Hakim MK: Indonesia Bukan Rechtsstaat, tapi Negara Hukum Pancasila

 


Jakarta - Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyatakan pembangunan hukum Indonesia bukan mengarah kepada rechtsstaat atau rule of law, melainkan sistem hukum yang berdasarkan kepada Pancasila. Sebab, Indonesia memiliki sila Ketuhanan yang dirujuk, yang hal itu tidak ada dalam sistem rule of law.

"Jadi, kita membangun hukum bukan rechtsstaat, bukan rule of law, tetapi sistem hukum yang berdasarkan kepada Pancasila. Berhukum dengan mata Pancasila dan Demokrasi Pancasila," kata Arief sebagaimana dilansir website MK, Minggu (12/9/2021).

Arief membeberkan alasannya memilih Hukum Pancasila dan bukan rechtsstaat, yaitu Indonesia berbeda dengan negara demokrasi yang lain. Karena negara lain merupakan negara sekuler yang memisahkan kehidupan negara dengan kehidupan pengakuan kepada Tuhan Yang Mahakuasa.

"Konstitusi Indonesia terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal. Artinya pasal-pasal itu diikat oleh pembukaan. Pasal-pasal itu didasarkan oleh Pembukaan UUD khususnya alinea keempat," kata Arief.

Arief menjelaskan, dalam alinea keempat UUD 1945 ditegaskan tujuan, visi, dan misi negara. Untuk dapat mencapai visi-misi negara tersebut, Indonesia harus berdasarkan lima sila yang selanjutnya disebut sebagai Pancasila. Menurut Arief, Pancasila itu memayungi dan menyinari pasal-pasal UUD 1945.

"Ini yang belum dibahas banyak orang dari kacamata yang lain, misalnya Indonesia itu menyejahterakan rakyatnya tetapi kesejahteraan Indonesia juga berbeda. Kalau negara sekuler lebih banyak kesejahteraannya diarahkan kesejahteraan yang bersifat lahir. Indonesia kesejahteraannya lahir dan batin. Karena di visi, misi, tujuan negara itu harus disinari dengan sinar Pancasila," terang Arief.

Lebih lanjut Arief mengatakan, hal yang sama juga pada demokrasi konstitusional yang berketuhanan. Menurut Arief, sila pertama Pancasila tidak memisahkan antara kehidupan negara dengan kehidupan beragama atau kepercayaan bangsa Indonesia kepada Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga negara Indonesia bukan negara yang sekuler.

"Demokrasi konstitusional Indonesia bukan sekuler, tetapi yang berketuhanan," cetus Arief.

Sementara itu, Ketua MK Anwar Usman menyatakan salah satu penanda sebuah negara demokrasi konstitusional adalah adanya pelaksanaan pemilu yang demokratis.

"Konstitusi kita telah menetapkan neraca kedemokratisan penyelenggaraan pemilu. Artinya, pemilu dikatakan demokratis apabila memenuhi asas-asas pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Hal inilah yang menjadi core value dalam penyelenggaraan pemilu," ucap Anwar.

Pemilu yang tidak dilaksanakan berdasarkan asas-asas ini, meskipun dilaksanakan secara demokratis karena diselenggarakan langsung, namun jika abai terhadap kelima asas lainnya dan nilai-nilai Pancasila, maka pemilu seperti ini akan menimbulkan cacat dan noda pada kanvas demokrasi negara kita.

"pemilu yang demokratis tidak hanya dimaknai apabila pemilu itu diselenggarakan secara langsung, tetapi juga perlu dimaknai jika pemilu itu diselenggarakan berdasarkan nilai yang termaktub dalam asas-asas pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945, yakni memenuhi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Selain itu, nilai-nilai Pancasila sebagai philosofische grondslag juga harus dijadikan ruh dalam setiap penyelenggaraan pemilu agar pemilu yang dilaksanakan tidak anarkis dan tetap demokratis serta lebih beretika, santun dan bermoral," pungkas Anwar.