Bagaimana Kekuatan Hukum HGB Dibanding Sertifikat Hak Milik? Begini Penjelasan Ahli Hukum

 


Kepemilikan tanah akan selalu menjadi persoalan hukum yang pelik.

Bahkan, masih banyak masyarakat belum memahami kekuatan hukum dari sejumlah hak atas tanah.

Misalnya, Hak Guna Bangunan (HGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM).

Praktisi Hukum asal Solo, Agam Cendekia, menyebut sertifikat hak milik lebih berkekuatan hukum dibandung HGB.

Dikatakannya, SHM tidak memiliki batasan waktu atas kepemilikan tanah.

Sehingga, tanah dengan sertifikat kepemilikan itu bisa dilimpahkan ke pihak lain, seperti warisan.

Sementara HGB mempunyai jangka waktu terbatas dalam memiliki kuasa atas tanah tersebut.

"Hak milik kepemilikannya jelas ya, dalam artian tidak ada batas waktu. Dia mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat."

"Kuat ini dalam artian, berbeda dengan status hak atas tanah lainnya.Bisa diturunkan ke ahli waris kita, turun temurun."

"HGB belum tentu bisa wariskan secara turun temurun karena ada batas waktunya," kata Agam dalam program Kacamata Hukum Tribunnews.com, Senin (13/9/2021).

Dalam peraturan UU Pokok Agraria, kata Agam, masa berlaku izin HGB untuk pertama kali, paling lama 30 tahun.

Agam melanjutkan, ketika masa berlaku kepemilikan HGB habis, seseorang bisa memperpanjang waktunya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).

"Itu paling lama. Belum tentu dari kantor tanah memberikan izin penggunaan atas tanah itu sesuai dengan yang ada di UU Pokok Agraria."

"Bisa jadi 15 tahun, 20 tahun, bisa jadi 25 itu tergantung kajian dan atau analisis yang dilakukan Kantor Pertanahan," jelas dia.

Selain itu, cakupan lahan yang dikuasai dengan HGB dan SHM juga berbeda.

Ia menjelaskan, kepemilikan HGB hanya sebatas bangunan yang didirikan saja.

Sedangkan, hak milik tidak hanya sebatas bangunan, tetapi juga kepemilikan tanah tersebut.

"Jadi, sangat jelas posisi yang paling kuat di sini, adalah hak milik," ucap Agam.


Apakah HGB Bisa Diubah ke Sertifikat Hak Milik?

Agam pun juga menjelaskan bahwa HGB dimungkinkan bisa berubah menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM).

Hal itu berlaku selama pemilik HGB bisa memenuhi syarat-syarat pendaftaran SHM.

Menurutnya, proses perubahan HGB menjadi SHM sering dijumpai pada masyarakat yang membeli produk rumah dari perusahaan pengembang.

"Kebanyakan HGB itu adalah produk dari perusahaan pengembang-pengembang, sebenarnya dimungkinkan perubahan hak guna bangunan ke hak milik."

"Prosesnya yang jelas terkait dengan peningkatan hak atas tanah dari HGB ke hak milik, adalah ia harus memiliki bukti adanya bangunan dengan IMB," tutur dia.

Kemudian, pemilik HGB juga perlu melampirkan identitas Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akta jual beli tanah tersebut.

"Supaya ketika nanti statusnya tanah menjadi hak milik. Akta jual beli bisa dijadikan syarat pendaftaran peningkatan hak atas tanah dari HGB ke hak milik."

"Harus dibuktikan dengan syarat-syarat tersebut," ujar dia.

Sementara, waktu yang dibutuhkan dalam menaikkan status tanah HGB menjadi hak milik ini, bergantung seberapa lama pemilik mampu memenuhi syarat-syarat itu.

"Untuk jangka waktu proses peralihannya itu relatif. Tergantung syarat-syaratnya lengkap atau tidak."

"Kalau lengkap bisa satu-dua bulan. Kalau syaratnya tidak lengkap, pastinya juga bisa panjang," tandasnya.

 

 

 

 

 

 

 

Hukum dalam Masyarakat: Fungsi, Tujuan, dan Tugasnya

 


Jakarta - Hukum adalah peraturan, undang-undang, atau adat yang secara resmi dianggap mengikat untuk mengatur kehidupan dalam masyarakat. Apa saja fungsi hukum tersebut?

Secara etimologis, kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah "Alkas" yang selanjutnya di ambil alih dalam bahasa Indonesia menjadi "Hukum". Di dalam pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan.

Fungsi, Tujuan, dan Tugas hukum dalam kehidupan masyarakat:

1. Fungsi Hukum
Dikutip dari buku "Sistem Hukum dan Penegakan Hukum" oleh S. Salle, fungsi hukum pada hakekatnya adalah untuk merealisasi apa yang menjadi tujuan-tujuan hukum itu sendiri. Namun, beberapa ahli memiliki definisi sendiri.


Berikut ini fungsi hukum menurut para ahli, antara lain:
a. Fungsi Hukum menurut Sudikno Mertokusumo
Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, agar kepentingan-kepentingannya terlindungi, maka hukum seyogyanya dilaksanakan secara nyata.

b. Fungsi hukum menurut Lambertus Johannes van Apeldoorn
Hukum berfungsi sebagai pengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian.

c. Fungsi hukum menurut Joseph Raz
Fungsi hukum dalam kehidupan masyarakat oleh Joseph Raz dibagi menjadi fungsi langsung dan tidak langsung.


Fungsi langsung dari hukum, kemudian dibedakannya berdasarkan fungsi bersifat primer dan sekunder. Fungsi langsung hukum bersifat primer mencakup di dalamnya adalah
- Pencegahan perbuatan tertentu dan mendorong dilakukannya perbuatan tertentu
- Penyediaan fasilitas bagi rencana-rencana privat
- Penyediaan jasa dan pembagian kembali barang-barang
- Penyelesaian perselisihan di luar jalur reguler.


Sementara fungsi langsung hukum bersifat sekunder mencakup di dalamnya:
- Prosedur bagi perubahan hukum, meliputi: Constitution making bodies, Parliaments, Local authorities, Administrative legislation, Custom, Judicial law making, Regulation made by independent public bodies.
- Prosedur bagi pelaksanaan hukum.


Adapun fungsi tidak langsung dari hukum, termasuk memperkuat atau memperlemah kecenderungan untuk menghargai nilai nilai moral tertentu, antara lain tentang kesucian hidup, memperkuat atau memperlemah penghargaan terhadap otoritas umum, mempengaruhi perasaan nasionalisme dan lain-lain.


2. Tujuan Hukum

Menurut, Nikolaas Egbert Algra tujuan hukum dalam masyarakat adalah:
- Menciptakan tatanan masyarakat yang tertib
- Menciptakan ketertiban dan keseimbangan
- Menegakkan fungsi-fungsi

Sementara menurut pandangan Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa tujuan pokok hukum harus menciptakan ketertiban dan tercapainya keadilan.

3. Tugas Hukum

Nikolaas Egbert Algra juga mengemukakan tugas hukum di antaranya adalah:
- Membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat
- Membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum
- Memelihara kepastian hukum.


Hukum Merusak Rumah Ibadah

 


Tulisan Oleh : Andrian Saputra

Perusakan rumah ibadah bukan menjadi sesuatu yang tidak pernah terjadi di republik ini. Meski terhitung jarang terjadi, tapi peristiwa tersebut sungguh memilukan hati.

Salah satu faktor yang melatarbelakangi para pelaku melakukan perusakan, yakni adanya anggapan jika rumah ibadah tersebut digunakan oleh sekelompok orang yang ajarannya menyimpang. Lantas, bagaimana para ulama memandang ini? 

Wakil Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Misbahul Munir menjelaskan, Islam melarang setiap perbuatan menghina, merendahkan, dan merusak tempat ibadah orang lain atau kelompok lain. Menurut Kiai Misbah, tindakan merusak tempat ibadah hanya akan mengobarkan permusuhan yang semakin besar dan berdampak negatif terhadap banyak hal, termasuk pada keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan persatuan sebuah bangsa. 

Sebagaimana dalam surah al-An'am ayat 108 dijelaskan bahwa dilarang untuk memaki sesembahan orang atau agama lain. Menurut Kiai Misbah, bila ditemukan perbedaan atau penyimpanan ajaran agama, maka tidak boleh diselesaikan dengan melakukan kekerasan hingga melakukan perusakan rumah ibadah. Pendekatan yang harus dikedepankan, yakni harus dengan cara musyawarah dan berlandaskan hukum yang berlaku. 

"Perbedaan-perbedaan itu harus diselesaikan dengan cara musyawarah dan berprinsip kepada hukum yang berlaku di Indonesia. Jangan main hakim sendiri, itu jelas merugikan kepada semua pihak," kata kiai Misbah kepada Republika belum lama ini.

Karena itu, Kiai Misbah berpesan agar umat Islam di Indonesia bersikap dewasa dalam melihat perbedaan-perbedaan yang ada di tengah masyarakat.

 Seorang Muslim boleh menyampaikan argumentasinya dengan cara yang baik dan beradab. "

Menurut dia, apabila didapati penyimpangan ajaran agama lebih baik untuk menyerahkan kepada aparat penegak hukum, pemerintah dan para tokoh ulama. Ia mengingatkan agar umat Islam tidak melakukan pengrusakan dan kekerasan terlebih dengan mengatasnamakan agama. Sebab, kekerasan dan pengrusakan tersebut akan membuat citra negatif terhadap Islam.

Kiai Misbah yang juga pimpinan Pondok Pesantren Ilmu Alquran Jakarta ini mengatakan, prinsip dakwah dalam Islam adalah mengajak seseorang kepada jalan Allah dengan ilmu dan hikmah serta nasihat yang baik. Bila terdapat perbedaan dan terjadi adu argumentasi, maka seorang Muslim boleh menyampaikan argumentasinya dengan cara yang baik dan beradab. Dakwah semacam itu akan menghasilkan pemahaman dan penerimaan yang baik serta mendatangkan rasa simpati.
" Merusak tempat ibadah itu dilarang karena tiga hal. Aturan agama melarang, aturan negara melarang, akal sehat dan hati yang jernih tidak bisa menerimanya."

Hakim MK: Indonesia Bukan Rechtsstaat, tapi Negara Hukum Pancasila

 


Jakarta - Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan pembangunan hukum Indonesia bukan mengarah kepada rechtsstaat atau rule of law, melainkan sistem hukum yang berdasarkan kepada Pancasila. Sebab, Indonesia memiliki sila Ketuhanan yang dirujuk, yang hal itu tidak ada dalam sistem rule of law.

"Jadi, kita membangun hukum bukan rechtsstaat, bukan rule of law, tetapi sistem hukum yang berdasarkan kepada Pancasila. Berhukum dengan mata Pancasila dan Demokrasi Pancasila," kata Arief sebagaimana dilansir website MK, Minggu (12/9/2021).

Arief membeberkan alasannya memilih Hukum Pancasila dan bukan rechtsstaat, yaitu Indonesia berbeda dengan negara demokrasi yang lain. Karena negara lain merupakan negara sekuler yang memisahkan kehidupan negara dengan kehidupan pengakuan kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

"Konstitusi Indonesia terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal. Artinya pasal-pasal itu diikat oleh pembukaan. Pasal-pasal itu didasarkan oleh Pembukaan UUD khususnya alinea keempat," kata Arief.

Arief menjelaskan, dalam alinea keempat UUD 1945 ditegaskan tujuan, visi, dan misi negara. Untuk dapat mencapai visi-misi negara tersebut, Indonesia harus berdasarkan lima sila yang selanjutnya disebut sebagai Pancasila. Menurut Arief, Pancasila itu memayungi dan menyinari pasal-pasal UUD 1945.

"Ini yang belum dibahas banyak orang dari kacamata yang lain, misalnya Indonesia itu menyejahterakan rakyatnya tetapi kesejahteraan Indonesia juga berbeda. Kalau negara sekuler lebih banyak kesejahteraannya diarahkan kesejahteraan yang bersifat lahir. Indonesia kesejahteraannya lahir dan batin. Karena di visi, misi, tujuan negara itu harus disinari dengan sinar Pancasila," terang Arief.

Lebih lanjut Arief mengatakan, hal yang sama juga pada demokrasi konstitusional yang berketuhanan. Menurut Arief, sila pertama Pancasila tidak memisahkan antara kehidupan negara dengan kehidupan beragama atau kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga negara Indonesia bukan negara yang sekuler.

"Demokrasi konstitusional Indonesia bukan sekuler, tetapi yang berketuhanan," cetus Arief.

Sementara itu, Ketua MK Anwar Usman menyatakan salah satu penanda sebuah negara demokrasi konstitusional adalah adanya pelaksanaan pemilu yang demokratis.

"Konstitusi kita telah menetapkan neraca kedemokratisan penyelenggaraan pemilu. Artinya, pemilu dikatakan demokratis apabila memenuhi asas-asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal inilah yang menjadi core value dalam penyelenggaraan pemilu," ucap Anwar.

Pemilu yang tidak dilaksanakan berdasarkan asas-asas ini, meskipun dilaksanakan secara demokratis karena diselenggarakan langsung, namun jika abai terhadap kelima asas lainnya dan nilai-nilai Pancasila, maka pemilu seperti ini akan menimbulkan cacat dan noda pada kanvas demokrasi negara kita.

"pemilu yang demokratis tidak hanya dimaknai apabila pemilu itu diselenggarakan secara langsung, tetapi juga perlu dimaknai jika pemilu itu diselenggarakan berdasarkan nilai yang termaktub dalam asas-asas pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945, yakni memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Selain itu, nilai-nilai Pancasila sebagai philosofische grondslag juga harus dijadikan ruh dalam setiap penyelenggaraan pemilu agar pemilu yang dilaksanakan tidak anarkis dan tetap demokratis serta lebih beretika, santun dan bermoral," pungkas Anwar.


MK: Debt Collector Bisa Sita Barang Kredit Tanpa Pengadilan, Tapi Ada Syaratnya

 



Mahkamah Konstitusi  menjatuhkan putusan baru terkait gugatan soal penyitaan barang

kredit dari debitur. Kini, para leasing atau debt collector bisa melakukan penyitaan barang

tanpa menunggu putusan pengadilan.

Tapi ada syaratnya, debitur harus sukarela. Apa bisa?
Putusan MK ini merupakan putusan terbaru atas gugatan yang diajukan oleh Joshua Michael Djami. Dalam gugatannya, Joshua mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 15 Ayat 2 UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Fidusia merupakan pengalihan hak kepemilikan sebuah benda, di mana registrasi hak kepemilikannya masih dalam kekuasaan pemilik benda tersebut.
Putusan ini dibacakan dalam sidang putusan MK pada Selasa (31/8) oleh sembilan hakim MK yaitu Anwar Usman, selaku Ketua merangkap anggota, Aswanto, Daniel Yusmic P. Foekh, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, Saldi Isra dan Wahiduddin Adams.
Putusan ini tertuang dalam Nomor 2/PUU-XIX/2021 yakni di halaman 83 paragraf 3.14.3.
"Adapun pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur," tulis surat putusan MK dikutip kumparan, Rabu (8/9).
"Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri," sambungnya.
Dalam kaitannya dengan kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia, posisi pengadilan pada dasarnya hanya memberikan keseimbangan hukum antara pihak kreditur dengan debitur.
"Adanya ketentuan tidak bolehnya pelaksanaan eksekusi dilakukan sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri pada dasarnya telah memberikan keseimbangan posisi hukum antara debitur dan kreditur serta menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi," beber putusan MK itu.

Menanggapi putusan MK itu, pengacara dari Law Firm Visi Integritas, Febri Diansyah tak menampik pada dasarnya memang eksekusi harus dilaksanakan melalui pengadilan.
"Prinsip dasar eksekusi (seperti pengambilan barang jaminan) harus melalui pengadilan," kata Febri.
Meski begitu, Febri mengatakan sebenarnya ada cara lain yang dapat ditempuh, salah satunya ada kesukarelaan baik dari pihak debitur dan kreditur.
Sehingga proses eksekusi atau dalam hal ini penarikan tidak memerlukan keberadaan pengadilan.
"Sukarela dalam artian tidak ada paksaan, mengakui dan tidak ada keberatan kecuali kalau para pihak (kreditur dan debitur) sukarela. Kalau dipaksa sukarela ya tetap tidak bisa," kata Febri.

Latar Belakang Gugatan

Sebelumnya, MK menyatakan pihak kreditur (leasing) tidak bisa secara sepihak menarik objek jaminan fidusia, seperti kendaraan atau rumah yang menunggak kredit, hanya berdasar sertifikat jaminan.
MK memutuskan pihak leasing yang ingin menarik kendaraan harus mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Eksekusi sepihak oleh kreditur tetap bisa dilakukan, asalkan debitur mengakui adanya cidera janji (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusianya.
Namun, putusan MK nomor 18/PUU-XVII/2019 yang mengubah ketentuan Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU Fidusia, berdampak signifikan bagi debt collector.
Seperti dikutip dari risalah MK, seorang karyawan perusahaan finance dengan jabatan sebagai penagih agunan, Joshua Michael Djami, mengaku pekerjaannya berkurang imbas putusan MK tersebut.
Selain itu, Joshua menyatakan aturan tersebut membuat profesinya terancam. Padahal, profesi penagih agunan telah diakui MK melalui putusan 19/PUU-XVIII/2020.
"Menghancurkan lahan profesi (collector dan financing) yang legal dan diakui oleh MK (putusan 19/PUU-XVIII/2020). Sehingga mengakibatkan hilangnya pendapatan dan penghidupan yang layak sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (2) UUD 1945," ucap dia.

Terlebih, kata Joshua, penarikan agunan yang menunggak kredit harus melalui pengadilan-apabila debitur enggan menyerahkan secara sukarela-, sangat menguras biaya bagi perusahaan pembiayaan atau finance.
Oleh sebab itu, Joshua meminta MK mengubah pendirian mengenai penarikan agunan yang menunggak kredit. Ia meminta MK mengizinkan kembali debt collector agar bisa menarik agunan secara sepihak.
Dalam permohonannya, Joshua meminta MK mengembalikan ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia seperti sebelum adanya putusan 18/PUU-XVII/2019.
Selain itu, Joshua meminta MK menyatakan frasa 'keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia' dalam Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai hukuman mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai sukarela saat menandatangani perjanjian fidusia.


MODUL SEMESTER SATU

More »

MODUL SEMESTER DUA

More »

MODUL SEMESTER TIGA

More »

MODUL SEMESTER EMPAT

More »

MODUL SEMESTER LIMA

More »

MODUL SEMESTER ENAM

More »

MODUL SEMESTER TUJUH

More »

MODUL SEMESTER DELAPAN

More »

ILMU ADMINISTRASI BISNIS

More »

PROFESI ADVOKAT

More »

SEMESTER SATU ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER DUA ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER TIGA ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER EMPAT ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER LIMA ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER ENAM ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER TUJUH ADMINISTRASI BISNIS

More »

SEMESTER DELAPAN ADMINISTRASI BISNIS

More »

NGOMPOL

More »

OPINI

More »