MEMBANGUN KARAKTER BUDAYA POLITIK DALAM BERDEMOKRASI


oleh Khoirul Saleh dan Achmat Munif

(Universitas Sultan Fatah Demak, Jawa Tengah, Indonesia)

Abstrak

Kejadian pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia merupakan amanah dari rakyat melalui mekanisme pemilihan umum. Meski sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa pegantian Presiden RI pertama dari Ir. Soekarno hingga presiden yang ketujuh, yaitu Jokowi, selalu terdapat kejadian tidak semestinya oleh elite “pemimpin negara” dan hal ini akan menjadi cermin bagi rakyat Indonesia bagaimana membangun karakter budaya politik. Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana zaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Partisipasi politik masyarakat sangat membantu berkembangnya budaya politik dalam suatu negara. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan. Demokrasi merupakan media untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kalau demokrasi ditegakkan, dengan tingginya partisipasi rakyat dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka masyarakat adil dan makmur bisa terwujud. Yang tidak kalah penting adalah membagun karakter budaya politik, sehingga kegiatan politik bukanlah panggung bermain bagi para elite penguasa, tetapi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar warga negara dalam menciptakan kemaslahatan bersama.

Kata Kunci: Budaya Politik, Karakter, Demokrasi.

 

A. Pendahuluan

Tahapan terakhir penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 baru saja dilaksanakan, yaitu Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia terpilih periode 2014-2019 dalam Sidang Paripurna Senin (20/10/14) benar-benar memberikan sebuah pembelajaran berharga bagi kehidupan berpolitik di Indonesia. Hasil rekapitulasi suara yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli 2014 atas nomor urut 1 (Prabowo-Hatta) dan nomor urut 2 (Jokowi-JK) memutuskan bahwa perolehan suara nomor urut 1 sebanyak 62.576.444 suara atau 46,85 % dan pasangan nomor urut 2 sebesar 70.997.833 suara atau 53,15 persen dari total suara sah 133.574.277. Berdasarkan hasil rekapitulasi KPU tersebut menjelaskan KPU menetapkan bahwa Joko Widodo sebagai Capres terpilih dan Jusuf Kalla sebagai Cawapres terpilih periode 2014-2019.

 

Disadari bahwa pilpres yang hanya di ikuti oleh dua kandidat terasa sangat berdampak pada hangatnya aura kompetisi politik, di mana terjadi perang opini, pencitraan, hingga kampanye hitam (black campaign), baik melalui media massa, elektronik, maupun media sosial. Hal ini berlanjut dalam Sidang Paripurna Pembahasan Tingkat II Rancangan Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) di DPR dan persaingan memperebutkan pimpinan DPR-MPR RI, antara Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kegaduhan politik yang timbul akibat persaingan kedua kubu ini sama sekali tidak menguntungkan bagi masyarakat Indonesia dan menjadi budaya politik yang tidak baik dalam berdomokrasi.

 

Kejadian pergantian kepemimpinan nasional di Indonesia merupakan amanah dari rakyat melalui mekanisme pemilihan umum sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, dan jurdil, serta adanya persaingan yang sehat antar pasangan calon presiden dan wakil presiden. Meski sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa pegantian Presiden RI Pertama dari Ir. Soekarno hingga presiden yang ketujuh, yaitu Jokowi, selalu terdapat kejadian tidak tepat dan hal ini akan menjadi cermin bagi rakyat Indonesia bagaimana membangun karakter budaya politik.

 

B.Pembahasan

1. Konsep Budaya Politik

Untuk memahami tentang budaya politik, terlebih dahulu harus dipahami tentang pengertian budaya dan politik.Budaya berasal dari bahasa Sansekerta yaitu budhayah, bentuk jamak dari budhi yang artinya akal, Kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan akal atau budi.Kebudayaan adalah segala yang dihasilkan oleh manusia berdasarkan kemampuan akalnya. Ciri-ciri umum dari kebudayaan adalah dipelajari, diwariskan, dan diteruskan, hidup dalam masyarakat, dikembangkan dan berubah, serta terintegrasi.

 

Beberapa pengertian tentang politik menurut beberapa ahli:

a. Prof. Miriam Budiardjo, politik (politics) adalah usaha untuk menentukan peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian warga, untuk membawa masyarakat kearah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha menggapai the good of life ini menyangkut bermacam-macam kegiatan yang antara lain menyangkut proses penentuan tujuan dari system serta cara-cara melaksanakan tujuan itu.1

b. Peter Merkl bahwa politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri (politics at its worst is a selfish grab for power, glory and riches). Singkatnya, politik adalah rebutan kuasa, harta dan takhta.2

c. Andrew Heywood, “Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang bertujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamademen peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya yang berarti tidak dapat lepas dari gejala konflik dan kerja sama (politics is the activity trough wihich a people make, preserve and amend the general roles under which they live and as such is inextricaly linked to the phenomenof conflict and corporation).

 

Budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat yang dipengaruhi oleh suasana zaman saat itu dan tingkat pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Artinya, budaya politik yang berkembang dalam suatu negara dilatarbelakangi oleh situasi, kondisi, dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri, terutama pelaku politik yang memiliki kewenangan dan kekuasaan dalam membuat kebijakan, sehingga budaya politik yang berkembang dalam masyarakat suatu negara akan mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Secara teoretik, budaya politik juga dapat diartikan aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, takhayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat dalam memberikan rasionalisasi untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.

 

Perbedaan budaya politik dalam masyarakat secara garis besar dapat dibedakan dalam tiga budaya politik, yaitu budaya politik apatis (acuh, masa bodoh, pasif), budaya politik mobilisasi (didorong atau sengaja dimobilisasi), dan budaya politik partisipatif (aktif). Perbedaan budaya politik yang berkembang dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:

a. Tingkat pendidikan masyarakat sebagai kunci utama perkembangan budaya politik masyarakat.

b. Tingkat ekonomi masyarakat; semakin tinggi tingkat ekonomi/sejahtera masyarakat, maka partisipasi masyarakat pun semakin besar.

c. Reformasi politik/political will (semangat merevisi dan mengadopsi sistem politik yang lebih baik).

d. Supremasi hukum (adanya penegakan hukum yang adil, independen, dan bebas).

e. Media komunikasi yang independen (berfungsi sebagai kontrol sosial, bebas, dan mandiri).

 

Selanjutnya, Almond dan Verba mengemukakan bahwa budaya politik suatu masyarakat dihayati melalui kesadaran masyarkat akan pengetahuan, perasaan, dan evaluasi masyarakat tersebut yang berorientasi pada: a. Orientasi kognitif merupakan pengetahuan masyarakat tentang sistem politik, peran, dan segala kewajibannya. Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan mengenai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

b. Orientasi afektif merupakan perasaan masyarakat terhadap sistem politik dan perannya, serta para pelaksana dan penampilannya. Perasaan masyarakat tersebut bisa saja merupakan perasaan untuk menolak atau menerima sistem politik atau kebijakan yang dibuat.

c. Orientasi evaluatif merupakan keputusan dan pendapat masyarakat tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan nilai moral yang ada dalam masyarakat dengan kriteria informasi dan perasaan yang mereka miliki.3

 

Konsep budaya politik mencakup banyak aspek dalam fenomena politik, tradisi politik dan cerita kepahlawanan rakyat, semangat institusi publik, politik kewargaan, tujuan yang diartikulasikan sebuah ideologi politik, aturan main politik formal ataupun non-formal, stereotip, gaya, moda, dan langgam pertukaran politik, dan sebagainya. Namun demikian, konsep ini biasanya diringkas sebagai pola distribusi orientasi terhadap politik yang dimiliki oleh para anggota komunitas politik. Analisis budaya politik terutama bermanfaat ketika hendak mengetahui sejauhmana budaya memainkan perannya dalam membentuk perilaku kolektif sebuah komunitas politik, apakah perilaku kolektif tersebut produktif dalam konteks pengembangan masyarakat secara umum, dan bagaimana budaya politik sebuah masyarakat mengalami transformasi menuju masyarakat yang lebih terbuka, adil dan sejahtera.

 

2. Tipe-tipe Budaya Politik

Aristoteles, seorang filsuf Yunani kuno, dalam buku Politeia atau Politics, mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon atau manusia yang pada dasarnya selalu bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya. Manusia saling ketergantungan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhannya. Pada dasarnya anggota masyarakat saling terkait sebagai satu kesatuan sosial melalui perasaan solidaritas yang dikarenakan latar belakang sejarah, politik dan kebudayaan.

 

Masyarakat politik adalah masyarakat yang sadar politik atau masyarakat yang keikutsetaan hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupannya sebagai warga negara. Masyarakat politik yang terdiri dari elite politik dan massa politik menjadi peserta rutin dalam kompetisi politik harus dibangun sebagai komponen masyarakat yang mempunyai etika politik dalam demokrasi. Ciriciri masyarakat politik antara lain sebagai berikut.

a. Dengan sadar dan sukarela menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, terutama hak pilih aktif.

b. Bersifat kritis terhadap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dengan sikap: 1) menerima sebagaimana adanya, 2) menolak dengan alasan tertentu, atau 3) ada yang suka diam tanpa memberikan reaksi apa-apa.

c. Memiliki komitmen kuat terhadap partai politik yang menjadi pilihannya.

d. Dalam penyelesaian suatu masalah lebih suka dengan cara dialog atau musyawarah.

 

Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, budaya politik dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

a. Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu budaya politik yang tingkat partisipasi politiknya sangat rendah. Budaya politik suatu masyarakat dapat di katakan parokial apabila frekuensi orientasi mereka terhadap empat dimensi penentu budaya politik mendekati nol atau tidak memiliki perhatian sama sekali terhadap keempat dimensi tersebut. Tipe budaya politik ini umumnya terdapat pada masyarakat suku Afrika atau masyarakat pedalaman di Indonesia. Dalam masyarakat ini tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Kepala suku, kepala kampung, kiai, atau dukun, yang biasanya merangkum semua peran yang ada, baik peran yang bersifat politis, ekonomis, maupun religius.

b. Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu budaya politik yang masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju, baik sosial maupun ekonominya, tetapi masih bersifat pasif. Budaya politik suatu masyarakat dapat dikatakan subjek jika terdapat frekuensi orientasi yang tinggi terhadap pengetahuan sistem politik secara umum dan objek out put atau terdapat pemahaman mengenai penguatan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Namun, frekuensi orientasi mengenai struktur dan peranan dalam pembuatan kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak terlalu diperhatikan. Para subjek menyadari akan otoritas pemerintah dan secara efektif mereka diarahkan pada otoritas tersebut. Sikap masyarakat terhadap sistem politik yang ada ditunjukkan melalui rasa bangga atau malah rasa tidak suka. Intinya, dalam kebudayaan politik subjek sudah ada pengetahuan yang memadai tentang sistem politik secara umum serta proses penguatan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

c. Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Masyarakat mampu memberikan opininya dan aktif dalam kegiatan politik. Dan, juga merupakan suatu bentuk budaya politik yang anggota masyarakatnya sudah memiliki pemahaman yang baik mengenai empat dimensi penentu budaya politik. Mereka memiliki pengetahuan yang memadai mengenai sistem politik secara umum, tentang peran pemerintah dalam membuat kebijakan beserta penguatan, dan berpartisipasi aktif dalam proses politik yang berlangsung. Masyarakat cenderung diarahkan pada peran pribadi yang aktif dalam semua dimensi di atas, meskipun perasaan dan evaluasi mereka terhadap peran tersebut bisa saja bersifat menerima atau menolak.

d. Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas. Tentang klasifikasi budaya politik di dalam masyarakat, lebih lanjut adalah sebagai berikut.

 

No. Budaya Politik Uraian/Keterangan

1. Parokial

a. Frekuensi orientasi terhadap sistem sebagai objek umum, objek-objek input, objek-objek output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati nol.

b. Tidak terdapat peran-peran politik yang khusus dalam masyarakat.

c. Orientasi parokial menyatakan alpanya harapanharapan akan perubahan yang komparatif yang diinisiasikan oleh sistem politik.

d. Kaum parokial tidak mengharapkan apapun dari sistem politik.

e. Parokialisme murni berlangsung dalam sistem tradisional yang lebih sederhana dimana spesialisasi politik berada pada jenjang sangat minim.

f. Parokialisme dalam sistem politik yang diferensiatif lebih bersifat afektif dan normatif dari pada kognitif.

 

2. Subjek/ Kaula

a. Terdapat frekuensi orientasi politik yang tinggi terhadap sistem politik yang diferensiatif dan aspek out put dari sistem itu, tetapi frekuensi orientasi terhadap objek-objek input secara khusus, dan terhadap pribadi sebagai partisipan yang aktif mendekati nol.

b. Para subjek menyadari akan otoritas pemerintah.

c. Hubungannya terhadap sistem politik secara umum, dan terhadap out put, administratif secara esensial merupakan hubungan yang pasif.

d. Sering wujud di dalam masyarakat di mana tidak terdapat struktur input yang terdiferensiasikan.

e. Orientasi subjek lebih bersifat afektif dan normatif daripada kognitif.

 

3. Partisipan

a. Frekuensi orientasi politik sistem sebagai objek umum, objek-objek input, output, dan pribadi sebagai partisipan aktif mendekati satu.

b. Bentuk kultur di mana anggota-anggota masyarakat cenderung diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem politik secara komprehensif dan terhadap struktur dan proses politik serta administratif (aspek input dan output sistem politik).

c. Anggota masyarakat partisipatif terhadap objek politik.

d. Masyarakat berperan sebagai aktivis.

 

Budaya politik partisipan merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik dalam berdemokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, masyarakat merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan memercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu, warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya (trust) antar warga negara dan memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Masyarakat memiliki keyakinan dapat memengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk menyampaikan kritik, mengorganisasikan diri dalam protes sebagai kontrol bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak memihak rakyat.

 

Pendekatan budaya politik dapat digunakan untuk mengkaji perkembangan sistem politik di negara Indonesia yang penuh dengan dinamika, mulai era Demokrasi Parlementer, era Demokrasi Terpimpin, era Demokrasi Pancasila, dan yang terakhir adalah era Reformasi.

 

a. Era Demokrasi Parlementer (1945-1950)

Budaya politik yang berkembang pada era demokrasi parlementer sangat beragam, dengan tingginya partisipasi massa dalam menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan anggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat telah berbudaya politik partisipan. Anggapan bahwa rakyat mengenal hakhaknya dan dapat melaksanakan kewajibannya menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik yang timbul ketika itu5 Percobaan kudeta dan pemberontakan, di mana dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya keterlibatan/keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh pola-pola aliran yang ada ketika itu.

 

Para elite Indonesia yang disebut penghimpun solidaritas (solidarity maker) lebih tampak dalam periode demokrasi parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators memegang peranan. Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar elite mulai terjadi sejak terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada tahun 1958. Selain itu, dengan gaya politik yang ideologis pada masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik. Adanya ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut ikatan primordial. Selain itu, orientasi pragmatis juga senantiasa mengiringi budaya politik pada era ini.

 

b. Era Demokrasi Terpimpin (dimulai pada 5 Juli 1959 sampai 1965)

Budaya politik yang berkembang pada era ini masih diwarnai dengan sifat primordialisme seperti pada era sebelumnya. Ideologi masih tetap mewarnai periode ini, walaupun sudah dibatasi secara formal melalui Penetapan  Presiden Nomor 7 Tahun 1959 Tanggal 31 Desember 1959 Tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian, tokoh politik memperkenalkan gagasan Nasionalisme, Agama, dan Komunisme (Nasakom). Gagasan tersebut menjadi patokan bagi partai-partai yang berkembang pada era Demorasi Terpimpin. Dalam kondisi tersebut, tokoh politik dapat memelihara keseimbangan politik.6

 

Selain itu, paternalisme juga bahkan dapat hidup lebih subur di kalangan elit-elit politiknya. Adanya sifat karismatik dan paternalistik yang tumbuh di kalangan elit politik dapat menengahi dan kemudian memperoleh dukungan dari pihakpihak yang bertikai, baik dengan sukarela maupun dengan paksaan. Dengan demikian, muncul dialektika bahwa pihak yang kurang kemampuannya, yang tidak dapat menghimpun solidaritas di arena politik, akan tersingkir dari gelanggang politik. Adapun pihak yang lebih kuat akan merajai/menguasai arena politik.

 

Pengaturan soal-soal kemasyarakatan lebih cenderung dilakukan secara paksaan. Hal ini bisa dilihat dari adanya teror mental yang dilakukan kepada kelompok-kelompok atau orang-orang yang kontra revolusi ataupun kepada aliranaliran yang tidak setuju dengan nilai-nilai mutlak yang telah ditetapkan oleh penguasa.

 

Dari masyarakatnya sendiri, besarnya partisipasi berupa tuntutan yang diajukan kepada pemerintah juga masih melebihi kapasitas sistem yang ada. Namun, saluran input-nya dibatasi, yaitu hanya melalui Front Nasional. Input-input yang masuk melalui Front Nasional tersebut menghasilkan out put yang berupa out put simbolik melalui bentuk rapat-rapat raksasa yang hanya menguntungkan rezim yang sedang berkuasa. Rakyat dalam rapat-rapat raksasa tidak dapat dianggap memiliki budaya politik sebagai partisipan, melainkan menujukkan tingkat budaya politik kaula, karena diciptakan atas usaha dari rezim.

 

c. Era Demokrasi Pancasila (1966-1998)

Gaya politik yang didasarkan primordialisme pada era Orde Baru sudah mulai ditinggalkan. Yang lebih menonjol adalah gaya intelektual yang pragmatik dalam penyaluran tuntutan. Pada era ini, secara material penyaluran tuntutan lebih dikendalikan oleh koalisi besar (cardinal coalition) antara Golkar dan ABRI, yang pada hakikatnya berintikan teknokrat dan perwira-perwira yang telah kenal teknologi modern.

 

Sementara itu, proses pengambilan keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elite birokrasi dan militer yang terbatas sebagaimanaa terjadi dalam tipologi masyarakat birokrasi. Akibatnya, masyarakat hanya menjadi objek mobilisasi kebijakan para elite politik karena segala sesuatu telah diputuskan di tingkat pusat dalam lingkaran elite terbatas.

 

Kultur ABS (asal bapak senang) juga sangat kuat dalam era ini. Sifat birokrasi yang bercirikan patron-klien melahirkan tipe birokrasi patrimonial, yakni suatu birokrasi di mana hubungan-hubungan yang ada, baik internal maupun eksternal adalah hubungan antar patron dan klien yang sifatnya sangat pribadi dan khas.

 

Dari penjelasan di atas, mengindikasikan bahwa budaya politik yang berkembang pada era Orde Baru adalah budaya politik subjek, di mana semua keputusan dibuat oleh pemerintah, sedangkan rakyat hanya bisa tunduk di bawah pemerintahan otoritarianisme Soeharto. Kalaupun ada proses pengambilan keputusan hanya sebagai formalitas karena yang keputusan kebijakan publik yang hanya diformulasikan dalam lingkaran elite birokrasi dan militer.

 

Di masa Orde Baru, kekuasaan patrimonialistik telah menyebabkan kekuasaan tak terkontrol sehingga negara menjadi sangat kuat sehingga peluang tumbuhnya civil society terhambat. Contoh budaya politik Neo Patrimonialistik adalah :

1. Proyek dipegang pejabat.

2. Promosi jabatan tidak melalui prosedur yang berlaku (surat sakti).

3. Anak pejabat menjadi pengusaha besar, memanfaatkan kekuasaan orang tuanya dan mendapatkan perlakuan istimewa.

4. Anak pejabat memegang posisi strategis, baik di pemerintahan maupun politik.

 

d. Era Reformasi (1998 sampai sekarang)

Budaya politik yang berkembang pada era reformasi ini adalah budaya politik yang lebih berorientasi pada kekuasaan yang berkembang di kalangan elite politik. Budaya seperti itu telah membuat struktur politik demokrasi tidak dapat berjalan dengan baik. Walaupun struktur dan fungsi-fungsi sistem politik Indonesia mengalami perubahan dari era yang satu ke era selanjutnya, namun tidak pada budaya politiknya. Menurut Karl D. Jackson, dalam bukunya Budi Winarno, budaya Jawa telah mempunyai peran yang cukup besar dalam mempengaruhi budaya politik yang berkembang di Indonesia. Relasi antara pemimpin dan pengikutnya pun menciptakan pola hubungan patron-klien (bercorak patrimonial). Kekuatan orientasi individu yang berkembang untuk meraih kekuasaan dibandingkan sebagai pelayan publik di kalangan elite merupakan salah satu pengaruh budaya politik Jawa yang kuat.

 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Agus Dwiyanto, dkk., dalam Budi Winarno, mengenai kinerja birokrasi di beberapa daerah, bahwa birokrasi publik masih mempersepsikan dirinya sebagai penguasa daripada sebagai abdi yang bersedia melayani masyarakat dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari perilaku para pejabat dan elite politik yang lebih memperjuangkan kepentingan kelompoknya dibandingkan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan.

 

Dengan menguatnya budaya paternalistik, masyarakat lebih cenderung mengejar status dibandingkan dengan kemakmuran. Reformasi pada tahun 1998 telah memberikan sumbangan bagi berkembangnya budaya poltik partisipan. Namun, kuatnya budaya politik patrimonial dan otoritarianisme politik yang masih berkembang di kalangan elite politik dan penyelenggara pemerintahan masih senantiasa mengiringi. Walaupun rakyat mulai peduli dengan input-input politik, akan tetapi tidak diimbangi dengan para elite politik karena mereka masih memiliki mentalitas budaya politik sebelumnya. Sehingga, budaya politik yang berkembang cenderung merupakan budaya politik subjek-partisipan.

 

Menurut Ignas Kleden, terdapat lima preposisi tentang perubahan politik dan budaya politik yang berlangsung sejak reformasi 1998.7 Pertama, orientasi terhadap kekuasaan. Misalnya, dalam partai politik, orientasi pengejaran kekuasaan yang sangat kuat dalam partai politik telah membuat partaipartai politik era reformasi lebih bersifat pragmatis. Kedua, politik mikro vs politik makro, bahwa politik Indonesia sebagian besar lebih berkutat pada politik mikro yang terbatas pada hubungan-hubungan antara aktor-aktor politik, yang terbatas pada tukar-menukar kepentingan politik. Politik makro tidak terlalu diperhatikan, di mana merupakan tempat terjadinya tukar-menukar kekuatan-kekuatan sosial seperti negara, masyarakat, struktur politik, sistem hukum, civil society, dsb. Ketiga, kepentingan negara vs kepentingan masyarakat, bahwa realitas politik lebih berorientasi pada kepentingan negara (state heavy) dibandingkan kepentingan masyarakat (society oriented). Keempat, bebas dari kemiskinan dan kebebasan beragama, bahwa reformasi tahun 1998 lebih merupakan reformasi social-politik dan reformasi sosial budaya bukan merupakan reformasi dalam bidang ekonomi, dalam pandangannya. Kelima, desentralisasi politik. Pada kenyataannya yang terjadi bukanlah desentralisasi politik, melainkan lebih  pada berpindahnya sentralisme politik dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dengan demikian, budaya politik era reformasi tetap masih bercorak patrimonial, berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan, bersifat sangat paternalistik, dan pragmatis.

 

3. Sosialisasi dalam Membangun Budaya Politik

Sosialisasi politik merupakan salah satu dari fungsi-fungsi input sistem politik yang berlaku di negara-negara mana pun, baik yang menganut sistem politik demokratis, otoriter, diktator, dan sebagainya. Sosialisasi politik merupakan proses pembentukan sikap dan orientasi politik pada anggota masyarakat.

 

Keterlaksanaan sosialisasi politik sangat ditentukan oleh lingkungan sosial, ekonomi, dan kebudayaan di mana seseorang. Selain itu, juga ditentukan oleh interaksi pengalamanpengalaman serta kepribadian seseorang. Sosialsiasi politik merupakan proses yang berlangsung lama dan rumit yang dihasilkan dari usaha saling memengaruhi di antara kepribadian individu dengan pengalaman-pengalaman politik yang relevan yang memberikan bentuk terhadap tingkah laku politiknya. Pengetahuan, nilai-nilai, dan sikap-sikap yang diperoleh seseorang itu membentuk satu layar persepsi, melalui mana individu menerima rangsangan-rangsangan politik dan tingkah laku politik seseorang berkembang secara berangsur-angsur.

 

Dengan demikian, sosialisasi politik adalah proses di mana individu-individu dapat memperoleh pengetahuan, nilainilai, dan sikap-sikap terhadap sistem politik masyarakatnya. Kondisi ini tidak menjamin bahwa masyarakat mengesahkan sistem politiknya, sekalipun hal ini mungkin bisa terjadi. Sebab, hal ini bisa saja menyebabkan pengingkaran terhadap legitimasi. Akan tetapi, apakah akan menuju kepada stagnasi atau perubahan, tergantung pada keadaan yang menyebabkan pengingkaran tersebut. Apabila legitimasi itu disertai dengan sikap bermusuhan yang aktif terhadap sistem politiknya, maka perubahan mungkin terjadi. Akan tetapi, apabila legitimasi itu dibarengi dengan sikap apatis terhadap sistem politiknya, bukan tak mungkin yang dihasilkan stagnasi.

 

Negara Indonesia yang menganut demokrasi Pancasila, fungsi kontrol atau pengawasan terhadap kinerja pemerintah oleh rakyat melalui lembaga legislatif yang mempunyai kewajiban untuk menjamin terlaksananya perlindungan dan jaminan hak asasi manusia. Sistem politik yang diharapkan merupakan penjabaran dari nilai-nilai luhur Pancasila secara keseluruhan dalam praktik ketatanegaraan, mulai dari penyelenggaran pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatannya dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Untuk itu, masyarakat hendaknya memberikan respons positif terhadap perkembangan-perkembangan budaya politik di Indonesia melalui cara-cara sebagai berikut.

a. Mengerti dan mampu malaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

b. Berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan pemilu.

c. Melaksanakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan berbagai masalah.

d. Menghargai dan menghormati perbedaan pendapat.

e. Menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

f. Menjunjung tinggi hukum yang berlaku.

g. Mewariskan nilai-nilai luhur Pancasila kepada generasi penerus bangsa.8

 

Perkembangan budaya politik yang ada diwujudkan dengan terciptanya partai-partai politik. Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik menjelaskan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, biasanya dengan cara konstitusional, untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.

 

Dalam negara demokratis, partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu:

a. Sebagai sarana komunikasi politik, yaitu menyalurkan pendapat dan aspirasi masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpangsiuran pendapat dalam masyarakat berkurang.

b. Sebagai sarana sosialisasi politik, diartikan sebagai proses bagaimana seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat tempat tinggalnya.

c. Sebagai sarana rekruitmen politik, yaitu untuk mencari dan mengajak orang-orang yang berbakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota politik (political recruitment) dan untuk melakukan pengkaderan terhadap generasi muda melalui pendidikan politik.

d. Sebagai sarana pengatur konflik (conflict management). Artinya, apabila terjadi perbedaan pendapat dalam masyarakat, maka partai politik berusaha untuk mengatasi konflik tersebut.

 

Fungsi partai politik tersebut sekarang ini tampaknya masih jauh dari harapan. Hal ini dapat dilihat pasca dilantiknya DPR dengan memberikan tontonan bukan tuntunan, yaitu perseturuan antara kubu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sebagai ekses dari Pilpres 2014, KMP adalah koalisi parpol pendukung Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang terdiri atas Golkar, Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, ditambah PPP yang kini kembali merapat. Adapun KIH adalah pendukung Jokowi-JK yang terdiri atas PDIP, Nasdem, PKB, dan Hanura. KMP menguasai 353 atau 63% kursi di parlemen, sementara KIH 207 atau 37% kursi.9 Dimulai dari kubu KMP di DPR melancarkan operasi sapu bersih semua pimpinan alat kelengkapan dewan (AKD). Disusul keputusan sepihak mengambil semua jatah pimpinan komisi plus Mahkamah Kehormatan, Komisi V, Komisi XI, Badan Legislasi, Badan Kerjasama Antar Parlemen, serta Badan Urusan Rumah Tangga. 9

 

Terkecuali pimpinan Banggar yang penetapannya harus menunggu kelengkapan penetapan komisi-komisi (alat kelengkapan dewan). Sementara, Kubu KIH membuat semacam DPR tandingan guna mengimbangi kubu KMP. Bahkan, menggelar rapat paripurna plus adegan membalikkan meja yang dilakukan anggota FPPP DPR, partai pendukung pemerintah.

 

Kubu KIH sebenarnya hanya ingin mengisi 16 kursi pimpinan komisi dan alat kelengkapan dewan yang seluruhnya berjumlah 64 kursi. Namun, kubu KMP menolak permintaan itu karena mereka ingin menguasai mayoritas suara di semua lini kursi pimpinan DPR, sebagai obsesi pihak yang menguasai arena legislatif akibat gagal meraih kursi eksekutif setelah kalah dalam Pilpres 2014.

 

Meredanya ketegangan dan perseteruan antara KMP dan KIH ini sedikit banyak mencerminkan efektifnya komunikasi politik dua kubu itu. Komunikasi politik bisa memadukan perubahan sikap KMP yang kemudian lebih membuka diri, seiring dengan perubahan sikap KIH yang jadi lebih realistis. Termasuk merelakan kekuasaan pimpinan legislatif berada di kubu KMP, dengan menerima komitmen perolehan 21 kursi pimpinan alat kelengkapan dewan.

 

Bisa dibayangkan apa jadinya sistem politik di Indonesia jika KIH dan KMP tidak mencapai kesepakatan politik. Kubu KMP yang menguasai legislatif akan berada pada posisi berhadap-hadapan untuk mematahkan upaya KIH mendukung eksekutif. Rivalitas politik berkait peran legislatif dan eksekutif bagaimanapun berujung pada klimaks politik, yang tidak terlepas dari kepentingan politik masing-masing lembaga itu.

 

Drama politik tersebut yang dimainkan oleh elite partai dan anggota DPR yang terhormat sangat jauh dari harapan konstituennya tatkala saat masa kampanye yang semuanya menyampaikan visi, misi, dan programnya dengan menjanjikan kesejahteraan bagi masyakat. Slogon-slogan kampanye seolah sirna ditelan kepentingan akan kekuasaan sehingga perlu dibangun kembali karakter budaya politik yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia dengan mengedepankan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan segala persoalan dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.

 

Peran serta masyarakat perlu didorong dalam kerangka turut serta mengawasi para wakilnya yang duduk dalam lembaga legislatif melalui partisipasi politik sehingga anggota DPR benar menjalankan fungsi dasarnya, yaitu legislasi (pembuatan UU), budgeting (penyusunan anggaran), dan pengawasan sesuai code of conduct-nya.

 

4. Partisipasi Politik Masyarakat

Partisipasi politik masyarakat sangat membantu berkembangnya budaya politik dalam suatu negara. Partisipasi politik secara harfiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik, hal ini mengacu pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya. Sebab, kalau ini yang terjadi, maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik. Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan. Dapat juga diartikan merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pempinan negara dan secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan pendekatan atau hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, dan sebagainya. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik menjadi:

a. Kegiatan pemilihan, yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha memengaruhi hasil pemilu.

b. Lobby, yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud memengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu.

c. Kegiatan organisasi, yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna memengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.

d. Contacting, yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna memengaruhi keputusan mereka.

e. Tindakan kekerasan (violence), yaitu tindakan individu atau kelompok guna memengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, pembutuhan politik (assassination), revolusi dan pemberontakan.10

 

Kelima bentuk partisipasi politik menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Klasifikasi bentuk partisipasi politik Huntington dan Nelson belumlah relatif lengkap karena keduanya belum memasukkan bentuk-bentuk partisipasi politik seperti kegiatan diskusi politik, menikmati berita politik, atau lainnya yang berlangsung di dalam skala subjektif individu. Misalnya, menyebutkan: (a) opini publik, bahwa opini publik yang kuat dapat saja mendorong para legislator ataupun eksekutif politik mengubah pandangan mereka atas suatu isu; (b) polling adalah upaya pengukuran opini publik dan juga memengaruhinya. Melalui polling inilah partisipasi politik warganegara menemui manifestasinya. Di dalam polling terdapat aneka konsep yang menjadi bagian di dalam dirinya, yaitu straw polls, random sampling, stratified sampling, exit polling, dan tracking polls.

 

Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi politik lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya, ungkapan pemimpin, “Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihngmasing.” Sebaliknya, jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan. Dengan meilhat derajat partisipasi politik warga dalam proses politik rezim atau pemerintahan bisa dilihat dalam spektrum: a. Rezim otoriter; warga tidak tahu-menahu tentang segala kebijakan dan keputusan politik.

b. Rezim patrimonial; warga diberitahu tentang keputusan politik yang telah dibuat oleh para pemimpin tanpa bisa memengaruhinya.

c. Rezim partisipatif; warga bisa memengaruhi keputusan yang dibuat oleh para pemimpinnya.

d. Rezim demokratis; warga merupakan aktor utama pembuatan keputusan politik.

 

Demokrasi hanya merupakan media, yaitu untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Kalau demokrasi ditegakkan, dengan tingginya partisipasi rakyat dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maka masyarakat adil dan makmur bisa terwujud. Paling tidak ada tiga syarat minimun yang harus dimiliki oleh sebuah rezim yang mengaku demokratis. Pertama, adanya keterwakilan rakyat secara nyata dalam berbagai proses pengambilan keputusan ekonomi, politik, dan sosial-budaya. Selama ini, sistem keterwakilan direduksi menjadi persoalan hak rakyat dalam menggunkan hak pilihnya untuk memilih wakilwakil rakyat melalui pemilu, di mana kemampuan calon-calon wakil rakyat masih jauh dari standar yang diinginkan oleh rakyat, sehingga setelah pemilu usai, dengan mengatasnamakan rakyat, wakil rakyat itu (DPR) bertindak di luar kontrol rakyat. Kedua, adanya komitmen yang kuat untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. Di sini demokrasi harus menjamin pemenuhan hak-hak dasar rakyat, seperti pendidikan, penyediaan lapangan kerja, jaminan penghidupan layak, kesehatan, perumahan, dll. Ketiga, adanya ruang bagi partisipasi rakyat atau menjadikan rakyat sebagai subjek demokrasi.

 

C.Simpulan

Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat dengan para elitenya. Perlu dibangun karakter budaya politik, sehingga kegiatan “politik” bukanlah panggung bermain bagi para elite-penguasa, tetapi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan dasar warga negara dalam menciptakan kemaslahatan bersama (publik good). Masyarakat dalam struktur negara modern adalah raja yang harus dilayani oleh para pejabat atau penguasa, bukan sebaliknya, pelayan yang harus melayani segala kebutuhan penguasa seperti dalam hierarki sistem politik kuno. Amanah yang diberikan masyarakat kepada pemerintah dan anggota DPR harus diimbangi dalam bentuk pelayanan prima atas segala kebutuhan masyarakat, bukan malah dijadikan ladang menumpuk kekayaan, kekuasaan, dan kesejahteraan hanya dinikmati oleh segelintir elite yang bertengger di puncak piramida kekuasaan.