bab IV tentang Penyidik dan Penuntut Umum
5. Bab V tentang Penangkapan, Penahanan, Penggledahan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan, dan Pemeriksaan Surat
6. Bab VI tentang Tersangka dan Terdakwa
7. Bab VII tentang Bantuan Hukum
8. Bab VIII tentang Berita Acara
9. Bab IX tentang Sumpah atau Janji
10. Bab X tentang Wewenang Pengadilan untuk Mengadili
11. Bab XI tentang Koneksitas
12. Bab XII tentang Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
13. Bab XIII tentang Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian
14. Bab XIV tentang Penyidikan
15. Bab XV tentang Penuntutan
16. Bab XVI tentang Pemeriksaan Sidang Pengadilan
17 .Bab XVII tentang Upaya Hukum Biasa
18. Bab XVIII tentang Upaya Hukum Luar Biasa
19. Bab XIX tentang Pelaksanaan Putusan Pengadilan
20. Bab XX tentang Pengawasan dan Pengamatan Pelaksanaan Putusan Pengadilan
21. Bab XXI tentang Ketentuan Peralihan
22. Bab XXII tentang Ketentuan Penutup

Walaupun KUHAP tidak memberikan pengertian Yuridis tentang Hukum Acara Pidana yang hakikatnya memuat kaidah-kaidah yang mengatur tentang penerapan atau tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan  keputusan oleh pengadilan, upaya hukum, dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan.
Maka pengertian  Hukum Acara Pidana dapat dirumuskan sebagai hukum yang mengatur tentang kaidah dalam beracara diseluruh proses peradilan pidana sejak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan persidangan, pengambilan  keputusan oleh pengadilan, upaya hukum, dan pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan didalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materiil.

B. SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA
Hukum Acara Pidana Pada masyarakat tradisional sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial, pemerintahan raja-raja, namun belum dibuat dalam bentuk tertulis dan masih merupakan Hukum Adat. Dalam setiap perbuatan yang mengganggu keseimbangan atau hubungan harmonis kehidupan yang terjadi saat itu, yang merupakan pelanggaran Hukum (adat) maka penegak hukum akan berusaha mengembalikan keseimbangan yang sudah terganggu disebabkan pelanggaran tersebut.

1. Hukum Acara Pidana di Indonesia pada zaman Penjajahan Belanda
Pada 1 Agustus 1848 berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal 3 Desember 1847 Staatblaad No 57 maka di Indonesia (Hindia Belanda) berlakulah Inlands Reglements (IR).
Diberlakukan hukum IR (Inlands Reglements Staatsblaad No 16) untuk orang Pribumi dan Asia Asing (Cina, Arab, dll).
Reglements of strafvordering (Hukum Acara Pidana) dan Reglements of the burgelijke recht vordering (Hukum AcaraPerdata) untuk Bangsa Eropa.
Nama Pengadilannya adalah Raad Van Justitie yang sekarang menjadi Pengadilan Tinggi.
IR masih memuat Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata. Rancangan IR tersebut penyusunannya diketahui oleh Mr. Wichers dan mendapat tanda tangan dari Gubernur Jenderal Rochussen sehingga mengalami perubahan. 
Akhirnya, setelah mendapat pengesahan Raja Belanda melalui firman Raja tanggal 29 september 1849 diumumkan dan disebarluaskan dalam Staatblaad 1849 No 63. setelah itu IR dirubah beberapa kali terakhir Staatblaad 1941 No. 44 diumumkan denga Het Herziene Inlands Reglement disingkat HIR diberlakukan untuk orang-orang pribumi dan asia asing (Cina, Arab, dll)  nama pengadilannya Landraad yang sekarang menjadi Pengadilan Negeri.

2. Hukum Acara Pidana di Indonesia pada zaman Penjajahan Jepang
Tidak terjadi perubahan mendasar tentang hukum, UU 1/1942 tanggal 7 Maret 1942 Pasal 3 : Semua Badan Pemerintah tetap diakui asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Miliiter Jepang.

3. Hukum Acara Pidana setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 yang berbunyi : "Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945 ini".
Dengan aturan peraliha ini maka secara sah HIR masih tetap berlaku, Tetapi tahun 1948 HIR diganti namanya menjadi Reglement Indonesia yang diperbaharui dan disingkat RIB.
Dengan UU Darurat No 1 Tahun 1951 HIR/RIB diunifikasikan dan berdasar Pasal 6 ayat 1 maka HIR/RIB dipakai sebagai pedoman Hukum Acara Pidana samapai dengan tahun 1981.

4. Riwayat Penyusunan KUHAP
Periode kejayaan HIR telah berakhir. Semasa HIR berjaya di negeri ini, kita sering mendengar atau membaca pendapat yang mengencam  HIR warisan pemerintah Kolonial Belanda dan karenanya tidak cocok lagi dengan kehidupan Bangsa Indonesia merdeka.
Adapula pendapat yang mengatakan bahwa HIR menganut sistem inkuisitur yang menganggap tersangka sebagai objek, dan sistem ini sering dipertentangkan dengan sitem akusatur.

Awal proses rancangan KUHAP sudah dibuat tahun 1965 dan diajukan ke DPR, namun ditarik kembali karena terdapat beberapa hal yang tidak sesuai dengan prosedur atau dikatakan belum sempurna. Adanya kegiatan perubahan dan penyempurnaan kembali Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUUHAP) sebagai berikut.
a. Tahun 1967 dibentuk panitia intern Departemen Kehakiman. Tahun 1968 di semarang  diselenggarakan Seminar Hukum II yang membahas tentang Hukum Pidana dan HAM.
b. Tahun 1973 panita intern Departemen Kehakiman menyusun naskah Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUUHAP), namun mengalami jalan buntu.
c. Tahun 1974 Menteri Kehakiman Prof Oemar Seno Aji digant oleh Prof Moechtar Kusuma Atmaja beliau mengintensifkan pembuatan RUUHAP, menyimpan draf V (karena sebelumnya telah terjadi perubahan draf sebanyak empat kali) dan menyerahkannya ke kabinet.
d. Tanggal 12 september 1979 draf ke V RUUHAP diserahkan ke DPR untuk dibahas dan mendapat persetujuan.
e. Tanggal 9 September 1981 RUUHAP disetujui sidang gabungan (SIGAB) Komisi I dan III DPR RI
f. Tanggal 23 September 1981 RUUHAP disetujui DPR RI untuk disahkan oleh Presiden.
Tanggal 31 September 1981 RUUHAP disahkan oleh Presiden menjadi UU No 8 Tahun 1981, dan dimasukan dalam lembaran Negara No 76 tahun 1981. UU ini dikenal dengan nama Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

5. Perbedaan antara HIR dan KUHAP
Oleh karena dipandang tidak sesuai lagi dengan pembangunan di bidang hukum dan cita hukum nasional, maka HIR diganti dengan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang bersifat kodikatif dan unifikatif serta dianggap dapat memberi perlindungan kepada hak-hak manusia seimbang dengan kepentingan umum.

Letak Perbedaan Pokok antara KUHAP dan HIR :

a. Dalam sistem tindakan; HIR menonjolkan kekuasaan dari pejabat pelaksana hukum, sedangkan KUHAP mengutamakan perlindungan terhadap HAM.
b. Dalam sistem Pemeriksaan; HIR memberi perhatian lebih diutamakan pada fungsionalisasi pejabat yang diserahkan kekuasaan dan menempatkan terdakwa sebagai objek, sedangkan KUHAP memberi perhatian yang lebih besar ditujukan kepada pembinaan sikap petugas pelaksana hukum dengan pembagian wewenang dan tanggungjawab secara tegas dan tersangka/terdakwa dilindungi oleh asas-asas "praduga tidak bersalah" serta perangkat hak-hak tertentu.
c. Dalam Sistem Pengawasan; HIR memiliki pengawasan secara vertikal (dari atasan pejabat yang baru), sedangkan KUHAP memiliki pengawasan secara vertikal sekaligus horizontal (dari sesama instansi dan atau unsur-unsur penegak hukum lainnya, misalnya penasihat hukum melalui lembaga pra peradilan)
d. Dalam Tahap Pemeriksaan; HIR memiliki proses pidana terdiri atas pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan sidang pengadilan (dan upaya hukum), lalu pelaksanaan putusan hakim. sedangkan KUHAP memiliki proses pidana terdiri dari penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, kemudian pemeriksaan pengadilan (dan upaya hukum)


C. TUJUAN HUKUM ACARA PIDANA
Timbulnya penemuan hukum baru dan pembentukan peraturan perundang-undnagan baru terutama sejak zaman orde baru cukup menggembirakan dan merupakan titik cerah dalam kehdupan hukum di Indonesia , termasuk didalamnya adalah disusunnya KUHAP.

Beberapa pertimbangan yang menjadi alasan disusunnya KUHAP, secara singkat KUHAP memiliki lima tujuan :
1. Perlindungan atas harkat dan martabat manusia (tersangka dan terdakwa)
2. Perlindungan atas kepentingan hukum dan pemerintahan
3. kodifikasi dan unifikasi Hukum Acara Pidana
4. Mencapai kesatuan sikap dan tindakan aparat penegak hukum
5. Mewujudkan Hukum Acara Pidana yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945

Dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP telah dirumuskan mengenai Tujuan Hukum Acara Pidana yaitu :
" Untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidna dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujr dan tepat, dengan tujuan untuk mencapai siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang telah didakwa itu dapat dipersalahkan "

Jika menilik  rumusan diatas dapat dirinci Tujuan Hukum Acara Pidana :
1. Suatu Kebenaran Materiil; yaitu kebenaran hakiki dan lengkap dari suatu perkara pidana melali penerapan ketentuan Hukum Acara Pidana secara tepat dan jujur.
2. Menentukan Subjek Hukum berdasarkan alat bukti yang sah; Hingga dapat didakwa melakukan suatu tindak pidana
3. Menggariskan suatu pemeriksaan dan putusan pengadilan, agar dapat ditentukan apakah suatu tindak pidana telah terbukti dilakukan orang yang didakwa itu.

Tujuan Hukum Acara Pidana ini sejalan dengan fungsi hukum menurut  Van Bemmelen ;  yaitu mencari dan menemukan kebenaran, pemberian keputusan oleh hakim, dan pelaksanaan keputusan.


D. SUMBER HUKUM ACARA PIDANA
Adapun beberapa sumber dasar Hukum Acara Pidana sebagai berikut :
1. UUD 1945; 
Ketentuan UUD 1945 yang langsung mengenai Hukum Acara Pidana adalah :
Pasal 24;  ayat (1); Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
ayat (2); Susunan dan Kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Pasal 25; Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang

Penjelasan kedua pasal ini ; Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka yaitu terlepas dari kekuasaan pemerintah. Berhubungan dengan ini harus diadakan jaminan dalam undang-undang kedudukannya para hakim.
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945; segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) UU No.8 Tahun 1981, LN 1981 No 76, Tambahan Lembar Negara No 3209

3. Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No 48 Tahun 2009, LN 2009 No 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No 5076)

4. Peraturan Pemerintah (PP) No 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

5. UU No 5 Tahun 1986 Tentang Mahkamah Agung.



KEGIATAN BELAJAR 2 : PROSES-PROSES DALAM HUKUM ACARA PIDANA DAN BEBERAPA ASAS DALAM HUKUM ACARA PIDANA

A. PROSES-PROSES DALAM HUKUM ACARA PIDANA

Sebuah Pola Proses Pembagian tugas dan kewenangan yang bertujuan agar pelaksanaan tugas penegakan hukum dapat menjadi fokus, sehingga tidak terjadi duplikasi kewenangan, namun tetap terintegrasi karena antara institusi penegak hukum yang satu dengan yang lainnya secara fungsional ada hubungan sedemikian rupa didalam proses penyelesaian perkara pidana, dikenal juga dengan integrated criminal justice system (sistem peradilan pidana terpadu).

Sistem Peradilan pidana terpadu dalam KUHAP merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa atau terpidana sebagai manusia.

Sistem peradilan pidana berkaitan erat dengan sistem hukum yang berlaku di sebuah negara. dikarenakan sistem peradilan pidana adalah sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara. Oleh karena itu setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan pidana yang meskipun secaara garis besaar hampir sama, namun memiliki karakter sendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya dan politik yang dianut.
Secara sederhana sitem peradilan pidana adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana.

Cavadino dan Dignan ; Sistem peradilan pidana "A term covering all those institution which respond officialy to the commission of offences, notably the police, prosecution authorithies and the court". Dengan kata lain sistem peradilan pidana tidak hanya mencakup satu institusi, tetapi berkaitan erat dengan beberapa instusi negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak hukum yang satu akan memberikan dampak dan beban kerja kepada penegak hukum yang lain.

Feeney ; " .... What once criminal justice agency does likely to affect and affected by other agencies and .... a detailed knowledge of the kinds of interactions that are likely to take is essential for undertaking system improvement"; Sistem peradilan pidana adalah bagian dari ilmu hukum pidana dalam pengertian luas yang berkaitan erat dengan proses peradilan pidana yang melibatkan sejumlah institusi.

Sistem peradilan pidana yang dianut oleh KUHAP terdiri dari beberapa subsistem yang merupakan tahapan proses jalannya penyelesaian perkara, subsitem penyidikan dilakukan oleh kepolisian, subsistem penuntutan dilakukan oleh kejaksaan, subsitem pemeriksaan di sidang pengadilan dilaksanakan oleh pengadilan, dan subsistem pelaksanaan putusan pengadilan dilaksanakan oleh kejaksaan dan lembaga pemasyarakatan.

Untuk mengembangkan tugas menegakan keadilan dalam bingkai sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), keempat institusi pelaksana dalam sistem peradilan pidana tersebut lazimnya lebih mengutamakan kebersamaan serta semangat kerja yang tulus dan ikhlas serta positif antara aparat penegak hukum.

Muladi ; Integrated Criminal justice System; adalah sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapat dibedakan dalam :
1. Sinkronisasi Struktural (structural syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum:
2. Sinkronisasi Substansial (Substantial syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif;
3. Sinkronisasi kultural (curtural syncronization) yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

Proses dalam Hukum Acara Pidana secara garis besar dapat dibagi menjadi tindakan yang mendahului pemeriksaan di muka pengadilan yang terdiri atas tingkat penyelidik/penyidik (Kepolisian) dan pada tingkat penuntutan umum.
Ketika dalam proses penyidikan sudah terkumpul bukti-bukti yang menguatkan maka penyidik akan mengrim BAP (Berkas Acara Pemeriksaan) kepada kejaksaan untuk kemudian kejaksaan menunjuk penuntut umum yang kemudian membuat surat dakwaan dan selanjutnya melimpahkan ke pengadilan negeri.
Ketua Pengadilan membentuk majelis hakim yang bertugas memanggil terdakwa, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan dalam sidang pengadilan hingga akhirnya tercipta putusan pengadilan.

Tahap yang mengawali proses Hukum Acara Pidana adalah diketahui adanya tindak pidana (delik). Perkara Pidana disebut ada jika diketahui adanya tindak pidana atau peristiwa pidana atau kejahatan yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang.
Berbeda dengan perkara perdata, ketika inisiatif untuk mengajukan perkara diambil oleh orang-orang yang merasa dirugikan, maka dalam perkara pidana inisiatif untuk mengajukan perkara diambil oleh negara.
Mengajukan perkara pidana ke pengadilan karena adanya tindak pidana atau kejahatan. Diketahui terjadinya tindak pidana dari empat kemungkinan yaitu :
1. Kedapatan tertangkap tangan (Pasal 1 angka 19 KUHAP)
2. Karena Laporan (Pasal 1 angka 24 KUHAP)
3. Karena pengaduan (Pasal 1 angka 25 KUHAP)
4. Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik seperti baca di surat kabar, dengar di radio, dengar orang bercerita, dll.

Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada watu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diseruka oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannnya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu (Pasal 1 angka 19 KUHAP).

Melakukan tindak pidana artinya si pelaku dipergoki oleh orang lain sewaktu pelaku sedang beraksi melakukan tindak pidana pencurian misalnya. Sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan.
Soesilo memberikan contoh seorang bhayangkara mendengar suara orang berteriak minta tolong, saat itu terlihat olehnya ada orang yang lari keluar dari rumah dengan tangannya berlumuran darah. Setelah orang itu ditangkap dan diperiksa ternyata bahwa orang tersebut baru saja menganiaya seseorang. Tindak pidana penganiayaan ini kedapatan sesudah dilakukan (tertangkap tangan).

G. Duisterwinkel ; sejak zaman romawi telah dikenal delik tertangap tangan yaitu delik yang tertangkap sedang atau segera setelah berlangsung mempunyai akibat-akibat hukum yang berbeda dengan delik lain.
Romawi menyebutnya "delictum flagrans", Belanda Kuno menyebutnya "handhaft(ig)edaet" dan "versche daet", Prancis menyebutnya "flagrant delit", Jerman menyebutnya "frische tat".

Penyelidikan delik tertangkap tangan lebih mudah dilakukan karena terjadinya baru saja, berbeda dengan delik biasa yang kejadiannya sudah beberapa waktu berselang. Untuk menjaga agar pembuktiannya tidak menjadi kabur, jika penyidikannya dilakukan sama-sama dengan delik biasa maka diatur secara khusus. Banyak kelonggaran-kelonggaran yang diberikan kepada penyidik yang lebih membatasi Hak Asasi Manusia daripada delik biasa.

Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, kententraman, dan keamanan umum wajib menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik. Setelah menerima penyerahan tersangka, penyelidik atau penyidik wajib segera melakukan pemeriksaan dan tindakan lain dalam rangka penyidikan, segera datang ke tempat kejadian, dan dapat melarang setiap orang untuk meninggalkan tempat itu selama pemeriksaan ditempat itu belum selesai. Pelanggar larangan tersebut dapat dipaksa tinggal di tempat itu sampai pemeriksaan dimaksud diatas selesai (Pasal 111 ayat 1,2,3,4 KUHAP)

Kemungkinan lain untuk mengetahui terjadinya tindak pidana ialah laporan yang diajukan, baik oleh korban maupun orang lain.
Pengertian Laporan dalam Pasal 1 angka 24 KUHAP :
" Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga aan terjadinya peristiwa pidana "

Pengertian Pengaduan dalam Pasal 1 angka 25 KUHAP :
" Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya "

Dalam proses Hukum Acara Pidana terlibat beberapa pihak yang perlu diketahui perannya masing-masing. Pihak-Pihak dalam Proses Hukum Acara Pidana :
1. Tersangka dan Terdakwa
Tersangka dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP :
" Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana "
Terdakwa dalam Pasal 1 angka 15 KUHAP :
" Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan "
Kesimpulan: Tersangka masih pada tingkat pemeriksaan penyidik (kepolisian), sedangkan terdakwa sudah pada tingkat jaksa (penuntut umum) dan pemeriksaan pengadilan.

2. Penyelidik
Penyelidik adalah Pejabat Polisi Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan (Pasal 1 anga 4 KUHAP).

3. Penyidik
Penyidik, adalah Pejabat Polisi Republik Indonesia / Pejabat PNS tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan (Pasal 1 angka 1 KUHAP)

4. Penuntut Umum / Jaksa 
Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP menjelaskan Penuntut Umum :
" Pejabat yang diberi wewenang oleh UU ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap "
Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP menjelaskan Jaksa :
" Jaksa yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim "
Kesimpulan : Pengertian Jaksa adalah menyangkut Jabatan, Sementara Penuntut Umum menyangkut funsi.

Wewenang Penuntut Umum (Bab IV KUHAP Pasal 14) :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidian dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan (4) dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan dari penyidik
c. melakukan penahanan, memberikan perpanjangan penahanan, atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik
d. membuat surat dakwaan
e. melimpahkan perkara ke pengadilan.
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan-ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan.
g. melakukan penuntutan
h. menutup perkara demi kepentingan umum
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan UU ini.
j. melaksanakan penetapan hakim.

Menilik rincian wewenang tersebut maka disimpulkan bahwa Jaksa/Penuntut Umum di Indonesia tidak mempunyai wewenang menyidik perkara dalam tindak pidana umum, misalnya pembunuhan, pencurian dan sebagainya dari permulaan atau lanjutan. Ini berarti bahwa Jaksa/Penuntut Umum di Indonesia tidak dapat melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap tersangka/terdakwa.

Ketentuan Pasal 14 ini disebut sistem tertutup; artinya tertutup kemungkinan Jaksa / Penuntut Umum melakukan penyidikan, meskipun dalam arti insidental dalam perkara-perkara berat. Pengecualiannya adalah Jaksa atau Penuntut Umum dapat menyidik perkara dalam tindak pidana khusus, misalnya tindak pidana subversi, korupsi dan lain-lain.

5. Penasehat Hukum dan Bantuan Hukum
Istilah Penasihat Hukum dan Bantuan Hukum dalam KUHAP lebih tepat dan sesuai dengan fungsinya sebagai pendamping tersangka atau terdakwa dalam pemeriksaan daripada istilah pembela.
Istilah pembela sering disalahtafsirkan, seakan-akan berfungsi sebagai penolong tersangka atau terdakwa bebas atau lepas dari pemidanaan, walaupun ia jelas bersalah melakukan yang didakwakan itu.
Padahal fungsi pembela atau penasihat hukum adalah membantu hakim dalam usaha menemukan kebenaran materiil, walaupun bertolak dari sudut pandang subjektif yaitu berpihak pada kepentingan tersangka atau terdakwa.

Penasihat Hukum dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) golongan berdasarkan kriteria pengangkatannya dan izin  menjalankan tugas tersebut :
a. Advokat; merupakan penasihat hukum yang bergelar sarjana hukum dan diangkat secara resmi oleh pemerintah (Menteri Kehakiman dengan persutujuan Mahkamah Agung); Mereka bukan pegawai Negeri.
b. Penasihat Hukum Resmi; Mereka adalah pengacara yang diangkat oleh Pengadilan Tinggi berdasarkan Peraturan Menteri Kehakiman No.1 Tahun 1975, setelah mengikuti ujian. Mereka adalah Sarjana Hukum  dan Bukan Pegawai Negeri. Izin yang diberikan terbatas di wilayah Pengadilan Tinggi yang memberikan izin tersebut.
c. Penasihat Hukum Insidentil; Mereka adalah pengacara yang diberi izin insidentil oleh Ketua Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tingkat Pertama.
Mereka ini dapat terdiri dari Sarjana Hukum, Bukan Sarjana Hukum, Pegawai Negeri, bukan Pegawai Negeri atau siapa saja yang sudah dewasa, dan memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan hukum. Izin ini terbatas wilayah operasinya, hanya di wilayah pengadilan perkara tersebut, dan izin tersebut diberikan kepada setiap perkara yang ditangani.


B. BEBERAPA ASAS DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Mark Constanzo; Hukum Acara Pidana memiliki asas-asas yang abstrak sifatnya terhadap kasus-kasus tertentu. Beberapa asas yang dianut dalam Hukum Acara Pidana sebagai berikut :
(1). Asas Legalitas; Bahwa setiap perbuatan pidana harus di tuntut. Penyimpangan azaz ini dikenal dengan azaz oportunitas; Bahwa demi kepentingan umum Jaksa Agung dapat mengesampingkan penuntutan perkara pidana
(2) Asas Diferensiasi Fungsional; Setiap aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana memiliki tugas dan fungsinya sendiri yang terpisah antara satu dengan yang lain
(3) Asas Lex Scripta; bahwa Hukum Acara Pidana yang mengatur proses beracara dengan segala kewenang yang ada harus tertulis
(4) Asas Lex Stricta; bahwa aturan dalam Hukum Acara Pidana harus ditafsirkan secara ketat; Ketentuan dalam Hukum Acara Pidana tidak dapat ditafsirkan selain dari apa yang tertulis

Terhadap asas ketiga dan keempat dapat dipahami karena karakter dari Hukum Acara Pidana pada hakikatnya adalah mengekang Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, di satu sisi negara diberi kewewenangan untuk mengambil segala tindakan dalam rangka penegakan hukum, akan tetapi di sisi yang lain kewenangan itu harus dibatasi oleh UU secara ketat.
Demikian pula setiap warga negara yang berurusan dengan hukum dapat melakukan gugatan terhadap tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum sepanjang gugatan tersebut secara expresiv verbis tertuang dalam UU.

Indonesia adalah Negara Hukum ; Rule of Law. Konsep Rule of Law bersifat universal bersendi kepada pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi, legalitas dari tindakan negara/pemerintah dalam arti tindakan aparatur negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum dan terjaminnya peradilan yang bebas.
Konsekuensi logis dari konsepsi negara hukum yang demikian berarti bahwa semua produk legislasi hendaknya mencerminkan sendi-sendi tersebut, terutama Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.
Pencerminan sendi-sendi tersebut dalam bidang Hukum Acara Pidana terlihat dari asas-asas yang dijadikan dasar bagi Hukum Acara Pidana, yang diakomodasi oleh KUHAP dari berbagai sistem hukum, baik sistem Civil Law yang dianut oleh negara-negara eropa Kontinental, maupun sistem Common law yang dianut oleh negara-negara Anglo Saxon.

Untuk mencapai tujuan memberi perlindungan terhadap keluhuran harkat dan martabat manusia maka asas-asas penegakan hukum yang telah dirumuskan dalam UU No 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan lagi dalam KUHAP guna menjiwai setiap pasal atau ayat agar senantiasa mencerminkan perlindungan terhadap HAM. Asas-Asas tersebut:
1. Asas Legalitas dalam upaya paksa (Perintah tertulis dari yang berwenang) penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh UU dan hanya dalam hal dan dengan cara sebagaimana yang diatur dalam UU

2. Asas Legal Assistance (Tersangka dan Terdakwa berhak mendapat Bantuan Hukum)
Pasal 54 KUHAP berbunyi :
"Guna kepentingan pembelaan tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tata cara yang ditentukan dalam UU ini"

Dalam Pasal tersebut telah dijelaskan bahwa asas ini diberikan semata-mata untuk kepentingan pembelaan tersangka/terdakwa. Maksudnya yaitu untuk menghindari kemungkinan bahwa terdakwa diperiksa dan diadili disidang pengadilan atas suatu tindakan yang didakwakan atas dirinya, tidak dimengerti olehnya. Karena memang ia tidak mempunyai pengetahuan tentang strategi dan taktik untu membela hak-hak pribadinya, serta tidak tahu bagaimana seharusnya berbicara di pengadilan. Asas ini diatur dalam Pasal 69 - 74 KUHAP.
Dalam Pasal tersebut tersangka atau terdakwa ditentukan mendapat kebebasan-kebebasan yang sangat luas, misalnya :
a. Bantuan Hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan
b. Bantuan Hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan
c. Penasiihat Hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan setiap waktu
d. Pembicaraan antara Penasihat Hukum dan Tersangka tidak didengar oleh penyidik atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara
e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan
f. Penasihat Hukum berhak mengirim atau menerima surat dari tersangka atau terdakwa.

Pembatasan-Pembatasan tersebut hanya boleh digunakan apabila penasihat hukum menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Semua kebebasan dan kelongaran-kelongaran ini hanyalah berasal dari segi yuridisnya semata-mata, bukan dari segi politis, sosial dan ekonomisnya. Segi-segi lain tersebut yang juga menjadi penghambat pelaksanaan bantuan hukum yang merata.

3. Asas Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan.
Pemeriksaan dalam Sidang di Pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung, arti langsung disini adalah langsung kepada terdakwa dan para saksi.
Berbeda dengan acara perdata yang di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan oleh Hakim dapat juga secara lisan, artinya bukan tertulis sebagaimana antara hakim dan terdakwa.
Dasar hukum mengenai ketentuan diatas diatur dalam pasal 154-155 KUHAP. 
Dari asas langsung tersebut yang dipandang sebagai pengecualian ialah kemungkinan dari putusan hakim yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa sendiri yaitu putusan verstek atau in absentia.
Perlu digarisbawahi bahwa ini merupakan pengecualian yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan yang diatur dalam Pasal 213 KUHAP berbunyi :
" Terdakwa dapat menunjuk seseorang dengan surat untuk mewakilinya di sidang"

Begitu pula ketentuan yang ada dalam Pasal 214 KUHAP yang mengatur tentang acara pemeriksaan verstek tersebut.
Ada pula dalam Hukum Acara Pidana khusus seperti UU No 7 (Darurat) Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, dan dalam UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dikenal dengan pemeriksaan pengadilan secara in absentia atau tanpa hadirnya terdakwa.

4. Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption on innocence)
Asas Praduga tidak bersalah merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang fundamental. Terdapat dalam peraturan Perundang-Undangan internasional maupun nasional berkaitan dengan HAM. Dokumen internasional terdapat dalam Pasal 11 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights 1948 yang menyatakan :
" Everyone change with a penal offence has the right to be persumed innocent until proved guilty according to law in public trial at which he has all quarantees necesarry for his defence"


Diatur dalam Pasal 14 ayat (2) International Convenant On Civil and Political Rights 1966 yang menyatakan :
" Everyone Change with a criminal offence shall have the right to be persumed innocent untill proved guilty according to law "

Dengan demikian asas praduga tidak bersalah bersumber dari HAM yang bersifat Universal.
Dalam Perundang-undangan nasional asas praduga tidak bersalah telah diatur dalam Pasal 9 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan umum angka 3 huruf c KUHAP dinyatakan bahwa :
" Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adaanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap

Dalam Perundang-undangan  Pidana Khusus terutama UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 17 dan 18 UU No ...... (Karena saat ini sudah ada juga UU No 31 tahun 1999 dan UU No 20 Tahun 2001) ada ketentuan yang sepertinya mendesak asas tersebut. Terutama dalam Pasal 17 ayat (1) dan (4) perlu diperhatikan, berikut :
Ayat (1) : " Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi "
Ayat (4) : " Apabila terdakwa tidak memberi keterangan tentang pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan baginya. Dalam hal demikian penuntut umum tetap diwajibkan memberi pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi "

Senada dengan itu, Pasal 18 ayat (1) dan (2) berbunyi :
Ayat (1) : " Setiap terdakwa wajib memberi keterangan tentang seluruh harta benda suami/isteri, anak dan setiap orang, serta badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan apabila diminta oleh Hakim "
Ayat (2) : " Bila terdakwa tidak dapat memberi keterangan yang memuaskan sidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan setiap saksi bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi "

Kedua pasal tersebut membuktikan bahwa terdakwa telah korupsi dengan tanpa membutuhkan beban pembuktian. Dalam hal ini masih menganut asas "presumption of innocence".

Dengan perisai hak-hak yang diakui oleh hukum, secara teoritis sejak semula tahap pemeriksaan, tersangka/terdakwa sudah mempunyai posisi yang setaraf dengan pejabat pemeriksa dalam kedudukan hukum, berhak menuntut perlakuan yang ditegaskan dalam KUHAP :
a. Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya ditujukan kepada penuntut umum (Pasal 50 ayat 1)
b. Segera diajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh Pengadilan (Pasal 50 ayat 2 dan 3)
c. Tersangka berhak untuk diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 1)
d. Berhak untuk diberitahu dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang didakwakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 2)
e. Berhak memberi keterangan secara bebas baik kepada penyidik pada taraf penyidikan maupun pada proses pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 52)
f. Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan, juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan, jika tersangka/terdakwa tidak mengerti Bahasa Indonesia (Pasal 53 ayat 1 jo Pasal 177  ayat 1)
g. Berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54)
h. Berhak memilih sendiri penasihat hukum yang disukainya (Pasal 55)
i. Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya selam ia dalam tahanan (Pasal 58)
j. Berhak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang serumah dengan dia atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan itu dilakukan oleh Pejabat yang bersangkutan (Pasal 59)
k. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau orang lain guna mendapat jaminan  atas penangguhan penahan atau bantuan hukum (Pasal 60).
l. Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan atas sanak keluarga, sekalipun hal itu tidak ada sangkutpautnya dengan kepentingan tersangka/terdakwa (Pasal 61)
m. Berhak mengirim surat dan menerima surata setiap kali diperlukannya yaitu kepada dan dari penasihat hukum dan sanak keluarganya (Pasal 62 ayat 1)
n. Surat menyurat ini tidak boleh diperiksa oleh aparat penegak hukum, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk menduga adanya penyalahgunaan surat menyurat tersebut (Pasal 62 ayat 2)
o. Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64)
p. Berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan bagi dirinya, saksi a de charge (pasal 65)
q. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66)
r. Berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan perlakuan, penangkapan, penahanan, dan penuntutan yang tidak sah atau bertentangan dengan hukum (Pasal 68)

Berikut ini contoh kasus dari asas presumption of innocence :
Jakarta - Sekjen DPP PAN Taufik Kurniawan mengatakan pihaknya akan terus memberi dukungan moril kepada kadernya, Wa Ode Nurhayati. Ia pun mengatakan tetap akan menghormati proses hukum dan mengedepankan asas praduga tidak bersalah. "saya rasa itu sudah jelas arahan dari Ketum atau Keputusan dari Majelis Permusyawaratan kita. Kita sangat menghormsti proses-proses hukum yang sudah berjalan . Secara fisik kita tetap mengedepankan asas praduga tidak bersalah dengan beri dukungan moril dan tim advokasi dari DPP untuk mendampingi proses hukum" Kata Taufik. Hal itu disampaikannya usai sidang pleno Rakernas PAN di PRJ Kemayoran Jakarta, Minggu (11/12/2011). Taufik pun menjanjikan akan terus memberikan kejelasan terkait tim investigasi yang dibentuk PAN untuk mengawal kasus Wa Ode. Ia pun membantah adanya aliran dana ke kas PAN terkait kasus yang melilit anggota Banggar dPR tersebut."Enggak ada itu karena buktinya belum ada" Imbuh Taufik. Wa Ode ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi dugaan korupsi pembahasan anggaran 2011 tentang Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) hari Jumat (9/11). Wa Ode juga sudah dicegah ke luar negeri.

5. Asas Remedy and Rehabilitation (Pemberi ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah tuntut)
Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang sah berdasarkan UU dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum  yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan konsekuensi sanksinya bagi para pejabat penegak hukum tersebut apabila dilanggar, dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi.
Tersangka, Terdakwa, Terpidana atau ahli warisnya berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan yang sah menurut UU atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan.
Dapat diajukan dalam sidang praperadilan apabila perkaranya belum atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, tetapi apabila perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri maka tuntutan ganti kerugian dapat diajukan ke Pengadilan negeri yang memriksa perkara tersebut baik melalui penggabungan perkara maupun gugatan perdata biasa baik ketika perkara pidanaya diperiksa maupun setelah ada putusan yang telah memperoleh kekutan hukum tetap terhadap perkara pidana yang bersangkutan.

Mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh penangkapan atau penahanan dapat diajukan apabila terjadi :
a. Penangkapan atau Penahanan secara melawan hukum
b. Penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan Undang-Undang
c. Penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.
d. Penangkapan atau penahanan salah orangnya (disqualification in person)

Berdasarkan peraturan pelaksana yang dikeluarkan pada tanggal 1 Agusutus 1983 pada Bab IV PP No 27/1983 ditegaskan, ganti rugi dibebankan kepada negara cq Departemen Keuangan dan untuk itu Menteri Keuangan pada tanggal 31 Desember 1983 telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No.983/LMK.O1/1983.

Bentuk-Bentuk Ganti Kerugian :
1. Tunggal; tuntutan ganti kerugian dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang dibarengi dengan pennagkapan atau penahanan yang tidak sah, didalamnya harus tergantung satu tuntutan ganti kerugian. Karena semua tindakan yang dialakukan aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan perkara merupakan satu kesatuan proses penegakan hukum yang tak terpisahkan.
2. Alternatif; tuntutan ganti kerugian ini dibuat pemohon agar tuntutan itu mencakup semua alasan sesuai dengan jumlah tindakan yang dikenakan aparat penegak hukum kepadanya. Misalnya, dalam hal penghentian penyidikan atau penuntutan dibarengi dengan penangkapan, penahanan, atau tindakan lain yang tidak berdasarkan UU. Disamping tuntutan ganti kerugian atas alasan penangkapan atau penahanan sebagai tuntutan primair, pemohon dapat lagi mengajukan tuntutan alternatif berupa tuntutan subsidair atas alasan penghentian penyidikan atau penuntutan.
3. Kumulatif; terhadap kasus penghentian penyidikan atau penuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahanan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan UU, dapat diajukan tuntutan ganti kerugian secara kumulatif. Terhadap semua tindakan yang dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian dengan jalan menggabungkan dan menumlahkan  ganti kerugian atas masing-masing tindakan yang tidak sah tersebut.

Putusan yang diberikan Pengadilan sehubungan dengan gugatan ganti kerugian berbentuk penetapan (Pasal 96 ayat 1 KUHAP).

Rehabilitasi (Pasal 97 KUHAP) :
Yang dimaksud Rehabilitasi menurut Pasal 1 angka ke-23 KUHAP adalah :
" Hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam UU ini "

Tujuan Rehabilitasi; adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat sesorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut UU.

Lembaga yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah pengadilan, baik melalui proses persidangan biasa, maupun melalui proses persidangan praperadilan. Putusan pemberian rehabilitasi diberikan kepada terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (Ontslag van rechtsvervolging) apabila perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 97 ayat 1 KUHAP).
Sedangkan yang melalui proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke Pengadilan (Pasal 97 ayat 3 jo Pasal 77 KUHAP), Rehabilitasi dapat diajukan oleh Tersangka, terdakwa, ahli warisnya (Keluarganya) maupun kuasanya.

Permintaan Rehabilitasi atas penangkapan atau Penahanan yang tidak sah dapat diajukan kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.

Apabila pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau apabila permohonan pemohon dalam praperadilan dikabulkan oleh pengadilan maka dalam amar putusan harus dicantumkan pemberian rehabilitasi yang berbunyi " memulihkan hak terdakwa/pemohon dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabatnya ". Jadi bagi terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak perlu mengajukan permohonan rehabilitasi karena pemberian rehabilitasi tersebut dengan sendirinya harus diberikan oleh pengadilan yang memutus sekaligus mencantumkan dalam amar putusannya.
Bagaimana  jika pengadilan lalai mencantumkan amar putusan tersebut, padahal putusan perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap, ternyata KUHAP tidak memberikan jalan keluar untuk mengajukannya permohonan yang bersifat yudisial secara tersendiri.
Namun demikian karena hal tersebut merupakan kewajiban pengadilan untuk mencantumkan amar pemberian rehabilitasi dalam putusannya dan merupakan hak asasi terdakwa untuk mendapatkan rehabilitasi terhadap nama baiknya maka tidak tertutup kemungkinan dalam praktik peradilan terdakwa/pemohon dapat memperoleh hak tersebut melalui jalur hukum/yudisial.

Berikut beberapa contoh Keputusan MA yang berupa putusan pembebasan (putusan kasasi tersebut telah membatalkan putusan judex facti), akan tetapi putusan ini tidak mencantumkan amar pemberian rehabilitasi kepada terdakwa :
a. Putusan tanggal 28 Januari 1983; No 597 K/Pid/1982
b. Putusan tanggal 6 Juni 1983; No 298 K/Pid/1982
c. Putusan tanggal 4 Agustus 1983; No 1982 K/Pid/1982
d. Putusan tanggal 15 Agustus 1983; No 932 K/Pid/1982


6. Asas Fair, Impartial, Impersonal, and Objective (Peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak)
Termuat dalam Pasal 2 ayat 4 UU No 48 Tahun 2009 ; Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa :
" Peradilan dilakukan dengan Sederhana, cepat dan biaya ringan"
Sederhana; Pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Biaya Ringan ; Biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat banyak. Cepat ;  berarti segera.
Peradilan cepat sangat dibutuhkan terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim, hal tersebut tidak boleh lepas dari perwujudan HAM.
Begitu juga dengan peradilan yang bebas dan jujur, tidak memihak pihak manapun sebagaimana ditonjolkan dalam UU tersebut.
Walaupun dalam praktiknya asas ini sulit dicapai, Berikut ini adalah contoh kasusnya :
Pada umumnya orang yang berperkara di pengadilan buta hukum, oleh karena itu mereka biasanya menguasakan perkaranya kepada pengacara untuk mengurus segala sesuatu yang berkenaan dengan perkaranya di pengadilan. Apabila hal ini terjadi, biaya perkara yang ditanggung tidaklah murah sehingga "biaya ringan" tidak akan tercapai.


7. Asas Keterbukaan ( Sidang/Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum ).
Pada prinsipnya semua persidangan harus dinyatakan terbuka untuk umum, kecuali hal yang diatur dalam UU. Perlu digarisbawahi sebelumnya, dinyatakan dengan tegas bahwa yang diartikan terbuka untuk umum adalah pemeriksaan pengadilannya, jadi pemeriksaan pendahuluan, penyidikan, dan praperadilan tidak terbuka untuk umum.

Selanjutnya dalam pasal 153 ayat (3) KUHAP menyebutkan bahwa untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.

Pada dasarnya, Keterbukaan dari suatu proses peradilan diperlukan guna menjamin objektivitas dari pemeriksaan itu sendiri. Bagaimanakah halnya jika sidang tidak dilakukan demikian? Hal ini akan mengakibatkan putusan batal demi hukum, yang tercantum dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP, dan Pasal 13 ayat (3) UU No 48 Tahun 2009, karena terhadap semua perkara pidana, putusannya hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum jika diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (Pasal 13 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009, Pasal 15 KUHAP)


8. Asas Pengawasan 
Pemeriksaan dimuka umum sidang pengadilan bersifat akuator, yang berarti si terdakwa mempunyai kedudukan sebagai "pihak" yang sederajat menghadapi pihak lawannya, yaitu Penuntut Umum. Seolah-olah kedua belah pihak itu sedang "bersengketa" di muka hakim, yang nanti akan  memutuskan "persengketaan" tersebut. Pengawas disini adalah pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana.

Adapun pemeriksaan dalam sidang pengadilan bertujuan meneliti dan menyaring apakah suatu tindak pidana itu benar atau tidak, apakah bukti-bukti yang diajukan sah atau tidak, apakah pasal dan Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang dilanggar itu sesuai perumusannya dengan tindak pidana yang telah terjadi itu.

Pemeriksaan dimuka sidang pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali kalau peraturan penentuan lain, misalnya dalam hal pemeriksaan kejahatan kesusilaan dan lain-lain.

Pada dasarnya pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh Jaksa dan kemudian pelaksanaan pengawasan dan pengamatan ini dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang didelegasikan kepada hakim yang diberi tugas khusus untuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan.

Dalam praktik, seorang hakim tersebut lazim disebut sebagai " Hakim Wasmat " atau " Kimwasmat" (Bab XX Pasal 277 ayat (1) KUHAP,  Bab VI Pasal 55 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009, SEMA RI No 7 Tahun 1985 tanggal 11 Februari 1985).

Dalam Pasal 280 KUHAP juga ditegaskan :
(1) Hakim Pengawas dan Pengamat mengadakan pengawasan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Hakim Pengawas dan Pengamat mengadakan pengamatan untuk bahan penelitian demi ketetapan yang bermanfaat bagi pemidanaan, yang diperoleh dari perilaku narapidana atau pembinaan lembaga pemasyarakatan serta pengaruh timbal balik terhadap narapidana selama menjalani pidananya.
(2) Pengawas dan Pengamatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 277 KUHAP berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat.

Atas permintaan Hakim Pengawas dan Pengamat, Kepala Lembaga Pemasyarakatan menyampaikan informasi secara berkala atau sewaktu-waktu tentang perilaku narapidana tertentu yang ada dalam pengamatan hakim tersebut. Informasi yang dimaksud dengan pasal ini dituangkan dalam bentuk yang telah ditentukan (Pasal 281 KUHAP).

Jika dipandang perlu demi pendayagunaan pengamatan, Hakim Pengawas dan pengamat dapat membicarakan dengan Kepala Lembaga Pemasyarakatan tentang cara pembinaan narapidan tertentu (Pasal 282 KUHAP).

Hasil Pengawasan dan Pengamatan dilaporkan oleh Hakim Pengawas dan Pengamat kepada Ketua Pengadilan secara berkala (Pasal 283 KUHAP).
Setelah semua pemeriksaan pendahuluan selesai, Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri akan menyerahkan surat-surat itu serta bukti-buktinya dalam perkara yang bersangkutan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berkuasa, dengan permintaan supaya perkara diserahkan kepada pengadilan.
Setelah Ketua atau Hakim telah mempelajari berkas pemeriksaan pendahuluan itu dan menganggapnya cukup, maka ia menentukan suatu hari sidang, dengan memerintahkan kepada Jaksa untuk memanggil terdakwa dan saksi-saksi di muka sidang.

Pada waktu menerima panggilan si terdakwa akan diberikan salinan dari surat tuduhan yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri yang disalin dari tuduhan yang telah diajukan oleh Jaksa. Dalam surat tuduhan termuat suatu penguraian tentang perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan oleh si terdakwa yang dipandang sebagai pelanggaran Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dengan diterangkan keadaan-keadaan dalam mana perbuatan-perbuatan itu dilakukan, dengan menyebutkan pasal-pasal UU yang dilanggar.

Setelah pemeriksaan selesai Penuntut Umum (Jaksa) membacakan tuntutannya (requisitor) dan menyerahkan tuntutan itu kepada Hakim. Dan setelah Hakim memperoleh keyakinan dengan alat-alat bukti yang sah akan kebenaran perkara-perkara tersebut, maka ia mempertimbangkan hukuman apa yang akan dijatuhkannya.

Menurut R.I.B. Keputusan Hakim (Vonnis) dapat berupa :
a. Pembebasan dari segala tuduhan; apabila sidang pengadilan menganggap bahwa perkara tersebut kurang cukup bukti-bukti.
b. Pembebasan dari segala tuntutan hukum; apabila perkara yang diajukan dapat dibuktikan akan tetapi tidak merupakan kejahataan maupun pelanggaran.
c. Menjatuhkan Pidana (Hukuman); apabila tindak pidana itu dapat dibuktikan bahwa terdakwalah yang melakukan dan hakim mempunyai keyakinan akan kebenarannya.


9. Asas Equality before the Law / Asas Isonamia / Asas Persamaan dimuka Hukum.
Adalah Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak membedakan latar belakang sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan dan sebagainya.
Maksud perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan adalah bahwa didepan pengadilan kedudukan semua orang sama, maka mereka harus diperlakukan sama.
Ketentuan atas asas tersebut dinyatakan dalam Pasal 4 ayat 1 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menetukan bahwa, "Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang". Tujuan dari asas ini adalah agar memberikan jaminan kepada hak-hak asasi manusia yang mendapat perlindungan didalam negara yang berdasarkan Pancasila. Hal ini memberikan suatu jaminan hukum bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran atau perbuatan tindak pidana yang memungkinkan sanksi hukum bagi yang melakukannya baik itu dilakukan oleh Pejabat Negara atau masyarakat biasa, apabila mereka melakukan perbuatan hukum. Maka digunakan sanksi hukum sesuai dengan sanksi hukum yang berlaku.
Ada juga untuk asas ini sering dipakai bahasa Sansekerta " Tan hana dharma manrua " yang dijadikan Motto Persaja (Persatuan Jaksa)


10. Asas Presentasi (Hadirnya Terdakwa)
Pelaksanaan Pengadilan yang memeriksa perkara pidana dengan menghadirkan terdakwa.


11. Asas "Miranda Rule"
Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan pennagkapan dan atau penahanan terhadap dirinya, ialah wajib diberitahu yang jelas mengenai dakwaan dan dasar hukum apa yang didakwakan terhadap terdakwa, dan juga wajib diberitahukan hak-haknya termasuk hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum yang dimiliki tersangka/terdakwa.

12. Asas Opurtunitas
Dalam Hukum Acara Pidana dikenal suatu badan yang khusus diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut penuntut umum (Jaksa).
Wewenang penuntut dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, yang artinya tidak ada badan lain yang boleh melakukan hal itu, biasa disebut dengan dominus litis ditangan penuntut umum/Jaksa. Dominus (Latin: pemilik).
Hakim tidak dapat meminta supaya delik diajukan kepadanya, Jadi Hakim hanya menunggu saja penuntuttan dari penuntut umum.
Dalam hubungan dengan penuntutan dikenal dua asas yang disebut asas legalitas dan opurtunitas (het legaliteits en het oppurtuniteis beginsel). Adapun pendapat dari Supomo yang mengatakan sebagai berikut "Baik di Negeri Belanda maupun di Hindia Belanda berlaku yang disebut asas "Opurtunitas" dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak melakukan  suatu penuntutan, Jikalau adanya tuntutan itu dianggap tidak "Opurtun" guna kepentingan masyarakat.

13. Asas Akusator dan Inkisitor (Accusator dan Inquisitoir)
Kebebasan memberi dan mendapatkan nasihat hukum menunjukan bahwa dengaan KUHAP telah dianut asas akusator ini. Ini berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.
Asas Inkisitor berarti tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR untuk pemeriksaan  pendahuluan dalam arti terbatas, yaitu pada pemeriksaan perkara-perkara politik, berlaku asas inkisitor.
Asas Inkisitor ini sesuai dengan pandangan bahwa pengakuan tersangka merupakan alat bukti terpenting. Dalam pemeriksaan selalu pemeriksa berusaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Kadang-kadang untuk mencapai maksud tersebut pemeriksa melakukan tindakan kekerasan atau penganiayaan.


MODUL 2   
PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN

KEGIATAN BELAJAR 1 : PENGERTIAN PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN

A. PENGERTIAN PENYELIDIKAN

Definisi Penyelidikan dijelaskan oleh UU No 8 Tahun 1981 tentang Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 Angka 5 KUHAP yakni yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam UU ini.
Penyelidikan dilakukan sebelum Penyidikan, Penyelidikan berfungsi untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan permulaan penyidikan.
Ketika suatu perbuatan itu dianggap sebagai suatu tindak pidana, baru dapat dilakukan proses penyidikan. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penyidikan. Penyelidikan merupakan salah satu metode atau sub dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan Penyerahan berkas kepada penuntut umum.

B. PIHAK YANG MELAKUKAN PENYELIDIKAN

Pasal 1 angka 4 KUHAP menyatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh UU ini untuk melakukan penyelidikan.
Penyelidikan diatur dalam KUHAP pada pasl 5, pasal 9, pasal 75, pasal 102, pasal 103, pasal 104, pasal 105 dan pasal 111.
Dalam Pasal 4 KUHAP mengatur lebih spesifik lagi mengenai penyelidik, yang berbunyi sebagai berikut :
" Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia ".

Melihat Pada Pasal 1 angka 4 KUHAP dan Pasal 4 KUHAP maka dapat disimpulkan bahwa penyelidik adalah setiap Pejabat POLRI. Kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan sebagai berikut :
1. Menyederhanakan dan memberi wewenang kepastian kepada masyarakat siapa yang berhak dan berwenang melakukan penyelidikan.
2. Menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum sehingga tidak terjadii tumpang tindih.
3. Merupakan efisiensi tindakn penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi berhadapan dengan

C. WEWENANG PENYELIDIK

Didalam Pasal 5 Ayat 1 KUHAP ditentukan bahwa penyelidik karena kewajibannya mempunyai wewenang Penyelidik :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
Jika menerima pemberitahuan atau laporan, penyelidik mempunyai hak dan kewajiban untuk menindaklanjuti; Laporan berupa sedang atau akan terjadi suatu peristiwa pidana, penyelidik wajib dan berwenang menerima pemberitahuan yang disertai dengan permintaan oleh pihak yang berkepentingan untuk menindak pelaku tindak pidana aduan yang telah merugikan.

2. Mencari Keterangan Saksi dan Barang Bukti;
Penyelidikan sebagai langkah pertama  (Tak terpisahkan dari penyidikan); guna mempersiapkan semaksimal mungkin fakta, keterangan dan barang bukti sebagai landasan hukum untuk memulai penyidikan.
Penyidikan tanpa persiapan memadai mengakibatkan penydikan yang bertentangan dengan hukum atau terjadi kekeliruan terhadap orang yang di sidik.

3. Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
Tidak mungkin dapat melaksanakan kewajiban penyelidikan jika tidak diberi wewenang menyapa dan menanyakan identitas seseorang.

4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;
Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4; Tindakan lain adalah Tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat :
a) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum
b) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan
c) Harus patut dan masuk akal dan termsuk dalam lingkungan jabatannya.
d) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa
e) Menghormati HAM

Adapun  Kewenangan lain bagi penyelidik adalah berdasarkan perintah penyidik antara lain :
1) Penangkapan, Larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penyitaan.
2) Pemeriksaan dan Penyitaan Surat
3) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4) Membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.

Penyelidik membuat dan menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tindakan sebagaimana yang tersebut diatas kepada penyidik.
Kewenangan ypenyelidik tersebut sebenarnya merupakan sebagian dari kewenangan penyidikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap penyidik selain memiliki kewenangan melakukan penyidikan dengan sendirinya  berwenang juga melakukan penyelidikan, Sedangkan seorang Penyelidik kewenangannya terbatas pada penyelidikan saja. Dalam praktik hukum yang bertugas melaksanakan penyelidikan adalah Pejabat Polri yang oleh atasan/pimpinannya selaku penyidik ditugaskan melakukan penyelidikan.
Kegiatan Penyelidikan dalam lingkungan Polri dinamakan sebagai Penyelidikan Reserse, petugasnya dikenal sebagai penyelidik/reserse (detective).


D. TATA CARA PENYELIDIKAN

Penyelidik dalam melakukan penyelidikan wajib menunjukkan tanda pengenalnya (Pasal 105 KUHAP). Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan terjadinya peristiwa patut diduga tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.
Dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik, penyelidik wajib segera melakukan tindakan diperlukan dalam rangka penyelidikan, terhadap tindakan ini penyelidik wajib membuat Berita Acara dan melaporkannya kepada Penyidik sedaerah hukum (Pasal 102 ayat (1), (2), (3) KUHAP).
Laporan atau pengaduan yang diajukan secara  tertulis harus ditandatangani pelapor atau pengadu, Laporan atau pengaduan yang diajukan secara lisan harus dicatat oleh penyelidik dan ditandatangani pelapor atau pengadu atau penyelidik. Dalam hal pelapor atau pengadu tidak dapat menulis, hal ini harus disebutkan sebagai catatan dalam laporan atau pengaduan tersebut (Pasal 103 ayat (1), (2), (3) KUHAP).

Perbedaan antara Laporan dan Pengaduan :
1. Pengaduan dilakukan orang-orang tertentu saja tersebut dalam UU dan keadaan tertentu saja (Dilakukan siapa saja terhadap semua macam delik)
2. Pengaduan dapat ditarik kembali, Sedangkan Laporan tidak dapat bahkan jika tidak benar dapat dituntut melakukan delik laporan palsu.
3. Pengaduan mempunyai jangka waktu tertentu untuk mengajukan (Pasal 74 KUHAP), sedangkan laporan dapat dilakukan setiap waktu.
4. Pengaduan berisi bukan saja laporan, tetapi juga permintaan supaya yang melakukan tindak pidana dituntut.

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik wajib menunjukkan tanda pengenalnya (Pasal 105).
Penyelidik dikoordinasi, diawasi dan diberi petunjuk oleh penyidik. Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyelidik dikoordinasi, diawasi, dan diberi petunjuk oleh penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 106 KUHAP). Penyelidik adalah polisi terdepan atau paling utama yang utama yang ditugaskan untuk melakukan tugas mengungkapkan suatu tindak pidana.

Dalam KUHAP tidak ditentukan pangkat dari polisi yang bertugas melakukan penyelidikan. Pangkat polisi penyelidik tidak ditentukan dalam KUHAP, tetapi dalam PP No 127 Tahun 1983 Pasal 2; Kita dapat mengambil patokan bahwa Penyelidik adalah Polisi yang berpangkat dibawah Pembantu Letnan Dua melainkan hanya berpangkat bintara; Maka penyelidik adalah berpangkat dibawah bintara.

Penyelidikan dalam Hukum Acara Pidana, tingkat acara pidana  dibagi dalam 4 tahap :
1. Tahap Penyelidikan; dilakukan oleh Polisi Negara
2. Tahap Penuntutan; dilakukan oleh Jaksa atau Penuntut Umum
3. Tahap Pemeriksaan; didepan disang pengadilan oleh Jaksa
4. Tahap Pelaksanaan Putusan Pengadilan; oleh Jaksa dan Lembaga Pemasyarakatan dibawah pengawasan Ketua Pengadilan bersangkutan.

Berdasarkan tahap tersebut, penyelidikan merupakan suatu proses atau langkah awal yang menentukan dari keseluruhan proses penyelesaian tindak pidana yang perlu diselidiki dan diusut secara tuntas. Upaya untuk menyelidiki dan mengusut tindak pidana secara konkret dapat dikatakan penyelidikan dinilai sesudah terjadinya tindak pidana untuk mendapatkan keterangan2 tentang; 
1).tindakan pidana apa yang dilakukan 
2).kapan tindakan dilakukan 
3).dimana tindakan itu dilakukan 
4).dengan apa tindakan itu dilakukan 
5).bagaimana tindakan itu dilakukan 
6).mengapa tindakan itu dilakukan
7).siapa pelaku tindakan tersebut

Karena penyelidikan merupakan langkah awal yang menentukan dari keseluruhan tahap acara pidana maka dalam mencari keterangan-keterangan seperti di atas seseorang penyidik harus tunduk kepada ketentuan Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 8 Tahun 1981, sebab jika tahap penyelidikan tersebut sangat penting bagi proses acara pidana selanjutnya. Apabila tahap penyelidikan saja sudah banyak melakukan pelanggaran dan kesalahan di luar ketentuan UU yang berlaku maka secara otomatis tahap berikutnya akan terpengaruh, yang berarti tidak ,ungkin akan terjadi penyesatan putusan hakim.

Betapa pentingnya penyidikan perkara dalam pelaksanaan Hukum Acara Pidana dapat dilihat dalam hubungan dengan ketentuan-ketentuan KUHAP mengenai penyidikan, penuntutan, dan peradilan perkara.
Seorang penyidik harus melakukan penyelidikan secara tertib dan harus selalu memperhatikan dalil-dalil yang ada di lapangan. Seorang penyelidik harus memperhatikan dan menyidik setiap fakta yang ada di lapangan sekecil apapun karena sejalan dengan tujuan Hukum Acara Pidana. Tugas penyelidik dalam penyelidikan perkara dalah "mencari kebenaran materiil", namun dalam penyelidikan perkara pidana kebenaran materiil yang mutlak tidak akan pernah dapat diperoleh 100% karena hanya Tuhanlah yang mengetahui.
Walaupunn demikian, dengan memperhatikan setiap dalil dan fakta sekecil apapun, bukti-bukti yang berkaitan dengan perkara pidana dapat dicari sebanyak-banyaknya sehingga suatu penyelidikan dapat mendekati kebenaran bahwa ada suatu tindak pidana yang dilakukan dan siapa pelaku-pelakunya.


E. PENGERTIAN PENYIDIKAN
Penyidikan; Pasal 1 angka 2 KUHAP; adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

Perbedaan antara Penyelidikan dan Penyidikan :
1). Pada tindakan penyelidikan penekanan tindakan diarahkan untuk mencari dan menemukan suatu perisrtiwa yang di duga sebagai tindak pidana. Pada tingkat penyelidikan, tindak pidananya belum diketahui, sedangkan pada tingkat penyidikan tindak pidananya sudah diketahui, dan tindaknnya diarahkan untuk mencari dan mengumpulkan bukti agar tindak pidana yang ditemukan tersebut dapat menjadi terang serta sekaligus menemukan tersangka atau pelaku tindak pidana.
2). Dari segi kewenangan, pejabat penyelidik memiliki kewenangan terbatas karena hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana dan wewenang lain berdasarkan perintah penyidik seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan, dsb. Penyidik memiliki ruang lingkup wewenang dan kewajiban yang lebih luas dibandingkan penyelidik.

Pasal 21 UU No 26 Tahun 2000; Tugas Penyidikan dilakukan oleh Jaksa Agung; Ruang lingkup penyidikan kewenangan untuk menerima laporan atau pengaduan. Secara garis besar, Penyidikan adalah suatu proses untuk mencari bukti-bukti yang menguatkan suatu tindak pidana serta mencari tersangkanya. Tersangka adalah seseorang yang dianggap atau diduga melakukan suatu tindak pidana.

M Yahya Harahap; Penyidikan adalah tindak lanjut dari kegiatan penyelidikan dengan adanya persyaratan dan pembatasan yang ketat dalam penggunaan upaya paksa setelah pengumpulan bukti permulaan yang cukup guna membuat terang suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana.

Penyidikan berasal dari kata "Sidik" yang artinya terang; Penyidikan adalah membuat terang atau jelas. Walaupun kedua istilah "penyidikan" dan "penyelidikan" berasal dari kata yang sama, KUHAP membedakan keduanya dalam fungsi yang berbeda. 
Penyidikan artinya membuat terang kejahatan dalam bahasa Belanda disebut  "Opsporing" dan "Investigation" (Bahasa Inggris)

de Pinto; menyidik adalah pemeriksaan permulaan oleh Pejabat yang untuk itu ditunjuk oleh UU segera setelah mereka dengan jalan apapun mendengar kabar yang sekadar beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggaran  pelanggaran hukum.

Istilah dan Pengertian Penyidikan terbagi menjadi dua :
1. Secara Gramatikal; KBBI; Adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh UU untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata penyidikan adalah sidik yang berarti periksa, menyidik, menyelidik, atau mengamat-amati.
2. Secara Yuridis; pengertiannya adalah seperti tertulis dalam Pasal 1 dan 2 KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

F. PIHAK YANG MELAKUKAN PENYIDIKAN

Pasal 1 angka 1 KUHAP pengertian penyidik; "Pejabat Polisi Negara RI atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk melakukan penyidikan."

Perundang-Undangan khusus yang dimaksud adalah perundang-undangan diluar KUHAP, sebagai berikut :
1. Perundang-Undangan Pidana Khusus; seperti UU No. 8 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi, UU No. 32 Tahun 1964 tentang Tindak Pidana Devisa, UU No, 11 Tahun 1963 tentang Subversi, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Korupsi, UU No.11 Tahun 1980 tentang Suap.
2. Perundang-Undangan administrasi yang diberi sanksi pidana; yang jumlahnya banyak sekali seperti UU Tenaga Atom, UU Arsip, UU Narkotika, UU Kerja, Ordonansi Pajak, Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim, Ordonansi Izin Masuk, dll.

Pejabat yang diberi wewenang menyidik oleh perundang-undangan tersebut antara lain adalah pejabat imigrasi, bea cukai, dinas kesehatan, tera, pajak, angkatan laut untuk ordonasnsi laut tertitorial dan lingkungan maritim, dll.

Menurut Pasal 1 ayat (1) KUHAP penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khususoleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 
Sementara itu, dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP ditentukan dua macam badan yang dibebani wewenang penyidikan adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang, selain dalam ayat (1) undang-undang tersebut dalam ayat (2) ditentukan bahwa syarat kepangkatan pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang berwenang menyidik akan diatur lebih lanjuta dengan peraturan pemerintah.

Berdasarkan peraturan pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai kepangkatan penyidik yang memeriksa perkara maka berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Pasal 2 ayat (1) ditetapkan pangkat pejabat polisis menjadi penyidik yaitu sekurang-kurangnya Pembantu Letnan Dua Polisi sedangkan bagi pegawai sipil yang dibebani wewenang penyidikan adlah berpangkat sekurang-kurangnya Pengatur Muda Tingkat I (Golongan II/b) atau disamakan dengan itu.

Pengangkatan penyidik itu sendiri dilakukan oleh instansi pemerintah yang berbeda-beda, untuk penyidik pejabat polisi negara diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia, yang dapat melimpahkan weweang tersebut kepada pejabat polisi lain, sedangkan penyidik pegawai sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang membawahi pegawai tersebut.
Wewenang pengangkatan tersebut dapat dilimpahkan pula oleh Menteri Kehakiman, dan sebelum Menteri Kehakiman mengangkat penyidik terlebih dahulu meminta pertimbangan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Selain terdapat penyidik seperti yang telah dijelaskan diatas, berdasarkan Pasal 10 KUHAP terdapat pula penyidik pembantu. Penyidik pembantu berdasarakan Pasal 10 ayat (1) KUHAP adalah pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini disebutkan bahwa syarat kepoangkatan diatur dengan peraturan pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud adlah PP Nomor 3 Tahun 1983 yaitu Pasal 3 yang memuat bahwa yang disebut penyidik pembantu adalah pejabat polisis Republik Indonesia yang berpangkat Sersan Dua dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dalam lingkungan Kepolisian Negara yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara atas ususl komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.

Pekerjaan polisi sebagai penyidik dapat dikatakan berlaku seantero dunia. Kekuasaan dan wewenang (power and authority) polisi sebagai penyidik sangatlah penting dan sulit. Di Indonesia sendiri penyidik sangatlah penting peranannya karena polisi memonopoli penyidikan hukum pidana umum (KUHP) yang berbeda dengan negara-negara lainnya dan hal ini dapat terjadi karena masyarakat Inonesia adalah masyarakat majemuk yang mempunyai adat istoiadat yang berbeda.


G. WEWENANG PENYIDIK

Berdasarkan pengertian penyidikan menurut Pasal 1 ayat (2) KUHAP maka tugas pokok dari seorang penyidik adalah untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Wewenang polisi untuk menyidik meliputi kebijaksanaan polisi (polite beleid; police disrection) sangat sulit dengan membuat pertimbangan tindakan apa yang akan diambil dalam saat yang sangat singkat pada penanggapan pertama suatu delik.

swewenang penyidik polri dan pegawai negeri sipil berbeda. Tugas dan Wewenang Penyidik Polri (Psl 7 ayat 1 KUHAP) : 
(1) Menerima laporan atau pengaduan adanya tindak pidana 
(2) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian 
(3) Menyururh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal dirinya 
(4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan 
(5) Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat 
(6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang 
(7) Mengambil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersanka atau saksi 
(8) Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara 
(9) Mengadakan penghentian penyidikan 
(10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab

Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP mempunyai wewenang sesuai dengan UU yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP.

Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

Wewenang penyidik pegawai negeri sipil tertentu mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polri (Pasal 7 ayat (2) KUHAP). Dengan kata lain, wewenang penyidik pegawai negeri sipil tertentu hanya terbatas sesuai dengan UU yang menjadi dasar hukum pelaksanaan tugas mereka.

Tugas dan wewenang penyidik pembantu tertuang dalam Pasal 11 KUHAP yaitu penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1), kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik berdasarkan penjelasan pasal disebutkan bahwa pelimpahan wewenang tersebut hanya diberikan apabila perintah dari penyidik tidak dimungkinkan karena hal dan dalam keadaan yang sangat diperlukan atau di mana terdapat hambatan perhubungan di daerah terpencil atau di tempat yang belum ada petugas penyidik dan atau dalam hal lain yang dapat diterima menurut kewajaran.


H. TATA CARA PENYIDIKAN 

Penyidikan merupakan suatu tahapan yang sangat penting untuk menentukan tahap pemeriksaan yang lebih lanjut dalam proses administrasi peradilan pidana karena apabila dalam proses penyidikan tersangka tidak cukup bukti bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana yang disangkakan maka belum dapat dilaksanakan kegiatan penuntutan dan pemeriksaan di dalam persidangan.
Tujuan Penyidikan Perkara Pidana adalah untuk menjernihkan persoalan sekaligus menghindarkan orang yang tidak bersalah dari tindakan yang dibebankan kepadanya. Oleh karena alasan tersebut maka sering kali proses penyidikan yang di lakukan oleh penyidik membutuhkan waktu yang cenderung lama, melelahkan, dan mungkin pula dapat menimbulkan beban psikis.

Penyidikan dimulai sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang yang dalam instansi penyidik manakala penyidik tersebut telah menerima laporan  mengenai terjadinya suatu peristiwa tindak pidana. 
Berdasarkan surat perintah penyidikan tersebut maka penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya. Agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta dapat terkumpulnya bukti-bukti yang diperlukan penyidik harus menggunakan teknik penyidikan berdasarkan KUHAP dan bila telah dimulai proses penyidikan tersebut maka penyidik harus sesegera mungkin memberitahukan kepada penuntut umum bahwa telah dimulainya penyidikan.

Setelah diselesaikannya proses penyidikan maka penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada penuntut umum, selanjutnya tugas penuntut umum yaitu memeriksa kelengkapan berkas perkara tersebut apakah sudah lengkap atau belum.
Bila berkas perkara telah lengkap yang dilihat dalam empat belas hari penuntut umum tidak mengembalikan berkas pemeriksaan atau penuntut umum telah memberitahu bahwa berkas tersebut lengkap sebelum waktu empat belas hari maka berkas perkara dapat dilanjutkan prosesnya ke persidangan, namun bila belum lengkap maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi sesuai petunjuk penuntut umum, misalnya dilakukan penyidik tambahan. Setelah melengkapi sesuai petunjuk penuntut umum, penyidik menyerahakan kembali ke penuntut.

KEGIATAN BELAJAR 2 : 
UPAYA PAKSA DALAM PENYIDIKAN

Sering ditemukan tindakan yang menyimpang selama proses penyidikan, bahkan hal itu merupakan metode yang dianggap wajar oleh pejabat penyidik. Dalam rangka mengumpulkan buti-bukti, penyidik diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sehingga memungkinkannya untuk menyelesaikan penyidikan itu dan siap untuk diserhkan kepada Penuntut Umum. Kewenangan-kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu tersebut akan disesuaikan secara kasuistis, termasuk untuk melakukan tindakan di tempat kejadian atau upaya-upaya yang bersifat memaksa / dwang middelen.

A. PENANGKAPAN

1. Definisi Penangkapan
Penyidik memiliki kewenangan untuk mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang, namun wewenang ini harus tetap berlandaskan hukum serta prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin keseimbangan antara perlindungan kepentingan tersangka pada satu pihak, dan kepentingan masyarakat luas, kepentingan umum pada pihak lain. Salah satu wewenang yang diberikan undang-undang kepada penyidik yang bersifat pembatasan kebebasan dan hak asasi seseorang adalah bentuk penangkapan.

Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan serta dalam hal menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Penangkapan merupakan upaya paksa yang bersentuhan dengan hak asasi karena itu agar tidak dilakukan semena-mena, tindakan tersebut harus memenuhi syarat yang digariskan undang-undang. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan dengan mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasannya.

Meskipun KUHAP mengamanahkan tugas tersebut kepda kepolisian dengan pertimbangan kesiapan fisiknya, tetapi penyidik tertentu seperti penyidik tindak pidana Kepabeanan, Imigrasi, Perikanan, dan tindak pidana korupsi sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dapat juga melakukan penangkapan.

2. Alasan Penangkapan
Perintah penangkapan tersebut dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan dapat dilakukan untuk paling lama 1 hari (Pasal 17 jo. Pasal 19 KUHAP). Syarat bukti permulaan yang cukup ini dijelaskan dalam Pasal 17 KUHAP yaitu :
" Yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 14 KUHAP "
Pasal 1 angka 14 KUHAP :
" Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana ".

kombinasi dari kedua pasal tersebut artinya bukti permuolaan yang cukup tidak hanya untuk menduga telah terjadi tindak pidana, tetapi juga menduga seseorang itu adalah pelakunya. Hal ini dimaksudkan agar penangkapan tidak dilakukan secara gegabah sehingga tidak terjadi kekeliruan dalam pelaksanaan penangkapan. 
Dalam praktiknya bukti permulaan yang cukup tersebut dapat diartikan sebagai bukti minimal mengacu kepada alat-alat bukti sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP.

Definisi bukti permulaan yang cukup sesungguhnya masih belum jelas karena Pasal 1 angka 14 KUHAP sendiri tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup. Oleh karena itu dalam praktik, masalah ini sangat tergantung penilaian obyektif penyelidik dan penyidik. Namun sebagai pedoman dalam praktik menurut Rapat Kerja Mahkamah Agung Kehakiman Kejaksaan Polisi (MAKEHJAPOL-1) tanggal 21 Maret 1984, menyimpulkan bahwa bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal laporan polisi ditambah satu alat bukti lainnya.

Dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dapat dilakukan setiap orang atau tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkapan harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu terdekat.

3. Tata Cara Penangkapan
Tata cara penangkapan diatur dalam Pasal 18 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
  1. Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
  2. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat.
  3. Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

B. PENAHANAN

1. Definisi Penahanan
Penahanan merupakan salah satu bentuk tindakan yang bersifat membatasi atau mengurangi kebebasan dan hak asasi manusia seseorang. Kewenangan penahanan tidak hanya dimiliki oleh penyidik, tetapi juga oleh instansi penegak hukum lain yaitu penuntut umumdan hakim dalam peradilan.
Penahanan dan juga penangkapan terkait dengan masalah hak asasi manusia atas kemerdekaan dan keselamatan. Secara jelas hak atas kemerdekaan seseorang dirumuskan dalam Pasal 9 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights), yaitu :
" Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan, atau dibuang secara sewenang-wenang ".

Oemar Seno Adji berpendapat bahwa legalitas dari suatu penahanan baru merupakan suatu jaminan yang cukup apabila ia disertai 2 hal yaitu :
  1. Tersangka atau terdakwa harus dapat mengetahui setelah ia ditahan sifat dari sangkaan atau dakwaan yang dihadapkan padanya;
  2. Jika tersangka atau terdakwa menyadari pentingnya sangkaan atau dakwaan, ia harus mempunyai hak seketika itu untuk mengadakan hubungan dan konsultasi dengan seorang penasihat hukum menurut pilihannya.
Penahanan itu sendiri memiliki pengertian penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum, atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalamUU ini (KUHAP).

2. Masa Penahanan
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah undang-undang, penyidik berwenang melakukan penahanan, dan berlaku paling lama 20 hari. Apabila diperpanjang guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum untuk paling lama 40 hari (Pasal 24 ayat 2 KUHAP).

Guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap tersangka yang diancam dengan pidana 9 tahun atau lebih dapat diperpanjang 2 kali berturut-turut masing-masing selama 30 hari oleh Ketua Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena (Pasal 29 KUHAP) :
  1. Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik mental yang berat, yang dibuktikan dengan surat keteranagan dokter, atau;
  2. Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara sembilan tahun atau lebih.
Dalam pelanggaran HAM berat, utuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan penahanan paling lama 90 hari. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 90 hari oleh Ketua Pengadilan HAM berdasarkan Pasal 13 ayat 1 dan ayat 2 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Sedangkan Pasal 73 ayat 6 UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh Penuntut Umum paling lama 10 hari.

Dalam tingkat penuntutan, menurut Pasal 25 ayat 1 KUHAP Penuntut Umum untuk kepentingan penuntutan berwenang melakukan penahanan paling lama 20 hari, dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 hari  dan terhadap ancaman pidana yang disangkakan 9 tahun atau lebih, seperti halnya dalam penyidikan berdasar Pasal 29 KUHAP dapat diperpanjang 2 kali berturut-turut masing-masing selama 30 hari. Pengecualian hanya terhadap terdakwa yang masih anak-anak, hanya dapat dilakukan penahanan paling lama 10 hari, dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri paling lama 15 hari (Pasal 46 UU No.3 Thun 1997)

Dalam penahanan tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan hakim, sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 21 ayat 2 KUHAP, harus diberikan juga kepada keluarganya (Pasal 21 ayat 3 KUHAP).

3. Alasan Penahanan
Alasan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP adalah :
  1.  Tersangka / Terdakwa dikhawatirkan melarikan diri
  2. Tersangka / Terdakwa dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti
  3. Tersangka / Terdakwa dikhawatirkan akan melakukan lagi tindak pidana.
4. Syarat Penahanan
Penahan dilakukan dengan didasarkan kepada :
  1. Syarat obyektif; Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 4 huruf b KUHAP.
  2. Syarat Subyektif; Selain didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku penahanan juga dilakukan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan, serta didasarkan kepada keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka/terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.
Ketentuan pelaksanaan penahanan harus memenuhi syarat obyektif yang absolut dan syarat subyektif yang bersifat relatif ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Meskipun ada alsan subyektif lain, seperti untuk keamanan diri tersangka atau terdakwa sendiri karena tindak pidana yang dilakukan menyulut reaksi dan emosi massa atau kelompok masyarakat tertentu, namun sifatnya imperatif, artinya hanya menguatkan atau mendukung syarat penahan yang secara yuridis telah menjadi koridor tindak upaya paksa terseburt, Tujuannya agar dilakukan dengan pendekatan kekuasaan semata-mata.

Meskipun kebijakan di dalam menentukan syarat subjektif bersifat relatif, tetapi pendektan kebijakan tersebut harus rasional, artinya menurut Barda Nawawi Arief pendekatan rasional memang merupakan pendekatan yang seharusnya melekat pada setiap langkah kebijakan.

Hal tersebut perlu mendapat perhatian karena mengingat penahanan tersebut merupakan tindakan pengekangan kebebasan seseorang, tidak saja berdampak secara psikologis, tetapi juga secara sosiologis yang dapat memnunculkan stigma negatif, tidak saja terhadap diri tersangka/terdakwa, tetapi juga terhadap keluarganya.

5. Jenis Penahanan
Menurut jenisnya, penahanan dapat berupa penahanan rumah tahanan negara (Rutan), penahan rumah, penahanan kota. Selama belum ada rumah tahanan negara di tempat yang bersangkutan, penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian negara, di kantor kejaksaan negeri, di lembaga pemasyarakatan, di rumah sakit dan dalam keadaan yang memaksa ditempat lain.

Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan. Penahanan kota dilaksanakan di ota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka, dengan kewajiban bagi tersangka melapor diri pada waktu yang ditentukan.

6. Penangguhan Penahanan
Penangguhan penahanan dapat dilakukan berdasrkan permintaan tersangka atau terdakwa dengan syarat-syarat yang ditentukan, baik berupa jaminan uang atau orang. Penangguhan penahanan tersebut dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim sesuai kewenangannya masing-masing, dan sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan tersebut dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat-syarat sebagaimana yang telah ditentukan.
Syara-Syarat penanguhan sebagai berikut :
a. Syarat Umum
1) Wajib Lapor
2) Tidak keluar rumah atau kota
b. Syarat Khusus
1) Jaminan uang atau orang (pihak lain yang memberi jaminan berupa uang)
2) Besarnya uang jaminan yang disepakati dititipkan ke panitera PN setempat
3) Bukti seroran dibuat rangkap 3 (untuk penyetor, arsip, dan instansi yang melakukan penahanan)
4) Uang jaminan akan menjadi milik negara (disetorkan ke Kas Negara), apabila pemohon melarikan diri, dan setelah 3 bulan di cari tidak ditemukan
5) Uang jaminan akan kembali pada pemilik apabila penangguhan dicabut, putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap
6) Pengambilan atau perampasan ditetapkan oleh pengadilan negeri

Prosedur penangguhan penahanan dilaksanakan setelah permohonan penangguhan penahanan diajukan oleh tersangka/terdakwa maka apabila pejabat yang berwenang menyetujuinya sebelum dibuat Surat Perintah Penangguhan Penahanan oleh pejabat yang berwenang, terlebih dahulu dibuat suatu kesepakatan yang memuat syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh pihak keluarga tersangka/terdakwa, atau penasihat hukumnya, dituangkan di dalam suatu berita acara perjanjian yang ditandatangani kedua belah pihak, termasuk penasihat hukum bilamana bertindak sebagai penjamin dibawah sumpah atau sumpah jabatan ataupun dapat juga berupa pembayaran uang pengganti.


C. PENGGELEDAHAN

1. Definisi Penggeledahan
Menurut M. Yahya Harahap, penggeledahan adalah adanya seorang atau beberapa orang petugas mendatangi dan menyuruh berdiri seseorang. Lantas petugas tadi memeriksa segala sudut rumah ataupun memeriksa sekujur tubuh orang yang di geledah.

Diterangkan dalam KUHAP bahwa penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untutk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertututp lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan dan atau penangkapan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Sedangkan penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.

2. Pihak Pelaku Penggeledahan
Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah atau penggeledahan pakaian, atau penggeledahan badan menurut tata cara yang ditentukan dalam KUHAP. Penggeledahan rumah mencakup pula memasuki rumah, kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki ruang tempat sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan serta ruang tempat sedang berlangsung sidang pengadilan.

3. Tata Cara Penggeledahan
Dalam hal tidak tertangkap tangan, penyidik dapat melakukan penyidikan mengadakan penggeledahan rumah dengan tata cara sebagai berikut :
  1. Membawa surat izin dari Ketua Pengadilan Negeri (KPN) setempat dalam melakukan penyidikan maka penyidik dapat mengadakan penggeledahan rumah yang diperlukan.
  2. Petugas membawa dan menunjukkan suratb tugas dan izin dari KPN. Harus ada saksi, dalam hal pemilik mengizinkan harus ada dua saksi dari lingkungan setempat.
  3. Dalam hal pemilik tidak mengizinkan atau tidak hadir maka harus disaksikan oleh ketua lingkungan setempat dan dua orang saksi dari lingkungannya.
  4. Membuat berita acara pemeriksaan paling lambat 2 hari setelah penggeledahan
  5. Melakukan penjagaan di sekitar tempat penggeledahan
  6. Penggeledahan yang bersifat mendesak dapat dilakukan tanpa izin KPN, namun penyidik tetap harus membuat berita acaranya dalam waktu maksimum 2 hari setelahnya dan dilaporkan ke KPN sekaligus untuk minta persetujuannya.
Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak sehingga tidak mungkin untuk mendapat surat izin terlebih dahulu maka penyidik dapat melakukan penggeledahan :
  1. Pada halaman rumah tersangka bertempat tinggal, berdiam, dan atau ada yang ada di atasnya;
  2. Pada setiap tempat lain tersangka bertempat tinggal, berdiam, atau ada yang di atasnya;
  3. Di tempat tindak pidana dilakukan atau terdapat bekasnya;
  4. Di tempat penginapan dan tempat umum lainnya.
Dalam hal penggeledahan di luar wilayah kerja (hukum) penyidik :
a. Melakukan Sendiri :
    1) Izin tetap dari KPN di wilayah hukum penyidik;
    2) Memberitahukan kepada KPN setempat;
    3) Didampingi oleh penyidik setempat
b. Penggeledahan didelegasikan :
    1) Penyidik mengirimkan permintaan dan surat izin dari KPN
    2) Penyidik setempat melaporkan adanya permintaan dan menunjukkan surat izin 
        penggeledahan
    3) Penyidik Pelaksana membuat berita acara dan diserahkan pada penyidik yang 
        mendelegasikan penggeledahan.
c. Dalam hal penggeledahan badan :
    1) Terdapat alasan yang kuat terdapat benda yang dapat disita, disimpan, atau terdapat dalam 
        tubuh tersangka;
    2) Khusus untuk pemeriksaan rongga tubuh dilakukan oleh petugas yang mempunyai jenis 
        kelamin  yang sama dan dilakukan di tempat tertututp.


D. PENYITAAN

1. Definisi Penyitaan
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

Dalam Universal Declaration of Human Rights, hak milik orang dilindungi. Hal itu tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) dan (2) sebagai berikut :
"Everyone has the to own property alone as well as in association with others".
"No one shall be arbitrarily deprived of his property".

Yang artinya "setiap orang berhak mempunyai milik baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain dan tiada seorangpun boleh merampas miliknya dengan semena-mena". Oleh karenaitu, penyitaan yang dilakukan guna kepentingan acara pidana dapat dilakukan dengan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang.

Sering terdengar istilah pembeslahan atau perampasan atas benda atau barang yang ada kaitannya dengan tindak pidana. Pengertian "membeslah" sama dengan menyita, yakni mengambil barang atau benda dari kekuasaan pemegang benda itu untuk kepentingan pemeriksaan dan bahan pembuktian.
Sementara itu perampasan benda atau barang, artinya lain dengan pembeslahan atau penyitaan . Perampasan adalah tindakan hakim yang berupa putusan tambahan pada pidana pokok sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 10 KUHP yakni mencabut dari hak pemilikan seseorang atas benda itu. Dengan demikian, benda itu oleh penetapan hakim dirampas dan kemudian dapat dirusakkan atau dibinasakan atau bahkan dijadikan sebagi milik negara.

2. Tata Cara Penyitaan
a. Penyitaan biasa :
  1. Berdasarkan surat izin ketua pengadilan negeri setempat
  2. Penyitaan oleh penyidik terlebih dahulu menunjukkan tanda pengenal;
  3. Menunjukkan barang yang disita kepada pemilik/yang menguasai atau keluarganya
  4. Penyitaan disaksikan oleh kepala lingkungan atau kepala desa atau warga setempat sebanyak dua orang saksi.
  5. Dibuat berita acara penyitaan, dibacakan dan apabila mereka telah menerima, memberi tandatangan oleh pemilik atau yang menguasai atau keluarganya, serta para saksi;
  6. Membungkus benda sitaan dirawat, dijaga, dan diberi :
        a) Catatan jenis, ukuran, berat barang yang disita.
        b) Tanggal penyitaan
        c) Tempat penyitaan
        d) Identitas pemilik/penguasa barang
        e) Dibubui lak, ditandatangani penyidik dan distempel
        f) Apabila tidak dapat dibungkus cukup diberi catatan dan ditempelkan pada benda sitaan

b. Penyitaan dalam keadaan perlu dan mendesak; dapat dianalogikan dengan penjelasan Pasal 34 ayat 1 KUHAP, adapun tata caranya sebagai berikut :
  1. Terdapat kekhawatiran, bahwa barang yang akan disita akan dilarikan atau dimusnahkan atau dipindahkan
  2. Dapat dilakukan tanpa surat izin KPN
  3. Dalam waktu 2 x 24 jam harus melaporkan kepada KPN untuk dimintakan persetujuan
  4. Waktu penyitaan petugas menunjukkan surat pengenal
  5. Menunjukkan barang yang disita kepada pemilik/yang menguasai atau keluarganya.
  6. Disaksikan oleh 2 warga lingkungan setempat, dan ketua lingkungan setempat
  7. Dibuat berita acara penyitaan, dibacakan dan apabila mereka telah menerima, memberi tandatangan oleh pemilik atau yang menguasai atau keluarganya, serta para saksi
  8. Benda yang disita dibungkus seperti dalam catatan pada huruf f, nomor 1 diatas
  9. Laporan (tembusannya) dilaporkan kepada :
        a) KPN untuk dimintakan persetujuan;
        b) Pemilik/penguasa barang atau keluarganya;
        c) Kepala Lingkungan;
        d) Atasan petugas.

c. Penyitaan dalam keadaan tertangkap tangan;
  1. Penyitaan terhadap benda yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan;
  2. Benda yang patut diduga merupakan hasil kejahatan;
  3. Benda lain yang dapat dipergunakan sebagai barang bukti;
  4. Penyitaan terhadap paket atau surat yang dikirim melalui jasa pengiriman barang/surat.
d. Penyitaan tidak langsung;
  1. Penyerahan barang bukti atau surat oelh pemilik/penguasa kepada penyidik;
  2. Penyidik mengeluarkan perintah agar menyerahkan barang bukti secara sukarela;
  3. Penyerahan dibuat berita acara;
e. Penyitaan Surat, Dana, atau Tulisan lainnya :
  1. Surat dapat disita atas persetujuan yang menyimpan atau yang menguasai;
  2. Terhadap surat-surat, apabila pejabat yang bersangkutan keberatan harus ada izin khusus dari KPN; 
  3. Surat yang menyangkut rahasia negara tidak dapat disita;
  4. Atas izin majelis pengawas daerah, minut akte notaris dapat disita;
  5. Izin khusus dapat diberikan dengan memperhatikan urgensi dan relevansi penyitaan;

3. Benda yang Dapat Disita
Ketentuan yang mengatur mengenai benda yang dapat disita adalah Pasal 39 KUHAP :
a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari    tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
b. Benda yang dipergunakan atau untuk mempersiapkan tindak pidana.
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana
d. Benda yang secara khusus dipergunakan untuk melakukan tindak pidana
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana
f. Benda yang dalam sitaan atau pailit dalam perkara perdata dapat disita sepanjang memenuhi persyaratan

4. Tempat Penyimpanan Benda Sitaan
a. Disimpan di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan)
b. Tanggung jawab pemeliharaan dan pengamanan (fisik ada pada Rupbasan, namun tanggung jawab yuridis dibawah penegak hukum sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara.
c. Apabila di wilayah hukum pengadilan negeri setempat belum ada Rupbasan maka penyimpanan dapat ditempatkan :
    1) Kantor Kepolisian
    2) Kantor Kejaksaan
    3) Kantor Pengadilan
    4) Bank Pemerintah
    5) Dalam keadaan memaksa dapat disimpan pada tempat khusus,
        atau pada tempat semula benda tersebut berasal.

5. Lelang Benda Sitaan
Lelang benda sitaan pada waktu perkara belum memperoleh putusan hukum tetap dilakukan apabila :
a. Benda sitaan mudah rusak, busuk, sehingga tidak mungkin disimpan sampai dengan putusan berkekuatan hukum tetap.
b. Biaya penyimpanan terlalu tinggi/mahal

6. Pejabat yang dapat menjual lelang :
a. Penyidik dalam tingkat penyidikan
b. Penuntut Umum pada tingkat penuntutan
c. Penuntut Umum atas izin hakim PN, hakim PT, atau hakim agung (sesuai pada tingkat pemeriksaannya, apabila perkara sudah diperiksa di pengadilan
d. Penjualan lelang dilakukan oleh pejabat kantor lelang negara, setelah berkonsultasi dengan pejabat yang mempunyai kewenangan (sesuai dengan tingkat pemeriksaan perkara)
e. Saat lelang harus disaksikan oleh tersangka/terdakwa atau kuasa hukumnya
f. Hasil lelang disimpan di Rupbasan sebagai pengganti barang bukti
g. Kalau memungkinkan disisakan sedikit guna lampiran alat bukti di pengadilan;
h. Benda terlarang tidak boleh dijual lelang, namun dimusnahkan atau dirampas untuk kepentingan negara
i. Pengembalian benda sitaan, dilakukan apabila :
    1) Pemeriksaan perkara tidak memerlukan lagi;
    2) Perkara bukan merupakan tindak pidana
    3) Perkara dihentikan demi hukum;
    4) Perkara tidak dilanjutkan demi kepentingan umum;
j. Peminjaman barang dapat diberikan :
    1) Penyidik atau Penuntut umum (sesuai dengan tingkat pemeriksaannya)
    2) Diberikan kepada orang dari siapa benda itu disita.
    3) Dilaporkan ke KPN (apabila perkara sudah disidangkan dan harus izin hakim yang 
        memeriksa perkara
k. Penyitaan di luar wilayah hukum PN 
    1) Dilakukan Sendiri
        a) Ada izin dari KPN yang memeriksa perkara;
        b) Memberitahukan kepada penyidik dan KPN setempat;
        c) Penyitaan didampingi oleh penyidik setempat;
        d) Pelaksanaan penyitaan disaksikan oleh 2 orang saksi dan kepala lingkungan setempat
        e) Surat perintah penyitaan, apabila tidak dilakukan oleh penyidik sendiri
        f) Menunjukkan tanda pengenal;
    2) Didelegasikan kepada penyidik setempat :
        a) Penyidik mengajukan permintaan kepada penyidik setempat, dengan dilampiri surat izin 
            penyitaan dari KPN yang memeriksa perkara;
        b) Penyidik setempat melaporkan ke KPN tentang adanya permintaan;
        c) Penyidik setempat melaksanakan penyitaan sesuai dengan tata cara penyitaan 
            sebagaimana mestinya.
        d) Hasil penyitaan diserahkan pada penyidik yang berkepentingan dan dilaporkan
            ke KPN setempat.


MODUL 3 :
PRAPENUNTUTAN, PENUNTUTAN, DAN DAKWAAN

Jika terjadi pelanggaran terhadap hukum maka hukum akan bertindak melalui instrumennya yaitu para penegak hukum. Para penegak hukum akan memproses suatu perkara mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan sampai dengan proses pemeriksaan di pengadilan.
Hal ini dimaksudkan untuk mencari kebenaran materiil yang merupakan tujuan dari hukum acara pidana. Dalam upaya untuk mencari keadilan dan kebenaran materiil terhadap suatu perkara pidana maka diperlukan kinerja yang optimal dari para penegak hukum. 
Kinerja yang optimal dimjulai proses pemeriksaan pada tingkat prapenuntutan sangat diperlukan dalam mewujudkan keadilan serta kepastian hukum. Prapenuntutan dilakukan sebelum suatu perkara diajukan ke pengadilan dan menentukan keberhasilan penuntutan, artinya tindakan prapenuntutan sangat penting guna mencari kebenaran materiil yang akan menjadi dasar dalam proses penuntutan.


KEGIATAN BELAJAR 1 :
PRAPENUNTUTAN DAN PENUNTUTAN

A. PENGERTIAN PRAPENUNTUTAN

Definisi prapenuntutan menurut Andi Hamzah adalah "tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan 
            
    


    
     

MODUL SEMESTER SATU

More »

MODUL SEMESTER DUA

More »

MODUL SEMESTER TIGA

More »

MODUL SEMESTER EMPAT

More »

MODUL SEMESTER LIMA

More »

MODUL SEMESTER ENAM

More »

MODUL SEMESTER TUJUH

More »

MODUL SEMESTER DELAPAN

More »

ILMU ADMINISTRASI BISNIS

More »

PROFESI ADVOKAT

More »

SEMESTER SATU ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER DUA ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER TIGA ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER EMPAT ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER LIMA ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER ENAM ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER TUJUH ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER DELAPAN ADMINISTRASI BISNIS

More »

NGOMPOL

More »

OPINI

More »