DEMOKRASI DAN BUDAYA POLITIK INDONESIA

 


oleh Adi Suryadi Culla

Abstrak 

Demokratis tidaknya suatu negara dapat dilihat dari budaya politiknya. Sebab, budaya politik merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap sistem politik di negara tersebut. Budaya politik itu sendiri berkembang di dalam kehidupan masyarakat dan dipengaruhi oleh kompleksitas nilai yang dalam masyarakat tersebut. Jika budaya politiknya mendukung berkembangnya demokrasi, atau yang disebut civic culture, maka niscayanya sistem politiknya juga demokratis. Dalam kasus Indonesia, pasca Orde Baru, perubahan politik yang terjadi cenderung lebih bersifat legalistik ketimbang substantif. Sistem politik yang berhasil dibangun baru sampai pada betntuk demokrasi semu (pseudo demokrasi); pada dasaranta tataran perbubahan isntitusional yang sudah berlangsung tersebut belum ditunjang pula oleh terjadinya perubahan pada tataran budaya politik.

Pengantar

Untuk melihat tingkat kehidupan demokratis suatu negara, tergantung pada budaya politiknya. Budaya politik merupakan variabel determinan atau berpengaruh terhadap sistem politik. Adakah masyarakat Indonesia memiliki potensi budaya politik yang kondusig bagi berkembangnya sistem demokrasi? Pertanyaan ini kiranya menarik untuk dikaji kembali sehubungan dengan berkembangnya tuntutan demokratisasi yang kini sedang marak sejak keruntuhan rezim Orde Baru di Indonesia.

Indonesia adalah sebauh wilayah dengan karateristik budaya masyarakatnya yang unik dan kompleks. Dilihat dari segi asal-usulnya, masyarakat Indonesia merupakan produk sejarah dari pencampuran berbagai macam ras, yang membangun kehidupan bersama dan bersebaran, dari banyak pulau/kepulauan, dengan identitas religus yang dipengaruhi oleh terutama empat corak agama besar (Hindu, Budha, Islam, dan Kristen), dan terdiri dari ratusan jumlah etnik dengan bahasa yang berlainan, dan sebagainya.

Dengan ciri masyakaratnya yang bersifat plural itu, maka dapat dilihat sebagai pengaruh yang ada terhadap pembentukan budaya masyarakatnya. Misalnya, aspek sejarah, geografi, pluralitas agama, etnik, ras, dan bahasa. Maka, tidaklah mengherankan jika gambaran masyarakat di setiap daerah pun memiliki karateristik budaya yang beragam.

Tidak perlu disebtukan di sini berbagai macam studi yang telah dilakukan para ahli maupun lembaga tertentu yang mengungkapkan gambaran mengenai corak budaya masyarakat Indonesia yang beraneka ragam. Mulai dari masyarakat yang terdapat di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara Timur dan Barat, dan Irian Jaya (Papua). Yang jelas, di masingmasing daerah pulau/kepuluan tersebut, hidup beragam kelompoke etnik dengan karateristik budayanya sendiri. Gambaran sifat multi-culture, tersebut dengan segala kompleksitas faktor sosio-historis yang mempengaruhinya, tentu harus dipertiimbangkan dalam memahami budaya asli masyarakat Indonesia.

Sayangnya, dari berbagai studi yang ada, perhatian masih jarang dilakukan secara spesifik untuk mengkaji lebih dalam akar nilai-nilai demokrasi berdasarakan budaya politik yang berkembang dalam setiap masyarakat daearah. Ada alasan sederhana mengapa hal ini mungkin tidak terlalu menarik minat para sarjana dan peneliti. Penyebabnya terutama adalah karena terlanjurnya muncul persepsi umum bahawa dalam budaya politik lokal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia tidak terdapat nilainilai demokrasi; apalagi jika masalah ini dipahami menurut berbagai rujukan konsep politik moderen.

Tetapi, pertanyaan: apakah benar dalam budaya politk lokal di Indonesia tidak terdapat nilai-nilai demokratis? Pertanyaan ini membuat kita perlu membuat pendifinisian atau konseptualisasi mengenai apa sesungguhnya yang kita maksudkan jika berbicara tentang demokrasi.

Yang pasti demokrasi bukanlah sebuah konsep yang abstrak atau normatif belaka, tetapi sekaligus merupakan cerimanan perilaku yang melekat pada diri manusia sebagai warga masyarakat. Demokrasi merupakan suatu konsep ideal yang ketiak diwujudkan dalam kehidupan bernegara memerlukan ukuran-ukuran tertentu, dalam kaitannya dengan relaitas politik yang dirujuk. Kriteria-kriteria tersebut menjadi ukuran nasional, termasuk dari segi budaya, untuk menilai apakah suatu masyarakat tertentu memiliki budaya politik yang demokratis atau tidak.

Memahami Kriteria Demokrasi

Banyak sekali pengertian tentang demokrasi yang telah dirumuskan oleh para ilmuwan dan teoritis. Dari sejumlah pengertian tersebut, meskipun terdapat perbedaan nuansa konseptual, terutama jika dilihat dari identifikasi kriteria normatif yang dirumuskan oleh masingmasing teoritis, pada dasarnya terdapat persamaan-persamaan penting yang menunjukkan universalitas konsep demokrasi berdasarkan krteria-kriteria yang menjadi cerminan perwujudan konsep tersebut.

Herry B. Mayo, misalnya, mencatat setidaknya delaapan ciri utama yang harus diperhatikan untuk menilai apakah sebuah masyarakat bersifat demokratis atau tidak, yaitu: (1) adanya penyelesaian perselisihan dengan damai dan suka rela; (2) adanya jaminan bagi terjadinya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah; (3) adanya pergantian penguasa yang berlangsung secara tearatur; (4) adanya pembatasan atas pemakain kekerasan (pakasaan) secara minimum; (5) adanya pengakuan dan penghormatan atas keanekaragaman; (6) adanya jaminan penegakan keadilan; (7) adanya upaya memajukan ilmu pengetahuan; (8) adanya pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan.2

Sedangkan William Ebenstein menyebutkan sekitar delapan ciri utama yang dapat dijadikan acuan untuk memhami dan mengukur demokratis atau tidaknya kehidupan politik sebuah masyarakat, yaitu: (1) emperisme rasional; (2) penekanan pada individu; (3) negara sebagai alat; (4) kesukarelaan (voluntarism); (5) hukum diatas hukum; (6) penenkanan pada cara; (7) musyawaram mufakat sebagai dasar dalam hubungan antar manusia; dan (8) azas persamaan semua manusia.3 Kesemua ciri ini diletakkan dalam konteks pengharagaan setiap orang dalam mengekspresikan diri dan kepentingannya.

Akan halnya Carter dan Hertz mengonseptualisasi tujuh ciri demokrasi, yaitu: (1) pembatasan terhadap tindakan pemerintah dengan menjamin terjadinya pergantian pemimpin secara berkala, tertib, damai, melalui alat-alat perwakilan rakyat yang efektif; (2) mengharagai sikap toleransi terhadap perbedaan pendapat yang berlawanan; (3) menjamin persamaan di depan hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa membedakan kedudukan politik;(4) adanya kebebasan berpartisipasi dan berposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perorangan, termasuk bagi pers dan media massa; (5) adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk meberikan pendapatnya betapapun tampak masalah dan tidak populer; (6) penghargaan terhadap hak-hak minoritas dan perorangan; (7) pengunaan cara persuasif dan diskursif ketimbang koersif dan repersif.4

Adapun Robert A. Dahl mengajukan lima kriteria demokratis, yakni: (1) persamaan hak pilih dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat; (2) partisipasi efektif, yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan keputusan secara kolektif; (3) pemebebaran kebenaran, yaitu adanya peluang yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya proses politik dan pemerintahan; (4) kontrol terakhir terhadap agenda, yaitu adanya kekuasaan eksklusif bagi masyakarakat untuk menentukan agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui pemerintahan; (5) pencakapan, yaitu terliputnya masyarkat dalam kaitannnya dengan hukum.5

Selanjutnya, Andrews dan Chapman mengemukakan enam ciri demokrasi, yaitu: (1) hak suara yang luas; (2) pemilihan umum yang bebas dan terbuka; (3) kebebasan berbicara dan berkumpul; (4) pengharagaan aats rule of law; (5) pemerintah yang bergantung pada parlemen; dan (6) badan pengadilan yang bebas.6

 

Sedangkan Ulf Sundhauessen menyebutkan tuga syarat demokrasi untuk suatu sistem politik, yaitu: (1) jaminan atas hak seluruh warga negara untuk dipilih dan memilih dalam pemilu yang dilaksanakan secara berkala dan bebas; (2) semua warga negara menimkmati kebebasan berbicara, berorganiasasi, memperoleh informasi, dan beragama; (3) dijaminanya hak yang sama di depan hukum.7

Sementara Amin Rais mengajukan setidaknya sepuluh kriteria sebagai berikut: (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan; (2) persamaan di depan hukum; (3) distribusi penpatan secara adil; (4) kesempatan pendidikan yang sama; (5) pengakuan dan penghargaan terhadap empat macam kebebasan: kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan media massa, kebebasan berkumpul, dan kebebasan beragama; (6) ketersediaan dan keterbukaan infromasi; (7) mengindahkan fatsoen (tatakrama); (8) kebebasan individu; (9) semangat kerjasama; dan (10) hak untuk protes.8

Demikianlah, berdasarkan beberapa pendapat yang dikemukakan di aats, tampak bertapa variasinya ciri-ciri demokrasi yang dapat dikemukakan. Namun demikian, dari sejumlah pendapat tersebut, terdapat beberapa kriteria demokrasi yang menjadi titik persamaan dari keseluruhan pendapat tersebut, sebagai berikut:

1) Penghargaan terhadap inividu. Di sini demokrasi merupakan sebuah padangan yang lebih menonjolkan aspek individu ketimbang konektivitas;

2) Kebebasan dalam empat hal, yaitu berpendapat; berkumpul atau mengadakan rapat; kebebasan memperoleh informasi; dan kebebasan beragama;

3) Adanya persamaan kedudukan bagi setiap warga negara di depan hukum tanpa kecuali. Setiap warga negara berhak mendapatkanperlakuan hukum yang adil tanpa membedakan asal-usul maupun latar belakang sosial;

4) Adanya pemilihan pemimpin lembaga sosial dan pemerintahan yang dilakukan secara berkala.

5) Adanya hak yang dimiliki oleh setiap warga negara untuk dipilih dan memilih dalam pelaksanaan pemilu yang dilaksanakan secara berkala.

6) Adanya partisipasi masyakarakat dalam pengambilan keputusan yang mengikat secara kolektif.

7) Adanya hak masyarakat untuk menyampaikan protes dan atau menjadi oposisi berhadapan dengan penguasa;

8) Adanya penghargaan terhadap cara persuasif ketimbang kekerasan dalam menciptakan perubahan;

9) Adanya penghargaan terhadap terhadap hak-hak minoritas dalam kehidupan politik

10) Pentignya cara musyawarahmufakat dilakukan dalam penyelesaian setiap perkara dalam masyarakat.

Keseluruhan kriterian yang dikemukakan di atas kiranya dapat dijadikan basis konseptual untuk menilai ada tidaknya demokrasi yang berkembang di masyarakat Indonesia. Kriteria-kriteria tersebut mungkin sebagian ada yang sudah terwujud, sementara sebagain lainnya sudah nampak meskipun dengan perwujudan yang masih minimal. Namun, tentu saja usaha untuk mewujudkan sebagai dasar kriteria demokrasi tersebut tergantung pada demokratisasi yang mewarnai perkembangan politik Indonesia sendiri.

Budaya Politik dan Demokratisasi

Demokrasi berhubungan erat dengan demokratisasi. Demokratisasi adalah sebuah proses politik yang dijalankan oleh pemerintah bersama masyarakat untuk menciptakan kehidupan politik yang demokratis. Dalam konteks itu, berlangsungnya demokratisasi penting untuk dilihat dengan mengacu kepada dua hal utama yang menjadi dasar demokrasi. Pertama, adanya seperangkat ketentuan normatif (kriteria nilai-nilai) yang harsu terpenuhi di dalam masyarakat. Kedua, adanya suatu struktur politik yang berkembang dalam masyarakat bersangkutan yang memenuhi ketentuan normatif tersebut.

Demokratisasi pada hakikatnya merupakan suatu proses perubahan politik (political change) dari keadaan yang dianggap lebih kurang demokratis. Alasan bagi adanya perubahan politik itu sendiri adalah disebabkan oleh ketidakpuasan psikologis yang telah dialami bersama oleh masyarakat sebagai warga negara terhadap kehidupan politik yang sedang dialami. Karena itu, perubahan politik dalam konteks demokratisasi tersebut pada dasarnya merupakan sebuah usaha yang legitimate untuk dilakukan oleh masyrakat itu sendiri dalam menciptkan keadaan yang lebih sesuai dengan tuntuan budaya politik yang demokratis.

Demokratisasi tidak akan bisa berjalan bila tidak ditunjang oleh adanya budaya politik yang sesuai dengan prinsipprinsip demokrasi. Dalam berhadapan dengan tuntutan perubahan, di dalam suatu masyarakat tertentu kemungkinan terdapat dua sikap yang secara ekstrim bertentangan secara budaya, yaitu bersifat “mendukung” (positif) di satu sisi, dan kemungkinan pula bersifat “menentang” (negatif) di sisi lain. Karena itu, demokratisasi sebagai sebuah prsoses perubahan dalam menciptakan kehidupan politik yang demokratis secara logis akan dihadapkan pula dengan dua kutub sikap ekstrim, yaitu apakah dalam budaya politik masyarakat bersangkutan terdapat nilainilai yang “pro” ataukah “anti” demokrasi.

Budaya politik, menurut Almond dan Verba, merupakan sikap individu terhadap sistem dan komponenkomponenya, dan juga sikap inividu terhadap peranan yang dimainkan dalam sistem politik.9 Singkatnya, budaya politik tidak lain daripada orientasi psilogis terhadap obyek sosial, dalam hal ini sistem politik.10 Positif atau negatif sikap seseorang terhadap sistem politik yang berkembang menuju kondisi demokratis, adalah tergantung pada corak orientasi budaya politik yang dimilikinya.

Budaya politikb suatu masyarakat dengan sendirinya bekembang dipengaruhi oleh kompleksitas nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kehidupan masyarakat dipenuhi oleh interaksi antar orientasi dan antar-nilai yang memungkinkan timbulnya kontakkontak di antara budaya politik suatu kelompok atau golongan, yang mungkin lebih cepat disebut “sub-budaya politik”, yang pada dasarnya merupakan proses dimana terjadi pengembangan budaya bangsa dalam proses itu.11

Berfungsinya budaya politik dengan baik sebagai budaya bangsa yang matang, menurut Alomond dan Verba, pada prinsipnya ditentukan oleh tingkat keserasian antar kebudayaan bangsa itu dengan struktur politiknya.12 Dengan demikian, semakin serasi budaya bangsa itu dengan sturktur politiknya, maka semakin matang pula budaya politik yang ada di dalam masyarakatnya.

Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi pandangan dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang demokratis akan mendukung terciptanya sistem politik yang demokratis. Di sini yang dimaksud dengan budaya politik yang dmokratis, menurut Almond dan Verba, adalah suatu kumpulan sistem keyakinan, sikap,norma, persepsi dan sejenisnya, yang mendorong terwujudnya partisipasi.13 Budaya politik yang demokratis merupakan budaya politik yang partisipatif, yang diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, hubungan antar budaya politik denan demokrasi (demokratisasi) dalam konteks civic culture tidak dapat dipisahkan.

Adanya gambaran perwujudan sifat demokratis atau tidak dari budaya politik yang berkembang di dalam suatu masyarakat, dengan demikian tidak hanya dapat dilihat dari interaksi antar individu dengan sistem politiknya, tetapi juga interkasi antar individu dalam konteks kelompok atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain, bahwa budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat dengan struktur politiknya, dan dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam masyarakat itu.

Jadi, disamping orientasi terhadap sistem atau struktur politik, menurut Almond dan Powell, terdapat lagi aspek lain dari budaya politik yang berkaitan dengan pandangn dan sikap invidu dalam masyarakat sebagai sesama warga negara. Sikap atau pandangan ini berkaitan dengan “rasa percaya” (trust) dan “permusuhan” (hostility) yang terdapat antar warga negara yang satu dengan warga negara lainnya atau antar golongan yang satu dengan golongan lainnya dengan masyarakat.14

Perasaan-perasaan atau perilaku individual tersebut merupakan budaya politik mungkin terlihat pada pandangan dan sikap seseorang terhadap pengelompokan yang ada disekitarnya dalam bentuk kualitas politik yang sering kita temukan yaitu konflik dan kerjasama.15 Kemampuan untuk menciptakan keseimbangan antara konflik dan konsensus secara beradab, melalui prosedur yang tersedia, karena itu, juga dapat menjadi dasar penilaian dalam melihat potensi budaya politik demokratis yang berkembang dalam masyarakat bersangkutan.

Konteks Indonesia

Berbicara tentang budaya politik yang demoktratis dalam konteks masyarakat Indonesia, dengan demikian kiranya jelas gambarannya bahwa masalah yang harus diperhatiakn amat terkait dengan persoalan latar belakang “subbudaya etnik dan daerah” yang berkembang yang bersifat majemuk.16 Dengan keanekaragaman latar berlakang itu, maka kondisinya sudah pasti membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa Indonesia sendiri.

Kemungkinan dalam interaksi antar sub-budaya politik yang majemuk itu adalah terjadinya jarak tidak hanya antar budaya politik budaya daearh dan etnik yanga ada satu dengan lainnya, tetapi juga antar budaya politik pada tingkat nasional dengan budaya politik tingkat daerah. Apabila pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol didominasi oleh pandangan dan sikap antar sub-sub budaya politik yang saling berinteraksi, maka di tingkat daerah yang mungkin berkembang adalah  “sub-budaya politik” yang lebih kuat dalam arti primordial.17

Studi tentang budaya politik yang mengungkapkan adanya perbedaan ciri secara primordial mengenai setiap daerah dan etnik tertentu di Indonesia, kiranya telah banyak dilakukan oleh para ahli. Untuk menyebut beberapa nama peneliti asing, dapat dicatat antara lain Donald K. Emerson,18 Benedict Andresson, 19 william Liddle,20 Harold Crouch21 dan berbagai penelti lainnya yang telah menghasilkan karya-karya terkenal mereka. Kelemahan yang terasakan dari berbagai penelitian yang ada adalah bahwa upaya untuk mengungkap hubungan antar budaya politik daerah (lokal) dengan demokratisasi itu sendiri dalam kerangka sistem politik secara nasional tampaknya belum banyak, jika tidak dikatakan belum ada, yang mencoba secara khusus untuk mendekatinya.

Suatu budaya politik nasional yang hendak dikembangkan oleh bangsa manapun didunia, termasuk Indonesia, adalah budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokarsi. Demokratisasi sebagai suatu proses pembangunan politik menuju penciptaan civic culture atau “budaya bangsa” yang matang secara demokrasi yang selama ini diharapkan dapat tercipta sebenarnya amat ditentukan oleh berkembangnya budaya politik derah yang kondusif ke arah cita-cita tersebut.

Karena itu, dalam rangka menjawab permasalahan tersebut, maka adanya upaya untuk mengindetifikasi budaya politik daerah yang berkolerasi positif maupun negatif dengan demokratisasi amat penting artinya, untuk mengetahui dan memahami tantangan dan prospek keberhasilan demokratisasi yang kini sedang dijalankan di negeri ini. Dengan demikian, masalah yang penting dijawab adalah apakah budaya politik yang berkembang di masyarakat itu pro atau anti demokrasi?

Memang, hal yang menarik untuk digarisbawahi bahwa pertanyaan mengenai ada atau tidaknya budaya politik demokratis di Indonesia kiranya telah banyak menjadi perdebatan selama ini. Berbagai pendapat yang diperoleh dari hasil pengamatan maupun penelitian yang  masih terbatas mungkin membuat kesimpulan yang berbeda. Dua titik ekstrim dapat digeneralisasi. Pendapat pertama, di satu sisi menyatakan bahwa budaya politik demokratis tidak punya akar dalam masyarakat negeri ini. Sementara pendapat kedua, di sisi lain ada yang menyanggahnya. Masing-masing dapat saja menawarkan hasil temuan studi maupun pengamatan yang berbeda.

Pendapat yang lebih rasional dan hati-hati yang berupaya menengahi kedua titik ekstrim tersebut mungkin lebih tepat, bahwa disamping budaya anti-demokrasi, terdapat pula budaya atau benih-benih budaya yang demokratis yang berkembang dimasyarakat Indonesia. Dengan demikian, permasalahan pokoknya sesungguhnya mungkin lebih terletak pada konteks tingkatan budaya politik yang telah dicapai dalam masyarakat Indonesia, denga melihat setidaknya gejala dominan yang ditemukan dan variannya dalam kasus per kasus, serta kriteria-kriteria normatif demokrasi yang dijadikan acuan seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.

Salah satu basis argumen bagi contoh pendapat yang menungkapkan bahwa di dalam budaya asli masyarakat Indonesia, demokrasi bukan merupakan “barang baru mengacu pada sistem nilai musyawarah-mufakat. Praktik demokrasi berdasarkan prinsip musyawarah-mufakat tersebut dianggap telah berlangsung sejak berabad-abad, sejak masyrakat hidup dalam sifat perkauman di zaman kerajaankerajaan, hingga kini seperti tampak masih berusaha diperthankan di dalam kehidupan masyarakat Indonesia. 22

Tradisi yang hidup dalam masyrakat pertanian tradisional ini, yang disebut juga tradisi berembung, bahkan sudah menjadi praktik yang terlembangkan dalam bentuk yang unik di berbagai daearh seperti kerapatan Nagari, Rembung Desa, Musyawarah Subak, dan forum-forum musyawarah masyarakat desa lainnya.23 Praktik demokrasi lainnya adalah tradisi pepe atau penyampaian pendapat (protes) yang dilakukan rakyat terhadap penguasa melalui aksi diam. Tradisi ini juga telah melembaga dalam kehidupan masyrakat jawa tradisional masa lalu.

Namun demikian, berbeda dengan pendapat yang positif yang dikemukakan di atas, di sisi lain ada juga pendapat yang tampaknya cukup dominan dalam wacana politik Indonesia, yang mengemukakan bahwa budaya politik demokratis tidak dikenal dalam masyarakat Indonesia. Berbagai ciri budaya yang ditampilkan sebagai penguat argumen pendukung tesis negatif ini, antara lain mengacu pada budaya masyarakat Indonesia, seperti feodalisme, klientalisme, primodalisme (suku, agama, ras, dan pengelompokan sosial lainnya yang dianut secara emosional), dan sebagainya. Dikatakan bahwa budaya anti-demokrasi ini telah mengakar sejak dulu dan masih bertahan / dipertahankan dalam berbagai praktik kehidupan masyarakat hingga ini.

Gejala bertahannya budaya antidemokrasi tersebut dapat dilihat terutama dalam interaksi antara rakyat dengan penguasa atau antara bawahan dan atasan, baik pada lembaga birokrasi tradisional maupun modern di segala level. Budaya ini dianggap sebagai warisan masa lalu yang telah berkembang sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan di Nusantara, yang kemudian dipupuk dan dilestarikan oleh penguasa kolonial demi kepentingan mempertahankan penjajahan, namun berlanjut dan bahkan sengaja dilestarikan oleh penguasa birokrasi pemerintah di Indonesia hingga sekarang.

Perbenturan pendapat antara dua pendukung tesis pendapat di atas telah muncuk sejak awal kemederdekaan negeri ini di masa lalu, pada saat dimana ketika itu sedang diperdebatkan konsep dasar bagi proses penataan sistem politik Indonesia pasca-klonial. Dalam proses perdebatan tersebut, timbul perbedaan pandangan di kalangan elit poilitik mengenai sistem politik yang dianggap sesuai dengan budaya Indonesia. Cermin perbedaan ini tampak terutama dalam sosok Hatta dan Seokarno. Kedua pemimpin memiliki prsepsi yang berbeda mengenai demokrasi. Dalam konteks kelembagaan, corak sistem demokrasi parlementer seperti yang tampak pada tahun 1949 hingga 1950-an merupakan reprentasi cita-cita Bung Hatta, sedangkan Demokrasi Terpimpin seperti dipraktikkan pada tahun 1959 hingga pertengahan 1960- an, adalah cerminan cita-cita penggasnya, Seokarno.

Kedua sistem politik (Demokrasi Libera dan Demokrasi Termpinpin) yang pernah dilalui dalam sejarah bangsa Indonesia tersebut, oleh banyak penilian, dibedakan secara krusial sebagai periode demokrasi dan otoritarisme. Dalam konteks budaya politik, di satu pihak periode Demokrasi Parlementer yang disokong oleh Bung Hatta tersebut oleh Soekarno dipandang sebagai cerminan praktik demokrsi berdasarkan budaya Barat, sementara di sisi lain praktik Demokrasi Terpimpin yang oleh Seokarno diklaim sesuai dengan asli Indonesia dikritik tajam oleh Bung Hatta merupakan cerminan budaya feodal dan otoriter atau anti-demokrasi. Dari sini tampak ambivalensi pemahaman diantara kedua pemipin bangsa tersebut, yang mungkin dapat dianggap merepresentasikan pembelahan pandangan kebanyakan elit Indonesia pula mengenai makna budaya politik yang hendak dibentuk dalam masyarakat Indonesia.

Perubahan dari Orde Lama (era Demokrasi Terpimpin) ke Orde Baru pun pada dasarnya merpakan pergantian rezim. Era Orde Baru tidak lain hanya merupakan lanjutan dan peyempurnaan dari model sistem politik Orde Lama. Budaya politik yang dikembangkan pun tidak jauh berbeda. Ciri otoritarian malahan kian menonjol. Di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, apa yang dianggap sebagai warisan budaya feodal jawa dilembagakan dalam hubungan antara rakyat dengan penguasa. Sistem politik Orde Baru tidak hanya dianggap sebagai cerminan budaya feodal yang pernah dipraktikkan pada zaman kekuasaan rajaraja Jawa (Mataram) di masa lalu, namun bahkan lebih jauh juga dianggap kelanjutan dai sistem birokrasi zaman klonial Belanda. Oleh rezim Soeharto, sistem politik tersebut juga diklaim sebagai sistem yang sesuai dengan budaya asli Indonesia yang disebutnya sebagai Sistem Demokrasi Pancasila yang murni.

Namin demikian, dalam perkembangannya, dengan runtuhnya pemerintahan Orde Baru setelah berkuasa selama lebih dari 32 tahun di bawah kepemimpinan otoritarian rezim Soeharto, bagaimanapun telah menciptakan implikasi yang amat “radikal” terhadap kehidupan politik Indonesia. Budaya politik Indonesia kembali dipertanyakan dalam kaitannya dengan tuntutan demokrasi yang mencaut ke permukaan. Jika dilihat dari segi sejarah, konteks perubahan politik tersebut secara artifisial mungkin untuk dinyatakan sebagai proses transfromasi sistem politik yang keempat dalam perjalanan panjang yang telah dilalui oleh negeri ini sejak kemerdekaan (1945), setelah pengalaman Demokrasi Parlementer (1949-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan Demokrasi Pancasila (1966-1998) yang jargonistik.

Apa sebutan simbolik bagi sistem politik baru yang kini sedang dalam pencairan format kekhususannya itu, untuk berbeda atau dibedakan dengan karateristik sistem-sistem politik yang pernah ada sebelumnya? Apakah perlu untuk memproklamirkan pula eksitensi dan identitasnya secara eksklusif dengan menambahkan embel-embel tertentu di belakang kata demokrasi yang hendak diwujudkannya? Tampaknya hingga dewasa ini belum ada sebutan yang disepakati bersama kalangan elit.

Istilah yang digunakan di sana-sini baru sebatas sebutan formal terhadap kabinet pemerintah, seperti Kabinet Reformasi Pembangunan di masa Presiden BJ Habibie, dan selanjutnya Kabinet Persatuan Nasional di era Presiden KH. Abdurrahman Wahid; dan Kabinet Gotong Royongi di era Presiden Megawati Soekarnoputri; dan Kabinet Indonesia Bersatu di era Presiden Susilo Bambang Yudhyono (SBY).

Menandai gambaran perbuhan politik tersebut, sebagaimana lazimnya tindakan yang dilakukan oleh sebuah rezim penguasa yang baru, terjadi retrukturisasi kelembagaan politik dan revisi produk hukum. Misalnya, dalam hal revisi produk hokum, antara lain lahir dari UU Partai Politik, UU Pemilu; UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPD; UU tentang Pemerintah Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah; dan sebagainya. Di samping itu, dalam konteks pembaharuan kelembagaan terbentuk pula lembaga-lembaga baru seperi Komite Ombudsman, Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK), dan berbagai insitusi lainnya.

Terjadinya perubahan sistem politik tersebut pada dasarnya merupakn respons pemerintah pasca Orde Baru (pemerintah era Reformasi) terhadap tuntutan dan asipirasi demokrasi. Kita ketahui bahwa gejolak masyarakat yang terutama dipicu oleh gerakan kaum terdidik (khususnya mahasiswa) sebagai lapisan kelas menengah (middle class), telah menimbulkan dampak perubahan siginifikan terhadap format sistem format politik. Karena itu, maka tuntutan untuk melakukan reformasi terhadap sistem politik dan kenegaraan tersebut pada dasarnya merupakan kehendak umum atau harapan umum dimana masyarakat berkepentingan atas terciptanya kehidupan politik yang lebih baik dari pada di masa lalu, yaitu suatu sistem yang benar-benar terbuka dan demokratis.

Inisiatif perubahan itu tentu saja tidak berarti harus ditafsirkan sepihak semata adalah sepenuhnya dipicu oleh tuntutan masyarakat. Bagaimanapun, adanya keinginan pemerintah yang berkuasa juga menentukan setidaknya pada tingkat responsibilitas dan rasionalisasi dimana tuntutan rakyat itu dengan segera ditangkap dan diterjemahkan kedalam berbagai kebijakan umum (public policy) yang reformatif. Dengan demikian, maka hubungan positif antara masyarakat dan pemerintah merupakan hubungan yang simbiotik idelaistis-mutualistik, sehingga perubahan itu mungkin terjadi secara asipiratif.

Namun demikian, ada sebuah persoalan yang mungkin amat menarik untuk kembali dipertanyakan dalam proses reformasi itu, yakni apakah dengan perubahan sistem politik sebagai realisasi tuntutan dan harapan demokratisasi tersebut telah diikuti atau diiring pula dengan adanya perubahan budaya politik (?). Bagaimanapun, hubungan antara  perubahan formal yang terjadi pada level prosedural (kelembagaan) politik ini dalam kaitannya dengan perubahan substantif pada level budaya politik adalah amat siginifikan dipertanyakan; mengingat proses demokratisasi bukan semata merupakan perubahan sistem kelembagaan, tetapi juga perubahan pada tataran nilai-nilai politik.

Pemerintah Orde Baru di bawah rezim Soeharto di masa lalu, terlepas dari kelemahannya sebagai suatu sistem politik yang otoritarian, harus diakui telah berhasil menciptakan sistem politik yang kokoh. Sedemikian “berhasil” sistem politik menurut perspektif kepentingan rezim yang berkuasa ketika itu, sehingga proses pelembagaan politik (political institutionalization) yang diciptakan mampu membuahkan tingkat stabilitas yang amat maksimal bagi orientasi program pembangunan yang dijalankan.

Meminjam istilah Hutington, rezim Orde Baru Sepanjang era kekuasannya yang panjang ketika itu berhasil menciptakan sautu tertib politik (political order) yang amat dibutuhkan melalui pelembagaan partisipasi politik dengan tujuan untuk menciptakan kestabilan politik pembangunan.24 Keberhasilan itu bahkan lebih jauh telah menjadi penyangga (buffer) terhadap rezim dalam upayanya untuk tetap mempertahankan stanza quo¸termasuk dalam hal proses pengendalian kekuatan sosial dan politik.

Persoalan serius yang kemudian tampak terus diabaikan oleh rezim Orde Baru hingga keruntuhannya, dan juga oleh rezim pemerintah sebelumnya, baik di masa Demokrasi Parlementer maupun Orde Lama, adalah faktor budaya politik (political culture) yang justru amat sangat siginifikan dalam proses pelembagaan politik tersebut. Sistem politik yang berhasil dibangun tidak ditunjang pemberdayaan budaya politik yang demokratis yang seharusnya pada saat yang sama didorong perkembangannya secara akomodatif. Dalam kenyataanya, justru perilkau rezim yang berkuasa malah cenderung tetap mengembangkan dan mempertahankan pola budaya politik yang anti-demokratis, hingga akhirnya terjatuh sebagai akibat ambisi kekuasaanya itu sendiri.

Kini, dalam era reformasi, setelah keruntuhan rezim Orde Baru, barulah mungkin kita tersadar kembali akan kenyataan sejarah untuk kesekian kalinya terhadap semua kegagalan dalam memberi perhatian bagi pembangunan budaya politik yang demokratis. Rezim Orde Baru telah menjadi korban perilaku kekuasaan dan sistem politiknya sendiri. Biarlah pengalaman itu, dan juga pengalamanpengalaman beberapa pemerintahan yang pernah ada sebelumnya, menjadi pelajaran  berharga bagi kita. Saatnya kini dimensi budaya politik mendapatkan perhatian yang lebih serius. Diharapkan perjalanan pemerintah kita tidak lagi terperangkap pada kekeliruan pembangunan politik seperti ”seekor keledai terantuk pada batu yang sama”.

Permasalahnnya yang penting untuk segera direspons adalah terletak pada tuntutan perubahan budaya politik di dalam masyarakat. Sebab, dari faktor tersebutlah kita akan dapat melihat sumbangan yang mungkin dapat diberikan oleh dimensi budaya politik terhadap demokratisasi kehidupan politik. Diakui, dalam era reformasi saat ini, arus mayarakat sipil telah menciptakan tekanan yang amat kuat terhadap pemerintah yang berkuasa agar benar-benar menujukkan political civil untuk membangun demokrasi, dan hal itu telah menggelinding sebagaimana terbukti dengan terjadinya penataan kelembagaan yang dibutuhkan bagi berkembangnya demokrasi.

Namun demikina, masalah krusial yang dihadapi adalah bahwa proses konsolidasi kelembagaan demokrasi itu tidak akan ada artinya tanpa ditunjang oleh berseminya atau berkembangnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat. Sejauh ini nampaknya perubahan politik yang terjadi sejak keruntuhan rezim Orde Baru tak lebih hanya merupakan perubahan pada tataran prosedural (instutisional) belaka. Perubahan itu cenderung lebih bersifat legalistik ketimbang substantif. Sistem politik yang berhasil dibangun baru sampai pada bentuk demokrasi semu (pseudo demokrasi); pada dasaraya tataran perubahan institusional yang sudah berlangsung tersebut belum ditunjang pula oleh terjadinya perubahan pada tataran budaya politik.

Untuk itulah, maka suatu upaya pembangunan budaya politik Indonesia yang kondusif dalam kaitannya dengan demokrasi atau demokratisasi amat penting untuk segera dievaluasi dan dikaji mendalam, sehingga dapat diketahui berbagai hambatan dan peluang yang sedang dihadapi dalam perubahan politik Indonesia yang sebenarnya.

Untuk tujuan tersebut, ada tigga masalah utam yang perlu dikaji, yaitu: pertama, hubungan antar budaya politik dan demokratiasi menurut persepsi budaya politik masyarakat lokal di negeri ini; kedua, identifikasi potensi budaya politik lokal antara yang pro atau anti demokrasi (demokratisasi); dan ketiga, rumusan kerangka acuan demokrasi yang diperoleh dari perspektif budaya lokal sebagai dasar bagi usaha membangun sistem demokrasi itu sendiri.

Dari jawaban yang diperoleh atas berbagai gambaran masalah budaya politik yang berkembang dalam masyarakat Indonesia berdasarkan perspektif lokal  itulah, suatu identifiksi dan upaya sistematis dapat dilakukan oleh pemerintah bersama masyarakat untuk memabangun sistem demokrasi yang sesuai dengan konteks politik Indonesia dengan mengacu kriteria-krietria demokrasi bersifat universal yang telah dipaparkan sebelumnya. Hal inilah yang kiranya menjadi tantangan serius yang mendesak untuk ditelusuri jawabannya oleh para akedimisi dan peneliti Indonesia dewasa ini.

MEMBANGUN GERAKAN BUDAYA POLITIK DALAM SISTEM POLITIK INDONESIA


oleh Aos Kuswandi

(Dosen Ilmu Pemerintahan dan Sekretaris Program Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Islam “45” Bekasi)

Abstrak

Artikel ini membahas tentang membangun budaya politik Indonesia. Fenomena yang terjadi mengindikasikan bahwa budaya politik Indonesia belum memiliki identitas yang jelas dan ajeg. Budaya politik masyarakat idealnya mampu berkontribusi melalui tindakan-tindakan konstruktif dalam sistem politik. Untuk itu perlu upaya konstruktif, fokus dan terprogram dalam pembangunan budaya politik Indonesia yang dilakukan melalui program pendidikan formal maupun non formal. Membangun keteladanan merupakan wujud dari gerakan budaya politik Indonesia. Upaya membangun gerakan budaya politik Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah, partai politik dan masyarakat yang dilakukan secara konstruktif.

Kata Kunci: Budaya Politik, Demokrasi, Sistem Politik Indonesia

Pendahuluan

Perilaku politik atau tindakan-tindakan politik yang dilakukan oleh warga negara adalah suatu kegiatan baik perorangan maupun kelompok yang ditujukan untuk mempengaruhi kebijakan politik (Pemerintah). Istilah perilaku politik dalam perkembangan selanjutnya sangat terkait dengan konsep budaya politik. Kedua konsep ini tidak bisa terpisahkan antara satu dengan lainnya. Namun sejatinya kedua konsep ini berbeda jika dipahami secara lebih luas. Perilaku politik lebih mengarah pada tindakan-tindakan yang disebabkan cara pandang individu atas sistem politik yang dilaksanakan dalam aktivitas berpolitik dia. Sedangkan budaya politik lebih berkonotasi pada pelembagaan dari perilaku politik warga negara yang telah menyatu dalam aktivitas sosial dan politik.

Pada tataran praksis, budaya politik warga negara akan nampak dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan publik, dalam proses rekrutmen politik partai politik atau lembaga legislatif, pada proses kampanye politik dan aktivitas menyalurkan suara politiknya dalam pemilu (eksekutif dan legislatif) maupun dalam pemilihan kepala daerah (pilkada). Pola-pola perilaku politik yang nampak ke permukaan dan cenderung menjadi hal yang biasa secara umum, dapat mengindikasikan bahwa telah terjadi proses pelembagaan perilaku politik warga negara menjadi budaya politik. Tentu saja perilaku politik yang dikehendaki untuk menjadi budaya politik warga negara Indonesia adalah budaya politik yang bisa membangun secara konstruktif bagi pendewasaan sistem politik Indonesia. Artinya budaya politik tersebut semakin menjadi bagian yang mencirikan bahwa pendidikan politik warga negara Indonesia semakin berkualitas. Bukti adanya peningkatan kualitas budaya politik warga negara adalah dalam hal proses politik yang didalamnya setiap warga negara terlibat atau melibatkan diri. Dia berpartisipasi politik secara dewasa dalam menentukan pilihan dan keputusan politiknya.

Bagaimana fakta budaya politik yang ada dan terjadi dalam aktivitas politik masyarakat Indonesia? Nampaknya masih jauh panggang dari api. Fenomena yang terjadi masih mengindikasikan bahwa budaya politik Indonesia belum memiliki identitas yang jelas dan ajeg. Untuk itu perlu upaya konstruktif, fokus dan terprogram dalam pembangunan budaya politik Indonesia. Upaya membangun gerakan budaya politik Indonesia adalah tanggung jawab segenap elemen bangsa. Ini bertujuan agar polapola tindakan politik warga negara dapat terarah dan terprogram menuju pada proses pencapaian kesejahtaraan masyarakat.

Demokrasi dalam Penyelenggaraan Negara

Demokrasi sebagai pilihan sistem politik Indonesia memiliki tujuan ideal dalam hal pengakuan atas hak-hak politik warga negara. Upaya penjaminan atas kehidupan politik rakyat diatur dalam UUD 1945 dan UU Perpolitikan lainnya. Demokrasi modern yang telah berjalan dalam beberapa waktu pasca reformasi politik tahun 1998 dihadapkan pada kenyataan kompleksitas permasalahan yang terjadi dalam masyarakat. Tuntutan akan kebutuhan pemimpin negara (Pusat dan Daerah) yang sesuai dengan harapan masyarakat dan berjalannya proses demokratisasi dalam pemilu dan pilkada secara jujur, adil dan akuntabel adalah perlu dijawab melalui penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good government). Ini harga yang tidak bisa ditawar lagi jika Republik Indonesia ingin menjadi negara yang memiliki jatidiri dalam percaturan internasional. Karena salah satu tuntutan demokrasi adalah dilaksanakannya supremasi hukum dalam setiap lini pemerintahan negara baik di Pusat maupun Daerah.

Proses berdemokrasi pada pemerintahan Negara Indonesia harus dibuktikan oleh lembaga-lembaga penjamin baik di Pusat maupun Daerah (Presiden, DPR, DPD maupun DPRD). Mereka harus meyakinkan rakyat bahwa demokrasi dipastikan akan berjalan dengan baik. Presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan harus mampu membawa kabinetnya dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan dan akuntabel. MPR, DPR dan DPD sebagai lembaga legislatif yang merumuskan dan menetapkan garis-garis politik negara harus mampu membuat regulasi yang relevan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan negara. Pada sisi yang lain pola hubungan antara lembaga-lembaga tinggi negara harus berjalan secara baik dan seimbang. Dalam konsep demokrasi tidak dibenarkan adanya dominasi antara lembaga dalam negara. Hal yang ideal terjadi adalah bermitra dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya masing-masing untuk mewujudkan tujuan negara.

Pada tingkat penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pun tidak luput dari tuntutan adanya kebutuhan demokratisasi dalam pelaksanaan otonomi daerah. Amanah UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa pemerintahan daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta meningkatkan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik dengan prinsip demokrasi sebagai salah satu pilarnya dilaksanakan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah. Keduanya menjalankan kemitraan sebagai co-equal partner dalam melaksanakan fungsi pemerintahan dalam batas kewenangan yang menjadi tanggung jawab Daerah.

Dengan demikian demokratisasi dalam penyelenggaraan Negara Indonesia menjadi kebutuhan yang benar dan sah berdasarkan perundangundangan. Amanah UUD 1945 adalah merupakan bukti konkrit bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama di depan hukum dan dalam berpolitik. Artinya warga negara dapat menjalankan hak dan kewajibannya secara politik tanpa ada tekanan dan pemaksaan dari pihak manapun.

Korelasi antara perilaku politik, budaya politik dan demokrasi nampaknya akan terlihat pada proses politik berlangsung. Tahapan dalam pemilu dan pilkada bisa dijadikan sebagai barometer untuk melihat seberapa besar tingkat kualitas ketiga konsep tersebut dilaksanakan secara ideal oleh warga negara dalam berpolitik.

Budaya Politik yang Ideal

Budaya politik didefinisikan oleh Almond dan Verba (1963) sebagai suatu sikap orientasi yang khas suatu warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu. Pengertian budaya politik ini membawa pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu orientasi sistem dan orientasi individu. Sebagai sebuah sistem, organisasi politik (negara) hendaknya memiliki orientasi yang bertujuan mengupayakan kesejahteraan warga negara. Aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan pada adanya fenomena dalam masyarakat tertentu yang semakin mempertegas bahwa masyarakat secara keseluruhan tidak dapat terlepas dari orientasi individu. Artinya, hakikat politik sebenarnya bukan berorientasi pada individu pemegang kekuasaan dalam politik, melainkan kesejahteraan rakyat yang menjadi orientasinya.

Konsep budaya politik yang didefinisikan oleh Almond dan Verba di atas sebagai suatu sikap orientasi yang khas dari warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara di dalam sistem itu, dapat mengandung pemahaman yang luas. Pengertian budaya politik ini membawa pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu orientasi sistem dan orientasi individu. Sebagai sebuah sistem, organisasi politik hendaknya memiliki orientasi yang hendak mengupayakan kesejahteraan warga negara. Aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan pada adanya fenomena dalam masyarakat tertentu yang semakin mempertegas bahwa masyarakat secara keseluruhan tidak dapat terlepas dari orientasi individu. Artinya, hakikat politik sebenarnya bukan berorientasi pada individu pemegang kekuasaan dalam politik, melainkan kesejahteraan rakyat yang menjadi orientasinya. Kesejahteraan rakyat menjadi tujuan dari politik dalam negara. Warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.

Dalam pemahaman dan pengertian lain, budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R.O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa. Kedua jenis kelompok yang nyata ada dalam Negara Indonesia, dipastikan memiliki pola budaya politik yang berbeda pula.

Sementara itu, mengenai objek politik dalam pembahasan mengenai budaya politik menurut Almond dan Verba (1963) mencakup tiga komponen: kognitif, afektif, dan evaluatif. Komponen kognitif digunakan untuk mengukur tingkat pengetahuan seseorang mengenai jalannya sistem politik, tokoh-tokoh pemerintahan, kebijaksanaan yang mereka ambil, atau mengenai simbol-simbol yang dimiliki sistem politiknya secara keseluruhan. Dalam pemahaman pada komponen ini, lebih menyoroti pada seberapa besar seseorang mengetahui tentang system politik dan bagianbagian yang ada di dalamnya. Komponen afektif berbicara tentang aspek perasaan seorang warga negara yang dapat membuatnya menerima atau menolak sistem politik tertentu. Sikap yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam keluarga atau lingkungan seseorang juga dapat mempengaruhi pembentukan perasaan tersebut. Sehingga kondisi tersebut akan terus terbawa dalam perilaku dan cara bersikap terhadap jalannya proses dalam sistem politik. Sementara komponen evaluatif ditentukan oleh evaluasi moral yang dimiliki seseorang. Di sini, nilai moral dan norma yang dianut dapat menentukan serta menjadi dasar sikap dan penilaiannya terhadap sistem politik. Oleh karena itu, diperlukan penanaman nilai-nilai moral bagi masyarakat, agar dapat menilai dan memihak dengan benar dan arif, salah satunya melalui institusi pendidikan. Ketiga komponen dalam objek politik yang menjadi bagian dari indikator untuk menilai seberapa besar tingkat budaya politik yang melekat dalam warga negara tersebut.

Bila dikaitkan dengan warga negara sebagai individu, maka konsep budaya politik pada hakikatnya berpusat pada imajinasi (pikiran dan perasaan) manusia yang merupakan dasar semua tindakan. Oleh karena itu, dalam menuju arah pembangunan dan modernisasi dalam penyelenggaraan negara, suatu masyarakat akan menempuh jalan yang berbeda antara satu masyarakat dengan yang lain dan itu terjadi karena peranan kebudayaan sebagai salah satu faktor. Budaya politik ini dalam suatu derajat yang sangat tinggi dapat membentuk aspirasi, harapan, preferensi, dan prioritas tertentu dalam menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perubahan sosial politik. Setiap masyarakat memiliki common sense yang bervarisi dari satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain, yang berimplikasi pada perbedaan persepsi tentang kekuasaan, partisipasi, pengawasan (control) sosial, serta kritik masyarakat. Pengaruh ini akan terus terbawa dalam aktivitas politik dalam pengambilan keputusan politik dalam pemilu, pilkada maupun cara berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik, sosial dan pembangunan. Sehingga keluaran dari proses politik yang berlangsung dapat mencirikan tingkat budaya politik warga masyarakat tersebut.

Budaya Politik Indonesia

Affan Gaffar (2005) dalam teori politiknya mengemukakan bahwa budaya politik masyarakat Indonesia terbagi menjadi tiga: hierarkhi tegar, patronage (patron-client), dan neo patrimonialistik. Hierarki yang tegar memilahkan dengan mengambil jarak antara pemegang kekuasaan dengan rakyat sehingga kalangan birokrat sering menampakkan diri dengan selfimage yang bersifat benevolent. Seolah-olah mereka sebagai kelompok pemurah, baik hati dan pelindung rakyat, sehingga ada tuntutan rakyat harus patuh, tunduk, dan setia pada penguasa. Perlawanan terhadap penguasa akan menjadi ancaman bagi rakyat. Lebih tragis lagi, suatu upaya untuk melindungi hak mereka sendiri pun diartikan sebagai perlawanan pula. Dalam pemahaman budaya politik yang bersifat hierarkhi tegar maka pola hubungan yang terjadi terpisahkan antara penguasa (negara) dan yang dikuasai (rakyat). Budaya politik patronage menurut Gaffar sebagai budaya yang paling menonjol di Indonesia. Pola hubungan dalam budaya politik patronage ini bersifat individual, yakni antara si patron dan si client, majikan dan pembantu, atasan dan bawahan. Antara keduanya terjadi interaksi yang bersifat resiprokal atau timbal balik dengan mempertukarkan kekuasaan, kedudukan, jabatan dengan tenaga, dukungan, materi, dan loyalitas. Budaya politik ini menjadi salah satu penyebab maraknya praktik KKN dan ketidakadilan dalam masyarakat. Berikutnya adalah budaya politik neo-patrimonialistik karena negara memiliki atribut yang bersifat modern dan rasionalistik, seperti birokrasi di samping juga memperlihatkan atribut yang bersifat patrimonialistik. Ini mengandung pemahaman bahwa negara modern dan rasional akan didukung oleh birokrasi, namun dalam praktiknya pola tradisional dengan bercirikan patrimonialistik tetap ada dalam penyelenggaraan negara. Dalam model yang ketiga ini pola KKN lebih ‘ditutupi’ melalui tameng kebijakan atau hukum. Sehingga dalam tataran permukaan, masyarakat umum melihat bahwa sistem politik negara berjalan baik. Padahal sejatinya ia masih sebagai budaya politik yang bercirikan patronage.

Nurcholish Madjid (1999) menyatakan, “Sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia adalah sistem politik yang tidak hanya baik untuk kelompok, tetapi yang sekiranya juga akan membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat Indonesia”. Artinya, cita-cita politik seharusnya bertujuan untuk mewujudkan kebaikan bersama secara kemanusiaan, tidak hanya menguntungkan kelompok atau golongan, terlebih individu tertentu sebagai pemegang kekuasaan. Apapun budaya politik yang dianut, yang terpenting bahwa penguasa politik jangan menjauh dari realitas rakyat yang telah memilihnya.

Secara sederhana dapat diasumsikan bahwa budaya politik masyarakat idealnya tetap sebagai pola orientasi dan sikap yang mampu berkontribusi melalui tindakan-tindakan konstruktif dalam sistem politik. Pemilihan umum yang damai, pilkada yang tidak bergejolak dan semakin berkurangnya konflik politik di masyarakat, menjadi ciri bahwa budaya politik semakin membaik. Kondisi tersebut akan berdampak secara positif dalam proses pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintahan yang terpilih. Namun fenomena yang sering terjadi, sebagai misal pasca pemilu 2004 atau 2009 atau pilkada sepanjang tahun 2006 sampai 2010 ini, menunjukkan bahwa setelah memenangkan pemilu atau pilkada dan berhasil menjadi pemimpin, mereka lupa diri dan bahkan mereka tidak lagi perduli pada rakyat. Bila kekuasaan masih didominasi oleh sistem feodal dan patrimonial-irrasional, maka demokrasi yang didambakan oleh setiap orang akan sulit terwujud. Budaya politik yang seperti tersebut sangat tidak mendukung terhadap upaya demokratisasi dalam penyelenggaraan Negara Indonesia. Dengan demikian sampai saat ini kondisi budaya politik Indonesia masih jauh dari ideal. Ini merupakan permasalahan yang harus terus diupayakan menjadi semakin baik dan terbangun secara konstruktif.

Membangun Gerakan Budaya Politik Indonesia

Fakta yang terlihat di dalam masyarakat Indonesia, mayoritas masyarakat Indonesia menganut budaya politik yang bersifat parokialkaula di satu pihak dan budaya politik partisipan di pihak lain. Sikap ikatan primodalisme masih sangat mengakar dalam masyarakat Indonesia. Masih kuatnya paternalisme dalam budaya politik Indonesia menjadikan pola orientasi dan sikap politik masyarakat bersifat patronage. Hal ini nampak dalam pola-pola perilaku masyarakat termasuk pula dalam perilaku birokrat dan elite politik. Budaya politik masyarakat lebih didominasi parokial kaula dan pada sisi lain diikat oleh primordialisme, maka hal ini cenderung tidak akan membangun demokrasi Indonesia yang konstruktif. Nilai-nilai yang dianut masyarakat telah membatasi dirinya untuk tidak bebas bergerak, termasuk dalam pengambilan keputusan di bidang politik baik pada aras pemerintahan pusat maupun di daerah. Benturan-benturan nilai yang terjadi relatif tidak bisa berkolaborasi secara positif dengan etika dan prinsip-prinsip demokrasi modern. Warga masyarakat telah terpolakan dalam budaya sungkan, dan ewuh pakewuh. Politik balas jasa adalah bagian yang telah menyatu dalam diri mereka dan membatasi diri dalam menyalurkan aspirasi politiknya. Ini menjadikan tidak berkembangnya budaya politik.

Terdapat berbagai penyebab mengapa budaya politik masyarakat tidak berkembang secara konstruktif atas sistem politik demokrasi di Indonesia, salah satunya adalah terjadinya krisis keteladanan dalam kaderisasi kepemimpinan dalam masyarakat sosial dan masyarakat politik. Krisis keteladanan menjadi salah satu penyebab muramnya wajah perpolitikan di tanah air. Buktinya adalah betapa sulitnya kita menemukan sosok pemimpin yang mampu menjadi panutan bagi setiap masyarakat. Pada setiap momen dimana proses pergantian pemimpin politik (negara) maupun daerah, melalui pemilu maupun pilkada, maka sudah dipastikan tidak ada sosok yang mampu menjadi panutan masyarakat. Rendahnya keteladanan pemimpin bagi rakyatnya mengakibatkan timbulnya krisis kepercayaan masyarakat. Kondisi seperti ini berimbas pada hilangnya legitimasi penguasa itu sendiri. Jika dalam penyelenggaraan politik dan pemerintahan sudah tidak dimilikinya legitimasi maka sudah dipastikan akan terjadinya pola hubungan disharmonis antara masyarakat warga negara dan pemerintah atau wakil politik yang terpilih. Hanya pemerintah atau wakil lembaga politik yang memiliki komitmen dan berjiwa teladanlah yang dipastikan akan membawa pada harmonisnya penyelenggaraan pemerintahan.

Untuk membangun keteladanan sebagai wujud dari gerakan budaya politik Indonesia, maka diperlukan sikap dari para elite politik, pejabat negara dan tokoh-tokoh yang duduk pada lembaga tinggi maupun lembaga publik di tingkat daerah. Proses membangun kualitas keteladanan para pelaku politik tersebut tidak bisa berlangsung secara instan, karena harus terpolakan dan tersistematisasikan secara baik. Hal tersebut jelas memerlukan upaya serius dari berbagai komponen bangsa dan para pengambil keputusan. Upaya membangun gerakan budaya politik Indonesia bisa dilakukan melalui program pendidikan, baik jalur pendidikan formal maupun non formal. Sebagai alasannya bahwa pendidikan tidak dapat terpisah dari struktur kebudayaan, di mana proses pendidikan itu terjadi. Artinya penanaman nilai-nilai positif bagi masyarakat bisa dimulai dari pendidikan ini. Proses pendidikan bukan semata-mata transmisi kebudayaan dan ilmu pengetahuan, tetapi merupakan proses dekonstruksi dan rekonstruksi kebudayaan. Tentu saja nilai-nilai, norma, etika dan cara bersikap dalam berpolitik merupakan bagian yang diberikan dalam program pendidikan.

Dalam hal pendidikan politik, maka peranan partai politik sangatlah penting. Sebagai lembaga yang merepresentasikan kelompok masyarakat politik dalam ideologi maupun nilai-nilai yang dianut, harus mampu menjadikan dirinya sebagai change agent bagi perubahan orientasi dan sikap politik masyarakat kadernya menjadi semakin baik. Hal tersebut akan bisa dicapai manakala partai politik memiliki komitmen terhadap kepentingan bangsa dan negara.

Kelompok masyarakat dalam organisasi sosial kemasyarakatan (Ormas) dan LSM yang berorientasi pada peningkatan kapasitas warga masyarakat juga memiliki peran penting dalam membangun gerakan budaya politik Indonesia. Kelompok ini memiliki predikat sebagai masyarakat yang melek politik. Di dalamnya terdiri dari individu-individu yang mengerti dan memahami sistem politik dan bagian-bagian yang ada di dalamnya. Idealnya Ormas dan LSM ini mengambil andil dalam proses gerakan membangun budaya politik. Peran serta yang dapat dilakukan adalah melalui pendampingan, advokasi dan peningkatan kapabilitas masyarakat melalui pelatihan dan kegiatan lainnya.

Terdapat tiga kategori jenis orientasi yang sebaiknya dikonstruksikan oleh elite politik, pejabat publik, ormas, LSM dan pihak-pihak terkait kepada warga masyarakat. Jenis orientasi yang dimaksud yaitu: orientasi terhadap struktur politik pemerintahan, orientasi terhadap bagian-bagian yang ada di dalam sistem politik dan orientasi terhadap aktivitas politiknya. Orientasi masyarakat terhadap politik tersebut diupayakan agar mampu berkontribusi terhadap pembangunan budaya politik Indonesia yang semakin baik.

 Membangun gerakan budaya politik yang konstruktif seperti diuraikan di atas, hendaknya dilaksanakan secara berkelanjutan. Karena ini terkait dengan regenerasi dan kaderisasi kepemimpinan politik negara. Tujuannya ke depan agar dalam setiap perhelatan politik, maupun proses dalam berbagai penyelenggaraan pemerintahan baik di Pusat maupun di Daerah dapat berjalan dengan baik sesuai dengan aturan main dan UU yang berlaku. Masyarakat akan semakin dewasa dalam berpolitik dan tingkat konflik politik semakin berkurang, sehingga stabilitas politik negara akan tetap terjaga dalam koridor hukum yang menjadi landasannya.

Penutup

Budaya politik di Indonesia menunjukkan adanya pergeseran dari nilai-nilai luhur untuk mencapai kesejahteraan rakyat menjadi tiang penyangga politik dari kelompok tertentu. Politik yang sebenarnya bertujuan mencapai kesejahteraan rakyat tersebut telah berubah menjadi alat untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya dan sarana penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Fenomena budaya politik Indonesia masih cenderung feodal dan masih bersifat patron-client. Hal ini mengindikasikan tidak ada kesesuaian antara cita-cita yang diharapkan dengan realitas yang terjadi dalam budaya politik Indonesia. Mendasarkan pada kenyataan tersebut, maka aspek yang perlu dibenahi dan diharapkan mampu memperbaiki kualitas budaya politik Indonesia adalah melalui pendidikan politik warga negara baik secara formal maupun non formal. Upaya membangun gerakan budaya politik Indonesia ini menjadi tanggung jawab semua pihak: pemerintah, partai politik dan warga masyarakat itu sendiri. Ketiganya memegang tanggung jawab dan peranan penting dalam mewujudkan budaya politik masyarakat Indonesia yang semakin baik. 

MEMBANGUN KARAKTER BUDAYA POLITIK DALAM BERDEMOKRASI


oleh Khoirul Saleh dan Achmat Munif

(Universitas Sultan Fatah Demak, Jawa Tengah, Indonesia)

Abstrak

Kejadian pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia merupakan amanah dari rakyat melalui mekanisme pemilihan umum. Meski sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa pegantian Presiden RI pertama dari Ir. Soekarno hingga presiden yang ketujuh, yaitu Jokowi, selalu terdapat kejadian tidak semestinya oleh elite “pemimpin negara” dan hal ini akan menjadi cermin bagi rakyat Indonesia bagaimana membangun karakter budaya politik. Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana zaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Partisipasi politik masyarakat sangat membantu berkembangnya budaya politik dalam suatu negara. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan. Demokrasi merupakan media untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kalau demokrasi ditegakkan, dengan tingginya partisipasi rakyat dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka masyarakat adil dan makmur bisa terwujud. Yang tidak kalah penting adalah membagun karakter budaya politik, sehingga kegiatan politik bukanlah panggung bermain bagi para elite penguasa, tetapi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar warga negara dalam menciptakan kemaslahatan bersama.

Kata Kunci: Budaya Politik, Karakter, Demokrasi.

 

A. Pendahuluan

Tahapan terakhir penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 baru saja dilaksanakan, yaitu Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih periode 2014-2019 dalam Sidang Paripurna Senin (20/10/14) benar-benar memberikan sebuah pembelajaran berharga bagi kehidupan berpolitik di Indonesia. Hasil rekapitulasi suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli 2014 atas nomor urut 1 (Prabowo-Hatta) dan nomor urut 2 (Jokowi-JK) memutuskan bahwa perolehan suara nomor urut 1 sebanyak 62.576.444 suara atau 46,85 % dan pasangan nomor urut 2 sebesar 70.997.833 suara atau 53,15 persen dari total suara sah 133.574.277. Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU tersebut menjelaskan KPU menetapkan bahwa Joko Widodo sebagai Capres terpilih dan Jusuf Kalla sebagai Cawapres terpilih periode 2014-2019.

 

Disadari bahwa pilpres yang hanya di ikuti oleh dua kandidat terasa sangat berdampak pada hangatnya aura kompetisi politik, di mana terjadi perang opini, pencitraan, hingga kampanye hitam (black campaign), baik melalui media massa, elektronik, maupun media sosial. Hal ini berlanjut dalam Sidang Paripurna Pembahasan Tingkat II Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) di DPR dan persaingan memperebutkan pimpinan DPR-MPR RI, antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kegaduhan politik yang timbul akibat persaingan kedua kubu ini sama sekali tidak menguntungkan bagi masyarakat Indonesia dan menjadi budaya politik yang tidak baik dalam berdomokrasi.

 

Kejadian pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia merupakan amanah dari rakyat melalui mekanisme pemilihan umum sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, dan jurdil, serta adanya persaingan yang sehat antar pasangan calon presiden dan wakil presiden. Meski sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa pegantian Presiden RI Pertama dari Ir. Soekarno hingga presiden yang ketujuh, yaitu Jokowi, selalu terdapat kejadian tidak tepat dan hal ini akan menjadi cermin bagi rakyat Indonesia bagaimana membangun karakter budaya politik.

 

B.Pembahasan

1. Konsep Budaya Politik

Untuk memahami tentang budaya politik, terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian budaya dan politik.Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu budhayah, bentuk jamak dari budhi yang artinya akal, Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal atau budi.Kebudayaan adalah segala yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan kemampuan akalnya. Ciri-ciri umum dari kebudayaan adalah dipelajari, diwariskan, dan diteruskan, hidup dalam masyarakat, dikembangkan dan berubah, serta terintegrasi.

 

Beberapa pengertian tentang politik menurut beberapa ahli:

a. Prof. Miriam Budiardjo, politik (politics) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian warga, untuk membawa masyarakat kearah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha menggapai the good of life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari system serta cara-cara melaksanakan tujuan itu.1

b. Peter Merkl bahwa politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri (politics at its worst is a selfish grab for power, glory and riches). Singkatnya, politik adalah rebutan kuasa, harta dan takhta.2

c. Andrew Heywood, “Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamademen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya yang berarti tidak dapat lepas dari gejala konflik dan kerja sama (politics is the activity trough wihich a people make, preserve and amend the general roles under which they live and as such is inextricaly linked to the phenomenof conflict and corporation).

 

Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana zaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang berkembang dalam suatu negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi, dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Secara teoretik, budaya politik juga dapat diartikan aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat dalam memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.

 

Perbedaan budaya politik dalam masyarakat secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga budaya politik, yaitu budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, pasif), budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi), dan budaya politik partisipatif (aktif). Perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:

a. Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan budaya politik masyarakat.

b. Tingkat ekonomi masyarakat; semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera masyarakat, maka partisipasi masyarakat pun semakin besar.

c. Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi sistem politik yang lebih baik).

d. Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan bebas).

e. Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai kontrol sosial, bebas, dan mandiri).

 

Selanjutnya, Almond dan Verba mengemukakan bahwa budaya politik suatu masyarakat dihayati melalui kesadaran masyarkat akan pengetahuan, perasaan, dan evaluasi masyarakat tersebut yang berorientasi pada: a. Orientasi kognitif merupakan pengetahuan masyarakat tentang sistem politik, peran, dan segala kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan mengenai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

b. Orientasi afektif merupakan perasaan masyarakat terhadap sistem politik dan perannya, serta para pelaksana dan penampilannya. Perasaan masyarakat tersebut bisa saja merupakan perasaan untuk menolak atau menerima sistem politik atau kebijakan yang dibuat.

c. Orientasi evaluatif merupakan keputusan dan pendapat masyarakat tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan nilai moral yang ada dalam masyarakat dengan kriteria informasi dan perasaan yang mereka miliki.3

 

Konsep budaya politik mencakup banyak aspek dalam fenomena politik, tradisi politik dan cerita kepahlawanan rakyat, semangat institusi publik, politik kewargaan, tujuan yang diartikulasikan sebuah ideologi politik, aturan main politik formal ataupun non-formal, stereotip, gaya, moda, dan langgam pertukaran politik, dan sebagainya. Namun demikian, konsep ini biasanya diringkas sebagai pola distribusi orientasi terhadap politik yang dimiliki oleh para anggota komunitas politik. Analisis budaya politik terutama bermanfaat ketika hendak mengetahui sejauhmana budaya memainkan perannya dalam membentuk perilaku kolektif sebuah komunitas politik, apakah perilaku kolektif tersebut produktif dalam konteks pengembangan masyarakat secara umum, dan bagaimana budaya politik sebuah masyarakat mengalami transformasi menuju masyarakat yang lebih terbuka, adil dan sejahtera.

 

2. Tipe-tipe Budaya Politik

Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, dalam buku Politeia atau Politics, mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon atau manusia yang pada dasarnya selalu bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Manusia saling ketergantungan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhannya. Pada dasarnya anggota masyarakat saling terkait sebagai satu kesatuan sosial melalui perasaan solidaritas yang dikarenakan latar belakang sejarah, politik dan kebudayaan.

 

Masyarakat politik adalah masyarakat yang sadar politik atau masyarakat yang keikutsetaan hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupannya sebagai warga negara. Masyarakat politik yang terdiri dari elite politik dan massa politik menjadi peserta rutin dalam kompetisi politik harus dibangun sebagai komponen masyarakat yang mempunyai etika politik dalam demokrasi. Ciriciri masyarakat politik antara lain sebagai berikut.

a. Dengan sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, terutama hak pilih aktif.

b. Bersifat kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan sikap: 1) menerima sebagaimana adanya, 2) menolak dengan alasan tertentu, atau 3) ada yang suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa.

c. Memiliki komitmen kuat terhadap partai politik yang menjadi pilihannya.

d. Dalam penyelesaian suatu masalah lebih suka dengan cara dialog atau musyawarah.

 

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, budaya politik dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. Dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kiai, atau dukun, yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis, maupun religius.

b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju, baik sosial maupun ekonominya, tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subjek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek out put atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Namun, frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subjek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka diarahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subjek sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan, juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung diarahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.

d. Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat, lebih lanjut adalah sebagai berikut.

 

No. Budaya Politik Uraian/Keterangan

1. Parokial

a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai objek umum, objek-objek input, objek-objek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.

b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.

c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapanharapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.

d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.

e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.

f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.

 

2. Subjek/ Kaula

a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek out put dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap objek-objek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.

b. Para subjek menyadari akan otoritas pemerintah.

c. Hubungannya terhadap sistem politik secara umum, dan terhadap out put, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.

d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiasikan.

e. Orientasi subjek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

 

3. Partisipan

a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai objek umum, objek-objek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.

b. Bentuk kultur di mana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspek input dan output sistem politik).

c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap objek politik.

d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.

 

Budaya politik partisipan merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik dalam berdemokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, masyarakat merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan memercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu, warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara dan memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Masyarakat memiliki keyakinan dapat memengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk menyampaikan kritik, mengorganisasikan diri dalam protes sebagai kontrol bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak memihak rakyat.

 

Pendekatan budaya politik dapat digunakan untuk mengkaji perkembangan sistem politik di negara Indonesia yang penuh dengan dinamika, mulai era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, dan yang terakhir adalah era Reformasi.

 

a. Era Demokrasi Parlementer (1945-1950)

Budaya politik yang berkembang pada era demokrasi parlementer sangat beragam, dengan tingginya partisipasi massa dalam menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat telah berbudaya politik partisipan. Anggapan bahwa rakyat mengenal hakhaknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik yang timbul ketika itu5 Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.

 

Para elite Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas (solidarity maker) lebih tampak dalam periode demokrasi parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators memegang peranan. Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar elite mulai terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada tahun 1958. Selain itu, dengan gaya politik yang ideologis pada masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial. Selain itu, orientasi pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya politik pada era ini.

 

b. Era Demokrasi Terpimpin (dimulai pada 5 Juli 1959 sampai 1965)

Budaya politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai dengan sifat primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui Penetapan  Presiden Nomor 7 Tahun 1959 Tanggal 31 Desember 1959 Tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Gagasan tersebut menjadi patokan bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin. Dalam kondisi tersebut, tokoh politik dapat memelihara keseimbangan politik.6

 

Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih subur di kalangan elit-elit politiknya. Adanya sifat karismatik dan paternalistik yang tumbuh di kalangan elit politik dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihakpihak yang bertikai, baik dengan sukarela maupun dengan paksaan. Dengan demikian, muncul dialektika bahwa pihak yang kurang kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di arena politik, akan tersingkir dari gelanggang politik. Adapun pihak yang lebih kuat akan merajai/menguasai arena politik.

 

Pengaturan soal-soal kemasyarakatan lebih cenderung dilakukan secara paksaan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teror mental yang dilakukan kepada kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra revolusi ataupun kepada aliranaliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah ditetapkan oleh penguasa.

 

Dari masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa tuntutan yang diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem yang ada. Namun, saluran input-nya dibatasi, yaitu hanya melalui Front Nasional. Input-input yang masuk melalui Front Nasional tersebut menghasilkan out put yang berupa out put simbolik melalui bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya menguntungkan rezim yang sedang berkuasa. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap memiliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim.

 

c. Era Demokrasi Pancasila (1966-1998)

Gaya politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Pada era ini, secara material penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakikatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern.

 

Sementara itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elite birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya, masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elite politik karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elite terbatas.

 

Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini. Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi di mana hubungan-hubungan yang ada, baik internal maupun eksternal adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas.

 

Dari penjelasan di atas, mengindikasikan bahwa budaya politik yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek, di mana semua keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan otoritarianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elite birokrasi dan militer.

 

Di masa Orde Baru, kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil society terhambat. Contoh budaya politik Neo Patrimonialistik adalah :

1. Proyek dipegang pejabat.

2. Promosi jabatan tidak melalui prosedur yang berlaku (surat sakti).

3. Anak pejabat menjadi pengusaha besar, memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dan mendapatkan perlakuan istimewa.

4. Anak pejabat memegang posisi strategis, baik di pemerintahan maupun politik.

 

d. Era Reformasi (1998 sampai sekarang)

Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elite politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. Jackson, dalam bukunya Budi Winarno, budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elite merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.

 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto, dkk., dalam Budi Winarno, mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa birokrasi publik masih mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari perilaku para pejabat dan elite politik yang lebih memperjuangkan kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.

 

Dengan menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan. Namun, kuatnya budaya politik patrimonial dan otoritarianisme politik yang masih berkembang di kalangan elite politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan para elite politik karena mereka masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga, budaya politik yang berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.

 

Menurut Ignas Kleden, terdapat lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung sejak reformasi 1998.7 Pertama, orientasi terhadap kekuasaan. Misalnya, dalam partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partaipartai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis. Kedua, politik mikro vs politik makro, bahwa politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik. Politik makro tidak terlalu diperhatikan, di mana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil society, dsb. Ketiga, kepentingan negara vs kepentingan masyarakat, bahwa realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara (state heavy) dibandingkan kepentingan masyarakat (society oriented). Keempat, bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama, bahwa reformasi tahun 1998 lebih merupakan reformasi social-politik dan reformasi sosial budaya bukan merupakan reformasi dalam bidang ekonomi, dalam pandangannya. Kelima, desentralisasi politik. Pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan lebih  pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dengan demikian, budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial, berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat paternalistik, dan pragmatis.

 

3. Sosialisasi dalam Membangun Budaya Politik

Sosialisasi politik merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara mana pun, baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator, dan sebagainya. Sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.

 

Keterlaksanaan sosialisasi politik sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalamanpengalaman serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling memengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberikan bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan-rangsangan politik dan tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.

 

Dengan demikian, sosialisasi politik adalah proses di mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilainilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Kondisi ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab, hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi.

 

Negara Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila, fungsi kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintah oleh rakyat melalui lembaga legislatif yang mempunyai kewajiban untuk menjamin terlaksananya perlindungan dan jaminan hak asasi manusia. Sistem politik yang diharapkan merupakan penjabaran dari nilai-nilai luhur Pancasila secara keseluruhan dalam praktik ketatanegaraan, mulai dari penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatannya dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk itu, masyarakat hendaknya memberikan respons positif terhadap perkembangan-perkembangan budaya politik di Indonesia melalui cara-cara sebagai berikut.

a. Mengerti dan mampu malaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

b. Berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pemilu.

c. Melaksanakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan berbagai masalah.

d. Menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.

e. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

f. Menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

g. Mewariskan nilai-nilai luhur Pancasila kepada generasi penerus bangsa.8

 

Perkembangan budaya politik yang ada diwujudkan dengan terciptanya partai-partai politik. Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik menjelaskan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, biasanya dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

 

Dalam negara demokratis, partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu:

a. Sebagai sarana komunikasi politik, yaitu menyalurkan pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.

b. Sebagai sarana sosialisasi politik, diartikan sebagai proses bagaimana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat tempat tinggalnya.

c. Sebagai sarana rekruitmen politik, yaitu untuk mencari dan mengajak orang-orang yang berbakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota politik (political recruitment) dan untuk melakukan pengkaderan terhadap generasi muda melalui pendidikan politik.

d. Sebagai sarana pengatur konflik (conflict management). Artinya, apabila terjadi perbedaan pendapat dalam masyarakat, maka partai politik berusaha untuk mengatasi konflik tersebut.

 

Fungsi partai politik tersebut sekarang ini tampaknya masih jauh dari harapan. Hal ini dapat dilihat pasca dilantiknya DPR dengan memberikan tontonan bukan tuntunan, yaitu perseturuan antara kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai ekses dari Pilpres 2014, KMP adalah koalisi parpol pendukung Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang terdiri atas Golkar, Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, ditambah PPP yang kini kembali merapat. Adapun KIH adalah pendukung Jokowi-JK yang terdiri atas PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura. KMP menguasai 353 atau 63% kursi di parlemen, sementara KIH 207 atau 37% kursi.9 Dimulai dari kubu KMP di DPR melancarkan operasi sapu bersih semua pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD). Disusul keputusan sepihak mengambil semua jatah pimpinan komisi plus Mahkamah Kehormatan, Komisi V, Komisi XI, Badan Legislasi, Badan Kerjasama Antar Parlemen, serta Badan Urusan Rumah Tangga. 9

 

Terkecuali pimpinan Banggar yang penetapannya harus menunggu kelengkapan penetapan komisi-komisi (alat kelengkapan dewan). Sementara, Kubu KIH membuat semacam DPR tandingan guna mengimbangi kubu KMP. Bahkan, menggelar rapat paripurna plus adegan membalikkan meja yang dilakukan anggota FPPP DPR, partai pendukung pemerintah.

 

Kubu KIH sebenarnya hanya ingin mengisi 16 kursi pimpinan komisi dan alat kelengkapan dewan yang seluruhnya berjumlah 64 kursi. Namun, kubu KMP menolak permintaan itu karena mereka ingin menguasai mayoritas suara di semua lini kursi pimpinan DPR, sebagai obsesi pihak yang menguasai arena legislatif akibat gagal meraih kursi eksekutif setelah kalah dalam Pilpres 2014.

 

Meredanya ketegangan dan perseteruan antara KMP dan KIH ini sedikit banyak mencerminkan efektifnya komunikasi politik dua kubu itu. Komunikasi politik bisa memadukan perubahan sikap KMP yang kemudian lebih membuka diri, seiring dengan perubahan sikap KIH yang jadi lebih realistis. Termasuk merelakan kekuasaan pimpinan legislatif berada di kubu KMP, dengan menerima komitmen perolehan 21 kursi pimpinan alat kelengkapan dewan.

 

Bisa dibayangkan apa jadinya sistem politik di Indonesia jika KIH dan KMP tidak mencapai kesepakatan politik. Kubu KMP yang menguasai legislatif akan berada pada posisi berhadap-hadapan untuk mematahkan upaya KIH mendukung eksekutif. Rivalitas politik berkait peran legislatif dan eksekutif bagaimanapun berujung pada klimaks politik, yang tidak terlepas dari kepentingan politik masing-masing lembaga itu.

 

Drama politik tersebut yang dimainkan oleh elite partai dan anggota DPR yang terhormat sangat jauh dari harapan konstituennya tatkala saat masa kampanye yang semuanya menyampaikan visi, misi, dan programnya dengan menjanjikan kesejahteraan bagi masyakat. Slogon-slogan kampanye seolah sirna ditelan kepentingan akan kekuasaan sehingga perlu dibangun kembali karakter budaya politik yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dengan mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan segala persoalan dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

 

Peran serta masyarakat perlu didorong dalam kerangka turut serta mengawasi para wakilnya yang duduk dalam lembaga legislatif melalui partisipasi politik sehingga anggota DPR benar menjalankan fungsi dasarnya, yaitu legislasi (pembuatan UU), budgeting (penyusunan anggaran), dan pengawasan sesuai code of conduct-nya.

 

4. Partisipasi Politik Masyarakat

Partisipasi politik masyarakat sangat membantu berkembangnya budaya politik dalam suatu negara. Partisipasi politik secara harfiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik, hal ini mengacu pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya. Sebab, kalau ini yang terjadi, maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Dapat juga diartikan merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:

a. Kegiatan pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha memengaruhi hasil pemilu.

b. Lobby, yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud memengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu.

c. Kegiatan organisasi, yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.

d. Contacting, yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna memengaruhi keputusan mereka.

e. Tindakan kekerasan (violence), yaitu tindakan individu atau kelompok guna memengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.10

 

Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subjektif individu. Misalnya, menyebutkan: (a) opini publik, bahwa opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu; (b) polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah partisipasi politik warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya, yaitu straw polls, random sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.

 

Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi politik lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya, ungkapan pemimpin, “Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihngmasing.” Sebaliknya, jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan. Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum: a. Rezim otoriter; warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik.

b. Rezim patrimonial; warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin tanpa bisa memengaruhinya.

c. Rezim partisipatif; warga bisa memengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.

d. Rezim demokratis; warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.

 

Demokrasi hanya merupakan media, yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kalau demokrasi ditegakkan, dengan tingginya partisipasi rakyat dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka masyarakat adil dan makmur bisa terwujud. Paling tidak ada tiga syarat minimun yang harus dimiliki oleh sebuah rezim yang mengaku demokratis. Pertama, adanya keterwakilan rakyat secara nyata dalam berbagai proses pengambilan keputusan ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Selama ini, sistem keterwakilan direduksi menjadi persoalan hak rakyat dalam menggunkan hak pilihnya untuk memilih wakilwakil rakyat melalui pemilu, di mana kemampuan calon-calon wakil rakyat masih jauh dari standar yang diinginkan oleh rakyat, sehingga setelah pemilu usai, dengan mengatasnamakan rakyat, wakil rakyat itu (DPR) bertindak di luar kontrol rakyat. Kedua, adanya komitmen yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Di sini demokrasi harus menjamin pemenuhan hak-hak dasar rakyat, seperti pendidikan, penyediaan lapangan kerja, jaminan penghidupan layak, kesehatan, perumahan, dll. Ketiga, adanya ruang bagi partisipasi rakyat atau menjadikan rakyat sebagai subjek demokrasi.

 

C.Simpulan

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat dengan para elitenya. Perlu dibangun karakter budaya politik, sehingga kegiatan “politik” bukanlah panggung bermain bagi para elite-penguasa, tetapi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar warga negara dalam menciptakan kemaslahatan bersama (publik good). Masyarakat dalam struktur negara modern adalah raja yang harus dilayani oleh para pejabat atau penguasa, bukan sebaliknya, pelayan yang harus melayani segala kebutuhan penguasa seperti dalam hierarki sistem politik kuno. Amanah yang diberikan masyarakat kepada pemerintah dan anggota DPR harus diimbangi dalam bentuk pelayanan prima atas segala kebutuhan masyarakat, bukan malah dijadikan ladang menumpuk kekayaan, kekuasaan, dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir elite yang bertengger di puncak piramida kekuasaan.

MODUL SEMESTER SATU

More »

MODUL SEMESTER DUA

More »

MODUL SEMESTER TIGA

More »

MODUL SEMESTER EMPAT

More »

MODUL SEMESTER LIMA

More »

MODUL SEMESTER ENAM

More »

MODUL SEMESTER TUJUH

More »

MODUL SEMESTER DELAPAN

More »

ILMU ADMINISTRASI BISNIS

More »

PROFESI ADVOKAT

More »

SEMESTER SATU ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER DUA ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER TIGA ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER EMPAT ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER LIMA ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER ENAM ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER TUJUH ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER DELAPAN ADMINISTRASI BISNIS

More »

NGOMPOL

More »

OPINI

More »