ARBITRASE, MEDIASI DAN NEGOSIASI




DAFTAR ISI

MODUL 1 : MENGENAL ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAN ARBITRASE
MODUL 2 : PENGERTIAN NEGOSIASI DAN TAHAP-TAHAPNYA
MODUL 3 : IMPLEMENTASI DARI NEGOSIASI
MODUL 4 : MEDIASI : KONSEP DAN PENERAPANNYA
MODUL 5 : MEDIASI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
MODUL 6 : ARBITRASE (PENGANTAR)
MODUL 7 : KEWENANGAN ARBITRASE
MODUL 8 : PEMBERLAKUAN PERJANJIAN ARBITRASE DAN JENIS ARBITRASE
MODUL 9 : PEMERIKSAAN DAN PUTUSAN ARBITRASE

MODUL 1 : 
MENGENAL ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAN ARBITRASE
Kegiatan Belajar 1 :
Sengketa dan cara penyelesaiaannya, Pengadilan, Alternatif Penyelesaian Sengketa, Masalah Pengaturan APS, Faktor-faktor Kesuksesan APS, Macam-Macam APS, Arbitrase


A. SENGKETA DAN CARA PENYELESAIANNYA
Dalam setiap kegiatan atau hubungan dapat saja terjadi perbedaan (pendapat, pandangan, penafsiran, sikap dan perilaku); Perbedaan adalah wajar, tetapi bila tidak diselesaikan dapat menimbulkan Perselisihan. Perselisihan yang perlu diselesaikan disebut dengan Sengketa.
Menentukan Macam dan Bentuk Sengketa ditentukan dari Siapa dan Objek yang disengketakan. Berdasarkan pihak yang bersengketa, Sengketa dikelompokkan :
1. Sengketa antarindividu; Perselisiahan Keluarga; Perceraian masalah anak, pembagian harta, warisan.
2. Sengketa antara Individu dan Badan Hukum; Ketenagakerjaan; Pegawai dan Perusahaan; Upah, jam kerja, pesangon.
3. Sengketa antar Badan Hukum; antarkorporasi; gugat menggugat antar perusahaan.

Sengketa dalam Perjanjian; perbedaan penafsiran "cara" melaksanakan klausul perjanjian maupun tentang "isi" dari ketentuan didalam perjanjian.

Cara Penyelesaian Sengketa : Melalui Pengadilan atau Di Luar Pengadilan yang disebut Alternatip Penyelesaian Sengketa/APS (Negosiasi, Konsoliasi, Konsultasi, Penilaian Ahli, Mediasi, Arbitrase)

Cara APS (Kecuali Arbitrase); dilakukan dengan mendiskusikan perbedaan-perbedaan yang timbul diantara para pihak yang bersengketa melalui "musyawarah untuk mufakat" dengan tujuan mencapai win-win solution; Penyelesaian sengketa tergantung keinginan dan iktikad baik para pihak.
Apabila kesepakatan telah dicapai, mereka terikat pada hasil penyelesaian itu (Psl 6 UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS).

B. PENGADILAN
Pengadilan adalah Lembaga resmi kenegaraan yang diberi kewenangan untuk mengadili; yaitu menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tidak Populernya penyelesaian sengketa di Pengadilan bagi Kalangan Pengusaha; Lamanya waktu tersita dalam proses tahapan-tahapan pengadilan (banding dan kasasi) yang harus dilalui; Terbuka untuk Umum (Tidak mau publikasi); Penyelesaian sengketa bukan oleh tenaga-tenaga ahli bidang tertentu yang dipilih sendiri (meskipun pengadilan dapat menunjuk hakim ad hoc atau saksi ahli)
Kesamaan Pengadilan dan Arbitrase; Memutus berdasarkan kalah menang. Namun tidak seperti arbiter dalam arbitrase, hakim yang menangani perkra di pengadilan tidak dipilih oleh para piahk yang bersengketa, tempat persidangan, bahasa yang digunakan, dll.

C. ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Pengertian APS yang memasukan Arbitrase adalah merupakan pengertian dalam arti luas, Sedangkan dalam pengertian sempit Arbitrase tidak termasuk pengertian APS; Karena Arbitarse juga "Pengadilan" (Pengadilan Swasta) yang putusannya didasarkan pada menang-kalah (win-lose).
APS putusannya Win-win, Arbitrase putusannya Win-lose.
UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

D. MASALAH PENGATURAN APS
Pasal 1 angka 10 UU 30/1999 ; Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Pasal 6 menjelaskan secara sumir (dangkal) tentang proses penyelesaian sengketa melalui APS.
Pasal 6 ayat (2) UU 30/1999; Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis"
Negosiasi : penyelesaian sengketa dengan cara bertemu secara langsung.

E. FAKTOR-FAKTOR KESUKSESAN APS
1. Sengketa masih dalam batas "Wajar"
Konflik masih moderate ; artinya permusuhan masih dalam batas yang bisa ditoleransi; sangat relatif, jika kedua belah pihak tidak lagi mau bertemu berarti permusuhan diantara mereka telah sangat parah.
2. Komitmen para pihak
Bertekad menyelesaikan melaui APS, dan mereka menerima tanggung jawab atas keputusan mereka sendiri  serta menerima legitimasi APS; Semakin besar komitmen semakin besar kemungkinan memberikan response positif penyelesaian melalui APS.
3. Keberlanjutan Hubungan
Harus ada keinginan para pihak untuk mempertahankan hubungan baik mereka.
4. Keseimbangan posisi tawar menawar
Salah satu pihak harus tidak mendikte atau bahkan mengintimidasi agar sebuah penyelesaian disetujui.
5. Prosesnya bersifat pribadi dan hasilnya rahasia
melalui APS tidak terbuka untuk umum; hasil penyelesaian sengketa tidak dimaksudkan untuk diketahui oleh umum atau dipublikasikan kepada khalayak, bahkan konfidensial (rahasia)

F. MACAM-MACAM APS
1. Negosiasi
Adalah cara untuk mencari penyelesaian masalah melalui diskusi (musyawarah) secara langsung antara pihak-pihak yang bersengketa yang hasilnya diterima oleh para pihak tersebut.
Dua alasan Negosiasi : (1) Untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri; misalnya transaksi jual beli untuk menentukan harga - (2) memecahkan perselisihan atau sengketa diantara para pihak
2. Mediasi
Adalah upaya penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga yang netral, yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan, yang membantu pihak-pihak mencapai penyelesaian yang dapat diterima.
3. Konsiliasi
Hampir sama dengan mediasi, melibatkan pihak ketiga Konsiliator; Kewenangan Konsiliator lebih besar daripada mediator karena dapat mendorong atau memaksa para pihak lebih kooperatif; Hasil konsiliasi meskipun hasil kesepakatan para pihak, adalah sering datang dari si konsiliator dengan cara "mengintervensi"; mirip mediasi otoritatif dimana mediattor banyak mengalahkan para pihak.

G. ARBITRASE
Adalah merupakan cara penyelesaian sengketa diluar peradilan, berdasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak, dan dilakukan oleh arbiter yang dipilih dan diberi kewenangan mengambil keputusan.
Pasal 5 ayat (1) UU No 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS; Sengketa yang dapat diselesaikan hanya sengketa bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa; sengketa perceraian tidak dapat diselesaikan melaqlui arbitrase.



Kegiatan Belajar 2 :

Pengertian Arbitrase, Pengaturan Arbitrase, Manfaat, dan Kelemahan Arbitrase, Masalah Etika
A. PENGERTIAN ARBITRASE
Arbitrase berasal dari bahasa Latin albitrare yang artinya kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu menurut "Kebijaksanaan". 
Dalam memriksa dan memutus sengketa arbiter/majelis arbitrase mendasarkan diri pada hukum yaitu hukum yang telah dipilih oleh para pihak yang bersengketa (choice of Law), meskipun dimungkinkan juga apabila dikehendaki para pihak memutus atas dasar keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono); maka perturan perundang-undangan dapat dikesampingkan, akan tetapi dalam hal tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan tidak dapat disampingkan oleh arbiter.
Mertokusumo; arbitrase adalah prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit/arbiter
Pasal 1 butir 1 UU 30/1999; Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa; Dasar dari Arbitrase adalah perjanjian diantara para pihak sendiri, yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak
Pasal 1338 KUHPerdata; menyatakan bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai UU.
Pasal 17 ayat (1) UU 30/1999; Dengan ditunjuknya seorang arbiter atau beberapa arbiter oleh para pihak secara tertulis dan diterimanya penunjukan tersebut oleh seorang arbiter atau beberapa arbiter secara tertulis maka para pihak yang menunjuk dan arbiter yang meenrima penunjukan terjadi suatu perjanjian perdata.

B. PENGATURAN ARBITRASE
Secara kronologis pengaturan arbitrase di Indonesia di bedakan menjadi dua periode; yaitu sebelum berlakunya UU 30/1999 dan setelah berlakunya UU tersebut.
1. Sebelum berlakunya UU No. 30 Tahun 1999
Ketentuan tentang Arbitrase tercantum dalam Pasal 615 sd 651 Rv (KUHA Perdata untuk penduduk Indonesia yang berasal dari Golongan Eropa atau yang disamakan).
Masa Kolonial Belanda, Tiga Kelompok dengan sistem hukum dan peradilan masing-masing :
- Bumiputera (Pribumi) berlaku Hukum Adat dengan Pengadilan Landraad dan Hukum acara HIR
- Golongan Timur Asing dan Eropa berlaku BW (KUHPerdata) dan WvK (KUH Dagang) dengan hukum acaranya Rv
Pasal 377 HIR dan 705 RBg : Jika orang Indonesia dan Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus oleh juru pisah maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan yang berlaku bagi orang Eropa.
Kesimpulan dari Kedua Pasal: (1) para pihak yang bersengketa berhak menyelesaikan sengketa mereka melalui juru pisah atau arbitrase  (2) Juru pisah diberi kewenangan hukum untuk menjatuhkan putusan atas perselisihan (sengketa) yang timbul  (3) Arbiter dan para pihak memiliki kewajiban untuk menggunakan ketentuan pengadilan bagi golongan Eropa
Buku Ketiga Bab I (615 sd 651) mengatur :  (1) 615sd623; Perjanjian arbitrase dan pengangkatan para arbiter  (2) 624sd630; Pemeriksaan di muka arbitrase  (3) 631sd640; Putusan Arbitrase  (4) 641sd647; Upaya-upaya atas putusan arbitrase  (5) 648sd651; Berakhirnya acara arbitrase
Tidak lagi sesuai dalam Rv : tidak harus tertulis (615ayat3), banding ke MA (641ayat1), larangan arbiter wanita (617ayat2).
conditio sine qua non ; Perubahan yang bersifat filosofis dan substantif

2. Setelah berlakunya UU No. 30 Tahun 1999
Arbitrase Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum Perdagangan Internasional (The United Nations Commissions on International Trade Law) atau lebih dikenal Arbitrase Model Law UNCITRAL 1985 terdiri 36 Pasal sementara UU 30/1999 terdiri 82 pasal.
Pasal 11 ayat (2) UU 30/1999; Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan Undang-Undang ini.

C. MANFAAT DAN KELEMAHAN ARBITRASE
Amicable solution; pada hakikatnya merupakan merupakan suatu negosiasi diantara para pihak yang apabila memberikan hasil, akan membuat mereka terikat pada hasil penyelesaian tersebut
1. Keuntungan penggunaan Arbitrase :
a. Kecepatan dalam proses 
Suatu persetujuan arbitrase harus menetapkan jangka waktu, yaitu berapa lama perselisihan atau sengketa yang diajukan kepada arbitrase harus diputuskan.
Pasal 31 ayat (3) UU 30/1999 : Dalam hal para pihak telah memilih cara arbitrase ....... harus ada kesepakatan mengenai ketentuan jangka waktu dan tempat diselenggarakan arbitrase dan apabila jangka waktu dan tempat arbitrase tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan."
Pasal 53 UU 30/1999 : Terhadap putusan arbitrase tidak dapat dilakukan perlawanan atau upaya hukum apapun
Pasal 60 UU 30/1999 : Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak
Pasal 35 ayat (1) Ketentuan-ketentuan Arbitrase UNCITRAL : Putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak peduli di negara manapun ia dijatuhkan.

b. Pemeriksaan oleh ahli di bidangnya
Selain ahli hukum didalam badan arbitrase juga terdapat ahli-ahli lain dalam berbagai bidang misalnya ahli perbankan, ahli leasing, ahli pemborongan, ahli pengangkutan udara, laut dll.

c. Sifat konfidensialitas
Pemeriksaan sengketa oleh majelis arbitrase selalu dilakukan dalam persidangan tertutup, dalam arti tidak terbuka untuk umum, dan putusan yang dijatuhkan dalam sidang tertutup hampir tidak pernah di publikasikan; penyelesaian melalui arbitrase menjaga kerahasiaan para pihak yang bersengketa.
Pasal 27 UU 30/1999 : Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara tertutup.
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasarkan pada asumsi-asumsi : (1) Lebih cepat  (2) Dilakukan oleh ahli dibidangnya  (3) Kerahasiaan terjamin
Kelebihan Arbitrase dibandingkan lembaga peradilan : (1) Kerahasiaan sengketa para pihak terjamin  (2) Keterlambatan dapat dihindari (administratif)  (3) Para pihak dapat memilih arbiter  (4) Para pihak dapat menentukan pilihan hukum  (5) Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak

2. Beberapa kelemahan Arbitrase :
a. Hanya untuk para pihak bonafide
Arbitrase pada dasarnya hanya bermanfaat untuk para pihak atau pengusaha yang bonafide atau jujur dan dapat dipercaya;
Pihak yang bonafide adalah mereka yang memiliki kredibilitas dan integritas, artinya patuh terhadap kesepakatan; pihak yang dikalahkan harus secara sukarela melaksanakan putusan arbitrase.
stay of execution; penundaan pelaksanaan putusan , dengan membawa perkaranya ke pengadilan
Pasal 11 ayat (2); Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah di tetapkan melalui arbitrase.
b. Ketergantungan mutlak pada arbiter
Putusan arbitrase selalu tergantung pada kemampuan teknis arbiter untuk memberikan putusan yang tepat sesuai dengan rasa keadilan para pihak.
c. Tidak ada preseden putusan terdahulu

Putusan arbitrase bersifat rahasia dan tidak dipublikasikan; putusan bersifat mandiri; tidak ada legal precedence atau keterikatan terhadap putusan-putusan arbitrase sebelumnya.
Asas similia similibus; yaitu untuk perkara serupa diputuskan sama
d. Masalah putusan arbitrase asing
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional memiliki hambatan sehubungan dengan pengakuan dan pelaksanaan putusannya.

D. MASALAH ETIKA
Seperangkat petunjuk etika bagi arbiter internasional (Ethics for International Arbitrators) yang dikeluarkan International Bar Association (IBA) tahun 1987.
Salah satu contoh tentang masalah etika dalama berarbitrase yang perlu diselesaikan, misalnya adalah keharusan menjaga kerahasiaan.




MODUL 2 : 

PENGERTIAN NEGOSIASI DAN TAHAP-TAHAPNYA
Kegiatan Belajar 1 :
Pengertian Negosiasi, Ciri-Ciri Negosiasi, Negosiator

A. PENGERTIAN NEGOSIASI
Wikipedia : adalah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat didalamnya berusaha untuk saling menyelesaikan tujuan yang berbeda atau bertentangan
Pihak Ketiga (Penengah) dapat dibedakan menjadi : yang tidak berwenang mengambil keputusan (mediasi atau konsiliasi), yang berwenang untuk memutuskan sengketa (arbitrase dan litigasi)
Kamus Oxford; negosiasi adalah suatu cara untuk mencapai suatu kesepakatan melalui diskusi formal.
Pasal 6 ayat (2) UU 30/1999 : Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui APS sebagaimana dimaksud ayat (1) diselesaikan dengan pertemuan langsung (negosiasi) oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Negosiasi berasal dari kata Negotium (Latin) : yang berarti kegiatan atau usaha yang merujuk pada bentuk tawar menawar atau berunding dengan sudut pandang yang berbeda guna mencapai kesepakatan
Spiller mendefinisikan negosiasi :sebagai sebuah proses kreatif, yang dilakukan pada saat para pihak  terlibat dalam sebuah isu atau persoalan.


B. CIRI-CIRI NEGOSIASI
Karakteristik yang terdapat dalam negotiation situations (ciri-ciri negosiasi) : (1) Terdapat dua atau lebih baik individu, kelompok, atau organisasi  (2) Terdapat konflik kepentingan diantara para pihak tersebut  (3) Masing-masing pihak berpikir dapat menggunakan upaya atau pengaruhnya untuk mendapatkan yang lebih baik daripada menerima pihak lain berikan (secvara sukarela)  (4) Lebih baik mencari kesepakatan daripada harus bertengkar secara terbuka  (5) Mengharapkan ada modifikasi atas tuntutan masing-masing  (6) Kesuksesan dalam bernegosiasi melibatkan pengelolaan sesuatu yang tak berwujud (intangibles) yaitu kondisi psikologis yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi para pihak selama negosiasi.

C. NEGOSIATOR
Berhasil atau tidaknya sengketa diselesaikan melalui negosiasi dipengaruhi oleh banyak faktor, yang salah satunya yang utama adalah kemampuan negosiator.
1. Persyaratan Negosiator
(1) berwawasan dan berpengetahuan luas  (2) berkepribadian mantap dan penuh percaya diri  (3) bersikap simpatik, ramah dan/atau sopan  (4) disiplin dan memiliki prinsip  (5) komunikatif  (6) berpikir jauh ke depan  (7) cepat membaca situasi dan jeli dalam menangkap peluang  (8) ulet, sabar, dan tidak mudah putus asa  (9) akomodatif dan kompromis  (10) berpikir positif dan optimis  (11) dapat mengendalikan emosi  (12) memiliki selera humor
a. Kelihaian (Shrewdness)
Kelihaian dimaksud adalah negosiator harus mampu membawa pihak lawan untuk melihat hanya pada strategi terbaik yang dimiliki si negosiator.
b. Kesabaran ((Patience)
Kesabaran merupakan atribut yang sangat penting dan tidak tergantikan, mengingat negosiasi merupakan proses yang melelahkan. Dalam negosiasi, anda perlu menyadari bahwa setiap tawaran akan diikuti dengan jawaban yang merupakan penawaran pihak lawan; dan ini harus dijawab dengan tawaran baru; membutuhkan waktu cukup lama.
c. Penyesuaian (Adaptability)
Negosiasi selalu diidentikan dengan situasi dinamis dimana masing-masing pihak selalu bergerak, bertukar posisi. Dalam kaitan ini, negosiator harus pandai beradaptasi (menyesuaikan diri).
d. Ketahanan (Endurance)
Daya tahan adalah modal yang utama bagi negosiator. Meskipun negosiasi pada umumnya merupakan kegiatan yang berhubungan dengan kemampuan mental, kondisi fisik pun sering juga dibutuhkan.
e. Kebersahabatan (Gregariousness)
Negosiasi pada dasarnya adalah suatu proses untuk bersosialisasi. Dapat saja terjadi, anda tidak memiliki perjanjian yang diabuat tertulis karena anda percaya kesuksesan dari bisnis datang dari adanya saling kepercayaan dan persahabatan.
f. Konsentrasi (Concentration)
Konsentrasi merupakan keharusan dalam bernegosiasi. Alasannya, setiap negosiasi pasti memiliki target yang hendak dicapai.
g. Kemampuan Berkomunikasi (The Ability to Articulate)
Kemampuan untuk berkomunikasi adalah dasar untuk bernegosiasi dengan baik karena komunikasi dapat menjadi jalan atau cara negosiator untuk menyampaikan apa yang ia inginkan.
h. Selera Humor (Sense of Humor)
Negosiasi dapat menjadi sumber tekanan mental (stress), apalagi jika yang dinegosiasikan menyangkut hal-hal berat seperti jumlah uang yang besar dan nasib orang banyak.

2. Peran Negosistor
Suatau negosiasi mempunyai kualitas berbeda tergantung negosiator bertindak atas nama pribadi atau bertindak sebagai penerima kuasa.
Atas nama sendiri :  Keuntungan; dapat mengambil keputusan lebih cepat dan pasti karena tidak perlu berkonsultasi dengan pihak lain. Kelemahan; Tidak adanya kesempatan lagi untuk mundur karena posisi mereka masing-masing terbuka, dimana para pihak secara langsung bertatap muka.
Sebagai Penerima Kuasa : Keuntungan; Apabila negosiasi mengalami kebuntuan masih terbuka kesempatan untuk menawarkan kemungkinan negosiasi dengan cara lain yaitu peran langsung. Kelemahan; Jika kewenangan wakil terlalu dibatasi, hal ini tentu akan mengurangi kredibilitas wakil tersebut.


Kegiatan Belajar 2 :

Tahapan Negosiasi, Ketentuan-Ketentuan Negosiasi, Mendefinisikan Isu atau Persoalan, Penggabungan beberapa Isu, Berkonsultasi dengan Pihak Lain, Akhir Negosiasi



A. TAHAP-TAHAP NEGOSIASI
Menurut Raiffa :

1. Pertama, tahap persiapan (preparation)
Pada tahap ini yang penting adalah bertanya kepada diri sendiri, apakah sesungguhnya yang diinginkan dari negosiasi tersebut; Mengenali kepentingan sendiri dahulu (know yourself) sebelum kepentingan orang lain.
Melakukan Best Alternative To a Negotiated Agreement (BATNA) atau Alternatif terbaik dari hasil yang dapat dicapai melalui negosiasi; Artinya, mengingat tidak mungkin memperoleh semua yang diinginkan, perlu dipersiapkan pilihan maksimal yang mungkin dapat diperoleh.
Perlu mengenal pihak lawan atau mitra bernegosiasi (know your adversaries), artinya perlu memperlirakan mengenai kepentingan dan atau kebutuhan alternatif mereka.
2. Kedua, tahap tawaran awal (opening gambit)
Sebagai negosiator mempersiapkan strategi, siapa yang harus lebih dahulu menyampaikan tawaran; Disarankan mengunci diri terhadap tawaran pihak lawan yang ekstrem; menghentikan negosiasi sampai mereka memodifikasi tawaran. Jika ada dua tawaran, maka titik diantara dua tawaran merupakan kesepakatan.
3. Ketiga, tahap pemberian konsesi
Perlu memberikan konsensi yang digantungkan pada konteks negosiasi dan konsesi yang diberikan oleh pihak lawan; perhitungan mengenai perlunya agresivitas dan bersikap manulatif; seberapa jauh ingin menjaga hubungan baik dan empati kebutuhan pihak lawan, serta fairness.
4. Keempat, tahap akhir permainan
Membuat komitmen; diikuti tindak lanjut meminta lawan menerima komitmen, jika perlu dalam perjanjian tertulis.

B. KETENTUAN-KETENTUAN DALAM NEGOSIASI
1. Lokasi atau tempat bernegosiasi
Dikantornya atau di Kotanya sendiri; Namun, untuk menghindari keuntungan hanya satu pihak dapat dipilih salah satu tempat yang netral.
2. Periode waktu negosiasi
Jika Negosiasi akan memakan waktu lama dan alot, para perunding perlu menentukan lamanya waktu untuk bernegosiasi.
3. Pihak lain yang mungkin terlibat dalam negosiasi
Pertanyaan terkait ; (a) Apakah negosiasi hanya untuk mereka yang bersengketa?  (b) Apakah akan membawa ahli atau penasihat mereka?  (c) Apakah akan diwakili oleh agen?  (d) Apakah terdapat media atau pers terlibat?
4. Apa yang dilakukan jika negosiasi gagal
Jika terjadi kemacetan dalam perundingan (deadlock)? apakah ke pihak ketiga yang netral? mungkinkah dicari teknik negosiasi yang lain?
Jika diperlukan lakukan analisis SWOT: Strenght (kekuatan), Weakness (Kelemahan), Oppurtunity (Kesempatan), dan Threat (ancaman).

C. MENDEFINISIKAN ISU ATAU PERSOALAN
Yang perlu diperhatikan Dalam kaitan dengan perencanaan negosiasi adalah mendefinisikan isu-isu yang akan diatasi; suatu negosiasi melibatkan satu atau beberapa isu utama dan beberapa isu sampingan.
Isu-isu dapat diperoleh dari sumber-sumber sebagai berikut : (1) Melakukan analisis situasi atas timbulnya konflik  (2) Pengalaman pribadi yang bersengketa  (3) Melakukan penelitian untuk mengumpulkan informasi  (4)Mengkonsultasikan dengan para ahli terkait.

D. PENGGABUNGAN BEBERAPA ISU
1. Menentukan isu mana yang paling penting dan mana yang kurang penting
2. Menentukan apakah isu-isu tersebut saling berhubungan atau terpisah
3. Mendefinisikan keinginan/kepentingan
Kepentingan yang ingin dicapai dalam negosiasi :
(a) Substansi; isu-isu utama  (b) Proses; tahap dan prilaku negosiator akan menyelesaikan sengketa  (c) Hubungan; Hubungan kedua belah pihak saat ini dan masa depan  (d) Hal-hal tak berwujud; prinsip-prinsip standar para pihak tunduk pada norma tersebut, dan benchmarks sebagai kriteria yang akan digunakan untuk mengarahkan penyelesaian.

E. BERKONSULTASI DENGAN PIHAK LAIN
1. Berkonsultasi dengan yang diwakili (Konstituen)
Negosiatir tidak bertindak untuk dirinya sendiri, harus bersedia mengorbankan ego, ambisi, atau kepentingannya sendiri, Artinya seorang perunding yang mewakili akan berbicara dengan konstituen atau pihak yang diwakilinya, sehingga keprihatinan dan prioritasnya dapat dimasukkan.
2. Berkonsultasi dengan pihak lainnya
Isu, agenda, dan aturan-aturan dalam bernegosiasi perlu di konsultasikan dengan pihak-pihak yang terkait dengan seluruh proses negosiasi.
Konsultasi dengan pihak lain mutlak diperlukan. Hal itu dapat dilakukan  dengan saling menukar daftar berbagai isu yang akan dirundingkan, dan mereka saling menyetujui isu-isu mana yang akan dibicarakan lebih dahulu sebelum masuk kedalam isu-isu yang substantif.

F. AKHIR NEGOSIASI
Hasil akhir proses negosiasi adalah dituangkannya hasil kesepakatan tersebut kedalam suatu perjanjian dalam bentuk tertulis, atau jika perlu dengan akte otentik (akta notaris), dan secepatnya dilaksanakan
Pasal 6 ayat (2) UU 30/1999 : Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui APS diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Kesepakatan tertulis adalah final dan mengikat untuk dilaksanakan dengan iktikad baikserta wajib didaftarkan di PN paling lama 30 hari sejak penandatanganan (Pasal 6 ayat (7) UU 30/1999).



MODUL 3 : 
IMPLEMENTASI DAN NEGOSIASI
Kegiatan Belajar 1 :
Strategi dan Teknik Negosiasi
Negosiasi yang baik dan efektif ; adalah negosiasi yang didasarkan pada data riil yang akurat dab faktual sehingga setiap argumen yang dibangun selalu tidak terlepas dari fakta yang ada.


A. STRATEGI BERNEGOSIASI
Prof. Mintzberg; Strategi adalah pola atau rencana yang mengintegrasikan sasaran-sasaran utama organisasi, kebijakan, dan rangkaian kegiatan ke dalam kesatuan yang utuh; Strategi yang diformulasikan dengan baik akan membantu mengalokasikan sumber-sumber daya organisasi ke dalam posisi yang unik di organisasi, berdasarkan kekurangan dan kelebihan internal, perubahan lingkungan, dan kemungkinan tindakan dari pihak intelejen lawan.
Game Theory; Strategi diartikan sebagai sebuah rencana yang lengkap, yaitu suatu rencana yang menyebutkan pilihan-pilihan yang akan dilakukan pada setiap kemungkinann situasi.
1. Unsur-Unsur Pragmatis Teori Permainan
a. Pilihan
Adanya unsur kesukarelaan dalam negosiasi menunjukan bahwa negosiasi sebenarnya adalah pilihan; artinya memang sengaja anda pilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan.
b. Peluang
Beberapa peluang kemungkinan yang dapat bterjadi didalam setiap proses negosiasi. Peluan timbul dan sangat dipengaruhi oleh adanya kebutuhan, kepentingan, kekuasaan, dan keahlian dalam proses bernegosiasi.
c. Ketergantungan
Berbagai motif yang berbeda akan mempengaruhi keputusan atau hasil akhir dalam negosiasi. Motif-motif tersebut mengakui adanya ketergantungan diantara para pihak.
d. Ketidaksempurnaan informasi
Mengetahui kepentingan dan kebutuhan sendiri serta kekuatan dan kelemahannya, tetapi informasi (pengetahuan) tentang pihak lawan pada umumnya tidak sempurna atau tidak lengkap.

2. Tujuan dalam Negosiasi
a. Harapan (Keinginan) bukanlah tujuan
Keinginan mungkin berhubungan dengan kepentingan atau kebutuhan sehingga memotivasi tujuan, tetapi keinginan itu sendiri bukan tujuan.
Keinginan adalah sebuah fantasi, sebuah harapan yang mungkin terjadi; sedangkan tujuan lebih spesifik, terfokus, target realistis yang direncanakan untuk dicapai.
b. Tujuan anda sering berhubungan dengan tujuan pihak lain
Keterkaitan antara tujuan-tujuan dari kedua belah pihak akan menunjukan persoalan apa yang harus diselesaikan.
c. Adanya batas (limit) dalam penentuan suatu tujuan
Batas adalah apa yang pihak laindapat atau sudi untuk berikan kepada anda.Jika tujuan anda telah melampaui batas pihak lawan maka apa yang akan anda dapat lakukan : hanyalah mengubah tujuan atau mengakhiri negosiasi
d. Tujuan yang efektif  harus konkrit (Spesifik) dan terukur (measurable)
Semakin kurang konkrit dan terukur tujuan anda, semakin sulit :  (a) Untuk mengkomunikasikan ke pihak lain apa yang anda inginkan  (b) dan untuk mengetahui apakah hasil yang dicapai telah sesuai dengan tujuan yang dikehendaki.

3. Macam-Macam Strategi
a. Strategi Bersaing
Sering disebut hard bergaining atau zero-sum bergaining atau win-lose bergaining mengingat negosiator akan berusaha untuk memperoleh kemenangan dengan tujuan untuk memaksimalkan keuntungan
b. Strategi Kompromi
di sebut soft-bergaining atau win-lose-some atau give-and-take bergaining, karena negosiator kompromi berprinsip harus memberi ganti atas apa yang ia terima.
Sukses bagi negosiasi kompromi adalah kombinasi antara tercapainya kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak dan keadilan yang dirasakan
c. Strategi Kolaborasi
Digunakan untuk memenuhi kepentingan semua pihak, atau disebut positive-sum atau win-win; Akan bekerja sama dengan pihak lain untuk mencapai tuuan bersama yaitu keuntungan terbesar.

B. TEKNIK NEGOSIASI
Cara atau Teknik negosiator untuk memperkuat posisinya :
(1) Mencari fakta-fakta yang mendukung pendapatnya  (2) Siapa yang dapat diminta nasihat, atau dengan siapa fakta tersebut dapat dielaborasi atau diklarifikasikan.  (3) Mencari informasi apakah kasus ini pernah dinegosiasikan sebelumnya  (4) Mencari cara bagaimana dapat mempresentasikan semua data dan fakta dengan cara yang paling meyakinkan  (5) Mengetahui kemungkinan argumentasi yang akan digunakan pihak lain
Teknik untuk mencapai sasaran yang dikehendaki :
(1) Membantu melihat permasalahan sebenarnya yang sedang diperdebatkan di meja perundingan  (2) Dapat menguraikan kemandekan  (3) Dapat membantu untuk melihat dan melindungi diri dari kebohongan negosiator
Teknik Negosiasi yang dapat dipilih untuk digunakan atau tidak digunakan :
1. Mengeryit (The Wince); dikenal dengan istilah "terkejut" (Flinch), merupakan reaksi negatif terhadap tawaran seseorang; pura-pura terkejut.
2. Berdiam (The Silence); Saat tidak menyukai perkataan seseorang , atau jika baru saja membuat tawaran dan sedang menunggu jawaban, diam bisa menjadi pilihan terbaik.
3. Ikan Haring Merah (Red Herring); Berburu rubah (Fox Hunting Competition); Tim lawan akan menyeret dan membaui jejak rubah ke arah lain dengan ikan, sehingga anjing lawan akan terkecoh dan kehilangan jejak
4. Kelakukan Menghina/Memalukan (Outrageous Behaviour); Kelakukan yang memalukan merupakan segala bentuk perilaku (biasanya dianggap kurang bermoral dan tidak dapat diterima oleh lingkungan) dengan tujuan untuk memaksa lawan untuk setuju.
5. Pertukaran (The Trade-off); Saling memberi; sebagai upaya tawar menawar ; dipakai dengan tujuan untuk mencapai kompromi
6. Ultimatum; Penggunaan ultimatum kadang-kadang efektif sebagai taktik pembuka dalam negosiasi; negosiasi yang berjalan panjang; berjalan keluar strategi menekan
7. Kemampuan Mengatakan "Tidak" (The Ability to Say "No"); Hal pertama dan paling mendasar untuk mempelajari taktik mengatakan tidak ini adalah, apa pun bila mengatakan "tidak" secara langsung, maka akan diterjemahkan oleh pihak lain sebagai "ya"

Kegiatan Belajar 2 :
Pengertian Etika, Masalah Etika dalam Negosiasi, Tipologi Taktik Kecurangan, Pembenaran atas Kecurangan pada Negosiasi

A. PENGERTIAN ETIKA
Etika : adalah standar sosial mengenai apa yang benar dan apa yang salah dalam situasi tertentu, atau proses untuk menentukan standar tersebut.
Empat standar untuk menilai strategi dan taktik negosiasi :  (1) Memutuskan berdasarkan hasil yang diharapkan (Keuntungan terbesar dari investasi)  (2) Memutus berdasarkan hukum yang berlaku (legalitas)  (3) Memutus berdasarkan strategi dan nilai-nilai organisasi  (4) Memutus berdasarkan keyakinan pribadi dan kesadaran masing-masing.
standar pertama ; end-result ethics (etika hasil akhir); kebenaran dari suatu tindakan ditentukan pro dan kontra dari konsekuensi tindakn itu.
standar kedua ; rule ethics (etika peraturan); setiap tindakan didasarkan pada hukum yang berlaku
standar ketiga ; social contract ethics (etika kontrak sosial); kebenaran suatu tindakn didasarkan pada kebiasaan dan norma masyarakat
standar keempat ; personalistic ethics (etika pribadi); kebenaran atas suatu tindakan didasarkan pada standar moral dan kesadaran seseorang

B. MASALAH ETIKA DALAM NEGOSIASI
Etika dalam bernegosiasi dapat bersifat subjektif.

C. TIPOLOGI TAKTIK KECURANGAN
1. Pengeliruan
Penyajian yang keliru kepada pihak lain dilakukan oleh negosiator dengan cara berbohong mengenai apa yang sesungguhnya diinginkan atau apa yang sesungguhnya ditolak.
2. Pemalsuan
Dilakukan dengan memberikan informasi yang salah kepada pihak lawan dalam negosiasi.
3. Penyesatan
Menyampaikan pendapat yang benar atau yang tidak benar dengan tujuan pihak lawan sampai pada kesimpulan yang salah
4. Menggertak
Menyatakan akan melakukan sesuatu, padahal ia tidak bermaksud melakukan apa-apa.

D. PEMBENARAN ATAS KECURANGAN 
1. Taktik tersebut tidak dapat dihindari (unavoidable)
Negosiator menjustifikasi caranya tersebut dengan mengatakan bahwa situasi yang dihadapi memang mengharuskannya demikian
2. Cara yang digunakan tidak berbahaya (harmless)
Negosiator mungkin mengatakan bahwa apa yang dilakukan merupakan hal kecil yang tidak signifikan.
3. Cara yang digunakan dapat membantu menghindari konsekuensi yang negatif (avoid negatif consequences)
Negosiator berprinsip bahwa tujuan atau hasil akhir menghalalkan cara; menghindari kerugian yang lebih besar; berbohong dapat dibenarkan.
4. Taktik yang digunakan menimbulkan  konsekuensi yang baik (produce good consequences)
Yaitu tujuan menghalalkan cara dalam hal yang positif; kebohongan tertentu mungkin dapat diterima sepanjang memberi manfaat yang besar; contohnya Robinhood
5. Pihak lawan memang layak untuk mendapatkannya (they deserveit)
Cara curang atau bohong digunakan oleh negosiator untuk mereka yang dimasa lalu telah pula berbuat curang kepadanya atau kepada pihak pemerintah
6. Pihak lawan juga menggunakan taktik yang sama
Negosiator melegitimasi penggunaan taktik ini karena mereka mengantisipasi bahwa pihak lain bermasksud menggunakan taktik yang serupa
7. Taktik semacam ini layak digunakan untuk situasi tersebut
Pendekatan ini digunakan pada situasi yang sifatnya relatif.



MODUL 4 : 

MEDIASI : KONSEP DAN PENERAPANNYA

Kegiatan Belajar 1 :

Pengertian dan Konsep Mediasi
A. PENGERTIAN MEDIASI DAN MEDIATOR
Pasal 1 butir 7 PERMA No 1/2008; Penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Pasal 1 butir 6; Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.

John W Head; Mediasi adalah suatu prosedur penengahan dimana seseorang bertindak sebagai "kendaraan" untuk berkomunikasi anatarpara pihak, sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa tersebut dipahami dan  didamaikan, tetapi tanggung jawab tercapainya perdamaian tetap pada para pihak sendiri. 


B. MEDIASI DAN NEGOASIASI
Mediasi adalah sebuah intervensi terhadap proses negosiasi atau atas suatu konflik yang dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak.
Mediator mengarahkan jalannya negosiasi tetapi tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan atau membuat keputusan atas masalah yang menjadi pokok sengketa; Mediasi sering dinilai sebagai perluasan dari proses negosiasi; UU 30/1999 mediasi merupakan kelanjutan negosiasi dan dilaksanakan jika proses negosiasi telah gagal.
Pasal 6 ayat (2) UU 30/1999 : Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung (NEGOSIASI) oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan tertulis.
Negosiasi tidak dibatasi waktu meskipun dalam UU30/1999 ditentukan paling lama 30 hari , Bahkan ada kalanya perkara yang sudah di gelar di pengadilan masih terbuka untuk dibawa ke forum negosiasi.

C. PARA PIHAK DALAM MEDIASI
Para pihak diwakili pegawai senior dengan kewenangan penuh untuk bernegosiasi dan menyelesaikan perselisihan; diberi kewenangan untuk membuat sebuah komitmen yang secara bertanggungjawab diharapkan disetujui oleh pembuat keputusan akhir.

D. MANFAAT MEDIASI
Para pihak biasanya mampu mecapai kesepakatan diantara mereka, sehingga manfaat mediasi sangat dirasakan; bahkan mediasi yang gagal pun, proses mediasi telah mampu mengklasifikasikan persoalan dan mempersempit perselisihan.
1. Beberapa Keuntungan Mediasi;
(1) Dapat menyelesaikan sengketa dengan cepat dan relatif murah  (2) Memfokuskan para pihak .pada kepentingan mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka  (3) Memberi kesempatan para pihak untuk berpartisipasi secara langsung dan informal  (4) Memberi para pihak kemampuan untuk melakuka kontrol terhadap proses dan hasilnya  (5) Dapat menbgubah hasil, yang dalam litigasi dan arbitrase hasilnya sulir di prediksi, dengan suatu kepastian melalui konsensus  (6) Memberikan hasil yang tahan uji dan menciptakan saling pengertian antara para pihak  (7) Menghilangkan konflik atau permusuhan
2. Manfaat lainnya; 
Adanya perbedaan kekuatan dari para pihak dapat diatasi oleh mediasi, melalui cara-cara sebagai berikut : (1) Menyediakan sebuah suasana yang tidak mengancam  (2) Memberi setiap pihak kemampuan untuk berbicara dan didengarkan oleh pihak lainnya denganlebih leluasa  (3) Meminimalkan perbedaan diantara mereka dengan menciptakan situasi informal  (4) Perilaku mediator yang netral tidak memihak memberikan kenyamanan tersendiri  (5) tidak menekan setiap pihak untuk menyetujui suatu penyelesaian.

Kegiatan Belajar 2 :
Penerapan Mediasi dalam Praktik
A. PERSYARATAN MEDIATOR
PP No 54 / 2000; Kriteria untuk menjadi mediator Lembaga penyedia jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan yaitu : (1) Cakap melakukan tindakan hukum  (2) berumur paling rendah 30 tahun   (3) Memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidang lingkungan hidup paling sedikit 5 tahun  (4) Tidak ada keberatan dari masyarakat (dalam jangka waktu satu bulan  (5) Memiliki keterampilan untuk melakukan perundingan atau pencegahan

Disamping itu mediator harus memenuhi syarat sbb : (1) disetujui oleh para pihak yang bersengketa  (2) Tidak mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa  (3) Tidak memiliki hubungan kerja denagn salah satu pihak yang bersengketa  (4) Tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain terhadap kesepakatan para pihak  (5) Tidak memiliki kepentingan terhadap proses perundingan maupuin hasilnya
Untuk menjadi Mediator dalam Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI) terdapat beberapa persyaratan dalam Keputusan No Kep-5/BAPMI/11.2002 tentang Pedoman Benturan Kepentingan dan Hubungan Afiliasi bagi Arbitrase atau Mediator.

Calon Mediator dianggap memiliki benturan kepentingan atau hubungan afiliasi jika yang bersangkutan, baik langsung maupun tidak memenuhi kreteria : (1) Memiliki perbedaan kepentingan ekonomi terhadap permasalahan yang menjadi sengketa  (2) Memiliki hubungan kerja jangka pendek; 180 hari sesudahnya sejak berakhir hubungan kerja jangka pendek tersebut.  (3) Memiliki hubungan kerja jangka panjang, dengan salah satu pihak yang bersengketa atau berbeda pendapat.

Jika proses mediasi dilakukan melalui pengadilan, mediator dapat berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim yang memiliki sertifikat sebagai mediator.
Sertifikat Mediator; Pasal 1 butir 11 PERMA No 1/2008; adalah dokumen yang menyatakan bahwa seorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh Lembaga yang diakreditasi oleh Mahkamah Agung.

B. PERANAN MEDIATOR
Dalam praktik, bebrapa peranan penting yang harus dilakukan mediator antara lain sebagai berikut : (1) Melakukan diagnosis konflik  (2) Mengindentifikasikan masalah serta kepentingan-kepentingan kritis para pihak  (3) Menyusun Agenda  (4) Memperlancar dan Mengendalikan komunikasi  (5) Mengajar para pihak dalam proses dan keterampilan tawar menawar  (6) Membantu par apihak mengumpulkan informasi penting

C. MEDIASI DALAM PRAKTIK
Tahap-Tahap dalam Proses Mediasi secara umum (Universal) : (1) Para pihak setuju memilih seorang mediator atau meminta bantuan organisai mediasi  untuk menunjuk atau mengangkat mediator  (2) Terkadang juga suatu mediasi dan seorang mediator diangat oleh pengadilan  (3) Banyak kasus terdapat konferensi awal atau jarak jauh (teleconference) dimana masalah prosedural disepakati  (4) Mediasi dapat dilaksanakan dimanapun, setiap tempat, yang dinilai nyaman dan menyenangkan oleh para pihak  (5) Dalam mediasi, pada umumnya para pihak bertemu secara bersama, dimana mediator menyampaikan kata pembukaan dan menjelaskan proses mediasi.  (6) Dalam pertemuan dengan para pihak, mediator akan mengundang dan berbicara dengan salah satu pihak secara pribadi dan rahasia  (7) Jika muncul rasa permusuhan, yang dibutuhkan peran aktif di pihak mediator  (8) Proses sangat fleksibel dan dibentuk dengan pengarahan mediator

D. BIAYA
PERMA No 1/2008 membedakan antara :
(1) biaya mediasi di pengadilan dengan mediator hakim
(2) biaya mediasi yang diselenggarakan di tempat lain yang disepakati oleh para pihak .
Pasal 20 ayat 3 : Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak dikenbakan biaya.
Pasal 10 ayat 1 : Penggunaan mediator hakim tidak dipungut biaya
Pasal 10 ayat 4 : Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan dibebankan kepada para pihak berdasarkan kesepakatan.

E. BERAKHIRNYA MEDIASI
Beberapa kemungkinan berakhirnya mediasi dengan konsekuensi sebagai berikut :
(1) Masing-masing pihak memiliki kebebasan setiap saat untuk mengakhiri mediasi hanya dengan menyatakan menarik diri.  (2) Jika mediasi berjalan dengan sukses, para pihak emenandatangani suatu dokumen yang menguraikan beberapa persyaratan penyel;esaian sengketa.  (3) Jika mediasi tidak berhasil pada tahap pertama, para pihak mungkin setuu untuk menunda sementara mediasi.

Kaitannya dengan kegagalan mediasi adalah tentang kelanjutan proses tersebut, yaitu apakah dilanjutkan ke ARBITRASE atau ke PENGADILAN; Terdapat dua pilihan :
(1) Jika upaya mediasi tidak dapat dicapai, para pihak berdasarkan kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan upaya penyelesaiannya melalui lembaga Arbitrase atau arbitrase ad hoc (Pasal 6 ayat 9 UU No 30/1999)
(2) Pasal 18 (1) PERMA No 1/2008; Jika dalam waktu ditetapkan (40 harti) mediasi tidak menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim (PN yang menangani perkara)



MODUL 5 : 
MEDIASI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kegiatan Belajar 1 :
Pengaturan Mediasi di Pengadilan
A. LATAR BELAKANG PENGATURAN
Peraturan yang terkait dengan penyelesaian sengketa perdata di pengadilan  :
- Proses Perdamaian dalamm HIR dan RBg
- PERMA No 2 /2003 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan diperbarui dengan  PERMA No 1 / 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan

Hukum acara yang berlaku baik Pasal 130 HIR maupun 154 RBg telah membuka peluang dengan mendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang selanjutnya dapat diintensifikasikan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi kepada prosedur berperkara di PN.

Pasal 130 HIR : (1) Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka PN dengan bantuan Ketua (Majelis Hakim) mencoba untuk mendamaikan mereka  (2) Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang dibuat sebuah surat (akte) tentang itu, kedua pihak dihukum (divonis) untuk menepati perjanjian tersebut; surat mana akan berkekuatan hukum sebagai putusan biasa  (3) Putusan yang demikian tidak diijinkan untuk banding  (4) Jika pada waktu mencoba mendamaikan keduabelah pihak, diperlukan seorang juru bahasa, maka peraturan pasal yang berikut dituruti untuk itu.

Pasal 154 RBg : (1) Bila pada hari yang telah ditentukan para pihak datang menghadap, maka PN dengan perantaraan ketua (majelis hakim) berusaha mendamaikannya  (2) Bila dapat dicapai perdamaian maka didalam sidang itu juga dibuatkan suatu akta dan para pihak dihukum (divonis) untuk menaati perjanjian yang telah dibuat, dam akta itu mempunyai kekuatan serta dilaksanakan seperti putusan biasa  (3) Terhadap suatu putusan tetap semacam itu tidak dapat diajukan banding  (4) Bila dalam usaha untuk mendamaikan para pihak diperlukan campur tangan seorang juru bahasa maka digunakan ketentuan-ketentuan yang diatur pasal berikutnya.

Perintah UU kepada hakim untuk mendahulukan proses perdamaian dalam penyelesaian sengketa adalah bersifat memaksa (imperatif); Pasal 2 ayat (3) PERMA 1/2008; Kelalaian hakim untuk melaksanakan mediasi berdasarkan ketentuan Pasal 130 HIR dan 154 RBg diatas mengakibatkan putusan pengadilan batal demi hukum.

B. TAHAP PRAMEDIASI
Adalah tahap sebelum dimulainya mediasi yaitu suatu tahap dimana hakim menunda proses persidangan perkara untuk memberi kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi (diatur dalam BAB II Pasal 7 sd 12 PERMA 1/2008)
Mediator yang dapat ditunjuk para pihak : (1) Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan  (2) Advokat atau akademisi hukum  (3) Profesi bukan hukum yang dianggap menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa  (4) Hakim majelis pemeriksa perkara  (5) Gabungan 1&4, 2&4, 3&4.

C. TAHAP MEDIASI
Dimulai dengan penyerahan resume perkara, yang diikuti dengan penentuan lama waktu pelaksanaan kegiatan mediasi (Pasal 12 PERMA 1/2008); waktu menyerahkan resume adalah 5 hari kerja, waktu mediasi sendiri berlangsung adalah 40 hari.

D. PASCA MEDIASI (AKTA PERDAMAIAN)
Pasal 23 PERMA 1/2008 : Pihak yang bersengketa dengan bantuan mediator bersertifikat yang berhasil menyelesaikan sengketa di luar pengadilan dengan kesepakatan perdamaian dapat mengajukan kesepakatan perdamaian tersebut ke pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian, yaitu dengan cara mengajukan gugatan yang wajib dilampiri dengan kesepakatan perdamaian.


Kegiatan Belajar 2 :
Pengaturan Mediasi di Luar Pengadilan
A. LATAR BELAKANG
Mediasi sebagai APS; Pasal 1 angka 10 UU 30/1999; APS adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak , yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Pasal 4 PERMA 1/2008 : Pengecualian penyelesaian sengketa perdata yang dapat diselesaikan diluar PN.
sengketa perdata yang dikecualikan adalah Perkara-perkara yang diselesaikan melalui :
- Prosedur pengadilan niaga
- pengadilan hubungan industrial
- keberatan atas putusan BPSK
- keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
Hanya sengketa terkait dengan KPPU yang tidak bisa mediasi didalam dan diluar pengadilan,

B. MEDIASI SENGKETA PERBURUHAN 
Penyelesaian perselisihan sengketa perburuhan diatur dalam UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial .
Perselisihan hubungan Industrial yang dapat dilakukan mediasi :
(1) Perselisihan Hak; perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak  (2) Perselisihan Kepentingan; Perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat  (3) Perselisihan PHK  (4) Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

C. MEDIASI SENGKETA HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
1. Hak Cipta
Pasal 1 butir 1 UU 19/2002 : Hak Cipta adalah Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peratuiran perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal pemegang Hak cipta mempunyai sengketa, mereka diberi kesempatan untuk memilih atau menempuh dua jalur; Pengadilan Niaga (Pengadilan penyelesaian sengketa HKI) dan melalui APS diluar pengadilan.

2. Paten
Pasal 1 butir 1 UU 14/2001 : Hak Paten adalah Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil inves-nya dibidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri investasinya atau memberi persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Penyelesaian sengketa Paten diluar pengadilan seperti arbitrase atau APS selain relatif lebih cepat, biayanyapun lebih ringan.

3. Merek
Pasal 1 butir 1 UU 15/2001 : Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama , kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan dan jasa.
Dalam sengketa; selain pengadilan niaga pilihan lainnya adalah APS.
Gugatan Pemilik merek dapat berupa : (a) Gugatan ganti rugi  (b) Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut.

4. Rahasia Dagang
Pasal 1 butir 1 UU 30/2000 : Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum dibidang teknologi dan atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik rahasia dagang.
Pasal 3 UU 30/2000; Syarat-syarat informasi yang merupakan Rahasia Dagang :  (1) Bersifat Rahasia  (2) Memiliki nilai ekobnomi  (3) Dijaga kerahasiaannya

D. MEDIASI SENGKETA KONSUMEN
Sengketa Konsumen merupakan sengketa yang dikecualikan oleh PERMA No 1/2008; Artinya semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan Tingkat Pertama wajib dahulu diupayakan penyelesaian melalui perdamaian dengan bantuan mediator, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur keberatan atau putusan BPSK.
UU 8/1999 tentang perelindungan konsumen : Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditem,puh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.
Syarat menjadi anggota BPSK (Psl 37 UU 8/1999): (a) WNRI  (b) berbadan sehat  (c) berkelakuan baik  (d) tidak pernah dihukum karena kejahatan  (e) memiliki pengetahuan dan pengalaman dibidang per;lindungan konsumen  (f) berusia sekurangnya 30 tahun
Tugas dan Wewenang BPSK : (a) Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi  (b) memberikan konsultasi perlindungan konsumen



MODUL 6 : 
ARBITRASE (PENGANTAR)

Kegiatan Belajar 1 :
Dinamika Proses Penyelesaian Sengketa

A. PROSES PENYELESAIAN SENGKETA PADA UMUMNYA
1. Litigasi (Litigation)
Merupakan suatu proses gugatan atas suatu konflik dalam format menggantikan konflik sesungguhnya, dimana para piahk dengan memberikan kepada seorang pengambil keputusan pada dua pilihan yang bertentangan.
Karakteristik Litigasi adalah adanya pihak ketiga yang mempunyai kekuatan untuk memutuskan (to impose) solusi diantara para pihak yang bersengketa.
Litigasi sebagai pilihan / jalan yang terakhir (ultimatum remedium) jika untuk pilihan penyelesaian sengketa komersial.
2. Arbitrase (Arbitration)
Alternatif Penyelesaian Sengketa/APS (Alternative Dispute Resolution/ADR) diantaranya meliputi negosiasi, mediasi, dan arbitrase.
ADR adalah sebagai salah satu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan dengan mempertimbangkan segala bentuk efisiensinya dan untuk tujuan masa yang akan datang sekaligus menguntungkan bagi para pihak yang bersengketa.

Kegiatan Belajar 2 :
Batasan Arbitrase
A. PENGERTIAN DAN PILIHAN PENYELESAIAN ARBITRASE
1. Pengertian Arbitrase
SUBEKTI : Arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak diselesaikan lewat pengadilan.
Persyaratan utama bagi suatu proses arbitrase adalah kewajiban para pihak membuat suatu kesepakatan tertulis atau perjanjian arbitrase (arbitration clause/agreement) dan kemudian menyepakati hukum dan tata cara bagaimana mereka akan mengakhiri penyelesaiannya.

Kelebihan Penyelesaian sengketa Arbitrase :
(1) Para pihak dapat memilih para arbiternya sendiri  (2) Proses Majelis Arbitrase bersifat konfidensial  (3) Putusan arbitrase sesuai dengan kehendak dan niat para pihak  (4) Putusan Arbitrase final dan mengikat  (5) Tata cara arbitrase lebih informal dari tata cara pengadilan

2. Arbitrase : Pilihan Penyelesaian Sengketa
Efektifitas Arbitrase dalam penyelesaian sengketa bisnis lebih cepat dan lebih murah disebabkan beberapa faktor, misalnya jangka waktu kerja dibatasi UU.
Pasal 48 UU 30/1999 emeberi waktu penyelesaian sidang 6 bulan untuk sampai putusan final dan mengikat.
BANI memberi 3 bulan dengan kesempatan perpanjangan sampai 3 bulan tambahan.
Arbitrase cara penyelesaian fast track dan standard track, sedangkan pengadilan sebagai complicated track.
Penerapan arbitrase tetap dalam bartas-batas kewajaran hukum, kejujuran, kebenaran, keadilan (putusan "ex aequo et bono").

3. Arbitrase : Sarana Akses Privatisasi Sengketa
Arbitrase karena bersifat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa terhadap penyelesaian sengketanya (privatisasi penyelesaian sengketa) dan ditujukan kepada posisi penyelesaian sengketa bukan kepada apa yang biasa terjadi di pengadilan yang mempertaruhkan  "win-lose".
Adakalanya arbitrase menjamin tidak adanya publisitas karena sifat yang tertutup dan tidak konfrontatif dan berlangsung secara koorperatif-damai.



MODUL 7 : 
KEWENANGAN ARBITRASE 

Kegiatan Belajar 1 :
Sifat Arbitrase dan Sumber Hukum Arbitrase

A. SIFAT ARBITRASE DAN SUMBER HUKUM ARBITRASE
1. Sifat Umum Arbitrase 
Arbitrase adalah salah satu mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan (out of court settlement)
Arbitrase adalah hukum prosedur dan hukum para pihak (law of procedure and law of the parties). Selain putusan arbiter yang final dan mengikat, dikenal pula pendapat mengikat "binding opinion"

Arbitrase dapat dimulai bila salah satu pihak pada suatu perjanjian arbitrase memberitahukan pihak lainnya tentang adanya sengketa dan sekaligus menetapkan seorang arbiter sesuai yang ditentukan dalam kontrak yang isinya bahwa para pihak menyerahkan sengketanya pada seorang atau lebih arbiter.

2. Sumber Hukum Arbitrase
a. Landasan Arbitrase Pasal 377 HIR (Pasal 705 RBg)
Landasan Hukum bertitik tolak dari Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBg; Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi Bangsa Eropa.

b. Landasan Arbitrase Pasal 615-651 Rv
HIR maupun RBg tidak membuat aturan lebih lanjut tentang Arbitrase. Untuk mengisi kekosongan aturan tentang arbitrase, Pasal 377 HIR dan Pasal 705 RBg langsung menunjuk aturan pasal-pasal arbitrase yang terdapat dalam reglement hukum acara perdata (Reglement op de Bergerlijke Rechtsvordering, disingkat Rv. S.1847 - 52 jo 1849 -53). Hal ini jelas dapat dibaca dalam kalimat
" wajib memenuhi peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa"

Aturan Umum Arbitrase yang diatur dalam Reglement Acara Perdata, meliputi lima bagian pokok :
(1) Bagian pertama (615-623); Persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter
(2) Bagian Kedua (624-630); Pemeriksaan di muka badan arbitrase
(3) Bagian Ketiga (631-640); Putusan arbitrase
(4) Bagian Keempat (641-647); Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase
(5) Bagian Kelima (647-651); Berakhirnya acara-acara arbitrase.

Audi et alteram partem : Asas mendengar keduabelah pihak.

c. Landasan Undang Undang No 30 Tahun 1999
Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbitrase hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (executouir) dari pengadilan.
Pada tanggal 12 agustus 1999 telah disahkan UU No 30 / 1999 tentang arbitrase dan APS. UU ini merupakan perubahan atas pengaturan mengenai arbitrase yang sudah tidak memadai lagi dengan tuntutan perdagangan internasional.


Kegiatan Belajar 2 :
Kewenangan Arbitrase Penyelesaian Sengketa

B. KEWENANGAN ARBITRASE DALAM PROSES PENYELESAIAN SENGKETA




MODUL 8 : 
PEMBERLAKUAN PERJANJIAN ARBITRASE DAN JENIS ARBITRASE

Kegiatan Belajar 1 :
Pemberlakuan Perjanjian Arbitrase

A. LINGKUP PERJANJIAN ARBITRASE (UMUM)


Kegiatan Belajar 2 :
Jenis Arbitrase

A. JENIS ARBITRASE




MODUL 9 : 
PEMERIKSAAN DAN PUTUSAN ARBITRASE

KEGIATAN BELAJAR 1 
Kewenangan Memeriksa Perkara Arbitrase 

A. KEWENANGAN MEMER1KSA PERKARA ARB1TRASE 

1. Kewenangan Arbitrase 
Setelah kita mengetahui jenis arbitrase, tiba saatnya membicarakan sistem arbiter yang akan duduk dan berfungsi melaksanakan jasa dan pelayanan arbitrase. Jika arbitrase merupakan wadah, arbiter atau arbitrator adalah orang (person) yang ditunjuk dan diangkat melaksanakan fungsi dan kewenangan arbitrase. Dengan demikian, pembicaraan mengenai sistem arbitrase ialah menyangkut permasalahan yang berkenaan dengan persoalan jumlah arbiter, cara penunjukan atau pengangkatan arbiter serta campur tangan pengadilan dalam pengangkatan arbiter. 

Secara singkat kewenangan arbitrase sebagai juru pisah persengketaan, dimaksudkan sebagai realisasi persetujuan para pihak baik dalam perjanjian pokok maupun klausula arbitrase yang mcmuat perjanjian arbitrase baik dalam bcntuk "pactum de compromittende" atau "akta kompromis" yang kedudukannya mengeyampingkan kompetensi pengadilan untuk memeriksa dan memutus perkara. Terhadap permasalahan ini berkembang dua aliran, antara lain: 

a. Klausula Arbitrase: Bukan Publik Orde. 
Aliran ini misalnya secara tersirat dapat dilihat dalam putusan NR 8 Januari 1925, menurut putusan ini, (Mahkamah Agung RI (2), 1989), sebagai berikut: 
1. Suatu klausula arbitruse 'niet van openbaar onle" (bukan ketertiban umum). 
2. Sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausula arbitrase dapat diajukan ke Pengadilan Perdata, diartikan antara lain: 
3. Pengadilan tetap berwenang mengadili, sepanjang pihak lawan tidak mcngajukan ckscpsi akan adanya klausula arbitrasc, 
4. Dengan tidak adanya eksepsi yang diajukan, pihak lawan dianggap telah "melepaskan" haknya atas klausula arbitrase dimaksud. 

5. Eksepsi atau tangkisan klausula arbitrase baru diajukan dalam gugat rekonpensi, dan tergugat dianggap telah melepaskan haknya atas klausula arbitrase, dan kewenangan mengadili sengketa sudah jatuh dan tunduk pada juridiksi pengadilan (Sudargo Gatanma, (996).
 
Dengan demikian, aliran ini berpendapat bahwa arbitrase tidak bersifat "absulut". Klausula arbitrase tersebut harus dipertahankan para pihak, baru dia tetap mengikat. Dalam praktik yang terjadi apabila sengketa yang timbul dari perjanjian yang mengandung klausula arbitrase diajukan salah satu pihak ke pengadilan, pengadilan berwenang mengadili. Kewenangan baru gugur apabila pihak tergugat mengajukan eksepsi akan adanya klausula arbitrase. 


b. Klausula Arbitrase : Pacta Sunt Servanda 
Aliran ini bertitik tolak dari doktrin hukum yang mengajarkan: semua perstujuan yang sah, mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak. Olch karena itu, sctiap persetujuan hanya dapat gugur (ditarik kembali) atas kesepakatan bersama para pihak. Asas "pacta sunt servanda" secara positif telah scbagaimana dimaksud dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang berintikan: 
1. Setiap perjanjian mengikat kepada para pihak. 
2. Kekuatan mengikatnya serupa dengan kekuatan undang-undang 
3. Hanya dapat ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak. 

Bertitik tolak dari teori prinsip pacta sunt servanda, aliran ini berpendapat, setiap perjanjian yang memuat klausula arbitrase: 
1. Mengikat secara mutlak kepada para pihak; 
2. Olch karena itu, kewenangan memeriksa dan memutus sengketa yang timbul, menjadi kewenangan "absolut" . 


2. Pemeriksaan dan Pembuktian Arbitrase 
Paling tidak ada lima cara yang menyangkut kewenangan scorang arbiter, sebagai berikut : 
a. Menyerahkan kepada arbiter secara tertulis data/ uraian tentang sengketa antara pihak dan memberi wewenang kepadanya bertindak sebagai arbiter. 
b. Melalui kesepakatan bahwa arbiter itu ditetapkan sesuai klausula arbitrase atau ditetapkan oleh lembaga yang dipilih para pihak secara bersama-sama. 
c. Sesuai kesepakatan, dimana proscs arbitrase dapat dilakukan setelah melalui tahapan-tahapan tertentu yang ditempkan di dalam perjanjian yang menampung klausula arbitrase. 




d. Bilamana arbitrase dilakukan sesuai dengan perundang-undang dan arbiter ditunjuk sesuai dengan undang-undang,  maka pcnunjukan  tersebut harus sesuai dengan persyaratan dalam undang-undang. 
e. Dengan menerima penunjukan maka telah terjadi suatu ikatan hukum antara yang menunjuk dan arbiter (pactum arbitrii). 

Harus diperhatikan olch seorang arbitcr ialah mencliti bahwa pcnunjukannya itu telah sesuai dengan aturan yang berlaku. Arbiter harus mencliti bahwa penunjukan dan persetujuannya memenuhi syarat-syarat khusus dan sekaligus memastikan bahwa ia berwenang untuk memutus sengketa yang discrahkan kepadanya. Arbiter pada tahap awal hasus dapat memastikan dan yakin bahwa ia mampu melakukan tugasnya sesuai dengan prosedur arbitrase atau cara-cara yang telah disepakati. Akan tetapi bila kemudian ternyata bahwa ia tidak mempunyai yurisdiksi, maka ia harus memutuskan menolak penunjukan tersebut. Perlu diperhatikan babwa bila scorang arbiter memutus suatu sengketa diluar yurisdiksinya maka putusannya itu dapat dikesampingkan dengan alasan diluar wewenangnya. (M. Yahya Harahap, 1991). 

Arbiter dapat bertindak lebih jauh dan tidak semata-mata melakukan pemeriksaan formal terhadap dokumen-dokumen yang diserahkan kepadanya pada tahap awal. Arbiter dapat memberikan putusan tentang eksepsi atau putusan sela yang diminta dan mcnyangkut sengketanyn. Dalam dengar pendapat (hearing) pendahuluan, perlu dilakukan karena kadang-kadang diketemukan adanya keterkaitan antara perjanjian yang berisikan klausula arbtirase dengan perjanjian lain diluar perjanjian sebelumnya. 

Arbiter dapat memberikan saran-saran berkaitan dengan tata cara susunan dokumen-dokumen dan menyatakan pendapatnya berdasarkan hukum. Arbiter juga berhak dan berkewajiban untuk memeriksa misal: melakukan kunjungan langsung ke lokasi (site visit) atau yang menyangkut objek atau lahan sengketa tanpa melihat ada tidaknya klausula dalam perjanjian arbitrase terhadap tindakan tersebut. 
Arbiter juga mempunyai wewenang berdasarkan Undang-undang No. 30 Tahun 1999 untuk memerintahkan para pihak memperlihatkan kepadanya objek yang terlibat dalam sengketa, misal: dalam kunjungan ke lokasi objek sengketa, kegiatan ini tidak mengecilkan peran pembuktian dalam sessi dengar pendapat, kecuali apabila hal itu secara tegas dinyatakan bahwa arbiter ditunjuk khusus karena keahlian dan pengetahuannya atas suatu sengketa. 

Seorang arbiter dapat menggunakan kesannya sendiri yang kemudian terbentuk ketika ia meninjau lokasi yang berkaitan dengan sengketa, dalam hal ini pada umumnya ia dapat saja meminta bantuan scoarang ahli walaupun pendapat ahli tersebut tidak mengikat, dapat dipakai sebagian atau secara keseluruhan atas dasar pertimbangan keadilan dan kepatutan dalam rangka memutuskan perkara. 

Lazim dalam praktik arbitrase bahwa arbiter mengadakan pertemuan dengan para pihak sebelum mengadakan dengar pendapat (hearing) yang resmi. Bilamana terdapat beberapa isu kontroversial muncul, mungkin perlu diadakan pertemuan lebih lanjut sebelum dengar pendapat yang sesungguhnya. Proses dengar pendapat pendahuluan akan meneliti masalah awal yang pada umumnya dapai meliputi hal-hal sebagai berikut : 
a. Mengenai tuntutan atau tuntutan balik; 
b. Penemuan atau pemeriksaan dokumen; 
c. Untuk pemeriksaan benda-benda, properti oleh: 
1) Arbiter; 
2) Para Pihak. 
d. Menerima (melalui lembaga) penyerahan berkas tuntutan dan tanggapan (termasuk keberatan/ oposisi); 
e. Menetapkan waktu. tanggal, dan tempat dengar pendapat ; 
f. Persetujuan masalah lainnya yang dapat mempersingkat atau memudahkan dengar pendapat dilakukan; 
g. Bahasa yang digunakan (bilamana salah satu pihak berkebangsaan asing). 

Setelah pernyataan disampaikan oleh masing-masing pihak sebagai bahan pemeriksaan, arbiter atas dikresinya sendiri dapat mengizinkan atau menolak amandemen/perubaban/modifikasi atas pernyataan tersebut. Tetapi dalam keadann apapun arbiter tidak boleh membuat perubahan dalam perjanjian arbitrase itu sendiri. Dalam praktiknya ketentuan untuk amandemen diperbolehkan; kapan saja sebelum penutupan dengar pendapat dan pihak yang mencari kesempatan untuk membuat amandemen dan dikabulkan dan untuk pembuatannya harus membayar biaya yang berlaku untuk itu (Priya. Abdurrasyid, 2002). 


a. Pemeriksaan Tertutup 
Dalam proses pemeriksaan arbitrase, terdapat suatu tanggapan merupakan jawaban dimana yang dituntut mengajukan argumentasi atau tuntutan balik dari respondent/ Temohon. Dalam suatu sessi tanggapan termohon harus menjelaskan semua masalah yang terkait. Sebaliknya, pemohon harus diberi kesempatan untuk menjelaskan tanggapannya terhadap argumentasi atau tuntutan balik dari termohon tersebut. Di samping itu, keterangan harus diberikan secara rinci dalam penjelasan fakta-fakta sah yang diberikan dalam setiap tanggapan. Majelis arbiter dapat memerintahkan para pihak untuk melayani masalah yang diajukan lawannya. 

Dengar pendapat merupakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan secara lisan atau tertulis temang butir-butir materi yang dipersengketakan oleh para pihak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab. Tujuan dengar pendapat tersebut paling tidak ada 2 hal, yaitu: 
1. Untuk memudahkan pcmbuktian pada kasus, dan 
2. Untuk meyakinkan pihak lain. 

Jawaban-jawaban harus relevan terhadap hal-hal yang dijadikan masalah, namun tidak seperti halnya tanggapan, tidak terbalas pada fakta-fakta material yang dijadikan bahan/materi unggulan para pihak. 




Arbiter memutuskan waktu dan tcmpat dengar pendapat kecuali perjanjian arbitrase mengatur Salah satu dasar utama yang menjadi bahan pertimbangan ialah tempat kediaman para pihak dan saksi-saksi. Arbiter harus mengirim pemberitahuan tertulis kepada para pihak dalam waktu yang wajar dan cukup. Jika suatu pihak menghalangi atau mengabaikan pemberitahuan arbiter, arbiter dapat melanjutkan dengar pendapatnya tanpa hadirnya pihak tersebut. Arbiter akan menyampaikan suatu pemberitahuan bahwa arbiter bermaksud mengadakan dengar pendapat secara sepihak. Adakalanya seorang arbiter yang telah mengirim pemberitahuan kepada pihak yang tidak hadir, keputusannya dicoba digagalkan dengan mekanisme intervensi melalui lembaga pengadilan. (Erman Radjagugugk, 2010). 

Arbiter harus membernahukan dan berkonsultasi dengan para pihak bilamana perlu menunda proses dan berusaha menampung kepentingan semua pihak, kemudian arbiter dapat memberikan keputusan pada suatu sengketa tersebut. Dinyatakan bahwa apabila klausula arbitrase menetapkan suatu dengar pendapat dalam waktu 14 (empat belas) hari dan kemudian tertunda karena ketidakhadiran termohon, dengar pendapat tersebut tetap berlaku dan dapat dilaksanakan. Arbiter dapat mengubah waktu dan tempat pelaksanaan dengar pendapat dan apabila arbiter memutuskan demikian harus memberikan pemberitahuan dalam waktu yang wajar kepada para pihak. Pemberlakuan komunikasi diantara para pihak juga dilakukan secara berimbang, artinya apabila para pihak dalam proscs menghubungi arbiter tanpa sepengetahuan pihak lain, arbiter wajib menolaknya. Arbiter tidak dapat mencrima suatu pernyataan dari satu pihak yang hanya dihadiri oleh satu pihak, kecuali apabila kedua pihak dalam proses memberikan izin keperluan untuk itu. 

Pasal 27 Undang-undang Nornor 30 Tahun 1999, Semua pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbiter dilakukan secara tertutup dan bahasa yang digunakan dalam semua proses arbitrase adalah bahasa Indonesia kecuali atas dasar persetujuan arbiter/majelis Arbiter para pihak yang bersengketa dapat memilih bahasa lain yang akan digunakan. Jangka waktu pemeriksaan atas sengketa menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, harus diselesaikan dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak arbiter atau majclis arbiter terbentuk. 

Pemeriksaan atas sengketa tersebut dapat diperpanjang sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 apabila dalam hal: 
1. Diajukan permohonan oleh salah satu pihak mengenai hal khusus tertentu; 
2. Sebagai akibat ditetapkannya putusan provisional atau putusan sela lainnya; atau 
3. Dianggap perlu oleh arbiter atau majelis arbiter untuk kepentingan pemeriksaan. 

Pihak Ketiga di luar perjanjian arbitrase dapat turut serta dan menggabungkan diri dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, hal ini apabila pihak ketiga tersebut mempunyai unsur kepentingan yang terkait dengan syarat: 
1. Keturutsertaan pihak ketiga disepakati olch para pihak, dan 
2. Disetujui oleh arbiter/majelis arbiter yang memeriksa sengketa yang bersangkutan. 

Sebenamya para pihak dalam suatu perjanjian yang tegas dan tertulis bebas menentukan acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan scngketa, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU No. 30 Tahun 1999, dan harus ada kesepakatan mengenai jangka waktu dan tempat disclenggarakannya arbitrase. Apabila jangka waktu dan tempat arbitrasc tidak ditentukan, arbiter atau majelis arbitrase yang akan menentukan. Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999, memberikan sarana hukum atas permohonan salah satu satu pihak, kepada arbiter/majelis arbitrase untuk dapat mengambil putusan provisionil atau putusan sela lainnya untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan sengketa termasuk (BAN1, 1999), antara lain: 1. Penetapan sita jaminan; 
2. Memerintahkan penitipan barang kepada pihak ketiga; atau 
3. Mcnjual barang yang mudah rusak. 


3. Pengakuan Terhadap Alat Bukti 
Sangat penting untuk menentukan apa saja alat bukti yang sah dalam proses pemeriksaan sengketa alau perkara. Penentuan secara limitatif alat bukti yang sah, merupakan landasarn kepastian hukum dalam proses pembuktian dan pengambilan keputusan. Dalam praktik proses penyampaian alat bukti biasanya termasuk pengungkapan suatu pernyataan yang dibuat diatas sumpah ataupun bukan sumpah olch salah satu pihak sebagai informasi pihak lain yang menyebutkan semua dokumen yang bersangkutan satu demi satu yang mengandung butir-butir yang dipermasalahkan. Dokumen-dokumen tersebut harus diserahkan kepada arbiter dan pihak 1awan. 

Ada beberapa dokumen tertentu yang tidak perlu diungkapkan atas dasar kerahasiaan/ milik orang lain, Terdapat tujuh alasan dimana penyerahan suatu dokumen dapat ditolak secara hukum. Alasan-alasan ini adalah sebagai berikut : 
a. Dokumen-dokumen pribadi: 
b. Milik saksi: 
c. Komunikasi antara Konsultan Hukum dan Klien; 
d. Dokumen-dokumen yang disiapkan untuk peninjauan jalannya perkara; 
e. Dokumen-dokumen yang membuktikan kesalahan; 
f. Dokumen-dokumen milik orang lain, misalnya disimpan olch agen atau wali yang bukan merupakan hak dalam arbitrase; 
g. Dokumen negara. 

Dalam praktik dokumen-dokumen biasanya "diungkapkan" yang discbut affidavit diterbitkan dan ditandatangani olch Kantor atau Firma Hukum yang umunya dikenal dalam praktik khususnya dalam negara-negara yang menganut sistem anglosaxon yang bertindak atas nama suatu pihak, yang sekarang telah mulai dikenal yang diterbitkan olch Konsultan Hukum di Indonesia. 

Seorang arbiter terikat oleh aturan mengenai barang bukti yang sama sebagaimana halnya di pengadilan, menurut hukum, kewajaran dan keadilan, kecuali jika para pihak harus diberi kesempatan mengemukakan semua bukti yang dimilikinya dan harus sepenuhnya didengarkan. Akan tetapi, arbiter berhak menerima bukti dari scorang saksi tertentu setiap saat, bila dianggap sesuai dan bermanfaat. Dari pertanyaan-pertanyaannya arbiter dapat menctapkan jawaban dan pengakuan yang berkaitan dengan barang bukti yang diajukan. Arbiter berhak menunda keputusan jika ia yakin bahwa bukti tambahan diperlukan namun keputusan belum diperoleh. 




Jika seorang  dapat  mencrima bukti atau  informasi dari salah satu pihak tanpa  kehadiran piliak lain,  baik secara lisan  maupun melalui  dokumen, dengan pemberitahuan sebelumnya maka keputusannya dapat dikesampingkan. 
Dalam keadaan yang demikian, misalnya dalam penyclesaian perkara diadakan penemuan dengan penyewa sebuah gedung disuatu tempat tanpa kehadiran pemilik gedung yang tidak hadir, dengan alasan yang sah dan dapat diterinta. Keadaaan demikian dapat saja terjadi dalam suatu sengketa dimana para pihak tidak hadir ketika arbiter mengunjungi objek sengketa tersebut. Walaupun demikian keputusan arbiter adalah misalnya mengenai scorang arbiter yang menerima barang bukti tanpa kehadiran pihak lain, juga bilamana diputuskan kalau kedua pihak diperiksa secara terpisah dengan atas permintaan para pihak. 

Ada beberapa jenis barang bukti, kcsaksian dan cara-cara pembuktian yang secara singkat dapat dikategorikan sebagai berikut (Priyatna Abdurrasyid, 2002): 
a. Bukti primer (primary evidence), yakni sebuah bukti yang merupakan bukti utama, dan wajib dihadirkan umumnya adalah bukti tertulis asli. 
b. Bukli sekunder (secondarv evidence), yakni sebuah bukti penunjang dinyatakan sebagai bukti, umumnya dentan penjelasan/uraian tentang maksud bukti tersebut. 
c. Bukti lisan (oral evidence), yakni pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para saksi di hadapan majelis arbitrase berdasarkan hukum dan prosedur arbitrase yang berlaku. 
d. Bukti dokumen (documentary evidence), yakni bukti berupa dokumen-dokumen yang dihadirkan untuk diperiksa oleh majelis (oleh Undang-undang dan berlaku dalam arbitrase), sebuah dokumen yang mendukung fakta dalam suatu perkara perdata diakui sebagai pengganti bukti lisan jika pembuat pemyataan tersebut telah tiada atau tak dapat menghadiri proses arbitrase dan dibuat secara sah menurut hukum atau ketentuan Arbitrase. 
e. Bukti yang menentukan (conclusive evidence), yakni bukti yang diterima majelis scbagai bukti lengkap dan sah dari suatu fakta dan tidak termasuk bukti yang bersifat menyangkal. 
f. Bukti langsung (direct evidence) yakni bukti mengenai suatu fakta yang tengah diperkarakan; juga berarti dari keadaan yang dilihat secara langsung oleh saksi. 
g. Bukti situasi (circumstantial evidence), yakni bukti dari fakta yang sebenarnya tidak menyangkut secara langsung dalam perkara, namun secara hukum relevan terhadap sebuah fakta dalam perkara. 
h. Bukti nyata (real evidence), yakni bukti berdasarkan objek materi yang  dihadirkan untuk diperiksa oleh arbiter dan bukan berdasarkan informasi dari dokumen maupun saksi-saksi. 
i.  Bukti ekstrinsik (extrinsic evidence), yakni bukti lisan yang berkaitan atau dituangkan dalam dokumen tertulis. 
j. Kabar berita (hear say), yakni bukti dari suatu fakta yang tidak benar-benar diterima olch seorang saksi melalui pengetaltuannya sendiri, melainkan dapat dibuktikan bahwa hal itu memang ia dengar berdasarkan pernyataan orang lain, walaupun nilai sangat rendah dan kadangkala perlu diabaikan. 
k. Bukti tidak langsung (indirem evidence), yakni balk bukti berupa kabar berita maupun bukti situasi. 
l. Bukti orisinil (original evidence) yakni bukti yang berasal dari dokumen asli. 
m. Bukti derivative (derifative evidence), yakni bukti yang diperolch dari sumbersumber lain. 
n. Bukti Prima-facie, yakni bukti dari suatu fakta yang hanu diterima scorang Arbiter sebagai bukti, kecuali jika disangkal olch bukti berikutnya. 




a. Alat bukti Sah (Undang-undang) 
Dalam mcnilai kepentingan dan peranan barang bukti dan bentuk-bentuk pembuktian seperti kesaksian seseorang lainnya dalam suatu proses Arbitrase perlu dibahas berbagai jenis barang bukti, kesaksian dan tata eara pengajuan pembuktian lainnya. Sistem klasilikasi pembuktian melalui barang bukti, kesaksian dan bentuk lainnya melalui hukum positif diterapkan dan berlaku dalam arbitrase. 

Hal pertama untuk menentukan alat bukti apa saja yang sah dalam suatu pemeriksaan sengketa di depan majelis arbitrase, tergantung pada bukti-bukti yang ditemukan dalam suatu ketentuan mengenai pembuktian dalam suatu perkara privat. Penentuan acuan ini terletak pada klausula arbitrase, apabila para pihak menunjuk Lembaga Arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa maka para pihak menundukkan diri pada proses penentuan alat bukti. Tetapi khusus mengenai pembuktian, kita sepakat untuk tunduk pada hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia. 



Jadi, dalam praktik hukum arbitrase mengenai alat  bukti dan penilaian pembuktian, bisa beragam  penerapannya. Tergantung pada hukum  yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak dalam klausula arbitrase. Para pihak juga dapat menunjuk atau menundukkan diri kepada ketentuan pembuktian yang diatur dalam hukum perdata intemanional. Apabila para pihak menundukkan diri pada hukum acara perdata Indonesia sebagai ketentuan yang berlaku tentang aturan pembuktian dalam klausula arbitrase maka yang dianggap sah sebagai alat bukti merujuk kepada pasal 164 HIR (Het Herziene lndonesisch Reglement), yaitu alat bukti yang sah menurut ketentuan tersebut terdiri dan: 
~ Alat bukti surat. 
~ Alat bukti saksi, 
~ Alat bukti peranngkaan, 
~ Alat bukti pengakuan, dan 
~ Alat bukti sumpah. 

Pelaksanaan klausula arbitrase, berarti lembaga arbitrase berwenang menyelcsaikan sengketa leluasa memberi kesempatan kepada para pihak untuk membuktikan dalil atau bantahan berdasar alat-alat bukti dimaksud sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam H1R. Pembuktian dalil atau bantahan, tidak terbatas pada alat bukti surat. Malahan dimungkinkan untuk mempergunakan alat bukti sumpah, baik yang berupa alat bukti sumpah tambahan atau yang menentukan (M. Yahya Harahap, 19911) 

b. Alat buki Sah (Kesepakatan) 
Di samping itu, alat bukti yang sah dapat berupa bukti yang terdapat dalam suatu pcrundang-undangan atau hukum tertentu apabila hal itu ditunjuk berdasar kesepakatan dalam klausula arbitrase. Dapat juga terjadi, alat bukti yang hanya terbatas sepanjang alai bukti yang ditentukan berdasar kesepakatan para pihak. Para pihak dapat menentukan dalam klausula arbitrase apakah itu dalam pactum de compromittendo atau akta kompromis, bahwa persengketaan hanya dapat dibuktikan berdasar alat-alat bukti tertentu. Misalnya, para pihak sepakat dalam klausula arbitrase, pembuktian yang sah hanya alat bukti surat, saksi dan keterangan para pihak. 

Dengan adanya klausula tersebut, para pihak dengan sengaja telah mcnyingkirkan alat bukti yang lain yang lazim dipergunakan dalam suatu aturan tertentu. Klausula yang demikian telah merupakan pembatasan terhadap kelcluasaan mempergunakan alat bukti lain selain dari pada alat bukti yang disepakati para pihak. 

Kebolehan menyepakati pembatasan penggunaan alat bukti menurut pendapat kita, didasarkan pada asas "kebebasan berkontrak", sebagaimana yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata. Sebenarnya asas kebebasan berkontrak, tidak hanya terdapat dalam kehidupan hukum dan perundang-undangan nasional. Di samping itu, pada prinsipnya bidang hukum perdata, apakah itu hukum formilnya atau materilnya lebih cenderung sebagai hukum yang mcngatur yang dapat dikesampingkan berdasar kesepakatan para pihak yang membuat suatu persetujuan. 

Oleh karena tidak ada larangan bagi para pihak untuk menentukan sendiri alat-alat bukti mana yang mereka kehendaki dalam penyelesaian persengketaan yang timbul, para pihak dapat menemukan dan memiliki alat bukti tertentu dari sekian alat bukti yang lazim diatur dalam berbagai ketentuan hukum nasional atau internasional. Demikian halnya, majelis arbitrase yang mcmeriksa perscngketaan, tidak bolch menyimpang dan alat bukti yang telah ditentukan para pihak dalam menilai fakta dalam pcrtimbangan putusan (Suyud Margono, 2001). 

4. Pemeriksaan Bukti dan Saksi 

a. Pemeriksaan Bukti 
Arbiter hendaknya mencatat dengan hati-hati dan teliti semua barang bukti yang diberikan olch para pihak beserta saksi-saksi mereka sclama berlangsungnya persidangan, dengan demikian barulah arbiter dapat memberikan putusan yang bersifat adil. Arbiter dapat membandingkan catatan-catatannya dengan apa yang didapat dalam pcmcriksaan atas para saksi oleh penasehat hukum dan ia akan mempunyai kesempatan untuk menycgarkan ingatannya dalam setiap proses yang mungkin terjadi setelah persidangan tersebut. 

Arbiter tidak dibenarkan memanfaatkan para pencatat yang dipekerjakan oleh para pihak yang bersengketa, meskipun para pihak mungkin sctuju dan secara sukarela mcnyerahkan salinan mengenai catatan tersebut kepada arbiter. Akan tetapi,  arbiter berhak menggunakan seorang sekretaris pencatat isi dari proses setiap sesi berlangsungnnya sidang sendiri dan membebankan biayanya kepada para pihak. 

Hasil pengerjaan catatan jalannya persidangan olch sekretaris ataupun panitera arbiter atau majelis arbiter tidak perlu diserahkan kepada para pihak dan ia dapat menolak permintaan dari para pihak memberikan salinan catatan tersebut walaupun biaya dibcbankan kepada para pihak dan ditanggung oleh para pihak. 
Dalam kasus tersebut bahwa merupakan tugas seorang arbiter untuk menemukan fakta-fakta dan bukan mengesampingkan barang bukti. Tugas arbiter di antaranya adalah memilah semua bukti yang relevan dan membuat kesimpulan berdasarkan fakta, termasuk yang harus dilakukan olch seorang arbiter terhadap sebuah pernyataan mengenai suatu perkara khusus dan bukan sebuah salinan kata per kata dari scmua bukti yang didengarnya dalam suatu persidangan. 

Arbiter memutuskan suatu sengkeia yang melibatkan keabsahan barang bukti, agar benar-benar ia mampu bertindak secara adil. Jika arbiter melakukan kesalahan dalam memperlakukan keabsahan suatu bamng bukti, tindakan tersebut tidak dengan sendirinya merupakan perbuatan yang dapat dipersalahkan dan keputusannya tidak akan dapat langsung dikesampingkan, kecuali kesalahan tersebut disengaja. Pertanyaan mengenai sah atau tidaknya suatu barang bukti dapat menjadi sebuah objek yang krusial dari suatu proses kasus arbitrase. 

Seorang arbiter berwenang untuk menyelidiki fakta-fakta dan dokumen-dokumen tambahan yang tidak diajukan kepadanya jika itu memang perlu dilakukan agar ia dapat memutuskan secara benar sengketa yang dihadapinya.  Demikian pula andaikata terjadi  ketidaksepakatan diantara para ahli yang diajukan oleh para pihak, arbiter berwenang untuk 


memperoleh pendapat ahli yang dipilihnya sendiri. Pendapat ahli tersebut dapat ia terima secara keseluruhan maupun sebagian, atau tidak sama sekali. Arbiter hendaknya memperhatikan semua bukti yang berkaitan dengan sengketa yang diajukan secara prosedural oleh para pihak. Arbiter wajib melakukannya meskipun mungkin arbiter berpendapat bahwa bukti yang telah diajukan sudah memadai. Menolak untuk menerirna bukti lainnya atau tambahan merupakan langkah yang tidak bijaksana. 

Jika arbiter membuat keputusan tanpa memeriksa semua bukti dan kesaksisan dan tidak memberi peluang yang wajar kepada para pihak atau seseorang untuk mengajukan bukti dalam perkaranya, maka keputusanya berpeluang untuk menjadi tidak sah. Bisa saja para pihak tidak mengajukan keberatan terhadap keputusan seorang arbiter untuk menerima atau tidak menerima bukti tertentu, akan tetapi para pihak yang telah bersikap demikian ke depan mungkin saja tidak dapat mengajukan keberatan apapun terhadap keputusan yang di dasarkan pada pertimbangan yang bertentangan dengan aturan-aturan mengenai barang bukti (Sudargo Gaulama, 1996). 

Arbiter hanya bolch mcmutus berdasarkan bukti yang disampaikan dihadapannya dan bukan fakta yang didapat dengan cara lain. Arbiter tidak bolch mengandalkan pengetaltuan yang ia peroleh dalam kapasitas yang berbcda. Bila seorang yang memiliki keahlian dibidang tertentu atau mempunyai pengetahuan khusus ditunjuk menjadi arbiter oleh para pihak, atau dicalonkan atas nama mereka berdasarkan keahlian tersebut dan para pihak memberi kewenangan padanya untuk memanfaatkan pengetahuan itu, maka arbiter demikian dapat melakukan tugasnya tanpa hambatan. 
Para pihak harus mengakui kewenangan tersebut semata-mata berdasarkan fakta penunjukannya. Dalam hal sedemikian, keputusannya tak dapat ditolak dan tak dapat dikesampingkan apabila bukti yang diserahkan oleh para pihak tidak memadai untuk mendukungnya dan jika pengetahuan yang diperlukan hanya ada pada arbiter itu sendiri yang dapat melengkapi kekurangmampuan tersebut (M. Yahya, Harahap. 1991). 

Apabila arbiter ahli diberi kewenangan untuk menggunakan pengetahuannya dan mampu merumuskan suatu hal dalam sengketa meskipun ia mungkin menolak bukti tambahan yang diajukan oleh para pihak berdasarkan anggapan bahwa itu tidak perlu maka sikap demikian tidak akan menjadikan keputusannya tidak sah, akan tetapi bijaksana mengandalkan pengetahuan semata tanpa metnpertimbangkan adanya fakta atau dokumen yang perlu dipertimbangkan arbiter ahli tersebut 

b. Pemeriksaan Saksi 
Masalah pemeriksaan saksi ini merupakan salah satu aspek terpenting, dalam prosedur arbitrase. Dalam hal ini penting kiranya untuk membatasi penerimaan kesaksian pada hal-hal dibawah sumpah atau dengan kepastian dan menyakinkan. Scorang saksi diberi kesempatan hanya memberi keterangan yang menyatakan apa yang terjadi menurut pengetahuan pribadinya sendiri, dan bukan menurut keterangan orang lain yang dikatakan kepadanya. Arbiter diperbolehkan menyegarkan ingatannya dengan merujuk kepada catatan-catatan atau memo tertulis yang dibuat pada saat kejadian yang dibuatnya sendiri dan dibacakan dan diakuinya sebagai keadaan yang benar. 

Masing-masing pihak berhak memeriksa sebuah dokumen yang digunakan oleh saksi untuk menyegarkan ingatan atau pengetahuannya dan untuk memeriksa ulang berdasarkan kesaksian tersebut tetapi bukan atas dasar hal yang tidak ada kaitannya sama sekali didalam catatan tersebut. Catatan itu harus merupakan catatan asli dan bukan salinan/fotokopi. Seorang arbiter tidak berhak mendengarkan suatu informasi diluar kehadiran para pihak (secara rahasia). 

Para pihak atau para penaschat hukumnya mempunyai hak dan kcbebasan Icbih dalam untuk mclakukan pcmcriksaan silang dan mcngajukan pertanyaan-pertanyaan sebanyak yang diinginkan. Juga tidak perlu mcmbatasi pertanyaan-pertanyaan pada fakta yang dipersengketakan dan ia dibenarkan mempertanyakan hubungan, kompentesi, dan kredibilitas saksi yang bersangkutan, yang akan tetap dalam pengawasan arbiter. Arbiter berhak untuk menentukan apakah pertanyaan-pertanyaan yang menyinggung dan tidak relevan boleh diajukan, terutama bila menyangkut kredibilitas saksi. 

Mereka yang melakukan pemcriksaan silang hendaknya menguji sumber pengetahuan, atau sarana pengingat kembali, atau dasar penilaian dari saksi yang bersangkutan. Arbiter boleh menunjukkan, bahwa saksi tersebut merupakan pihak yang berkepentingan bahwa ia bersifat prasangka dan memihak, dan bahwa pernyataan-pernyataan yang telah dibuat sebelumnya harus dibuktikan. 
Pernyataan tertulis oleh seorang saksi yang ternyata bertentangan dengan kesaksian lisannya dapat diajukan sebagai bukti tetapi hanya dalam situasi khusus. Pemeriksaan silang hendaknya diarahkan ke bagian pemeriksaan utama terhadap saksi yang sedang dihadirkan. Setiap fakta yang olch pihak yang memeriksa silang dan ingin ditunjukkan kepada arbiter atau majelis arbiter harus diajukan kepada saksi. agar saksi tersebut diberi kesempatan untuk dapat menyangkal kebenaran atas relevansi fakta dan kesaksian tersebui. Para pihak perlu diberi perhatian agar tidak mcnyampaikan bukti tambahan atau bukti yang gagal dipertahankan olch pihak lain. 

Dalam keadaan tertentu seorang saksi tidak dapat dipaksa untuk menjawabnya, baik dalam pemeriksaan silang maupun pemeriksaan pokok. bilamana pertanyaan-pertanyaan olch itu menyangkut : 
1. Jawaban akan melibatkan saksi; 
2. Suami atau istri, selama pernikahan tidak dapat dipaksa untuk mengungkapkan hubungan (pcrnyataan tertentu) dalam perkawinan merekat hak khusus ini mencakup kesaksian dari scorang saksi independen yang hadir pada saat hubungan tersebut dibuat/terjadi dan yang mendengar atau membacanya
3. Tanpa persetujuan klien, komunikasi yang dibuat dalam kapasitas profesional antara klien dengan pengacara atau penasehat hukumnya. 

Tujuan pemeriksaan silang adalah memberi saksi kesempatan untuk menjelaskan ulang setiap hal yang tidak konsisten dalam jawaban mereka sebelumnya. Mereka juga boleh menyatakan kebenaran sepenuhnya sebagaimana diperlukan oleh materi-materi terdahulu, akan tetapi belum diungkap seluruhnya dalam pemeriksaan silang. Pada pemeriksaan ulang saksi, para pihak atau penasehat hukumnya tidak dibenarkan mengajukan pertanyaan (baru) yang tidak diajukan sebelumnya dalam pemeriksaan silang, kecuali dengan persetujuan arbiter (majelis). 

Seorang arbiter memiliki wewenang, kecuali perjanjian arbitrase secara eksplisit menyatakan lain, untuk memeriksa dibawah sumpah atau kepastian para pihak dan saksi yang terkait. Undang-undang Arbitrase No. 30 Tahun 1999 tidak mewajibkan menerima semua bukti dan saksi dibawah sumpah. Keadaan ini merupakan hak arbiter, kecuali perjanjian menetapkan bahwa arbiter harus melakukan dimana pemeriksaan harus dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan tersebut. Jika ada keberatan terhadap kesaksian yang diterima selain berdasarkan sumpah dan bila dinyatakan secara eksplisit didalam perjanjian maka dengan sendirinya tindakan tersebut mengabaikan hak mengajukan keberatan. 

Bila para saksi wajib diperiksa dibawah sumpah menurut pernyataan eksplisit di dalam perjanjian, ini berarti pemeriksaan lisan dan penerimaan bukti melalui ("affidavit") kesaksian tertulis menjadi tidak sah, tetapi arbitrase dapat saja memerintahkan bahwa bukti dalam sebuah arbitrase bolch diberikan melalui "affidavit", prosedurnya adalah dengan mengambil sumpah para saksi sebelum mereka memberi kesaksian. 

Saksi dipanggil melalui surat panggilan secara langsung oleh majelis atau berdasarkan bantuan para pihak yang mengajukan tuntutan. Kadang kala dipertanyakan apakah majelis Arbitrase berhak memerintahkan kehadiran seorang saksi dihadapannya. Seorang saksi dapai didengar keterangannya di bawah sumpah dihadapan majelis arbitrase dengan membawa dokumen yang dapat dihadirkan di arbitrase. Ketidakpatuhan yang disengaja terhadap sebuah panggilan yang sah oleh seseorang di dalam yurisdiksi yang bersangkutan dapat dianggap sebagai ketidakpatuhan terhadap proses dan hukum arbitrase. Biaya panggilan dan kehadiran para saksi dibebankan kepada para pihak (Mahkamalt Agung R 1. (1). 1989). 

Seseorang yang berdasarkan hukum disumpah sebagai saksi dalam sebuah arbitrase dan membuat pernyataan yang bersifat material yang ia ketahui palsu atau yang kebenarannya tidak arbiter yakini, berarti telah melakukan sumpah palsu. Jika seseorang membuat sumpah atau bukti palsu dengan maksud menipu dan menyesatkan scorang arbiter atau majclis arbiter dalam sebuah persidangan, bahkan meskipun ia tidak menghadirkan bukti tersebut, yang bersangkutan dapat dinyatakan bersalah berdasarkan hukum pidana. Hal lain lagi jika pernyataan tetsebut dibuat akibat kecerobohan atau kekeliruan yang tidak disengaja atau tidak dengan maksud tertentu. 

Pada umumnya semua orang dewasa yang sehat, kompeten untuk dipanggil sebagai saksi dengan pengecualian anak-anak dibawah umur, orang yang iidak sehat jiwa (tidak waras), orang yang sedang mabuk atau alasan-alasan khusus lainnya. Mereka dianggap tidak inampu memahami proses atau sifat sebuah sumpah berdasarkan hukum, atau untuk mengatakan kebenaran dan memberikan kesaksian dengan cara yang wajar. Tata cara pemeriksaan para saksi secara lisan dapat terjadi sebagai berikut: 
1. Pemeriksaan utama oleh pihak yang memanggilnya; 
2. Pemeriksaan silang oleh pihak lain yang menentangnya; 
3. Pemeriksaan ulang oleh pihaknya sendiri. 

Dalam semua sengketa para pihak boleh diwakili oleh penasehat hukum atau pengacara. Pihak lawan tidak berhak memeriksa silang seorang saksi yang dipanggil semata-mata untuk menghadirkan sebuah dokumen atau mengidentifikasinya (subpoena duces tecum). Arbitcr berhak sewaktu-waktu mengizinkan dipanggilnya kembali seorang saksi untuk ditanyai ulang lebih lanjut dalam pemeriksaan utama, namun hal ini menimbulkan hak atas pemeriksaan utama, termasuk juga menimbulkan hak atas pemeriksaan silang lanjutan dan pemeriksaan ulang atas hal-hal tertentu untuk mana saksi tersebut dipanggil kembali. Apabila scorang saksi. setelah memberikan kesaksian kemudian kehilangan kemampuan atau meninggal, kesaksiannya terdahulu tetap dapat diakui secara sah. Baik pemeriksaan utama maupun pemeriksaan silang harus dibatasi pada fakta-fakta yang dipersoalkan atau fakta-fakta yang relevan dengan pertanyaan yang diajukan kepada seorang saksi akan membamu pokok sengketa. 

Dalam setiap tahap proses persidangan, arbiter berhak mengajukan berbagai pertanyaan kepada saksi sebagaimana layaknya di pengadilan. Mcskipun demikian, arbiter tidak dibenarkan memanggil sendiri saksi (kecuali saksi ahli) untuk diperiksa tanpa persetujuan dari para pihak. Pengecualian dalam aturan ini ialah bila seorang saksi telah dipanggil oleh salah satu pihak maka arbiter dapat memanggil kembali saksi yang telah meninggalkan ruang sidang. 

Peran saksi ahli sebenamya menawarkan kepada arbitrase bantuan yang terbaiknya agar ia dapat memberikan keterangan profesionalnya yang benar. Untuk menyegarkan ingatannya dengan cara melihat catatan-catatannya. arbiter berhak merujuk kepada laporan-laporannya terdahulu dan pembukuan khusus mengenai sengketa yang dihadirkan dihadapan arbiter. la berhak mengambil sikap demikian demi usaha mendukung pendapatnya dan dibenarkan mengutip kasus-kasus hukum dan keputusan hakim (junsprudensi) dimana ia pernah memberikan kesaksian yang telah diterima. Meskipun demikian, arbiter berhak memutuskan bukti hal yang boleh dihadirkan seorang saksi ahli kehadapannya. 


KEGIATAN BELAJAR 2 

PUTUSAN PERKARA ARBITRASE

A. HAKIKAT PUTUSAN ARBITRASE 

1. Putusan Arbitrase (Menurut Reglement op de Rechtsvordering/Rv) 
Pasal 631 Rv meletakkan suatu asas: putusan arbitrase harus menurut peraturart-peraturan hukum yang berlaku dalam bidang yang disengketakan. Dalam himpunan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia, pasal tersebut diterjemahkan, berbunyi:

"Para wasit menjatuhkan keputusan menurut aturan-aturan perundang-undangan, kecuali jika menurut kompromi, mereka diberi wewenang untuk memutus sebagai manusia-manusia baik berdasar kcadilan". 



Aturan perundang-undangan yang dimaksud ialah peraturan perundang-undangan yang langsung berkaitan dengan bidang hukum yang disengketakan. Jika yang disengketakan mengenai masalah hubungan dagang, peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk bidang itu adalah KUHDagang. 

Arbitrase dapat menjatuhkan putusan berdasar "putusan ex aequo et bono", yang lazim juga discbut berdasar "compositeur" yakni putusan yang dijatuhkan menurut keadilan atau according to the jurisdiction". Dalam peristilahan hukum belanda disebut memutus sengketa berdasar "naar biljkheid". Kebolehan memutus berdasar ex auquo ex bono menurut Pasal 631 Rv, apabila para pihak dalam perjanjian Arbitrase memberi kuasa kepada Arbitrase memutus sengketa berdasar "kebijaksanaan" atau berdasar keadilan. Tanpa adanya penegasan yang demikian dalam perjanjian Arbitrase, Majelis Arbitrase tidak boleh memutus sengketa berdasar prinsip ex aquo et bono (M. Yohya Harahap, 2010). 

2. Putusan Arbitrase (Berdasarkan UU Nomur 30 Tahun 1999) 
Sebagaimana telah diutarakan, arbiter harus menjelaskan kepada para pihak di persidangan bahwa proses arbitrase tengah menuju tahap akhir sehingga masing-masing pihak mempunyai kesempatan untuk mengajukan kesimpulan-kesimpulannya yang dianggap adil dan layak (Pasal 57 UU No. 30 Tahun 1999, menentukan: "Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup"). 
Biasanya dilakukan ketika arbiter memberitahu para pihak bahwa ia akan "segera menyampaikan putusan,". Jika setelah ditetapkan akan mendengarkan saksi dan temyata arbiter kemudian membuat putusannya tanpa memanggil saksi tersebut, atau jika ia menyatakan bahwa ia tak akan melanjutkan persidangan sampai dokumen tertentu dihadirkan akan tetapi kemudian ia menerbitkan putusannya tanpa menyatakan kepada para pihak bahwa ternyata ia menganggap pemeriksaan saksi atau dokumen tidak diperlukan lagi maka arbiter tidak dibenarkan menerbitkan putusannya. 

Pada saat akhir sebelum memberikan putusan arbiter benar-benar akan membuat putusan, masing-masing pihak masih dapat memohon untuk membuka kembali pemeriksaan, bahkan meskipun telah secara resmi ditutup, arbiter masih mempunyai wewenang untuk menerima bukti yang akan diajukan lebih lanjut (discovery). Arbiter juga mempunyai wewenang untuk mengizinkan adanya perubahan dalam pernyataan klaim, kecuali terdapat ketentuan eksplisit yang melarangnya di dalam perjanjian, tetapi ia tak dapat menengahi perselisihan baru yang timbul kemudian. 

Sesuai dengan Pasal 48 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, Arbiter berhak menetapkan perpanjangan waku pemeriksaan dan menangguhkan penetapan putusan, asalkan disepakati para pihak. Selanjutnya, meskipun para pihak dalam perjanjian menetapkan suatu batas waktu, arbitrase berhak menyarankan penambahan waktu lebih lanjut bilamana hal itu dipandang diperlukan. Waktu yang bisa disepakati untuk perpanjangan setiap kali biasanya satu bulan, perpanjangan waktu mana dianggap wajar dan harus memperoleh kesepakatan para pihak. Selain ada, wewenang arbitrase untuk menyarankan memperpanjang waktu jika waktu yang tersedia telah berakhir maka ia berhak menambahnya dengan persetujuan para pihak. Persetujuan ini harus dalam bentuk tertulis tetapi bila hal itu tidak dinyatakan secara jelas, dan para pihak melanjutkan terus persidangan, maka keadaan tersebut dianggap sudah mendapat persetujuan para pihak secara implisit (diam-diam). 

Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999, para pihak dalam suatu perjanjian berhak untuk memohon pendapat yang mengikat dari lembaga Arbitrase atas hubungan hukum tertentu dari suatu perjanjian, karena tanpa adanya suatu sengketa, lembaga Arbitrase dapat mencrima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian, untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion), mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut. Misalnya: 
a. Mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas, 
b. Penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan munculnya keadaan yang baru. 

Dengan diberikannya pendapat oleh lembaga arbitrase tersebut kedua belah pihak terikat padanya dan salah satu pihak bertindak bertentangan dengan pendapat itu akan dianggap melanggar perjanjian. Terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi. Mengenai putusan arbitrase yang tidak ditandatangani oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan (Suyud Margono, 2010). 

3. Eksekusi Putusan Arbitrase 

a. Eksekusi Arbitrase Nasional 
Pelaksanaan putusan dilakukan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putasan arbitrase diserahkan dan didaflarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri dan oleh Panitera diberikan catatan yang merupakan akta pendaflaran. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera pengadilan Negeri. Hal ini merupakan syarat jika tidak terpenuhi berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 ini putusan Arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Keputusan bersifat final dari arbitrase berarti putusan arbitrase merupakan keputusan final dan karena itu putusannya tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.

Ketua Pengadilan Negeri dalam memberikan perintah pelaksanaan, perlu memeriksa dahulu apakah putusan Arbitrase telah memenuhi kriteria:
1. Babwa para pihak menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase.
2. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak.
3. sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan serta
4. Sengketa yang tidak bertentangan kesusilaan dan ketertiban umum.

Putusan Arbitrase dibubuhi perintah oleh Ketua Pengadilan Negeri dilaksanakan scsuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya mempunyai kekuatan hukum telap. Pelaksanaan putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setclah pemeriksaan ditutup. Pengadilan Negeri juga berperan sebagai tempat pendaftaran putusan arbitrase dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase  nasional, Tidak dipenuhinya ketentuan ini, berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan, adakalanya pihak yang harus melaksanakan putusan arbitrase tidak bersedia melaksanakannya.





Dalam hal ini menurut Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintahkan agar pihak yang bersangkutan melaksanakan putusan arbitrasc dimaksud. Perintah tersebut berdasarkan permohonan eksekusi yang didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri (Erman Radjaguguk, 2010).

b. Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional 
Khusus dalam arbitrase internasional, diperlukanya untuk menciptakan tata cara penyelesaian sengketa komersial secara damai (arbitrase) merupakan akibat dari hal-hal dibawah ini, misalnya :
1. Para pihak (asing) ragu untuk mcngajukan sengketanya di peradilan nasional pihak lawan sengketa:
2. Apalagi kalau lawan sengketanya itu merupakan lembaga atau perorangan warganegara tersebut. Kekhawatiran selalu saja ada bahwa peradilan negara yang bersangkutan tidak atau setidak-tidaknya akan terpengaruh oleh pengusahanya dan bersikap tidak independen;
3. Pihak asing itu kurang memahami tata cara/ prosedur pengadilan negara tersebut dan merasa berada dalam posisi yang kurang menguntungkan.
4. Peradilan negara menggunakan bahasa nasional yang tidak dimengerti oleh pihak asing tersebut, sedangkan pada sidang arbitrase yang bolch menggunakan bahasa asing yang dikuasai atau bahasa yang diterima dan dipilih oleh pihak-pihak yang bersengkeia.
5. Eksekusi putusan Arbitrase internasional pada umunmya kini sedikit banyak mulai terrealisasi dengan telah berlakunya ''United Nations Convention on the Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958" (Konvensi New York 1958) dan yang telah diratifikasi oleh hampir semua negara termasuk negara industri dan negara-negara berkembang.

1 Eksekusi Putusan Internasional (Menurut Reglement op de Rechtvordering)
Seperti sudah diuraikan berdasarkan Kepress No. 34 Tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi New york 1958 yakni: "Convention on the Recognitionand Enforcement of Foreign Arbitral Award". 
Hal ini berarti, secara yuridis peradilan Indonesia mengakui kepulusan arbitrase asing (yang diputus di luar negeri) serta bersedia menjalankan eksekusinya di wilayah hukum Republik Indonesia. Untuk mengatasi hambatan serta untuk merealisasi Keppres No. 34 Tahun 1981, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Perma No. 1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990. 
Perma ini mengatur tentang ketentuan-ketentuan tata cara eksekusi putusan arbitrasi asing. Karena selama ini, sejak berlakunya Kepres yang mensahkan Konvensi New York 1958, terdapat "kekosongan" prosedur acara yang menyangkut tata cara eksekusi putusan arbitrase asing. Sudah banyak kasus pengajuan permintaan eksekusi putusan ubitrase asing. Namun permintaan tersebut selalu kandas atas alasan putusan arbitrase asing tidak dapat dieksekusi oleh pengadilan Indonesia karena belum ada peraturan hukum acaranya (Agnes Toar, 1995).

Sikap yang menyatakan cksekusi putusan arbitrase asing tidak dapat ditcrima, telah mcndatangkan kritik dari bcrbagai kalangan, terutama dari masyarakat dunia luar. Barangkali hal inilah yang memotivasi Mahkamah Agung untuk segera mengatasi kescnjangan tersebut untuk melahirkan Perma No. 1 tahun 1990. Maka dengan lahimya perma dimaksud, sudah terisi kekosongan hukum. Dengan demikian, dapat diharapkan kepercayaan dunia luar terhadap Indonesia semakin berkembang. Sehingga hubungan interpedensi dalam dunia dagang dan penanaman modal asing diharapkan semakin tumbuh ke arah yang saling hormat menghormati serta saling menguntungkan (Sudargo Gautama, 1992).

Ada beberapa asas yang dijadikan landasan (fundamentum) dalam menjalankan eksekusi putusan arbitrase asing. Pada dasarnya asas-asas dimaksud, sejajar dengan asas yang tercantum dalam Konvensi New York 1958. (Sudargo Gautama, 1992), antara lain:

a) Asas nasionalitas.
Menurut asas ini, untuk menentukan dan menilai apakah suatu putusan Arbitrase dapat dikualifikasikan scbagai putusan arbitrase asing. harus diuji menurut ketentuan hukum RI. Cuma sangat disayangkan penjelasan lebih lanjut tentang asas nasionalitas tersebut tidak diperoleh dalam PERMA.

b) Asas resiprositas.
Asas rcsiprositas, tidak semua putusan arbitrasi asing dapat diakui (recognize) dan dicksckusi (enforcement). Putusan arbitrasc asing yang diakui dan yang dapat dicksekusi hanya terbatas pada putusan yang diambil di negara asing:
- Yang mempunyai ikatan dengan negara R.1., yakni ikatan " bilateral".
- Yang terikat bersama dengan negara R.I. dalam suatu konvensi Intemasional (peserta ratifikasi suatu konvensi internasional).

Jadi, untuk mengeksekusi putusan arbitrasi asing pertama-tama harus ditcliti lebih dulu apakah Indonesia mempunyai ikatan hubungan kerjasama (ikatan bilateral) dengan negara di mana putusan diambil, Atau harus dipertanyakan apakah negara RI tcrikat bersama-sama dengan negara tersebut .
dalam suatu konvensi internasional (Mahkamah Agung Rl (2), 1989). Indonesia berdasar Undang-Undang No. 5 Tahun 1958 tclah "menyetujui" Konvensi Penyelesaian Perselisihan Penanaman Modal Antara Negara dan Warga Negara Asing (Convention on the Settlement of Invesment Disputes between States and Nationals of other Stares). Begitu juga berdasarkan Kepres No. 34 Tahun 1981. Indonesia telah mensahkan konvensi New York 1958 (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards) pada tanggal 5 Agustus 1981. 
Sehingga Indonesia secara timbal balik terikat kepada negara-negara yang telah menyetujui dan meratifikasinya. Misalnya konvensi New York 1958, sampai bulan Maret 1983 negara-negara yang telah meratifikasi tercatat sebanyak 64 negara. Maka berdasar atas resiprositas, Indonesia terikat untuk mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrasi yang diambil dalam salah satu negara tersebut.

c) Asas Pembatasan Lingkup Hukum Dagang.
Asas ini membatasi pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan Arbitrase asing hanya sepanjang ruang lingkup hukum dagang. Dan mengenai apa saja yang termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang harus menurut ketentuan hukum Indonesia. Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase Internasional, pasal 65 menyatakan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pasal 66d menyebutkm lebih lanjut bahwa Putusan Arbitnise Intemasional dapat dilaksanakan di Indonesia smelah memperoleh eksekumur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakana Pusat. Pasal 66e menyatakan bahwa Putusan Arbitrase Internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa. hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Putusan arbitrase dapat diakui scrta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, dengan syarat sebagai berikut :
(1) Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis Arbiter di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional;
(2) Putusan Arbitrase Internasional, terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang;
(3) Putusan arbitrase Internasional tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
(4) Apabila putusan Arbitrase Internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negcri Jakarta Pusat, dan terhadap putasan mahkamah agung ini tidak dapat diajukan upaya perlawanan.

Jika dalam putusan arbitrase Internasional, terhadap pihak yang mengakui dan melaksanakan putusan Arbitrase Internasional, atas putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dapat diajukan upaya banding atau kasasi. Sebaliknya, jika terhadap pihak yang menolak untuk mengakui dan melaksanakan suatu putusan Arbitrase Internasional dapat diajukan upaya kasasi (Erman Radjaguguk, 2010).

Sita eksekusi dan pelaksanaan terhadap putusan Arbitrase Internasional mengikuti tatacara dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon eksekusi, dengan mengikuti tata cara dalam Hukum Acara Perdata. Pelaksanaan eksekusi olch Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dilimpahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang mclaksanakannya.
Mengenai pclaksanaan putusan Arbitrase Internasional, Ketentuan dalam Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999, menentukan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negcri Jakarta Pusat. Pasal 66d UU No. 30 Tahun 1999, menyebutkan lebih lanjut bahwa Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pasal 66e UU No. 30 Tahun 1999, menyatakan bahwa Putusan Arbitrase Internasional yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperolch eksekuatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakana Pusat.


3. Pembatalan Putusan Arbitrase 

a. Pembatalan Putusan Arbitrase (Menurut Reglement op de Rechtvordering/Rv) 
Permintaan pcmbatalan putusan arbitrase versi Rv diatur dalam pasal 643 dan seterusnya. Ada beberapa hal yang perlu dibicarakan schubungan dengan pembatalan, aniara lain syarat formil, alasan dan yang berwenang melakukan pembatalan. Syarat formil permohonan pembatalan, antara lain:
1) Putusan tidak dapat diminta banding, dengan kata lain upaya banding mematikan upaya pembatalan.

Kalau dapat dibanding, satu-satunya upaya yang dibolehkan mclawan putusan hanya upaya "banding. Ini berarti, setiap putusan yang dapat dibanding, tidak dapat dilawan dengan upaya pembatalan.
2) Tenggang waktu permohonan pembatalan yang diajukan dalam jangka waktu 6 bulan, terhitung scjak putusan diberitahukan kcpada para pihak.
3) Dalam pasal 645 Rv, tuntutan atau perlawanan baru terbuka setclah ada perintah eksekusi dari Ketua Pengadilan Negcri.

Kewenangan memeriksa pembatalan, Pasal 646 Rv mengatur tentang Kompetensi absolut dan relatif penyclesaian pembatalan putusan Arbitrase; "Kompetensi absolutnya, jatuh pada yuridikasi pengadilan, sedangkan kompetensi relatifnya, menjadi kewenangan pengadilan negeri yang mengeluarkan perintah eksekusi".

Alasan pembatalan diatur dalam pasal 643 Rv. yang diatur secara atau bersifat limitatif sebagai dasar hukum untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan Arbitrase. Alasan yang dapat dijadikan dasar acuan, adalah:
1 ) Apabila putusan melampaui batas-batas persetujuan.
2) Apabila putusan berdasar, pada:
- Persetujuan yang batal, atau
- Telah lewat waktunya.
3) Putusan telah diambil oleh anggola Arbiter yang tidak berwenang, atau olch anggota Arbiter yang tidak dihadiri oleh anggota Arbiter yang lain.
Misalnya putusan diambil oleh Arbiter minoritas.
4) Putusan yang diambil telah mengabulkan atau memutus hal-hal yang tidak dituntut, atau telah mengabulkan lebih dari apa yang dituntut (ultra petitum partium).
5) Putusan mengadung hal yang saling bertentangan antara pertimbangan yang satu dengan yang lain, atau terdapat saling pertentangan antara pertimbangan dengan diktum putusan.
6) Mahkamah atau majelis lalai untuk memutus tentang suatu atau beberapa bagian dari persetujuan, padahal itu telah diajukan untuk diputus.
7) Mahkamah / majelis melanggar tata cara beracara (formalitas) menurut hukum yang pelanggarannya diancam dengan batalnya putusan.
Pelanggaran ini, termasuk pelanggaran atas tata cara yang disepakati para pihak dalam persetujuan maupun tata cara yang dalam hukum acara.
8) Putusan yang dijatuhkan didasarkan atas:
- Surat-surat palsu. dan
- Kepalsuan itu diakui atau dinyatakan palsu sesudah putusan dijatuhkan.
9) Apabila setelah putusan dijatuhkan:
Ditemukan surat-surat yang penting dan menentukan yang selama proses pemeriksaan disembunyikan oleh para pihak.
10) Putusan didasarkan pada kekurangan, alau itikad buruk, dan hal baru diketahui setelah putusan dijatuhkan (novum).

Terhadap putusan pembatalan menurut pasal 646 ayat (2) Rv, memberikan hak untuk mengajukan upaya hukum yang sama sebagaimana upaya yang disediakan terhadap putusan pengadilan biasa, berupa:
1) Upaya banding:
2) Upaya kasasi.

Suatu hal yang perlu mendapat perhatian lainnya, dengan adanya permohonan pembatalan putusan Arbirase, ialah mengenai eksekusi. Apakah permohonan pembatalan dapat menunda pelaksanaan eksekusi? Mengenai masalah, tidak diatur dalam undang-undang secara tegas, akan tetapi kalau memperhatikan makna yang tersisa dalam Pasal 645 Rv, permohonan pembatalan mengenai kapasitas untuk menunda pelaksanaan eksekusi. (M. Yahya Harahap, 1991)

b. Pembatalan Putusan Arbitrase (Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999) 
Para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan Arbitrase diduga mengandung unsur-unsur (Suyud Margono, 2010). antara lain:
1) Surat atau dokumen yang dajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
2) Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
3) Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Pasal 72 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999, membuka kemungkinan bahwa terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan ke Mahkamah Agung yang mentutus dalam tingkat pertama dan terakhir. Mahkamah Agung mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut diterima oleh Mahkamah Agung (Pasal 75 ayat (5)). Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan Arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Terbadap putusan pengadilan negeri, para pihak dapat mengajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.

Dapat disimpulkan, apabila Para Pihak sudah sepakat memilih Arbitrase sehagai tempat penyelesaian sengkeia, maka pengadilan seharusnya menolak untuk memeriksa sengketa tersebut apalagi sengketa tersebut sudah diputus oleh lembaga Arbitrase yang telah dipilih dan dipercaya para Pihak untuk menyelesaikan sengketanya. Tujuan Arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan akan menjadi sia-sia apabila pengadilan masih bersedia memeriksa sengketa, yang sejak mula disepakati untuk diselcsaikan melalui arbitrase.

Sebagai lembaga judicial yang memiliki wewenang memaksa melalui penetapan hukumnya, untuk itu tidak dapat dipungkiri bahwa Pengadilan memiliki peranan besar dalam mengembangkan arbitrase, manakala pelaksanaan arbitrase perlu mendapat intervensi atau campur tangan lembaga pengadilan. Peranan pengadilan ini menentukan pelaksanaan putusan lembaga arbitrase, hal ini mungkin terjadi penolakan salah satu piltak untuk melaksanakan putusan arbitrase.