TINDAK PIDANA KORUPSI

DAFTAR ISI

MODUL 1  : ISTILAH, PENGERTIAN, DAN RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA KORUPSI
MODUL 2  : SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
MODUL 3  : AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
MODUL 4  : SISTEM PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI
MODUL 5  : KETENTUAN KHUSUS DAN SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
MODUL 6  : LEMBAGA PENEGAK HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI
MODUL 7  : PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
MODUL 8  : PERAN SERTA MASYARAKAT DAN UPAYA NON PENAL DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI
MODUL 9  : DIMENSI UNITED NATIONS CONVENTION AGAINTS CORRUPTION (UNCAC) DAN KAITANNYA DENGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG




MODUL 1  
ISTILAH, PENGERTIAN, DAN RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA KORUPSI
KB 1 : ISTILAH DAN PENGERTIAN SERTA RUANG LINGKUP KORUPSI DAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. ISTILAH TINDAK PIDANA KORUPSI
Korupsi bersifat universal dan lintas negara (national border). Kecanggihan teknologi dan perkembangan ekonomi global memungkinkan tindak pidana korupsi terjadi dan menimbulkan dampak negatif diberbagai negara. 

Didalam Preamble United Nations Convention Against Corruption yang telah diterima oleh Majelis Umum PBB 31 oktober 2003, bahwa :
- Ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat (threat to the stability and security of societies)
- Merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi (undermining the instutions and values of democracy)
- Merusak nilai-nilai moral dan keadilan (undermining ethical values and justice)
- Membahayak "pembangunan yang berkelanjutan" dan "rule of law" (jeopardizing sustainable development and the rule  of law)
- Mengancam stabilitas politik (threaten the political stability)

Internasional korupsi adalah fenomena global bersifat extra ordinary crime, diperlukan pendekatan luar biasa pula (extra ordinary measure); tidak hanya bersifat instrumen saja tetapi juga pendekatan paradikmatik.
Pendekatan dengan hukum sebagai instrumen utamanya; mengutamakan pendekatan represif dengan melakukan penindakkan terhadap pelaku tindak pidana dengan tujuan utamanya adalah penjeraan dan perlindungan masyarakat.
Logika penindakan dengan hukum pidana merupakan logika berpikir yang sederhana, pidana akan menghapus tindak pidana; Realitas sosial justru menghadirkan hal sebaliknya, tidak jarang pelaku tindak pidana (koruptor) justru berlindung atau "diayomi" oleh hukum.
Korupsi tidak sekedar tindak pidana, adalah perbuatan kompleksitas pelanggaran nilai, moralitas, keserakahan, kerakusan, pengingkaran kepercayaan dan sederet keburukan lain sebagai refleksi penyakit hati.
Pelaku bisa seorang Pejabat, berkuasa, kaya, terhormat karena jabatannya, tetapi tidak puas dengan apa yang dia punya; sudut pandang kriminologi dikategorikan kejahatan kerah putih (white collar crime)

Dalam pertimbangan huruf a, UU 20/2001 tentang Perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extra ordinary measure).
Statemen tegas yang mengakui Korupsi sebagai tindak pidana luar biasa (oxtra ordinary crime) terdapat dalam UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (dalam Penjelasan Umum Paragraf kedua)

Indonesia menghadapi kondisi tidak normal, darurat korupsi sehingga diperlukan pendekatan tidak normal; Siasat Hukum atau Jurisprudence ternyata terbukti tidak memadai, karena dipakai pada kondisi normal; Pendekatan normal dalam perspektif legalistic psitivistik memadai untuk kondisi normal tidak untuk abnormal (Satjipto Raharjo)
Hukum harus responsive dengan realitas masyarakat diatur; Nonet dan Selnick menyarankan agar pendekatan jurisprudence harus dilengkapi Social Sciences, sehingga ada sintesa antara jurisprudence dengan ilmu-ilmu sosial.
Dengan sintesa tersebut diharapkan hukum lebih hidup, berjiwa, berdarah dan punya ruh, sehingga berpihak pada manusia, bukan hukum berpihak demi hukum itu sendiri.

Kata Korupsi berasal dari corruptio atau corruptus (Latin); corrumpere (Latin lebih tua); corruption atau corrupt (Inggris); corruption (Perancis); corruptie atau korruptie (Belanda).
Sudarto; istilah corruptio mempunyai arti kerusakan; Bahasa Sangsekerta Naskah Kuno Negara Kertagama istilah corrupt arti harpiahnya adalah rusak.
Perkataan Korupsi menjukkan pada perbuatan yang rusak, busuk, bejat, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan ketidakjujuran seseorang berkaitan dengan keuangan.
Secara harfiah; Kata Korupsi adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian.

Resuah (Malaysia) asal dari Risywah (Arab) artinya sama dengan Korupsi. 
Risywah (Suap) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan.
Subekti dan Tjitrosoedibio; corruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan keuangan negara.

Istilah Korupsi sebagai Istilah Hukum (terminologi yuridis); pertama kali diperkenalkan dalam Peraturan Penguasa Militer No.PRT/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi : " bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha -usaha memberantas perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi. Tujuan diadakannya peraturan penguasa perang ini agar perbuatan korupsi yang saat itu merajalela dapat diberantas dalam waktu yang sesingkat-singkatnya "

B. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA KORUPSI
1. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Thomas Hobbes; Kejahatan merupakan suatu dosa yang terdiri dari kelakuan baik berupa perbuatan atau ucapan yang dilarang oleh hukum atau tidak melakukan suatu yang diperintahkan. Berkaitan dengan perbuatan korupsi bisa dilakukan dengan melanggar perbuatan yang dilarang ataupun tidak berbuat sesuatu (omission) dari hal yang diperintahkan oleh hukum.
Henry Campbell Black; Korupsi merujuk kepada perbuatan yang berkaitan penyalahgunaan jabatan, untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya atau orang lain dimana perbuatan yang dilakukan bertentangan atau tidak sesuai dengan kewajibannya.
Vito Tanzi; dalam working paper di forum International Monetary Found;  korupsi adalah sebagai "perilaku tidak mematuhi prinsip"; dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau pejabat publik; konflik kepentingan dan nepotisme.
Syed Hussein Alatas; Korupsi sebagai penyalahgunaan amanah untuk kepentingan pribadi (corruption is the abuse of trust in the interest of private gain); 

Secara Yuridis pengertian Korupsi baik arti maupun jenisnya telah dirumuskan didalam UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo UU 20/2001 tentang perubahan atas UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU sebelumnya yaitu UU 3/1971.
UU 31/1999 dan UU 20/2001; keduanya secara bersama-sama selanjutnya disebut UU-PTK.
Pengertian Yuridis; Pengertian Korupsi tidak hanya terbatas pada perbuatan yang memenuhi rumusan delik dapat merugikan keuangan negara, tetapi meliputi juga perbuatan lain yang memenuhi rumusan delik merugikan masyarakat atau orang perseorangan 

2. Ruang Lingkup Tindak Pidana Korupsi
Dari sudut hukum (normative), korupsi mewujud dalam seperangkat aturan normative yang mengatur tentang perbuatan apa saja dipandang sebagai tindak pidana korupsi, persoalan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi dan masalah pidana dan 

UU-PTK mengatur dua kelompok tindak pidana :
Kelompok Pertama; Kelompok Tindak Pidana Korupsi; diatur dalam Bab II tentang Tipikor berjumlah 13 (tiga belas) pasal yang terjabarkan dalam 30 (tiga puluh bentuk) Tipikor, terdapat diantara pasal 2 sampai dengan pasal 20 UU Tipikor; Ke 30 bentuk Tipikor terbagi atas 7 kelompok Tindak Pidana :
1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; (Psl 2 dan 3).
2. Kelompok delik penyuapan baik aktip (penyuap) maupun pasif (disuap); (Psl 5 ayat 1 huruf a dan b, ayat 2); Pasal 6 ayat 1 huruf a dan b, ayat 2; Pasal 11; Pasal 12 huruf a,b,c; Pasal 13
3. Kelompok delik penggelapan dalam jabatan; Pasal 8, 9, 10 huruf b dan c.
4. Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevelarij, extortion); Pasal 12 huruf e, f, dan g
5. Kelompok delik yang berakitan dengan perbuatan curang; Pasal 7 ayat (1) huruf a,b,c,dan d, ayat (2), Pasal 12 huruf h
6. Kelompok delik berkaitan benturan kepentingan dalam pengadaan; Pasal 12 huruf i
7. Kelompok delik terkait gratifikasi; Pasal 12 B jo Pasal 12 C
Kelompok Kedua; Kelompok Tindak Pidana yang berhubungan dengan Tindak Pidana Korupsi.
Ditinjau dari sudut substansi UU 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU 20/2001 juga mengatur ketentuan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil.

Berbeda dengan KUHP, UU Tipikor tidak hanya menjadikan manusia sebagai Subjek hukum, tetapi juga Korporasi. Ketentuan tersebut secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UU Tipikor yang memaknai "setiap orang" adalah orang perseorangan atau termasuk Korporasi. 
Penuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. Apabila tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

Alatas;  dalam buku "Strategi pencegahan dan Penegakkan hukum Tipikor"; 7 Tipologi Korupsi :
1. Korupsi Transaktif; yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan diantara seorang donor dan resipien untuk keuntungan kedua belah pihak                                                       
2. Korupsi Ekstortif; yang melibatkan penekanan dan pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi
3. Korupsi Investif; yang berawal dari tawaran yang merupakan investasi untuk mengantisipasi adanya keuntungan di masa datang
4. Korupsi Nepotisik; yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun pemberian proyek-proyek bagi keluarga dekat.
5. Korupsi Otogenik; yang terjadi ketika seorang pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan sebagai orang dalam (insiders information) tentang berbagai kebijakan publik yang seharusnya dirahasiakan
6. Korupsi Supportif; yaitu perlindungan atau penguatan korupsi yang menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan
7. Korupsi defensif; yang dilakukan dalam rangka mempertahankan diri dari pemerasan


KB 2 : SEBAB DAN DAMPAK KORUPSI
A. SEBAB-SEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA KORUPSI
John Emerich Edward Dalberg Acton; Lord Acton; Kekuasaan merupakan sumber Korupsi; Power tend to corrupt, absolute power corrupts absolutely; Faktor lemahnya perumusan dan sanksi hukum serta faktor budaya, terutama budaya feodal merupakan faktor-faktor timbuh suburnya korupsi.
Syed Hussein Alatas; "Sosiologi Korupsi; Sebuah penjelajahan dengan data kontemporer; Beberapa sumber munculnya korupsi :
1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
2. Kelemahan pengajaran-pengajaran agama dan etika
3. Kolonialisme, karena suatu pemerintahan asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi
4. Kurangnya pendidikan
5. Kemiskinan
6. Tiadanya tindakan hukum yang keras
7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti korupsi
8. Struktur pemerintahan 
9. Perubahan radikal, yang menjadikan korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional
10. Keadaan masyarakat yang kondusif untuk tumbuhnya korupsi.

Robert Klitgaard; formulasi proses terjadinya korupsi : M + D - A = C
M = Monopoly, D = Discretionary (Kewenangan), A = Accountability (Pertanggungjawaban)
Penjelasan atas simbol : Korupsi adalah hasil dari adanya monopoli (Kekuasaan) ditambah dengan Kewenangan yang begitu besar tanpa keterbukaan dan pertanggungjawaban.

Syed Hussein Alatas; "Sosiologi Korupsi" : Ciri-ciri Tipikor :
a. Senantiasa melibatkan lebih dari satu orang
b. Dilakukan secara rahasia
c. Melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik
d. Biasanya tetap berlindung dibawah payung hukum
e. Mengandung Penipuan
f. Menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu
g. Sebagai bentuk pengkhianatan

B. DAMPAK NEGATIF TINDAK PIDANA KORUPSI
Korupsi memiliki efek penghancuran yang hebat (an enermous destruction effects), bersifat multideminsional terhadap berbagai sisi kehidupan bangsa dan negara, khususnya dalam upaya negara mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Bahaya / Akibat Korupsi yang sangat luas dan multidimensi, sering dinyatakan dalam berbagai statement global :
1. Resolusi "Corruption in government" Kongres PBB ke 8/1990 mengenai "The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders" di Havana (Cuba); Korupsi dikalangan pejabat publik ("corrupt activities of public official") dapat berupa sebagai berikut :
  • Menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah ("can destroy the potential effectiveness of all types of governmental programmes")
  • Mengganggu / Menghambat pembangunan ('hinder development")
  • Menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat ("victimize individuals and groups"
2. Kongres PBB Ke-9 / 1995 di Kairo antara lain juga ditegaskan bahwa Korupsi merupakan maslah serius karena :
  • Membahayakan stabilitas dan keamnan masyarakat (endangers the stability and security of societies); merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas (undermined the values of democracy and morality)
  • Membahayakan pembangunan sosial, ekonomi, dan politik (jeopardizes social, economic and political development)
3. UN Convention Against Corruption yang telah diterima oleh Majelis Umum PBB 31 Oktober 2003, antara lain dinyatakan bahwa korupsi merupakan :
  • Ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat (threat to the stability and security of societies)
  • Merusak nilai-nilai dan lembaga-lembaga demokrasi (Undermining the instutions and values of democracy)
  • Merusak nilai-nilai moral dan keadilan (Underminingethical values and justice)
  • Membahayakan "pembangunan yang berkelanjutan" dan "rule of law" (jeopardizing sustainable development and the rule of law)
  • Mengancam stabilitas politik (threaten the politicalstability)



MODUL 2  
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
KB 1 : SEJARAH PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Stanley Karnow; Merebaknya korupsi di Philipina tidak dapat dilepaskan dengan adanya budaya compradazgo; Dalam sistem ini adanya hubungan interpersonal antar anggota masyarakat berbentuk suatu jaringan kerja ritual kerabat-kerabat dan kerabat angkat yang menuntut adanya kesetiaan lebih tinggi diantara masyarakat philipina, melebihi kesetiaannya terhadap lembaga resmi manapun; dilatarbelakngi adanya budaya "utang na loob" yaitu budaya hutang budi.

Budaya Lokal di Indonesia bisa berpotensi sebgai pemicu (factor criminogen) timbulny korupsi. Lazim berlaku untuk memperhatikan kondisi ekonomi keluarga dan komunitas dengan cara menyantuni sanak keluarga yang lebih miskin. Budaya ini menurut Syafri Sairin berjalan bersama azas reciprocity yaitu kewajiban untuk mengembalikan pembelian yang diterimanya dimasa lampau dari keluarga dan komunitasnya karena berlaku prinsip social exchange (pertukaran sosial).
Banfeld : Korupsi adalah ekspresi dari sikap partikularisme  yaitu perasaan wajib membantu keluarga dekat, yang lebih jauh sikap ini menimbulkan nepotisme.

Sutandyo : bahwa dalam khazanah bahasa-bahasa lokal di Indonesia tidak dikenal istilah yang mengarah kepada pengertian Korupsi. Pemberian rakyat kepada penguasa (upeti) tidak dianggap sebagai sogok (korupsi) yang dilarang dalam dunia modern. sebaliknya pemberian dari penguasa kepada anggota keluarga dekat dan kepada rakyatnya meskipun diambilkan dari harta negara, tidak dianggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan bahkan dianggap "mengayomi lan ngayemi" (mengayomi dan menentramkan perasaaan) rakyat.

Masyarakat Meksiko; personalisme dan amistad yaitu loyalitas primer kepada keluarga dan sahabat-sahabat bukannya ke arah pemerintah atau badan-badan administrasi, yang siginifikan mendorong tumbuh berkembangnya korupsi; Mempersatukan satu sama lain sebagai pribadi, dengan akibat kode hukum tingkah laku yang telah di formalkan tidak punya arti dalam masyarakat; Kedudukan hukum kalah dan dilemahkan dengan personalisme dan amistad tersebut.

Perspektif interaksi sosial; Perilaku Korupsi mempunyai keterkaitan yang sangat kuat dengan struktur sosialnya; Ada ketergantungan antara pelaku korupsi dengan masyarakatnya yaitu adanya upaya pemenuhan kebutuhan  pelaku korupsi akan tuntutan-tuntutan sosial terhadap rasa solidaritas masyarakat; Seseorang merasa perlu melakukan sesuatu perbuatan meskipun notabene perbuatan tersebut sebagai pelanggaran hukum, hanya semata-mata karena seseorang ingin dihargai dan diakui sebagai anggota masyarakat.
Robert Merton; Teori Meanseds Scema menyatakan bahwa korupsi merupakan perilaku individu untuk memperoleh pengakuan sosial dari lingkungannya.\

Ada tingkat Interdependensi (ketergantungan) yang sangat tinggi dari seseorang anggota komunitas masyarakat terhadap kebutuhan penerimaan, pengakuan dan penghargaan sebagai anggota masyarakat.
Berlaku Hipotesa; Seorang anggota masyarakat tanpa pengakuan dan penghargaan komunitasnya adalah sebagai individu yang tidak mempunyai arti, merasa terasing dan dalam tataran tertentu bisa merupakan hal yang sangat menyakitkan, menderitakan lebih dari sekadar penjatuhan pidana oleh pengadilan.
Keadaan semacam ini semakin terasa manakala pelakunya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan, posisi, jabatan, atau berkuasa dan memiliki strata sosial yang tinggi; sehingga kejahatannya sering disebut Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime)

Sanksi Sosial berperan secara aktif untuk difungsikan sebagai sarana pengintegrasi perilaku, dalam hal ini sanksi sosial berfungsi ganda, sebagai sarana penindakkan (represif) dan pencegahan (preventif) terhadap perilaku menyimpang berupa korupsi; Teori Reintegrative Shaming relevan sebagai salah satu alternatif diantara sekian cara untuk mengeleminer kalau tidak dapat dikatakan sebagai sarana memberantas atau menghilangkan korupsi.

1. Sejarah Pengaturan dan Lembaga Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
a. Era Pemerintahan Presiden Soekarno
Membentuk "Pasukan Khusus" dikomandani Kolonel Zulkifli Lubis Wakil KSAD dengan mengeluarkan Peraturan Penguasan Militer Nomor PRT/PM/06/1957.
Operasi Budhi (1963); dalam waktu 3 bulan mampu menyelamatkan uang negara Rp 11 Milyar, tetapi karena dianggap mengganggu prestise Presiden operasi tersebut dihentikan.

b. Era Pemerintahan Presiden Soeharto.
Tahun 1967 Keluar Keputusan Presiden No 228 /1967 untuk membentuk Tim Pemberantasan Korupsi .
Selanjutnya dibentuk Komisi Empat berdasarkan berdasarkan Keputusan Presiden No 12/1970; bertugas meneliti dan mengkaji kebijakan dan hasil yang dicapai dalam pemberantasan korupsi.
Selanjutnya untuk pertama kali Indonesia memiliki UU Tipikor No. 3/1071.
Mencanangkan Operasi Tertib (Opstib) berlanjut dengan Instruksi Presiden No 9/1977 tentang pembentuak Tim Operasi Tertib untuk meningkatkan daya dan hasil guna serta meningkatkan kewibawaan aparatur pemerintah dan mengikis habis praktik-praktik penyelewengan dalam segala bentuk.
Penghujung Orba, Pemerintah dan DPR menghasilkan UU No 11/1980 tentang Tindak Pidana Suap; baik pemberi maupun penerima bisa didakwa melakukan kejahatan.
Muncul Peraturan tentang Disiplin Pegawai Negeri yang tertuang dalam PP No 30/1980.

c. Era Pemerintahan Presiden BJ Habibie
Progresif melahirkan lembaga atau komisi baru untuk memberantas korupsi seperti KPKPN, KPPU, dan Lembaga Ombudsman
SU MPR menghasilkan TAP MPR No IX/MPR/1998 salah satu Ketetapan Ombudsman yang secara tegas menuntut lahirnya pemerintah yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Pemerintah dan DPR menghasilkan UU 28/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
Penyempurnaan UU No 3 /1971 dengan keluarnya UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

d. Era Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid
Keputusan Presiden No 127 / 1999 Pemerintah membentuk Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dikuatkan pula Terbitnya Surat Keputusan Presiden tanggal 13 oktober 1999 tentang pemeriksaan kekayaan penyelenggara negara berdasar standar pemeriksaan yang telah ditetapkan.
Dibentuknya Komisi Ombudsman Nasional kemudian menyusul Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, akan tetapi menjadi ironi tersendiri ketika Gus Dur harus lengser dengan dugaan korupsi (Bantuan Sultan Brunei dan Dana Non Bugeter Bulog).

e. Era Pemerintahan Presiden Megawati Soekarno Putri
Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terpaksa dibubarkan karena adanya putusan hak uji materil MA.
Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra menandatangani  Konvensi PBB tentang Pemberantasan Korupsi di New York 18 Desember 2003.
Laporan BPK menemukan dari Anggaran Negara yang telah diperiksa Rp. 36,257 T pada semester I 2002 sebanyak 17,71% bocor dan menguap tidak jelas.

f. Era Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
Nahkoda KPK Antasari Azhar tersangkut Kasus Pembunuhan berencana.
Tenggat waktu yang diberikan MK; DPR dan Presiden harus mengesahkan UU Pengadilan Tipikor paling lambat 19 Desember 2009 sementara masa tugas anggota DPR RI Periode 2004-2009 berakhir bulan september.
Tindakan Prefentif adalah segera lahirnya UU Tipikor karena tanpa itu sejarah pemberantasan korupsi akan mengiringi setiap gerak kehidupan bangsa.

2. Sejarah UU Tindak Pidana Korupsi Sebelum UU PTK
sejarah pengaturan korupsi dalam perundang-undangan di Indonesia sebagai berikut :
a. Dalam KUHP terdapat kelompok Tindak Pidana yang dilakukan oleh pejabat (ambtenaar) misalnya pasal 209,210,387,388,415,416,417,418,419,420,423,425,435

b. Istilah Korupsi masuk dalam istilah Yuridis di Indonesia dimulai tahun  1957 saat Tindak Pidana Korupsi diatur dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957, Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957, Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957, Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor PRT/PEPERPU/031/1958, dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor PRT/z.1/I/7/1958 tanggal 17 April 1958.
Peraturan Militer muncul karena militer menganggap tidak ada kelancaran dalam usaha memberantas perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara sehingga perlu ada tata kerja yang dapat menerobos kemacetan usaha pemberantasan korupsi.
Tujuan diadakannya Peraturan Penguasa Perang ini agar perbuatan korupsi yang saat itu merajalela dapat diberantas dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

c. Menyempurnakan aturan penguasa perang ini muncullah UU No. 24/Prp Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.; UU ini diawali dengan Perpu yang kemudian dengan UU No 1 Tahun 1961 disebut dengan UU No. 24 Prp Tahun 1960. Kelemahan UU ini :
1). Adanya perbuatan yang merugikan keuangan negara dan melanggar keadilan masyarakat namun tidak dapat dipidana karena tidak masuk dalam rumusan tindak pidana.
2). Pelaku hanya ditujukan kepada pegawai negeri, padahal orang non pegawai negeri yang menerima bantuan dapat melakukan perbuatan korupsi.
3). Belum adanya ketentuan yang mempermudah pembuktian dan percepatan proses hukum acara.

d. Untuk Menyempurnakan  UU No. 24/Prp Tahun 1960 Keluarlah UU 3/1971. UU ini memiliki kemajuan antara lain :
1). Perumusan eksplisit mengenai unsur melawan hukum tindak pidana korupsi. Aturan terdahulu dirumuskan dengan unsur "dengan atau karena melakukan kejahatan atau pelanggaran"
2). Bentuk tindak pidana korupsi merupakan delik formil yang dalam aturan sebelumnya sebagai delik materiel
3). Perluasan jenis tindak pidana korupsi berupa suap
4). Bentuk percobaan dan pemufakatan dikualisifikasikan sebagai delik selesai (dipadana seperti pelaku delik selesai).

e. UU 3/1971 diganti dengan UU 31/1999 dan diubah beberapa pasalnya dengan UU 20/2001. Beberapa kemajuan dalam UU ini :
1). Dikenal adanya korupsi aktif dan Korupsi pasif
2). Percobaan, Pemufakatan, dan pembatuan Tindak Pidana korupsi dianggap juga sebagai pelaku korupsi.
3). Adanya ketentuan yang mempermudah pembuktian dengan dipakainya prinsip pembuktian terbalik yang terbatas dan adanya ketentuan yang memprioritaskan penangan tindak pidana korupsi.


KB 2 : KETENTUAN DAN UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA
A. TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM POSITIF  DI INDONESIA
1. JENIS TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
UU 31/1999 Jo UU 20/2001 substansial mengatur 2 kelompok Tindak Pidana; Pertama Kelompok tindak pidana korupsi dan kedua Kelompok tindak pidana yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi.
Kelompok Pertama (Tindak Pidana Korupsi); diatur dalam Bab II Tentang Tindak Pidana Korupsi; berjumlah 13 pasal yang terjabarkan dalam 30 bentuk Tindak Pidana Korupsi; diantara Pasal 2 sampai Pasal 20; Tujuh Kelompok Tindak Pidana, yaitu :
1). Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau Perekonomian negara; Pasal 2 & 3
2). Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun pasif (yang disuap); Pasal 5 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2); Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b, ayat (2); Pasal 11; Pasal 12 huruf a,b,c dan d; Pasal 13.
3). Kelompok delik penggelapan dalam jabatan; Pasal 8; Pasal 9; Pasal 10 huruf a,b,dan c.
4). Kelompok delik pemerasan dalam jabatan (knevellarij, extortion); Pasal 12 huruf e,f, dan g.
5). Kelompok delik yang berkaitan dengan perbuatan curang; Pasal 7 ayat (1) huruf a,b,c, dan d. ayat (2); Pasal 12 huruf h
6). Kelompok delik yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan; Pasal 12 huruf i
7). Kelompok delik terkait Gratifikasi; Pasal 12 B Jo Pasal 12 C.

Ditinjau dari sudut substansi UU 31/1999 Jo UU 20/2001 juga mengatur ketentuan hukum pidana materiel dan hukum pidana formil.

a. TINDAK PIDANA KORUPSI BERKAITAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA
1). Isi Pasal dan Unsur-Unsurnya
Psl 2 ayat (1) UU 31/1999 jo UU 20/2001 berbunyi : "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah).
Unsur-Unsurnya adalah :
a). Melakukan "perbuatan memperkaya" diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Perbuatan memperkaya maksudnya berbuat apa saja asalkan kekayaannya menjadi bertambah, seperti mengambil, memindah bukukan, mendepositokan dimana bunganya diambil oleh sipembuat dan lain-lain.
b). Perbuatan dilakukan "secara melawan hukum";
Melawan hukum diartikan baik secara formil maupun materiil; Melawan hukum dalam arti formil adalah apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan yang tertulis dalam UU; Melawan hukum dalam arti materiil adalah apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
c). Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Kata "dapat" menunjukkan delik formil, dimana kerugian negara dapat dilihat sebgai kerugian potensial (potential loss), bukan kerugian aktual yang merupakan unsur hakiki dari delik yang harus dibuktikan;
Pasal 4 UU 31/1999 Jo UU 20/2001 meskipun hasil korupsi sudah dikembalikan pada negara sifat melawan hukumnya perbuatan tidak hapus, sehingga pelaku tindak pidana korupsi tetap dapat diajukan ke pengadilan dan tetap dapat dipidana.

Psl 2 ayat (2) UU 31/1999 jo UU 20/2001 menentukan : Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Dalam "keadaan tertentu" menurut penjelasan Pasal 1 ayat (2) UU 31/1999 jo UU 20/2001 adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana sehingga pidana mati dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi, apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pennaggulangan tindak pidana korupsi.
Psl 3 UU 31/1999 jo UU 20/2001 menentukan : Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh Juta Rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah).
Unsur-unsurnya adalah :
a). Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan  atau kedudukan.
Maksud penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya itu tidak digunakan  sesuai dengan jalannya ketatalaksanaan yang seharusnya dijalankan. Untuk bisa dikatakan ada penyalahgunaan kewenangan (abuse of power), kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan, Menurut Andenaes mengandung unsur-unsur yang bernuansa : kecurangan (deceit), manipulasi (manipulation), penyesatan (misrepresentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts), pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge), atau pengelakan peraturan (illegal circumvention)
b). Dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Unsur ini merupakan unsur batin yang memberi arah pada perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan.
Artinya, perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan sebagainya itu, ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur ini harus dibuktikan secara objektif dengan melihat keadaan lahir yang menyertai perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan sebagainya itu.
c). Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kata "dapat" menunjukkan delik formil, dimana kerugian negara dapat dilihat sebgai kerugian potensial (potential loss), bukan kerugian aktual yang merupakan unsur hakiki dari delik yang harus dibuktikan;
Pasal 4 UU 31/1999 Jo UU 20/2001 meskipun hasil korupsi sudah dikembalikan pada negara sifat melawan hukumnya perbuatan tidak hapus, sehingga pelaku tindak pidana korupsi tetap dapat diajukan ke pengadilan dan tetap dapat dipidana.


2). Penjelasan Unsur Tindak Pidana
UNSUR MELAWAN HUKUM
Unsur "melawan hukum" (vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) dan unsur "menyalahgunakan wewenang kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabaum atau kedudukan" (vide Pasal 3 vide Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001) scringkali terjadi kekeliruan pemahaman antara kedua unsur tersebut (Supanji, 2007).
Unsur melawan hukum (wederechtelijke) dalam No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 meliputi unsur melawan hukum yang bersifat formil maupun materiil,  sebagaimana tersebut dalam ketentuan.
Sifat mclawan hukum formiil artinya perbuatan pelaku bertentangan dengan ketentuan hukum formal seperti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presidcn, Peraturan Menteri dan lain-lain. Perlu diingat pula bahwa peraturan yang formal yang dilanggar tersebut tidaklah perlu harus memuat sanksi pidana. Misalnya Peraturan Presiden tidaklah memuat sanksi pidana, namun terlanggarnya ketentuan tersebut sudah dapat untuk membuktikan unsur mclawan hukum.
Pengertian Hukum (recht) lebih luas dari pada Undang-Undang, Peraturan Pemerinuth, Peratumn Presiden dan lain-lain scbagai hukum tenulis, karena di dalamnya juga memuat pengcrtian hukum tak tertulis scperti kebiasaan, kepantasan dan kesusilaan di musyarakat. Pelanggaran terhadap kebiasaan, kepantasan dan kcsusilaan merupakan sifat melawan hukum materiil, yang dalam praktik pcradilan di Indonesia dapat berfungsi positif (sebagai alasan untuk menghukum) seperti dalant kasus R. Sonson Natalegawa (Yurisprudensi MA RI No.275K/Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983), dan dapat berfungsi negatif (sebgai alasan untuk mcniadakan hukuman/membebaskan) seperti dalam kasus Machrus Effendi (Yurisprdensi MA RI No.42K/Kr/I 965 tanggal 8 Januari 1966).
Untuk kasus "menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan" adalah terlanggarnya/ disalahgunakannya wewenang yang dimiliki olch pelaku tindak pidana. Formulasi "wewenang" dapat terlihat dari berbagai peraturan formil yang mengatur kewenangan seorang pemangku jabatan tertentu. Peraturan tersebut bisa berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, Peraturan/ Keputusan Gubernur. Peraturan/Keputusan Gubemur Bank Indonesia dan lain-lain yang memberikan kewenangan tertentu kepada seseorang atau kelompok orang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu di dalam jabatan atau kedudukannya.
Pengertian "sifat melawan hukum formiil" scring dirancukan dcngan pengertian "menyalahgunakan wewenang" padahal itu jelas berbeda, sebab sifat melawan hukum formiil bisa dilakukan olch setiap orang sedangkan menyalahgunakan wewenang hanya bisa dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kewenangan dan kapasitas tertentu yang ditetapkan secara tertulis oleh suatu peraturan formiil (tertulis).  Hal tersebut perlu difahami secara benar karena akan berkaitan dengan masalah pengumpulan alat bukti dan pembuktiannya di depan persidangan.
Sclain itu, ada aparat hukum yang berpendapat bahwa kesalahan scorang pegawai negeri yang termasuk dalam lingkup hukum administrasi yang berakibat merugikan keuangan ncgara bukan termasuk pidana korupsi namun mcrupakan kcsalahan administrasi (kesalahan prosedur) yang seharusnya diselesaikan melalui jalur administrasi dengan mencrapkan sanksi administrasi berupa pcmbayaran ganti rugi.
Padahal, unsur mclawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 bukan hanya sifat melawan hukum dalam arti pidana, namun juga mencakup melawan hukum administrasi. Dengan demikian, kcsalahan atau pclanggaran terhadap hukum administrasi dapat diadopsi ke dalam sifat melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, apabila dari kesalahan administrasi tcrsebut tclah menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara

UNSUR MEMPERKAYA DIRI ATAU ORANG LAIN ATAU SUATU KORPORASI 
Unsur "memperkaya diri atau orang lain atau suaiu korporasi" (vide Pasal 2 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001) dan unsur "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi" (vide Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 joUU No. 20 Tahun 2001), mempakan unsur yang bersifat alternatif schingga tidak perlu pelaku tindak pidana korupsi harus menikmati sendiri uang hasil tindak pidana korupsi karena cukup si pelaku memperkaya orang lain atau menguntungkan orang lain.
Unsur "memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi" lebih sulit membuktikannya karena harus dapat dibuktikan tentang bertambahnya kekayaan pclaku korupsi sebelum dan sesudah perbuatan korupsi dilakukan. Namun secara teoritis. unsur "memperkaya diri..." sudah dapat dibuktikan dengan dapat dibuktikannya bahwa pelaku tindak pidana korupsi berpola hidup mcwah dalam kehidupan schari-harinya. Sedangkan unsur "menguntungkan diri atau orang lain atau suntu korporasi", artinya dari adanya fasilitas atau kemudahan sebagai akibat dari perbuatan menyalahgunakan wewenang (Supanji. 2007).

UNSUR MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA. 
Mengenai unsur "merugikan keuangan negara" aparat pcnegak hukum bekerjasama dengan instansi terkait yaitu BPK atau BPKP yang membantu pcnyidik menghitung kerugian ncgara. Dalam perkembangan hasil audit BPK dan BPKP akhir-akhir ini, terlihat secara fakta hasil audit BPK atau BPKP ini sudah mengarah pada audit adanya "mclawan hukum" yang bukan mcrupakan "zona wewenangnya".
Kcwenangan BPK atau BPKP dalam mclakukan audit adalah dalam zona accounting, schingga tidak perlu jauh sampai mencari adanya perbuatan melawan hukum atau tidak, karena itu merupakan kewenangan Penyidik dan Pcnuntut Umum.
Dalam hal unsur "kerugian keuangan negara", konstruksi Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 dihubungkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2004 harus dilihat sccara kcmprehensif, dengan mengkaji sejauh mana hubungan pengembalian kerugian negara dengan perbuatan melawan hukum yang dilakukannya. Pengembalian kerugian negara setelah hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK tidak serta mena BPK tidak perlu melaporkannya kepada instansi yang berwenang. Dengan demikian setiap temuan adanya kerugian negara oleh BPK dari hasil audit yang dilakukannya harus dilaporkan kepada instansi yang berwenang (Kcjaksaan, POLRI) untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara yang dikembalikan tersebut merupakan suatu perbuatan melawan hukum atau tidak. Kalau kita melihat Pasal 64 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 2004 disana dikatakan "Bendahara, Pegawai Negeri bukan bendahara dan pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian negara/daerah dapat dikenakan sanksi administrasi dan atau sanksi pidana".
Dari hal tersebut jelas terlihat bahwa walaupun telah dilakukan pengembalian kerugian negara maka masih dimungkinkan untuk diproses melalui pidana. Dengan demikian secara aspek pidana setiap hasil audit BPK harus dilaporkan kepada instansi berwenang (Kejaksaan dan POLRI) Terlepas apakah kcrugian ncgara sudah dikembalikan atau tidak, karena untuk melihat apakah terjadinya kerugian negara tersebut diakibatkan adanya perbuatan melawan hukum atau tidak merupakan wewenang Penyidik, yang mana secara "dominis litis" cks Pasal 139 KUHAP Jaksa yang menentukan dapat tidaknya perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan (Supanji. 2007).

Kerancuan juga terjadi dalam pembuktian unsur "kerugian keuangan ncgara". Adakalanya dalam praktck peradilan tclah tcrbukti unsur "kerugian keuangan negara", namun, unsur memperkaya diri atau omng lain atau suatu korporasi (Pasal 2 ayat (1)), atau unsur "menguntungkan diri, atau orang lain atau suatu korporasi" tidak terbukti.
Hal tersebut dijadikan alasan untuk membebaskan tersangka tindak pidana korupsi. Kesalahan konstruksi yuridis demikian agaknya menghambat proses penegakan hukum, Scmcstinya dengan terbuktinya unsur kerugian negara, bcrarti telah ada uang atau kekayaan negara yang hilang. Hal tersebut memastikan bahwa tersangka telah memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi, atau tersangka tclah menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi, dengan uang atau kekayaan negara yang telah terbukti hilang tadi.
Dengan demikian, terbuktinya unsur kerugian keuangan negara dalam suatu persidangan, dapat dikatakan bahwa unsur memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi, atau telah menguntungkan diri atau orang lain atau suatu korporasi, juga telah dapat dibuktikan. Apabila tidak demikian, maka terjadi konstruksi yuridis yang tidak logis. Kemana uang atau kekayaan negara yang hilang tersebut?


b. TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN SUAP MENYUAP
Pasal 5 UU No. 31 Tahun 1999 jo IJU No. 20 Tahun 2001.
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 ( lima puluh juta) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya: atau
Unsur-unsurnya adalah : 
— Subjeknya: Setiap orang, artinya orang perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kckayaan yartg tcrorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
—  Pcrbuatan yang dilarang: memberi atau mcnjanjikan sesuatu berarti bahwa perbuatan yang dilakukan setiap orang secara aktif untuk memberikan sesuatu dalam bentuk uang atau barang kepada pcgawai negeri atau pcnyclenggara negara agar mclakukan sesuatu yang berkaitan dengan jabatannya bertentangan dengan kewajibannya.
— Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara.
— Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal ini adalah penyclenggara negara scbagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
— Dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyclenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Unsur-unsurnya adalah : 
— Subjeknya adalah "setiap orang", "setiap orang" diberi makna orang perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang, dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
—  "Memberi atau menjajikan sesuatu" berarti bahwa perbuatan yang dilakukan setiap orang secara aktif untuk memberikan sesuatu dalam bentuk uang atau barang kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara agar melakukan sesuatu yang berkitan dengan jabatannya tersebut.
—  Kepada pegawai negeri atau penyelenggam negara.
Yang dimaksud penyclenggara negara dalam pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggam Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, dan Nepotisme.
— Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban. dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya

(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Unsur-unsurnya adalah : 
— Subjeknya adalah "pegawai negeri atau penyelenggara negara".
Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengsara Negara yang Bersih Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
— Perbuatan yang dilarang: menerima pemberian atau janji" seperti pada ayat (1) huruf a atau huruf b.

• Pasal 6 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. 
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (iga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :

a. memberi atau menjajikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili ; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada sescorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk mengahadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang discrahkan kepada pengadilan untuk diadili.
Unsur-unsurnya adalah : 
— Subjeknya: Setiap orang artinya orang perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
— Perbuatan yang dilarang:
(a). memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang discrahkan kcpadanya untuk diadili. Dalam hal ini bahwa stiap orang tersebut dengan aktif memberikan sesuatu baik berupa barang atau uang kepada hakim untuk mempengaruhi putusan perkara.
(b). memberi atau menjanjikan sesuatu kepada sescorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalant ayat (1) huruf b, dipidana dengan yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Unsur-unsurnya adalah : 
— Subjeknya: adalah "Hakim atau Advokar. "Hakim" adalah seluruh hakim termasuk hakim ad hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan semua tingkatan peradilan. "Advokat" adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
— Perbuatan yang dilarang: menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a arau b.

• Pasal 12 huruf a, b, c dan d UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. 
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus jula rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
Unsurnya adalah :
—  Pegawai negeri atau penyelenggara negara. Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tenung Penyelenggara Negara yang Bersih, Bebas dari Korupsi, dan Nepotisme
—  Menerima hadiah atau janji.
Maksudnya, pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut hanya sebagai penerima hadiah atau janji maka bersifat pasif.
— Diketahui bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkannya agar melakukan alau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
— Patut diduga bahwa hadiah mau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau lidak melakukan scsuatu dalam jabatannya yang benentangan dengan kewajibannya.

b. Pegawai negeri atau penyclenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kcwajibannya
Unsurnya adalah : 
— Pegawai negeri atau penyelenggara negara. Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimalcsud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bcbas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
— Menerima hadiah.
Maksudnya, pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut hanya sebagai penerima hadiah atau janji maka bersifat pasif.
— Diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan scbagai akibat atau karena telah melakukan atau tidak mclakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
— Patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

c. Hakim yang mencrima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji terscbut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang discrahkan kepadanya untuk diadili.
Unsurnya adalah : 
— Hakim adalah seluruh hakim termasuk Hakim ad hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan semua tingkatan peradilan.
— Menerima hadiah atau janji.
Maksudnya, hakim tersebut hanya sebagai penerima hadiah atau janji maka bersifat pasif.
— Dikelahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi putusan perkana yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

d. Seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan pakara yang discrahkan kepada pengadilan tersebut untuk diadili.
Unsurana adalah : 
— Advokat yang menghadiri sidang di pengadilan.
Yang dimaksucl advokat disini adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
— Menerima hadiah atau janji.
Maksudnya advolcat tersebut hanya sebagai pencrima hadiah atau janji maka bersifat pasif.
— Diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili

• Pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedildt Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000.00 (dua ralus lima puluh jula rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang mencrima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenanganya yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 
Unsur-unsurnya adalah :  
— Pegawai negeri atau penyclenggara negara.
Yang dimaksud penyelenggara negara dalam pasal ini adalah penyelenggara negam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas , Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
— Menerima hadiah atau janji.
Maksudnya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut bersifat pasif, hanya menerima hadiah atau janji dalam hal berkaitan dengan jabatannya.
— Diketahuinya. Maksudnya adalah pegawai negeri atau penyclenggara negara tersebut dalam hal mencrima suatu hadiah atau janji tersebut sceara sadar mengetahui niat d. penberian hadiah atau janji tersebut.
— Patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.

• Pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. 
Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh jula rupiah).

Unsurnya adalah : 
— Setiap orang.
Setiap orang artinya : orang perseorangan atau termasuk korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
— Memberi hadiah atau janji.
Maksudnya adalah setiap orang tersebut bersifat aktif untuk memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri. — Kepada pegawai negeri.
Pcgawai negeri disini sebagai penerima hadiah atau janji yang diherikan olch setiap orang. Pegawai negeri disini bersifat pasif.
— Dengan mengingat kekuasaan atau wewenangnya yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau olch pcmberi hadiah atau janji dianggap, melekat pada jabatan atau kedudukannya tersebut.


c. TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN PENGGELAPAN JABATAN
• Pasal 8 UU No, 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan dipidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta) dan paling hanyak Rp. 750.000.000,00 (tujult ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang sclain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus mencrus atau untuk sementara waktu dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
Unsurnya adalah : 
— Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan mcnjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu.
— Dengan sengaja.
Sengaja dalam hal ini adalah secara sadar mempunyai niat untuk melakukan menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan.
— Menggelapkan atau membiarkan orang lain mengambil atau membiarkan orang lain menggelapkan atau menbantu dalam melakukan perbuatan itu.
— Uang atau surat berharga
— Yang disimpan karena jabatannya.


• Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1999 jo IJU No. 20 Tahun 2001. 
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh jula rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (clua ratus lima puluh jum rupiah) pegawai negeri atau orang sclain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus uniuk pemeriksaan administrasi.
Unsurnya adalah : 
— Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus mencrus atau untuk sementara waktu
— Dengan sengaja.
Dalam hal ini subjek yang mclakukan perbuatan dapat mengetahui secara sadar apa akibat perbuatan yang dilakukannya yaitu memalsu.
— Memalsu.
Maksudnya mcmbuat sama persis seperti aslinya.
— Buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

• Pasal 10 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. 
Dipidana dengan pidana penjara paling singka, (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000.00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negcri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum sceara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja :

1) Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau, daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pcjabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya ; atau
Unsur-unsurnya adalah : 
— Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu.
— Dengan sengaja.
Dalam hal ini subjek yang melakukan perbuatan dapat mengetahui secara sadar apa dari perbuatan yang dilakukannya.
— Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai.
— Barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang.
— Yang dikuasainya karena jabatan.

2) Membiarkan orang lain menghilangkan. menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut ; atau
Unsur-unsurnya adalah : 
— Pcgawai negeri atau orang selain pcgawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu.
— Dengan sengaja.
Dalam hal ini subjck yang melakukan perbuatan dapat mengetahui secara sadar apa akibat dari perbuatan yang dilakukannya
— Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai.
— Barang, akta, surat, atau daftar sebagaimana disebut pada pasal 10 huruf a.

3) Membantu orang lain menghilangkan, mengahancurkan, merusakkan. atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Unsurnya adalah : 
— Pegawai ncgeri atau orang selain pegawai negcri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus mencrus atau untuk sementara waktu.
— Dengan sengaja.
Dalam hal ini subjek yang melakukan perbuatan dapat mengetahui secara sadar apa akibat dari perbutuan yang dilakukannya.
— Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, mcrusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai.
— Barang, akta, surat, atau daftar scbagaimana discbut pada pasal 10 huruf a.


d. TINDAK PIDANA KORUPSI YANG MASUK DALAM KELOMPOK PEMERASAN
• Pasal 12 huruf e, f, dan g UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. 
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratas juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (Satu miliar rupiah):

1) pcgawai negeri atau penyclenggara ncgara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa sescorang memberikan sesuatu, membayar, atau mencrima pcmbayaran dengan potongan, atau untuk mcngcrjakan scsuatu bagi dirinya scndiri.
Unsurnya adalah : 
— Pegawai ncgcri atau penyclengara ncgara.
Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara scbagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 temang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
— Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Unsur ini mcrupakan unsur batin yang memberi arah pada perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya. Artinya, perbuatan menyalahgunakan kewenangan dan sebagainya ditujukan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Unsur ini harus dibuktikan secara objektif dengan melihat keadaan lahir yang menyertai perbuatan penyalahgunnaan kewenangan dan sebagainya itu.
  Secara melawan hukum.
Perbuatan dilakukan "secara melawan hukum". Melawan hukum diartikan baik secara formil maupun secara Materiil. Melawan hukum dalam arti formil adalah apabila perbuatan tcrscbut bertentangan dengan undang-undang dan tidak diatur dalam undang-undang. Melawan hukum dalam arti materiil adalah apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak scsuai dengan rasa kcadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
  Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pcmbayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sauatu bagi dirinya.
  Menyalahgunakan kekuasaan.
Menyalahgunakan kckuasaan adalah kesempata atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.
Kewenangan adalah kaempatan atau sarana itu tidak digunakan sesuai dengan jalannya ketata -laksanaan yang scharusnya dijalankan. Untuk adanya unsur penyalahgunaan kewenangan adalah yang bernuansa kecurangan, manipulasi, penyesatan, penyembunyian kenyataan, pclanggaran keperrcayaan, akal-akalan atau pengelakan peraturan.

2). Pegawai negeri atau penyclenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Unsurnya adalah :
— Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyclenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
— Pada waktu menjalankan tugas.
— Meminta, menerima, atau memotong pembayaran.
— Kepada Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum.
— Seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum mempunyai utang kepadanya.
— Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

3) Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, scolah-olah mcrupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.
Unsurnya adalah :
— Pegawai  negeri atau penyelenggara negara.
Penyclenggara negara adalah pcnyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyclenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, dan Nepotisme.
— Pada menjalankan tugas.
— Meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang.
— Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya.
— Diketahuinya bahwa hal tersebut bukan mcrupakan utang.


e. TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN PERBUATAN CURANG
Pasal 7 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000.00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

a. Pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang :
Unsurnya adalah : 
— Pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan
— Melakukan perbuatan curang
— Pada waktu membuat bangunan atau menyerahkan bahan bangunan
— Yang dapat membahayakan keamanan orang atau keamanan barang atau keselamatan negara dalam keadaan perang

b. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaiman dimaksud dalam huruf a :
Unsurnya adalah : 
— Pengawas bangunan atau pengawasan penyerahan bahan bangunan.
— Membiarkan dilakukannya perbuatan curang pada waktu membuat banguan atau menyerahkan bahan bangunan.
— Dilakukan dengan sengaja.
— Sebagaimana dimaksud pada pasal 7 ayat (1) huruf a.

c. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamtan negara dalam keadaan perang; atau
Unsurnya adalah : 
— Setiap orang.
Setiap orang artinya orang perseorangan mau termasuk korporasi. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
— Melakukan perbuatan curang.
— Pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI dan atau Kepolisian Negara Rl.
— Dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadan perang.

d. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
Unsurnya adalah : 
— Orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan atau Kepolisian Negara RI.
— Membiarkan perbuatan curang (sebagaimana diamksud pada pasal 7 ayat (1) huruf c).
— Dilakukan dengan sengaja.

(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Unsur-unsurnya adalah : 
— Orang yang mencrima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penycrahan barang keperluan TNI dan atau kepolisian Negara RI.
— Membiarkan perbuatan curang.
— Sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) huruf a atau c.

• Pasal 12 huruf h UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negam yang pada waktu menjalnkan tugas, telah menggunakan tanah negara yang diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Unsur-unsurnya adalah : 
— Pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyclenggarann Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
— Pada waktu menjalankan tugas menggurtakan tanah negara yang diatasnya ada hak pakai.
— Seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
— Tclah mcrugikan yang berhak.
— Diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

f. TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERBENTURAN ADANYA PENGADAAN BARANG
• Pasal 12 huruf i UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1,000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan. atau persewaan, yang ada pada saat dilakukan pembuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
Unsur-unsurnya adalah : 
— Pegawai negeri atau penyelenggara negara,
Pcnyelenggara negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyclenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
—  Dengan sengaja.
—  Langsung atau tidak langsung turut serta dalam pemborongan, pengadaan atau persewaan.
— Pada saat dilakukan perbuatan untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

g. TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERKAITAN DENGAN GRATIFIKASI
• Pasal 12B jo pasal I2C UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001.
• Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
(1) Setiap gratifikasi kcpada pegawai ncgeri atau pcnyclenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupial) atau Icbih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan olch penerima suap;
b. yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000.00 (sepuluh juta rupial), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap yang dilakukan olch penumut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyclenggam negara sebagaimana dimaksud dalam ayal (1) adalah pidana penjara scumur hidup atau pidana pcnjara paling singkat 4 (empat)  tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling scdikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupial).

• Pasal 12C UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12B ayat (1)tidak berlaku, jika pencrima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(2) Penyampaian laporan scbagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan olch pcnerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberamasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik pencrima atau milik negara
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan scbagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan pcnentuan siatus gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberaniasan Tindak Pidana Korupsi

Unsurnya adalah :
- Pcgawai negeri atau penyelenggara negara.
Penyelenggara negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
- Menerima gratifikasi.
Yang dimaksud dengan gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik Menerima di dalam negcri maupun diluar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
- Yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
- Penerimaan gratifikasi tersebui tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak diterimanya gratifikasi.
Dalam hal ini Komisi Pemberantasan Tindak pidana Korupsi palaing lambat 30 hari kerja sejak tanggal menerima laporan, wajib menetapkan apakah gratifikasi tersebut menjadi milik si penerima atau milik negara.

2. TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Diatur dalam BAB III UU-PTPK 1999, terdapat dalam pasal 21 sd 24; meskipun diatur dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), tetapi ketentuan tersebut tidak mengatur substansi tindak pidana korupsi, akan tetapi mengatur jenis tindak pidana yang ada hubungannya dengan Tindak Pidana Korupsi (bukan merupakan tindak pidana korupsi).

Pasal 21; Selengkapnya Berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)

Perbuatan yang dilarang adalah :
" Dengan sengaja "mencegah", "merintangi", atau "menggagalkan" secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi".
Ancaman Pidananya :
Berupa pidana penjara dan/atau (menggunakan perumusan komulatif alternative) yang artinya dapat dijatuhkan pidana penjara dan denda, atau dijatuhkan pidana penjara saja dan denda saja,
Adapun pidananya adalah berupa pidana penjara paling singkat (minimum khusus) 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit (minimum khusus) Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)

Pasal 22; Selengkapnya Berbunyi :
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)

Perbuatan yang dilarang adalah :
" Dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberikan keterangan yang tidak benar. Ketentuan merujuk pada ketentuan Pasal 28 ialah tersangka, Pasal 29 ialah Bank, Pasal 35 ialah Saksi atau ahli, dan Pasal 36 adalah mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia "
Ancaman Pidananya :
Berupa pidana penjara dan/atau (menggunakan perumusan komulatif alternative) yang artinya dapat dijatuhkan pidana penjara dan denda, atau dijatuhkan pidana penjara saja dan denda saja,
Adapun pidananya adalah berupa pidana penjara paling singkat (minimum khusus) 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit (minimum khusus) Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah)

Pasal 23; Selengkapnya Berbunyi :
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 35, atau Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 KUHP,  dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)

Perbuatan yang dilarang adalah :
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 35, atau Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 KUHP
Pasal 220 KUHP, yaitu :
" Memberitahukan atau mengadukan bahwa dilakukan suatu perbuatan padahal mengetahui, bahwa tidak dilakukan itu "
Pasal 231 KUHP, yaitu :
1. "dengan sengaja menarik suatu barang yang disita menurut ketentuan UU, atau yang dititipkan atas perintah hakim, atau dengan mengetahui, bahwa barang ditarik dari situ, menyembunyikannya"
2."dengan sengaja menghancurkan, merusak atau membikin tak dapat dipakai barang yang disita menurut ketentuan UU"
3. "dengan sengaja melakukan atau membiarkan dilakukan salah satu kejahatan itu, atau sebagai pembantu menolong perbuatan itu "
Pasal 421 KUHP, yaitu :
"dengan menyalahgunakan kekuasaan memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu "
Pasal 422 KUHP, yaitu :
" yang dalam perkara pidana menggunakan sarana paksaan baik untuk memeras pengakuan, maupun untuk mendapat keterangan "
Pasal 429 KUHP, yaitu :
1. " yang dengan melampaui kekuasaan atau tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalam peraturan umum, memaksam masuk kedalam rumah, ruangan atau perkarangan tertutup yang dipakai oleh orang lain, atau jika berada di situ secara melawan hukum, tidak segera pergi atas nama orang itu "
2. " yang pada waktu menggeledah rumah, dengan melampaui kekuasaannya atau tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalam peraturan umum "
Pasal 430 KUHP, yaitu :
1. " yang dengan melampaui kekuasaannya, menyuruh memperlihatkan kepadanya atau merampas suarat, kartu pos, barang atau paket, yang diserahkan kepada lembaga pengangkutan umum atau kabar kawat yang dalam tangan Pejabat telegraf untuk keperluan umum "
2. " yang melampaui kekuasaannnya menyuruh seorang pejabat telepon atau orang lain yang ditugasi pekerjaan telepon untuk keperluan umum, member keterangan kepadanya tentang suatu percakapan yang dilakukan dengan perantaraan lembaga itu "

Ancaman Pidananya :
Berupa pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit  Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
Pasal 24; Selengkapnya berbunyi :
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama  3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (serartus lima puluh juta rupian).

Perbuatan yang dilarang adalah :
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 31, yaitu: "dalam penyelidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan atau orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
Pelapor adalah : Orang yang memberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 24 UU 8/1981 tentang KUHP; Laporan adalah : Pemebritahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajibannya berdasarkan UU kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau akan terjadinya peristiwa pidana.

Ancaman Pidananya :
Berupa pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (serartus lima puluh juta rupiah).



MODUL 3  
AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUNI DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 
KB 1 : AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
A. AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUNI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 
1. PENGERTIAN SIFAT MELAWAN HUKUM
Bahasa Belanda, Melawan Hukum adalah wederrechtelijk (weder : bertentangan dengan, melawan; recht : hukum). 
Pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian melawan hukum atuara lain adalah dari: 
a. Simon: Mclawan hukum berarti bertcntangan dengan hukum pada umumnya.
b. Noyon: Mclawan hukum berarti bertentangan dengan hak subjektif orung lain.
c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangun dengan hukum dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangun dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak tcrtulis.
d. Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/wewenang.
e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan;  menurut HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan. (arrest 18-12-1911 W 9263).
f. Lamintang: Berpendapat,  perbedaan diantara pakar tersebut antara lain disehabkan karena dalam hahasa Belanda recht dapat herarti hukum" dan dapat berarti "Hak". Ia mengatakan, dalam bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti "secara tidak sah" yang dapat mcliputi pcngertian "bencntangan dengan hukum objektif" dan "bertentangan dengan hak orang lain atau hukum subjektif" (Barkatullah, 2005)

Melawan hukum artinya meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang.undangan (melawan hukum formil) namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat (melawan hukum materil) maka perbuatan tersebut dapat dipidana.

Menentukan perbuatan itu dapat dipidana, pembentuk undang-undang menjadikan sifat melawan hukum sebagai unsur yang tertulis. Tanpa unsur ini, rumusan undang-undang akan menjadi terlampau luas. Sifat ini juga dapat dicela kadang-kadang dimasukkan dalam rumusan delik culpa.
Jika unsur melawan hukum itu dengan tegas terdapat di dalam rumusan delik, maka unsur juga harus dibuktikan, sedangkan jika dengan tegas dicantumkan maka tidak perlu dibuktikan.
Untuk mcnentukan apakah suatu perbuatan dikatakan perbuatan melawan hukum diperlukan unsur-unsur (Tuanakotta. 2009):  1) Perbuatan tersebut melawan hukum 2) Harus ada kesalahan pada pelaku; 3) Harus ada kerugian. 
Suatu tindakan pada umum, dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan ketentuan-ketentuan dalum perundang-undangan melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum dalam suatu perkara, misalnya faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung.

2. JENIS AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM  
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam hukum pidana di samping Asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran sifat melawan hukum yang formal dan materiil.

a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal 
Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan teIah memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perhuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang.

b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil 
Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-aturan yang tidak tertulis (Tuanakotta, 2009).

Menurut Moeljatno ; ada perbedaan antara pandangan yang formal dengan pandangan yang materiil, maka perbedannya yaitu : 
1. Mengakui adanya pengecualiaan / penghapusan dari sifat melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang saja, misalnya Pasal 44 KUHP; mengenai kurang sempurnanya akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP; mengenai over macht, 49 KUHP; mengenai pembelaan terpaksa (noodweer); dan
2. Sifai melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak menyebut unsur-unsur tersebut, scdang bagi pandangan yang formal, sifat tersebui tidak sclalu menjadi unsur daripada perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik.

Menurut Bambang Poemomo ; sifat melawan hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan hukum yang formal atau formele wederreelutelijkheidsbegrip dan sifat melawan hukum yang materiil atau materieele wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formal apabila perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan pengecualiaannya, seperti daya paksa, pcmbelaan terpaksa, itu pun karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang.

Sebaliknya, melawan hukum melihat perbuatan melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang lidak melawan hukum.
Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan hukum materiil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan peraturan penmdang-undangan, maupun hukum di luar peraturan penmdang-undangan.

Dalam perkembangannya pandangan "materieele wederrechttelijkheid" secara negatif yang diartikan orang berbuat tidak melawan hukum apabila orang dengan daya upaya betul-betul untuk tujuan yang berguna atau het juistemiddel tot juiste doel bezigde, yang diajukan oleh A. Grafzu Dohna dalam karangannya tentang " Die Rechtswidrigheit als algemeingultiges Markmal im Tarbestande starfbarer handlungen" (Poemomo, 1994). 

Dihadapkan pada keberadaan asas legalitas, maka sesungguhnya hanya secara melawan Hukum dalam pengertian formil yang dapat diterima. Sifat melawan Hukum dengan demikian dalam pengertian materiil bertentangan dengan asas legalitas.
Penerapan fungsi negatif sifat melawan hukum materiil sesungguhnya juga tidak sejalan dengan asas legalitas yang tersurat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Penerimaannya semata-mata didasarkan oleh doktrin dan kemudian diikuti oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung, Sedangkan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil masih belum sepenuhnya dapat diterima dalam penegakan hukum di Indonesia.
Pikiran-pikiran kearah penerapan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil telah muncul, namun tampaknya masih banyak penolakan, termasuk oleh Mahkamah Konstitusi dalum Konteks UU Tindak Pidana Korupsi. Dasar pikiran perlunya penerapan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil di antaranya munculnya multipologi korupsi. 

Pcrkembangan multipologi kejahatn baru yang dianggap koruptif, tercela, dan merugikan masyarakat dalam skala yang sangat besar. seringkali kcjahatan tidak terjangkau oleh peraturan perundang-undangan tertulis yang ada sanksi pidananya, dengan demikian, pelaku dapat bertindak secara bebas, dengan berlindung di balik asas legalitas.

Mengenai pengertian sifat melawan hukum materiil, seperti telan disinggung pada bagian awal, dibedakan dalam fungsinya yang negatif dan dalam fungsinya yang positif. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif berani mengakui kemungkinan adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang menghapus sifai melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapusan sifat melawan hukum.

Pengertian sifat melawan Hukum materiil dalam fungsinya yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai suatu delik, meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang, apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang terjadi di luar undang-undang.
Dengan demikian berarti diakui hukum yang tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.

3. AJARAN SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIIL DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 
Terdapat dua pandangan/pemahaman: 
a. Melihat makna "materiel" dari sifat/hakekat perbuatan terlarang dalam undang-undang (perumusan delik tertentu). Yang dilihat adalah hakekat "perbuatannya".
Menurut pandangan ini
1) SMH Formal berarti: perbuatan telah memenuhi semua bagian yang tertulis dalam rumusan delik (semua syarat tertulis untuk dapat dipidana)
2) SMH Materiel berarti: perbuatannya melanggar/membahayakan "kepentingan hukum" yang hendak dilindungi oleh pembentuk UU dalam rumusan delik tertentu.
b. Melihat makna "materiel" dari sudut sumber hukum (yang dilihat sumber hukumnya). 
Menurut pandangan ini:
1) SMH Formal : identik dengan melawan/bertentangan dengan UU atau kepentingan hukum (perbuatan atau akibat) yang disebut dalam UU (hukum tertulis atau sumber hukum formal). Dalam hal ini hukum identik dengan UU (wet), sehingga SMH materiel identik dengan "onwetmatige daad"
2) SMH Materiel : identik dengan melawan/bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup (unwritten law / the living law), yaitu bertentangan dengan asas-asas kepatutan atau nilai-nilai (dan norma) kchidupan sosial dalam masyarakat (termasuk tata susila dan hukum kebiasaan/adat). Hukum tidak dimaknai secara formal sebagai "wer", tetapi dimaknai secara materiel sebagai "recht". Oleh karena itu SMH Materiel identik dengan “onrechtmatige daad",

Membedakan :
SMH Materiel dalam fungsinya yang negatif, pengertiannya sumber hukum materiel (hal-hal/kriteria/norma diluar UU) berfungsi sebagai alasan untuk meniadakan/menghapuskan (menegatifkan), sifat melawan hukumnya perbuatan.
SMH Materiel dalam fungsinya yang positif, pengertiannya sumber hukum materiel (hal-hal/kriteria/normna diluar UU) dapat digunakan untuk menyatakan (memositifkan) bahwa suatu perbuatan tetap dipandang sebagai tindak pidana (perbuatan melawan hukum) meskipun mcnurut UU lidak merupakan tindak pidana.

Pandangan kelompok pertama dan kedua. tidak dapat dikatakan ada perbedaan secara dikotomis (saling berhadap-hadapan) dalam menetapkan apakah suatu "perbuatan" itu melawan hukum sccara matcriel atau tidak, karena kcdua pandangan/pemahaman tersebut sekedar merupakan pengidentifikasian/ pengategorian titik berat sudut pandang dalam memberi makna "materiel" terhadap ajaran/konsepsi SMH materiel.

Menurut pandangan kelompok pertama, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum secara matcricl, apabila perbuatan tcrsebut mclanggar atau membahayakan "kepentingan hukum" yang hendak dilidungi olch pembentuk undang-undang dalam rumusan delik tenentu. Dalam memberikan penilaian apakah telah ada "kepentingan hukum" dalam suatu dclik telah dilanggar, digunakan penilaian-penilaian yang tidak semata digunakan parameter bunyi undang-undang secara saklek, akan tetapi juga digali (didasarkan) pada nilai-nilai atau kriteria materiel yang ada dalam kehidupan (norma) sosial, norma kcbudayaann (culture norm), nilai-nilai kesusilaan, dan kepatutan dalam masyarakat, tujuan ketertiban umum, asas-asas hukum umum dan hukum tidak tertulis yang diakui dalam masyarakat, profesi tertentu bahkan dalam khasanah keilmuan.

PERBUATAN MH SECARA MATERIEL
PERBUATAN
(Melawan/Membahayakan)
KEPENTINGAN HK
(Parameter/Penilaian)

Menurut pandangan Pertama, kriteria materiel itu digunalcan untuk:
1. Menilai atau memberikan penafsiran materiel terhadap “perbuatan" atau "kepentingan hukum" yang hendak dilindungi
2. Menghapus/Meniadakan SMH Formal yang ditetapkan dalam undang-undang, jadi SMH materiel digunakan hanya dalam fungsinya yang negatif, sebagai alasan pembenar. 

Menurut pandangan Kedua, kriteria materiel tidak hanya digunakan terbatas untuk perbuman yang dirumuskan secara tertulis dalam undang-undang, akan tetapi juga untuk perbuatan tercela lainnya di luar tindang-undang. Sehingga dalam hal ini SMH materiel berfungsi, baik dalam fungsinya yang negatif maupun positif.
Sifat melawan hukum materiel dalam undang-undang tindak pidana korupsi dapat atau diketemukan dalam:
1.Penjelasan Umum Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
2. Penjelasan Pasal 2 ayat (1)

Dengan melihat kedua penjelasan tersebut, nampak bahwa pembuat undang-undang (tindak pidana korupsi UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001) menganut:
1. Ajaran SMH formil dan materiel;
2. Ajaran SMH materiel dalam fungsinya positif dengan kriteria bahwa perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang itu dipandang scbagai uperbuatan tercela" karena:
a. Tidak sesuai dengan rassa keadilan atau:
b. lidak sesuai dengan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.

Meskipun dalam penjelasan tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit menganut ajaran SMH materiel dalam fungsinya yang negatif, namun dengan sendirinya juga menganut ajaran SMH materiel dalam fungsi negatif.

PANDANGAN PERTAMA 
PANDANGAN KEDUA 
Memberikan pengertianimakna materiel dari sudut "perbuatan" nya 
Memberikan pengenian/makna materiel dari sudut "sumber hukum"nya.
SMH Materiel diartikan sebagai perbuatan yang melanggar / membahayakan “kepentingan hukum” yang hendak dilindungi oleh pembuat UU dalam rumusan delik tertentu.

Kriterian materiel untuk menetapkan apakah ada “kepentingan hukum” yang dilanggar/dibahayakan, didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam kehidupan (norma) sosial, norma kebudayaan (culture norm), nilai-nilai kesusilaan dan keparuran dalam masyarakat, tujuan ketertiban hukum, asas-asas hukum umum dan hukum tidak terrtulis yang diakui dalam masyarakatmaupun dalam profesi tertentu, dan bahkan dalam bidang keilmuan.
SMH Materiel diartikan sebagai perbuatan yang melawan/bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup, asas-asas kepatutan atau nilai-nilai/norma kehidupan sosial (termasuk tata susila dan hukum kebiasaan/adat), atau bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa (“the general prinsiples of law recognized by the community of nations)
Kriterial Materiel itu hanya digunakan :
-          Untuk menilai atau memberikan penafsiran materiel terhadap “perbuatan” atau “kepentingan umum” yang hendak dilindungi oleh pembuat UU dalam perumusan delik tertentu.
-          Untuk menghapus/meniadakan sifat melawan hukum formal yang telah ditetapkan dalam UU
Kriterial Materiel tidak hanya untuk menilai perbuatan yang telah ditetapkan/dirumuskan sebagai delik dalam UU, tetapi juga terhadap perbuatan tercela lainnya diluar UU (hukum tertulis)
SMH Materiel hanya digunakan dalam fungsinya yang “negatif” sebagai alasan pembenar
Dimungkinkan SMH Materiel dalam fungsinya yang negatif dan positif, namun terbagi dalam beberapa pendapat :
1. Hanya mengatur SMH Materiel terbatas (yaitu hanya dalam fungsinya yang negatif), karena masih terikat pada asas legalitas Ps 1 ayat (1) KUHP.
2. Menganut SMH materiel yang luas, baik dalam fungsinya negatif maupun positif.
3. Menganut SMHmateriel yang luas tetapi terbatas, yaitu dalam fungsinya yang positif dan negatif, tetapi yang positif dibatasi untuk perbuatan-perbuatan (kasus/kondisi) tertentu.
Dilatarbelakangi oleh keterikatan atau orientasi pada asas legalitas formal dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang bertolak dari paham “legisme” dan nilai/ide dasar “kepastian hukum”
Dipengaruhi oleh pandangan asas legalitas materiel atau asas keseimbangan monodualistik (antara kreterial formal dan materiel; atau antara nilai-nilai kepastian hukum dan keadilan/kelenturan)

UU 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :
1. Menganut ajaran SMH formil dan materiel (dalam fungsi posilif maupun negatif).
2. Kriteria SMH materiel untuk perbuatan yang tidak diatur dalam perundang-undangan ialah perbuatan tersebut dipandang sebagai "perbuatan tercela" karena:
a. tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
b. tidak sesual dengan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat
3. Tergolong dalam kategori pandangan kedua tentang SMH materiel, khususnya SMH materiel yang luas, tetapi terbatas.
4. Dilihat dari latar belakang histories. sosiologis, substansial, dan dan ide dasar yang terkandung dalam "Penjelasan Undang-Undang No 31 Tahun 1999", SMH materiel dalam UU No. 31 Tahun 1999 tidak hanya tertuju tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 (yaitu "memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi"). tetapi juga terhadap tindak pidana dalam Pasal 3 (yaitu "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karcna jabatan atau kedudukan").

Kasus SMH Materiel dalam fungsinya Negatif.
1. Machroes Effendie, Putusan MA 8 lanuari 1966 nomor perkara No. 42/K/Kr/1965.
Ukuran hilangnya sifat melawan hukum, didasarkan pada asas-asas keadilan dan asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum. Menurut MA terdapat dalam fakta-fakta:
a. Negara tidak dirugikan;
b. Kepentingan umum dilayani;
c. Terdakwa tidak mendapat untung.
Kaedah yang ditarik dari Putusan MA itu berlaku umum atau kasuistis. Dua pendapat pakar, Sudarto mengliendaki berlaku kasuistis, Oemar Seno Adjie menghendaki berlaku umum.
Asas-asas hukum umum yang diambil apakah harus dibatasi, terbatas dari asas-asas umum hukum Adat, atau hukum tidak tertulis pada umumnya.
Dalam hal ini Lamintang berpendapat, diambil hanya dari asas-asas hukum umum dari hukum Adat saja. sedangkan Komariah Emong Sapardjaja berpendapat kalau diambil hanya dari Hukum Adat sangat sempit mengingat SMH materiel tidak terbatas pada asas-assas hukum umum dalam Hukum Adat saja Hukum Adat hanyalah sebagaian keeil dari hukum tidak tertulis. Khususnya perkembangan di bidang hukum perdata, hukum dagang dan kebiasaan-kebiasaan dalam bidang perdagangan telah berkembang menjadi hukum kebiasaan yang juga tidak tenulis.
2. Drs I Gede Sudana, Putusan MA 23 Juli 1973 nomor perkara No. 43/K/Kr/1973.
3. 1r Otjo Danaatmadja, Putusan MA 16 Desember 1976 nomor perkara No.81/K/Kr/I973.



KB 2 : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
A. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPS1 
1. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
Di negara Indonesia, Badan Hukum dijadikan subjek hukum (tertulis) pidana mulai dikenal pada tahun 1951, yaitu terdapat pada UU Penimbunan Barang-Barang, UU 17/1951, yang sekarang tidak berlaku lagi berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 8 Tahun 1962, setelah itu dikenal lebih luas pada tahun 1955, yaitu dengan keluarnya UU Tindak Pidana Ekonomi, UU No. 7/Drt/1955, dan UU Tindak Pidana Subversi, UU 11/PNPS/1963.
Dengan demikian mulai tahun 1955 maka dalam bidang-bidang tertentu di luar KUHPidana (tindak pidana khusus) badan hukum yang melakukan tindak pidana serta dijadikan subjek hukum pidana sudah dikenal dan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia dan oleh karena dapat dituntut dan dijatuhkan sanksi pidana (Hamzah, 2005).

Menurut Muladi pembenaran pertanggungjawaban korprasi sebagai pelaku tindak pidana dapat didasarkan hal-hal berikut :
a. Atas dasar falsafah intergralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas dasar kescimbangan, keselarasan, dan kescrasian antara kepentingan individu dan kepentingan sosial.
b. Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Danar 1945.
c. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan). 
d. Untuk perlindungan konsumen.
e. Untuk kemajuan tehnologi.

Dengan melihat perkembangan sejarah maka dapat disimpulkan bahwa aspek yang mempengaruhi perkembangan pranata hukum yang menyebabkan badan hukum itu dijadikan subjek hukum pidana, Pertama sekali disebabkan oleh perkembangan di bidang perekonomian, yang Kedua adalah merupakan tuntutan dari pembangunan di bidang hukum itu sendiri yang memiliki aspek ganda yaitu:
a. Modernisasi hukum; yaitu memperbaharui hukum positif sesuai dengan kebutuhan untuk melayani masyarakat seirama dengan perkembangan masyarakat.
b. Fungsionalisasi hukum; yaitu memberikan peranan pada hukum untuk ikut dalam mengadakan perubahan pada masa pembangunan.

Dalam kenyataan kemasyarakatan dewasa ini, bukan hanya manusia saja yang olch hukum diakui sebagai subjek hukum. Untuk memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri, kini dalam hukum juga diberikan pengakuan sebagai subjek hukum pada yang bukan manusia. Subjek hukum yang bukan manusia dinamakan Badan Hukum (legal person). 
Badan Hukum adalah pendukung hak dan kewajiban berdasarkan hukum yang bukan manusia, yang dapat menuntut dan dapat dituntut subjek hukum lain di muka pengadilan.
Ciri-ciri dari sebuah Badan Hukum adalah (Sidharta, 2000): 
a. Memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan kegiatan badan-badan hukum tersebut
b. Memiliki hak-hak dan kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang-omng yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut;
c. Memiliki tujuan tertentu;
d. Berkesinambungan (memiliki kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang tertentu, karena hak-hak dan kewajibannya tetap ada meskipun orang-orang yang menjalankannya berganti.

Badan hukum dapat dibedakan atas dua jenis; yaitu badan hukum publik dan badan hukum privat. Di Indonesia kriteria yang dipakai untuk menentukan sesuatu badan hukum termasuk badan hukum publik atau termasuk badan hukum privat (Syahrani. 1999) ada dua macam: 
a. Berdasarkan terjadinya, yakni badan hukum privat didirikan olch perscorangan, sedangkan badan hukum publik didirkan oleh pemerintah/negara.
b. Berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan pekerjaannya itu untuk kepentingan umum, maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik. Tetapi kalau lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan, maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.

Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas. Di Indonesia perkembangan korporasi sebagai subjek hukum pidana terjadi di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dalam perundang undangan khusus. Sedanglcan KUHP sendiri masih tetap menganut subjek tindak pidana berupa "orang" (Pasal 59 KUHP). Sedangkan subjek tindak pidana korporasi, dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 1 angka 13, Undang.undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 1 angka 19, yang saat ini sudah diganti dengan Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, Pasal 1 angka 2 tentang Tindak Pidana Penucuciaan Uang, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Pasal 1 angka 1 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pada intinya mengatakan : "Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi dengan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum".

Rumusan mengenai korporasi juga ditemukan dalam Pasal 51 Wv.S (KUHP Belanda) yang telah diperbaharui pada tahun 1976. Adapun bunyinya adalah:
a. Tindak Pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;
b. Apabila suatu tindak pidana dilakukan olch badan hukum, dapat dilakukan pidana dan tindakan-tindakan yang tereantum dalam undang-undang terhadap :
1. Badan hukum atau;
2. Terhadap mereka yang memerintahkan melakukan perbuatan itu, demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai pemimpin melakukan tindakan yang dilarang itu;
3. Terhadap yang disebutkan di dalam a dan b bersama-sama;
4. Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum perseorangan tanpa hak badan hukum perseroan tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.

Kerugian-kerugian yang di timbulkan kejahatan korporasi dapat bersifat fisik, ekonomi dan biaya sosial. Kecelakaan tenaga kerja mcrupakan salah satu konsckuensi yang bersifat fisik. Sedangkan kasus biskuit beracun yang menimbulkan korban merupakan contoh hasil produksi suatu korporasi yang tidak aman bagi konsumen, yang sering disebui kelalaian korporasi.

Konsekuensi yang bersifat ekonomis tidak diragukan lagi, mengingat profit merupakan motifasi utama terjadinya kejahatan korporasi. Sedangkan yang paling mengancam dan menakutkan yang dianggap kerugian sosial yang timbul karena kejahatan korporasi, adalah dampak merusak terhadap standar moral dari masyamkat bisnis.

Sehubungan dengan masalah perbuatan yang dilarang yang dapat dilakukan korporasi scbagai subjek tindak pidana, dapat dikcmukakan pemahaman sebagai berikut:
1) Untuk menentukan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, maka persyaratan pada umumnya menyangkut segi perbuatan dan segi orang (sebagai pelaku atau pembuat tindak pidana). Oleh karena itu perlu ditetapkan terlcbih dahulu perbuatan-perbuatan apa yang akan dinyatakan sebagai perbuatan terlarang atau tindak pidana korporasi. Penentuan perbuatan yang dinyatakan sebagi pidana korporasi tidak hanya harus memperhatikan apakah perbuatan itu dicela olch masyarakat karena mcrugikan masyarakat atau membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat, tetapi harus pula memperhitungkan kemampuan daya kerja badan-badan penegak Hukum.
2) Mengingat bentuk-bentuk pelanggaran yang dapat dilakukan olch korporasi sangat beragam yang sering bernilai ekonomis, dengan skala dan ruang lingkup yang luas, maka diperlukan selektifias dalam menentukan rumusan tindak pidana korporasi. Beberapa bentuk pelanggaran korporasi yang bersifat ekonomis antara lain pelanggaran terhadap peraturan pajak, lingkungan hidup dalam berbagai bentuk pencemaran perburuhan, berbagai bentuk penyuapan, dan pelanggaran.

Di Indonesia prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUHP), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus (tidak dikenalnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon)

Dengan dijadikannya korporasi (badan hukum) sebagai subjek tindak pidana, maka sistem pidana dan pembinaannya juga seharusnya berorientasi pada korporasi. Ini berani ada ketentuan khusus mengenai yakni sebagai berikut:
a. Kapan dikatakan korporasi melakukan tindak pidana
b. Siapa yang dapat dipertanggugjawabkan;
c. Dalam hal bagaimana korporasi dapat dipertanggunjawabkan;dan
d. Jenis-jenis sanksi apa yang dapat dijatuhkan untuk korporasi.

2. KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA KORUPSI 
KUHP hanya mengenal orang sebagai subjek tindak pidana (naturlijke person). Dalam memori penjelasan (Memorie van Toelichting) Pasal 51 W.v.S Belanda (Indonesia sama dengan Pasal 59 KUHP) dinyatakan secara tegas bahwa: "Suatu strafbaar feit hanya dapat diwujudkan olch manusia, fiksi tentang badan hukum tidak berlaku di bidang hukum pidana". Ketentuan bahwa hanya orang yang bisa bertindak sebagai subjek hukum dalam KUHP, setidaknya dapat kita lihat dari beberapa hal yaitu (Hamzah, 2005): "pada setiap delik dalam rumsan KUHP selalu diawali dengan "barang siapa" (Hij die...), atau kata-kata lain yang menunjuk orang sebagai subjek seperti "ibu" (de moeder) dalam ketentuan Pasal 341 dan 342 KUHP, "panglima tentara"(bevelhebber) dalamPasal 413 KUHP, "pcgawai negeri" atau "orang lain yang diwajibkan untuk seterusnya atau untuk sementara waktu menjalankan jabatan umum" (de amtenaar of ander met een igen openbaren dienst voortdurend od tijdelijk belast person) dalam Pasal 415, 416 dan 417 KUHP.

UU-TPK 1971 tidak mengenal korporasi sebagai subjek hukum, oleh karena itu UU-TPK 1999 bisa dikatakan lebih maju dibandingkan dengan UU-TPK 1971 ialah, bahwa subyek tindak pidana tidak hanya"orang perseorangan" tetapi juga "korporasi". Menurut ketentuan Pasal 1 ke-1, yang dimaksud dengan korporasi udalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Dikenakannya sanksi pidana/tindakan kepada Korporasi pebagai Subjek Tindak Pidana korporasi dalam perkara korupsi ini cukup beralasan dan sesuai dengan beberapa rekomendasi konggres PBB rnengenai The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, antara lain: 1. Dalam rekomendasi Kongges PBB ke-8/ 1990 ditegaskan, agar ada tindakan terhadap "perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perkara korupsi".

Dalam dokumen Kongres PBB ke-9/1995 di Kairo, antara lain ditcgaskan sebagai berikut: "Korporasi, asosiasi kriminal atau individu mungkin terlibat dalam pnyuapan para pejabat untuk babagai alasan yang tidak semuanya bersifat ekonomis. Namun dalam banyak kasus, masih saja penyuapan digunakan untuk mencapai keuntungan ekonomis. Tujuannya ialah membujuk para pjabat untuk memberikan berbagai bentuk perlakuan khusus/ istimewa, antara lain: a. Memberi kontrak; b. Mempercepat/memperlancar ijin; c. Membuat perkecualian-perkecualian atau menutup mata terhadap pelanggaran-pelanggaran peraturan (Arief, 1999).

Perkembangan mengenai konsep korporasi sebagai subyek tindak pidana, scbenarnya merupakan akibat prubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam menjalankan aktifitas usaha. Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara perorangan. Dalam perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberapa hal yang menjadi faktor pertimbangan untuk mengadakan kerjasama, antara lain adalah terhimpun modal yang lebih banyak, tergabungnya ketrampilan dalam suatu usaha jauh lebih baik dibanding suatu usaha dijalankan scorang diri dan mungkin pula atas penimbangan dapat membagi resiko kerugian (Atrik. 1996).

3. PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 
Konsekuensi logis dari korporasi sebagai subjek hukum adalah, korporasi dapat dijatuhi pidana atau dapat dipertanggangjawabkan dari segi hukum pidana. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 20 ayat (1). Dinyatakan bahwa "Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.

Tindak pidana korupsi dikatakan dilakukan olch korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun badasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama (Pasal 20 ayat (2).

Apabila terjadi tindak pidana sebagaimana dilakukan menurut Pasal 20 ayat (2), sehingga terhadap korporasi dilakukan tuntutan hukum, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurusnya. Dalam Pasal 20 ayal (3). Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksucl dalam ayat (3) dapat diwalcili oleh orang lain (Pasal 20 ayat (4).

Dalam hal Hakim merasa perlu untuk mendapatkan keterangan secara langsung pengurus korporasi maupun diperlukan kehadirannya secara langsung, Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut di bawa ke sidang pengadilan (Pasal 20 ayat (5).
Berkaitan dengan masalah panggilan sidang, apabila tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, berdasarkan Pasal 20 ayat (6) panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.

Sesuai dengan sifal dari korporasi yang tidak noturlijke person, sanksi pidana (pidana pokok) yang dapat dijatuhkan hanyalah pidana denda dengan syslem pemberatan yaitu, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). Kelentuan tersebut diatur secara tegas dalam Pasal 20 ayat (7).




MODUL 4 
KB 1 : PENGANTAR SISTEM PEMIDANAAN DALAM UU PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI 
A. TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM PEMIDANAAN 
Secara sempit, sistem pemidanaan dapat diartikan sebagai sistem norma hukum pidana substantif/materiil (KUHP).
Menurut Sudarto ((987: 23); sistem pcmidanaan dapat diartikan sebagai sistem penjatuhan pidana dan/atau pengenaan tindakan.
Barda Nawawi Arief (2005); menyatakan sistem pemidanaan juga dapat diartikan sebagai sistem pemberian atau penjatuhan pidana.
Sedangkan Hulsman, sebagaimana dikutip Barda Nawawi Arief (2009: )); menyatakan bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan.

Sistem pemidanaan dapat dilihat dari dua sudut, yaitu sudut fungsional dan substantif. Sudut fungsional memandang sistem pemidanaan dari sudut bekerjanya/berfungsinya sistem. Dalam sudut pandang ini, sistem pemidanaan diartikan sebagai kescluruhan sistem (baca: aturan perundang-undangan) untuk fungsionalisasi/operasionalisasi/konkretisasi pidana.
Dengan demikian, sistem pemidanaan identik dengan sistem penegakan hukum pidana yang terdiri dari sub sistem hukum pidana materiel/substantif, sub sistem hukum pidana formal, dan sub sistem hukum pelaksanaan pidana. Ketiga sub sistem itu merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, karena tidak mungkin hukum pidana dioperasionalkan/ditegakkan secara konkret hanya dengan salah satu sub sistem saja. Pengertian sistem pemidanaan yang demikian itu dapat disebut dengan sistem pemidanaan dalam arti luas.

Sedangkan sistem pemidanaan dtiinjau dari sudui substantif hanya melihat norma-norma hukum pidana materiil/substantif. Sampai disini dapat disimpulkan bahwa sistem pemidanaan ditinjau dari aspek subtantif bisa diartikan sebagai kescluruhan sistem aturan/noma hukum pidana materiel untuk pemidanaan, atau kescluruhan sistem aturan/norma hukum pidana materiel untuk pemberian/penjatuhan dan pelaksanaan pidana. 
Dengan pengertian demikian, maka keseluruhan peraturan perundang-undangan (statutory rules) yang ada di dalam KUHP maupun UU khusus di luar KUHP, pada hakikatnya merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan, yang terdiri dari "aturan umum" (general rules) dan "aturan khusus" ("special rules"). Aturan umum terdapat di dalam Buku I KUHP, dan aturan khusus terdapat di dalam Buku II dan III KUHP maupun dalam UU Khusus di luar KUHP (Nawawi Arief, 2005).

Apabila sistem pemidanaan beserta ruang lingkupnya digambarkan dalam sebuah skema, akan didapatkan skema sebagai berikut :



Sebelum membahas lebilt lanjut mengenai sistem pemidanaan dalam tindak pidana korupsi, maka akan dibahas terlebih dahulu apa yang dimaksudkan dengan pidana. Menurut van Hammel sebagaimana dikutip P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, (2010: 33). pidana adalah: 
Suatu pcndcritaan yang bersifat khusus, yang tclah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban umum bagi scorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah mclanggar suaiu peraturan hukum yang harus ditegakkan olch negara. 

Sudarto scbagaimana dikutip Muladi dan Ba)A Nawawi Arief (2005: 2), pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenulti syarat-syarat tertentu. 
Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pidana merupakan suatu reaksi atas delik, dan berwujud suatu nestapa, yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu (Muladi dan Nawawi Arief, 2005: 2).
Harkristuti Harkrisnowo (2003:9) memandang, pidana selalu berkenaan dengan tindakan-tindakan, yang apabila bukan dilakukan oleh negara dengan berlandaskan pada hukum, merupakan tindakan yang melanggar moral. Olch karena pidana bersifat menderitakan (leed) yang dibebankan kepada seseorang yang melanggar aturan pidana. maka penjatuhannya (pemidanaan) harus dilakukan olch pihak penguasa/pemerintah, schingga dalam penjatuhan suatu pidana harus disesuaikan dengan falsafah pemidanaan.

Pemidanaan membedakan hukum pidana dengan lapangan hukum lainnya sebagaimana diungkapkan oleh Wiliam Wilson (2002: 43-44) yang menyatakan, punishment is usually characterised as the essential distinguishing feature of criminal norms. Pemidanaan merupakan hal yang penting dalam hukum pidana, hal ini dikarenakan pemidanaan merupakan puncak dari scluruh rangkaian penegakan hukum pidana.
Andrew Asworth sebagaimana dikutip Chairul Huda (2006: 125) menyatakan ; a crimininal law without sentencing would merely be a declaratory system pronouncing people guilty without any formal consequences following from that guilt (hukum pidana tanpa pemidanaan berarti menyatakan seseorang bersalah tanpa ada akibat yang pasti terhadap kesalahannya). 

Sejak dahulu, pemidanaan selalu menjadi suatu permasalahan yang tidak pernah habis untuk dibahas, sifatnya problematik, terlebih lagi apabila membahas mengenai penjatuhan pidana mati. Wesley Cragg (2005: 9-(0) mcnyatakan: 
There are today sharp disagreements about the justifiability of capital punishment and the appropriate uses of imprisonment. There can be strong disagreements over what rules should be enforeed. ls abortion or euthanasia immoral? If so, should it be prohibited? Should polluters be prosecuted under the criminal law?
(Dcwasa ini, muncul perdebatan yang tajam mengenai penjatuhan pidana mati dan sudah tepatkah pengenaan pidana penjara. Akan menjadi suatu perdebatan yang menarik, terlebih mengenai bagaimana suatu aturan harus ditegakkan. Apakah aborsi atau suntik mati (eutanasia) merupakan perbuatan amoral? Apakah hal itu harus dilarang, Lantas, apakah para pelaku tersebui harus diluntut?). 

Berdasarkan apa yang dikemukakan Cragg, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa masalah pidana mati dan pidana penjara merupakan beberapa hal yang sclalu menjadi perdebatan. Khususnya pidana mati, yang sejak jaman dahulu telah menjadi perdebatan yang sengit.
Bahkan Beccaria sebagaimana dikutip Andi Hamzah dan Sumangelipu (1985: 36) pemah menyatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan contra social, karena hidup tak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang legal.

Mardjono Reksodiputro (2007: 124) berpandangan bahwa pembahasan mengenai pemidanaan dapat dilakukan secara sederhana dengan melihatnya sebagai sistem tarif (tarrif system). Dalam sistem tarif, pemidanaan didasarkan atas prinsip hakim menjatuhkan pidana yang seimbang dengan kesalahan pelaku.
Pengadilan hanya memberikan informasi tentang fakta-fakta perbuatan kejahatannya dan catatan tentang riwayat pelaku sebagai seorang penjahat. Pembelaan dari penasihat hukum pada prinsipnya adalah untuk mengajukan hal-hal yang dapat dipertimbangkan hakim untuk meringankan hukuman pelaku, sehingga tugas dari jaksa penuntut dalam menuntut berat ringannya pidana dengan pedekatan seperti ini relatif mudah.

Dari pendapat Mardjono Reksodiputro di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pemidanaan terdapai suatu sistem yang akan menjamin bahwa penjatuhan pidana harus dilakukan scsuai aturan/prosedur yang ada. Dapat dikatakan bahwa sistem yang demikian adalah sistem pemidanaan yang dioperasionalkan oleh operator-operator hukum, yang dimulai dari polisi, penasihat hukum, jaksa, dan hakim.

Dalam pemidanaan tidak bisa dilepaskan dengan tujuan pemidanaan. Tujuan pemidanaan pada umumnya dihubungkan dengan 2 (dua) pandangan besar, yaitu pandangan retributif dan utilitarian. Sekalipun kedua pandangan ini umumnya diikuti dan kemudian dikembangkan dalam tradisi masing-masing baik oleh negara-negara dengan sistem hukum common law atau civil law, namun tidak dapat dipungkiri bahwa kedua pandangan ini merupakan dasar pijakan dalam hal penentuan tujuan pemidanaan. Baik pandangan retributif maupun utilitarian tidak dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Keduanya hanya ada dan berkembang dalam teori hukum pidana. Teori-teori inilah yang menjadi dasar pembenaran bagi negara dalam menjatuhkan pidana kepada seseorang pelaku tindak pidana.

1. Retributif / Teori Mutlak / Teori pembalasan (vergeldingstheorieen) 
Menurut Andi Hamzah : teori ini muncul pada akhir abad ke-18. dengan penganutya adalah Immanuel Kant, Hegel, Herban, Stahl, Lco Polak, dan beberapa beberapa ahli yang mendasarkan pemikirannya pada filsafat Katolik, dan beberapa sarjana hukum Islam yang mendasarkan pemikirannya pada ajaran qishaas dalam Al Qur'an. Menurut Herben L. Packer : The retributive positions is an old one, and its content has not changed much over the centuries (pandangan retributif adalah salah satu yang tertua, substansinya tidak pernah berubah selama berabad-abad).

Dalam retributif, pidana dijatuhkan semata-mata karena sescorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang hans ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah beibual jahat. Menurut Van Bemmelen ; tujuan dari teori ini tidak lain dan tidak bukan adalah pidana itu sendiri. Penjatuhan pidana semata-mata dilakukan karena unsur pembalasan terhadap kejahatan yang dilakukan. Dalam teori ini tidak mempertimbangkan sisi kemanusiaan dan mengesampingkan moral dari hukum pidana, schingga tujuan penjatuhan pidana justru tidak akan tercapai.

J.E. Sahetapy; dikutip Yesmil Anwar dan Adang;  memberi kritik terhadap teori ini; Apabila pidana dijauhkan dengan tujuan semata-mata hanya untuk pembalasan dan menakutkan, maka belum pasti tujuan ini akan tercapai, karena dalam diri terdakwa belum tentu ditimbulkan rasa bersalah atau menyesal, mungkin pula sebaliknya, bahkan ia menaruh dendam. Beberapa kritik yang dialamatkan oleh pandangan retributif memunculkan "teori landingan" yaitu utilitariansm

Cragg menyatakan ; it takes the view that punishment is justifiable if it is merited or deserved. lt is deserved when it is a response to itijustice or wrongdoing ; Kcsimpulan bahwa dalam pandangan retributif, maka pidana adalah mutlak bilamana terjadi pelanggaran atas hukum pidana. Sangat terasa bahwa pandangan retributif merupakan suatu pandangan yang kaku yang hanya berorientasi pada pelaku. Ditambahkan oleh Cragg, it would be hard to deny that the desire for revenge comes naturally where people to whom one is emotionally attached are victionzed.

2. Utilitarian / Teori Tujuan / Teori Relatif (doeltheorien) 
Teori ini lahir sebagai ktitik atas teori retributif yang dirasa tidak sesuai dengan sisi kemanusiaan dan moral hukum pidana. Adanya pembalasan sebagai suatu tujuan pemidanaan dapat menghasilkan suatu keadilan yang Sebagaimana diungkapkan Bacon (Asworth dan Wasik, 1998: 11), seorang filosof Inggris, "revenge is a kind of wild justice". 

Dalam teori ini, pemidanaan bukan sebagai pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat, oleh karena itu teori ini juga discbut dengan teori utilitarian. Sanksi pidana ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah agar orang tidak melakukan kcjahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan.

Packer (1968: ( I) menyatakan, The utilaarian rejeds trtributition as a basis for punishment on the ground that suffe)ng is always an evil and that there is no justification for making people suffer...". Pandangan utilitarian menolak pembalasan sebagai dasar untuk menjatuhkan hukuman, hal ini dikarenakan penderitaan merupakan suatu bentuk kejahatan, dan tidak ada pembenaran untuk membuat seseorang menderita.

Menurut Vos sebagaintana dikutip threcht; teori relatif bertolak dari pertahanan tata tertib masyarakat sebagai dasar hukum dari penjatuhan pidana. Olch karena itu. tujuan dari Hukuman (pemidanaan) adalah menghindarkan (prevensi) dilakukannya suatu pelanggaran hukum.
Adapun sifat prevensi dari pemidanaan, menurut Utrecht ada dua macam, yaitu prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum yang paling tua dilakukan dengan memperlihatkan pemidanaan di khalayak umum dengan tujuan agar tidak ada lagi orang yang meniru perbuatannya.
Dalam prevensi umum, tujuan pokok pemidanaan yang ingin dicapai adalah melindungi masyarakat dari keinginan jahat orang yang akan melakukan kejahatan terhadap ketertiban masyarakat. Sedangkan prevensi khusus bertujuan untuk mencegah penjahat agar tidak lagi mengulangi kejahatan atau menahan orang untuk melakukan kcjahatan yang akan direncanakannya.
Menurut van Hamel sebagaimana dikutip Andi Hanuah ; dalam prevensi khusus, pidana harus: 
a. Memuat unsur menakutkan supaya menoegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya. b. Memiliki unsur untuk memperbaiki terpidana. c. Memiliki unsur untuk membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki. d. Tujuan satu-satunya dari pemidanaan adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum.

Van Bemmelen  menambahkan jika dalam tcori utilitarian juga mengandung fungsi perlindungan. Dengan adanya pidana (misal pidana pencabutan kebebasan), maka akan menghindarkan masyarakat dari kejahatan yang kemungkinan dilakukan jika yang bersangkutan bebas.

3. Teori Gabungan (verenigingstheorien) 
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (2005: 19), teori gabungan ini pertama kali diajukan olch Pellegrino Rossi (1787-1848). Tcori ini mengkombinasi teori retributif dan teori utilitarian yang bertujuan selain scbagai pcmbalasan (retributif) atas kesalahan penjahat, juga dimaksudkan untuk melindungi masyarakat guna mewujudkan ketertiban (utilitarian). 
Sclanjutnya Rossi menyatakan bahwa salah satu tujuan pidana adalah perbaikan tata tertib masyarakat. Jadi dalam hal ini, pidana harus memberikan manfaat kepada tata tertib masyaraakat (Bemmelen, 1987: 29).

Senada dengan Rossi, Bemmelen menyatakan bahwa dalam teori gabungan bertujuan untuk membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat, sedangkan tindakan bermaksud untuk mengamankan dan memelihara tujuan, schingga pidana dan tindakan dimaksudkan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana kedalam masyarakat. Dari rumumn Bemmelen tersebut, maka terlihat bahwa Bemmelen juga menganut model double track system. 

Mcnurut Utrecht (1958: (86), dalam teori gabungan mcndasarkan pemidanaan atas pembalasan dan pertahanan ketertiban masyarakat. Teori ini dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
a. Teori gabungan yung mcnitikbcratkan pada pembalasan. Pembalasan dalam tipe ini tidak dimaksudkan untuk melampaui batas, selama pembalasan perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tertib kemasyarakatan.
b. Teori gabungan yang menitikberatkan pada tata tertib kemasyarakatan. Di sini dimaksudkan bahwa pidana yang dijatuhkan tidak boleh melebihi beratnya perbuatan. Maka pidana harus disesuaikan dengan beratnya perbuatan yang dilakukan.
c. Tcori gabungan yang menitikberatkan sccara seimbang antara pembalasan dan tata tertib kemasayarakatan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat alasan-alasan yang membenarkan dalam menjatuhkan pidana bagi seseorang : Alasan pertama berkaitan dengan postulat bahwa pidana merupakan suatu bentuk pembalasan atas perbuatan yang dilakukan seseorang (retributif). Dalam alasan pertama, terdapat suatu cara pandang ke belakang (backward looking). Alasan kedua berkaitan dengan postulat bahwa penjatuhan pidana dimaksudkan sebagai bentuk pencegahan (prevensi) terhadap perbuatan jahat yang dapat muncul dikemudian hari. Dalam alasan kedua, sudut pandang yang digunakan adalah forward looking, Alasan ketiga, dari dasar penjatuhan pidana adalah bahwa pidana semata-mata tidak dijatuhkan sebagai pembalasan saja, tetapi sekaligus terkandung upaya pencegahan (preventif).

B. SISTEM PEMIDANAAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 
Sub bab ini akan mendeskripsikan tentang dua bagian. Bagian pertama akan menguraikan stelsel pidana dalam KUHP sebagai dasar dalam memahami sistem pemidanaan dalam tindak pidana korupsi. Bagian kedua akan memfokuskan diri pada sistem pemidanaan dalam tindak pidana korupsi, yang akan meninjau dari sudut pandang jenis pidana (strafsoort), berat ringannya/bobot pidana (strafmaat), dan cara pelaksanaan pidana (strafmodus). Perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang stelsel pidana. Stelsel pidana dapat diartikan sebagai bagian dari sanksi pidana, yang tcrdiri dari jenis pidana (strafsoort), berat ringannya/bobot pidana (strafmaat), dan cara pelaksanaan pidana (strafmodus).  Dalam sistem pemidanaan, hakim harus memperhatikan stelsel pidana dalam KUHP maupun undang-undang di luar KUHP. Stelsel pidana berfungsi untuk memberikan pedoman/petunjuk bagi hakim, untuk menentukan jenis pidana apa yang akan dijatuhkan, berapa pidana yang dijatuhkan, serta bagaimana penjatuhannya. Sebelum membahas stelsel pidana dalam tindak pidana korupsi, terlebih dulu akan diuraikan stelsel pidana yang ada dalam KUHP.

1. Tinjauan tentang Stelsel Pidana dalam KUHP 
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, sistem pemidanaan dalam arti sempit bisa diartikan sebagai sistem penjatuhan pidana. Menurut Muladi (1992: 23), dalam penjatuhan pidana kepada pelaku tindak pidana terkandung unsur-unsur :
a. pada hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang menyenangkan;
b. diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
c. dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurui undang-undang.

Penjatuhan pidana pada prinsipnya merupakan konsekuensi dari terbuktinya unsur perbuatan dan unsur kesalahan pelaku tindak pidana. Syarat penjatuhan pidana (pemidanaan) adalah terbuktinya perbuatan dan kesalahan. Penjatuhan pidana akan dicantumkan dalam putusan pengadilan.
Menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), putusan pengadilan diartikan sebagai pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP).

Selanjutnya ditambahkan oleh ketentuan Pasal 193 ayat (1) KUHAP. "Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana". Dapat dibandingkan di sini dengan pendapat yang dikemukakan oleh van Bemmelen sebagaimana dikutip Andi Hamzah (2(109: 286), putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana.

Sesuai ketentuan hukum positif di Indonesia, jenis pidana (strafsoort) diatur dalam Pasal 10 KUHP, yang membagi pidana menjadi dua bagian yakni pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berdasarkan Pasal 10 KUHP adalah: pidana mati; pidana penjara: pidana kurungan: dan pidana denda. Kemudian dengan dikeluarkannya UU No. 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan, yang diundangkan pada 31 Oktober 1946, maka ketentuan pidana pokok dalam Pasal 10 KUHP mendapatkan tambahan, yaitu pidana tutupan.
Dengan adanya tambahan ketentuan Pasal 1 UU No. 20 Tahun 1946 tersebut. maka sccara resmi pidana pokok dalam KUHP adalah pidana mati, penjara, kurungan, denda, tutupan. Sedangkan pidana tambahan menurut ketentuan Pasal 10 KUHP adalah, (1) peneabutan hak-hak tertentu, (2) perampasan barang-barang tertentu, dan (3) pengumuman putusan hakim.

Uraian tentang pidana dalam KUHP akan dijelaskan sebagai berikut : 
a. pidana pokok 
1) Pidana Mati 
Sampai saat ini, Indonesia termasuk dalam daftar ncgara yang mempertahankan pidana mati sebagai pidana paling berat. Dalam Pasal 10 KUHP, pidana mati masih dijadikan sebagai pidana pokok. Hal ini berbeda dengan KUHP Belanda. Menurut Pasal 9 KUHP Belanda, tidak diatur lagi tentang pidana mati. Belanda sudah menghapas pidana mati dalam KUHP-nya sejak tahun 1870.

Dalam KUHP ada beberapa delik yang diancam dengan pidana mati, misalnya Pasal 104 (makar), 340 (pembunuhan berencana), 356 ayat (4) (pencurian dengan kekerasan). Ancaman pidana mati dalam KUHP senantiasa disertai dengan alternatif sanksi pidana lain, seperti penjara seumur hidup atau penjara paling lama 20 tahun.
Mclihat ketcntuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pidana mati hanya dijatuhkan terhadap delik-delik yang berat. Dalam perkembangannya, beberapa dclik yang diatur di luar KUHP juga terdapat ancaman pidana mati, sebagaimana diatur dalam UU Kejahatan Penerbangan, UU Narkotika, UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU Pemberantasan Terorisme.

Menurut ketentuan Pasal 11 KUHP, pidana mati dijatuhkan dengan cara digantung. Menurut Andi Hammh (1993, 36), strafmodus pidana mati sebagaimana dimaksud Pasal 11 KUHP, sudah tidak berlaku sejak pcndudukan lepang. Kemudian Bclanda mengcluarkan staatblad No. 123 yang kemudian diperkuat oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Pcnetapan Presiden No. 2 Tahun 1964 Jo. UU No. 5 Tahun 1969, yang menyatakan bahwa pidana mati dilakukan dengan cara ditembak. 

Apabila tidak ditentukan secara khusus, pidana mati dilaksanakan di suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. Kcpala Kepolisian Dacrah setempat bertanggung jawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. Selain itu, penanggungjawab eksekusi pidana mati juga harus bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat yang diperlukan untuk itu.

Pidana mati tidak dilaksanakan di depan umum. Selain itu, pelaksanaan pidana mati bagi wanita hamil ditunda sampai 40 hari kelahiran anaknya. Terpidana mati akan dibawa dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup. Jika diminta, terpidana dapat disenai oleh seorang perawat rohani.
Setibanya ditempat pelaksanaan pidana mati, komandan pengawal menutup mata si terpidana dengan sehelai kain, kecuali jika terpidana tidak menghendakinya. Terpidana dapat menjalani pidananya secara berdiri, duduk atau berlutut. Jika dipandang perlu terpidana diikat dengan tangan dan kakinya alaupun diikatkan kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. Setelah terpidana siap ditempat dimana dia akan menjalankan pidana mati. maka Regu Penembak dengan senjata sudah terisi menuju ketempat yang ditentukan. Dengan menggunakan pedangnya sebagai isyarat, Komandan Regu Penembak memberikan perintah supaya bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia memerintahkan regunya untuk membidik pada jantung terpidana dan dengan menyatakan pedangnya ke bawah sccara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak. Apabila setelah penembakan itu terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa dia belum mati, maka Komandan Regu segera memerimahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan pengakhir dengan menckankan ujung laras senjatanya pada kepala terpidana tepat dialas telinganya. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat minia bantuan seorang dokter.

Dalam perkembangannya, Kepala Kepolisian Republik Indonesia pata tahun 2010 mengeluarkan Peraturan Kapolri No. 12 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati. Secara garis besar, substansi Peraturan Kapolri tersebut mentapakan petunjuk teknis dan pelaksanaan bagi unggota kepolisian dalam menjalankan eksekusi pidana mati yang bersumber pada Peraturan Presiden No. 2 Tahun 1964. Tujuan dari dikeluarkannya Perkap tersebut adalah agar pelaksanaan pidana mati dilakukan secara profesional dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Perlu diketahui, ketentuan pidana mati mengalami perubahan dalam Rancangan KUHP. RKUHP menegaskan pidana mati sebagai pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. Kekhususan pidana mati karena pidana mati dianggap sebagai the last resort, upaya terakhir untuk menjatuhkan pidana bagi terpidana yang tidak bisa diperbaiki lagi.
Pidana mati diibaratkan sebagai proses amputasi seorang dokter. Apabila dokter menilai bahwa kcadaan pasien tidak mungkin disembuhkan (misal dalam kasus diabetes), maka dokter akan memilih melakukan amputasi untuk menyelamatkan nyawa pasien. Dalam hal ini, amputasi harus dipandang sebagai upaya terakhir apabila tidak ada upaya lain yang memadai. Sama jugu dengan pidana mati.

Menurut RKUHP. pidana mati dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. Pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum. Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak. Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.

Selain kekhususan pidana mati sebagaimana diuraikan di atas, RKUHP juga mengatur tentang pidana mati bersyarat. Maksud dari pidana mati bersyarat disini adalah terkait dengan pelaksanaan pidana mati yang dapal ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun apabila: a) Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; b) Terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; c) Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan d) Ada alasan yang meringankan

2) Pidana Penjara
Pidana penjara merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan yang hanya bolch dijatuhkan hakim melalui putusan pengadilan. Di dalam KUHP, pidana penjara dibagi menjadi 2 (dua) katagori, yaitu pidana penjara scumur hidup dan dalam waktu tertentu. Pidana penjara seumur hidup berarti terpidana menjalani pidana penjara sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Sedangkan pidana penjara dalam waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama 15 (lima belas) tahun. Dalam hal tertentu, misalnya ada pengulangan tindak pidana (recidive) atau perbarengan (concursus), pegawai negeri melakukan tindak pidana, atau melakukan kejahatan dengan menggunakan bendera Indonesia pidana penjara waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut. 

Banyak kritik atas pidana penjara membuat beberapa negara berlomba untuk menciptakan model pidana yang dapat menggantikan pidana penjara. Fenomena terkait kebijakan penegakan hukum dewasa ini, pidana penjara masih menjadi jenis pidana yang paling sering dijatuhkan. Dengan kata lain, pidana penjara masih menjadi primadona dalam putusan pemidanaan.
Di sisi lain, untuk menghindari pengaruh buruk dari pidana penjara (misalnya prisonisasil "mcmpelajari" kcjahatan di dalam pcnjara dari terpidana lain), terutama pidana penjara pendek, negara-negara lain seperti Belanda, mengatur ketentuan baru dimana pidana penjara pendek dapat diganti dengan pembayaran denda, walaupun ancaman pidana denda tidak tercantum scbagai ancaman pidana dalam pasal yang dilanggar.

Salah satu upaya dalam menghindari efek negatif dari pidana penjara pendek adalah dengan penjatuhan pidana penjara yang disertai masa percobaan. Masa percobaan bisa diberikan bagi terpidana penjara yang dijatuhkan pidana penjara tidak lebih dari satu tahun atau terpidana kurungan. Ketentuan ini dikenal dengan pidana percobaan/pidana bersyarat. Pidana percobaan diatur dalam Pasal 14a- Rf KUHP. Pasal tersebut merupakan pasal sisipan yang baru diintegrasikan dengan KUHP pada tahun 1927 melalui staatsblad 1926 No. 251  jo. 486.

Menurut Utrecht (1958: 372), di Belanda pada tahun 1915 mengadopsi model pidana bersyarat dalam Wetboek van Strafrecht. Pengadopsian ini merupakan akibat dari berkembangnya model pemidanaan yang serupa (probation) di sejumlah negara seperti Inggris, Amerika Scrikat, Perancis, dan Belgia.
Di Inggris sendiri, probation telah dikenal sejak tahun 1980. Setelah ada pernyataan bersalah dari juri, hakim memiliki kewenangan untuk menangguhkan pidana yang dijatuhkan dan memerintahkan pelaku kejahatan hadir sendiri dalum persidangan apabila ada laporan yang berisi bahwa yang bersangkutan telah berkelakuan buruk atau tidak mentaati syarat-syarat yang ditcntukan.
Walaupun tidak sama persis dan terdapat modilikasi, namun para yuris Belanda merujuk model probation di Inggris melalui the Probation of Offenders Act, dan mempelajari perkembangan pranata serupa di Belgia dan Perancis.

Sedangkan di Indonesia, walaupun Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie telah selesai dibuat pada tahun 1915. namun ketentuan mengenai pidana bersyarat tidak diikutsertakan. Terkait hal ini, Schcpper sebagaimana dikutip Utrecht memandang bahwa kondisi bangsa Indonesia berbeda dengan kondisi di Belanda. Menurut Schepper, sejak pencantuman ketentuan mengenai pidana bersyarat dalam WvS, telah ada lembaga Reclasering yang lengkap dan bekerja dengan baik, adapun di Indonesia tidak ada lembaga yang seperti itu, sehingga ketentuan mengenai pidana bersyarat di KUHP merupakan penyederhanaan ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP Belanda (Utroeht, 1958: 373-376).

Menurut Adami Chazawi (20(0: 54), walaupun disebut sebagai pidana bersyarat, namun pidana bersyarat bukan merupakan jenis pidana (strafsoort) sebagaimana tertulis dalam Pasal 10 KUHP. Pidana bersyarat lebih sebagai suatu sistem penjatuhan pidana tertentu (bersifat khusus) di mana dalam amar putusan ditegaskan bahwa pidana yang dijatuhkan tidak perlu dijalankan, namun dengan ketentuan untuk memenuhi syarat-syarat tertentu.

Dalam komentarnya terhadap KUHP, R. Socsilo (1988) menegaskan bahwa dengan dijatuhkannya pidana bersyarat. maka seorang terdakwa akan dipidana, tetapi pidananya tidak perlu dijalani, kecuali terpidana mclakukan tindak pidana lagi atau melanggar perjanjian (syarat) yang ditentukan hakim selama masa percobaan.
Jadi dalam hal penjatuhan pidana bersyarat, terdakwa tetap dijatuhi pidana, namun pidananya tidak dijalankan. Tujuan dari dijatuhkannya pidana bersyarat ini adalah untuk memberi kesempatan bagi terpidana agar selama waktu percobaan dapat memperbaiki diri dengan tidak berbuat tindak pidana atau tidak melanggar perjanjian (persyaratan) yang ditentukan hakim, dengan harapan apabila yang bersangkutan berhasil maka ia tidak perlu menjalankan pidana yang telah dijatuhkan hakim.

Syarat penjatuhan pidana bersyarat diatur dalam Pasal 14a ayal (1) KUHP yang menyatakan: Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti, maka dalam putusannya dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebablcan karena terpidana melakukan suatu perbuatan pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau karena terpidana sclama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan dalam perintah itu. 

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan kepada terdakwa pidana kurungan yang tidak temtasuk kurungan pengganti denda. Dengan diberikannya pidana bersyarat ini, maka terdakwa tidak perlu menjalani pidana penjara atau kurungan yang dijatuhkan olch hakim. Dalam pasal tersebut juga diatur mengenai adanya syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum dapat dilihai dari redaksi "...disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana ...", olch karena itu syarat umum tersebut adalah terdakwa tidak melakukan suatu tindak pidana selama masa pereobaan. Ketentuan mengenai syarat umum dan syarat khusus dipertegas dalam Pasal 14c ayat (1) KUHP. Ditambahkan oleh Muladi (1992: 63). dalam hal menyangkut pidana denda, maka pidana bersyarat dapat dijatuhkan, dengan batasan hakim harus yakin bahwa pcmbayaran denda betul-betul akan dirasakan berat oleh si terdakwa.

Dalam Pasal 14b KUHP, ditentukan bahwa untuk kejahatan dan pelanggaran (pelanggaran yang tersebut dalam Pasal 492, 504, 505, dan 536) masa percobaannya paling lama 3 (tiga) tahun, sedangkan bagi pelanggaran lainnya paling lama 2 (dua) tahun. Masa percobaan ini dimulai pada saat penjatuhan putusan telah menjadi tetap dan telah diberitahukan kepada terpidana menurut cara yang ditemukan.

Menurut Pasal 14c KUHP, dalam memberikan pidana bersyarat ini, hakim terlebih dahulu akan mengajukan syarat umum dan syarat khusus. Syarat umumnya adalah terpidana tidak akan melakukan tindak pidana selama masa percobaan. sedangkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu yang lebih pendek dari pada masa percobaanya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan dari tindak pidana yang dilakukannya. Dalam hal pemberian syarat-syarat tersebut, tidak boleh mengurangi kemerdekaan agama atau kemerdekaan politik terpidana.

Pelaksanaan pidana bersyarat ini diserahkan kepada lembaga yang diserahi untuk menjalankan putusan (Jaksa), untuk melakukan pengawasan agar syarat-syarat yang telah ditentukan hakim dipenuhi. Selanjutnya, Jaksa dapat memberikan usul kcpada hakim terkait dcngan pclanggaran atas syarat-syarat yang telah ditetapkan kepada terpidana, ketentuan ini dapat dilihat pada Pasal 14f KUHP.

Disamping pidana bersyarat, KUHP juga mengatur perihal pelepasan bersyarat. Pelepasan bersyarat diatur dalam Pasal 15, 15a, 15b dan 16 KUHP. Menurut KUHP, seorang terpidana yang sudah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari lamanya pidana penjara yang dijatuhkan, sekurang-kurangnya harus 9 (sembilan) bulan berhak untuk diberikan pelepasan bersyarat. Dalam pelepasan bersyarat juga ditetapkan adanya masa percobaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa peruobaan itu. 


3) Pidana Kurungan 
Pidana kurungan diancamkan kepada tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran. Namun demikian, ada beberapa kejahatan dalam KUHP yang diancam dengan pidana kurungan. Eddy Hiariej (20)4: 400) menyatakan baltwa pada awalnya, pidana kurungan dijatuhkan kepada delik-delik yang terkait dengan kesalahan moral. Bahkan menurut Hockema, pidana kurungan tidak mengakibatkan stigma buruk di masyarakat.

Menurut ketentuan dalam Pasal 18 KUHP, pidana kuningan dijatuhkan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. Apabila terdapat pemberatan pidana yang disebabkan karena perbarengan (concursus), pengulangan (recidive), atau dilakukan oleh pegawai negeri, maka pidana kurungan dapat ditambah inenjadi satu tahun empat bulan sebagai batas maksimum, dan sekali-kali tidak bolch melebihi baiasan tersebut. Sama seperti terpidana penjara, terpidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang dibebankan kepadanya, mcskipun pekerjaanya lebih ringan bila dibandingkan dengan terpidana penjara. 

Terpidana kurungan akan menjalani masa pidananya di daerah dimana dia berdiam ketika putusan hakim dijatuhkan. Salah satu hal yang membedakan antara pidana penjara dan kurungan terletak pada hak untuk memfasilitasi diri. Pidana penjara tidak mengenal hak memfasilitasi diri. Sedangkan pidana kurungan memperbolehkan terpidana kurungan dengan biaya sendiri, meringankan nasibnya menurut aturan-aturan yang berlaku. Hak demikian dikenal dengan nama hak pistole, 

4) Pidana Denda
Denda merupakan bentuk pidana tertua yang mungkin sama tuanya dengan pidana mati. Eksistensi pidana denda sudah ada scjak lama, sejak zaman masyarakat primitif sampai masyarakat modern. Dewasa ini, denda dijatuhkan terhadap delik yang sifatnya ringan, baik berupa kejahatan ringan ataupun pelanggaran (Hanualt: 1993: 53). Menurut Eddy Hiariej (20)4: 401), terdapat alasan-alasan yang menjelaskan pidana denda dikatagorikan sebagai jenis pidana. Pertama, pidana denda tidak menyebabkan stigma negatif di masyarakau kedua, pelaku yang dijatuhi pidana denda dapat tetap tinggal bersama keluarga dan lingkungan sosialnya; ketiga, pidana denda tidak menyebabkan pelaku kehilangan pekerjaan; keempat, pidana denda dengan mudah dapat dieksekusi; negara tidak menderita kerugian akibat panjatuhan pidana denda.

Di dalam KUHP, pidana denda diatur dalam Pasal 30-31. Menurut KUHP, pidana denda paling sedikit dua puluh lima sen. Setelah keluarnya Perppu No. 18 Tahun 1960, semua ketentuan denda dalam KUHP dilipatgandakan sebesar 15 kali, sehingga minimal denda dalam KUHP menjadi tiga rupiah tujuh puluh lima sen. Apabila kita cermati, ketentuan denda dalam KUHP tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk mengamisipasi hal tersebut, Mahkamah Agung mengeluarkan Perma No. 2 Tahun 2012. Maksud dari dikeluarkannya Perma tersebut untuk menyesuaikan nilai uang yang sudah sangat tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Hal ini dimaksudkan memudahkan penegak hukum khususnya hakim, untuk memberikan keadilan terhadap perkara yang diadili.
Secara garis besar, ada dua hal yang menjadi sorotan Perma, yaitu:
a) Batas kerugian "dua ratus lima puluh rupiah" dalam Pasal 364 (pencurian ringan), Pasal 373 (penggelapan ringan), Pasal 379 (penipuan ringan), 384 (perbuatan curang ringan), 407 (pengrusakan ringan) dan Pasal 482 (penadahan ringan) KUHP, harus dibaca menjadi Rp. 2.500.000.00 (dua juta lima ratus rupiah).
b) Tiap jumlah maksimum hukuman denda yang diancamkan dalam KUHP, kecuali Pasal 303 ayat (1) dan (2), 303 bis ayal (1) dan (2) , dilipatgandakan menjadi 10.000 (sepuluh ribu) kali.
5) Pidana Tutupan 
Dasar dari dicantumkannya pidana tutupan sebagai pidana pokok dalam sisiem pemidanaan Indonesia adalah UU No. 20 Tahun 1946. Pidana tutupan disediakan bagi orang yang melakukan kejahatan, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati. Pidana tutupan pada dasamya sama dengan pidana penjara, yaitu berupa perampasan kemerdekaan. Sclain itu, segala ketentuan pidana penjara berlaku bagi pidana tutupan, selama tidak bertentangan dengan karakteristik khusus pidana tutupan.

Menjadi suatu permasalahan dalam susunan pidana pokok adalah pidana tutupan berada pada urutan ke-5 setelah pidana denda. Ketentuan ini dapat kita lihat pada beberapa KUHP terjemahan, seperti KUHP versi BPHN atau KUHP terjemahan Andi Hamzah. Apabila diperhatikan ketentuan Pasal 4 UU 20/1946 yang menyatakan bahwa semua peraturan yang mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap Hukuman tutupan, maka beratnya pidana tutupan dapat disamakan dengan dengan pidana penjara.
Mengingat pula Pasal 69 ayat (1) KUHP yang menyatakan bahwa perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urut-urutan dalam pasal 10 KUHP, maka seyogianya pidana tutupan diletakkan pada urutan ketiga setelah pidana penjara, bukan diposisikan setelah pidana denda. 

6) Pidana Tambahan 
Pada dasarnya, pidana tambahan bersifat sebagai tambahan dari pidana pokok. Jadi tidak dapat berdiri sendiri. kecuali dalam hal-hal tertentu, misal dalam perampasan barang tenentu, Pidana tambahan bersifai fakultatif, artinya boleh dijatuhkan, boleh juga lidak dijatuhkan. 
Tetapi ada juga pidana tambahan yang bersifat imperatif (harus dijatuhkan), misal sebagaimana terdapat dalam Pasal 250 bis, 261, dan 275 KUHP. Dalam sistem pemidanaan KUHP, pidana tambahan tidak bisa dijatuhkan tanpa penjatuhan pidana pokok. Hal ini berarti pidana tambahan tidak bisa dijatuhkan secara mandiri. Pidana tambahan menurut Pasal 10 KUHP berupa: pencabutan hak-hak tertentu; perampasan barang-barang tertentu: pengumuman puiusan hakim.

7) Pencabutan hak 
Hak-hak terpidana yang dapat dicabut sebagai pidana tambahan adalah:
a) Hak memegang jabatan umum atau jabatan tertentu,
b) Hak memasuki angkatan bersenjata
c) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum,
d) Hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri,
e) Hak menjalankan kekuasaan sebagai bapak, menjalankan perwalian, atau pengampuan atas anak sendiri,
f) Hak menjalankan pencaharian.

Dalam hal pencabutan hak, hakim menentukan lamanya pencabutan hak sebagai berikut :
a) Jika terpidana dijatuhi pidana mati atau penjara scumur hidup, maka lamanya pencabutan hak adalah seumur hidup,
b) Dalam hal tepidana dijatuhi pidana penjara dalam waktu tertentu atau pidana kurungan, lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak ima tahun lebih lama dari pidana pokoknya,
c) Dalam hal terpidana dijatuhi pidana denda lamanya pencabutan paling sedikit dua tahun dan paling banyak lima tahun.

8) Perampasan barang 
Perampasan barang menurul KUHP ditujukan terhadap dua jenis barang, Pertama terhadap barang-barang hasil kcjahatan, kedua barang yang digunakan untuk melakukan kejahatan. Dalam hal ini, berlaku ketentuan umum bahwa barang-barang yang dirampas harus milik terpidana, terkecuali sebagaimana diatur dalam Pasal 250 bis KUHP.

9) Pengumuman putusan Hakim 
Menurut Pasal 43 KUHP, ditegaskan bahwa apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan berdasarkan aturan-aturan umum, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara melaksanakan perintah itu, atas biaya terpidana. Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim dapat menjadi penderitaan yang scrius apabila dilihat dari sudut pandang terpidana. Hal ini dikarcnakan pidana jenis ini langsung berkaitan dengan nama baik dan martabat seseorang.


2. Stelsel Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi 
Pasal 103 KUHP yang menyatakan, "Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika olch undang-undang ditentukan lain".
Maksud dari pasal ini adalah ketentuan Pasal 1-85 Buku I KUHP tentang ketentuan umum atau asas-asas, berlaku juga bagi tindak pidana yang diancam dengan undang-undang di luar KUHP, dengan catatan apabila undang-undang yang bersangkutan tidak mengatur lain. Oleh karena itu, Pasal 103 KUHP juga merupakan jembatan" antara KUHP sebagai induk hukum pidana materiil dan hukum pidana khusus. Dalam hal undang-undang Khusus tidak menentukan lain, maka beberapa ketentuan/asas dalam KUHP seperti asas legalitas, hukum transitoir, ruang lingkup berlakunya hukum pidana, sistem pemidanaan (termasuk juga di dalamnya stelsel pidana), percobaan (poging/attempt), penyertaan (deelneming/participation), gabungan delik (samenloop/concursus), dan lain-lainnya, secara otomatis berlaku bagi undang-undang yang bersangkutan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, ketentuan dalam bab I-V111 Buku I KUHP, berlaku pula terhadap undang-undang pidana di luar KUHP, tidak terkecuali UU No. 31 / 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (selanjuutya ditulis UU Tipikor). Dalam hal UU Tipikor menentukan suatu ketentuan yang sifatnya berlainan dengan ketentuan bab I-V111 Buku I KUHP, maka berdasarkan Pasal 103 serta mengingat asas lex specialis derogate legi generali, maka ketentuan dalam UU Tipikor yang digunakan sebagai aturan yang khusus. Dalam hal ini, stelsel pidana dalam UU Tipikor mengikuti KUHP.

UU Tipikor memberikan ancaman pidana berupa pidana mati, penjara, dan denda. Dari strafsoort yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, tidak ada pidana kurungan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Untuk lebih lengkpanya, jenis dan berat ringannya pidana yang ada dalam UU Tipikor dapat dilihat pada tabel berikut:

No.
Pasal
Uraian
Sanksi Pidana
1.
 2 ayat (1)
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korpomsi. 
 1. Penjam seumur hidup atau pidana penjam paling singkat 4 (empat) lahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahum dan
2. Denda paling sedikil Rp. 200.000.000,00 (dua mtus (uta rupiah) dan paling hanyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
2.
2 ayal (2)
memperkaya (ffri sendin atau 1. pidana mati; atau orang lain atau suatu korporasi dalam keadaan tertentu.
1. Pidana mati; atau 
2. penjara seumur hidup atau pidana penjam paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan 3. denda paling sedikil Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupjah). 
3.
3
menguntungkan din sendin atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena Jabatan atau kedudukan. 
 1. pidana penjara seumur hidup alau pidana penjara paling singkat 1 (salu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun., dan/alau
2. de. Paling .ikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh jula rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupjah).  
4.
5 ayat (1) 
memberi atau menjalikan sesuatu kepada pegawai negen atau penyelenggara negara 
1. penjara paling singkat 1 (satu) lahun dan paling lama 5 (lima) tahurr, dan/atau
2. pidana denda paling sedikil Rp 50.000.000,00 (lima puluh Juta rupiah) dan pahng banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).  
5.
5 ayat (2) 
pegawal negeri atau PenYeter199.r. nfflan3 Yan9 menerima pembedan atau janji 
1. penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahurr, dan/atau
2. pidana denda paling sedikil Rp 50.000.000,00 (lima puluh jula rupiah)dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh Juta rupiah).
6.
6 ayal (1)
membed alau menjanjikan sesuatu kepada hakim atau advokat
1. pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
2. pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupjah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh jula rupiah. 
7.
6 ayal (2)
haldm atau advokat yang menedma pembenan atau janji 
1. pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling larna 15 (lima belas) tahun; dan 2. Mdana denda paling sedikk Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah.
8.
7 ayat (1) 
Korupsi yang berkaitan dengan
1. pidana penjara paling perbuatan curang singkat 2 (dua) lahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun; danlatau 2. pidana denda paling sedikk Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ralus lima puluh juta rupiah).
9.
 7 ayat (2)
Bagl orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan alau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang
 1. pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahurr, danlatau
2. pidana denda paling sedildt Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).


10.
8
Pegawai negeri atau orang selain pegawai neged yang ditugaskan menjatankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut
1. pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
2. pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah),
11.
9
Pegawal negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi
1. pidana penjara paling singkat 1 (salu) lahun dan paling lama 5 (lima) tahun; dan
2. pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
12.
10
Pegawal negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja melakukan penggelapan dalam jabatan
1. pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun; dan
2. pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000.00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
13.
11
Pegawal negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
1. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun; dan/alau
2. Pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
14.
12
Delik gratifikasi
1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun; dan
2. Pidana denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (Dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah)
15.
13
Memberoi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut
1. Pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun; dan/atau
2. Denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
16.
21
Mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi.
1. Penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun; dan/atau
2. Denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
17.
22
Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar
1. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan Paling lama 12 (dua belas) tahun; dan/atau
2. denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
18.
23
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429, atau Pasal 430 KUHP.
1. Pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun, dan/atau
2. Denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
19.

Saksi yang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal laln yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya Identitas pelapor.

1. pidana penjara paling lama 3 (tiga) lahun, dan/atau
2. denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).

Dari keseluruhan tindak pidana yang diformulasikan dalam UU Tipikor sebagaimana tersaji dalam tabel di atas, dapat kita lihat ada pola ancaman pidana dengan model perumusan yang berbeda. Ada pasal yang sanksinya diancamkan secara alternatif, kumulatif, dan gabungan/campuran.

Model perumusan ancaman pidana secara alternatif dapat kita lihat dalam Pasal 2 ayat (2). Dalam pasal tersebut, sanksi pidana mati menjadi sanksi terberat yang dialternatifkan dengan pidana penjara scumur hidup atau dalam waktu tertentu (minimal 4 tahun maksimal 20 tahun). Terkait dengan hal ini, maka hakim diberikan kewenangan memilih apakah akan menjatuhkan pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara dalam waktu tertentu.

Model perumusan ancaman pidana secara kumulatif dapat dilihai pada perumusan Pasal 2 ayat (1). Dalam pasal tersebut, sanksi pidana dijatuhkan sceara kumulatif, dimana pidana penjara harus discrtai pidana denda. Model prumusan alternatif tidak mcmberikan kewenangan kepada hakim untuk memilih salah satu. Mau tidak mau, suka tidak suka, apabila pelaku sudah terbukti secara sah dan meyakinkan mclanggar ketentuan Pasal 2 UU Tipikor, maka hakim akan menjatuhkan dua jenis pidana kepada terdakwa. 

Model perumusan ancaman pidana campuran dilakukan dengan menggabungkan model alternatif dan kumulatif. Model ini memiliki ciri pengancaman pidana yang diserta dengan frasa "dan/atau". Model ancaman pidana secara gabungan ini merupakan model paling banyak diterapkan dalam UU Tipikor. Dalam model gabungan, hakim diberikan kewenangan seluasnya untuk memilih salah satu sanksi pidana aiau menjatuhkan kedua sanksi sekaligus.

Perumusan sanksi pidana dalam UU Tipikor, menganut ancaman minimal khusus. Hal ini berarti, ketentuan umum pidana penjara dan denda sebagaimana diatur dalam KUHP tidak berlaku. Pengaturan pidana minimal khusus dalam sebuah undang-undang khusus bisa menimbulkan suatu permasalahan yuridis.
Bcrbeda dengan UU yang lama (UU No. 3 Tahun 1971), di dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, ada ancaman pidana minimal khusus di dalam prumusan deliknya. Sayangnya, pencantuman minimal khusus dalam UU Tipikor tidak disertai dengan ketentuan khusus untuk menerapkan/mcnjatuhkan pidana minimal khusus itu.
Pencantuman pidana minimal khusus dalam perumusan delik merupakan suatu penyimpangan dari sistem pemidanaan induk dalam KUHP. Penyimpangan ini dapat dibenarkan, namun scharusnya disertai dengun aturan penerapannya secara khusus, karena Pertama, suatu ancanum pidana tidak dapat begitu saja diterapkan/dioperasionalkan hanya dengan dicantumkan dalam prumusan delik; pencantuman "ancaman pidana" hanya merupakan sub-sistem dari keseluruhan sistem pemidanaan. Kedua, untuk dapat ditcrapkan, harus ada aturan pemidanaan (straftoemetingsregel)-nya terlebih dahulu.

Selain strafsoort sebagaimana diuraikan di atas, UU Tipikor juga menambahkan jenis pidana tambahan selain pidana tambahan yang diatur dalam KUHP. Pidana tambahan dalam UU Tipikor yaitu:
a. prampasan barang bergerak yang benvujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diproleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan. begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahann untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. pencabutan scluruh atau scbagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

Jika terpidana tidak membayar uang pcngganti dalam walau paling waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang umuk menutupi uang pengganti tersebut. Apabila terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

UU Tipikor juga mcngatur ketentuan tentang subyek hukum korporasi. Dengan diaturnya korporasi sebagai subyek hukum pidana dalam UU Tipikor, maka ada beberapa ketentuan yang disesuaikan dengan karakteristik korporasi. Sebagai contoh, UU Tipikor menyatakan bahwa pidana pokok yang dapat dijaiuhkan kepada korporasi adalah pidana denda, dengan ketentuan ancaman maksimal denda ditambah 1/3. Secara tersirat, ketentuan tersebut menunjukkan bahwa pidana mati, penjara, dan kurungan tidak bisa dijatuhkan kepada korporasi.

Patut disayangkan, UU Tipikor tidak mengatur ketentuan lanjutan tentang strafmodus pidana denda bagi korprasi. Hal ini berbeda dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Pasal 9 UU No. 8 Tahun 2010 menyatakan dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda, pidana denda tersebut diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. Apabila penjualan harta kekayaan yang dirnmpas tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personil pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka dalam hal tindak pidana pencucian uang dimana korporasi menjadi pelakunya, apabila korporasi tidak mampu membayar denda, maka akan dilakukan perampasan aset. Ketentuan ini tidak dimiliki oleh UU Tipikor.

Selain itu, patut disayangkan, UU Tipikor tidak mengatur tentang jenis pidana tambahan bagi korporasi. Hal ini patut diperhatikan, mengingat korporasi sebagai badan hukum memiliki karakteristik yang fiktif, sehingga sanksi pidananya harus disesuaikan dengan karakteristik korporasi. Sebagai perbandingan. UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menentukan secara khusus pidana tambahan bagi korporasi, yaitu :
1. pengumuman putusan hakim;
2. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
3. pencahutan izin usaha;
4. pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
5. perampasan aset Korporasi untuk negara; dan/atau
6. pengambilalihan Korporasi olch negara.


KEGIATAN BELAJAR 2 
KELEMAHAN DOGMATIK SISTEM PEMIDANAAN TINDAK PIDANA KORUPSI 

Sistem Pemidanaan dalam arti sempit, mengenai istilah Aturan Umum (General Rule) dan Aturan Khusus (Specialis Rules). Aturan Umum  merupakan ketentuan-ketentuan hukum pidana yang bersifat umum, yang berlaku untuk seluruh lapangan hukum pidana, sedangkan Aturan Khusus merupakan ketentuan-ketentuan yang khusus, yang menyebut perbuatan-perbuatan mana yang dapat dipidana serta ancaman pidananya. Konsekuensi dari adanya aturan umum dan aturan khusus dijembatani dengan adanya Pasal 103 KUHP atau dapat disebut dengan Pasal Jembatan. 

Pasal 103 KUHP memuat setidaknya dua terkait dengan fungsinya sebagai pasal yang menjembatani ketentuan general rule dengan specialis rules. Bunyi pasal yang juga merupakan pasal pamungkas dari Buku I KUHP ini adalah sebagai berikut :
"Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain".
Inti dari pasal ini dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Ketentuan apa yang dijembatani olch Pasal 103 KUHP; dan
Terdapat suatu pembatasan yang dilakukan Pasal 103 KUHP terkait dengan ketentuan general rule yang dapat dijembatankan ke dalam specialis rules, yaitu hanya terbatas pada ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII Buku I KUHP. Hal ini berarti masih ada satu Bab dalam Buku I, yaitu Bab yang tidak dapat dijembatani pasal ini. Bab IX Buku I KUHP yang berisikan mengenai arti beberapa istilah yang dipakai dalam kitab undang-undang, mcmang tidak dapat digunakan untuk ketentuan di luar KUHP.
b. Kapan ketentuan tersebut dijembatani
Pasal 103 KUHP tidak serta mcrta memungkinkan digunakannya aturan umum pada semua aturan khusus, karena penggunaannya juga dibatasi waktu. Aturan umum dapat digunakan pada Aturan khusus yang ada di luar KUHP, manakala aturan khusus tersebut tidak mengatur secara tersendiri. Apabila suatu aturan khusus membuat aturan yang menyimpang dari Aturan Umum KUHP, maka hal tersebut diperkenankan melalui Pasal 103.

Hubungan yang sedemikian rupa antara Aturan umum dengan Aturan khusus tersebut, mengisyaratkan bahwa dalam merumuskan peraturan perundang-undangan di luar KUHP, harus letap memperhatikan hubungan dengan aturan umum Buku 1 KUHP. Apabila suatu peraturtut pidana di luar KUHP memunculkan ketentuan yang menyimpang dari Buku 1 KUHP, akan teiapi tartpa disertai ketentuan pelaksana yang jelas, maka akan menimbulkan masalah yuridis. Masalah yuridis atau masalah dogmatis muncul sehubungan dengan adanya konsekuensi yuridis dari setiap istilah yuridis. Terkhusus pada ketentuan mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggunakan UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, memunculkan beberapa masalah dogmatik yang akan diuraikan dalam subbab-subbab berikut.

A. MASALAH KUALIFIKASI DELIK 

dari sifatnya. UU No. 31 Tahun 1999 scbagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 termasuk ke dalam undang-undang yang murni mengatur mengenai hukum pidana. Ciri khas dari undang-undang yang sifatnya murni mengatur mengenai hukum pidana adalah di dalamnya langsung dimuat mengenai perbuatan-perbuatan yang dipandang sebagai tindak pidana.
Di dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No 20 Tahun 2001 telah dimuat mengenai perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi, akan tetapi undang-undang tersebut tidak mencantumkan ketentuan formal (pasal) yang mcnyatakan kualifikasi juridis dari tindak pidana korupsi, apakah sebagai "kejahatan" atau “pelanggaran". Jadi berbeda dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1971 (UU lama) yang menyatakan secara tegas, bahwa tindak pidana korupsi merupakan "kejahatan" (Pasal 33).

Kualifikasi juridis merupakan pembagian tindak pidana yang didasarkan pada pembagian yang dilakukan oleh KUHP, yaitu ke dalam kelompok kejahatan dan pelanggaran. Dalam konteks keilmuan hukum pidana, dikenal pula pembagian jenis tindak pidana secara keilmuan (kualifikasi keilmuan), seperti delik materiil, delik formil, dclik aduan, dan sebagainya.

Penetapan kualifikasi delik sebagai "kcjahatan" merupakan "penetapan kualifikasi yuridis" yang mempunyai akibat/konsekuensi yuridis, baik dalam arti konsekuensi yuridis materill (yaitu terikat pada aturan umum dalam KUHP) maupun konsekuensi yuridis formal (dalam KUHAP), sepanjang tidak ditentukan lain oleh UU. Penetapan kualifikasi yuridis ini diperlukan untuk menjembatani berlakunya aturan umum KUHP terhadap hal-hal yang tidak diatur dalam UU di luar KUHP (Nawawi Arief, 2010 153). Dengan adanya kualifikasi juridis, dapat timbul masalah dalam menerapkan ketentuan umum Buku I KUHP terhadap kasus-kasus korupsi, karena KUHP membedakan "ketentuan umum untuk kejahatan" dan "ketentuan umum untuk pelanggaran".

Tidak ditegaskannya lagi kualifikasi delik korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU No. 20 Tahun 2001 sebagai "kejahatan" mungkin dikarenakan pembuat UU sudah tidak lagi membedakan akibat Hukum/pemidanaan untuk ''percobaan" dan "pembantuan", yaitu kedua-duanya diancam pidana sama dengan pelaku delik.
Padahal akibat hukum dari pembedaan "kejahatan" dan "pelanggaran" bukan hanya pada masalah percobaan dan pembantuan, tetapi juga pada masalah lain, seperti dalam hal ada "concursus", "daluwarsa pcnuntutan dan pelaksannan pidana", berlakunya "asas nasional aktif" dalam Pasal 5 (1) ke-2 KUHP, dan sebagainya.

B. MASALAH PIDANA MINIMUM KHUSUS 

Berbeda dengan UU TPK yang lama (UU No. 3 Tahun 1971), di dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001, setiap delik dirumuskan dalam satu pasal tersendiri disertai ancaman pidananya. Jadi, sistem perumusan ancaman pidananya menggunakan sistem absolut, sedangkan Undang-Undang TPK tahun 1971 menggunakan sistem relatif. Di samping itu, UU TPK saat ini menggunakan pula sistem ancaman pidana minimal khusus di dalam perumusan delik. Hal ini juga berbeda dengan UU TPK iahun 1971 yang belum menggunakan sistem ancaman minimal khusus.

Ancaman minimal yang diatur dalam KUHP adalah ancaman minimal umum. Sehingga, ancaman pidana minimal yang dilakukan dalam undang-undang di luar KUHP (ancaman minimal khusus) merupakan hal yang sifatnya pengecualian dari ancaman minimal umum. Hal ini tentu saja diperbolankan menurut ketentuan Pasal 103 KUHP, akan tetapi ketika pengaturan tersebut tidak disertai dengan ketentuan implementasi ancaman minimal khusus tersebut, maka akan menimbulkan permasalahan dogmatis.

Perumusan ancaman minimal khusus dalam UU TPK sangat disayangkan tidak dilengkapi dengan ketentuan khusus dalam penerapan/penjatuhan pidana minimal khusus itu. Pencantuman pidana minimal khusus dalam perumuan delik merupanan suatu penyimpangan dari sistem pemidanaan induk dalam KUHP. Penyimpangan ini dapat dibenarkan, namun seharusnya disertai dengan aturan penerapannya secara khusus, karena :
1. suatu ancaman pidana tidak dapat begitu saja diterapkan/dioperasionalkan hanya dengan dicantumkan dalam perumusan delik pencantuman "ancaman pidana" hanya merupakan subsistem dari keseluruhan sistem pemidanaan;
2. untuk dapat diterapkan, harus ada aturan pemidanaan (straftoemetingsregel) nya terlebih dahulu;
3. aturan penerapan pidana yang ada selama ini diatur dalam "aturan umum" KUHP (sebagai sistem induk):
4. aturan (pemidanaan) umum dalam KUHP semuanya bcroricntasi pada sistem maksimal, tidak pada sistem minimal;
5. Oleh karena itu, apabila UU di luar KUHP akan menyimpang dari sistem umum KUHP, maka UU di luar KUHP seharusnya mem-buat aturan (pemidanaan) khusus sesuai dengan ketentuan dalam Pasal. 103 KUHP.

Tidak adanya aturan pemidanaan untuk menerapkan sistem minimal khusus itu, dapat menimbulkan masalah juridis dalam praktek

C. MASALAH SUBJEK PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI 

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), turunan Wetboek van Strafrecht, sebagai induk peraturan hukum pidana di Indonesia, mengakui bahwa pada dasamya yang dapat melakukan tindak pidana hanyalah manusia (natuurlijke personen). Hal tersebut disimpulkan dari beberapa hal sebagai berikut:
1. Rumusan delik dalam KUHP lazim dimulai dengan kata-kata "barangsiapa“. Kata "barangsiapa" ini tidak dapat diartikan lain daripada orang.
2. Pasal 10 KUHP, yang terkait dengan jenis-jenis pidana, baik pidana pokok maupun pidana tambahan. Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia.
3. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari Hukum pidana yang dilihat ada/tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan adalah manusia.

Penyebutan manusia sebagai subyek hukum dalam KUHP, mengalami perkembangan seiring dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memunculkan pelaku usaha yang semula dilakukan secara individual berkembang dalam bentuk kelompok-kelompok usaha yang bergabung dalam bentuk korporasi baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum.
Korporasi-korporasi yang kemudian mcnguasai kegiatan ekonomi ini, di dalam aktivitasnya sering menimbulkan perselisiltan dalam rangka mengejar keuntungan, sehingga kadang-kadang, bahkan scring dilakukan dengan eara-cara ilegal atau melanggar hukum. yang pada akhimya memunculkan jenis kejahatan yang berdimensi ekonomi yang disebui kejahatan ekonomi atau economic crime.
Di berbagai negara, korporasi muncul dalam bentuk dan ukuran yang bervariasi yang mendominasi kegiatan ekonomi, baik di bidang industri, komersial dan sektor sosial, Kemunculan ini diikuti dengan kecenderungan untuk mewaspadai the white collar or business crime area, yang melibatkan korporasi seperti di babagai bidang bisnis . Salah satu bentuk dari "white collar crime" adalah "corporate crime" atau kejahatan korporasi.
Bentuk-bentuk kcjahalan korporasi beserta korbannya sangat beraneka ragam dimana pada dasarnya mempunyai nilai ekonomis, seperti kejahatan di bidang konsumen, kejahatan di bidang lingkungan hidup, kejahatan perpajakan, kejahatan pencucian uang dan korbannya juga sangat luas bisa individu, kelompok, masyarakat dan negara.

Tidak dapat diingkari lagi bahwa korporasi memiliki identitas hukum tersendiri, yang terpisah dari pemegang saham, direktur dan para pejabat korporasi lainnya. Korporasi dapat menguasai kekayaan, mengadakan kontrak, dapat menggugat dan dapat pula digugat. Pemilik atau pemegang saham dapat menikmati tanggurigjawab terbatas (limited liability); mereka tidak secara personal bertanggungjawab atas utang atau kewajiban korporasi. Dengan pendekatan teori organik (organic theory) maka tanggungjawab yang sebenamya dari korporasi terletak pada struktur organisasionalnya, kebijakannya dan kultur yang diterapkan dalam korporasi.

Naskah Akademik RUU KUHP tahun 2015 menyebutkan, dalam kerangka pertanggungjawaban pidana di samping pertanggungjawaban pidana dari manusia alamiah (natural person), secara umum diatur pula pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal responsibility) atas dasar teori identifikasi, mengingat semakin meningkatnya peranan korporasi dalam tindak pidana baik dalam bentuk crime for corporarion yang menguntungkan korporasi maupun dalam bentuk corporate criminal, yaitu korporasi yang dibentuk untuk melakukan kejahatan atau untuk menampung hasil kejahatan. dalam hal ini korporasi dapat dipertanggungjawabkan bersama-sama pengurus (by-funishment provision) apabila pengurus korporasi (manusia alamiah) yang memiliki key positions dalam struktur kepengurusan korporasi memiliki wewenang untuk mewakili, mengambil kcputusan dan mengontrol korporasi, mclakukan tindak pidana untuk keuntungan korporasi yang bertindak baik secara individual atau atas nama korporasi.
Jadi ada power decision dan decision accepted by corporation as policy of the corporation. Dalam hal ini mens rea dan manusia alamiah pengurus diidentitikasikan sebagai mens rea korporasi. Tindak pidana dilakukan olch korporasi jika dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Pengaturan yang muncul dalam RKUHP 2015 mengenai subyek hukum pidana berupa Korporasi, menandakan bahwa pertanggungjawaban korporasi yang semula hanya berlaku untuk tindak-tindak pidana tertentu di luar KUHP, berlaku juga secara umum untuk tindak-tindak pidana lain baik di dalam maupun di luar KUHP.
Sanksi terhadap korporasi dapat berupa pidana (straf), namun dapat pula berupa tindakan tata tertib (maatregel). Dalam hal ini kesalahan dari korporasi diidentifikasikan dari kesalahan pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional (mempunyai kewenangan untuk mewakili korporasi, mengambil keputusan atas nama korporasi dan kewenangan menerapkan pengawasan terhadap korporasi). yang melakukan tindak pidana dengan menguntungkan korporasi, baik sebagai pelaku, sebagai orang yang menyuruh lakukan, sebagai orang yang ikut serta melakukan, sebagai penganjur maupun sebagai pembantu tindak pidana yag dilakukan bawahannya dalam lingkup usaha atau pekerjaan korporasi tersebut.

Di dalam literatur dijumpai yang berhubungan dengan korporasi, namun memiliki pengertian yang berbeda. yaitu  :
1. Crimes for corporation; ini merupakan kejahatan korporasi sehingga dapat dikatakan "corporate crime are dearly committed for the emporate and not against" artinya kcjahatan korporasi dilakukan untuk kepentingan korporasi dan bukan sebaliknya.
2. Crime againsr corporation; atau kejahatan tahadap korporasi sering juga diberi nama dengan sebutan "employee crimes" ialah kejahatan yang dilakukan olch para karyawan terhadap korporasi, seperti penggelapan dana perusahaan oleh pejabat atau karyawan perusahaan.
3. Criminal corporation;  ialah korporasi yang sengaja didirikan untuk melakukan kejahatan, disini korporasi hanyalah sebagai topeng untuk menyembunyikan wajah asli dari pelaku kejahatan.

A.L.1 van Strien, mengemukakan tiga teori dasar dalam menentukan badan hukum (korporasi) scbagai subjek hukum pidana ialah :
1. Ajaran yang bertendensi "psikologis" dari J. Remmelink, yang berpendapat bahwa hukum pidana mcmandang manusia sebagai makhluk rasional dan bersusila (redelijk zedelijk wezen). 2. Pendekatan yang bertendensi "sosiologis" dar J. Ter Heide, dimana yang menjadi pokok perhatian bukanlah manusia tetapi tindakan (berkaitan dengan ini Ter Heide rnenyebutnya scbagai hukum pidana yang dilepaskan dari manusia — ontmenselijk strafrecht).
3. Wawasan dari A.C.'t Hart, dimana pengertian "subjek hukum" dipandang sebagai pengertian yuridis yang Contrafaktisch.

Berkailan dengan subjek hukum pidana korporasi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan salah satu undang-undang hukum pidana di luar KUHP yang telah merumuskan Pasal 1 angka 3 UU tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU TPK), merumuskan bahwa yang dimaksud dengan "Setiap Orang" adalah orang prseorangan atau termasuk korporasi. Pengertian korporasi diatur dalam Pasal 1 angka 1 sebagai kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Hal ini merupakan suatu kemajuan dibandingkan dengan UU TPK tahun 1971 (UU No. 3 Tahun 1971), karena pada undang-undang sebelumnya belum dikenal adanya subjek hukum berupa korporasi.

Dapat dikenakannya sanksi pidana/tindakan kepada korporasi dalam perkara korupsi ini cukup beralasan dan sesuai denpn beberapa rekomendasi Kongres PBB (mengenai "The Prevention of Crime and Treatment of Offenders"), antara lain :
1. Dalam rekomendasi Kongres PBB ke-8/1990 juga ditegaskan, agar ada tindakan terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam perkara korupsi ("take appropriate measures against enterprises involved in coruption").
2. Dalam dokumen Kongres PBB ke-9/1995 di Kairo (dokumen A/CONF. 169/5, P.23) antara lain ditegaskan sebagai berikut :
"Korporasi, asosiasi kriminal atau individu mungkin tcrlibat dalam "penyuapan para pjabat" untuk berbagai alasan yang tidak semuanya bersifat ekonomis. Namun dalam banyak kasus, masih saja penyuapan digunakan untuk mencapai keuntungan ekonomis. Tujuannya ialah membujuk para pejabat untuk memberikan berbagai bentuk perlakuan khusus/istimewa (preferential treatment) antara lain :
a. Memberi kontrak (awarding a contract);
b. Mempereepat/memperlancar izin (expediting a license)
c. Membuat prkecualian-perkecualian atau menutup mata terhadap pclanggaran peraturan (making exceptions to regulatory standards or turning a blind eye to violantions of those standards)."

Ketentuan mengenai perlanggungjawaban korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 20 dengan beberapa pengaturan sebagai berikut :
1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya. 2. Tindak pidana Korupsi dilakukan oleh korpornsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
4. Pengurus yang mcwakili korporasi tersebut dapatdiwakili olch orang lain.
5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

Berdasarkan pengaturan yang ada dalam Pasal 20 tersebut, terkait dengan penanggungjawaban korporasi yang diatur dalam UU TPK, dapat disarikan sebagai berikut :
1. Pihak yang dipertanggungjawabkan pidana dalam hal TPK dilakukan oleh korporasi adalah korporasi dan atau pengurusnya.
2. Kriteria TPK dilakukan oleh Korporasi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
3. Strafsoort untuk korporasi pelaku TPK adalah pidana denda, dengan strafmaat sebesar maksimum pidana untuk orang-perorang ditambah sepertiga.

Perumusan ketentuan tersebut dapat dikatakan sudah cukup baik, meskipun masih diperlukan kajian lebih lanjut terkait dengan pidana bagi korporasi pelaku tindak pidana korupsi. Mengingat hakikat dari korporasi, memang pidana pokok yang paling tepat adalah pidana denda. Akan tetapi, yang belum diformulasikan dari ketentuan tersebut adalah mengenai pidana pengganti denda, ketika korporasi yang dijatuhi pidana denda tersebut tidak sanggup membayar dendanya.

Ketentuan umum dalam Buku I KUHP memberi pengaturan terkait dengan pidana kurungan pengganti denda dalam Pasal 30, yaitu :
1. Ayat (2) : Jika denda tidak dibayar, lalu diganti dengan kurungan:
2. Ayat (3) : Lamanya kurungan pagganti paling sedikit adalah satu hari dan paling lama enam bulan;
3. Ayat (4) : Dalam putusan Hakim lamanya kurungan pengganti ditetapkan demikian jika dendanya lima puluh sen atau kurang, dihitung satu hari: jika lebih dari lima puluh sen, tiap-tiap lima puluh sen dihitung paling banyak satu hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup, lima puluh sen:
4. Ayat (6) : Kurungan pengganti sckali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan.

Aturan umum terkait dengan pidana kurungan pengganti denda tersebut tentu tidak dapat diterapkan untuk subjek hukum berupa korporasi, karena KUHP tidak mengenal subjek hukum korporasi. Selain itu, pada hakikatnya korporasi tidak mungkin diberikan pidana yang sifatnya pembatasan kemerdekaan. Besaran pidana denda yang lebih banyak sepertiga dibanding pidana denda yang diperuntukkan bagi orang-perorang juga menimbulkan permasalahan andaikan dapat diterapkan.
Besaran pidana denda tersebut dirasa tidak sebanding dengan aturan umum yang mana masih menggunakan satuan denda berupa sen, yang sudah sangat jauh dengan nilai nominal mata uang saat ini, Kondisi ini mempengaruhi penerapan pidana kurungan pengganti denda, yang memiliki potensi lebih banyak dipilih, daripada membayar denda ratusan juta rupiah. Hal inilah yang muncul sebagai masalah juridis atau masalah dogmatis terkait dengan subjek hukum pidana korporasi dalam UU TPK.

D. MASALAH PENERAPAN PIDANA MAT1 
UU No. 31 Tahun 1999 scbagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 memuat di dalamnya ancantan pidana mati, yaitu dalam Pasal 2 sebagai berikui : 
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) sebagaimana telah diubah dalam UU No. 20 tahun 2001 memberikan penjelasan mengenai “keadaan tertentu" yang menjadi syarat pidana mati dapat dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan "keadaan tcrtentu" dalam ketentuan ini adalah kcadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang mcluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.

Penjelasan Umum Undang-Undang No 31 Tahun 1999 menyatakan, bahwa di-ubahnya UU No, 3 Tahun 1971 (antara lain dengan diadakannya ancaman pidana mati, pidana minimal khusus dan pidana denda yang tinggi) dimaksudkan untuk mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi. Dengan demikian, diadakannya ancaman pidana mati itu merupakan suatu pilihan kebijakan untuk menunjukkan kescriusan pemerintah dan DPR dalam memberantas korupsi.

Dalam menetapkan suatu kebijakan, bisa saja orang berpendapat , atau kontra terhadap penggunaan pidana mati sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi kejahatan. Namun setelah kebijakan diambil/diputuskan dan kemudian dirumuskan (diformulasikan) dalam suatu undang-undang, maka dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana (penal policy) dan kebijakan kriminal (criminal policy), kebijakan formulasi pidana mati itu tentunya diharapkan dapat diterapkan pada tahap aplikasi. Masalahnya adalah, apakah kebijakan formulasi pidana mati dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 cukup operasional/fungsional untuk diterapkan secara efektif dalam rangka memberantas korupsi di lndonesia? 

Dilihat dari kebijakan formulasinya, ketentuan pidana mati dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 dapat menimbulkan masalah juridis dan mengandung beberapa kelemahan, sehingga memberi kesan "kekurangseriusan" pembuat undang-undang untuk menerapkan pidana mati. Beberapa kelemahan itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Ketentuan mengenai pidana mati dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999, hanya diatur dalam satu pasal, yaitu Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam kendaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan", Selanjutnya dalam "Penjelasan Pasal 2 ayat (2)" dinyatakan :
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pcmberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya scsuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonami dan moneter.

2. Dari perumusan di atas terlihat, bahwa pidana mati merupakan pemberatan pidana apabila TPK (Tindak Pidana Korupsi) dilakukan "dalam keadaan tertentu". Kebijakan formulasi yang demikian mengandung beberapa kelemahan, antara lain :
a. Pidana mati sebagai pemberat pidana, hanya diancamkan untuk TPK tertentu dalam Pasal 2 ayat (1), yaitu "mclakukan perbuatan memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi secara melawan hukum". Jadi tidak ditujukan kepada semua bentuk TPK, padahal dalam "Penjelasan Umum" dinyatakan, bahwa tujuan dibuatnya Undang-Undang No 31 Tahun 1999 ini (sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971) adalah untuk memberantas "setiap bentuk tindak pidana korupsi".

b. Dengan diancamkannya pidana mati (sebagai pemberatan pidana) hanya untuk TPK dalam Pasal 2, berarti secara formal pidana mati tidak ditujukan terhadap TPK lainnya, khususnya TPK yang berupa "penyalahgunaan kewenangan/kesempatan/sarana karena jabatan atau kedudukan" (diatur dalam Pasal 3). Padahal TPK dalam Pasal 3 inipun diancam dengan maksimum pidana yang sama dengan delik dalam Pasal 2 (1) yaitu diancam dengan pidana seumur hidup atau penjara 20 tahun. Bahkan dalam pandangan masyarakat dan dari hakikat korupsi sebagai delik jabatan, perbuatan "menyalahgunakan kewenangan jabat-an/kedudukan" (Pasal. 3) dirasakan lebih berat, lebih jahat, atau lebilt tercela daripada "memperkaya diri" (Pasal. 2): setidak-lidak-nya harus dipandang sama berat, dan oleh karenanya juga layak untuk diancam dengan pidana mati.

c. Kelemahan lain, berbitan dengan formulasi "keadaan tertentu" yang menjadi alasan pemberatan pidana untuk dapat dijatuhkan-nya pidana mati. Dalam berbagai formulasi UU, "kcadaan tertentu" yang menjadi alasan pemberatan pidana pada umumnya dirumuskan sccara tcgas dalam perumusan delik yang bersangkutan (lihat misalnya pemberatan pidana untuk penganiayaan dalam Pasal 356 KUHP dan pemberatan pidana untuk pencurian dalam Pasal 365 KUHP).
Namun dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No 31 Tahun (999, "kcadaan tertentu" yang menjadi alasan pemberatan pidana itu tidak dirumuskan secara tegas dalam perumusan pasal, tetapi hanya dimasukkan dalam "penjelasan Pasal 2", yaitu apabila TPK dalam ayat (1) dilakukan :
1) Pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan UU yang berlaku,
2) Pada waktu terjadi bcncana alam nasional:
3) Sebagai pengulangan: atau
4) Dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter,

d. "Keadaan tertentu" yang menjadi alasan/syarat untuk dapat dijatuhkannya pidana mati dalam penjelasan Pasal 2 di atas, sulit atau jarang terjadi, terutama syarat "negara dalam keadaan bahaya", adanya "bencana alam nasional", dan adanya "krisis ekonomi dan moneter". Keadaan-keadaan tersebut mungkin baru muncul sekali dalam rentang waktu sekitar 30 - 60 tahun, seperti munculnya "gempa tsunami" dan "krismon",

e. "Kcadaan tertentu" yang paling mungkin terjadi adalah "pengulangan tindak pidana" (recidive). Namun sangat disayangkan, Undang-Undang No 31 Tahun 1999 ini tidak memuat aturan maupun pengertian/ batasan "recidive", padahal "pengulangan" merupakan suatu istilah teknis juridis. Sebagai suatu istilah juridis, scharusnya ada pengertian/batasan/aturannya sebagaimana istilah juridis lainnya (seperti istilah "percobaan", "pembantuan", "permufakatan jahat"). Terlebih dalam KUHP (sebagai aturan induk), juga tidak ada aturan umum tentang recedive, yang ada hanya aturan khusus di dalam Buku II (Kejahatan) dan Buku III (Pelanggaran).
Jadi sistem yang berlaku saat ini menganut "recidive khusus", bukan "recidive umum". Dianutnya "recidive khusus" inipun terlihat juga dalam UU khusus di luar KUHP, antara lain dirumuskan dalam Pasal 96 UU Narkotika No. 22/1997 yang menyatakan :
Barang siapa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun melakukan pengulangan tindak pidana scbugaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan Pasal 87 pidananya dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana pokok. kecuali yang dipidana dengan pidana mati, seumur hidup alau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Demikian pula Pasal 72 UU No. 5/1997 (lentang Psikotropika), mengandung di dalamnya aturan recidive sebagai berikut :
Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau onmg yang di bawah pengampuan atau ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancanum pidana ditambah sepeniga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.

f. Dengan tidak adanya aturan tentang "pengulangan (recidiver)" di dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999, maka tidak jelas apa yang menjadi syarat-syarat pengulangan atau kapan dikatakan ada pengulangan :  
1) baik syarat "tenggang waktu" pengulangannya, maupun
2) syarat "perbuatan (tindak pidana) yang diulangi.
Untuk syarat "tindak pidana yang diulangi", memang di dalam Pasal 2 (2) UU TPK di atas sudah disebutkan. Namun dengan tidak disebutkannya batas tenggang waktu pengulangannya dan sejak kapan tenggang waktu itu dihitung, hal ini dapat menimbulkan masalah.
Di samping itu, apabila TPK yang diulangi (dilakukan kedua kali dst.) adalah TPK lain. misal TPK dalam Pasal 3 (penyalahgunaan wewenang jabatan), atau delik dalam Pasal 8 (melakukan penggelapan uang/surat berharga karena jabatan), atau delik dalam Pasal 10 (pejabat yg menggelapkan barang bukti), atau delik dalam Pasal 12 (pemerasan oleh pejabat) atau lainnya, maka secara juridis formal tidak dapat dikatakan ada pengulangan dan dengan demikian si pelaku akan lolos dari ancaman pemberatan pidana mati, atau setidak-lidaknya tidak ada pemberatan pidananya.

g. Walaupun Undang.Undang No 3 Tahun 1971 dan UU No 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tidak membuat aturan tersendiri untuk recidive, namun pengulangan terhadap ketiga delik jabatan di atas (yaitu Pasal 8, 10, 12 Undang-Undang No 31 Tahun 1999) sebenamya masih dapat dijaring dengan Pasal 486 KUHP.
Dalam Pasal 486 KUHP ini, ada ketentuan recidive untuk delik jabatan dalam Pasal 415 (penggelapan uang/surat berharga karena jabatan), Pasal 417 (penggelapan barang bukti oleh pejabat); dan Pasal 425 (pemerasan olch pejabat). Ketiga delik jabatan (Pasal 415, 417, dan 425 KUHP) oleh UU:3/1971 dijadikan TPK, yaitu ketiga-tiganya dimasukkan dalam Pasal 1 sub 1 c: dan oleh UU:31/1999 dimasukkan dalam Pasal. 8 (untuk Pasal 415). Pasal 10 (untuk Pasal 417), dan Pasal 12 sub f, g, h (untuk Pasal 425). Jadi walaupun UU:3/71 dan UU:31/99 jo. Undang-Undang No 20 Tahun 2001 tidak membuat aturan tersendiri untuk recidive, namun pengulangan terhadap kctiga delik jabatan itu sebenarnya masih dapat dijaring dengan adanya Pasal 486 KUHP.
Namun sangat disayangkan, dengan adanya Undang-Undang No 20 Tahun 2001 ketiga pasal KUHP tersebut (Pasal 415, 417, 425) termasuk pasal-pasal yang "dinyatakan tidak berlaku" oleh Pasal 43 B, sehingga praktis tidak mungkin lagi dijaring dengan ketentuan recidive dalam KUHP. Tcrlebih "pengulangan" yang disebut dalam "penjelasan" UU: 31 Tahun 1999 hanya tertuju pada delik dalam Pasal 2 ayat (1), tidak untuk delik dalam Pasal 8, Pasal. 10, dan Pasal 12.

h. Kelemahan lain ialah, pemberatan pidana mati dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No 31 Tahun 1999 hanya ditujukan pada "orang". Tidak ada pemberatan pidana terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi dalam "keadaan-keadaan tertentu" sebagaimana disebutkan di atas. Walaupun pidana mati tidak bisa dikenakan pada korporasi, namun seharusnya tersedia juga pemberatan pidana untuk korporasi yang bobotnya dapat diidentikkan dengan pidana mati.

i. Karena adanya beberapa kelemahan formulasi di atas, tidak mustahil pidana mati sulit atau jarang dapat dijatuhkan terhadap para koruptor di Indonesia. Sangat disayangkan kelemahan formulasi pidana mati dalam Undang-Undang No 31 Tahun 1999 itu, tidak dilihat sebagai suatu masalah yang seharusnya diperbaiki atau diamandemen oleh Undang-Undang No 20 Tahun 2001.




MODUL 5
KETENTUAN KHUSUS DAN SISTEM PERADILAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

KEGIATAN BELAJAR 1 

KETENTUAN KHUSUS HUKUM ACARA DALAM UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 Jo UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Suatu asas yang sering didengungkan oleh para sarjana hukum adalah asas lex specialis derogate legi generalis. Memiliki makna bahwa suatu  peraturan yang sifatnya umum akan mengesampingkan aturan yang sifatnya khusus.
Dalam hukum pidana, ketentuan dari asas tersebut dapat dilihat dengan adanya ketentuan-ketentuan yang sifatnya khusus sebagaimana diatur dalam undang-undang yang bersifat khusus pula. Beberapa undang-undang yang bersifat khusus misalnya Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang mengatur tentang tindak pidana korupsi; Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 yang mengatur tentang iindak pidana pencucian uang; Undang-Undang No. 15 Taltun 2003 Jo. Perppu No. 1 Tahun 2002 yang mengatur tentang tindak pidana terorisme.

Keberadaan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 merupakan ketentuan yang sifatnya khusus. Mengatur secara khusus terkait ketentuan materiil dalam delik korupsi serta ketentuan formil dalam penanganan tindak pidana korupsi (tipikor).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Tipikor merupakan pengaturan yang bersifat khusus, dalam arti bahwa terdapat ketentuan-ketentuan (baik yang bersifat materiil dan formi)) dimana pengaturannya bersifat khusus (baca: berbeda) dari induknya" (KUHP dan KUHAP).

Beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-Undang Tipikor, diantaranya mengenai alat bukti, pemeriksaan in absentia, dan pembalikan beban pembuktian. Selanjutnya, uraian tentang ketiga hal tersebut akan dijelaskan pada bahasan di bawah ini.


A. ALAT BUKTI DALAM UNDANG•UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI 

Korupsi merupakan suatu jenis kejahatan yang tiada habisnya. Bukan lagi menjadi permasalahan satu negara saja, namun sudah menjadi masalah universal. Hal ini tidak terlepas dari seiring perkembangan teknologi dan informasi. Sciring laju perkembangan dunia modern, turut bcrubah pula berbagai macam modus tindak pidana, tidak terkecuali tindak pidana korupsi.

Di Indonesia sendiri, korupsi sering mejadi trending topic surat kabar, majalah, berita online, dan sebagainya. Mulai dari kasus korupsi yang melibatkan perangkat desa, sampai korupsi yang melibatkan orang-orang penting negeri ini. Kejahatan maha haram, yang sampai saat ini belum ditemukan formulasi yang ideal dalam pemberantasannya.

Berbicara masalah korupsi di Indonesia, produk perundang-undangan di Indonesia sebenarnya sudah cukup dalam mengakomodir tindak pidana korupsi. Dimulai dari pengaturan delik jabatan dalam KUHP (Pasal 209, 210, 387, 388. 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435; dinyatakan tidak berlaku melalui Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pernberantasan Tindak Pidana Korupsi) hingga Instruksi Presiden No. 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Panjangnya deretan perundang-undangan yang mengatur masalah tipikor, dalam realitanya tidak menjamin bahwa tipikor musnah dari bumi Indonesia. Justru berbagai masalah baru timbul akibat berkembangnya tindak pidana korupsi. Salah satu permasalahan yang relevan untuk dibahas yaitu masalah pembuktian.

Pembuktian merupakan salah satu aspek penting dalam sistem peradilan pidana. Melalui pembuktian, seseorang akan dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana atau tidak. Masalah pembuktian menjadi masalah yang rumit dan terkadang sulit. Hal ini dikarenakan, ada kalanya seorang saksi tidak mau memberikan keterangan karena alasan yang tidak patut, korban tindak pidana tidak berani mengungkapkan apa yang dialami.
Selain alasan-alasan yang telah dikemukakan tersebut, adakalanya suatu alat bukti sudah tidak sesuai dengan undang-undangnya. Hal ini tidak lepas dari berkembangnya teknologi dan informasi, sehingga saat ini dikenal adanya alat bukti elektronik (digital evidence).

1. Sekllas tentang Pembuldian 
Membahas tentang pembuktian, akan didapatkan beberapa istilah yang terkadang membingungkan. Misalnya, "alat bukti", "pembuktian", dan "barang bukti". Dilihat dari sudut pandang normatif, ketiganya merupakan hal yang berlainan. Walaupun ketiganya memiliki arti yuridis yang berlainan, namun pada hakekatnya ketiganya memiliki keterkaitan yang sangat erat.

Frasa "bukti" dalam bahasa Indonesia apabila diterjemahkan ke dalam bahasa inggris bisa berarti evidence atau proof, evidence lebih dekat kepada pengertian alat bukti. Secara lebih luas alat bukti dapat didefinisikan sebagai informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar.
Adapun proof lebih mendekati kepada arti pembuktian, Pembuktian sendiri dapat diartikan sebagai suatu upaya dalam mengarah kepada suatu proses. Dari uraian ini, maka dapat disimpulkan bahwa alat bukti (termasuk barang bukti) diartikan sebagai alat/sarana yang dapat menunjukkan kebenaran atas suatu peristiwa. Sedangkan pembuktian merujuk kepada pengertian proses terkait mengumpulkan alat bukti.

Sekedar untuk sebuah catatan, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tidak memasukkan barang bukti sebagai alat bukti. Namun demikian. dalam Rancangan KUHAP (RKUHAP), barang bukii dimasukkan sebagai alat bukti. Barang bukti dapat dimaknai sebagai barang yang tidak bisa "menerangkan" untuk dirinya sendiri dalam proses peradilan. Berbeda dengan alat bukti (sebagaimana diatur dalam KUHAP) yang bisa "menerangkan" dirinya sendiri. KUI1AP sendiri tidak mendefinisikan apa itu barang bukti. Namun ada sebagian yang menyamakan barang bukti dalam pengenian Pasal 39 ayat (1) KUHAP. Dalam proses pembuktian, alat bukti memegang peranan kunci. Dalam menentukan karaktersitik alat bukti, Eddy Hiariej mengemukakan, terdapat empat konsep pembuktian, yaitu (2012: 10-15): A. Suatu alat bukti harus relevan dengan perkara yang diproses (prinsip relevansi); B. Alat bukti harus dapat diterima (prinsip admissible) C. Alat bukti harus didapatkan dengan tidak melawan hukum fprinsip exclusionary ndes), D. Alat bukti harus dapat dievaluasi hakim. 
5.5

Tujuan dari pembuktian dalam perkara pidana pada prinsipnya adalah untuk mencari suatu kebenaran materiiI. Dalam hal ini, terkandung masalah apakalt benar si X melakukan tindak pidana atau tidak. Berkaitan dengan hal ini. maka kebenaran yang ingin didapatkan dalam proses pembuktian perkara pidana adalah kebenaran materil. Berbeda dengan lapangan Itukum perdata yang benujuan untuk mendapatkan kebenaran formil. Menurut Pedoman Pelaksanaan KUIIAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman. kebenaran mateiil adalalt kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana sccara jujur dan tepat. dengan lujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum. dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pertgadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan, dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan. Dalam bahasa yang singkat, penulis menginterpreiasikan kebenaran materiil sebagai suatu kebenaran yang sesungguhnya dan selengkapnya atas suatu perkara pidana, untuk menentukan siapa pelaku tindak pidana. yang untuk meraihnya ditunjang dengan prosedur Itukum acara yang tepat dan jujur, didukung oleh pembuktian yang benar. Oleh karena itu, masalah pembuktian scring dikatakan sebagai titik sentral dalam suatu perkara pidana. Hal ini tidak terlepas dari tujuan yang ingin dicapai, yaitu kebenaran materiil. Eddy Hiariej (2012: 7) mengemukakan bahwa pembuldian arti penting dalam persidangan. yaitu untuk mencari kebenaran atas suatu peristiwa hukum. Secara teknis. proses pembuktian dalam suatu perkara pidana tidak hanya dilakukan dalam tahap persidangan. Hakimlah yang akan menilai terkait pembuktian. Namun, upaya pembuktian pada dasarnya sudah dimulai sejak adanya upaya penyclidikan. Dalam tahap ini, diupayakan pembuktian awal, yaitu dengan mencari alat bukti dan/atau barang bukti dengan tujuan untuk mcmbuat terang tindak pidana. Hukum acara pidana mengenal empat teori pembuktian, yaltu: teori berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction imime); tcori pembuktian positif (ptuirief wertelijk bewijs theorie); teori pembuktian negatif (negarief wettelijk bewijs theorie); dan teori berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (convicrion raisoneeAeori pembuktian bebas). 
5.6

a. Teori berdasarkan keya.nan hakim belaka (convicrion inlitne) Menurut Eddy Hiadej (2012: 6), conviction indme berarti keyakinan semata Tcori ini, kcyakinan hakim memegang peran penting dalam pembuktian. Aninya, hakim akan menilai suatu alat bukti berdamr keyakinannya. Conviction intime tidak mendasarkan pada penuuran perundang-undangan, sehingga dalam teori ini, hakim bisa mendasarkan penilaiannya atas pandangan subjektifnya. Dalam teori ini, hakim tidak diwajibkan untuk mengemukakan argumentasi hukum terkait pembuktian dalam putumnnya. Conviction intime juga membuka peluang bagi hakim dalam memilih alat bukti sesuka hatinya. termasuk a. bukti yang tidak masuk akal sekalipun. Menurut Wirjono Prodjodikoro. sistem ini pemah dianut Indonesia pada waktu sislem pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten (Sutarto dan Sudarsono, 1999: hal 37-38). 
b. Teori pembuktian positif (positief wertelijk bewijs theorie) Teori pcmbuktian positif dikenal juga dengan teori pembuktian formil. Menurut teori ini, undang-undang telalt meneniukan secara limitatif alat bukti yang digunakan dalam pembuktian. Teori ini mendasarkan pada ukuran tenentu sebagaimana telah ditetapkan olch undang-undang. Dalam teori ini tidak memberikan tempat bagi keyakinan hakim (Sutarto dan Sudarsono. 1999: hal 38-39). Hakim pada prinsipnya terikat secam positif dengan ketentuan undang-undang. Teori pembuktian positif digunakan dalam perkara perdata, oleh karena itu kebenaran yang dicari dalam hukum perdata adalah kebenaran formil. Dalam lapangan hukum perdata. hakim hanya akan memeriksa sebatas alat bukti yang diajukan oleh para pihak. 

c. Teori pembuktian negatif (rtegatief wenelijk bewifs t)eone) Menurut teori ini, pernbuktian berdasarkan atas alat bukti yang telati ditetapkan soeara limitatif olch undang-undang ditambah dengun adanya keyakinan hakim. Dalam wori ini, akan ditemukan kondisi dimana alat bukii terpenuhi. namun hakim tidak yakin terhadap pelaku. Apabila kondisinya demikian. maka hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman kepada orang tersebut (Stuarto dart Sudarsono. 1999: hal 39-,10). Dalam lapangan hukum acara pidana, teori pembuktian yang dianut adalah teori pembuktian negatiflial ini ditegaskan dalam Pasal 183 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. yang menyatakan, "Hakim tidak bolch menjatuhkan pidana kepada scorang kecuali apabila 
5.7

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya". 
d. Teori berdasarkan keyakinan hakim a. alasan yang logis (conviction raisoneencori pembuktianbebas). Menurut teori ini, dasar pembuktian terletak pada haMm, narnun dalam batas-batas tenentu dengan menggunakan alasan-alasan yang logis (Hiar)ej, 2012: 16-17). Teori ini tidak mengikatkan diri pada ketentuan alat bukti dalam undang-undang, namun alat bukti tidak ditentukan dalam suatu undang-undang sebagaimana dalam pembuktian positif dan negatif. Dalam menctukan macam dan banyaknya alat bukti. hakim sangat bebas. Kebebasan hakim dalam menggunakan alat bukti hanslah berdasarkan alasan yang sifatnya logiskasional atau dengan kata lain memiliki argumentasi ilmiah (Sutarto dan Sudarsono, 1999: 40-4)). Menurut Eddy Hiariej, teori ini digunakan dalam pemeriksaan tindak pidana ringan atau cepat, termasuk perkara lalu lintas (Hiariej, 2012: 16-17) 
2. Alat Bukti datam KUHAP Sebagaimana telah ditegaskan sebelumnya mengenai alat bukti, ynitu informasi yang memberikan thsar-dsar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau kescluruhan fakta benar. Dalam perkara pidana, alat bukti diatur secara tegas dalam Pasal 184 Undang-Undang No. 8 Taltun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka alat bukti digolongkan menjadi 5 (lima) jenis, yailu: a. keterangan saksi, b. keterangan c. surai, d. pciunjuk, dan e. keterangan terdakwa. 

Perlu untuk diketahui, kelima jenis alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. dalam perkembangannya mengalami berbagai perlusan olch beberapa perundang-undangan khusus, misalnya oleh Pasal 44 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elek.nik (UU 1TE). Perluasan alat bukti oleh Pasal 44 Undang-Undang No. Tahun 2008 tentang 1TE menegaskan bahwa Indonesia telah mengenal alat bukti 
5.8

elektronik evidance). Perluasan alat bukti oleh UU ITE pada prinsipnya merupakan komplemen Pasal 184 KUHAP. Pengaturan alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP masih terbatas, hal ini dikarenakan alat bukii yang diatur dalam KUHAP tidak mengenal alat bukti elelaronik. Selanjutnya. terkait dengan penjelasan alat bukti dalam KUHAP akan diuraikan dalam tulisan di bawah ini. 

a. Keterangan Saksi Alat bukti pertam• yang diatur KUHAP adalah saksi. Saksi merupakan orang yang memberikan keterangan yang sebenar.benamya atas apa yang dia lihai, dengar, dan alami. Menurui Pasal 1 angka 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang saatn perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Dalam perkembangannya, saksi tidak harus orang yang mendengar, melihat, dan merasakan secara langsung atas suatu tindak pidana. Hal ini telah telah ditegaskan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan Putusan MK No.65-PUU-1/111-20(0. Seorang saksi akan memberikan keterangan dalam proses peradilan terkait tindak pidana yang ia ketahui. Menurui Pasal I angka 27 KUHAP, keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu perisiiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetaltuannya itu. Keterangan saksi dalam perkara pidana harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu syarat fonnil dan materiil. Syarat fonnil adalah keterangan saksi tersebut dianggap sah apabila diberikan di bawah sumpah. Syarai materiil terkandung maksud bahwa keterangan yang diberikan merupakan ketarangan berdasarkan apa yang didengar, dilihat, dialami. Ditinjau dari syarat materiil ini, maka tidak diperkenankan adanya saksi yang tidak mengalami seeara langsung tedadinya suaiu tindak pidana (testimonhan de audita). Dalam perkembanganya, ketentuan mengenai pelarangan terhadap tertimonium de audnu dipatahkan oleh Maltkamah Konstitusi (MK). Dalam pertimbangannya Mahkamah Kontitusi menegaskan bahwa arti penting saksi bukan terletak pada apak•h dia melihat, mendengar atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan apakah kesaksiannya itu relevan ataukah tidak dengan perkam pidana yang sedang diproses. Selanjutnya. mahkamah 
5.9

menilai bahwa suatu keterangan salmi tersebut admissible (dapat diterima) ataukah not admissible merupakan kewenangan hakim yang menentukannya. Secara garis besar. putusan nontor 65/PUU-V11U2010 tersebut mengandung pemaknaan bahwa saksi tidak harus orang yang mendengar, melihat, mengalami tindak pida,idana secara langsung. Dengan keluamya putusan tersebut, maka pemaknaan saksi diperluas olch mahkamah. Selama keterangan saksi yang diberikan dalam proses peradilan relevan dengan perkara pidana yang sedang diproses. maka keterangan saksi temebut memenuhi syarat materiil. Jadi, berclasarkan putman MK tersebut, diperkenankan adanya testimonium de auditu. Terkait dengan testimonium . auditu dalam perkara pidana, Suryono Sularto dan Sudarsono mengemukakan bahwa Mahkamah Agung Belanda pernah menggunakan testimonium de audim. Sedanglcan di Indonesia, sebelum keluarnya putusan MK nomor 65/PUU-VIIIT2010, pengadilan di Indonmia pernalt menolak dan menerima testimonium de auditu. Sebagai comoh, putusan Pegadilan Negeri Telukbetung tahun 1938 yang mcnolak testimonium de auditu dengan alasan baltwa kesaksian de auditu tidak dapat diunggap mempunyai daya buldi yang sak Sebalilutya, putusan Landrand Mester Cornelis pada tahun 1939 menyetujui bahwa keterangan de awfitu mcmiliki daya bukti. dengan alasan bahwa keterangan-kmerangan korban yang mcninggal telah diberikan kepada saksi-salcsi yang mendekatainya. (Sutarto dan Sudarsono, 1999:4344). 

b. Keterangan Ahli KUHAP tidak memberikan definisi 441isecara tegas. Definisi "ahli" dapat . lihat dalam Pasal I angka 28 KUHAP yang menyatakan ahli adalah seorang yang memiliki keahlian khusus ientang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perlmra pidana guna kepentingan pemerikman. Seomng ahli yang memberikan kcterangan dalam prcoes peradilan pidana dianggap sebagai alat bukti yang sah, apabila dinyatakan dalam di depan persidangan dan di bawah sumpah. Mcrujuk pada ketentuan KUHAP, keahlian seseorang dalam memberikan keterangan tidak hanya berdasar pada pengetahuan yang didapat dari pendidikan fonnal, namun juga dapat diperoleh dart pengalaman. Tertcait dengan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam perkara pidana, KUHAP membedakan aldi yang memberikan keterangan tertulis di luar persidangan dan yang memberikan keterangan secara langsung di 
5.10

persidangan. Untuk yang pertama maka keterangn alat bulai yang demikian dikatagorikan sebagai alat bukti surat. Sedangican kriteria kedua termasuk alat bukti berupa keterangan ahli (Hiariej, 1999: 107). Menurut Sutario dan Sudarsono (1999, 49-50), secara teoretis, abli dapat digolongkan dalam tiga Icatagori, yaitu, I) ahli ahli adalah orang yang mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang ditanyakan pendapatnya, tanpa melakukan suatu pemeriksaan. 2) saksi ahli saksi ahli merupakim orang yang menyaksikan barang bukti (sitent nqtness). Seorang salmi ahli melakukan pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya. 3) orang ahli orang abli adalalt orang menerangkan suatu persoalan yang sebenamya juga dapat dipelajari sendiri oleh hakim, tetapi apabila hal ini dipelajari oleh hakim akan memakan waktu lama. 

c. Surat Pengaturan "sumt" scbagai alat bukti, secara tegas diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Tidak semua jcnis surat dapat menjadi alat bukti. Menurut KUHAP, surat yang bisa menjadi alat bukti dalam perkara pidana adalah, I) berita acam dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang benvenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memum keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, diseriai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu 2) surat yang dibuat menurut ketentuan peratman penindang-undangan atau surat yang dibuat oleh pcjabat mengcnai hal yang ternmsuk dalam uta laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang dipenintukkan bagi pembuktian sesuatu hal alau sesuatu keadaan: 3) surat keterangan dari seorang ahli yang memum pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuaw keadaan yang diminia secara resmi dari padanya: 4) sumt lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. 
5.11

Dilihat . bentuk formulasi Pasal 187 KUHAP. secara garis besar. sumt dapat dibagi menjadi surat resmi (akta otentik) dan surat di bawah tangan. Terkait dengan hal ini, Andi Hamzah (2009: 276) memberikan pendapat bahwa dalam perkara pidana, hanya akta mentik yang dapat dipertimbanglcan sebagai alat buMi. Sedangkan surat di bawah tangan sepeni yang dimaksud dalam hukum perdata, tidak dipakai lagi dalam hukum acara pidana. Menurut Hiariej. apabila surat memenuhi persyaratan sebagai alat bulni berdasarkan Pasal 187 KUHAP, sunit tersebui dapat menjadi petunjuk. Namun mengenai dapat atau tidaknya surai tersebut dijadikan alat bukti petunjuk. semuanya dismhkan kepada hakim (2012; 109). 

d. Petunjuk Wetboek van Strafvoerdera, (WvSrfKUHAP Belanda) lidak mengatur "petunjuk" sebagai alat bukti. Namun dalam WvSr terdapat "pengamatan hakim" sebagai alat bukti pcnama, disamping ketcrangan tcrdakwa, keterangan saksi, keterangan ahli, dan sumt (Hiariej, 2012: (8). KUHAP mendellnisikan "petunjuk" sebagai perbuatan. kejadian atau keadaan. yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dalam ICUHAP juga dijelaskan bahwa petunjuk dalam persidangan pidana dapat diperoleh dari keterangan saksi; sumt; dan keterangan terdakwa. Pada akhimya, penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tenentu dilakukan oleh halsim setelah mengamati secara seksama dan berdasar hati nuraninya. Secara teori, Adami Chazawi sebagaimana dikulip Hiariej (2012: 110), Inengemukakan persyaratan suatu "petunjuk" yang dapat dijadikan sebagai alat bukti, yaitu: 1) Ada perbuatan, kejadian, dan keadaan yang sesuai. Perbuatan, kcjadian, dan keadaan merupakan fakta-fakta yang menunjukkan tentang terjadinya tindak pidana, menunjukkan terdakwa bersalah Icarena melakukan tindak pidana tersebut. 2) Ada dua persesuaian, yaitu bersesuaian antara masing-masing perbuatan, kejadian, dan keadaan satu sama lain ataupun bersesuaian amara perbuatan dan. kejadian, atau keadaan dengan tindak pidana yang didakwakan. 
5.12

3) Persesuaian yang demikian itu menandakan adanya dua hal, yaitu menunjukkan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan menunjukkan siapa pelakunya. Unsur ini merupakan kesimpulan bekerjanya proses pembentukan alat bukti petunjuk, yang sekaligus merupakan tujuan dari alat bulai petunjuk. 4) Hanya dapat dibentuk melalui tiga alat bukti, yaitu ketarangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Hal ini sesuai dengan asas minimum pembuktian yang diabstraksi dari Pasal 183 KUHAP. Selayaknya pettmjuk dari minirnal dua alat bukti yang Menurut Hiariej (2012: 110), dalam konteks pembuktian, "petunjuk" adalah circunnantial evidence atau alat bukti tidak langsung yang bersiffit sebagai pelengkap. Hal ini berarti peiunjuk bulcan alat bukti yang bisa mandiri, namun merupakan alat bukti sekunder yang diperoleh dari alat bukti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. 

e. Keterangan Terdakwa Eddy Hiariej (2012: 1(2) mengemulsakan bahwa dalam konteks pembuktian secara umum, "keterangan terdakwa" dapat disamakan dengan bukti pengakuan (cssin.fertssions evidence). Namun oleh Frank. Yarrough. dan Ekman, pengukuan tanpa ditunjang dengan bukti lain yang rnemperkuat suatu kasaksian dengan sendirinya lidak bernilai apaapa. Terkait dengan hal di atas, Sularto dan Sudarsono (1999: 52), termasuk Andi Hamzah, membedakan antara pengakuan terdakwa dan keterangan terdalswa Pengakuan terdakwa mengandung syarat bahwa terdakwa mengakui bahwa benar dia yang melakulcan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Selain itu, terdakwa juga harus mengakui kesalahan atas tindak pidana yang dilakukan. Sedangkan keterangan terdakwa, mempunyai pemaknaan yang lebih luas dari pengakuan terdakwa. Menurut KUHAP, terdapat beberapa kriteria keterangan terdakwa yang sah sebagai alat bukti di persidangan. yaitu: 1) Keterangan terdakwa harus yang dinyatakan di dalam persidangan. 2) Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwalsan kepadanya. 
5.13

3) Kcterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. 4) Ketcrangan terdakwa saja tidak cukup untuk metnbuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya melainkan harus disenai dengan alat bukti yang 

3. Alal Bukti dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korups1 (Tipikorl Sebagai suatu tindak pidana yang bemifat luar biasa (extra ordinary crime, pemberantasan korupsi dianggap perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (exna ordintuy mensure). Cara-cara pemberamasan korupsi yang luar biasa itu sebetulnya telah didesain oleh Undang-Undang Tipikor, di antaranya dengan perluasan mengenai alat-alat bukti yang telah menyesuaikan dengan laju perkembangan teknologi informasi. Sebagai undang-undang yang sifatnya khusus. maka Undang-Undang Tipikor diberikan kewenangan untuk rnengatur hal4m1 yang sifatnya khusus. Hal ini sejalan dengan asas lex specialis derogate legi genendi (peratura( yang khusus mengemmpingkan peraturan yang sifamya umum). Pasal 26 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mcrupakan penegasan berlakunya asas specialis deongare legi generali. Menurut Paml 26 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pembemmasan Tindak Pidana Korupsi, "Penyidikan. penuntutan, dan pemerikman di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecudi ditentukan lain dalam Undang-undang ini". Berdasarkan bunyi Pasal 26 tersebut, jelas bahwa pada prinsipnya, hukum acara yang digunakan dalam proses peradilan tindak pidana korupsi mengikuti Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Namun apabila Undang-Undang Tipikor menentukan hal yang sifatnya berlainan, maka dalam hal ini berlaku ketentuan dalam Undang-Undang Tipikor. Scbagai contoh adalah alat bukti. lenis-jenis alat bukti yang diatur dalam Undang-Undang Tipikor didesain sedemikian rupa, sehingga telah menyesuaikan perkembangan cm globalimsi. Hal ini dapat kita lihat dalam rumusan Pasal 26 A Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tallun 1999 teniang Pemberantasan Tinddc Pidana Korupsi. Perluasan alat bukti dalam Undang-Undang Tipikor merujuk pada alat bukti “petunjuk" dalam Pasal 184 KUHAP. Menurut penjelamn umum Undang-Undang No. 
5.14

20 Tahun 2001 tentang Pcrubahan Atas Undang-Undang No. 31 Taltun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi, surat. dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima. atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang scrupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange). surat elcktronik telegram. ieleks. dan dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas. benda fisik apapun selain kertas, mau, yang terekam secara elektronik, yang berupa iulisan, suara, gambar, peta. rancangan, foto, huruf, tanda, angka. atau perforasi yang memiliki makna. 
Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Tipikor di atas. alat bukti "petunjuk" yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP diperluas sedcmikian rupa. schingga alat bukti "petunjuk lidak hanya berasal dari "keterangan saksi", "surat", dan leterangan terdakwa". Konstruksi perluasan alat bukti "petunjuk"dalam Undang-Undang Tipikor adalah sebagai berikun a. alai bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, diterima, atau disimpan secarn elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun sclain kertas, maupun yang ierckam secara elektronik, yang berupa suara, gambar, peta, rancangan. foto, Itund. tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 

Perluasan alat bukti "petunjuk" olch Undang-Undang Tipikor menunjukkan bahwa alat bukti dalam pro. pembuktian iindak pidana korupsi tidak terbatas pada alat bukti konvensional sebagaimana diatur dalam Pa. 184 KUHAP. Namun patut dipertanyakan, mengapa hanya alat buldi "pctunjuk" yang diperluas. Berbeda dengan gaya perluasan alat bukti yang 
5.15

diatur dalarn Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjuinya ditulis UU TPPU), Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberatuasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjumya dituis UU TPPO), Undang-Undang N. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya ditulis UU ITE) Pasal 73 UU TPPU menegaskan, Alai bukii yang sah dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; dan/atau b. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan. dikirimkan. diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen. 

dari gaya formulasi Pasal 73 UU TPPU. maka alat bukti elektronik yang diatur dalam UU TPPU iidak hanya merujuk pada bentuk perluasan alat bukti "petunjuk", namun secara kescluruhan mcrujuk pada perluasan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Begitu pula dengan gaya perluasan alat bulai dalam UU TPPO dan UU ITE. Pasal 29 UU TPPO menegaskan sebagai berikut, Alat bukti sclain scbagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa: a. informasi yang diucapkan. dikirimkan. diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. d., rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau .pa bantuan suatu sarana, baik yang tcrtuang di atas kertas, benda fisik apa pun sclain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tidak terbatas pada: I. suara, atau gambar; 2. peta, rancangan. foto. atau sejenisnya; atau 3. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. 
5.16

Sclanjutnya. Pasal 44 UU ITE menegaskan sebagai berikut: 
5.17 
Alat bukti penyidikan. penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurui ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: alat bukti scbagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan: dan b. alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal I angka I dan angka 4 serta Pasal 5 ayai (1), ayat (21, dan ayat (3). 
Fonnulasi alat bukti sebagaimana ditunjuklcan olch UU TPPU, UU TPPO, dan UU 1TE, mcnunjukkan bahwa alat bukti elektronik merupakan perluasan dari Pasal 184 KUliAP. Berbeda dengan Undang-Undang Tipikor yang menyatakan bahwa alat bukti clektronik merupakan perluasan dari alat bukti ..petunjuk". Apabila diambil pendirian UU TPPU, UU TPPO, dan UU 1TE, maka alat bukti elektronik tidak termasuk salah satu dari kelima alat buldi yang diatur KUHAP. Pendirian ini juga dianut olch Rancangan KUHAP edisi gooti tahun 2011. Alat bukti dalam RKUHAP diatur dalam Pasal 175 yaitu: a. Barang bukti b. Surat-surat: c. Bukti elektnonik, d. Keterangan scorang ahli; e. Keterangan scorang saksi; f. Keterangan terdakwa; dan g. Pengamatan hakim. 
Menurut Pasal 178 RKUHAP, alat bukti elektronik didefinisikan sebagai bukti elektronik adalah sckalian bukti dilakukannya tindak pidana berupa sarana yang memakai elektronik. 
B. PEMERILSAAN INABSENT1A DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI 

Dalam proses pemeriksaan perkara pidana, pada prinsipnya setiap terdakwa harus diperiksa dan didengar keterangannya serta diberi kesempatan untuk membela diri selama proses persidangan. Hal ini 
5.17

merupakan perwujudan dari asas presumption of innocent (asas praduga tak bemalah), yang menyamkan seseorang tidak boleh dianggap bermlah ams suatu tindak pidana sebelum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gew)sde). KUHAP mengatur kehadimn terdakwa dalam Pasal 154. Menurut Pasal 154 ICUHAP, terdakwa akan dihadirkan dalam persidangan dan dihadapkan dalam keadaan bebas. Apabila dalam proses persidangan, terdakwa tidak hadir, hakim akan meneliti apakah terdakwa sudah dipanggil secara sah. Apabila pemanggilan terhadap terdakwa dilakukan secara tidak sah, hakim ketua sidang akan menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi uniuk hadir pada hari sidang berikutnya. Namun apabila pemanggilan terdakwa sudah sah. tetapi terdakwa tidak daumg di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerimahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi. Apabla terdakwa masih tidak hadir tanpa alman yang sah, maka terdakwa dapat dihadirkan dengan paksa pada sidang berikutnya. Terkecuali kasus penyertaan Ideelneming), dimana ketidaldiadiran salah seorang terdakwa tidak menghalangi proses pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir. Kehadiran terdakwa dalam prosm persidangan pidana sangat penting. tidak terkecuali ketika proses persidangan memasuki tahap pembacaan putusan oleh majelis hakim. Pasal 196 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa pengadilan memutus perkara dengan hadimya terdakwa kecuali dalam hal ditentukan lain oleh KUHAP. Ketidakhadiran terdakwa dalam proses persidangan dikenal dengan absetain. Menurut Abdul Rahman Saleh (2008: 208), in absentia mengandung pengertian bahwa terdakwa yang telah dipanggil secara sah, tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran terdakwa. Apttbtlttditttlttttttttdttttltttttttbtthttttttttytt.11tltttttltttbotttttttl berasal dari bahasa latin in absentia atau absentium, yang berarti dalam keadaan tidak hadir mau ketidakhadiran (Hammh, 1986:98). Pemeriksaan itt absentia merupakan suatu upaya memeriksa serta mengadili dan memutuskan suatu perkam tanpa dihadiri oleh tenlakwa. Pada awalnya, istilah in absentia dipergunakun penama kali dalam Undang-Undang Nomor I I/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Pemeriksaan absentia dalam tindak pidana subversi diatur dalam Pasal I ayat (I), yang menyatakan. apabila terdakwa setelah dua kali berturumurut 
5.18

dipanggil secara sah tidg hadir di sidang, maka pengadilan benvenang mengadilinya di luar kehadirannya (in absentia). Pemeriksaan in absentia lazim digunakan dalam lapangan hukum perdata, dimana dalam pemeriksaan atau penjatuhan putmannya, hanya dihadiri oleh wakil atau kunsa dari pihnk-Whak yang berperkara, sedangkan yang bersangkwan sendiri tidak perlu hadir dalam pemeriksaan sidang tersebut. Saat ini. proses pemerikwan in absentia tidak hanya menjadi monopoli lapangan Itukum perdata. melainkan sudali diterapkan dalam hukum pidana. Beberapa undang-undang yang mengatur tentang pemeriksaann in absentia dalam perkara pidana dapat dituliskan sebagai berikue I. Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan Penuntwan dan Peradilan Tindg Pidana Ekonomi (Pasal 16 ayat (11 dan (2))1 2. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegaban dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 79 ayat (1)); 3. Undang-Undang No. (5 Tahun 2003 tentang Penetapan PERPPU No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberamasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi Undang-Undang (Pasal 35 ayal ( I )); 4. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Pasal 79); 5. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 38 aya1 (1). 

Terkait dengan pemeriksaan in absetnia Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. pernah mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1988 tentang Penasehat Hukum atau Pengacara yang Menerima Kuasa dari Terdakwaffetpidana M Absentia. SEMA tersebut pada intinya, berisi temang perintah kepada hakim untuk menolak penasiltat hukum/pengacara yang mendapat kuasa dari terdakwa yang sengaja tidak mau hadir dalam pemerikwan pengadilan sehingga dapat mengltambat jalannya pemeriksaan pengadilan dan pelaksanaan putusannya. Apabila SEMA No. 6 Tahun 1988, mengatur tentang larangan tersangka/terdakwa in absentia, SEMA No. 9 Taltun 1985 tentang Pumsan yang diucapkan di Luar Hadimya Terclakwa, secara garis besar memperbolehkan adanya tersangka/terdakwa in absentia untuk perkara-perkara tertentu, yaitu perkara-perkara yang diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat (baik perkara tindak pidana ringan maupun perkara 
5.19

pelanggaran lalu lintas jalan) melalui putusan verstek. Terkait masalah persidangan in absentia, KUHAP berpendirian bahwa proses persidangan in absentia diakui keberadaanya, sepanjang untuk perkara-perkara yang diperiksa dengan pemeriksaan cepat atau ringan. KUHAP tidak mengenal pemeriksaan in absentia dalam pemeriksaan perkara biasa. Dalam perkara tindak pidana korupsi, pemeriksaan in absentia diatur dalam Pasal 38, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 38 ayat ( I ) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menyatakan bahwa dalam hal terdakwa tindak pidana korupsi telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya. Dalam penjelason Pasal 38 ayat (1 ) Undang-Undang Tipikor, ditegaskan bahwa maksud dari pemeriksaan in absentia adalah un. menyelamatkan kekayaan negara, sehingga tanpa kehadiran terdakwa pun, perkara dapat diperiksa dan diputus oleh hakim. Apabila sampai pembacaan putusan olch Hakim, terdakwa juga tidak menghadiri persidangan. maka putusan yang telah dibaukan oleh Hakim akan diumu.an oleh Penumut Umum pada papan pengumuman pengadilun. kantor Pemerintah Daerah, atau dibernahukan kepada kuasanya. Atas putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa. terdakwa ainu penasihat hukumnya dapat mengajukan banding. Peinerik.n in absentia scbenamya bukanlah hal yang baru. Pemeriksaan in absentia terlebih dulu diaiur dalam undaq-undang pemberaniasan lipikor sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. Pasal 23 ayat (I) Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 menegaskan, ulika terdakwa setelah dipanggil dengan semestinya tidak hadir dalam sidang pengadilan .pa memberi alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus olch Hakim tanpa kehadirannya". Keberadaan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 dinyatakan sudah tidak berlaku oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 , sebagaimana diregaskan dalam Pasa.. Sampai di sini dapat kita simpulkan, embrio pemeriksaan in absentia dalam tindak pidana korupsi sudah ada sejak iahun 1971, yailu melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 ternang Pemberamasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam realitas penegakan hukum di Indonesia, penjatuhan putusan secara in absentia dalam perkara tipikor pernah terjadi di Indonesia, melalui Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 10321P1D.B/2001/PNJKT.PST. Dalam putusan tersebut, terdakwa I (Hendra Rahardja), terdakwa II (Eko Edy Putranto) dan terdakwa lll (Shemy
5.20

Kojongian) diadili secara in absenrta dan dinyatakan terbukti seeara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Majelis HaMm menjatuhkan pidana kepada para terdakwa in absenria masing-masing sebagai berikur 
Terdakwa Nama Terdakwa PIdana 
Terdakwa 1 Terdakwa 11 Terdakwa 111 
Hendra Rahardja Penjara Seumur Hidup Elco Edy Putranto Penjara 20 Tahun Shemy Kojongian Penjara 20 Tahun 
Selain menjatuhkan pidana penjara kepada para terdakwa, Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana denda, kepada masing-masing terdakwa sebesar Rp.30.000.000,- Itiga puluh juta rupiah). Sclain ketentuan pemeriksaan in absentin dalam Undang-Undang Tipikor, terdapat beberapa ketentuan Ichusus yang mengatur teniang ketidakhadiran tersangkafterdakwa dalam pemeriksaan tindak pidana korupsi. Ketentuan khusus iersebut diatur dalam Pas•l 33 dan 34 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya, Pasal-Pasal tersebut da at dilihat dalam tabel berikut: 
Pasal 33 
Dalam hak tersangka meningsal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan seeara nyata telah ada kerugian keuangan negam, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdam terhadap ahli warisnya. 
Pasa134 
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan. sedangkan seeara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penumut umum segera menyerahkan salinan berkas berita aeara sidang tersebut kepada Jalma Pengaeara Negara atau disembkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.  

Pada p nsipnya, formulasi Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Tipikor tidak dapat dikatakan sebagai pemeriksaan in absensia. Hal ini dikarenakan dalam hukum pidana, terdapat teori bahwa matinya tersangka/terdakwa akan 
5.21

menjadi alasan penghapus penuntutan atau alasan penghapus untuk menjalankan pidana. Ketentuan demikian diatur dalam Pasal 77 dan 83 KUHP. Apabila tersangkaherdakwa meninggal dalam proses pemeriksaan (lahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan), maka demi hukum kasus pidananya harus ditutup. Begitu pu, dengan formulasi Pasal 33 dan 34. Undang-Undang Tipikor memandang bahwa, perkara korupsi yang tersangkaiterdakwanya meningsal, maka demi hukum kasusnya akan ditutup. Namun demikian. Undang-Undang Tipikor membuka peluang agar kasus tersebut dialihkan ke lapangan hukum perdata. Hal ini berarti, kasus korupsi yang pada awalnya masuk ke sistem peradilan pidana, apabila tersangkaiterdakwa meninggal, maka kasusnya akan dialihkan ke ranah perdata, untuk kemudian dilakukan gugatan perdata. Dengan demikian, semangat yang ingin ditunjukkan olch Pasal 33 dan 34 Undang-Undang Tipikor. sama dengan semangat dalam Pasal 38 ayat ( I) Undang-Undang Tipikor, yaitu semangat untuk menyelamatkan kekayaan negara. 
C. PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI 

Pembuktian merupakan inti dari persidangan, karena dalam pembuktian, akan diungkap kebenaran dalam suatu perkara pidana. Pembuktian inilah yang nantinya akan menjadi pertimbangan bagi hakim, apakah terdakwa akan dijamhkan putusan pemidanaan, lepas dad segala tuntutan hukum, atau bebas. Dalam pembuktian, akan diungkap kebenaran tentang siapa pelaku, bagaimana perbuatan itu dilakukan, siapa korbannya, dan fakta-fakta hukum lainnya. Masalah pembuktian terletak pada ranah hukum pidana formil (hukum prosedural). Dalam perkara tindak pidana korupsi, beberapa ketentuan pembuktian diatur secara khustis sebagai perkecualian dari KUHAP. Adami Chazawi (2008: 104) menyatakan, terdapat 2 (dua) hal pokok dalam pembuktian tindak pidana korupsi yang menyimpang dari KUHAP, yaitu: I. Bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai alat bukti petunjuk. 2. Sistem pembebanan pembuktian. 
5.22

Mengenai hal yang penama, Undang-Undang Tipikor sudah memberikan ketegasan bahwa alat bukti petunjuk dalam perkara lipikor dapat diperolth dari, a. Alat bukti lain yang berupa infonnasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, dan b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kenas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Ituruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 
Sedangkan hal yang kedua terkait pembebanan pembuktian, masib dapat dikaji baik secara teoretis dan yuridis. Pembahasan baik secara teoretis dan yuridis terkait beban pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi akan dijabarkan pada uraian di bawah ini. 

I. Tinjanan Umum Pemballkan Beban Pembuklian (Reversal of Burden Proof/Omkering von Rewijslas, Secara prinsip, dalam hukum acara pidana dikenal beberapa asas yang sifatnya universal dan acceptable. Diterima sebagai sebuah asasiprinsip yang berlaku dalam masyarakat beradab dan menjadi pilar-pilar dari sebuah negara demokrasi guna menegakkan nilai-nilai keadilan. Kaitannya dengan pembuktian, terdapat asas yang menyatakan bahwa "siapa yang menuduh, dia yang harus membuktikan". Ditinjau dari norma hukum acara pidana di negara Mta (KUHAP), maka implememasi dari asas tersebut adalah beban pembuktian tidak diberikan kepada tersangkaiterdakwa. Pasal 66 KUHAP menegaskan bahnn tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Dengan demikian, beban pembuktian diletakkan pada pihak sebaliknya, dalam hal ini negara besena alat kelengkapannya, yaitu kcjaksaan sebagai penuntut umum. Hal ini sejalan dengan prinsip di atas, "siapa yang menuduh, dia yang harus membuktikan". Namun demikian, dalam perkembangannya, beban pembuktian yang diletakkan pada penuntut umum, dapat dipindah ke terdakwa. Sccara sempit, hal ini dikenal dengan istilah pembalikan behan pembuktian (reversal of burden pmoflomkering van bewijslas0. 
5.23

pembalikan beban pembuktian lebih familiar oleh masyarakat kita dengan istilah pembuktian terbalik. Namun sebenarnya, istilnh pembuktian tethalik betheda makna dengan pembalikan beban pembuktian. Apabila tidak ditambahkan kata "beban", maka makna yang didapat akan berbeda. Pembuktian terbalik tanpa kata '13eban" dapat ditrifsirkan hanya urut-urutm alat bukti yang digeser. Namun menurut Indriyanto Seno Adji (2006: 328), polemik peristilahan antara pembuktian terbalik ataupun pembalikan beban pembuktian, tidak perlu dipethanja, sepanjang hal ini harus dimaknai sebagai bagian dari terobosan hukum dalam rangka mempermudah pembuktian dalam perkara tindak pidana korupsi. Menurut Lilik Mulyadi (2007:9) masalah beban pembuktian dalam hukum acara pidana dapat dibagi menjadi tiga kalagori, yaitu: I. beban pembuktian pada penuntut umum; 2. beban pembuktian pada terdakwa; dan 3. beban pembuktian berimbang. 

Ditambahkan oleh Lilik Mulyadi. apabila ketiga hal tersebut dikaji dari tolok ukur penuntut umum, maka tcori beban pembuktian dapat diringkas menjadi dua katagori, yaitu: I. Pembuktian konvensional Pembuktian konvensional adalah pembuktian blasa. yang umum dilakukan olch penunut umum. dimana penuntut umum akan membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat bukti sebagaimana telah ditempkan oleh undang-undang. Dalam model pembuktian ini, terdakwa memiliki kesempatan untuk menyangkal alat bukti yang diajukan penuntut umum. 2. Pembalikan beban pembuktian Dalam sistem ini, pembalikan beban pembuktian bisa dibagi menjadi dua pembagian. yaitu pembalikan beban pembuktian yang absoluUmumi dan pembalikan beban pembuktian yang terbatastherimbang. Dalatn pembalikan beban pembuktian yang absolutimumi, terdakwa daniatau penasihat hukumnya akan membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalalt. Sedangkan dalam beban pembuktian tethalik yang tethai,berimbang, baik terdakwa daniatau penasihat hukum dan penuntut umum saling membuktikan kesalahan terdakwa. Jadi dalam hal ini. walaupun beban pembuktian 
5.24

dilmakkan pada terdakwa, namun penuniut umum toap wajib uniuk membukfikan juga kesalahan terdakwa. 
Apabila dikaji pendapat Lilik Mulyadi di atas, terlihat tidak ada perbedaanya antara pembuktian konvensional dengan pembalikan beban pembuktian yang sifatnya terbatas/beritnbang. Keduanya mensyaratkan bahwa, baik pcnuntut umum atau terdakwa sama-sama diberikan kesempatan untuk membuktikan. Natnun sebenamya, diantara pembuktian konvensional dan pembalikan beban pembuktian yang terbatas memiliki perbedaan. Harus dipahami, dalam pembalikan beban pcmbuktian yang terbatas/berimbang. makna "terbatas" berani dalam penerapannya terbatas pada delik tertentu. Untuk delik korupsi, maka pembalikan beban pembuktian yang terbatas/berimbang hanya dikenakan terhadap delik menerima grarifikasi dan haria benda terdakwa yang diduga hasil dari korupsi. Dikatakan karena untuk delik menerima gratifikasi, penuntut umum hanya membuktikan terkait gratifikasi yang diterima terdakwa, sedangkan terdakwa akan ntembuktikan bahwa gratifikasi itu bukan suap. Untuk hana benda terdakwa yang diduga hasil korupsi, penuntut umum akan membuktikan tindak pidana pokoknya. Scdangkan terdakwa akan membuktikan bahwa harta tniliknya tidak diperolch dari hasil korupsi. Perbedaan selajmnya. dalam model pembuktian konvensional, penuntut umum membuktikan semua unsur tindak pidana. Model pembalikan beban pembuktian yang terbatasiberimbang, ada unsur yang tidak dibuktikan penunuut umum, dimana hal ini menjadi kewajiban terdakwn untuk membuktikan. Untuk lebih jelasnya, perbedaan amara pembukitian konvensional dan pembalikan beban pembuktian yang terbatas/berimbang dapat dilihat pada tabe berikut: 
Perbedaan 
Pembuktian konvensional 
Pembalikan beban pembuktian yang terbatasiberimbang  
lenis delik 
Tindak pidana 
Tindak pidana yang diatur di luar KUHP. Dalam tipikor, hanya diterapkan terhadap delik menerima gratifikasi dan hana benda terdakwa yang diduga hasil dari kompsi  
delik menerima gratifikasi 

penuntut umutn hanya membuktikan terkait gratifikasi yang diterima terdakwat 
5.25

terdakwa akan membuktikan bahwa gratilikasi itu bukan suap 
hana benda yang diduga hasil dari korupsi 
pnuntut umum akan membuktikan lindak pidana pokoknya, terdakwa akan membuktikan bahwa hana miliknya tidak diperoleh dari hasil korupsi.  
Unsur delik 
penuntut umum membuktikan semua unsur tindak pidana, terdakwa dapat menyangkal alat bukti yang diajukan penumut umum 
ada unsur yang tidal< dibuldikan penunum umum, dimana hal menjadi kewajiban terdakwa untuk membuktikan 

2. Pemballkan Beban Pembuktian dalam Tindak Pidana Korupsi Menurut Indriyanto Seno Adji (2006, 348), pmbalikan beban pembuktian merupakan pnyimpangan . asas hukum acara pidana. dimana terdakwalah yang harus membuktikan bahwa dirinya iidak bersalah, apabila i“idak dapat membuktikan maka dirinya diangpp bersalah. Sebagai suatu beniuk pnyimpangan asas, maka pnerapan pmbalikan beban pembuktian hanya diaplikasikan dalam perkara-perkara terlentu, misalnya dalam pettara korupsi, khususnya yang terkait dengan gratifikasi (gnitification) dan penyuapan (bribery). Bebempa ketentuan dalam Undang-Un.g Tipikor yang mengatur temang pembalikan beban pmbuktian dapat dilihat dalam Pasal 37 dan 37 A dan Pasal 12 B Un.g-Undang Tipikor. Ketentuan Pasal 37 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan sebagai berikut, (I) Terdakwa mempunyai hak untuk membulaikan bahwa ia tidak ntelakukan tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut diprgunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya. (3) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh hana bendanya dan hana benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan prkara yang bersangkutan.
5.26

(4) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambah kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk tnemperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. (5) Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2). ayat (3), dan ayat (4), penuniut umum tetap berkewajiban untuk membukiikan dakwaannya. 
Ketentuan dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 merupakan penyimpangan dalam hukum pidana tannil. Berdasarkan pasal tersebut. terdakwa diberikan hak untuk membukfikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan Penuntut Umum. Menurut penjelasan Pasal 37 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, model pembalikan beban pembuktian yang dianut olch Undang-Undang Tipikor adalah model yang terbatas. Hal ini dikarenakan, dalam Pasal 37 aym (5), Penuntut Umum memiliki kewajiban untuk membuktikan dakwannya. walaupun terdakwa mampu membuktikan bahwa ia tidak melakukan korupsi. Hakimlah yang nantinya akan memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Perlu juga untuk diketahui, bahwa ketentuan Pasal 37 Undang-Undang Na. 31 Tahun 1999 telah diubah dan dipecah dengan Undang-Undang Na, 20 Tahun 2001 sehingga menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A. Adapun perubahan tersebut dapat dilihat pada iabel di bawah ini: 

Pasal  37 Undang4.1ndang No. 31 Tahun 1999 (1 ) Terdakwa mempunyal hak untuk membuktIkan bahwa ia tidak melaku. tindak pidana korupsi. (2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tldak melakukan lIndak pldana korups1, maka keterannan tersebut Undartp•Undang No. 20 Tahun 2001 Keterangan : :- Pasa137 ayat (1) tetap; :- Pa. 37 ayat (2) diubah, sehingga berbunyi: Dalam hal terdaltwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktlan tersebut diperounakan oleh pennadilan dipentunakan sebanai hal vang menountunokan bardnva. (3) Terdakwa wajib membeakan keterangan tentang seluiuh harta bendanya dan harla benda istri atau suami, anak, dan hada benda seijap orang atau korporasi yang diduga mempunyal hubungan dengan perkara vang sebanal dasar untuk menvatakan bahwa dakwaan ticlak terbuktl. 1,- Pasal 37 ayat (3), (4), dan (5), diubah menjadi ketentuan Pasal 37 k sehingga berbunyi: (1) Terdakwa wajlb memberikan keterangan tentang seturuh 
5.27

bersar (1,kutan. Dalam hal terdalwm tidak dapat membukhkan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumbet penambah kekayaannya, maka keterengan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. 51 Dalam keadaan sebagaimana dimaksud datam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum telap berkewajiban untuk rnembukijkan dakwaannya. 

harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setlap orang alau korporasi yang diduga mempunyal hubungan dengan perkara yang didakwakan. (dulu Pasal 37 ayat (3) Undang•Undang No. 31 Tahun 1999 ) (2) Dalam hal terdakwa lidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang bdak seIrnbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keteranoan sebaoalmana dimaksud dalam aeat (1) digunalwn untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa teiah melakukan tindak pidana kompsi. (dulu Pasal 37 ayat (4) Undang•Undang No. 31 Tahun 1999 ) (3) Ketentuan sebaganana dimaksud datam ayat (1) dan ayat (2) merupakan lindak pidana alau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajlban untuk membuktkan dakwaannya. (dulu Pasal 37 ayat (5) Undang•Undang No. 31 Tahun 1999 )  
5.28

Selain pengaturan pembalikan beban pembuktian dalam Pasal 37 dan 37 A Undang-Undang Tipikor, masalah pembalikan beban pembuktian juga diatur dalam Pasal 12 B ayat (1) huruf a. Bunyi Pasal 12 B secara lengkap adalah sebagai berikut: (I) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban autu tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau pembuktian bahwa gratifilcasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000,000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebui suap dilakukan oleh penuntut umum. 
Penjelasan Pasal 12 B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 adalah sebagai berikut: Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dahun arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (diseount). komisi, pinjaman tanpa bunga. tiket perjalanan, fasilitas penginapan. perjalanan wisata. pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. 

Apabila dilihat dari formulasi penjelasan Pasal 12 B, maka subtansi yang terkandung di dalamnya lebih berisi teniang jenis-jenis gratifikasi. Adapun ketentuan tnengenai pembalikan beban pembuktian dalam Pasal 12 B hanya ditempkan terhadap dclik .mcnerima gratifikasi", apabila gratifikasi tersebut nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih. Menurut Pasal 38 A Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 , pembalikan beban pembuktian terkait dengan penerimaan gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000.00 atau lebih, dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Hal ini mengandung penegasan bahwa pembalikan beban pembuktian hanya berlaku dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, tidak berlaku dalam iahap penyidikan dan penuniumn. Terkait hal ini, J.E. Sahetapy menyatakan bahwa pembuktian terbalik lebih layak hanya 
5.29

digunakan olelt hakim. dan sama sekali tidak bolch digunakan oleh pihak pcnyidik. Hal itu karena pemeriksaan yang transparan hanya di pengadilan. Tanpa transparansi, terlepas dari praktik yang sudah tercemar dewasa ini, di Kepolisian dan atau Kejaksaan, pcnerapan beban pembuktian terbalik dalam penyidikan itu dapat menjadikan pembuktian terbalik sebagai sarana pemerasan. 
LATIHAN 
Umuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, ketjakanlah latihan berikut! 

I ) Max adalah seorang ketua DPRD sebuah kabupaten di lawa Tengalt. Sebagai seorang Ketua DPRD. Max digaji besar olch negara. Namun kenyataanya. Max tidak pernah puas dengan gaji besar yang diterimanya. Max bersama orang-orang kepercayaannya, membuat suatu rencana untuk melakukan mark up anggaran dalam pembangunan gedung baru DPRD. Scbagai inisiator, Max mendapat ja. yang lebih banyak . kawan-kawannya. Akibat perbuatan Max dan kawan-kawannya, negara dirugikan 30 milyar. KPK mengetahui perbuatan Max, dan melakukan penyelidikan atas kasus tersebui. Dari hasil penyelidikan, dikektahui bahwa ada unsur kerugian negam dalam pembangunan gedung baru DPRD. Pada saat ditahan. Max mengalami sakit berkepanjangan dan menglvambat proses pemeriksaan di persidangan. Max sering mangkir dalam persidangan dengan alasan sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Analisislah sesuai dengan ketennum perundang-undangan yang berlaku: a. Bagaimana proses petneriksaannya di persidangan apabila Max selalu mangkir dari panggilan sidang, b. Bagaimana konsekuensi yuridis atas putusan hdrim yang tidak dihadiri oleh Max? Bisakah Max mengajukan keberatan mas putusan yang tidak dihadirinya? 2) Bagaimana kedudukan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 26 A Undang«Undang No. 20 Tahun 2001 temang Perubahan Atas Undartg-Undang No. 31 Tahun 1999 temang Pemberamasan Tindak Pidana Korupsi dikaitl. dengan Pasal 184 KUHAP! 
5.30


KEGIATAN BELAJAR 2 Sistem Peradilan Pidana (SPP) dalam Tindak Pidana Korupsi 

alam perkara pidana, tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemerikban di sidang pengadilan pada prinsipnya merupakan tanap-tanap yang saling berkaii satu sama lain. Sebenarnya dalam hal ini masilt ada satu tahap terakhir. yaitu tahap pemasyarakatan. Dalam hukum acara pidana, tanap-tahap ini merupalmn sub-sistem dan sistem peradilan pidana. Dalatn sebuah sistem peradilan pidana (selanjulnya di sebut SPP) terdiri dari bagian-bagian atau yang dapat diistilankan dengan sub sistem, yang terdiri dari sub sistem kepolisian (fungsi panyelidikan dan penyidikan), sub sistem kejaksaan ((ungsi penuntutan), sub sistem pengadilan (fungsi mengadili yang dipii pemeriksaan dan memutus perkara pidana), dan sub sistem lembaga kemasyarabtan (fungsi menja(ankan pidana). Mardjono Rebodiputro (2007:140), menggambarkan bahwa SPP adalah sistem yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, saningga kejahatan yang terjadi masih dalam batas wajar toleransi yang dapai diterima olch masyarakat. Konteks menanggulangi yang dimaksud dalam hal ini adalan mengendali. kejahatan agar statistik kejahman dapat berada dalam konteks toleransi masyargat. Hampir senada dengan Mardjono, Romli Atmasgmita (20(0:3) menyatakan bahwa sistem peradilan pidana menunjukkan mekanisme keda dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem. Sampai di sini dapat disimpulkan, dalam sistem peradilan pidana terkadung mckanisme penyelidikan, penyidikan, penunuian, pengadilan, dan pemasyargatan. yang dilakukan olch alat kelengkapan negara (polisi. jaksa, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan). Umian pengantar tentang SPP di atas, pada dasamya ditujukan terhadap tindak pidana yang sifatnya umum. Dalam modul ini tidak akan dibahas mengenai SPP untuk tindak pidana yang sifainya umum, melainkan akan dibatasi untuk tindak pidana korupsi. Ruang lingkup mckanisme kerja dari SPP yang akan dibahas dalam modul ini juga akan dipersempit, kama hanya akan membahas tentang mekanisme penyelidikan. penyidikan, pcnuntuian, dan pemeriksaan di pemidangan. 
5.39

Secara singkal, dapat digambarkan bahwa hukum acara pidana dalam tindak pidana korupsi, tetap berlaku ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tetdmtg Hukum Acara Pidana. Namun apabila terdapai hal-hal yang sifatnya khusus, maka akan digunakan ketentuan dalam Undang-Undang Tipikor. Hal ini dipertegas dalam Pasal 26, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, yang menegaskan bahwa "penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan Itukum acara pidana yang berlaku. kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini". Dalam modul ini, uraian tentang penyelidikan akan digabungkan dengan penyidikan dan penunutan. Hal ini dikamnakan terdapai beberapa ketentuan yang mengatur beberapa kewenangan dalam penyelidikan. penyidikan, dan penuntutan dalam satu pasal. Adapun substansi pemeriksaan tindak pidana korupsi di persidangan akan dibicarakan dalam sub bab tersendiri. 
A. PENYELIDIKAN, PENYIDIKAN, DAN PENUNTUTAN TIPIKOR 
Mekanisme penyilidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi pada dasamya dapat dilakukan melalui dua mckanisme. Meknisme pertama melibatkan kepolisian dan kejaksaan dalam sistem peradilan pidana. Sedangkan dalam mekanisme kedua, Komisi Pemberantasan Korupsi memegang kendali atas penyelidikan, penyidikan, dan penumman sekaligus. Dalam uraian modul ini, akan lebih banyak dibahas uraian-uraian temang mekanisme penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan KPK. 

I. Mckanisme Penyclidikan dan Penyidikan oleh Polri dan Kejakman Mekanisme penyelidikan dan penyidikan dalam iindak pidana korupsi pada prinsipnya dapat dilakukan mclalui dua mckanisme. Mckanisme pertama melibatkan kepolisian dan kejaksaan dalam proses penangananya. Mekanisme kedua hanya melibatkan Komisi Pemberamasan Korupsi (KPK) sebagai pemegang monopoli penanganan perkara. Sebagai pemegang monopoli penanganan perkara tindak pidana korupsi, maka dalam mekanisme kedua ini, KPK memilild fungsi u. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Mekanisme yang melibatkan kepolisian dan kejakman dalam menangani perkara korupsi, pada prinsipnya juga sama deigan mckanisme dalam sistem pemdilan pidana untuk tindak pidana umum. Kepolisian dengan fungsi 
5.40

panyelidikan dan penyidikan, sedangkan Kejaksaan dengan fungsi penuntutan. Terkait dengan fungsi Kejaksaan, khusus untuk tindak pidana tertentu di luar KUHP, Kejaksaan juga memiliki fungsi penyidikan. Fungsi kejaksaan dalam melakukan penyidikan untuk tindak pidana khusus diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan), yang menyatakan bahwa kejaksaan memiliki kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana tenentu. Dalam penjelasan umum UU Kejaksaan. dinyatakan bahwa: Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 temang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Kornisi Pemberanasan Tindak Pidana Kompsi. 
Berdasarkan ketentuan ini, terhadan tindak pidana korupsi. kejakman memiliki kewcnangan untuk melakukan penyidikan. Dalam modul ini, mekanisme penyclidikan dan panyidikan yang dilakukan olch kanolisian dan kejaksaan tidak akan dibahas secara mendalam, hal ini dikarenakan pada prinsipnya. proseduml (hukum acara) yang digunakan baik o)eh Kepolisian maanun Kejakman pada prinsipnya sama dengan hukum aeara umuk iindak pidana pada umumnya. Namun demikian, gambaran penyelidikan dan penyidikan, sena penuntutan yang dilakukan Kepolisian dan Kejaksaan akan dideskripsikan secara singkat. Berikut akan disampaikan gambaran singkat tentang panyidik Kanolisian dan penyidik Kejaksaan. 

a. Penyidik Kepolisian Republik Indonesia (Polri) Penyidik Polri mempakan merupakan bagian tidak terpisahluut . fungsi dan kedudukan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai aparatur negara di bawah Presiden. Keientuan Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Taltun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (UU Polri) menyatakan bahwfl fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakan penegakan hukum, perlindungan. pengayoman. dan pelayanan kepada masyarakat. 
5.41

Fungsi penyidikan, dengan demikian bisa kita lihat sebagai suatu fungsi dalam menjalankan sebagian tugas Polri, khususnya di bidang penegakan hukum. Dalam Pasal 13 UU Polri, menegaskan bahwa tugas pokok Polri adalah: 1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; 2) menegakkan hukurn; dan 3) memberikan perlindungan. pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. memelihara kcamanan dan keteniban masyarakat. 

Fungsi Polri secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua. pertama, memelihara keantanan dan keteniban. kedurt melakukan penegakan hukum. Berkaitan dengan fungsi penegakan hukum, Polri mempunyai kedudukan sebagai penegak hukum. Secara integral. kedudukan Polri sebagai penegak hukum merupakan bagian dari keseluruhan sub sistem penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (SPP). Fungsi penyidikan ditubuh Polri dilaksanakan oleh satuan reserse, yang oleh peraturan perundang-undang mempunyai kewenangan melaksanakan penyelidikan, penyidikan dan koordinasi serta pengawasan terhadup Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Secara rinci menurut Pasal 16 ayat (1) UU Polri, dinyatakan dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indon.ia berwenang untuk: I) melakukan penangkapan, penahanan. penggeledahan, dan penyitaan; 2) melarang setiap orang meninggalktttt atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan; 3) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; 4) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan sena memeriksa tanda pengenal diri; 5) melakukan penterik.an dan penyitaan surat• 6) memanggil orimg untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; 7) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; 8) mengadakan penghentian penyidikan: 9) menyemhIcan berkas perkara kepada penuntut umum; 10) mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang benvenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan 
5.42

mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disanglut melakukan tindak pidana, II) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil sena menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penumut umun, dan 12) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. 
Dilihat dari kewenangan yang diberikan olch undang-undang. terlihat masih terdapat kewenangan yang belum dimiliki Polri, khususnya dalam tindak pidana khmus. Salah satu kewenangan yang tidak diatur adalah penyadapan. Ketiadaan kewenangan penyadapan olch Polri dapai mengakibatkan terkendalanya proses penegakan hukum yang dilakukan olch Polri. Lembaga Kepolisian memiliki kewenangan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi didasarkan pada kmentuam I. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ketentuan Pasal 1 angka I yang menyebtakan bahwa penyidik adalalt pejabat polisi negara Republik lndonesia atau pcjabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pasal 6 ayat ( I) sub a, menymakan bahwa penyidik adalah pejabal polisi negara Republik Indoncsia; 2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, ketentuan Pasal 1 angka 10 menyebuikan penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang umuk melakukan penyidikan. Pasal 14 huruf g IJU Polri, mengatur kewenangan Kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya, dalam hal ini termasuk iindak pidana korupsi. 

b. Penyidik Kejaksaan Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah secara garis besar memiliki fungsi dan kewenangan di bidang penegakan hukum dan kewenangan yang berhubungan dengan menjaga ketertiban dan ketenteraman umum. Di bidang penegakan hukum berhubungan dengan penegakan hukum pidana, perdata dan hukum administrasi Negara. Dibidang penegakan hokum 
5.43

pidana kejaksaan mempunyai tugas dan kewenangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 30 Undang-Undang N. 16 Tahun tentang 2004 ieniang Kejaksaan. yaitu: 1. melakukan penuntutan; 2. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang te. memperolah kekua. hokum tetap; 3. melakukan pengawasan terhadap pelalmanaan putusan pidann bersyarat. punisan pidana pengawasaii. dan keputumn lepas bersyarat; 4. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; 5. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melalcukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpalikan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. 
Berdasarkan Pasal 30 ayat (2) UU Kejaksaan, dibidang perdata dan ta. usaha negara. kejaksaan dengan kuasa dap. bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan alas nama negara atau pemerintah. Adapun tugas dan kewenangan kejaksaan berkaitan dengan menjaga ketertiban dan ketenteraman masyarakat. sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (3) UU Kejaksaan. yang meliputi: I. peningkatan kesadaran hukum masyarakat: 2. pengamanan kebijakana penegalcan huukm; 3. pengawasan peredaran barang cetakan; 4. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarak. dan Negara; 5. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodanaan agama; 6. penelitian dan pengembangan hukum seria statistik 

Berkaitan dengan kewenangan penuntutan, berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Kejaksaan. kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melakmnakan kekuasaan negara di bidang penumutan. Berkaitan dengan wewenang penuntutan, menurut Pasal 37 UU Kejalcsaan. penuntutan dilaksanakan secara independen demi keadi. berdasarkan hukum dan hati nurani. Selanjutnya, pertanggungjawaban disampaikan kepada Prmiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan prinsip akumabilitas. 
5.44

Undang-Undang Dasar Negua Republik Indonesia Tahun 1945 secara implisit mengatur keberadaan Kejaksaan R1 dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke-3 juncto Pasal 38 ayat ( I) besena penjelasannya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasnan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas dominus litis, pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang, dan sebagai executive anthtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana. Di bidang penyidikan, kewenangan Kejaksaan scring dipersoalkan mengingat tugas utama kejaksaan adalah bertindak sebagai penumul umum. Kewenangannnya dianggap kewenangan sementara pada saat masa transisi berlakunya KUHAP, sebab Pasal 6 ayat ( I) KUHAP menegaskan bahwa penyidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Scsuai Pasal 284 KUHAP, wewenang kejaksaan untuk menyidik suaiu tindak pidana ada. bersifat semeniara dan un. tertentu. Dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP disebutkan. Kejaksaan bisa menyidik kasus korupsi selama kurun waktu dua tahun semenjak diundangkannya KUHAP. Ini bcrani. scharusnya sejak tahun 1983. kejaksaan tidak boleh melakukan penyidikan. Politik hukum KUHAP terhadap lembaga yang berwenang melakukan penyidilcan menurut KUHAP diberikan kepada penyidik Polri dan PPNS, dengan menempatkan penyidik Polri sebagai penyidik utama yang berwenang melakukan penyidikan terhadap semun jenis tindak pidana. Meskipun demikin politik hukum pembuat undang-undang masih memberikan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan, khusus untuk tindak pidana khusus. Hal ini terlihat dari poliiik hukum yang tertuang dalam Undang-Undang No. 5 Taltun 1991 teniang Kejak..n dan sekarang yang terbaru Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Secara eksplisit kewenangan penyidikan tersebut tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan. Poliiik hukum pembuat undang-undang secara yuridis formal masih memberikan kewenangan penyidikan kepada kejaksaan meskipun terbatas untuk tindak pidana khusu.s, sehingga secara yuridis kewenangan tersebut salt. Dari kacamata asas yaitu . posteriori \
5.45

derogal legi priori. Artinya, aturan hukum yang kemudian (baru), mengesampingkan aturan hukum yang terdahulu dalam mengatur hal yang satna. maka kewenangan penyidikan kejaksaanan tersebut tetap meskipun Pasal 6 ayar (1) KUHAP secara eksp)isit hanya mengakui penyidik adalah penyidik Polri dan PPNS. Dari kajian perbandingan, menurut Andi Hanuah di beberapa negara, Jaksa juga mempunyai kewenangan untuk menyidik. Negara-negara tersebut antara lain Rusia. Jerman. China. Thailand, Georgia. Ballon di ncgara Prancis, Jaksa Tinggi mempunyai kewenangan mengangkat dan memberhentikan penyidik polisi yang dianggap tidak mampu dalam melakukan penyidikan. 
2. Mekanisme Penyelidikan, Penyidikan. dan Penuntutan oleh Komisl Pemberantasan Korupsi Sebagaimana layaknya undang-undang khusas lainnya, Undang-Undang No. 31 Tahun 1599 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (UU PTPK), juga mengatur secara khusus beberapa ketentuan hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Namun pada prinsipnyu apabila UU FI'PK tidak mengalur Ital yang khusus, maka akan berlaku ketentuan umum sebagaimana diaiur dalam KUHP dan KUHAP. Mekanisme penyclidikan, pcnyidikan. dan penuniuran yang dilakukan KPK mcrupakan model "satu arap", dimana fungsi penyelidikan, pcnyidikan, dan penuntutan berada pada satu bidang, yaitu bidang penindakan. Dilihat dari sudut struktur organisasi. pimpinan ICPK terdiri dari satu orang Ketua dan 4 (empat) orang Wakil Ketua. Pimpinan KPK membawahi 4 (empat) bidang, yang terdiri atas: a. Bidang Pencegahan; b. Bidang Penindakan, c. Bidang Informasi dan Data: dun d. Bidang Pengawasan Intemal dan Pengaduan Masyarakat. 

Khusus untuk bidang penindakan KPK, membawahi 3 sub bidang, yaitu subbidang penyelidikan. penyidikan, dan penuntutan. Dilihat dari struktur organisasinya, maka rerlihat di sini bahwa KPK menerapkan sistem peradilan modcl "satu atap" terhadap perkara yang ditanganinya. Subbidang penyelidikan. penyidikan, dan penuntutan berada di bawah koordinasi bidang pertindakan, dimana bidang penindakan berada di bawah 
5.46

koordinasi langsung dari pimpinan KPK. Untuk jelasnya, akan digambarkan sruktur organisasi yang terkait bidang penindakan KPK di bawah ini. 
Phnpinan KPK 
Penasehat 

Dengan model penyclidikan, penyidikan, dan penuntutan "satu atap" diharapkan bahwa penanganan tethadap perkam korupsi akan lebih mudah dalam hal supervisi dan koordinasinya. UU PTPK tidak memberikan definisi tentang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Definisi dari penyelidikan, penyidikan. dan penumutan dapat diketahui . KUHAP. Selanjutnya, definisi dari ketiga, dapat dilihat ada tabel di bawah ini: 

Penyelidikan Pasal I angka 5 KUHAP serangkaian tindakan penyelidik untuk meneari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan Penyidikan Pasal I angka 2 KUHAP serangkaian tindakan penyidik untuk meneari serta 
5.47

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang tedadi dan guna menemukan tersangkanya  
Penumutan 
Pasal 1 angka 7 KUHAP 
tindakan penuntut umum untulc melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dengan pertnintaan supaya diperiksa dan dipuius olch hakim di sidang pengadilan.  

Tekait dengan penyelidikan, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mengatur menganai penyelidikan. Undang-Undang Tipikor hanya mengatur mengenai penyidikan dan penuntutan (BAB IV Undang-Undang Tipikor). Adapun keientuan penyelidikan dalam penanganan tindak pidana korupsi, diatur dulam Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Koruj.i (UU KPK). DilihBdari definisi penyelidikan yang diatur KUHAP, tujuan dari penyelidikan adalah mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Frasa "diduga" dalam pengertian penyelidikan patut untuk diperhatikan, karena pada dasamya suatu perisiiwa belum dapat dipastikan apakah peristiwa itu merupakan tindak pidana atau bukan. Apubila dalam peristiwa tersebut terkandung unsur tindak pidana, maka tindakan selanjutnya adalah penyidikan. penyelidikan hanya sampai pada tahap menentukan ada tidaknya unsur tindak pidana dalam peristiwa tersebut. Sedangkan tujuan dari penyidikan adalah mencari dan mengumpulkan alat bukti untuk mencari siapa pelaku dari tindak pidana tersebui. Sedangkan proses penuntutan merupakan suatu proses pelimpahan perkara dari penuntut umum ke pengadilan yang memiliki kewenangan atas perkara tersebut. Menurut KUHAP, yang berhak melakukan penyidikan adalah polisi atau pejabal pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus olelt undang-undang guna mclakukan penyidikan. Sedangkan penyelidik menurut KUHAP, terbatas hanya untuk anggota kepolisian. Sedangkan penuniutan dilakukan oleh kejakman sebagai lembaga penuntut umum. hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang 
5.48

Kejaksaan yang menyatakan jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang umuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sena wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam perkara tindak pidana korupsi, selain kepolisian, Kornisi Pemberatasan Korupsi (KPK) juga memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Hal ini merupakan amanat dari Pasal 43 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Taliun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 , yang menyatakan "Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunpi lugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi. tcrmasuk melakukan penyclidikan, penyidikan. dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan penuidang-undangan yang berlaku". Ketentuan Pasal 43 ayat (2) dipertegas dengan lahimya Undang-Undang No 30 Tahun 2002 lentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana dalam Pasal 6 huruf c menegaskan bahwa KPK memiliki tugas untuk melakukan pcnyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi. Terkait dengan iugas ICPK scbagai penyelidik, penyidik. dan penunithan, KPK memliki kewenangan uniuk, I. melakukan penyadapan dan merckam pembicaraan; 2. memerintahkan kepada instansi yang Icrkait u. melarang scscorang bepergian ke luar negeri; 3. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau ierdakwa yang sedang diperiksa: 4. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; 5. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; 6. mcminta data kekayaan dan data popajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; 7. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan semeniara periainan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang 
5.49

cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa: 8. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain uniuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyhann barang bukti di luar negeri: 9. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Selanjutnya akan dibahas terkait penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi. 

a. Penyelidikan Dalam hukum acara pidana, mekanisme pertama dalam ntenangani tindak pidana adalah penyelidikan. Dalam penyelidikan perkara tindak pidana korupsi, fungsi penyelidikan pada KPK dilakukan oleh penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Penyelidik KPK diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Dalam melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi, apabila penyelidik menemukan bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujult) hari kerja terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut, penyelidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Pasal 44 ayat (2) UU KPK, bukti permulaan yang dimaksud haruslah sekurang-kurangnya terdiri dari minimal 2 (dua) bukii, termasuk dan tidak terbatas pada alat bukti elektronik. Menunn Penjelasan Pasal 17 KUHAP, "bukti permuluan yang cukup" bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir . KUHAP. Dengan disyaratkannya adanya "buldi permulaan yang cukup“, dimaksudkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepadn mereka yang betu-betul melakukan iindak pidana. Dalam hal penyelidik KPK tidak menemukan buldi permulaan yang cukup, maka penyelidik akan InelaNrkan kepada KPK, selanjutnya KPK akan menghentikan penyelidikan. Namun apabila KPK menilai bahwa berdasar bukti permulaan sudah cukup, dan berpendapai baltwa perkara tersebut diteruskan, maka KPK akan melanjutkan kepada fungsi penyidikan, baik dilakukan secara mandiri atau dilimpahkan kepada kepolisian atau kejaksaan. Dalam hal penyidikan dilimpahkan kepada kepolisian atau 
5.50

kcjaksaan. baik kepolisian maupun kcjaksaan wajib melaksanakan koordinasi dan melaporkan perkembangan penyidikan kepada KPK. b. Penyidikan Sebagaimana telah dibahas dalam uraian temang penyilidikan, berdasarkan bukti-bukti permulaan yang cukup, tahap penyelidikan atas suatu perkara dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan. Fungsi penyidikan di KPK dilakukan oleh penyidik KPK yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK. Dalam penyidikan yang dilakukan oleh penyidik KPK, pcmcriksaan terscingka dilakukan dengan mengurangi halc-hak tersangka. Dalam melaksanakan tugasnya. penyidik KPK memiliki hak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun I 9.19 yaitu: I. meminta keterangan kepada Iersangka tentang selmuh hada benda bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan haria benda setiap orang atau korporasi (Pa. 28 Undang-Undang Tipikor); 2. meminm keterangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka (Pasal . Undang-Undang Tipikor); 3. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan ldriman melalui pos. telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mcmpunyai hubungan dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa (Pasal 30 Undang.Undang Tipikor). 

Salah satu hal khusus dalam penyidikan yang diatur dalam UU KPK adalah penyiumn yang dilakukan KPK, dapat dilakukan tanpa adanya izin dari Ketua Pengadilan Negeri sclama berkaitan dengan tugas penyidikannya (Pasal 47 ayat (1 ) UU KPK). Dengan adanya ketentuan ini, maka secara khusus ketentuan Pasal 47 ayat (1) UU KPK mengecualilcan Pasal 38 ayat (I) KUHAP, yang menyatakan, "Penyitaan hanya dapat dilakukan olch penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat". Dalam hal penyitaan yang dilakukan olch penyidik KPK. wajib dibuat berita acara penyitaan yang sekurang-kurangnya memuat ketentuan-keientuan di bawalt ini: I. nama, jenis, dan junilah barang mau benda berharga lain yang disita; 2. keterangan tempat. waktu, hari, tansgal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan; 3. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang atau benda berharga lain tersebut; 4. canda tangan dan identitas penyidik yang mclukukan penyitaan; dan 
5.51

5. tanda tangan dan identims dari pemilik atau orang yang menguasai barang tersebut Selanjuinya, salinan berita acara penyitaan sebagaimana dimaksud akan disampaikan kepada tersangka atau keluarganya. Selain ketentuan khusus tentang penyitaan, Undang-Undang Tipikor memberikan peluang untuk dibentuknya lim gabungan di bawah koordinasi jaksa agung apabila ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya. Dalam penjelasan Pasal 27 Undang-Undang Tipikor, katagori tindak pidana yang sulii pembuktiannya aniara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yangt I. bersifat lintas sektoralt 2. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggiht atau 3. dilakukan oleh tersangkaiterdakwa yang berstatus sebagai penyelenggara negara. 
Berdasarkan ketentuan ini, maka dalam proses penyidikan terhadap korupsi yang sifatnya sulit pembuktiannya, dapat dibentuk tim yang bersifai khusus. Menurut Mardjono Reksodiputro, korupsi dengan karakteristik seperti ini (korupsi dengan pembuktian yang sulit) merupakan bentuk extraordinaly crime (kcjahatan luar biasa), schingga dalam penanganannya juga diperlukan extraodinar• measure (tindakan luar biasa). Ertraordinar• measure ini dapat kita lihat dengan pembentukan tim khusus di bawalt koordinasi jaksa agung. 

c. Penuntwan Setelah berkas perkara tindak pidana korupsi dinyatakan telah lengkap olch penyidik KPK, sclanjutnya berkas tersebut akan dilanjutkan ke direkiorat penuntutan. Setelah menerima pelimpahan perkara dari penyidik KPK, penuntut KPK uniuk waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja, terhitung seja,anggal diterimanya berkas tersebut, wajib melimpahkan berkas perkara tersebut kepada Pengadilan Negeri. Dalam proses penuntutan terhadap tersangka tindak pidana korupsi, KPK tidak diberi kewenungan oleh UU KPK umuk mengeluarkan surat penghentian penuntutan. Keientuan ini juga berlaku bagi proses penyidikan yang dilakukan KPK. Dengan adanya ketentuan ini, maka perkara yang sudah ditangani KPK, dan sudah memasuki iahap penyidikan dan penuntutan, tidak akan bisa dihentikan. Kecuali perkara tersebut masih dalam 
5.52

tahap penyelidikan, maka perkara tersebut boleh dihentikan, dengan eatatan tidak ada alat buktii yang mendukung cerjadinya tindak pidana korupsi. d. Bebera, Ketentuan Khusus dalam Mekanisme Penyedidikan. Penyidikan, dan Penunnaan yang dilakukan KPK Setelah mempelajari teniang mekanisme penyelidikan, penyidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK, selanjumya akan dibahas mengenai beberapa kekhususan penanganan perkara tinddc pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK. Sebagaimana telah dibahas diawal, mekanisme penanganan perkara kompsi bisa dilakukan melalui dua mekanisme. Apabila kedua mekanisme ini tidak diberikan batasan yang jelas, maka bisa menimbulkan kekisruhan dalam penegakan hukum yang terkab tindak pidana korupsi. Pada dasarnya, Undang-Undang Tipikor telah mengatur batasan•balasan tersebut. Dalam undang-undang telah diatur lentang hubungan antara KPK dengan kepolisian dan kejaksaan yang sama-sama memiliki fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penumutan terhadap iindak pidana Hubungan ini dapai dilihat dalam Pasal 50 UU KPK, yang menyatakan sebagai berikut• (1) Dalam hal suatu tindak pidana korupsi tedadi dan Komisi Pemberamasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut lelah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terbitung sejak tanggal dimulainya penyidikan. (2) Penyidikan yang dilakukan olch kepolisian atau kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus mencrus dengan Komisi Pemberamasan Korupsi. (3) Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah rnulai melakukan penyidikan sebagaimana dimalcsud pada ayat (1 1, kepolisian atau kejaksaan iidak berwenang lagi melakukan penyidikan. (4) Dalum hal penyidikan dilakukan seeara bersamaan oleh kepolisian dantatau kejaksaan dan Komisi Pemberamasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan. Berdasarlom ketentuan Pasal 50 UU KPK di atas, maka dapat kita lihat adanya kewenangan KPK untuk mengambil perkara yang sudah ditangani oleh kepolisian atau kejaksaan. Pada prinsipnya, tugas mengambil allh suatu 
5.53

perkara tindak pidana korupsi dari kepolisian atau kcjaksaan merupaku tugas supervisi yang dimiliki oleh 1CPK. Dengan adanya kewenangan yang diberikan oleh UU, maka pada prinsipnya, KPK memiliki hak untuk mengambil suatu perkara tindak pidana korupsi, walaupun dalam prosesnya telah dilakukan penyidikan oleh kepolisian atau kejaksaan. Namun demikian, UU memberikan pembatasan terhadap Icriteria perkara yang bisa diambil alih oleh 1CPK. Kriteria perkara yang dapat diambil oleh KPK adalah sebagai berikut (Pasal 9 UU KPK), I. laporan masyarakat mengenai tinddc pidana korupsi tidak dirindaklanjuti; 2. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat diperianggungjawabkan; 3. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku findak pidana korupsi yang sesungguhnya; 4. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; 5. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karcna campur tangan . eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau 6. kcadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kcjaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Dilihat dari ketentuan tersebut, maka kesclurulum syarat tidak bersifat imperatif, melainkan bersifat altematif. Aninya tidak harus semua syarat dalam Pasal 9 UU KPK terpenuhi, apabila terdapat indikasi satu syarat terpenuhi, maka dalam hal ini KPK bolch mengambilalill perkara yang sudall ditangani oleh kepolisian dan kejaksaan. Dalam proses penyidikan tindak pidana kompsi yang scdang berjalan, apabila tersangka meninggal dunia, secara hukum Icasus pidananya ditutup. Namun demikian, Undang-Undang Tipikor menegaskan bahwa meninggalnya terdakwa tidak menutup jalan dilakukannya gugatan perdata kepada ahli waris tersangka. Ketentuan demikian diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Tipikor, yang menyatakan sebagai berikut, Dalam hak tersangka meningsal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyeralikan berIcas perkam hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan
5.54

kepada instansi yang dirugikan umuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. 
Dengan diatumya ketentuan tersebut. maka jaksa dapat melakukan upaya pengembalian kerugian negara, walaupun tersangka korupsi meninggal dunia. Namun demikian, patui dicatai bahwa upaya pengembalian kerugian negara yang dilakukan jaksa pengaeara negara tidak dilakukan melalui mekanisme hukum pidana. melainkan melalui mekanisme hukum perdata. Selain ketentuan khusus temang pengambilahhan perkara dari kepolisian atau kcjaksaan, bebcrapa ketentuan terkait mekanisme penyclidikan, penyidikan, dan penuntuian tindak pidana korupsi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. 

Uralan Dasar Hukum Keterangan Jaksa Agung mengkoordinasikan dan Pasal 39 Undang. Perkara Koneksitas mengendalikan penyelidikan, Undang No. 31 dalam lipikor penyidikan, dan penuntutan tipikor Tahun 1999 yang dilakukan bersama.sama oleh orang yang tunduk pada Peradllan Umum dan Peradilan Militer KPK ~ng melakukan Pasal 11 Undang. Kriteda lindak penyelidikan, penyidikan, dan Undang No 30 pidana kompsi yang penuntuMn tindak pidana korupsi yang Tahun 2002 brsa ditangani KRK a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kailannya dengan tindak pidana korupsi yang ditakukan oleh aparal penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; danlatau c. menyangkut kerugian negara paling sedikil Rp. 1.000.000.000,00 Matu milyar rupiah). Kewangan KPK dalam penyelidikan, Pasal 12 ayat (1) penyidikan, dan penuntutan: Undang-Undang No a. melakukan penyadapan dan 30 Tahun 2002 1 
5.55

merekam pemb.raan; b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar ne4eti, c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa, d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari kaups1 milik tersangka, terdalwia, atau pihak lain yang terkart; e. memerintahkan kepada pImpinan atau atasan tersangka untuk memberhentiltan sementara tersangka dari jabatannya; f. memiNa data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjamlan lainnya atau pencabutan sementara penzinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang dipenksa, h. memi. bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian. 
5.56

penangkapan, dan penyitaan barang bukti dl luar negeri; I. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyltaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.  
5.57 
KPK dapat melaksanakan kerja sama dalam penyelidikan, perwidikan, dan penuntutan tiplkor dengan lembaga penegak hukum negara laIn sesuai dengan peraturan perundang-un.ngan yang berlaku atau berdasarkan perjanjian internasional yang telah dlakui oteh Pemerintah Republik Indone..  
Pa.I 41 Undang-Undang Na 30 Tahun 2002 
Kewenangan KPK dalam melakukan kegasama dengan penegak hukum luar negeli 
KPK berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidi., dan penuntutan tindak pldana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan pemdllan umum. 
Pam142 Undang• Undang No 30 Tahun 2002 
Ketentuan Pasal 42 sekaIigus menjadi ketentuan khusus (iex speiatis)dati Pasal 39 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 
B. PEMERIKSAAN PERSIDANGAN 

Proses persidangun perkara tindak pidana korupsi dilakukan di pengadilan tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor). Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan yang bersifat khusus, berada di lingkungan Peradilan Umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk di setiap ibu kota kabupaten/kma. Hukum acara yang digunalmn dalam pemeriksaan di sidang F'cngadilan Tipikor pada dasarnya dilakukart sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP), kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang, yaitu Undang-Undang No 46 Tahun 2009 temang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Kekhususan hukum acara tersebut antara lain mengatur 
5.57

I. Penegasan pembagian tugas dan wewenang amara ketua dan wakil kenia Pengadilan Tindak Pidana Korupsi; 2, Mengenai komposisi majelis Nakim dalam pemerikman di sidang pengadilan baik pada tingkat pertama. banding maupun kasasi; 3. Jangka waktu penyelesaian pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi pada setiap tingkatan pemeriksaan; 4. Alat bukti yang diajukan di dalam persidangan. termasuk a. bukti yang diperoleh dan hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan pemturan perundang-undangan; dan 5. Adanya kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Sebelum membahas lebih lanjut tentang peineriksaan dalam persidangan tindak pidana korupsi, terlebih danulu akan dibahas sekilas tentang gambaran umum pengadilan tindak pidana korupsi. Dilihat dari struktur organisasinya. Pengadilan Tipikor terdiri atas unsur pimpinan, unsur hakim, dan unsur panitcra Unsur pimpinan terdiri atas scorang ketua dan seorang wakil ketua. labatan ketua dan wakil ketua Pengadilan Tipikor dirangkap pengadilan negcri. Ketua pengadilan iindak pidana korupsi bertanggung jawab atas administrasi dan pelaksanaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal tenentu ketua. dapat mendelegasikan penyclenggaman administrasi kepada wakil kciva. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang No 46 Taltun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana ICorupsi, Pengadilan Tipikor diberikan kewenangan olch undang-undang sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi, dengan kriteria: I. tindan pidana korupsi; 2. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana amlnya adalah tindak pidana korupsi: dantatau 3. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi. 

Dalam proses pemeriksann di persidangan, hanim yang bersidang di pengadilan tindak pidana korupsi terdiri atas hakim kaner dan hakim ad hoc. Menurut ketentuan Pasal l angka 2. hakim karier adalah hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung yang ditetapkan sebagai hanim tindak pidana korupsi. Sanangkan definisi hanim ad hoc 
5.58

adalah seseorang yang diangkat berdasarkan persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang ini (UU Pengadilan Tipikor) sebagai hakim tindak pidana korupsi. Hakim karier diangkat berdasarkan keputusan Ketua Mahkamah Agung, sedangkan hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahlumah Agung. Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menetapkan susunan majelis Hakim, dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal penerimaan penyerahan berkas perkara. Sidang penama perkara Tindak Pidana Korupsi wajib dilaksiinalcan dalam waktu paling lambat 7 (tujull) hari kerja terhitung sejak pennapan majelis Hakim. Jumlah hakim yang benugas memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tipikor berjumlah ganjil, sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang hakim yang terdiri dari hakim karier dan hakim ad hoc. Dalam hal jumlah majelis hakim adalalt 5 (lima) orang, maka komposisinya adalah 3 orang hakim karier dan 2 orang hakim ad hoc. Apabila jumlah majelis hakim 3 orang, maka komposisinya adalah 2 orang hakim karier dan I orang Itakim ad hoc. Dalam hal Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak tersedia Hakim ad hoc yang mempunyai keahlian yang diperlukan dalam pemerilcsaan perkara, ketua pengadilan negeri dapat meminia Hakim ad hoe pada ketua pengadilan negeri dalain daerah hukum pengadilan tinggi lainnya. Keberadaan Hakim ad hoc dalam perkara tipikor ningat diperlukan. Selain karena kompleksitas tindalc pidana korupsi, keberadaan Hakim ad hoc juga didasari pada ide dasar untuk memberikan penguatan kinerja pengadilan tindak pidana korupsi yang selama ini dianggap cenderung tidak ..bersih" karena praktik malla peradilan. Namun sangat disayangkan, kehadiran Halcim ad hoc yang dimaksudkan untuk memperkuat kinerja pengadilan tindak pidana korupsi, ”diperlemah"dengan ketentuan Pasal 26 ayat (3) dan (4) UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pasal tersebut, dijelaskan bahwa penentuan mengenai jumlah dan komposisi majelis hakim ditnapkan oleh ketua pengadilan masing-masing atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan tingkatan dan kepentingan penieriksaan perkara kasus demi kasus. Ketentuan mengenai kriteria dalam p ncuman jumlah dan komposisi majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung. Dengan adanya ketentuan tersebut, hal ini justni berpotensi untuk menyuburkan peler.an terhadap penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi. 
5.59

Hukum acara pidana yang digunakan dalam pengadilan tipikor pada prinsipnya mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 25 UU Pengadilan Tipikor yang menyatakan baltwa pcmerikman di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Penattyaan yang muncul adalah, hukum acara pidana mana yang berlaku? Menuna Pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). KUHAP berlaku untuk melaksanakan tatacara peradilan dalam lingkungan peradilan umum pada scmua tingkat pcmdilan. Dilain pihak, menurut Pasal 2 UU Pengadilan Tipikor. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Pcradilan Umum. Berdasarkan keientuan tcrsebut maka dapat disimpulkan bahwa hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi Pengadilan Tindak Pidua Korupsi, dengan ketentuan apabila UU Pengadilan Tipikor mengatur hal yang sifamya khusus, maka akan diberlakukan kekhusu.san tersebut. Hal ini sejalan dengan a. speeitdis derogate legi generalis. Dalam pro. persidangan Baltap pembuktian), semua alai bukti yang diajukan di dalam persidangan. tennasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan, harus diperolch secara sah berdasarkan ketemuan peraturan penindang.undangan. Hakim menentukan salt tidaknya bukti yang diajukan di muka persidangan baik yang diajukan oleh penuntut umum maupun oleh terdakwa. Perkara tindak pidana korupsi diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tingkat penama dalam waktu paling lama 120 (seraius dua pubh) bttti kerja terhitung sejak tanggal perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor, Untuk pemeriksaan tingkat banding, diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60 (cnam puluh) . kcrja terhilung sejak langgal berk. perkara diterima oleh Pengadilan Tinggi. Sedangkan untuk pcmeriksaan tingkat kasasi, Tindak Pidana Korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 120 (seratus dua pu(uh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkamah Agung. Dalam hal putusan pengadilan dimintakan peninjauan kembali, pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) harl kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh Mahkanuth Agung. 
5.60


MODUL 6
KEGIATAN BELAJAR 1 
Kelembagaan Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi 
VIcicalenimbka7aai antapc" nbcegi aaika:n u tu' t inndalc'haspi i'dana aakkoaru" pds eDlasarikutnop irbleasar" ini, alcan dibagi kedalam bagian-bagian yang berkaitan dengan lembaga pcnyidikan, lembaga pcnuntutan dan lembaga yang mcmeriksa perkara tindak pidana korupsi. Sebelum melangkah lebih jauh, ada bailcnya mahasiswa memahami dulu apa yang dimaksud dengan penegakan hukum. Penegakan hukum pada hakckatnya adalah menunjuk pada akrivitas pcnegak hukum dalatn mclakukan tindakan tcrhadap pclanggaran produk hukum olch pelaku. Dalam perkara pidana, penegakan hukum tidak lain adalah, proses cindakan dari lembaga pcncgak hukum dengan menggunakan perangkat hukunt yang ada untuk memberikan pemidanaan cerhadap pelanggaran ketentuan hukum pidana. Penegakan hukum pidana dengan demikian melibaikan komponen pcncgak hukum dan scperangkat aturan hukum pidana, baik hukum pidana hukum pidana formil dan hukum pelaksanaan pidana. Pencgakan hukum tindak pidana korupsi, berjalan dalam suatu mckanisme proscs sistcm peradilan pidana yang bcrsifat khusus. berbeda dengan sistem peradilan pidana pada uniumnya. Dikatakan khusus karena diatur dengan ketentuan hukum pidana matcriil khusus (diluar KUHP) yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (scla)utnya discbut Undang-Undang No 31 Tahun 1999), disahkan pada tanggal 16 Agusius (999 diundangkan rlalam Lembaran Negara No, 1411 Dalmn perkembangannya diperbaharui olch Undang-Undang No, 20 Tahun 2001 tcntang Pcrubahan alas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberamasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU No. 20 Tahun 200)), diundangkan pada tanggal 21 Nopernbcr 2001. Undang-undang tentang tindak pidana korupsi sclain mcmum ketentuan hukum pidana materiil, juga memuat ketentuan hukum pidana formil (hukum acara pidana) diluar ketentuan KUHAP, sclain menggunakan kcientuan hukum pidana yang khusus penegakkannya juga dilakukan oleh lembaga/ aparat pcnegak hukum yang khusus pula. 
6.3

Dari sisi peraturan perundang-undangan ditopang/diperkuat dengan beberapa aturan terkaii yang menempaikan penegakan hukum tindak pidana korupsi bersifai khusus. Undang-undang tersebut antara lain, I. Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang 1Comisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui undang-undang ini lahirlah lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penuntu. tindak pidana korupsi 2. Undang-Undang No. 2 Tahun 2000 tentang Kepolisian Rcpublik Indonesia. Melalui undang-undang ini dan ketentuan Pasal 6 KUHAP. Kepolisian mempunyai kewenangan untuk menyidik scluruh tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi 3. Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 ten.g Kcjaksaan Republik Indomia dan Pasal 284 KUHAP, memungkinkan lembaga kcjaksaan untuk melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi 4. Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 teniang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, mcngatur bahwa tindak pidana korupsi hanya diperiksa dan diadili olch Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Empat undang-undang di atas melahirkan lembaga-lembaga yang mcmpunyai kcwenangan untuk mcncgakkan tindak pidana korupsi, mulai dafi tahap pcnyidikan dilakukan olch Kepolisian, Kcjaksaan dan Komisi Pcmberantsan Korupsi (KPK). tahap penuntuian olch pcnuntut kejaksaan dan penuntut KPK dan tahap mengadili yang dilakukan oleh pengadilan khusus yaitu Pengadi. Tindak pidana korupsi (Tipikor). Untuk lebih lengkapnya, materi kegiatan belajar I alcan diuraikan pada uraian di ba. ini, 
A. LEMBAGA PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI 

Penyidikan menurm KUHAP (Pasal 1 angka 2) adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, untuk mencari serta mengumpulkan bukii yang dengan bukti itu membuat terang temang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Mencilik pengerlian tersebut, penyidikan adalah serangkaian aktivitas penyidik dalam rangka mencari dan mengumpulkan bukti , perkaranya jela.s dan diketemukan tersangkannya. Penyidikan adalah pintu awal proses perkara pidana, dalam sebagai pemeriksaan awal proses penegakan tindak pidana korupsi. 
6.4

Penyidikan dilakukan oleh aparat penyidik. UU-TPK lidak menyebui siapa yang benindak scbagai penyidik, tetapi hanya menycbut penyidik. Dari ketentuan KUHAP. undang-undang Kepolisian. Kejaksaan dan UU KPK dapat kita inventarisir bahwa penyidikan tindak pidana korupsi dilakukan oleh 3 Biga) lembagtilinstitusi penyidik yailu penyidik Kepolisian, Kejaksaan dan penyidik KPK. Masing-masing melakukan tugas penyidikan sesuai ketentuan undang-undang yang mengatumya maupun KUHAP. 
1. Penyklik Kopolisian Penyidik Polri merupakan merupakan bagian tidak terpisahkan dari fungsi dan kedudukan Kepolisian Republik Indonesia (Pohi) sebagai aparatur Negara di bawah Presiden. Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menyatakan bahwa, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan keteniban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pclayanan kepada masyarakat. Fungsi penyidikan dengan demikian bisa kita lihat sebagai menjalankan sebagian iugas Polri, khususnya dibidang penegakan hukum. Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia menegaskan bahwa tugas pokok Po. adalah: a. memelihara keamanan dan keieniban masyamkat: b. menegakkan hukum: dan c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. 

Fungsi Polri secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yailu pertama, memelihara keamanan dan ketertiban, kedua melakukan penegakan hukum. Berkaitan dengan fungsi penegalcan hukum, Polri mempunyai kedudukan sebagai pcncgak hukum. Secara integral adalah bagian dari keseluruhan sub-sistem penegak hukum dalarn sistem peradilan pidana. Fungsi penyidikan ditubuh Polri dilaksanakan olch satuan reserse, yang oleh peraturan perurtdang-undang mempunyai kewenangan melaksanahn penyelidikan, penyidikan dan koordinasi serm pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Secara rinci menurut Pasal 16 (1) dinyatakan dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk : 
6.5

a. melakukan penangkapan, penahanan. penggeledahan, dan penyitaan: b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kcjadian perkara untuk kepentingan penyidikan; c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan; d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal did; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat: f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai iersangka mau saksi; g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara: h. mengadakan penghentian penyidikan; menyerahkan berkas perkam kepada penuntut umum; j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabai imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah alau menangkal orang yang disangka melakukan iindak pidana; k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pcgawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk discrahkan kcpada penuniut umum; dan I. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang berlanggung jawab. 

Tugas pokok Reserse Polri adalah melaksanakan penyelidikan. penyidikan dan koordinasi serta pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berdasarkan Undang-undang No. 8 tahun 1981 dan peraturan perundangan lain. Menurut Pasal 12 Kepres No. 70 Tahun 2002 temang Organisasi dan Tata Ketja Kepolisian Republik Indonesia, penyidik dan pcnyidik pembantu adalah pejabat fungsional yang diangkat olch Kepala Kepolisian Indonesia. Dalam struktur mganisasi dan tata kerja Polri sebagaiamana diatur dalam Kepres No. 70 Tahun 2002 temang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Republik Indonesia, kewenangan penyidikan dilakukan reserse daerah dan pusat. Reserse di daerah melekat pada organisasi Polri, dari tingkat Polisi Daerah (Polda) sampai Polisi Sektor (Polsek). Tingkat pusat berada pada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) sebagai unsur pelaksana utama posat berada di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Pasal. 4 jo Pasal 
6.6

22). Bareskrim dipimpin olch seorang Kabareskrim berpangkat Pati Bintang Tiga dengan Eselon IA. Kabareskrim dibantu oleh scorang Wakil Kabareskrim dan sebanyak-banyaknya sepuluh Kepala Biro. Bartskrim meskipun merupakan badan reserse ditingkat pusai, sclain memiliki Iugas menyclenggarakan fungsi penyclidikan dan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan fungsi labortuorium forensik, juga mempunyai tugas mclakukan pembinaan terhadap pelaksanaan rungsi re.serse di daerah dalam rangka penegakan hukum. Lembaga Kepolisian memiliki kewenangan penyidikan terhadap iindak pidana korupsi didasarkan pada ketentuan, I. KUHAP. ketemuan Pasal I angka I yang menyebuikan bahwa penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil teneniu yang diberi wewenang khusus olch undang-undang untuk melakukan penyidikan. Pasal 6 ayat (1) sub a, menyarakan bahwa penyidik adalah pcjabar polisi negara Republik Indonesia; 2. UU Kepolisian, ketentuan Pasal I angkan 10 menyebutkan penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang olch undang-undang uniuk rnclakukan penyidikan. Pasal huruf g, mengatur kewenangan Kepolisian umuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan penmdang-undangan lainnya, dalam hal ini termasuk tindak pidana korupsi. 

2. Penyidlk Kejaksaan Kcjaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintah secara garis bcsar memiliki fungsi dan kewenangan di bidang penegakan hukum dan kewenangan yang berhubungan dengan menjaga ketertiban dan ketenteraman umum. Di bidang pcncgakan hukum berhubungan dengan pencgukan hukum pidana, perdata dan hukum adminisuasi Negara. Dibidang penegakan hukum pidana kcjaksaan mempunyai tugas dan kewenangan schagaimana terschut dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 16 Tahun tentang Kejaksaan, yaitu, a. melakukan penumuran, b. melaksanakan penetapan hakim dan puiusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap; 
6.7

c. melanukan pengawasan terhadap pelaksarman putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan kepthusan lepas bersyarat; d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tenentu berdasarkan undang-undang; e. melengkapi berkas perkara terterhu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan lambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelakannaannya dikoordinasikan dengan penyidik; 
Berdasarkan Paanl 30 ayal (2), dibidang perdata dan . usaha negara, kejaksaan dengan kuasa dapat benindan baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara atau pemerintalt. Adapun tugas dan kewenangan kejakanan berkahan dengan menjaga keteniban dan ketenteraman masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (3) meliputi, a. pcningkatan kesadaran hukum masyarakan b. pengamanan kebijakana perteganan hukum; c. pengawasan peredaran barang cmakan; d. pengawasan uliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyamkat dan Negara; e. pencegahan penyalahgunaan daniatau penodanaan agama; f. penelitian dan pengembangan hukum serta statiank kriminal. 

Berkahan dengan kewenangan penuntutan, berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R1, Kejaksaan adalan lembaga pemerintah yang melakannakan kekuasaan negara di bidang penuntumn. Berkaitan dengan wewenang penuntutan menurth Pasal 37 dilaksanakan secara independen dan penanggungjawaban disampaikan kepada Presiden dan Dcwan Penvakilan Rakyat stsuai dengan prinsip akuniabilitas. Undang-undang Dasar 1945 secara implisit mengatur keberadaan Kejaksaan R1 dalam sistem ketatanegaraan, anbagai badan yang terkait dengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke-3 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangat dominan sebagai penyandang asas domiturs pengendali proses perkara yang menentukan dapat tidaknya seseorang dinyatakan sebagai terdakwa dan diajukan ke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah 
6.8

menurut undang-undang, dan sebagai executim ambtenaar pelaksana penempan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana. Di bidang penyidikan, kewenangan kejakman sering dipersoalkan mengingat tugas utama kejaksaan adalah hertindak sebagai penuntut umum. Kewenangannnya dianggap kewenangan sementara pada mat masa transisi berlakunya KUHAP, sebab Pasal 6 ayat (1 ) menegaskan penyidik adalah pejabat kepolisian negara Republik Indomia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus olch undang.undang. Sesuai Pasal 284 KUHAP wewenang kejaksaan untuk menyidik suatu tinclak pidana adalah bersifat sementam dan untuk tindak pidana — tindak pidana teneniu. Dalam Pmal 284 ayat (2) (KUHAP) disebutIcan, kejakman bisa menyidik kasus korupsi selama kurun waktu dua tahun semenjak diundangkannya KUHAP. Ini berarti. seharusnya sejak ttthtttt 1983, kejakman tidak boleh melakukan penyidikan. Politik hukum KUHAP terhadap lembaga yang benvenang melakukan penyidikan menurut KUHAP diberikan kepada penyidik Polri dan PPNS, dengan menempatkan penyidik Po. sebagai penyidik utama yang benvenang melakukan penyidikan terhadap semua jenis tindak pidana. Meskipun demikin politik hukum pembuat undang-undang masili memberikan kewenangan penyidikan kepada kejakman, khusus untuk tindak pidana4indak pidana Mrteniu (tindak pidana khusus). Hal ini terlihat dari pttlitik hukum yang tenuang dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan dan sekarang yang terbaru Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Secam eksplisit kewenangan penyidikan tersebut tertuang dalam Pasal 30 ayat (1) hunif d. hukum pembuat undang-undang secara yuridis fonnal masih memberikan kewenangan penyidikan kepada kejalmaan meskipun terbatas untuk tindak pidana khusus, sehingga sccara yuridis kewenangan tersebut masih sah. Dari kacamata asas yaitu lex posteriori derogat tex priori. Artinya, aturan hukum yang kemudian mengesampingkan atumn hukum yang terdahulu dalam mengatur hal yang mma, maka kewenangan penyidikan kejakmanan tersebut tetap salt meskipun Pasal 6 ayat (1) KUHAP seeara eksplisit mengakui penyidik adalah penyidik Polri dan PPNS. Dari perspektif perbandingan Andi Harnmh juga memperkuat kewenangan kejaksaan dalam penyidikan. dengan mengatakan di belahan negara-negara lain jaksa juga mempunyai kewenangan untuk menyidik. Negara-negara iersebui antara lain Rusia, Jerman. China, Thailand, Georgia bahkan di negara Prancis sendiri Jaksa Tinggi mempunyal kewenangan 
6.9

mengangkat dan memberhentikan penyidik polisi yang dianggap tidak mampu dalam melakukan penyidikan. 

3. PenyidIk KPK Tindak pidana korupsi merupakan problem universal bersifat endenUk, mengancam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam mencapai kesejahteraan masyarakat. Secara Intemasional korupsi diakui sebagai masalah yang sangat komplek. bersifat sistemik dan meluas. Di Indonesia korupsi sudalt merambah di segala lini tata kehidupan sehinggga tidak hanya dipandang merugikan keuangan negara dan perekonomian. akan tempi telah merampas hak-hak sosial masyrakat. Olch karena itu tindak pidana korupsi digolongkan sebagai tindak pidana yang biasa (extra ordinary ernne) seltingga diperlukan langkah-langkah yang luar bima (extra meassure). Dalam penimbangan dikeluarkannya Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tenumg Komisi Pemberantasan Korupsi, dinyatakan bahwa lembaga pemerintah yang menangani tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan elisien dalam memberanias iindak pidana korupsi. Oleh karena itu perlu peningkutan penanganan korupsi secara lebih profesional, intensif, berkesinambungan dan dilakukan lembaga yang independen. Sesuai dengan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 temang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang koordinasi dan supervisi termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. KPK ditempatkan sebagai trager mecanism dan bersifat superbody dalam pemberamasan korupsi. KPK lahir sebagai bagian dan strategi pemberantasan korupsi secara luar biasa (extra meassure), untuk itu diberikan kewenangan-kewenangan yang luar biasa yang tidak dimiliki oleh aparat penegak hukum lainnnya. Menurut ketentuan Pasal 3, KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. KPK memiliki 5 
6.10

tugas dan wewenang. Berdasarkan Pasal 6, tugas KPK adalah sebagai berikuu a. Koodinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan iindak pidana korupsi; b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penumuum terhadap tindak pidana korupsi; d. Melakukan tindakan-iindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara 
Dalam melaksanakan tugas tersebut dalam Pasal 6, KPK mempunyai kewenangan-kewenangan yang lahir dari setiap jenis tugasnya adalah sebagai berikut Pasal 7, dalam pelaksanaan tugas koordinasi, KPK memilki wewenang, I. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan. dan penuntutan tindak pidana korupsi; 2. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi; 3. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan iindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait; 4. Melalmanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberamasan tindak pidana korupsi; dan 5. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. 

Pasal 8 ayat (1), dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b KPK memiliki wewenang melakukan pengawasan, penelitian, mau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan iugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi. dan instaasi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Pasal 8 ayat (2), dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan olch kepolisian atau kcjaksaan. 
6.11

Pasal 8 ayat (3). dalam hal KPK mengabil alih (teke over) suatu penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerankan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Pasal 8 ayat (4), Panyerahan sebagaimana dimakand pada ayat (3) dilakukan dengan membuat dan menandatangani bedta acara penyerahan sehingga segala tugas dan kewenangan kepolisian atan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut beralih kepada KPK. Menurut Pasal 9, KPK dapat melakukan pengambilanhan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, dengan alasan-alasan sebagai berikur. I. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti; 2. Proses penanganan iindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda ianpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; 3. Penanganan tindak pidanu korupsi ditujukan uniuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya; 4. Penangunan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; 5. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif. yudikatif, atau legislatif; atan 6. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Berdasarkan ketentuan Pasal 10, dalam hal terdapat cukup alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, K.PK dapat melakukan pengambilalihan dengan memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang dhangani. Menurut Pasal I I, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan. penyidikan. dan penumutan tindak pidana korupsi yang I. Melibatkan aparat penegak Itukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada Icaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum aiau penyelenggara negara; 2. Mendapat perhatant yang meresahkan masyarakat; daniatau 
6.12

3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000.00 (sam miliar rupiab). 
Menurut Pasal 12, dalam hal KPK melak.sanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 buruf c, ICPK mempunyai benvenang I. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan: 2. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri: 3. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya teniang keadaan keuangan tersangka atau ierdakwa yang sedang diperiksa: 4. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk membloldr rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau lain yang terkait; 5. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya: 6. Mcminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait: 7. Menghentikan sementara sumu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sememara perizinan, lisensi sena konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga benlasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksw, 8. Meminm bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. 

Dalam melaksanakan tugas pencegaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf d, menunit Pasal 13, KPK berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut I. Melakukan pendaftaran dan pemeriksaan ierhadap laporan harta kekayaan penyepenyelenggara negam; 
6.13

2. Meneritna laporan dan menetapkan matus gratilikasi; 3. Menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; 4. Merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; 5. Melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; 6. Melakukan kerja sama bilateral atau multilmeral dalampemberantasan tindak pidana korupsi. 
Pasal 14 mengatur, dalam hal KPK melaksanakan tugas monitoring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf e, KPK mempunyai kewenangan, I. Melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah; 2. Memberikan saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan adminimmi iersebut berpotensi korupsi; 3. Melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Penvakilan Rakyat Republik Indoncsia. dan Badan PemeriksaKeuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dukung oleh sumber daya manusia yang bersumber dari pegawai tetap, pegawai negeri yang dipekeijakan dan pegawai tidak tetap (Pasal 3 Peraturan Pemerintah No, 63 Tahun 2005 Temang Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi). Sumberdaya manusia pcnyidikan merupakan pegawai negeri sipil yang dipeketjakan, berasal dari Kepolisian. Personil Kepolisian yang dipekerjakan di KPK menjadi tenaga penyidik KPK, dengan tugas dan koordinasi di bawah pimpinan KPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pegawai Negeri yang dipekerjakan (penyidik Kepolisian.pen) tidak kehilangan slatus Pegawai Negerinya Pegawai Negeri yang dipekerjakan di KPK, bisa beralih menjadi pegawai temp sesuai dengan perayaratan dan tam cara yang ditetapkan dalam peraturan Komisi. Dengan beraliltnya status kepegawaiannya, pegawai 
6.14

tersebut diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri. (Pasal 7 PP No. 63 Tahun 2005). Pegawai Negeri yang tidak beralih menjadi pegawai tetap, statmnya diberhentikan sementara dari pegawai negeri (Kepolisian.pen) akan tetapi tidak kehilangan status Pegawai Negerinya. (Pasal. 39 ayat (3) UUNo. 30 Tahun 2002 tentang KPK Jo Pasal 5 ayat (2) PP No. 63 Tahun 2005). Pegawai Negeri yang dipekerjakan di KPK dengan masa penugasan selama 4 (empat) tahun, dan dapat diperpanjang hanya dalam satu kali perpanjangan. (Pmal. 5 ayat (3) PP No. 63 Tahun 2005). Pegawai Negeri (penyidik Kepolisian.pen) yang dipekerjakan di KPK berhenti statusnya sebagai personil yang dipekerjakan terjadi karena: (I) masa penugasan telah bemkhir (Pasal 5 ayat (3) PP No. 63 Tahun 2005). (2) memasuki batas usia pensiun (Pasal 18 huruf a lo Pasal 19 ayat (2) dan (3) karena sebab lain (Pasal 18 huruf b Jo. Ps 19 ayat (3). Karena sebab lain berdasarkan Pasal 19 ayat (3), pemiun karena sebab lain karena: Meninggal duniu, b. Atas permintaan sendiri, c. Pelanggardn disiplin dan kode etik dan d. Tuntutan organisasi. 

Komisi Pemberamasan Korupsi, adalah komisi negara yang keberadaannya diatur oleh undang-undang bersifat independen tidak tersubordinasi oleh kekuasaan pemerintal, karena memang bukan lembaga dibawah pemerintah (eksekutif), mempunyai kewenangan yang luar biasa dan bersifat super body, sehingga diharapkan bisa bertindak ujung tombak dan pemicu (triger meconism) terhadap aparat penegak hulcum yang lain (penyidik Polri . Kejaksaan) dalam memberantas korupsi, sehingga penegakan tindak pidana korupsi berjalan optimal dan profesional. Fungsi penyidikan KPK secara kelembagaan meskipun bersifat independen, tidak didukung oleh personil yang mumi sumber daya manusia dari KPK sendiri, termasuk personil penyidikan. Personil penyidikan (Penyidik Polri) merupakan personil Penyidik yang di BKO kan (Bawah Komando Operasi). Artinya untuk sementam personil Penyidik Polri yang diperbantukan kepada KPK, menjadi pegawai dan dibawah komando KPK. Sewaktu-waktu apabila sudah tidak dibutuhkan dapat dikembalikan kepada instansi asal (mengingat KPK bersifat Ad-Hoc), atau sewakm-waktu bisa dimrik olch instansinya apabila instansi aszd membutuhkan. Kondisi ini 
6.15

memungkinkan personil tidak independen dan kinerja penuntutan tidak maksimal. 
B. LEMBAGA PENUNTUTAN TINDAK PIDANA KORUPSI 
Fungsi penuntutan merupakan subsistem kedua setelah subsistem penyidikan dalam rangkaian sistem penadilan pidana. Penuntutan adalalt tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang benvenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus olch hakim di siding pengadilan. Tindakan penutuian dengan demikian adalah merupakan rangkaian aldivitas penegakan hukum, yang dilakukan oleh penegak hukum. Menurui Pasal 13 KUHAP penuntutan dilakukan oleh penuntut umum yaitu jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penumutan dan melaksanakan penetapan hakim. Untuk semua jenis tindak pidana penuntut umum adalah jaksa pada lembaga Kejaksaan Republik Indonesia, kecuali untuk tindak pidana korupsi terdapat jaksa penuntut umum dari lembaga KPK. Dengan demikian dalam kewenangan penuntutan tindak korupsi, terdapai dualisme lembaga penuntutan yaitu penuntut umum dari lembaga kejaksaan dan penuntut umum dari lembaga KPK. 

I. Penunlut Umum Kejaksaan Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penumutan. laksa sebagai penuntut umum dalam perkara pidana mengajukan berkas perkara kepada pengadilan (hakim) secara aktif. Dalam bahasa hukum Belanda kedudukan demikian disebut sebagai "staande magistratuar"atau magistratur berdirl. Kcjaksaan Rcpublik Indonesia scbagai lembaga pcmerintah secara garis besar memiliki fungsi dan kewenangan di bidang penegakan hukum dan kewenangan yang berhubungan dengan menjaga ketertiban dan ketenteraman umum. Di bidang penegakan hukum berhubungan dengan penegakan hukum pidana, perdata dan hukum administrasi Negara. Dibidang penegakan hukum pidana kejaksaan mempunyai tugas dan kewenangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 30 ayat ( I ) Undang-Undang No. 16 Tahun tentang Kejaksaan, yaitu: 
6.16

a. Melakukan penuntutan: b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah mempemleh kekuatan hukum temp: c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyamt, putusan pidana pengawasan. dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap lindak pidana tenentu berdasarkan undang-undang: e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapai melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik; 
Berdasarkan Pasal 30 ayai (2), dibidang perdata dan tam usaha negara. kejaksaan dengan kuasa dapat berlindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama Negara mau pemerintah. Adapun tugas dan kewenangan kejaksaan berkaitan dengan menjaga ketertiban dan ketenteraman masymakal. sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (3) meliputi: a. pening,katan kesadaran hukum masyarakm; b. pengamanan kebijakana penegakan hukum: c. pengawasan peredaran barang cmakan: d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan Negara; e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodanaan agama: f. penelitian dan pengembangan hukum sena statistik Icfiminal 

Kedudukan lembaga kejaksaan ini diatur dalam Undang-Undang No. 16 tallun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesi, Pasal 2 aym (1) yang berbunyi: I. Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejakman adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penumuian serta kewenangan lain benlasarkan undang-undang. 2. Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka. 3. Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat ( I) adalah satu dan tidak terpisahkan.
6.17

Memperhatikan rumusan terscbut berarti kejaksaan adalah lembaga eksekutif atau lembaga pemerimah, yang menyelenggarakan fungsi yudikatif atau penegakan hukum khususnya Prinsip dasar penegakan hukum independen dan merdeka. Konsekwensi logis kedudukan kejaksaan sebagai apanit pemerintah adalah tidak independen, tersubordinasi bahkan terkooptasi olch kekuasaan pemerintah. Akibainya peIaksanaan pcnegakan hukum yang dilakukan kcjaksaan tidak akan independen, Pasal 19 bahkan secara tegas menempatkan kejaksaan sebagai lembaga yang lidak mandiri atau independen, dengan dinyatakan bahwa: I. Jalma Agung adalah pejabat Negara: 2. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan olch Presiden. 
Jaksa Agung adalah pemimpin dan penanggungjawab tertinggi kejaksaan (Pasal 18 ayal ( I )), dengan sendirinya juga penanggungjawab tertinggi fungsi penumucan. Pasal 37 ayat (1) menegaskan baliwa dalam fungsi penumutan Jaksa Agung bertanggungjawab atas fungsi penuntutan dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. makna independen tersebut tidalc punya arti apabila dikaitkan dengan realhas yuridis bahwa Jaksa Agunga adalah pejabat Negara (Pasal 19 ayat (1). diangkat dan diberhentikan Presiden (Pasal 19 ayat (2). Jaksa Agung dalam melaksanakan tugasnya benanggungjawab kepada Presiden. Dengan demikian lembaga kejaksaan secara institusional berada dalam posisi yang saling bertentangan. Satu sisi sebagai penegak hukum harus benindak independen atau mandiri bebas dari campur tangan pihak manapun. disisi lain sebagai aparat pemerimh harus selalu loyal dan taat pada kekuasaan eksekutif (Presiden). 

2. Penuntul Umum KPK Pemberantasan korupsi adalah rangkaian aktivitas penegakan hukum yang melibatkan perangkat hukum dan lembaga yang mendukungnya. tvlenurut ketentuan Pasal 1 angka 3 (tiga) Undang-Undang No 30 Tahun 2002, pemberamasan korupsi adalah semngkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan. penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan penindang-undangan yang berlaku. Rangkaian tugas penegakan hukum tersebut merupakan cakupan cugas KPIC dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, baik yang bersifai preventif berupa tindakan koordinasi, supervisi, 
6.18

monitoring terinasuk kegiatan sosialisasi dan pendidikan anii korupsi, sedangkan di bidang penegakan hukum represif, KPK ooilikik0000go melakukan penyelidikan, penyidikan dan penumutan. KPK adalah lembaga "super body" memiliki beberapa kewenangan yang tidak dimiliki oleh penegak hukum lainnnya. Lembaga KPK memiliki 3 (tiga) kewenangan sekaligus, sebagai penyelidik, penyidik dan penuntut sekaligus. Aturan penindakan dilakukan menurut hukum yang berlaku (KUHAP) kecuali ditentukan secara khusus. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam Pasal 38 ayat ( I) KUHAP, bahwa segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam Undang.Undang Nomor 8 Tahun 1981 temang Hukum Acara Pidana bcrlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut ketentuan Pasal 39 ayat (1 ) UU No. 20 Tahun 2002. hukum acara pidana yang digunakan adalah hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 temang Pemberamasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberamasan Tindak Pidana Korupsi, dan ketentuan hukum acara pidana dalam Undang-Undang No 30 Tahun 2002. Kewcnangan penuntutan yang dilakukan KPK adalah bersifat independen, tidak dibawah koordinasi maupun pengawasan lembaga lain. Pasal 39 ayat (2) UU KPK, menegaskan bahwa penyclidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) dilaksanakan berdasarkan perintah dan bertindak untuk dan atas nama Komisi Pemberamasan Korupsi. Penumut dalam pencgakan tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK adalah Penumut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan olch Komisi Pemberaniasan Korupsi. Penuntut Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (I) melaksanakan fungsi penuntutan tindak pidana kompsi, yang dilakukan olch Jaksa Penumut Umum. (Pasal 51 ayat (I), (2) dan (3) 1111 KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dukung olch sumber daya manusia yang bersumber dari pegani tetap, pegawai negeri yang dipekerjakan dan pegawai tidalc tetap (Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 Tentang Sumber Daya Manusia Komisi Pemberamasan Korupsi). 
6.19

Sumberdaya manusia penuntutan merupakan pegawai negeri sipil yang dipekerjakan, berasal dari Kejaksaan. Personil Kejaksaan yang dipekerjakan di KPK menjadi tenaga penuntut KPK, dengan tugm dan koorclinasi di bawah pimpinan KPK. Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pegawai Negeri yang dipekerjakan (penuntut Kejalcsaan.pen) tidak kehilangan status Pegawai Negerinya. Pegawai Negeri yang dipekerjakan di KPK, bisa beralih menjadi pegawai temp sesuai dengan perayaratan dan tata cara yang ditempkan dalam peraturan Komisi. Dengan beraIihnya status kcpegawaiannya, pegawai tersebut diberhentikan dengan hormat sebagai Pcgawai Ncgcri. (Pasal 7 PP No. 63 Tahun 2005). Pegawai Negeri yang tidak beralilt menjadi pegawai tetap. sMtusnya diberhentikan SCI11.1.1 dari pegawai negeri (Kcjaksaan.pen) akan tempi tidak kehilangan statm Pegawai Negerinya. (Pasal 39 ayat (3) UUNo. 30 Tahun 2002 temang KPK Jo Pasal 5 ayai (2) PP No. 63 Tahun 2005). Pegawai Negeri yang dipekerjakan di KPK dengan masa penugasan selama 4 (empat) tahun, dan dapat diperpanjang hanya dalam satu kali perpmjangan. (Pasal 5 ayat (3) PP No. 63 Tahun 2005). Pegawai Negeri (penumut Kejaksaan.pcn) yang dipekerjakan di KPK berhenti statusnya sebagai personil yang dipekerjakan bisa terjadi karena: (I). masa penugasan telah berakhir (Pasal 5 ayat (3) l'I' No. 63 Tahun 2005), (2). Menutsuki batm usia pensiun (Pasal 18 huruf a Jo Pasal 19 ayat (2) dan (3). karena sebab lain (Pasal 18 Ituruf b Jo. Ps 19 ayat (3). Karcna sebab lain berdasarkan Pasal 19 ayat (3), pensiun karena sebab lain karena: a. Meninggal dunia, b. Atas permintaan sendiri, c. Pelanggaran disiplin dan kode etik dan d. Tuntutan organisasi. Kon8si Pemberantasan Korupsi, adalah komisi negara yang kebemdaannya diatur oleh undang-undang bersifat independen tidak tersubordinasi olch kekuasaan pernerintah, karena mcniang bukan lembaga dibawah pemerintah (eksekutif), mempunyai kewenangan yang luar biasa dan bersifat super body, schingga diharapkan bim bertindak ujung tombak dan pemicu (friger mecanism) terhadap aparat penegak hukum yang lain (Polri dan Kejaksaan) da)am memberantas korupsi, schingga penegakan tindak pidana korupsi berjalan optinuil dan profesional. Fungsi penuntutan KPK secara kelembagaan meskipun bersifat independen. tidak didukung oleh personil yang mumi sumber daya manusia dari KPK sendiri, temisuk personil penuniu., Personil penuntutan 
6.20

(Penuntut Umum) merupakan personil Penuntu) Umum Kejakasaan yang di BKO kan (Bawah Komando Operasi). Artinya untuk sementara personil Penuntut Umum Kejaksaan yang diperbantukan kepada KPK, menjadi pegawai dan dibawah komando KPK. Sewaktu-waktu apabila sudah tidak dibutuhkan dapat dikembalikan kepada instansi asal (mengingat KPK bersifat Ad-Hoc), atau sewaktu-waktu bisa ditarik oleh instansinya apabila instansi asal membutuhkan. Kondisi ini memungkinkan personil tidak independen dan kincrja penuntutan tidak maksimal. 
C. LENIBAGA PENIERIKSAAAN TINDAK PIDANA KORUPSI 

Pengadilan Tindak Pidana Kompsi sebelum diatur secarn khusus dalam Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU-PTPK), dasar pembentukam, ditentukan dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pembemniasan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan ini berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006 dinyatalcan bertentangan dengan Undang-Undang Dasw. Negara Republik 1ndonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada dasamya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 temang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilm umum yang dibentuk dengan undang-undang tersendiri. Benlasarkan hal tersebut perlu pengaturan mengenai Pengadilan Tindak Pidana Koncpsi dalam suatu undang-undang tersendiri. Oleh karena itu diundangkanlah Undang-Undang Nomor . Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU (Chazawi, 2016 391- 392). UU-PTPK merupakan pengadilan khusus di bawah lingkungan Peradilan Umum, merupakan pengadilan satu-sawnya untulc memeriksa dan mengadili tindak pidana korupsi. Ketenwan tersebut diatur dalam Pasal 5, yaitu bahwa "Pengadilan Tindak Pidana Korwksi merupakan satu-sawnya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili. dan memutus perkara tindak pidana korupsi". Sebelum keluarnya UU-PTPK terjadi "dualisme" pengadilan. Pertama, pengadilan yang memeriksa dan mengadili tindak pidana korupsi hasil penyidikan dari lembaga kepolisianikejaksaan dan penuntutannya dilakukan oleh Penuntut Umum Lembaga Kejaksaan. diperiksa dan diadili oleh 
6.21

Pengadilan Umum (Pengadilan Negeri). Kedua. pengadilan yang memeriksa dan mengadili tindak pidana korupsi hasil penyidikan dan penumutan Komisi Pemberantasan Korupsi, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Tindak Pidana Korumi. Pasal 6 UU-PTPK menyatakan Pengadilan Tindak Pidana Kompsi sebagaimana Pasal 5 tersebut di ams, mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan mengadili: a. tindak pidana korupsi: b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah findak pidana korupsi: dan/atau c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai findak pidana korupsi. 
Hukum acara yang digunakan dalam pemeriksaan di sidang Pengadi. Tindak Pidana Kompsi pada dasamya dilakukan sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP), kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Kekhususan hukum acara iersebut antara lain mengatur a. penegasan pembagian tugas dan wewenang antara ketua dan wakil ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi: b. mengenai komposisi majclis Hakim dalam pemeriksaan di sidang pengadilan baik pada tingkai pertama. banding maupun kasasi: c. jangka waktu penyelesaian pemeriksam per.a tindak pidana korupsi pada setiap tingkatan pemeriksaan: d. alat bukti yang diajukan di dalam persidangan, termasuk alat bukti yang diperoleh dari hasil penyadapan harus diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundangmndangan; dan e. adanya kepaniteraan khusus untuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. 

Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hae yang persyaramn pemilihan dan pengangkatannya berbeda dengan Hakim pada umumnya. Keberadaan Hakim ad hoc diperlukan karena kealthannya sejalan dengan kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut modus operandi. pembuktian, maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi amara lain di bidang keuangan dan perbankan. perpajakan, pasar modal. pengadaan barang dan jasa pemerintah dan lain-lain. 
6.22

Keberadaan Hakim hoc diperlukan selain karena kompleksitas perkara tindak pidana korupsi, juga didasari pada ide dasar untuk memberikan pengiratan kinerja pengadilan tindak pidana korupsi yang selanta ini dianggap cenderung tidak ,ersih" karena budaya suap dalam peradilan. Namun sangat disayangkan kehadiran haldm ad hoc yang temyala telah mengangkat kinerja pengadilan tindak pidana korupsi, dengan komposisi majelis hakim terdiri dari 3 (tiga) hakim ad hoc dan 2 (dua) hakim karier, dirubah oleh UU-PTPK. Berdasarkan Pasa) 26 ayat (3) dan (4). Penentuan mengenai jurolah dan komposisi majelis hakim sebagaimana dimaksud pada ayat () ) dan ayat (2) ditetapkan olch ketua pengadilan masing-masing atau Ketua Mahkamah Agung sesuai dertgan tingkatan dan kepentingan pemeriksaan perkara kasus demi kasus. Ketentuan mengenai kriteria dalam penenman jundah dan komposisi majelis hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Iindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung. 
LATIHAN Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atus, kerjakanlah latihan berikut! 
I) Sebutkan perundang-undangan apa saja yang menjadi dasar dalam penegukan hukum iindak pidana korupsi! 2) Sebutkan kewenangan-kewenangan yang dimiliki KPK berkaitan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi! 3) Buatlah skema alur penyelesaian perkara tindak pidana korupsi yang melibatkan sernua instansi penegak hukum tindak pidana korupsi! 4) Jelaskan mengenai dualisme yang muncul terkait pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi! 
Petunjuk lawabon Lutihan 

I. Terdapat beberapa perundang-undangan yang mcnjadi dasar hukum dalam penegakan tindak pidana korupsi, antara lain : 
6.23

KEGIATAN BELAJAR 2 
Komisi Pemberantasan Korupsi 
kal:tmembkaeggaiaanianKob2arpemllbeiranni..maanhaKsoisruwpasia,k.an.d).ijpelanaslcantopiktenbc:sarng ini, akan dibagi ke dalam bagian-bagian yang berkaitan dengan latar belakang peinbentukan lembaga KPK, fungsi dan tugas KPK, serta kedudukan KPK sebagai lembaga super body. Untuk lebih lengkapnya, materi kegiatan belajar akan diuraikan pada uraian di bawah ini. 
A. LATAR BELAIUNG PENIBENTUKAN KPK 
Sebelum dibentuk lembaga Konnsi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam sejarahnya Undang-Undang No 3 I Tahun 1999 tentang Pemberarnasan Tindak Pidana Korupsi juga mengamanatkan dibentuknya dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tinuas Tipikor). Pasal 27 yakni scbagai berikut: "Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, maka dapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung". Penjelasan pasal tersebut menyebuikan bahwa yang dimaksud dengan lindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya", antara lain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan. pasar modal, penlagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dan keuangan yang a. Bersifat lintas sektoral; b. Dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih: atau c. Dilakukan oleh tersangkaAerdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara Ncgara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 ientang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Neponsme. 

Untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut, menyusul kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai landasan pembentukan Tim Gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung. 
6.30

Tim Gabungan dibentuk bertujuan untuk metnbangun keterpaduan, keterbukaan, dan akuntabilitas publik dalam memberantas tindak pidana korupsi. Tim Gabungan dibentuk olch dan bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung, dengan keanggotaan yang terdiri dari unsur-unsur a. Kepolisian Negara Republik Indonesia: b. Kejaksaam c. hstansi terkait: dan d. Unsur masyarakat. 

Susunan Keanggotaan Tim Gabungan terdiri atas scorong Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggma, dan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang anggota dan paling banyak 25 (dua puluh lima) orang anggota. Keanggotaan Tint Gabungan tersebut bersifat tetap. Dalam kasus tertentu. Jaksa Agung dapat menunjuk anggota ad hoc dalam Tim Gabungan. Menyusul Peraturan Pemerimah tersebut. lalu dikeluarkanlah Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No KEP-102/JA/05f2000 tanggal 23 Mei 2000 tentang Pembentukan Tim Gabungan yang diketuai Adi Andojo Somjipto, SH. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi itu sendiri dilandasi olch Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 43 mengamanatkan dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku. dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Komisi ini nantinya mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidilcan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keanggotaan komisi ini terdiri atas unsur pemerintalt dan unsur masyarakat. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggurigjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi tersebut diamanatkan untuk diatur dalam suatu undang-undang. Akhirya pada tangsal 27 Desember 2002, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 ternang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam Penjelasan undang-undang tersebut disebutkan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke taltun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi 
6.31

kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bemegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena semua maka lindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan melainkan telah menjadi suaiu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang biasa. Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen seria bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal. intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Penjelasan Undang-Undang KPK juga n)engamanatkan bahwa dalam penyusunan tugas. fungsi dan wewenang KPK harus dilakukan soeara hati-hati. agar tidak tumpang tindih dcngan lembaga penegak hukum lain. Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan. Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang a. melibatkan aparat penegak hukurn, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparai penegak hukum atau penyelenggara negara; b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat: daniatau c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.I.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). 

Dengan pengaturan dalam Undang-Undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi: I) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dun memperlakukan institusi yang telah ada sebagai "counterprmer 
6.32

yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif, 2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan. penyidikan, dan penuntutan; 3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechnnism); 4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada. dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (s,thody) yang sedang dilakannakan olch kepolisian daniatau kcjaksaan. 
B. FUNGSI DAN TUGAS KPK 

Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi landasan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disebut dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari penganch kekuasaan manapun. KOIlliSi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan iujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan lindak pidana korupsi. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Komisi Pemberantasan Korupsi beraanskan pada I. kepantian hukum; merupalcan asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatumn, dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas dan wewenang Komisi Pemberamasan Korupsi. 2. keterbukaan; merupalcan asas yang membuka diri ierhadap hak masyarakat untuk memperoleh infonnasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugas dan fungsinya. 3. akuniabilitas: merupakan asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan Komisi Pemberantasan Korupsi harus dapat 
6.33

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pcmcgang kedaulaian tertinggi negara scsuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4. kepentingan umum; dan merupakan asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. 5, proporsionalitas. merupakan asas yang mengutamakan keseimbangan amara tugas. wewenang, tanggung jawab, dan kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut Pasal 6 Undang-Undang No 30 Tahun 2002, Tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi meliputi a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberamasan tindd pidana korupsi: b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindnkan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerimahan negara. 

Yang dimaksud dengan "instansi yang berwenang" termasuk Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara, inspektorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen. Berkaitan dengan tugas Koordinasi, KPK memiliki beberapa wewenang sebagai berikui : a. mengkoordinasikan penyclidikan, penyidikan. dan penuntutan tindak pidana korupsi; b. menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi, c. meminta infornwi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkaik d. melaksanakan dengar pendapai atau perIcmuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan 
6.34

e. meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi. 
Dalam melakmnakan tugas Supervisi, Komisi Pemberantasan Korupsi benvenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. KPK benvenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejakman (Pasal 8 Ayat 2). Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi. dilakukan olch KPK dengan alasan: a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti, b. proses penanganan iindak pidana kompsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapai dipertanggungjawabkan; c. penanganan iindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya: d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi: e. humbatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur langan dari eksekutif. yudikatif, atau legislatif: atau f. keadaan lain yang menurut penimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipenanggungjawabkan. 

Apabila terdapat alasan-alasan tersebut, maka KPK dapat memberitahukan kepada penyidik atau penuntut umum untuk mengambil alih tindak pidana korupsi yang sedang ditangani (Pasal 10). Berkaitan dengan tugas KPK melakukan penyclidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, Undang-Undang KPK memberi bamsan, pedmra tindak pidana korupsi yang dapal disidik dan dituntut KPK adalah perkara yang : a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kailannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara: b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau 
6.35

c. menyarigkut kerugian nepra paling sedikit Rp. 1.000.000.1100,00 (satu milyar rupiah). 
Wewenang yang muncul berkaitan dengan tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 12, meliputi sebagai berikut a. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan; b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa: d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, aiau pihak lain yang terkait; e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; f. menunta data kekayaan dan data perpajakan tersangka mau terdakwa kepada instansi yang terkait; g. menghentikan semeniara suaiu iransaksi keuangan. iransaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan. lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau ierdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa: h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; meminta bantuan kepolisian atau inmansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. 

Tugas KPK berikutnya yaitu melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dapat ditempuh dengan melakukan langkah-langkah sebagai berikut (Pasal 13) a. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara; 
6.36

b. menerima laporan dan menetapkan sanus gratifikasi; c. menyclenggarakan program pcndidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan; d. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi; c. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum; f. melakukan ketja sama bilattral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. 
Berkaitan dengan tugas kelima KPK, yaitu melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintanan negara, maka Pasal 14 memberikan wewenang bagi KPK melakukan a. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan adminisansi di semua lembaga negara dan pemerintah; b. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerimah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi; c. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesta, dan Badan Perneriksa Keuangan. jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan. 

Selain kelima tugas tersebut, Uanang-Undang KPK memberikan kewajiban bagi KPK untuk a. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi; b. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya; c. menyusun lapuran taltunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan; d. menegakkan sumpah jabatan; e. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas yang disebutkan dalam Pasal 5 UU KPK. 
6.37

C. KPK SEBAGAI LENIBAGA SUPER BODY 

Ketentuan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang KPK) menyebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Lembaga ini didirikan dalam kondisi ne, Indonesia yang berada dalam situasi dimana pemberantasan rindak pidana korupsi yang terjadi belum dapat dilaksanakan secara oprimal. Lembaga pemerintah yang saat itu ada dalam menangani perkara findak pidana korupsi dirasa belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberamas tindak pidana korupsi. Yang dimaksud dengan pemberantasan tindak pidana korupsi sendiri adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordina.si, supervisi, monhor. penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serm masyarakat benlasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal I angka 4 Undang-Undang KPK). Olch karena itu dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil. makmur. dan sejahtera berdasarkan Panmila dan Undang-Undang Damr Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi harus ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Hal ini juga ditegas. dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang KPK yang menyamkan bdwa Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Keberadaan KPK dianggap sebagai superbody dalam penegakan hukum. khususnya dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi. Anggapan ini muncul karena untara lain alasan - alasan sebagai berikut I. Kedudukan lembaga KPK itu sendiri beserta asas yang mendasarinya: 2. Tugas dan wewenang lembaga KPK yang melebilri dari kewenangan lembaga penegak hukum lainnya: 3. Dukungan sumber daya manusia (SDM) dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. 
6.38

Alasan yang penama mengapa KPK dipandang sebagai superbody adalah berkaitan dengan kedudukan lembaga KPK itu sendiri besena asas yang mendasarinya. Sepeni telah diuraikan sebelumnya. KPK dibentuk dalam kondisi negara Indonesia yang belum optimal dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Di dalam Penjelasan Undang-Undang ICPK juga disebutkan bahwa iindak pidana korupsi yang mcluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan twk-hak ekonomi masyarakat. dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Maka momentum pembentukan KPK dirasa menjadi suatu langkah maju dalam pemberamasan tindak pidana korupsi. KPK kemudian diberikan kedudukan yang istimewa dalam penegakan hukum. yaiiu merupakan lembaga negara yang dalam melaksanakan iugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3 UU Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "kekuasaan manapun" adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang KOMISi Pemberamasan Korupsi atau anggota Komisi seeara individual dan pihak eksekutif. yudikatif. legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan psYkara lindak pidana korupsi, atau keadaan dan situasi alaupun dengo alasan apapun. Kedudukan KPK sebagai lembaga yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, juga dikuatkan dengan asas yang mendasari pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Asas-asas tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 5, mcliputi kepastian hukum; keterbukaan; akuntabilitas; kepentingan umum; dan proporsionalitas. Alasan berikutnya rnengapa KPK dianggap sebagai superbody, adalah berkaban dengan tugas dan wewenang lembaga KPK yang melebihi dari kewertangan lembaga penegak hukum lainnya. Pasal 6 Undang-Undang KPK menyebutkan tugas dari lembaga ini melipuii a. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; b. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; 
6.39

c. mclakukan penyelidikan, pcnyidikan, dan pcnuntutan terhadap tindak pidana korupsi; d. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. melakukan monitor tethadap penyelenggaraan pemerimnhan negarn. 
Kelima tugas ini sudah dijabarkan dalam pembahasan scbclumnya. Dari tugas ini muncul wewenang-wewenang yang dijabarkan dalam Pasal 7 - Pasal 14 UU KPK. Beberapa wewenang KPK ierlihat melebihi wewenang dari lembaga penegak hukum yang lainnya, antam lain meliputi a. dapat mengkoordinasikan penyclidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana kompsi sekaligus juga meminta laporan dengan instansi lain yang benvenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi: b. dapat melakukan supervisi (pengawasan, penelitian, atau penelaahan) terhadap instansi lain dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan instansi pelayanan publik: c. berwenang mengambil alih (take over) penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang scdang dilakukan olch kepolisian atau kejaksaan: d. diberikan kriteria khusus tindak pidana korupsi yang dapat diselidik. disidik dan dituntut. yaitu tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. pcnyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara: mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat: dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp, 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah); c. berwenang melakukan penyadapan, pencekahm, mcmblokir rekening yang diduga hasil korupsi, menghemikan sementara suatu transaksi dan lain sebagainya yang terkait dengan penyclidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi: f. kewenangan lain dalam hal pencegahan dan monitoring pemberamasan tindak pidana korupsi. 

Alasan ketiga terkait dengan sebutan superbody untuk KPK adalah dilihl dari suinber daya manusia (SDM) yang mendukung kinerja KPK. 
6.40

Pengelolaan SDM di KPK diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberamasan Kompsi. Peraturan Pemerintah ini dibuai dengan pertimbangan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberamasan Korupsi diperlukan sumber daya manusia yang profesional, berintegritas tinggi dan bertanggung jawab. Tentunya hal ini berkaitan dengan tugas dan kewenangan ICPK yang bersifat emra legal nreasures. Terdapat liga jenis pegawai pada KPK, yaitu a. Pegawai Tetap; Adalah pegawai yang memenuhi syarat yang telah ditentukan dan diangkat oleh Pimpinan KPK melalui pengadaan pegawai untuk menjadi pegawai KPK b. Pegawai Negeri yang Dipekerjakan; dan Adalah Pegawai Negeri yang memenuhi syarat yang telah ditentukan untuk dipekerjakan sebagai pegawai KPK. c. Pegawai Tidak Tetap. Adalah pegaymi yang memenuhi syarat yang telah ditentukan dan terikat dalum Perjanjian Kerja untuk walrtu tertentu s.uai dengan Peraturan Komisi. 
Pasal 9 PP No. 63 Tahun 2005 menyebutkan sistem manajemen SDM KPK meliputi fungsi-fungsi sebagai berikut a. perencanaan sumber daya manusim b. rekrutmen dan seleksi; c. pendidikan dan pelatihan; d. pengembangan sumber daya manusia; e. manajemen kinerja; f. kompensasi; g. hubungan kepegawaian: h. pemberhemian dan pemtnusan hubungan kerja; dan audit sumber daya manusia. 

Berdasarkan Pasal 10, perencanaan SDM ditetapkan oleh Pimpinan KPK berdasarkan kebutuhan, arah kebijakan dan strategi serta rencana kerja dan anggaran KPK. Perencanaan SDM bertujuan untuk menghasilkan formasi pegawai dan persyaratan kompeiensi yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan rekrutmen dan seleksi, pendidikan dan pelatihan, 
6.41

pengembangan sumber daya manusia. manajemen kinerja sena kompensasi. Perencanaan SDM disusun berdasarkan analisis dan evaluasi pekerjaan. Rekruthen dan selcksi pegawai dilakukan secara terbuka dan didasarkan pada kompetensi dan persyaratan lainnya yang dnetapkan Pimpinan KPK. Rekrutmen dan seleksi pegawai merupakan kegiatan yang terencana dan sistemths untuk mendapatkan pegawai sesuai dengan kebutthan agar dapat mendukung pencapaian tujuan-tujuan KPK. Rekrutmen Pegawai Negeri yang dipekerjakan dapat dilakukan melalui instansi pemerintah atas permintaan Pimpinan Komisi KPK untuk kemudian dilakukan seleksi. Fungsi berikutnya yaitu Pendidikan dan pelthhan dimaksudkan untuk mengembangkan dan meningkatkan kompetensi pegawai agar yang bersangkutan mampu dan berhasil dalam melaksanakan pekerjaannya. Fungsi ini sangat erat hubungannya dengan fungsi berikutnya yaitu Pengembangan SDM. Pengembangan SDM tidak hanya dilakukan melalui pendidikan dan pelthhan, tetapi juga melalui peningkatan pengalaman kerja, mutasi, rotasi dan promosi yang disesuaikan dengan tuntutan beban kerja, iujuan dan sasaran organiswi berdasarkan hasil penilaian kinerja masing-masing pegawai. Pengembangan karir pegawai dilakukan secara adil dan terbuka bagi setiap pegawai yang memenuhi syarat untuk dapat melakukan pekerjaan s.uai dengan kompetensi dan kinerja pcgawai yang bersangkutan. Fungsi bcrikutnya dalam sistem manajemen SDM KPK adalah Manajemen Kinerja. Manajemen kinerja meliputi penetapan sasaran. penyelarasan kompetensi ke arth pencapaian sasaran sena penilaian dan pengukuran kinerja. Penilaian dan pengukuran kinerja merupakan kegiatan perencanaan. monitoring dan evaluasi terhadap pencapaian kerja dengan menggunakan parameter-parameter yang terukur. Hasil penilnian kinelja pegawai Komisi menjadi dasar dalam menetapkan kebijakan dan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pengembangan pegawai dan kompensasi pegawai. Kompensasi diberikan kepada pegawai sebagai penghargaan atas kontribusi positif daniatau jasanya, meliputi: a. gaji: b. tunjangan; dan c. insentif berdasarkan prestasi kerja tertentu. 

Sedangkan yang berkaitan dengan hubungan kepegawaian tenlapat ketentuan bahwa untuk menjamin hubungan kepegawaian yang serasi dan bertanggung jawab antar pegawai dan antara pegawai dengan Konnsi, maka 
6.42

pegawai dapat membentuk wadah pegawai Komisi; dan, Komisi membentuk Dewan Pertimbangan Pegawai. Pegawai pada KPK dapat diberhentikan dengan dua alasan. yaitu memasulci batas usia pensiun; atau karena sebab lain. Alasan karena sebab lain dapat berupa meninggal dunia; atas permintaan sendiri; pelanggaran disiplin dan kode etik; atau tuntutan organisasi. Fungsi terakldr dalam sistem manajemen SDM KPK adalah audit SDM. Audit ini dilakukan untuk meningkatkan dan memperbaild sistem manajemen SDM KPK. Audit SDM dilakukan melalui pemeriksaan kualitas secara menyeluruh sebagai pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia. 
.‘e LATIHAN Untuk memperdalam petnahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut, I) Jelaskan mengenai latar belakang dibentuknya IComisi Pemberantasan Korupsi, 2) Sebut dan jelaskan asas-asas yang me1andasi Komisi Pemberantasan Kompsi melaksanakan tugas dan wewenangnya, 
Petunjuk Jawaban Latihan 

I. Latar belakang pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah karena fenomena tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. baik dari jundah kasus yang terjadi dan judah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas findak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sehingga diperlukan metode penegalcan hulcum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serla berkesinambungan. Oleh karena itu Undang-Undang No 31 Tahun 
6.43


MODUL 7 
KEGIATAN BELAJAR 1 Kebijakan Pengembalian Aset Hasil Korupsi dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi 
orupsi dikatakan .bagai kcjahatan luar bia. (extraordinary crinte) karena pertama, korban dari kcjahatan korupsi adalah rakyat dan negara. Kerugian yang timbul adalah kerugian keuungan negara. Kedua. sebagaimana termaktub dalam konsideran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembernmasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), dinyatakan bahwa korupsi juga telah melanggar hak-halc sosial dan ekonomi masyarakat luas. Ketiga. korupsi sudah menjadi fenomena internasional yang mcmpcngaruhi kehidupan politik dan ckonomi scna aspck kchidupan lainnya. Karcna efek destruktifnya luar biasa, maka hukuman bagi koruptor diatur dan diterapkan untuk menimbulkan efek jera bagi si pelaku.(KPK) Hal demikian menyebabkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak lagi dapat dilakukan secant biasa, teiapi dituntui dengan cura-cara yang luar biasa. Di samping itu, tindak pidana korupsi juga digolongkan sebagai kcjahatan kerah putih atau white collar crinte karena pelakunya sebagian bc.r merupakan orang-orang berintelektual dan ttittttttiitki pengaruh dalam kckuasaan. Negara dan rakyat terus-menerus merasakan penderitaan dari dampak yang massif atas sifat korupsi yang destmktif. Adalah sesuatu yang mustahil untuk mengitung kerugian ncgara yang disebabkan olch korupsi. Kerugian tersebut tentunya meliputi kerugian materil dan immaterial. Menurut data yang dilansir oleh Laboratorium Ilmu Ekonomi Universitas Gajah Mada (UGM), nilai kerugian negara akibat tindak pidana korupsi .lama 2001-2015 mencapai Rp 203.900.000.000.000,- (dua ratus tiga koma sembilan trillun rupiah). Selain itu, hukuman berupa denda dan sita aset hasil tindak pidana korupsi hanya terkumpul sekitar Rp 21.260.000.000.000,- (dua puluh satu koma dua puluh enam triliun rupialn. Dari selisih daut yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwu kerugian negara yang diderita akibat tindak pidana korupsi periode 2001- 

292/445 
7.2

2015 mencapai Rp 182.640.000.000.000,- (seratus delapan puluh dua koma enam pultth empat triliun rupiah). Total kerugian tersebut berasal dari 2.321 (dua ribu tiga ratus dua puluh satu) kasus yang mclibatkan 3.109 (tiga ribu seratus sembilan) terdakwa. Kerugian negara tersebut belum termasuk biaya sosial korupsi. Apabila biaya sosial korupsi dihitung. maka dampak korupsi akan jauh lebih besar. PerIciraan biaya sosial korupsi dapat dilakukan dengan mengalikan kerugian negara dengan angka pengali 2,5 (dua koma lima) kali lipat. Ironisnya. masyarakat dan generasi mendatanglah yang harus menanggung beban kerugian negara yang ditinggalkan oleh para koruptor tersebut. Masyarakat terus menanggung beban untuk membayar pajak yang tak juga tnenutupi kerugian negara tersebut. Beranjak ke tingkat intemasional, perkiraan di negara-negara Eropa menyimpulkan bahwa korupsi mengakibatkan penggelembungan total u.ng pemerintah sebesar 15./. a.0 USS 200 miliar (Yanuar. 2007). Transparansi Intern.ional memperkirakan jumlah dana yang hilang akibat tindak pid.a suap dalam pengadaan perbckalan pemerintah sekurang-kurangnya mcncapai US$ 400 miliar per tahun di seluruh dunia. Perbandingan antara jumlah kerugian negara akibat tindak pidana korupsi dengan jundah yang dikembalikan mclalui Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha negara, masih banyak sekali selisih angka-.gka tersebut merupakan hak negara yang harus dikembalikan. Bahkan, uang yang telah dikembalikan kepada negara hanya dua per tiga dari kerugian negara akibat tindak pidana korupsi semester I tahun 2010. Hal ini menandakan bahwa kegiatan pengembalian kerugian negara masih belum berjalan sccara optimal. Pcmerintah dan aparat pencgak hukum Indonesia harus disadarkan bahwa ini.h saatnya untuk menyelenggarakan dengan serius perampasan aset hasil tindak pidana korupsi. Sikap berani Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi dan pengembalian kerugian negara harus konsisten dan realistis (Lubis, 2011). Pengembalian aset (aser recovery) untuk meminimalkan kerugian negara merupakan faktor yang tak kalah penting dari upaya pemberantasan korupsi di samping memvonis pel.0 dengan hulcuman yang seberat-beratnya. Matthew H. Flemming mcnyatakan bahwa dalam dunia intemasional, tidak ada definisi pengembalian aset yang disepakati bersama, Flemming sendiri tidak mengemukakan rumusan delinnisi. tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan dicabut, dirampas, 
7.3

dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana dan/atau dari sarana tindak pidana (Yanuar, 2007). Pada hakikatnya, pcngembalian aset tidak hanya merupakan proses, tetapi juga merupukun penegakan hukum mclalui serangkalan mekanisme hukum tertentu. Pidana penjara sebagai jenis pidana pokok yang paling popular diantara pidana pokok lainnya (Pasal 10 KUHP) mcmang cfcktif mcmbcri pcmhalasan kepada para terpiclana atas tindak pidana korupsi yang terbukti dilakukannya, ukun tetapi, pidana penjara tidak selalu menyelesaikan masalah, malah dapat menimbulkan masalah seperti over eapueity, keticlakjeraan kmptor, dan kerugian negara tak kunjung terselesaikan. Konsep tujuan pemidanaan yang berkembang selama ini dianggap memiliki berbagai kelemahan terutama dianggap sama sekali tidak memberikan kcuntungan apa pun bagi korban dan masyarakat (Zulfa). Perkembangan pemikinm tentang huk asasi manusia telah membawa perubahan besar terhadap masyarakat dalam memandang suatu hal yang berkaitan dengan hidup dann kehidupannya. Tak terkecuali pandangan terhadap pidana dan pemidanaan. Pidana dan pcmidanaan yang patla dasurnya memberikan pembenaran atas penjatuhan suatu derita kepacia seseorang akibat suatu tindak pidana yang dilakukannya sepintas lalu akan bcrtolak bclakang dengan konscp-konscp yang ada dalam hak asasi manusia yang justru memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia (Saleh, 1983). Konsep pernidanaan dengan mengedepankan keadilan restorative (restorative justiee) mcrupakan suatu gagasan yang patut dijadikan pertimbangan dalam penegakan hukum pengembalian asei hasil tindak pidana korupsi. Welgrave menyatakan bahwa teori keadilan retributive adalah sctiap perbuatan yang bcrorientasi pacla pcncgakan kcadilan dengan memperbaiki kerugian yang diakibatkan dari tinduk pidana. Teori ini menyatakan bahwa korban atau keluarganya dapat kembali kepada keadaan semula seperti keadaan semula sebelum terjadi tindak pidana (Yanuar, 2007). Dalam hal ini, ncgara sebagai korban dari tindak pidana korupsi dapat menderita kerugian yung besar dari tindak pidana korupsi. Dengan demikian pemulihan kerugian yang diakibatkan tindak pidana korupsi dengan perampasan/pengambilan aset adalah sejalan dengan teori tujuan pemidanaan yaitu untuk mewujudkan kcadilan restoratif. Konsep utama duri keadilan restoratif adalah untuk memulihkan keadaan akibat terjadinya tindak pidana seperti sebelum terjadinya tindak pidana. dan apabila dikaltkan dengan tindak 
7.4

pidana korupsi maka pengembalian aset merupakan salah satu cara untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. 
Penting! Pahami tujuan-htjuan pemidannan agar Anda mampu rnengidentifikasi permasalahan-pennasalahan seputar penegakan hukum pidana. 

Pengembalian aset secara umum diketahui juga sebagai penyitaan dan perampasan. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, penyitaan dan perampasan benda dan barang milik seseorang harus didahului oleh suatu tindak pidana yang berhubungan langsung dengan benda atau barang tersebut. Tanpa adanya tindak pidana yang berhubungan dengan suatu benda maka penyitaan tidak dapat dilakukan (Santosa, 2010). Terdapat perbedaan antara penyitaan dan perampasan. Penyitaan adalah bagian dari proses penegalcan hulcum dengan upaya paksa yang dilakulcan oleh negara untuk mengambil alih penguasaan atas benda milik seseorang yang berhubungan dengan tindak pidana. Sementara itu, perampasan adalah pengambilan halc milik seseorang yang telah mendapatIcan keputusan pengadilan yang berkekuatan hulcum tetap (Yanuar, 2007). Konsep hukum (legal concept) perampasan menurut hukum pidana Indonesia adalah pengambilalihan barang milik seseorang pelaku tindak pidana sebagai hukuman tambahan yang dijatuhIcan oleh halcim bersarna-sama pidana pokok sebagaimana diatur dalam Pasal 10 huruf b anglca 2 KUHP. Sejalan dengan amanat dari Pasal 39 ayat (3) KUHP, untuk dapat merampas harta yang akan dikembalikan kepada negara, penyidik harus menyita harta yang dicurigai hasil dari tindak pidana terlebih dahulu. Itulah mengapa hakim yang memutus perlcara pidana, mengamanatkan bahwa harta yang telah disita sebelumnya dalam tahap penyidikan dirampas menjadi milik negara. Pengembalian aset tidak selalu tertuju pada aset hasil tindak pidana korupsi. Dalam ICUHP sendiri perampasan aset diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP yang menyebutkan bahwa barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan a.0 yang sengaja dipergunalcan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas. Sehingga, dapat dikatakan bahwa pengembalian aset dengan perampasan dapat ciiterapkan dalam semua tindak pidana dalam KUHP khususnya kejahatan terhadap benda (Hamzah, 2011). 
7.5

Perampasan barang tertentu dalam praktiknya dimungkinkan sebagai pengganti kerugian negara atau pidana tambahan disamping perampasan terhadap benda sitaan tertentu, maka status benda tersebut menjadi barang rampasan negara (Suradji, 2008). Pengaturan khusus terhadap barang rampasan berlaku terhadap beberapa tindak pidana seperti tindak pidana kehutanan illegal logging, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, tindak pidana perikanan. dan tindak pidana korupsi. Berkenaan dengan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, Purwaning M. Yanuar (Yanuar, 2007) memberilcan definisi yaitu: -setiap penegakan hulcum yang dilalculcan oleh negara korban tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas dan menghfianglcan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme, baik secara pidana maupun perdata, aset hasil tindalc pidana korupsi, baik yang ada di dalam negeri maupun di luar negeri, dilacak, dibelculcan, dirarnpas, disita, diserahkan dan dikembalikan kepada negara korban dari hasil tindak pidana korupsi, sehingga dapat mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi dan untuk menoegah pelaku tindak pidana korupsi menggunakan aset hasil tindak pidana korupsi sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya dan memberikan efek jera bagi pelaku dan/atau calon pelaku findak pidana korupsi." 
Rumusan definisi tersebut dapat ditarik unsur-unsur penting dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi (Yanuar, 2007), yakni: I. Pengembalian aset merupakan sistem penegakan hukum 2. Penegalcan hukum tersebut dilalcukan baik melalui jalur pidana maupun perdata 3. Melalui kedua jalur tersebut aset hasil tindak pidana korupsi dilacak, dibekulcan, dirampas, disita, diserahlcan, dan dikembalikan kepada negara 4. Pelacalcan, pembekuan, perampasan, penyitaan, dan pengembalian di dalam maupun di luar negara 5. Sistem penegalcan hukum dilakukan oleh negara yang dilaksanakan oleh institusi penegak hukum 6. Sistem ini memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: 
7.6

a. Mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan oleh pelaku tindak pidana korupsi b. Mencegah penggunaan atau pemanfaatan aset-aset tersebut sebagai alat atau sarana oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk melakukan tindak pidana lainnya c. Mcmbcrikan cfck jcra bagi pihnk lain yang bcritikad mclakukan thalak pidana korupsi 
Selain sebagai upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, kebijakan pengembalian aset sebenarnya juga merupakan upaya preventif atau pencegahan tindak pidana korupsi. Pengembalian aset dipandang sebagai upaya preventif tindak pidana korupsi karcna pertama, tcrjadi pada adanya aset-aset yang dikuasai para pelaku kcjahatan schingga para pelaku kehilangan sumber daya untuk melakukan kcjahatan-kejahatan lainnya. Kedua, dengan menyerang langsung ke motif kejahatan para pelaku korupsi, maka tidak ada lagi peluang untuk menikmaii hasil dari tindak pidana itu didadakan, setidaknya diminimalisasi. Pengembalian aset itu menghilangkan tujuan yang merupakan motif tindak pidana. Ketiadaan peluang mencapai tujuan itu dapat menghilangkan motif yang mcndorong orang mclakukan kcjahatan. Ketiga, dengan pengembaban aset ini pesan yang kuat dapat diberikan kepada masyarakat luas bahwa tidak ada tempat yang aman di dunia ini bagi para pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan hasil tindak pidananya, sekaligus memberikan pesan yang kuat bahwa tidak ada scorang pun yang dapat mcnikmati asct hasil tindak pidana sebagaimana doktrin "erime doesn't pnv". Hal-hal ini menurunkan keinginan masyarakat, khususnya para pelaku potensial, untuk melakukan kcjahatan. 
Catatan:  Tindak pidana korupsi seringkali dijadikan predicate crime, artinya korupsi ditempatkan sebagai salah satu kejahatan yang menghasilkan atau merupakan sumber dana yang bisa dicuci 
7.7


Perlu ditekankan bahwa apabila aset hasil tindak pidana korupsi y.g scdang diperiksa di pcngadilan tidak scgcra disita dan dirampas maka asct terscbui akan mudah sekali tintuk dialihkan dengan pencucian uang. Dengan demikian, bila aset hasil tindak pidana korupsi dapat disita dan dirampas secepatnya, tindak pidunu turunan semacam tindak pidana pencucian uang dapat diminimalisasi dan dihindari (Lubis, 2011 ). Kebijakan pcngembahan aset hasil iindak pitlana kmpsi scbcnarnya telah dikenal di Indonesia melalui Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM-08/1957 tentang Pemilikan Terhadap Harta Benda. Dengan peraturan ini, penguasa ntilitne berwenang untuk mengadakan pemilikan terhadap harta benda setiap orang atau badan di dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan. Dengan demikian, dalam pcmilikan harta benda itu mcmungkinkan adanya pcnyitaan. Selanjutnya status barang yung disita apabila tidak mcmiliki syarat-syarat tertentu menjadi milik negara (Hartanti. 2006). Selanjutnya, dalam Peraturan Militer Nomor Pri/PM-011/1957 tertanggal 1 Juli 1957, dalam Pasal 2 dikatakan bahwa Penguasa Militer berwenang untuk menyita dett merampas barang-barang (sebagaimana yung sebelumnya diatur dalam l'eraturan Penguasa Mililee Nomor l'RT/PM-08/1957 tentang pcmilikan terhadap hana benda). Sclanjutnya dalam Pcraturan Pcnguasa Perang Angkatan Darat No, Prt/Perpu/013/1958 tertanggal 16 April 1958 tentang Pengusutan. Penuntutan, dan Petneriksaan Tittdakan Korupsi Pidana dan Pemilikan Harta Benda dalam l'asal 12 ayat (1) dan uyat (3), Pasal 33 ayat (1), Pasal 40 ayat (2) dan ayat (3) yang mengatur mengenai pcnyitaan harta sescorang yang diduga didapat dari perbuatan yang tidak sah. l'eraturan-peraturan penguasa militer tersebut merupakan suatu bentuk kchcndak penguasa (political wil() pada saat itu untuk mcmberantas korupsi di Indonesia. Meskipun terdapat ketiduksempurnitan dalam perumusan peraturan tersebut. tetapi paling tidak Peraturan Penguasa Militer itu merupakan modal awal yang berharga untuk disempurnakan dalam rangka mewujudkan suatu undang-undang tentang pemberantasan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan dan cita rakyat Indonesia (Lubis, 2011). Seiring jalannya waktu, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pertana di Indonesia, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 telah mcngatur pulu konscp pengembalian aset hasil korupsi, tepatnya Pasal 34 menyatakan bahwa: 
7.8

a. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berwujud dan yang tak berwujud, dengan mana atau mcngcnai mana tindak pidana korupsi itu, bcgitu pulu harga lawan barang-barang yung menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang utuu harga lawan itu kepunyaan si terhukum ataupun bukan: b. Pcrampasan barang-barang tctap maupun tuk tetap yang bcrwujud tlan yang tak berwujud yang termaksucl perusahaan si terhukum, di mana tindak pidana korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang —bantng autu harga lawan itu kepunyaan si terhukum atau pun bukan, akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal ini: c. Pembayaran uang pengganii yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan hana benda yang diperoleh duri korupsi. 
Pada suat ini, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentung korupsi adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ialah adanya kcrugian keuangan negara/perekonomian negara. Konsekuensinya, pemberantasan korupsi tidak semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara yang menjerakan (deterrence effeet), tctapi harus juga dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsi. Pengembalian kerugian negara dlharapkan mampu menutupi defleit Anggaran Pendapatan dan Belanja Ncgara (APBN) schingga dapat mcnutupi ketidakmampuan ncgara dalam membiayai berbagai aspek yang sangat dibutuhkan (Soemarno). Kini, isu pengembalian aset hasil korupsi merupakan isu strategis dan dipandang merupakan terobosan besar dalam pemberantasan korupsi masa kini. Dalam konteks pemberantasan korupsi di Indonesia, isu pengembalian aset hasil korupsi akan menghadapi masalah hukum tersendiri baik secara konsepsional maupun operasional. lstilah "pengembalian aset (asser recovety) tidak diatur secara eksplisit dalam dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, dun UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara maupun dalatn UU Na 31/1999 yang diubah dengan UU Na 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Atmasasmita, 2007). 
7.9

Bahkan, juga tidak diatur di dalam UU Na 15/2002 yang diubah dengan UU Na 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Kccnam undang-undang tersebut hanya mengenal/mengakui istilah, "Keuangan Negara". Pengembalian aset merupakan nomenklatur baru dan tersendiri. terpisah dari istilah "Keuangan Negara". Istilah ini jelas menunjukkan secara eksplisit bahwa asct hasil korupsi adalah scrta merta mcrupakan harta kckayaan negara. Sedangkan harta kekayaan pihak ketiga yang beriktikad baik dan juga mereka yang dirugikan karena suap/korupsi tidak memperoleh perlindungan hukum berdasarkan keenum undang-undang tersebut. Perlu dipertimbangkan seeara hati-hati untuk segera memberlakukan undang-undang baru pemberamasan korupsi, jika status hukum aset-aset hasil korupsi tidak ditetapkan terlebih dulu karena UU Na 17/2003 dan UU Pcrbendaharaan Ncgara telah menegaskan lingkup definisi keuangan negara atau perbendaharaan negara. Dalam ini, sudah tentu perlu diteliti kembali UU tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sehubungan dengan pengembalian aset hasil korups1 di Indonesia, telah terbukti, sampai saat ini pemerintah tidak seettra transparan dan bertunggung jawab mengemukakan seeara rinei penerimaan nyata dari Kejagung dan KPK mengenai nilai kerugian keuangan negara yang telah dikembalikan atau ditcrima departcmen kcuangan. Kcjaksaan Agung dun KPK telah memberitahukan kepada Komisi 111 DPR mengenai hasil kinerja pengembalian kerugian negara akan tetapi tiduk ada pemyataan dari Depkeu kebenaran setoran hasil kinerja kedua lembaga tersebut. Sudah 35 (tigapuluh lima) tahun lrbilt lamanya pcngembalian kerugian negara akan tetapi pengumuman resmi nilai total penerimaan dari pemerinuth belum pernah disatnpaikan kepada publik atau DPR R1. Atas dasar pertimbangan tcrscbut, perlu dipertimbangkan badan pcngelola asct-aset hasil korupsi yang telah dikembalikan olch Kcjugung dun KPK di masa yang akan datang sehingga pengelolaan dan pertanggungjawaban pemasukan dan pengeluaran anggaran hasil korupsi dapat dilaksanakan secara transparan. Kegunaan badan tersebut juga pcnting untuk mcncegah hambatan-hambatan teknis pendanaan guna kegiatan operasional Kejagung dan KPK dalam melaksanakan tugas-tugasnya tanpa harus membebani anggaran masing- masing lembaga tersebut yang sudah tidak memadai lagi. Untuk tujuan tersebut diperlukan undung-undang tersendiri tentang Pengembalian Aset Hasil Korupsi untuk metnperkuat kinerja kedua lembaga penegak hukum tersebut (AtmasasmIta, 2007). 
300/445 
7.10

Menurut undang-undang tersebut (UU Tipikor). pengembalian kerugian keuangan negara dapat dilalculcan melalui dua instrumen, yaitu instrumen pidana dan ins.men perdata. instrumen pidana dilakulcan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut agar dirampas oleh Hakim untuk negara. selain terhadap sitaan, UU Tipikor juga mengatur mengenai pidana tambahan salah satunya pembayaran uang pengganti sebagai bagian dari pengembalian kerugian negara. 
I. Instrumen lisksss.s Pengembalian Aset Htsil Korupsi Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terdapat beberapa pihak/instansi y-ang berperan dalam penyitaan-penyimpanan-perampasan. Para pihak tersebut berperan dalam setiap tahapan proses pemeriksaan perkara sejak penyitaan hingga penyetoran hasil pelelangan ke kas negara. Ada pun para pihak yang berwenang adalah (Santosa, 2010), a. Penyidik, yaitu pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan; b. Penuntut Umum, yaitu pihak yang bertanggungjawab dalarn proses pemerilcsaan terhadap perkara beserta benda sitaan yang telah dilimpahkan oleh penyidik. Penuntut Umum yang kemudian sesuai dengan tugas dan kewenangan menuntut pidana atas perkara serta benda yang telah disita terIcait perIcara; c. Htkitt. yaitu pihalc yang bertanggungjawab dalam pemeriksaan perIcara beserta benda sitaan di pengadilan yang diajukan oleh Penuntut Umum. Hakim juga merupakan pihak yang akan memutuskan suatu perIcara dipidana atau tidak dan memutuskan suatu benda yang telah disita sebelumnya dirampas atau tidak. d. Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan), yaitu tempat benda yang disita oleh negara untuk keperluan proses peradilan, yaitu proses pemeriksaan perIcara pada semua tingkatan pemeriksaan; e. Jasa Elcsekutor, yaitu pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai pelaicsana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Terhadap perIcara dan barang yang diputuskan dirampas, termasuk dalam 
301/445 
7.11

tanggungjawab dan kewenangannya untuk melakukan penjualan Iclang dati mcnyctor hasilnya ke kas ncgara. 
Barang-barang yang dapat dirampas adalah barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk mclakukan kcjahatan. Dalam hal pcmidannan karcna kcjahatan yang tidak dilakukan putusan perampusun berdasarkan hal-hal yang ditentukan dalam KUHP adalah sebagai berikut: a. l'erampasan dapat dilakukan terhadap orang yang bersalah yang diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita sebelumnya (Pasal 39) b. Jika seseorang di bawah umur enam belas tahun mempunyai, mcmasukkan atau mengangkut barang-barang dengan mclanggar aturan-aturan mengcnai pengawasan pclayaran di bagian-bagian Indonesia yang tertentu, aturan-aturan mengenai larangan memasukkan, mengeluarkan, dan meneruskan pengangkutan barang-barang, maka hakim dapai menjatuhkan pidana perampasan atas barang-barang ilu. (Pasal 40) c. Perampasan atas barang-barang yang disita sebelumnya. diganti mcnjadi pidana kurungan, apabila barang-barang ilu tidak diserahkan atau harganya menurut taksintn daltun putusan hakim, tidak dibayar. (Pasal 41 ) d. Segala biaya untuk pidana penjara dan pidana kurungan dipikul oleh ncgara, dnn scgala pcndapatan dari pidana denda dan perampasan menjadi milik negara. (Pasal 42) 
Pcngcmbalian asct hasil tindak pidana korupsi mclalui instrrumcn pidana adalah adanya pidana denda yang diformulasikan ke dalam pasal-pasal UU Tipikor. Pasal-pasal tersebut diantaranya adalah Pasal 3, Pasal 5 sampai dengnn Pasal 14 UU Tipikor. Selain itu, merujuk pada Pasal 17 UU Tipikor, terdakwa juga dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud Pasal 18 UU Tipikor. 
302/445 
7.12

Contoh p1dana denda dalam Paszd  Sanks1 Pidunu Pasal 2 UU Tlpikor I ) Jcnis: Pcnjara scumur hidup, atau paling singkat (minimum khusus) 4 tahun, paling lama (maksimum khusus) 20 tahun dan DENDA paling sedikit 200 jt dan paling banyak I M. 2) Pcrumusan: kumulatif (dan), artinya dijatuhi pidana pcnjara dan denda sekal igus 
Pasal 18 UU Tipikor menyatakan dengan tegas bahwa: I) Sclain pidana tambahan scbagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, scbagai pidana tambahan adalah ; a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperolch dari tindak pidana korupsi, tcrmasuk perusahaan milik terpidana di mana iindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang tnenggantikan barang-barang tersebut: b. pcmbayaran uang pengganti yang jumlahnya scbanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi: c. penutupan scluruh atau scbagian perusahaan untuk waktu paling lama I (satu) tahun; d. pencabutan selurull atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang tclah atau dapat dibcrikan olch Pcmcrintah kcpada terpidana. 2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat ( I ) huruf b paling lama dalam waktu I (satu) bulan scsudah putusan pcngadilan yang tclah mcmperolch kckuatan hukum tetap, maka harta bcndanya dapat disita olch jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. 3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk mcmbayar uang pcngganti scbagaimana dimaksud dalam ayat ( I) huruf h, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tcrscbut sudah ditcntukan dalam putu•an pengadilan. 
7.13

Pasal 38B ayat (1) dan ayat (2) UU Tipikor berbunyi: 1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimalcsud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktilcan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwalcan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. 2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. 
Ketentuan-ketentuan mengenai proses pengembalian aset melalui hukum pidana umumnya terdiri dari empat tahap (Yanuar, 2007), yaitu: 1) Pelacakan aset untuk melacak aset; 2) Tindakan-tindakan pencegahan untuk mengehentilcan perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan atau penyitaan; 3) Penyitaan aset. 4) Pengembalian dan penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tempat aset diperoleh secara tidak sah. 
Tahap pertama merupakan tahap dimana dikumpulkannya informasi mengenai aset yang dikorupsi dan alat-alat bukti. Untuk menjaga lingkup dan arah tujuan investigasi menjadi fokus. rnenurut John Conyngham, otoritas yang melakulcan investigasi atau melacak aset-aset tersebut bermitm dengan firma-firma hukwn dan firma akuntansi (Suradji, 2008). Untuk kepentingan investigasi dirumuskan praduga bahwa pelaku tindak pidana akan menggunalcan dana-dana yang diperoleh secara tidak sah untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Tahap kedua merupakan langlcah lanjut dari tahap pertama. Menurut UNCAC, pembekuan atau perampasan berarti larangan Sementara untuk mentransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindahlcan kekayaan atau untuk sementara dianggap sebagai ditaruh di bawah penvalian atau di bawah pengawasan berdasarkan perintah pengadilan atau badan yang berwenang lainnya. mengingat tindalc pidana korupsi tidak jarang terjadi melibatkan atau 
7.14

antara negara lain Icarena aset hasil korupsi disimpan di negara lain, maka kerjasama antar negara d.am proses perampasan aset sangat perlu diperhatilcan. Jikt aset-aset yang dikorupsi berada di luar yuridilcsi negara korban, maka pelaksanaan perintah pembekuan dan perampasan hanya dapat dilakukan melalui otoritas yang berkompeten dari negara penerima (Yanuar. 2007). Tahap ketiga merupakan perintah pengadilan atau badan yang berwenang untuk mencabut hak-hak pelaku tindak pidana korupsi atas aset-aset hasil tindak pidana korupsi. biasanya perintah penyitaan dikeluarkan oleh pengadilan atau badan yang berwenang dari negara penerima setelah ada putusan pengadilan yang menjatuhlcan pidana pada pelalcu tindak pidana. Penyitaan dapat dilakukaan tanpa adanya putusan pengadilan dalam hal pelaku tindak pidana telah meninggal atau menghilang atau tidak ada kemunglcinan bagi jaksa selaku penuntut umum melakukan penuntutan. Tahap penyitaan dijustifikasi oleh priasip yang beralcar pada hukum yang menetaplcan bahwa orang dilarang mendapadcan keuntungan dari kegiatan yang tidak berdasarkan hukum pada umumnya, dan tindak pidana. khususnya. Prinsip ini mengikuti syarat bahwa jika hukum adalah untuk memengaruhi tinglcah laku orang, huktun itu harus menyampaikan pesan-pesan yang koheren ketika pada antu sisi berusaha untuk mencegah bentuk khusus tingkah laku, tetapi pada sisi yang lain membiarkan seseorang yang melalcukan bentuk khusus tinglcah laku yang berusaha dicegah tersebut, mendapatkan keuntungan. Dengan demikian penyitaan terhadap aset hasil tindak pidana korupsi dibenarIcan dengan landasan pemikiran bahwa hukum pidana harus tetap komit untulc tidak memberikan keuntungan kepada pelaku tindak pidana. Setiap dugaan korupsi yang sedang diperiksa di pengadilan harus disita terlebih dahulu, hal ini merupakan tindalcan pengamanan agar aset hasil korupsi tersebut tidak dibawa pergi atau disembunyikan oleh pelaku. Aset hasil korupsi harus disita terlebih dahulu agar kemudian setelah putusan bersalah oleh Halcim telah berkekuatan hukum tetap. aset hasil tindak korupsi yang disita dapat dikembalikan kepada negara. Tujuan dari penyitaan adalah untuk kepentingan pembuktian di muka sidang pengadilan, karena tanpa adanya barang bukti, perkara sulit diajukan ke hadapan sidang pengadilan. Tahap keempat adalah penyerahan aset-aset hasil tindak pidana korupsi kepada korban atau negara korban. Diperlukan tindakan legisltatif dan tindakan laianya menurut prinsip-prinsip hukum nasional masing-masing 
7.15

negara sehingga badan yang berwenang dapat melakukan pengembalian aset-aset tersebut Kebanyakan negara tidak mengatur secara Ichusus ketentuan pembagian aset-aset yang dibekukan dan disita, sehingga pada umumnya masalah pembagian aset-aset yang diatur dalam perjanjian bantuan hukum timbal balik antara negara korban dengan negara penerima. Pasal 39 KUHP mengamanatkan bahwa hanya harta y-ang telah disita sebelumnya saja yang dapat dirampas oleh negara. Penting untuk diperhatikan bahwa dalam setiap putusan pengadilan yang berkaitan dengan upaya pengembalian aset dari tersangka, terdakwa dan terpidana korupsi (dan juga kejahatan lain) terutama jika asetnya berada di luar negeri maka seharusnya putusan pengadilan memerintahkan untuk perampasan aset tersebut secara tegas dan detail tentang bentuk kebendaan dan lokasinya serta penguasaan atau pemililcan siapa. Michael Levi menyatakan bahwa terdapat alasan-alasan yang berlandaskan keadilan sosial dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu (Yanuar, 2007): a) Alasan pencegahan (prophylactic) yaitu untuk mencegah pelaku tindak pidana memiliki kendali atas aset-aset yang diperoieh secara tidak sah atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah untuk melakulcan tindak pidana lainnya di masa mendatang; b) Alasan kepatutan (propriety) yaitu karena pelaku tindak pidana tidak punya hak yang pantas atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah tersebut; c) Alasan prioritas/mendahului yaitu karena tindak pidana memberi prioritas kepada negara untuk menuntut aset yang diperoleh secara tidak sah daripada hak yang dimiliki oleh pelak-u tindak pidana; d) Alasan kepemilikan, yaitu karena aset tersebut diperoleh secara tidak sah, maka negara memiliki kepentingan selaku pemilik aset tersebut. Untuk tindak pidana korupsi, selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHAP, sebagai pidana tambahan berupa perampasan barang bergerak yang berwujud atau barang tidak bergerak yang digunalcan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut (Pasal 18 ayat ( I ) UU Tipikor). 
7.16

2. Instrumen Perdata Pengemballun Aset Hasil Korups1 Instrumcn perdata dalam pcngcmbalian asci hasil tindak pidana korupsi dapat ditemukan dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, dan P.al 38 C UU Tipikor. Pasal 32 UU Tipikor ( I ) Dalam hal pcnyidik mcncmukan dan bcrpcndapat bahwa satu atau lebih unsur iindak piclana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah adu kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan terscbut kcpada Jaksa Pcngacartt Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. (2) Putusan bcbas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. 
Pasal 33 UU Tipikor Dalam hak tersangka mcninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan ncgara, maka pcnyidik scgcra mcnycrahkan bcrkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jak. Pengacara Negara atau discrahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. 
Pasal 34 UU Tipikor: Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pcmcriksaan di sidang pengadilan, scdangkan sccara nyata tclah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkun berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata tcrhadap ahli warisnya. 
Pasal 38 C UU Tipikor: Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui manitn terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikentdcan perampasan untuk negara 
7.17

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. secara teknis-yuridis terdapat beberapa kesulitan yang akan dihadapi jaksa pengacara negara dalam melakukan gugatan perdata. Antara lain, hukum acara perdata yang digunakan sepentihnya tunduk pada hukum acara penlata biasa yang, antara lain, menganut asas pembukti. formal. Beban pembuktian terletak pada pihak yang mendalilkan (jaksa pengacara negara yang harus membuktikan) kesetaraan para pihak, kewajiban hakim untuk mendamailcan para pihak. dan sebagainya. Sementara itu, jalcsa pengacara negara (JPN) sebagai penggugat harus membuktilcan secara nyata bahwa telah ada kerugian negara. Yalcni, kerugian keuangan negara alcibat atau berkaitan deng. perbuatan tersangk. terdakwa. atau terpidank adanya harta benda milik tersangka, terdakwa. atau terpidana yang dapat digunakan tmtuk pengembalian kerugitt keuangan negara (Suhadibroto: 2006). Selain itu, seperti umumnya penanganan kasus perdattt, membutuhkan waktu yang sangat panjang sampai ada putusan hukum yang berkekuatan bukum tetap. Pembentuk UU Tipikor tampaknya, berharap banyak untuk mengembalikan keuangan negara sebanyak-banyaknya. Lihat saja, misalnya, ketentuan tentang dimungkinkannya melalculcan gugatan perdata dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti (Latief, 2007). Padahal. secara nyata telah ada keruglan keuangan negara (pasal 32), gugatan terhadap ahli warls, dan terhadap putusan bebas juga masih dimungkinkan dilakukan gugatan perdata. Sayang, ketentuan tersebut tidak operasional dan belum pemah dilakulcan (KHN:2006). Begitu besarnya perhatian terhadap korupsi yang sudah dikategorilcan extra ordinary crime, transnational crime, dan julukan lain yang menunjuldcan betapa berbahayanya korupsi, sehingga tersangka, terclakw. atau terpidana yang meninggal dunia sekalipun masih dimintai pertanggungjawaban kepada ahli warisnya. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 juga membolehIcan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakulcan penyitaan atau perampasan atas kekayaan pelaku tindak pidana korupsi tanpa adanya putusan pengadilan dalam pelaku meninggal dunia, melarilcan diri, atau tidak 
7.18

hadir meskipun telah dipanggil dengan layak. Keinginan besar untuk mcngembalikan kcrugian ncgara dan julukan korupsi scbagai extraortlinary crime tidak didukung olch perangkat hukum yung ada, khususnya dalam upaya pengembalian kerugian negara melalui gugatan perdata. Dalam hal ini, hukum acara perdata tiduk metnberikan kemudahan, bahkan cendcrung mcnghambat, misalnya, tidak dikcnalnya sistcm pembuktian terbalik, adanya biaya yang harus dibayar oleh penggugat, ticlak adanya prioritas penanganan perkara, dan tidak adanya jangka waktu penyelesalan perkara. Juga, mIsalnya, tak ada hakim ad hoc, proses litigasi bttgi tersangka/terclakwa/terpidana yang meninggal clunia, tidak ada kemudahan dalam proses sita jaminan, adanya proses perdamaion yang harus ditempuh (dading), dan sebagalnya. liambatan-hambatan tcrscbut harus scgcra diatasi untuk mcngoptimalkan pengembalian kerugian negara melalui pembuatan hukum acara perdata khusus perkara korupsi yang keluar dari pakem-pakem hukum acara perdata konvensional (Latief, 2007). 
LATIHAN Uniuk memperdalam pcmahaman Anda mcngenai matcri di alas, kerjakanlah lalihan bcrikut! 
I) Pengembalian kerugian negara clari tindak piclana korupsi dapat dilakukan baik tnelalui penyitaan maupun perampasan aset. Jelaskan apakah perbeclaan keduanya! 2) Pengembalian kcrugian negara dari tindak pidana korupsi merupakan salah satu manifestasi dari konsep keadilan restorasi (restorative Justive). Jelaskan apa yang dimaksud dengan restorative Justice! 
Petunntk Jawahan Latihan 
I ) Penyitaan Aset merupakan tindakan melakukan penyitaan terhadap barang barang yang secara langsung berhubungan dengan tindak pidana korupsi, sedangkan perampasan merupakan pengambilalihan aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan pudu keputusan pengadilan. 
7.19


KEGIATAN BELAJAR 2 
Kerjasama Internasional Pengembalian 
Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi 
r angkah untuk meminimalkan kerugian negara akibat tindak pidana 
"...4corupsi, di samping harus dilakukan sejak awal penanganan perkara 
dengan pcmbekuan dan pcnyitaan, juga mutlak dilakukan mclalui kerjasama 
dengan negara lain di mana hasil kcjahatan (proceeds of crime) beruda. 
Untuk itu orientasi penegak hukum mengenai pengembalian aset ini perlu 
dlpertajam terutama dalam hubungan kerjasama dengan negara lain baik 
melalui pertukaran informasi intelejen keuangan yang difasilitasi oleh 
PPATK, koordinasi dengan Tim Pembunt Koruptor, maupun kerjasama 
bantuan hukum timbal balik antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah 
ncgara lain (Atmasasmita, 2008). 
Berkenaan dengan tindak pidana korupsi yang tiduk hunyu dikategorikan 
sebagai emraordinary crimes n)elainkan jugu dinobatkan sebagai kejahatan 
transnasional (transnational crime) karena kejahatan ini telah dialami oleh 
hampir scluruh negara di bclahan bumi dan sifatnya lintas ncgara, maka 
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan suara bulat telah 
mengadopsi United Natiom Convention Against Corruption / Konvensi 
Perserikatan Bangsa-Bangsa Melawan Korupsi, 2003 (UNCAC). 
UNCAC mcrupakan salah satu hasil duri upaya dan komitmcn 
masyarakat global dalam memerangl korupsi. Indonesia sendiri berperan 
aktif sejak sidang pertama sampai dengan sidang ketujuh (terakhir) yang 
bcrakhir pada 1 Oktobcr 2003. Ncgara pescrta UNCAC mcncapai 127 
ncgara, dari jumlah 99.4, telah menyatakan kesediaannya unluk 
menandatangani konvensi tersebut. Dasar pertimbangan keikutsertaan 
Indonesia dalam penandatanganan konvensi tersebut mengenai implikasi 
hukum peratifikasian konvensi terscbut kc dalam sistem hukum mional 
(Yanuar, 2007). 
Dengan disahkannya UNCAC, korupsi diakui sebagal kejahatan global 
dnn akan ditangani clengan semangat kcbersamaan. Salah satu agenda penting 
dalam UNCAC adalah pembahasan mengenai pengembalian aset (aset 
recovery). Pasal 37 ayat (1) UNCAC yang mengatur tentang cooperation 
7.23


with law enfinventent authorities (kerjasama dengan badan penegakan hukum) dinyatakan dengan tcgas bahwa: Each State Party shall take appmpriate tneasures to eneourage persons who participate or who have potticipated in the cottunission an offenee established in accordance with this Convention to supply information usefid to competent authorities for investigative and evidentimy putposes and to provide factual, spec4fic help to competent ttuthorities that may contribute to depriving offendem of the proceeds of erinte and w recovering such proceeds. Artinya adalah: Negara Pihak wajib mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk mendorong orang yang berpartisipasi atau telah berpartlsipasi dalam pclaksanaan suatu kcjahatan mcnurut Konvensi ini untuk mcmbcri informasi yang berguna kepada badan yang berwertang untuk tujuan penyidikan dan pembuktian serta tnemberikan bantuan yang nyata dan khusus kepada badan yang berwenang untuk melepaskan hasil kcjahatan tlari pclaku kcjahatan dan mengambil hasil itu. 
Meskipun instrumen hukum internasional yakni UNCAC telah diratifikasi olch Indoncsia mclalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC, pengembalian aset hasil tinduk pitlana korupsi belum juga ditetapkan. Pengaturan khusus "pengembalian aset" dalam Konvensi PBB tersebut mcncerminkan bahwa pandangan tcntang asct hasil korupsi mcrupakan harta kekayaan negura harus diakhiri. Jiku tidak, hak pihuk kctiga yang dirugikan karena suap dan korupsi tidak akan terjangkau secara hukum. Contoh, proses Iclang pcngadattn barang dan jasa yang mcrugikan pihak pcserta tendcr yang beriktikad buik dun kalah dalam tender karcna pihuk peserta lain menyuap panitia tender, tetap tidak memperoleh hak untuk mengajukan klaim atas kerugian karena keuntungan yang diharapkan dari proses lelang tersebut tidak dapat diraih karcna suap (Atmasasmita, 2007). Selama ini dalam praktik, proses peradilan kasus tindak pidunu korupsi hanya mementingkan kepentingan negara. lial ini tidak dapat dielakkan selama ketentu. pasal 2 dan pasal 3 UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001 hanya mcnegaskan unsur "kcrugian kcuangan negara atau perekonomian negara" saja. Konvensi PBB Antikorupsi 2003 tidak menempatkan unsur "kerugian negara (swte damage)" sebagai unsur 
7.24

menentukan ada tidak adanya suatu tindak pidana korupsi sehingga perlu ada perubahan dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kini sedang disusun pemeriniah (Atmasastnita, 2007). UNCAC tidak secara tegas menyatakan apakah penyitaan merupakan hukumanipenaityseperti didefinisikan dalam Konvensi tentang l'encucian, Pclacakan, Pcrampasan, dan Pcnyitaan atas Hasil-Hasil Kcjahatan dari Dewan Eropa Convention on Laundering, Search, Seizure and Coufiseation nf the Pmeeeds ,from Crime (CLSCPC) darl Coustei/ of Europe (Yanuar, 2007). Dalam CLSCPC, penyitaan diartikan sebagai sebuah hukuman atau tinclakan, yang diperintahkan oleh pengadilan sebagai kelanjutan dari proses yang berhubungan dengan pelanggaran pidana atau pelanggaran-pelanggaran pidana sebagai akibat dari pencabutan yang permanen atas kekayaannya. Bcrasarkan pada UNCAC, pcngcmbalian ascl hasil tindak pidana koruspi terbagi dalam empat tahap, yaitu (Yanuar, 2007): 1. Tahap pelacakan aset 2. Tahap tindakan-tindakan pencegahan untuk menghentikan perpindahan aset-aset melalui mekanisme pembekuan dan penyitaan 3. Tahup penyitaan 4. Tahap penyerahan aset dari negara penerima kepada negara korban tcmpat aset diperolch secara tidak sah 
Secara umum udu dua jenis pengembalian aset hasil tindak pidana yang diterapkan secara internasional untuk memulihkan hasil dan instrumentalitas tindak kcjahatan: Pcrampasan Asct NCB (Non-Convietion Based) dan perampasan kejahatan. Kecluanya memiliki tujuan yang itiinti, yakni perampasan oleh negara atas hasil dan instrumentalitas tindak kejahatan. Keduanya juga mcmiliki rasional dua sisi yang sama. Pcrtama, mcrcka yang melakukan kegiatan haram jangan dibiarkan mengambil manfaat duri tindak kejahatannya. Hasilnya harus disita dan digunakan untuk memberi kompensa.si kepada korban, baik yung merupakan negara maupun yung individu. Kedua, kegiatan haram harus dicegah. Mcniadakan keuntungan ekonomis dari tindak kejahatan akan mengecilkan niat untuk melakukan tindak kejahatan di tingkat pertatna. Perampasan instrumenthlitas memastikan bahwa aset demlkian tldak akan digunakan untuk tujuan kcjahatan selanjutnya; serta merupakan suatu pencegahan (Greenberg, 2009) Dalam pengembalian aset secara NCB. pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sangat mungkin clilaksanakan tanpa adanya putusan 
7.25

pengadilan terlebill dahulu. Tindakan tersebut dilakukan dengan mengacu pada asas lum-convition based yang digunakan dalam pengembalian aset secara perdata (civil fmfeiture), di mana tuduhan secara pidana atau putusan pidana tidak diperlukan dan yang menjadi folcus dalarn pengembalian ini adalah terhadap bendanya (in rem) atau aset yang diang,gap sebagai hasil satu kejahatan. lenis lain dari pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berupa perampasan kejahatan merupakan suatu perintah in personam, suatu tindakan terhadap s.eorang. Hal demikian memerlukan pengadilan pidana dan penghukuman dan seringkali merupakan bagian tindak kejahatannya. Meslcipun demikian, pada intinya putusan pidana bersalah harus dijatuhkan terlebih dahulu baru aset dapat dikembalikan kepada negara. Sistem perampasan kejahatan dapat berdasarkan objek, yang berarti bahwa pihak penuntut yang berwenang wajib membuktikan bahwa aset-aset yang dipermasalahlcan merupakan hasil dari atau instrumentalitas (aset yang digunakan untuk memudahlcan melakukan tindak kejahatan) tindak kejahatan tersebut (Lubis, 2011). Pihak penuntut yang berwenang wajib membuktikan bahwa aset-aset yang dipermasalahkan merupalcan hasil dari atau instrurnentalitas lindalc pidana tersebut. Sebagai altematif, dapat juga merupalcan rezim yang berdasarkan nilai, yang mengizinkan perampasan senilai manfaat pelaku pelanggaran dari tindak pidana tersebut, tanpa membuktikan hubungan antara tindak kejahatan dan objek harta benda tersebut. 
Perbedaan Perarnpasan Aset Tindak Kejahatan Dan Perampasan NCB 
Perampasan Kejahatan • Terhadap Orangnya (In personam) bagian dari tuntutan pidana terhadap seseorang • Dikenakan sebagai bagian dari hukuman dalam kas. pidana • Perlu adan• hukuman pidana • Berbasis pada obyek dan 
Perampasan NCB • Terhadap barangnya (in rem) tindakan yudisial yang diajukan pemerintah terhadap berang tersebut Diajukan sebelum, selama atau setelah hukuman pidana, atau bahkan tanpa adan•a tunt utan pidana rhadap seseorang Hukuman pidana lidak 
316/445 
7.26

nilui diperlukan • Nlenylta kepentingan pihak • Berbasis obyek Terclakwa daltun harta • 1VIenylta obyek itu sendiri, henda dulam hal pendlik yang tIdak bersalah 
Praktek pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi di Eropa, mayoritas negara-negara memiliki sistem yang memperbolehkan penyitaan untuk kckayaan tertentu atau barang-barang scnilai dengan hasil kcjahatan: dengan catatan bahwa untuk penyitaan (meskipun ada pengecualian di beberapa negara): memerlukan standar pembuktian pidana (pengecualian di bcberapa negara); mcmcrlukan standar pembuktian pidana (pcngccualian termasuk Irlandia dan Inggris dimana standar perdat(l yang ditcrapkan) (Yanu(n, 2007). Karena itu, Kaisa Flakkinen berpendapat bahwa di Eropa penyitaan terutama dilaksanakan dalam proses pidana. Dalam hal Itu, asas legalitas memberikan limitasi untuk kegunttan pcnyitaan. Pcnyitaan hanya dimungkinkan dan hanya apabila dinyatakan dalam hukum. Penyitaan di Eropa umunmya mengharuskan adanya hubungan amara tindak pidana dengan kekayaan yang disita. Terdapat tiga tujuan dari penyitaan, yaitu (Yanuar, 2007): l) Pelaku tindak pidana tidak boleh menikmati keuntungan atas tindak pidana yang dllakuktmnya. Penyitaan dimaksudkan untuk menyingkirkan keuntungan-keuntungan keuangan dari tindak pidan( tersebut 2) Untuk mencegah diinvetarisasikannnya hasil yung diperoleh tidak sah ke dalam tindak pidana-tindak pidana baru. Maksudnya untuk mencegah hasil yang diperolch secara tidak sah tersebut dimmukan kembali dalam kegiatan-kegitaan yang tidak sah. Dengan menyita hasil yang diperoleh secara tidak sah tersebut masyarakat yukin bahwa kcuntungan-kcuntungan yang tidak sah dari kcjahatan tidak akan ditemukan kembali dalam kegiatan-kegiatan yang sah. 3) Mencegah sebuah tirma mendapatkan keuntungan-keuntungan kompetitif yang tidak berdasarkan hukum. Dengan menyita hasil yang diperolch secara tidak sah mungkin akan rnemindahkan kcuntungan-keuntungan yung tidak jujur yang tclith diperolch firma tersebut atas pesalng-pesaingnya. 
317/445 
7.27

1. Kerja.ma Timbal Balik (Mutual Legal Assisiance) Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan hukum timbal balik merupakan sarana atau wadah bagi dua negara untuk beradcar informasi dalam upaya pengembalian aset hasil tindalc pidana korupsi. MLA termalctub dalam Pasal 57 UNCAC. MLA merupakan upaya suatu negara untuk memperoleh baang bukti atau menarik kembali barang hasil kejahatan yang berada di luar ymisdiksinya. MLA pada dasarnya adalah suatu mekanisme formal dimana suatu negara dapat meminta negara 1ain untuk memberikan bantuan guna penyidikan, penuntman, pengadilan suatu perkara pidana. Dengan diatumya kaentuan mengenai MLA di dalam UNCAC, maka upaya pengembalian aset diharaplcan dapat talaksana dengan maksimal. Ketika asa-aset hasil tindak pidana korupsi ditempatkan di luar negeri, Negara Peminta yang diwakili oleh penyelidik, penyidik, atau lembaga otoritas dapat meminta kerjasama dengan negara penerima untuk melalcukan proses pengembalian aset. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 46 UNCAC, di mana negara-negara penerima aset harus memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses pengembalian aset (Prasasthi, 2010). MLA merupakan halcikat dari kaja sama intemasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang s.gat mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset (Utama, 2011). UNCAC mewajiblcan setiap Negara Pihak untuk memberikan bantuan (timbal balik) mengenai penyidikan, penuntutan dan proses peradilan terkait dengan tindak-tindak pidana yang tercakup di dalam UNCAC kepada para negara korban yang membutuhkan. Dalam hal negara-negara dengan kebijalcan serta sistem perb.kan y.g kaku dan tertutup. UNCAC memberilcan kemudahan akses bagi negara-negara korban untuk dapat menelusuri sistem perbanIcan suatu negara untuk memperoleh informasi atas aset hasil tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 46 ayat (8), dimana Negara Pihak dilarang tmtuk menolalc memberilcan bantuan hukum timbal balik dengan alasan kerahasiaan bank. Sementara itu. dalam hal terkait kritninalitas g.da atau double berdasarkan UNCAC Pasal 46 ayat (9). Negara-negara Pihak dapat menolak untuk memberikan bantuan dengan alasan ketiadaan Icriminalitas g.da. Namun demikian, Negara Pihak yang diminta wajib, 
318/445 
7.28

apabila sejalan dengan konsep-konsep dasar sistem hukumnya, memberikan bantuan yang tidak melibatkan tindakan yang bersifat pemaksaan. Bantuan tersebut dapat ditolak apabila permintaan-permintaan melibatican hal-hal yang kurang penting (de minimis) atau hal-hal untuk mana kerjasama atau bantuan tersebut diminta dapat diperoleh berdasarkan ketentuan-ketentuan lain dari Konvensi ini. Setiap Negara Pihak dapat mempertimbangkan untuk mengadopsi tindakan-tindakan sedemikian yang dianggap perlu untuk memungkinkannya memberikan bantuan dengan lingkup yang lebih luas dalam hal ketiadaan kfiminalitas gandaldual criminality. Indonesia telah memiliki instrumen nasional, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana, sebagai dasar pelalcsanaan kerjasarna MLA dengan negara lain. Kerjasama MLA meliputi bantuan untuk mengidentifikasi dan mencari orang; mendapatkan pemyataan atau bentuk lainnya; menunjuldcan dokumen atau bentuk lainnya; mengupayakan kehadiran orang untulc memberikan keterangan atau membantu penyidikan; menyampaikan surat; melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan; perampasan hasil tindak pidana; memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak piciana; melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; mencari kekayaan yang dapat dilepaskan. atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenalcan, sehubungan dengan tindak pidana; darilatau bantuan lain yang sesuai dengan UU No. 1 Tahun 2006. Adapun ketentuan di dalam UU tersebut mengecualikan wewenang untuk mengadakan. ekstradisi atau penyerahan orang; penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang; pengalihan narapidana; atau pengalihan perkara. UU No. I Tahun 2006 menyatakan bahwa status MLA, termasuk MLA yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi, dapat dikabulkan tanpa suatu treaty berdasarkan asas resiprositas dan hubungan bilateral yang baik dengan negara peminta bantuan (requesting state). Dalam prakteknya, Indonesia telah melakukan sejumlah kerjasama MLA dengan sejumlah negara tanpa dilandasi perjanjian bilateral mengenai MLA. Keijasama dapat dilakukan berdasarkan legislasi nasional negara yang bersangkutan. Sejumlah negara juga memiliki regulasi yang mengatur MLA dan/atau ekstradisi dengan negara-negara yang tidak menjadi Pihak dalam 
319/445 
7.29

perjanjian multilateral. Di bawah skema tersebut. legislasi Negara Diminta btasanya memformulasikan prosedur untuk rnengirimkan, menerima, mempertimbangkan dan melaksanakan permintaan. Prosedur ini biasanya sama dengan skema yang diatur di dalam perjanjian multilateral. walaupun biasanya terdapat beberapa persyaratan tambahan. Sebuah negara dapat mengatakan bahwa sebuah negara asing berhak untuk menerima bantuan, atau mereka dapat mempertimbangkan setiap permintaan yang datang berdasarkan case-by-case basis. Terdapat sejumlah pendapat pro dan konna terhadap kedasama yang berdasarkan legislasi nasional. Skema tersebut memang lebih cepat dan murah serta lebih mudah diteraplcan dibandingkan treaty. Namun di satu sisi, tidak seperti treaty, legislasi domestik tidak menciptakan kewajiban yang mengikat di bawah hukum internasional. Sebuah negara yang memberlakukan legislasi tersebut tidak memiliki kewajiban intemasional untuk membantu negara asing. Negara asing pun tidak berkewajiban memberikan bantuan terhadap negara lain yang memberlalculcan legislasi tersebut. Dalam banyak kasus. Negara Diminta akan bekerjasama berdasarkan suatu trealy hanya jika Negara Peminta menyediakan semacam undertaking of reciprocity (Initiative, 2010). Dalam 1ingkup ASEAN. melcanisme yang dapat dilakukan untuk pengembalian harta yang mungkin dilarikan ke yurisdiksi Singapura adalah melalui ASEAN Like-Minded Countries Mutual Legal Assistance Treaty yang telah ditandatangani dan berlaku di negara-negara Asia Tenggara, sebagai berikut Negara Penandatangan dan tanggal berlaku: 1. Brunei Darussalam 29 November 2004 berlaku 15 Februari 2006 2. Indonesia 29 November 2004 berlaku 4 Jtmi 2008 3. Laos 29 November 2004 berlaku 20 Juni 2007 4. Malaysia 29 Noveml,er 2004 berlaku 1 Juni 2005 5. Singapura 20 November 2004 berlaku 28 April 2005 6. Vietnam 29 November 2004 berlalcu 25 Oktober 2005 
Indonesia sendiri telah meratifilcasi perjanjian tersebut melalui Undang-undang No. 15 Tahun 2008 Tentang Pengesattan Treaty on Mutual Legal Assistance in CriminalMatters. Di antara negara-negara ASEAN tinggal Kamboja, Fllipisst dan Thailand yang sudah menandatangani namun belum meratifficasinya. Perjanjian tersebut mewajibkan para Pihak untuk memberiakukan tpaya-upaya MLA seluas apapun antara satu sama lain, dan 
320/445 
7.30

terkait pada legislasi nasional Negara Diminta. Perjanjian ini mencakup bcrbagai jcnis MLA yang biasa dapat ditcmukan di dalam perjanjian-perjanjian bilateral, misalnya hal-hal terkait pengambilan bukti, pencarian dan penyitaan aset. Dalam hal belum ada perjanjian. maka MLA atas dasar hubungan baik bcrdasarkan asas resiprositas. Target Pcmcrintah Indoncsia dalam pembentukan perjanjian dan melakukan kerjasama MLA adalah ncgara-negara yang diduga menjadi tempat pelaku tempat pidana korupsi menempatkan aset hasil tindak pidana korupsi dan negara-negara yang menjacli pusat keuangan dunitt, yakni Singapura, Swiss, RRT, •ong Kong, Amerika Serikat, Kanada, Inggris dan Uni Emirat Arab. Untuk negara-negara non target, UU MLA Indonesia memungkInkan kcrjasama tanpa adanya perjanjian tclapi cukup dengan pernyalaan akan bekerja sama secara resiprositas, maka banivan akan dapat diberikan. Seluin itu, negara-negara juga dapat meminta bantuan Indonesia melalui kerangka kerja sama MLA di bawah UNCAC dan UnitedNations Convention against Transnational Organized Crirne (UNTOC). 77te United Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) juga relevan untuk kasus korupsi, namun cakupannya lebih terbatas dibandingkan UNCAC. Indonesia scndiri sudah mcratifikasi UNTOC mclalui Undang-undang No. 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Covention Again.s.t Transnational Crime. Terkait kerjasama internasional. UNTOC memillki landasan hukum untuk ckstradisi dan MLA tcrkait pclanggaran-pclanggaran terhadap hal-hal yang diatur di dultun Konvensi. Sebagaimana UNCAC, UNTOC memiliki beberapa sifat yang sama. contohnya sifatnya yang bertindak sebagai perjanjian di antara para Pihak atau dcngan mcnggunakan perjanjian bilatcral yang sudah ada. Memang UNTOC mcngaiur mengenai kriminalisasi korupsi sebagai kejahatan transnasional datt conflseraion of proceeds of erime. namun pengaturan khusus mengenai aset reeovery hanya terdapat di dalum UNCAC. Terkait permintaan MLA dari Pernerintah Rcpublik Indoncsia, tcntunya harus melalui mckanisme tertentu yang sudah diatur di dalam undang-undang. Pettyampaian permintaan MLA diajukatt oleh Menteri Hukum dan HAM RI kepada negara asing secara langsung (apablla telah ditentukan melalui perjanjian bilatcral) atau melalui saluran diplomatik, berdasarkan permohonan dari Kapolri atau laksa Agung RI atau Ketua Komisi 
321/445 
7.31

Pemberantasan Korupsi (khusus tindak pidana korupsi). Hal ini tercantutn di dulam Pasal 9 UU No, I Tahun 2006, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham; sebelumnya dinamak. Departetnen Ke(takiman) merupakan eentrul autharity untuk kerjasama internasional dalam persoalan-persoalan kriminal. Fungsl utamanya adalah untuk mcmproscs ineomingand outgoing requests. Berdasarkan Pasal 46 ayat (13) UNCAC, setiap Negara Pihuk wajb menunjuk badan berwenang pusat yang memiliki tanggungjawab dan kekuasaan untuk menerima permintaan-permintaan bantuutt hukum timbal-ballk. Outgoing requests untuk ekstradisi dan MLA dibuat olch Kemkumhum berdasarkan permintaan Kejaks.n Agung atau Kapolri. Dalam kasus-kasus korupsi, MLA jugu dapat dimintalcan oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Permintaan ckstradisi dan MLA dibuat olch Direktorat Hukum Internasional dari Kemkumham dun di-review melalui pertemuan-pertemuan terkoordinasi antara badan-badan yang relevan seperti KPK. Kepolisian, Kejaksaan Agung, Kemkumhain dan Kementerian Luar Negeri. Permintaan MLA sebagaimana pula dengan ekstradisi tetup dikirinikan melalui saluran diplomatik (diplotnatie chunne(). Kemkumham juga memproses permintaan ()nwming requests) untuk ekstradisi dan MLA. Pcrmintaan ckstradisi clapat dikirimkan kc Kcmkumham melalui saluran diplonunik, sementara permintaan MLA dapat dikirimkan langsung. Dalam menerima suatu permintaan, Kemkumham memverillkasi bahwa permintaannya sesuai dengan legislasi maupun treaty (jika ada) yang rcicvan. Setelah itu, Kcmkumham akan mcncruskan permintaan tcrscbut uniuk dicksekusi oleh Kejaksuan Agung dan Kapolri. Direktorat Hukum Internasional Komkumham memonitor permintaan dengan berkomunikasi dcngan Kcpolisian alau Kcjaksaan Agung. Scmua permintatin yang datang dijaga kerahasiaannya. Terkait pengetnbalian aset hasil tindak pidana di luar negeri, Pasal 57 UU No. 1 Tahun 2006 menyatakan bahwa Menkumham dapat membuat perjanjian atau kcsepakatan dcrigan negara asing untuk mendapatkan pengganiian biuytt dan bagi hasil duri hasil harta kekayaan yang dirampas (Prasasthi, 2010): I. di negara asing, sebagai hasil dari tindakan yang dilakukan berdasarkan putusan perampasan atas permintaan Menteri; utuu 
7.32

2. di Indonesia. sebagai hasil dari tindakan yung dilakukan di Indoncsia bcrdasarkan putusan perantpasan atas permintaan ncgara asing 
Per an ian-Per an ian MLA Indonesia Den an Bebnnatna Nessra 
No Negara Pihak Nama Perjanjian Tahun Penandata Nanan Ratifikasi I. Indonesla-Australia neaty Between The Republie Of Indonesia And Australia On Mutual Assistance ln Criminal Matters 1995 UU No. I tahun 1999 2. Indonesia-RRC Treaty Between The Republie 2000 UU No. 8 Of Indonesia And The Tahun People 's Republie Of China 2006 On Matual Legal Assistanee In Criminal Matters 3. Indonesia-Korea Treaty Between The Republie 2002 Belum Selatun Of Indonesia And Republie Of diratifikasi Korea On Mutual Assistanee 1n Criminal Mattem 4. Indonesia-Brunei, Kamboja, Laos. Treaty On Muntal Legal Assistanee 1n Critninal 2(1(14 UU No. 15 Tahun Malaysia, Filipina, Singapura dan Matters (ASEAN MLA TREATY) 2008 Vietnam 5. Indonesia-liongkong Agreement Coneerning Mutual Legal Assistance M 2006 Belum diratifikasi Criminal Matters Between Hong Kong And Indonesia 
2. Kerjasatna Ekstradisi lstiluh ekstradisi berasal dari bahasa latin "extradere" yang terdiri dari kata ex artinya keluar dan trader artinya memberikan atau menyerahkan, kata bendanya ekstradio yang artinya penycrahan(Sianturi, 2002). Ekstradisi Icbih dikenal atau biasanya digunakan terutuma dalum penyenthan pelaku 
7.33

kejahatan dari suatu negara kepada negara peminta. Pengembalian koruptor ke negara asalnya dapat dilakukan dengan ekstradisi. Ekstradisi dilalculcan antara negara yang memiliki perjanjian ekstradisi, contohnya UU No. 8 Tahun 1984 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia-Australia. Ekstradisi juga dapat dilakukan atas dasar kerjasama antar instansi penegak hukum. Ektradisi telah diatur di Indonesia melalui UU No. 1 Tahun 1979. Hingga tahun 2007. Indonesia telah mengadakan perjanjian ekstradisi dengan tujuh negara, dan seluruh perjanjian tersebut disepakati secara bilateral. Sepanjang perjanjian ekstradisi bisa dilakukan khususnya terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang berada di Negara tujuan aset ditetapkan adalah baik jika target utamanya penyelesaian lewat conviction base procedure yang menentukan tersanglca terlebih dahulu dinyatakan bersalah dan asetnya sebagai bagian dari yang terpisahkan dari perbuatan tersebut disita tetapi yang terpenting adalah sebagaimana mengembalikan orang bersama-sama dengan hartanya hal ini belum sama sekali terlihat dalam sistem ekstradisi ini bahlcan sampai saat ini Singapura belum menyepakati bentuk ekstradisi yang telah ditandatangani dengan Indonesia khususnya dalarn pengembalian tersangka tindak pidana ekonomi dan tindak pidana umum hanya didasarkan pada pengembalian orang yang merupalcan buronan yang telah dinyatalcan bersalah melakukan tindak pidana terorisme. 
Perjanjian-Perjanjian Ekstradisi Indonesia Dengan Beberapa Negara 
No. Negara Pihak Nama Perjanjian Tahun Penanda tang. Ratifikasi 1. Indonesia- Treaty Benveen The 1974 UU No. 9 Malaysia Government Of Malaysia Tahun 1974 Relating To Extradition 2. Indonesia- Extradition Treaty Between 1976 UU No. 10 Filipina The Republic Of Indonesia And tahun 1976 The Republic Of Philippines 3. Indonesia- Treaty Benveen The 1976 UU No. Thailand Government Of The Republic Tahun 1978 Of 4. Indonesia- Estradition Treaty Benveen 1992 UU No. 8 
7.34

Austmlia Australla And The Republic Of hulonesia Tahun 1994 5. Indoncsia- Agreement Beoveen The I ,m7 UU No, 1 Hong Kong Govenunent Of The Republic Tahun 2001 Of Indonesiu And The Govemment Of Hong Kong For Surrender Of Fuginve Offendem 6. Indonesia- Treaty On Extradition Beoveen 2000 UU No, 42 Korea The Republic Of Indonesia And Tuhun 2007 Selatan The Republic Of Korea 7. 1ndonesiu- Treaty On Extradition Between 2007 Bclum Singapura The Republic Of Indonesia And diratifikasi Singapore 
LATIHAN Untuk memperdalam pcmahaman Anda mengenai rnateri cli atas, kerjakanlah latihan berikutl I) Penindukan terhadup Tindak Pidanu Korupsi scring harus melibtttkun negara lain dikarenakan aset hasil tindak pidana korupsi banyak dilarikan kc luar ncgcri untuk kcamanan. Menyikapi hal ini dunia Internasional berkomitmen untuk pemberuntasan tindak piduna korupsi secara trans-nasional antara luin melalui lahirnya United Nation Convention Agttinst Corruption (UNCAC). Pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan pada UNCAC mencakup beberapa tahap, jelaskanl 2) Sebagai intrumen pelaksanaan ketentuan dalum UNCAC perlu dilakukan kerjasama teknis antar negara yang terbentuk dalam Mutual Legal Assistance (MLA). MLA apa sajakah yang telah diratifikasi oleh Indonesia? 
Petuftlk jawaban Latihan, 
I ) Berdusarkun padu UNCAC, pengembalian uset hasil tindak pidana koruspi terbagi dalam empat tahap, yaltu (Yanuar, 2007): 
7.35



MODUL 8 
PERAN SERTA MASYARAKAT DAN UPAYA NON PENAL DALAM MEMBERANTAS TINDAK PIDANA KORUPSI

KEGIATAN BELAJAR 1 
PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI

Tindak pidana korupsi di Indonesia telah menjamur kc hampir seluruh lini kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Seiring perkembangannya, korupsi tidak hanya makin mcluas, tctapi dilakukan secara sistematis sehingga tidak saja semata-mata merugikan keuangan negara tetapi telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. 
Ironisnya, jumlah kasus, kerugian negara maupun modus operandinya terus meningkat dari tahun kc tahun. Hal demikian menjadikan korupsi scbagai permasalahan sosial yang akut dan sulit untuk dimusnahkan.

Korupsi sebagai masalah sosial dan sebagai bentuk kriminalitas yang olch suatu masyarakat dianggap scbagai perilaku menyimpang (deviance), yang berhadapan dengan reaksi sosial (Dirjosisworo, 1984: 77). Perilaku menyimpang adalah tanggapan atau reaksi yang normal terhadap keadaan abnormal, yaitu suatu ketidakwajaran setiap perilaku yang merupakan pcnyimpangan terhadap tcrtib sosial.
Nampaknya korupsi mcrupakan salah satu contoh dari deviasi perilaku yang senantiasa mendapat reaksi sosia1 untuk menghentikannya (Dirjosisworo, 1984: 78). Reaksi sosial tersebut salah satunya adalah peran aktif masyarakat dalam upaya pcmbcrantasan korupsi. 

Barda Nawawi Arief menyatakan dalam bukunya yang berjudul "Kapita Selekta Hukum Pidana" bahwa karena masalah korupsi sarat dengan berbagai komplcksitas masalah, maka scyogianya ditcmpuh "pcndekatan intcgral". Tidak hanya melakukan "law reform", tetapi seyogianya disertai dengan "social, economic, political, cultural, moral, and administrative reform " (Arief. 2013: 54).
Artinya, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tidak akan sclcsai jika hanya bcrtumpu pada pcmbaharuan hukum pidananya saja, akan tetapi perlu didorong juga oleh semangat pembaharuan dan pembenahan di bidang sosial, ekonomi, politik, budaya, moral, dan administrasi. Hal dcmikian hanya dapat dilakukan jika scluruh komponcn bangsa digcrakkan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, khususnya masyarakat. 


Pakar korupsi dari Harvard University, Dennis F. Thompson pernah menyatakan bahwa -comption is bad not because money and benefits change hands, and not because of the motives of participants, but because it privatizes valuable aspects of public bypassing processes of representation. debate, and choice" (Thompson. 1993: 369). Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa korupsi sebagai kejahatan bulcan karena keuntungan dan tiang yang dirampas. dan bukan karena motif dari para pelakunya, tapi karena ia memprivatisasi aspek-aspek berharga dari kehidupan sosial. melalui proses pemilihan, perdebatan, dan penvakilan. Jadi, masyarakat sebenarnya turut ambil bagian dalam membesarkan perilaku dan budaya korup dalam suatu negara. Sebaliknya, masyarakat juga merupalcan salah satu komponen utama dalam upaya pencegahan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal demikian karena pendidikan yang paling pertama berasal dari keluarga yang ada dalam tiap masyarakat. Pasal 1 ayat (2) UUD RI 1945 dengan tegas menyatalcan bahwa "Kedaulatan berada di tangan ralcyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Berkenaan dengan hal tersebut, masyarakat merupakan barisan terdepan yang dapat berperan aktif dalam pemberantasan korupsi untuk mempertaltankan kedaulatan negara. Masyarakat yang berdaya atau berperan dapat mengontrol, bahkan jika proses penegakan hukum lemah dan tidak dapat menghadapi kejahatan ini (korupsi), maka masyarakat dapat tampil ke depan untuk sementara mengambil alih tugas-tugas aparat penegak hulcum, syaratnya masyaralcat harus diberi ruang dan kesempatan yang luas untuk berpartisipasi melalui sistem dan tatanan yang demokratis dan transparan. Meskipun aspek pemberdayaan itu sangat penting dalam proses dan strategi pemberantasan tindak pidana korupsi, namun itu semua harus dilakukan dalam batas-batas dan koridor huktun yang berlaku (Supartoyo, 2012:1). Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hulcum. Berpijak pacla hal tersebut, apabila hukum dipandang sebagai suatu sistem, Lawrence M. Friechnan menyataktt pendapatnya bahwa di dalam sistem tersebut terdiri dari sub-sub sistem (Friedman„ 1984: 5), yaitu: 1. Sub-sistem struktur hukum; 2. Sub-sistem substansi hukurn: 3. Sub-sistem kultur hukum. 
8.3

Apabila ingin membenahi sistem hukum yang ada, maka hal utama yang harus diperbaiki icrIcbih dahulu adalah sub-sistcm kultur hukum yang di dalamnya ierdapat yung terkandung dalum masyarakat. Struktur hukum (aparat penegak hukum) dan substansi hukum (peraturan perundang-undangan) sebaik upa pun akan percuma jiku kultur hukum yang ada di dalam masyarakatnya bclum buik. Agar pcmahaman mcngcnai sistcm hukum ini Icbih mutlah dicerna maka akan ditampilkun ilustrasi scperti di bawah ini. 
LEGAL SUBSTANCE 

WAYS of TI 
PERSEPSI 
ILEGAL CULTURE 1 
4E=I  CUSTOM 
NILA-NILAI 1 
8.4

Secara sederhana. ilustrasi di atas menggambarkan bahwa struktur hukum (aparat pencgak hukum) diibaratkan scbagai daun, substansi hukum (pentturan perundang-undangan) sebagai sebuah batang pohon, dan kultur hukum yang di dalamnya terdapat nilai, persepsi. dan moral yang hidup di masyarakat sebagai akar dari pohon tersebut. Pohon yang kokoh pasti mcmiliki akar yang ku. Dalam kontcks pembicaraan pcmbcrantasan tindak pidana korupsi, masyarakat di sini diibaratkon akar dari pohon permasulahan korupsi yang merajalela di sektor pemerintahan. Pemerintahan yang bersih umumnya berlangsung di negara yang masyarakatnya menghormati hukum. Pemerintahan yang scperti ini juga disebut sebagai pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang baik itu hanya bisa dibangun melalui pemerintahan yang berslh dengan aparatur birokrasinya yang terbcbas dari KKN. Dalam rangka mcwujudkan pemerintahan yang bersih, pemerimuh harus mnntitiki moral dan proaktif serta •)teck inthin•es. Tidak mungkin mengharapkan pemerintah sebagai suatu komponen dari proses politik memenuhi prinsip pemerintahan yang bersih apabila tidak nnnnntiliki moral, Proaktif serta check and halance,v untuk mewujudkan penyelenggaraan yang bersih dan bebas dari KKN, peran seria masyarakat menjadi penting untuk diberi ruang luas. Pemberian ruang kepada masyarakat untuk bcrperan scrta ini scsuai dengan prinsip ketcrbukaan dalam Negant Demokrasi. Prinsip ini mengharuskan penyelenggara Negara membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh infonnasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif. Scbagai extraordhuny crime, pcmbcrantasan tindak pidana korupsi seakan-akan berpaoo dengan muneulnya beragam modus operandi korupsi yang semakin canggih, karena itu diperlukan sinergi dan persamaan persepsi dari scluruh komponen bangsa, tcrmasuk masylvakat. Masyarakat di sini berarti setiap individu, kelompok orttng, organisasi masyarakat, atau lembaga swadaya masyarakat. Peran serta masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi telah diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pernberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Kcmudian, mengenai hak dott tanggungjawab, serta penghargaan terhadap peran masyarakat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi telah diatur melalui Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Pengharg.n Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 
8.5

Andi Hatnzah mengungkapkan bahwa terdapat kekurangan pengaturan peran scrta masyarakat ini, yaitu masyarakat tidak bolch mcngungkap kcpada publik bahwa seseorang dicurigai telah melakukan perbuatan korupsi. Pengungkapan kepada publik sebelutn dilakukan penuntutan oleh jakna melanggar hak tataai manusia dan dilarang di Malaysia (Hamzah, 2006: 119), 
B. HAK DAN TANGGUNGJAWAB MASYARAKAT DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI 

Dalam usaha pencegahan dun pemberantasun tindak pidane korupsi, masyarakat metnpunyai hak dan tanggungjawab dalam arti masyarakat berperan serta dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi (Jaya, 2005; 61), Hak dan tanggungjawab masyarakat dulam pemberantasan korupsi sebagaimana diutur dalam PP No. 71 Tahun 2000 tentang T. cara pelaksan.n peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, terbagi menjadi 3 tiga) bagian. I . Hak dan tanggung jawah masyarakat dalam mencari, memperoleh memberi informasi, saran, dan pendapat (Pasal 2 dan Pasal 3) Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan membcrikan informasi adanya duguan telah terjudi tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum d. atau Komis• )ttengenai perkara tindak pidana korupsi. penyampaian informasi, saran, dan pendapat atau permintaan informasi harus dilakukan secara bertanggungjawab sesuai dengan ketentuan peratunm perundang-undangan y.g berlaku, norma agama, kesusilaan, dan kesopanan. Cara penyampaian informasi, saran, atau pendapat masyarakat tersebut harus dilakukan dengan tertulis dan disertai: a. Data mengenai nama dan alamat pelapor, pimpinan Organisasi masyarakat (Ormas), atau pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan mclampirkan foto kopi KTP atau idcntitas diri lain; dan b. Keterungan mengenai dugaan pelaku tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti-bukti permulaan. 
8.6

Penegak hukum di sini berkewajiban untuk melakukan gelar perkara untuk mcngklarifikasi setiap informasi, saran, atau pcnclapat yang disampaikan oleh masyarakat. 2. Flak dan tanggungjawab masyarakat dalam memperoleh pelayanan dan jawaban dari penegak hukum (Pasal 4) Sctclah menyampaikan informasi, saran, atau pcndapal kcpada pcncgak hukurn, masyarakat berhak memperolch pelayanan dan jawaban dari penegak hukum atau Komisi atas informasi, saran, atau pendapat yang telah diberikan tersebut. Dalam hal ini, penegak hukum atau Komisi wajib memberikan jawaban secara lisan atau tertulis atas informasi, saran. atau pendapat dari masyarakat dengan jangka waktu puling lambat 30 (tiga puluh) hari tcrhitung scjak tanggal informasi, saran atau pcndapat ditcrima. Akan tetapi, dalam hal tertentu penegak hukum alau Komisi dapat menolak memberikan isi infonnasi atau memberikan jawaban atas saran atau pendapat tersebut sesual dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Dalam hul tertentu" di sini maksudnya adalah dalam hal mengcnai sesuatu masalah diatur luin oleh peraturan perundang-undangan yang bcrlaku misalnya yang bcrkaitan dcngun kerahas•ttan (rahas•a bank dan rahasia pos), 3. •ak dan tanggun&jawab masyarakat dalam memperoleh perlindungan hukum (Pusal 5 dan Pasal 6) Masyarakat yang tclah mcmbcrikan informasi, saran, atau pcndapat atas dugaan telah terjadinya tinclak pidana korupsi berhak auts perlindungan hukum baik mengenai status hukum maupun rasa aman. Pcrlindungan mcngcnai status hukum tcrscbut tidak dibcrikan apabila dari hasil pcnyelidikan atau penyidikan terdapat bukti yang eukup yang memperkuat keterlibatan pelapor dalarn tindak pidana korupsi yang dilaporkan. Perlindungan mengenai status hukum juga tidak diberikan apabila tcrhadap pelapor dikenakan tuntutan dalam perkara lain. Status hukum di sini adalah status seseorang pada waktu menyampaikan suatu informasi, saran, atau pendapat kepada penegak hukum atau Komisi dijamin tetap, misalnya status sebagai pelapor tidak diubah menjacli sebagai tersangka. Selanjutnya, penegak hukum atau Komisi wajib merahasiakan kemungkinan dapat diketahulnya identitas pelapor atau isi informasi, 
8.7

saran, atau pendapat yang disampaikan. Apabila diperlukan, atas permintaan pelapor, penegak hukum atau Komisi dapat memberikan pengamanan fisik terhadap pelapor maupun keluarganya. 
C. PEMBERIAN PENGHARGAAN 

Dalam rangka memberikan motivasi yang tinggi pudu masyarakat, maka diadakan pemberian penghargaan kepada masyarakat yang berjasa terhadap upaya pencegahan dun pemberantasan tindak pidana korups1 berupa piagam atau premi. Peran serta masyarakat tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan hak dan tanggungjawab masyarakat dalam penyelenggaraan Negara yang bebas dan bersih dari tinclak pidana korupsi. Di samping itu, dengan peran serta tersebut masyarakat akan lebih bergairah untuk melaksanakan kontrol sosial terhadap tindak pidana korupsi. Pemberian penghargaan terhadap peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pernberaniasan tindak pidana korupsi telah diatur melalui PP No. 71 Tahun 2000, tepatnya pada Pasal 7 sampai dengan Pasal 11 yang secara rinci dapat dijabarkan sebagai berlkut: I. Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) (1) Setiap orang, organisasi masyarakat autu lembaga swadaya masyarakat yang telah berjasa dalam usaha membantu upaya pencegahan atau pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat penghargaan. (2) PenghargUall sebagaimana dimaksuci chtlam klyat ( I ) dapat berupa piagam utuu premi, 2. Pasal 8 Ketentuan mengentti taut cara pemberian pengharguan tiertil bentuk dan jenis piagam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ditetapkan deng. keputusan Menteri hukum dan Perundang-undangan (sekarang Kementerian Hukum dan HAM). 3. Pasal 9 Besar premi sebagaimana ditnaksud dalam Pasal 7 uyut (2) ditetapkan paling banyak sebesar 2^ (dua permil) dari nilai kerugian keuangan Ncguru yang dikembalikan. 
8.8

4. Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) ( I) Piagam dibcrikan kcpada pclapor sctclah perkara dilimpahkan kc Pengadilan Negeri. (2) Penyerahan piagam sebagaimana dimaksud dalam ayat ( I) dilakukan oleh penegak hukum atau Komisi. 5. Pasal 1 I ayat (1) dan aynt (2) ( I ) Prcmi diberikan kepada pelapor sete(ah putusan pengadilan yang memidanakan terdakwa memperoleh kekuatan hukum tetap. (2) Penyerahan premi sebagalmana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Jaksa Agung atau pcjabat yang ditunjuk. 
LAT.AN 
Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut! ) Permasalahan korupsi tidak hanya mcnyangkut upaya represif melalui sistem peradilan pidana namun yang lebih penting juga sistem sosial, ekonomi, budaya datt politik dimana kuntpsi tcrscbut tumbuh maupun mati. Lawrcncc Friedman mcngcmukakan terdapat 3 sub sisiem hukum yang sangat berkaitan, jelaskanl 2) Sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi secara budaya, pcmcrintah mclibatkan masyarakat untuk bcrperan dan mcmbcrikan penghargaan keapda mereka schingga proses check mul balance tidak hanya secara internal namun juga eksternal. Jelaskan bagaimana keterlibatan masayrakat tersebut! 
Petunjuk Jawalum 

I ) Lawrence M. Fricdman mcnyatakan pcndapatnya bahwa di dalam sistcm tersebut terdiri dari sub-sub sistem (Friedman, 1984: 5), yaitu: a. Sub-sistem struktur hukum: b. Sub-sistem substansi hukum: c. Sub-sistcm kultur hukum. Apabila ingin membenahi sistcm hukum yang ada, maka hal utama yung harus diperbaiki tettebitt dahulu adalah sub-sistetn kultur hukum yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang tcrkandung dalam masyarakat. 
8.9

KEGIATAN BELAJAR 2 
Upaya Nonpenal dalam Pemberantasan Tindak Pida)la Korupsi 
embahasan kali ini sangat erat kaitannya dengan kebijakan atau upaya pcnanggulanagan kcjahatan (kcbijakan kriminal). Barda Nawawi Aricf menyalakan bahwa pada hakikatnya kcbijakan kriminal merupakan bugian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mcncapai kcscjahtcraan masyarakat (soc(al welfirre). Olch karcna itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminul adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan tnasyarakat(Arief, 2008: 5) Sccara skcmatis dapat digambarkan scbagai bcrikut: 
Socit I Policy 
Social Welfarc Policy 
Social Defence Policy 
Criminul Policy 
Penal 
Nonl,nal 

Usaha pcnanggulangan kcjahatan, da)at dijabarkan; I. Pencegahan penanggulangan kcjahatan harus menunjang tujuan, social dan sociai defence. Aspek socia/ waifare datc social defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/perlindungan 
8.13

masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kcbenaran, kcjujuran/kcadilan; 2. Pcncegahan penanggulangan kejahatan dilakukan dengan "pendekatan integral", ada keseimbangan sarana "penal" dan "non-penal"; 3. Pencegahan penanggulangan kejahatan dengan sarana penal atau Venal-law eriforcement poli•" yang fungsional mclalui bcbcrapa tahap: a) Formulasi (kebijakan legishitif), b) Aplikasi (kebijakan yudikatif), c) Eksekusi (kebijakan eksekutif).1 
G. P. Floefnagel• clahun buku Barda Nawawi Arief yang berjudul "Bunga Rampai Kebijakan 1•Iukum Pidana" mengungkapkan bahwa upaya penanggulangan kejahatan dapat ditentpuh dengan (Arief, 2008: 45): I. Pcnerapan hukum pidana (criminal law application) 2. Pencegahan tanpa pidana (prevention wahout punis(tment) 3. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (i)fluencing views of society . crime and punishment/mass media). 
Dengan demikian. Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa upaya pcnanggulangan kcjahatan sccara garis bcsar dapat dibagi dua, yaitu Icwat jalur "penal" (hukum pidana) dan lewat jalttr "nonpenal" (buktm/cli luar hukum pidana)(Arief, 2)108:46). Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur "non pcnal tebilt bersifat tindakan pencegahan sebelum terjadinya kcjahatan. Olch Itamna itu, sasaran utamanya adalah menangani faktor — faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah — masalah atau kondisi — kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat rnenimbulkan atau mcnumbuh suburkan kcjahatan. Mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi, Barda Nawawi Aricf juga menempatkan perhatiannya pada keterbatasan/kelemahan hukum pidana sebagai sarana menanggulangi kejahatan (termasuk korupsi). Keterbatasan kemampuan hukum pidana tcrscbut discbabkan hal-hal bcrikut (Aricf, 2013: 69): I. Sebab-sebab terjadinya kejahatan (khususnya korupsi) sangat kompleks dan berada di luar jangkauan hukum pidana. 

Burda Nowawi Arief, Runga Rampal Kebijakan Hukum Pithma, (Jukurut. Koncunu Prenadurnedia Group, 2008), hal. 5. 
8.14

2. Hukum pidana hanya merupalcan bagian kecil (subsistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi rnasalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosiopsikologis, sosiopolitik. sosioekonomi, sosiokultural, dan sebagainya). 3. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan "kurieren am symptom" (penanggulangan/pengobatan gejala). Oleh karena itu, hulcum pidana hanya merupakan "pengobatan simptomatik" dan bukan "pengobatan kausatir. 4. Sanksi hukum pidana merupakan "remidium" yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksal dan mengandung unsur-unsur serta efek samping yang negatif. 5. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional. 6. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yanng bersifat Icalcu dan imperatif. 7. Beketjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut "biaya tinggi". 

Keterbatasan/kelemahan hukum pidana di atas merupaican keterbatasan/kelemahan yang bersifat umum. Di samping itu, ada pula beberapa kelemahan khusus dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan korupsi Misalnya, kelemahan yang mengandung masalan yuridis materiel dalam UU PTPK, antara lain: 1. Tidak adanya penetapan kualifikasi yuridis dari TPK (berupa "kejahatan" atau "pelanggaran"). 2. Tidak adanya aturan/pedoman khusus pemidanaan untuk pidana minimal. 3. Tidalc adanya ketentuan khusus mengenai pelalcsanaan pidana denda yang tidak dibayar oleh korporasi. 4. Tidak adanya pidana pokok khusus untuk korporasi (cecuali denda). 5. Tidak adanya aturan/pedoman khusus untuk menerapkan sanksi pidana yang dirumuskan dengan sistem kumulasi 6. Tidak adanya ketentuan khusus yang merumuskan pengertian dari istilah "pemufakatan jahat". 
8.15

Dengan memerhatikan berbagai kelemahan di atas, maka perangkat hukum pidana yang ada tidak dapat diharapkan banyak sebagai sarana yang efektif untuk menanggulangi tindak pidana kmpsi. Olch karena itu, wajar sekiranya berbagai perangkat hukum itu diperbaiki/ditinjau kembali (Arief, 2013: 70). Mayoritas pakar hukum pidana menyatakan pendapatnya yang sama tentang inefektifitas hukum pidana dalam penanggulangan kcjahatan, diantaran a: 
Namu Pakar Pendapat Rubin •lukum pidana utuu pemidanaan tiduk mempunyai terhadapi_nasalah kcjahatan Schultz _maruh Nuik turunnya angka kcjahaian tiduk berhubungan dengan perubahan di dalam hukum atau putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekerjanya atau berfungsinya perubahan kultural dalam kehidupan masyarakat Karl. O. Pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sulit diukur, Christiansen S. R. Brody 5 (lima) dari 9 (sembilan) penelitlan menyatakan bahwa lamanya waktu yang dljalani oleh seseorang di dalam penjara tidak berpengaruh pada adanya reconviction atau penghukuman kembali. Wol f Tidak ada hubungan logis antara kejahatan dengan Middendorf lamanya pida.. Kita tidak dapat mengelahui hubungan sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang melakukan kejahatan dan mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya UU atau pidana yang clijatuhkan. Sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orangtua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuataan, yang sama efektifnya dengan ketaktnan orang pada pidunu. 

Karena upaya nonpcnal merupakan upaya preventif yang menekankan pencegahan tindak pidana korupsi, ada pun langkah-langkah yang dapat diambil dalam pencegahan tindak pidana korupsi adalah: I. Upaya MCI1U111buhkan kesadaran unti korupsi: 2. Upuyu mengembangkan budaya dan lingkungan anti korupsi. 
8.16

1. Upuytt Menumbuhkon KesutIttrun Anti Korupsi Dampak yang ditimbulkan dari kcgiatan korupsi sangatlah massif. Lihat saja data yang dilansir olch Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mengungkapkan bahwa pada tahun 2015, kerugian Indonesia mencapai Rp 3.100.000.000.0(t0,- (tiga triliun seratus miliar )upiah) akibat korupsi.2 Apabila dana tersebut dapat digunakan untuk membangun sekolah dengan anggaran kurang lebih Rp 900.000.000,- (sembilan ratus juta rupiah), maku akan terbangun setidaltnya 3.400 (tiga ribu empat ratus) sekolah tambahan di lndoncsia hanya dari kcrugian ncgara tcrscbut. Ataupun dana scbcsar itu digunakan untuk membangun rumah luyuk huni dengan USumsi anggaran sebesar Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupialt) per unit, maka akan terbangun sedikitnya 20.600 (dua puluh ribu enam ratus) unit rumah tipe 36 untuk masyarakat miskin di Indonesia hanya dari kerugian negara tersebut. Sebagaimuna telah dijelaskan dalam kegiatan belajar I, korupsi akan tetap ada jika masyarakat masih bersikap acuh dan tidak mau ambil bagian dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Perlu diingal kembali bahwa di dalam masyarakat tersebut terdapat kebiasaan dan kesadaran yang di dalamnya terkandung nilai-nilai dan nortna-norma yang menjadi dasar pembentukan perilaku hukum di dalam suatu masyarakat itu. Berkenaan dengan hal tersebut maka kesadaran Anti Korupsi sangat perlu ditanamkan cialam benak masyarakat meltilui sebulth pendidikan. Pendidikan anti korupsi merupakan adalah suatu sikap tidak setuju, tidak suka, dan tidak senang terhadap tindakan korupsi. sikap tersebut dirasa dapat mencegah dan menghilangkan peluang bagi berkembangnya korupsi. Mencegah yang dimaksud adalah upaya meningkatkan kesaclaran individu untuk tidak melakukan tindak korupsi dan serta berupaya mcnyclamatkan uang dan assct ncgara. Pcndidikan anti korupsi, dengan demikian, Pendidikan Anti Korupsi merupakan usaha sadar untuk memberi pemahaman dan pencegahan terjadinya perbuatan korupsi yang dilakukan melalui pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal pada lingkungan keluarga, dan pendidikan nonformal di masyarakat. Pendidikan antikorupsi tidak berhenti pada pengenalan nilai-nilai antikorupsi saja, akan tetapi, berlannjut pada pemahaman nilai. penghayatan nilai dan pengamalan nllai antikorupsi menjadi kebiasaan hidup sehari-hari. Secara umum tujuan pendidikan anti korupsi adalah: 
8.17

a Pembentukan pengetahuan dan pemahaman mengenai bentuk korupsi dan aspek-aspelmya b. Pengubahan persepsi dan sikap terhadap korupsi., dan c. Pembentukan keterampilan dan kecakapan baru yang dituduhkan untuk melawan korupsi. 

Manfaat jangka panjang dari pendidilcan anti korupsi dapat menyumbang pada keberlangsungan sistem integrasi rtasional dan program anti korupsi. dalarn jangka pendek manfaatnya adalah pembangunan kemauan politik bangsa Indonesia dalam memerangi korupsi. Untuk menumbuhkan kesadaran anti korupsi dalam masyaralcat, pendidikan anti korupsi harus diberilcan sejak dini. Hal demildan karena anak merupakan penerus bangsa yang akan berperan sebagai pemimpin di masa yang akan datang. Pendidikan anti korupsi sejak dini dapat dimulai dengan keluarga dan sekolah-sekolah. Pendidilcan anti korupsi secara umum dikatakan sebagai pendidiican koreksi budaya yang bertujuan untuk mengenalkan cara berpikir dan nilai-nilai baru kepada peserta didik. Dalam pendidikan anti korupsi harus mengintegrasikan tiga dornain, yalmi domain pengetahuan (kognitif), sikap dan perilaku (afeksi), dan keterampilan (psikomotorilc). Implementasi pendidilcan anti korupsi di jenjang sekolah bisa menggunalcan strategi eksklusif maupun studi kasus. Selanjutnya. pendidikan anti korupsi adalah program pendidikan yang diselenggarakan di sekolahimadrasah, dapat berbentuk penyisipan dalam materi mata pelajaran tertentu, diimplementasilcan dalam bentuk materi kegiatan ekstra kurikuler siswa. dan melalui pengembangan budaya madrasah. Setelah itu, kesadaran anti korupsi juga wajib diimplementasikan di jenjang perguruan tinggi. Melalui perguruan tinggi mahasiswa dicetak dan disiapkan untuk memimpin bangsa yang berwawasan intelektual. Peran mahasiswa dan dosen sangat berpengaruh untuk menyulcseskan gerakan anti korupsi. Khususnya mahasiswa, mereka harus memulai dengan menyadarkan diri sendiri dan berkomiunen untuk memerangi korupsi. hal tersebut dapat dimulai dengan hal-hal kecil, misalnya menghilangkan kebiasaan menitip absen, mencontek, dan lain sebagainya. Selain itu, perguruan tinggi juga harus berperan aktif dalam memudahkan mahasiswa mengenal budaya anti korupsi, misalnya dengan memasukkan mata kuliah khusus pencegahan dan pemberantasart korupsi di kurikulura 
8.18

2. Upaya Mengembangkan Budaya Dan Lingkungan Anti Korupsi Dapat dikatakan bahwa penyebab korupsi terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan korupsi yang datangnya dari diri pribadi atau individu, sedangkan faktor eksternal berasal dari lingkungan atau sistcm. Upaya pcncegahan korupsi pada dasarnya dapat dilakukan dengan rnenghilangkan, atau seticlaknya menguntngi, kecluu faktor penyebab korupsi tersebut. Berkenaan dengan upaya mengembangkan budaya dan lingkungan and korupsi, maka lingkungan perguruan tinggi mcnjadi benteng yang harus diperkuat untuk berada di garda terdepan dahun menanamkan nilai dan prinsip anti korupsi (khususnya mahasiswa). Dalam konteks pencegahan dan pcmberantasan korupsi. Romic O. Bura dan Nanang T. Puspito mcnjclaskan tentang nilai-nilai dan prinsip anti korupsi. Nilai-nilai anti korupsi tersebut terdiri dari kejujuran, kepedulian, ketnandirian, kedisiplinan, pertanggungjawaban, kerja keras, kesederhanaan, keberanian, dan keadilan. Nilai-nilai anti korupsi tersebut secara rinci dapat dijabarkan scbagai bcrikut:3 
a. Kefiduran Menurut Sugono kata jujur dapat didefinisikan sebagai lurus hati, ticlak berbohong, dan tidak curang. Jujur adalah salah satu sifat y.g sangat pentIng bagi kehidupan mahasiswa, tanpa sifat jujur mahasiswa tidak akan dipercaya dalam kchidupan sosialnya (Sugono: 2008). Nilai kejujuran dalam kehidupan kampus yang diwarnai dengan budaya akademik sangatlah diperlukan. Nilai kejujuran ibaratnya seperti mata uang yang bcrlaku dimana-mana tcrmasuk dalam kchidupan di kampus. Jika mahasiswa terbuldi melakukan tindakan yang tidak jujur, baik pada lingkup akademik maupun sosial, maka selamanya orang lain akan selalu merasa ragu untuk mempercayai mahasiswa tersebut. Sebagai akibatnya mahasiswa aken sclalu mcngalami kcsulitan dalam mcnjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini juga akan menyebabkan ketidaknyamanan bagi orang lain karena selalu merasa curiga terhadap mahasiswa tersebut yang terlihat selalu berbuat curang atau tidak jujur. 

' Tim Penulis Buku Pendidikan Anti Kuruptd, Pendidlkan Anti-Korugri Untuk Perganum 1151.41hIcarta: Kementerian Pendidikan dun Kebudayuun RI, 2011). hlm. 75-80 
8.19

Selain itu jika seorang mahasiswa pernah melakukan kecurangan ataupun kcbohongan, akan sulit untuk clapat mcmperolch kcmbali kepereayaan dari mahasiswa lainnya. Sebaliknya jika terbukti bahwa tnahasiswa tersebut tidak pernah melakukan tindakan kecurangan maupun kebohongan maka mahasiswa tersebut tidak akun mengalami kesulitan yang discbabkan 1indakan tcrccla tcrscbut. Prinsip kcjujuran harus dapat dipcgang teguh olch setiap mahasiswa scjak masa-masa ini untuk memupuk dan membentuk karakter mulla di dalam setiap pribadi mahasiswa. Nilai kejujuran di dalam kampus dapat diwujudkan oleh mahasiswa 
dalam bentuk tidak melakukan kecurangan akademik. Antara lain dapat berupa: tidak mencontek saat ujian, tidak melakukan plagiarisme. dan tidak memalsukan nilai. Nilai kejujuran juga dapat diwujudkutt dalam kegiatan kemahasiswaan, misalnya membuat laporan keuangan kegiatan kepanitiaan dengan jujur. 

L. Kepedulian Menurut Sugono dcfinisi katu pcduli adalah mcngindahkan, memperhatikan dan menghiraukan (Sugono 2008). Nilai kepedulian sangat penting bagi seorang mahasiswa dalatn kehidupan di kampus datt di masyarakat. Sebugui calon pemimpin masa depan, seorang mahasiswa perlu memiliki rasa kepedulian terhadap lingkungannya, baik lingkungan di dalam kampus maupun lingkungan di luar kampus. Rasa kepedulian seorang mahasiswa h.us mulai ditumbuhkan sejak bcrada di kampus. Olch karcna itu upaya untuk mengembangkan sikap pcduli di kalangan mahasiswa sebagai subjek didik sangat penting. Scorang mahasiswa dituntut untuk peduli terhadap proses belajar mengajar di katnpus, terhadap pengelolalaan sumber daya di kampus secara efektif dfm efisien, scrta terhadap bcrbagai hal yang berkembang di dulam kampus. Mahasiswa jugu dituntut untuk peduli terhadap lingkungan di luar kampus, terhadap kiprah alumni dan kualitas produk ilmiah yang dihasilkan oleh perguruan tingginya. Beberapa upaya yang bisa dilakukan sebagai wujud kepedulian di antaranya adalah dengan menciptakan suasana kampus sebagai rumah keduu. Hal ini dimaksudkan agur kampus menjadi tempat untuk mahasiswa 
8.20

berkarya, baik kurikuler maupun ekstra-kurikuler, tanpa adanya batasan ruang gcrak. Sclain itu cingan mcmbcrikan kcscmpatan kcpada mahasiswa untuk mengembangkan potensi yung dimilikinya sebagai rnanusia yang utuh dengan berbugui kegiatan di kampus, Kegiatan-kegiatan tersebut dapat meningkatkan interaksi antara mahasiswa satu dengan mahasiswa yang lainnya schingga hubungan saling mcngcnal dan saling bclajar dapat dicapai lebih dalam. HttI ini akan sangat berguna bagi para mahasiswa untuk mengembangkan karir dan reputasi mereka pada masa yang akan datang. Upaya laln yang dapat dilakukan adalah memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk menggalang danit guna memberikan buntuun biaya pendidikan bagi mahasiswa yang membutuhkan. Dengan adanya aksi tersebut, maka interaksi mahasiswa satu dengan lainnya akan semakin erat. Tindakan lainnya adalah dengan memperluas akscs mahasiswa kcpada doscn di luar jam kuliah melalui pem.faatan internet dan juga meningkatkan peran dosen sebagai fasilitator, dinamisator dan motivator. Ini penting dilakukan karenu hubungan baik mahasiswa dengan dosen akan memberikan dampak positif bugi tertanamnya nilai kepedulian. Pengembangan dari tinciakan ini juga dapat diterapkan dengan mengadakan kelas-kelas kecil yang memungkinkan untuk memberikan perhatian dan asistensi lebih intensif. Dengan aclanya kelas-kelas ini, maka bukan hunyu hubungan antara mahasiswa dengan dosen relapi hubungan antara mahasiswa dengan banyak mahasiswa yang saling interaktif dun positif juga dapat terjalin dengan buik dan di situ mahasiswa dapat memberikan pelajaran, perhatian, dun perbaikan tcrus mcncrus. Dengan dcmikian perhatian dan perbaikan kepada sctiap mahasiswa tersebut clapat memberikan kesemputan belajar yang buik. 

Nilai kepedulian dapat diwujudkan oleh mahasiswa dalam bentuk antara lain berusaha ikut metnantau jalannya proses pembelajaran, memantau sistem pengelolaan sumber daya di kampus, memantau kondisi infrastruktur lingkungan kampus. Nilai kepedulian juga dapat diwujudkan dalam bentuk mengindahkan seluruh peraturan dan ketentuan yang berlaku di dalatn kampus dan di luar kampus \
8.21

e. Kemandirian Kondisi mandiri bagi mahasiswa dapat diartikan sebagai proses mendewasakan diri yuitu dengan tiduk bergantung pada orang lain untuk mengerjakan tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini penting untuk mauu depannya dimana mahasiswa tersebut harus mengatur kehidupannya dan orang-orang yung bcrada di bawah tanggung jawabnya scbab tidak mungkin onmg yang lidak chipat mandiri (mcngatur dirinya sendiri) akan mampu mengatur hidup orang lain. Dengan karakter kemandirian tersebut mahasiswa dituntut untuk mengerjakan semua tanggung jawab dengan usahanya sendiri dun bukan ontng lain (Supardi : 2004). 
Nilai kemandirian dapat diwujudkan antara luitt dalam bentuk mengerjakan soal ujiutt secara mandiri. mengerjakan tugas-tugas akademik secara mandiri, dan menyelenggarakan kegiatan kemahasiswaan secara swadana. 


d. Kedi•iplinan Menurut Sugono definisi kutu disiplin adalah ketaatan (kepatuhan) kepada peraturan (Sugono: 2008). Dalain mengatur kehidupan kampus baik akadcmik maupun sosial mahasiswa perlu hidup disiplin. Hidup disiplin tidak berarti harus hiclup seperti pola militer cli barak militier numun hidup disiplin bagi mahasiswa adalab dapat mengatur dan mengelola waktu yang udu untuk dipergunakan clengan scbaik-baiknya untuk menyclesaikan tugas buik dalam lingkup akademik maupun sosial kampus. Manfaat dari hidup yang disiplin adalah mahasiswa dapat mencapai tujuan Indupnya dengan wuktu yang tebllt efisien. Disiplin jugu membuat orang lain percaya dalam mcngclola suatu kcpercayaan. Misalnya orang tuu akan lebih percaya pada anaknya yang hidup clisiplin untuk belajar di kont lain dibanding dengan anak yang tidak disiplin. Selain itu dieiptitt dalam belajar perlu dimiliki oleh mahasiswa agar cliperoleh hasil pembekijaran yang maksimal. Tidak jarang dijumpai perilaku dan kebiasaan peserta didik tnenghambat dan tiduk menunjang proses pembelajaran. Misalnya, sering kita jumpai 
8.22


mahasiswa yang malas. sering absen. motivasi yang kurang dalam belajar, tidak mengerjakan tugas, melanggar tata tertib Icampus, dan lain-lain. Hal tersebut menunjukkan masih banyak mahasiswa yang tidak memililci kedisiplinan. 
/40  Nilai kedisiplinan dapat diwujudkan antara lain dalam bentulc kemampuan mengatur waktu dengan baik, kepatuhan pada seluruh peraturan dan ketentuan yang berlaku di kampus. mengerjalcan segala sesuatunya tepat waktu, dan fokus pada pekerjaan. 

Dengan kondisi demikian, dosen dituntut untuk dapat mengembanglcan sikap disiplin mahasiswa dalam belajar dan berperilalcu di kampus. Mendisiplinkan mahasiswa harus dilakukan dengan cara-cara yang dapat diterima oleh jiwa dan perasaan mahasiswa, yaitu dengan bentuk penerapan kasih anyang. Disiplin dengan cara kasih sayang ini dapat membantu mahasiswa agar mereka dapat berdiri sendiri atau mandiri. Saat ini perilaku dan keblasan yang buruk/negatif dari mahasiswa cenderung mengarah kepada suatu tindakan Icriminalitas suatu tindakan yang melawan hukum. Kenakalan mahasiswa dapat dikatakan dalam batas kewajaran apabila dilakukan dalam kerangka mencari identitas diri/jati diri dan tidak merugikan orang lain. Peranan dosen dalam menanamkan nilai disiplin, yaitu mengarahkan dan berbuat baik. menjadi teladan/contoh. sabar dan penuh pengertian. Dosen diharuslcan mampu mendisiplinkan mahasiswa dengan Icasih anyang, khususnya disiplin diri (self discipline). Dalam usaha tersebut, dosen perlu memperhatilcan dan melakukan: l) Membantu mahasiswa mengembangkan pola perilaku untuk dirinya, misalnya waktu belajar di rumah, lama mahasiswa harus membaca atau mengerjakan tugas. 2) Menggunalcan pelalcsanaan aturan akademik sebagai alat dan cara untuk menegakan disiplin, misalnya menerapkan reward and punishment secara adil. sesegera mungkin dan transparan (Siswandi: 2009). 
8.23

e. 7'anggung Jawab 
Mcnurut Sugono dcfinisi kata tanggung jawab adalah kcadaan wajib 
menanggung segala sesuatunya (kalau terjudi upu-upu bolch dituntut, 
dipersalahkan dan diperkarakan) (Sugono 2008). 
Mahasiswa adalah sebuah status yung ndu pada diri seseorang yang telah 
lulus d.i pcndidikan tcrakhirnya yang bcrkclanjutan mclanjutkan pcndidikan 
dalarn sebtath Icrnbaga yang bernama universitas (Harmint 2011). Mahasiswa 
yang memiliki rasa tanggung jawab ukun memiliki kecenderungan 
menyelesaikan tuguu lebilt baik dibanding mahasiswa yang tidak memiliki 
rasa tanggung jawab. Mahasiswa yung memiliki rasa tanggung jawab akan 
mengerjakan tugas dengan sepenuh hati karena berpikir bahwa jika suatu 
tugas tidak dapat diselesalkan dengan baik dapat merusak citra namanya di 
dcpan orang lain. Mahasiswa yang dapat dibcrikan tanggung jawab yang 
kecil dan berhasil mclaksanakannya dengan baik berhak untuk mendapatkan 
tanggung jawab yang lebilt besar lagi sebagai hasil dari kepercayaan orang 
luin terhadap mahasiswa tersebut. Mahasiswa yang memiliki rasa tanggung 
jawab yung tinggi muciah untuk dipercaya orang lain dalam masyarakat 
misalkan dulam memimpin suatu kepanitiaan yang diadakan di kampus. 
Tanggung jawab adalah menerima segala sesuatu dari sebuah perbuatan 
yang salah, baik itu discngaja maupun tiduk discngaja. Tunggung jawab 
tersebut berupa perwujudan kesadaran ukun kewajiban menerima dan 
menyelesaikan semua masalah yang telah dilakukan. Tanggung jawab juga 
merupakan suatu pengabdian dan pengorbanan. Maksudnya pengabdian 
adalah perbuatan baik yang bcrupa pikiran, pcndapat ataupun tcnaga scbagai 
perwujudan kesetiaan, cinta kasih sayang, normit, atau .tu ikatan dari semua 
itu dilakukan dengan ikhlas. 
Mahasiswa mcmpunyai banyak kcwajiban yang har. 
dipertanggungjawabkan. Misalnya tugas-tugas yang diberikan olch dosen, 
tanggung jawab untuk belajar, tanggung jawab untuk menyelesaikan 
perkuliahan sampai lulus, tanggung jawab menjaga diri sendiri. Sebagai 
scorang mahasiswa kita sudah dilatih olch orang tua untuk Icbih mandiri 
dalam menjaga diri kitu sendiri, karena dalum perkulihan kita diajarkan untuk 
tnelakukan apa-apa sendiri. Oleh sebab itu orangtua sudah tidak bisa 
mengontrol aktifitas keseharian anak-anaknya. Jadi sebagai mahasiswa harus 

bisa bertanggung jawab dalam menjaga dirinya sendiri. 
8.24

Tanggung jawab merupakan nilai penting 
y.g harus clihayati oleh mahasiswa. 
Penerapan nilai tanggung jawab antara lain 
dapat diwujudlcan dalam bentuk belajar 
sungguh-sungguh, lulus tepat waktu 
dengan nilai baik, mengerjakan tugas 
akademik dengan baik, menjaga amanah 
dan kepercayaan yang diberilcan. 
8.25 
f Kerja Keras 
Bekeda keras didasari dengan 
adanya kemau.. Kata "kemauan" ( Kerja keras dapat 
menimbulkan asosiasi dengan diwujudican oleh mahasiswa 
ketekad., ketekunan, daya tah., dalam kehidupan sehari-tujuan jelas, daya kerja, pendirian, hari. Misalnya dalam 
pengendalian diri. keberanian, melakulcan ses.tu 
ketabah.. keteguhan, tenaga, menghargai proses bukan 

kekuat., kelalci-lakian dan pantang hasil semata tidak 
mundur. Adalah penting sekali bahwa melakukan jalan pintas,belajar dan mengerjakan 
kemauan mahasiswa harus tugas-tugas alcademik 
berkembang ke taraf yang lebih tinggi dengan sunggult-sunggulti} 
lcarena harus menguasai diri 
sepenuhnya lebih dulu untulc bisa 
menguasai orang lain. Setiap kali seseorang penuh dengan harapan dan 
percaya, maka akan menjadi lebih kuat dalam melalcsanak. pekerjaannya. 
Jilca interalcsi antara individu mahasiswa dapat dicapai bersama dengan usaha 
kerja keras malca hasil yang akan dicapai akan semakin optimum. 
Bekerja keras merupalcan hal yang penting guna tercapainya hasil y.g 
ses.i dengan target. Akan tetapi beketja keras akan menjadi tidak berguna 
jika tanpa ad.ya pengetahuan. Di dalarn kampus, para mahasiswa 
diperlengkapi dengan berbagai ihnu pengetahuan. Di situlah para pengajar 
memiliki peran y.g penting agar setiap usaha kerja keras mahasiswa dan 

juga arahan-arahan kepada mahasiswa tidak rnenjadi sia-sia. 
8.25

g. Sederhana C,aya hidup mahasiswa merupakan hffi yang penting dalam interaksi dengan masyarakat di sekitarnya. Gaya hidup sederhana sebaiknya perlu dikembangkan sejak mahasiswa mengenyam masa pendidikannya. Dengan gaya hidup sederhana, setiap mahasiswa dibiasakan untuk tidak hidup boros, hidup sesuai dengan kemampuannya dan dapat memenuhi semua kebutu hannya. Kerap kali kebutuhan diidentikIcan dengan keinginan semata, padahal tidak selalu kebutuhan sesuai dengan keinginan dan sebaliknya. Dengan menerapkan prinsip hidup sederhana, mahasiswa dibina untuk memprioritaskan kebutuhan di atas keinginannya. Prinsip hidup sederhana ini merupakan parameter penting dalam menjalin hubungan antara sesama mahasiswa karena prinsip ini akan mengatasi permasalahan kesenjangan sosial, iri, dengki, tamak. egois. dan yang sikap-sikap negatif lainnya lainnya. Prinsip hidup sederhana juga menghindari seseorang dari keinginan yang ber-lebihan. 
Nilai kesederhanaan dapat diterapkan oleh mahasiswa daiam kehidupan sehari-hari, baik di kampus maupun di luar kampus. Misalnya hidup sesuai dengan kemampuan, hidup sesuai dengan kebutuhan, tidak suka pamer kekayaan, dan lain sebagainya. 

h. Keberanian Jika kita temui di dalam kampus, ada banyak mahasiswa yang sedang mengalami kesulitan dan kekecewaan. Meskipun demilcian, untuk menumbuhkan sikap keberanian, mahasiswa dituntut untuk tetap berpegang teguh pada tujuan. Terkadang mahasiswa tetap diberikan pekeijaan-pekeijaan yang sulcar untuk menambahkan silcap keberaniannya. Kebanyakan kesulcaran dan kesulitan yang paling hebat lenyap karena kepercayan kepada diri sendiri. Mahasiswa memerlulcan keberanian untuk mencapai kesulcsesan. Tentu saja keberanian mahasiswa alcan semakin matang diiringi dengan keyakinannya. 
8.26

Untuk mengembangkan sikap keberanian demi mempertahankan pendirian dan keyakinan mahasiswa, terutama sekali mahasiswa harus mempenimbanglcan berbagai masalah dengan sebaik-baiknya. Pengetahuan yang rnendalam menimbulkan perasaan percaya kepada diri sendiri. Jika mahasiswa menguasai masalah yang dia hadapi, dia pun akan menguasai diri sencliri. Di mana pun dan dalam kondisi apa pun sering kali harus diambil keputusan yang cepat dan harus dilalcsanakan dengan cepat pula. Salah satu kesempatan terbaik untuk membentuk suatu pendapat atau penilaian yang sebaik-baiknya adalah dalam kesunyian di mana dia bisa berpikir tanpa diganggu. Rasa percaya kepada diri sendki adalah mutlak perlu, Icarena mahasiswa harus memelihara rasa percaya kepada diri sendiri secara terus menerus. supaya bisa memperkuat sifat-sifat lainnya. Jika mahasiswa percaya kepada diri sendiri, maka hal ini akan terwujud dalam segala tingkah laku mahasiswa. Seorang rnahasiswa perlu mengenali perilakunya, silcap, dan sistem nilai yang membentuk kepribadiannya. Pengetahuan mengenai kepribadian dan kemampuan sendiri perlu dikaitkan dengan pengetahuan mengenai lingkungan karena mahasiswa senantiasa berada dalam lingkungan kampus yang merupakan tempat berinteralcsi dengan mahasiswa lainnya. Di lingkungan tersebut mahasiswa alcan mendapat sentuhan kreativitas dan inovasi yang akan menghasilkan nilai tambah dalam masa perkuliahannya (Sjaifudin 2002). 

Nilai keberanian dapat dikembangkan oleh mahasiswa dalam kehidupan di kampus dan di luar karnpus. Antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk berani mengatakan dan membela kebenaran, berani mengakui kesalahan, berani bertanggung jawab. dan lain sebagainya 
8.27

i. Keadilan Bcrdasarkan ani katanya, adil adalah sama bcrat, tidak bcrat sebelah, tidak memihak. Bagi mahasiswa karakter adil ini perlu sekali dibina sejak masa perkuliahannya agar mahasiswa dapat belajar mempertimbangkan dan mengambil keputusan secara adil dan benar. Dalam kchidupan schari-hari, pcmikiran-pcmikiran scbagai dasar pertimbangan untuk menghasilkan keputusan akan terus berkembang seiring dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki seseorang. Dalam masa perkuliahan setiap mahasiswa perlu didorong untuk mencari pengalatnan dun pengetahuan melalui interaksinya dengan scsama mahasiswa lainnya. Dengan demikian mahasiswa diharapkan dapat semakin bijaksana dalam mengambil keputusan dimana permasalahannya semakin lama semakin kompleks atau rumit untuk diselesaikan. 
Nilai keadilan dapat dikembangkan oleh mahasiswa dalam kehidupan sehari-hari, baik di dalam kumpus maupun di luar kampus. Antara lain dapat diwujudkan dalam bentuk selalu memberikan pujian tulus pada kawan yang berprestasi, memberikan saran perbaikan dan semangat pada kawan yang tidak berprestasi, tidak memilih kawan berdasarkan latar belakang sosial, dll. 

Sctelah dijabarkan mcngenai nilai-nilai anti korupsi untuk mencegah faktor internal sepeni di atas, berikutnya adalah prinsip-prinsip anti korupsi yang meliputi akuntabilitas. transparansi, kewajaran. kebijakan, dan kontrol kebijakan untuk mencegah faktor eksternal penyebab korupsi:4 I, Akuntabilitas Akuntabilitas adalah kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan kerja. Semua lembaga menIpertanggung Jawabkan kinerjanya sesuai aturan main baik dalam bentuk konvensi (de facto) maupun konstitusi (de Jure), buik pada level budaya (individu dengan individu) maupun pudu level lembaga (Bappenas 2002). Lembaga-lembaga tersebut berperan dalam sektor bisnis, masyarakat, publlk, muupun interaksi antara ketiga sektor. 
8.28

Akuntabilitas publik secara tradisional dipahami sebagai alat yang digunakan untuk mengawasi dan mengarahkan peril.0 administrasi dengan cara memberikan kewajiban untuk dapat memberikan jawaban (answerability) kepada sejumlah otoritas ekstemal (Dubnik 2005). Selain itu aktmtabilitas publik dalam arti yang paling fundamental merujuk kepada kemampuan menjawab kepada seseorang terkait dengan kinerja yang diharapkan (Pierre : 2007). Seseorang yang diberikan jawaban ini haruslah seseorang yang memililci legitimasi untuk melak-ukan pengawasan dan mengharapkan kineda (Prasojo 2005). Akuntabilitas publik memiliki pola-pola tertentu dalam mekanismenya, antara lain adalah alcuntabilitas program, alcuntabilitas proses, akuntabilitas keuangan, akuntabilitas outcome, akuntabilitas hulcum, dan akuntabili. politik (Puslitbang, 2001). Dalam pelaksanaannya, aktmtabilitas harus dapat diukur dan dipertanggtmgjawabkan melalui mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban atas semua kegiatan yang dilakukan. Evaluasi atas kinerja adnlinistrasi, proses pelalcsanaan, dampak dan manfaat yang diperoleh masyarakat baik sec ara langsung maupun manfaat jangka panjang dari sebuah kegiatan. Terkait dengan penjelasan tersebut malca mata kuliah ini memilild peran penting dalam penegalcan akuntabilitas, terutama dalam rangka pengembangan sumber daya manusia. Oleh karena itu mahasiswa sebagai bagian dari c ivitas akaclemika pemilik masa depan merupakan target pelaku peneg.an akuntabilitas masa kini dan masa depan-Dengan harapan bahwa integritas atau kesesuaian antara aturan dengan pelaksanaan kerja pada diri mahasiswa dapat semakin ditingkatican. 2. Transparansi Salah satu prinsip penting anti korupsi lainnya adalah transparansi. Prinsip transparansi ini penting lcarena pemberantasan korupsi dimulai dari transparansi dan mengharuskan semua proses kebijalcan dilalcukan sec ara terbuka, sehing,ga segala bentuk penyirnpangan dapat diketahui oleh publik (Prasojo 2007). Selain itu transparansi menjadi pintu masuk sekaligus kontrol bagi seluruh proses dinamika struktural kelembagaan. Dalam bentuk yang paling sederhana, transparansi mengacu pada keterbukaan dan kejujuran untuk saling menjunjung ting,gi kepercayaan (trust) karena kepercayann, keterbulcaan, dan kejujuran ini merupakan modal awal yang sangat berharga bagi para mahasiswa untuk dapat 
8.29

melanjutkan tugas dan tanggungjawabnya pada masa kini dan masa mendatang (Kumiawan : 2010). Dalam prosesnya, transparansi dibagi menjadi lima yaitu proses penganggaran, proses penyusunan kegiatan. proses pembahasan, proses pengawasan. dan proses evaluasi. Proses penganggaran bersifat bottom up. mulai dari perencanaan. implementasi, laporan pertanggungjawaban dan penilaian (evaluasi) terhadap kincrja anggaran. Di dalam proses penyusunan kegiatan atau proyek pembangunan terkait dengan proses pembahasan tentang sumber-sumber pendanaan (anggaran pendapatan) dan alokasi ang,garan (anggaran belanja). Proses pembahasan membahas tentang pembuatan rancangan peraturan yang berkaitan dengan strategi penggalangan (pemungutan) dana, mekanisme pengelolaan proyek mulai dari pelaksanaan tender, pengerjaan teknis, pelaporan finansial dan pertanggungjawaban secara telmis. Proses pengawasan dalam pelalcsanaan program dan proyek pembangunan berkaitan dengan kepentingan publik dan yang lebih khusus lagi adalah proyek-proyek yang diusulkan oleh masyarakat sendiri. Proses lainnya yang penting adalah proses evaluasi. Proses evaluasi ini berlaku terhadap penyelenggaraan proyek dijalankan secara terbuka dan bukan hanya pertanggungjawaban secara administratif, tapi juga secara teknis dan fisilc dari setiap out put kerja-kerja pembangunan. Hal-hal tersebut merupakan panduan bagi mahasiswa untuk dapat melalcsanakan kegiatannya agar lebih baik. Setelah pembahasan prinsip ini, mahasiswa sebagai individu dan juga bagian darl masyarakat/ organisasi/ institusi diharapkan dapat mengimplementasilcan prinsip transparansi di dalam kehidupan keseharian mahasiswa. 3. Kewajaran Prinsip anti korupsi lainnya adalah prinsip kewajaran. Prinsip faintess atau kewajaran ini ditujukan untuk mencegah terjadinya manipulasi (ketidakwajaran) dalam penganggaran, baik dalam bentuk mark up maupun ketidakwajaran lainnya Sifat-sifat prinsip kewajaran ini terdiri dari lima hal penting yaitu komprehensif dan disiplin, terprediksi, kejujuran, dan infonnatif. Komprehensif dan disiplin berarti mempertimbangkan keseluruhan aspek. berkesinambungan, taat asas. prinsip pembebanan, pengeluaran dan tidak melampaui batas (off budget), sedangkan fleksibilitas artinya adalah adanya kebijakan tertentu untuk mencapai efisiensi dan
8.30

efektititas. Terprediksi berani adanya ketetapan dalam perencanaan atas dasar as. value for money untuk menghindari defisit dMam tahun ang,garan berjalan. Anggaran yang terprediksi merupalcan cerminan dari adanya prinsip fairness di dalam proses perencanaan pembangunan. Selain itu, sifat penting lainnya adalah kejujuran. Kejujuran tersebut mengandung arti tidak adanya bias perkiraan penerimaan maupun pengeluaran yang disengaja, yang berasal dari pertimbangan teknis maupun politis. Kejujuran merupakan bagian pokok dari prinsip fairness. Sifat yang terakhir dalam prinsip kewajaran adalah informatif. Tujuan dari sifat ini adalah dapat tercapainya sistem informasi pelaporan yang teratur dan infonnatif. Sifat informatif ini dijadikan sebagai dasar penilaian kinerja, kejujuran dan proses pengambilan keputusan selain itu sifat ini merupakan ciri khas dari kejujuran. Dalam penerapannya pada mahasiswa, prinsip ini dapat dijadikan rambu-rambu agar dapat bersikap lebih waspada dalam mengatur beberapa aspek kehidupan mahasiswa seperti penganggaran, perkuhahan, sistem belajar maupun dalam organisasi. Selain its, setelah pembahasan ini, mahasiswa juga diharapkan memiliki kualitas moral yang lebih baik dimana kejujuran merupalcan bagian pokok dalam prinsip 4. Kebijalcan Prinsip anti korupsi yang keempat adalah prinsip kebijalcan. Pembahasan mengenai prinsip ini ditujukan agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami kebijakan anti korupsi. Kebijakan ini berperan untuk mengatur tata interalcsi agar tidak terjadi penyimpangan yang dapat merugikan negara dan masyarakat. Kebijakan anti korupsi ini tidak selalu identik dengan undang-undang anti-korupsi, namun bisa berupa undang-undang kebebasan mengakses informasi. undang-undang desentralisasi, undang-undang anti-monopoli, maupun lainnya yang dapat memudahkan masyaralcat mengetahui selcaligus mengontrol terhadap kinerja dan penggunaan anggaran negara oleh para pejabat negara. Aspek-aspek kebijakan terdiri dari isi kebijalcan, pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, kultur kebijakan. Kebijakan anti-korupsi akan efektif apabila di dalamnya terkandung unsur-unsur yang terkait dengan persoalan korupsi dan kualitas dari isi kebijakan tergantung pada kualitas dan integritas pembuatnya. Kebijalcan yang telah dibuat dapat berfungsi apabila didukung oleh aktor-aktor penegak kebijalcan yaitu kepolisian, 
8.31

kejaksaan, pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan. 
Eksistcnsi sebuah kebijakan tcrscbut terkait dengan nilai-nilai, 
pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran musyarakat terhadap hukum 
inau undang-undang anti korupsi. Lebih jauh lagi, kultur kebijakan ini 
akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan 
korupsi. 
5. Kontrol Kebijakan 
l'rinsip terakhir anti korupsi adalah kontrol kebijakan. Kontrol kebijakan 
merupakan upaya agar kebijakan yang dibuat betul-betul efektlf dan 
mengeliminusi semua bentuk korupsi. Pada prinsip ini, akan clibahas 
mengenai lembaga-lembaga pengawasan di Indonesia, self-evaluming 
o•ganization, reformasi sistem pengawasan di Indonesia, problematika 
pcngawasan di Indonesia. Bentuk kontrol kcbijakan bcrupa pardsipasi, 
evolusi dan reformasi. 
Kontrol kebijakan berupa partisipasi yaitu melakukan kontrol terhadap 
kebijakan dengan ikut serta dalam penyusunan dan pelaksanaannya dan 
kontrol kebijakan berupa oposisi yaitu mengontrol dengan menawarkan 
alternatif kehijakan baru yang dianggap lehih layak. Sedangkan kontrol 
kebijakan berupa revolusi yaitu mengontrol dengan mengganti kebijakan 
yang dianggap tidak scsuai. Sctelah memahami prinsip yang tcrakhir ini, 
mahasiswa kemudian diarahkan agar dapat berperan aktif dalam 
melakukan tindakan kontrol kebijakan baik berupa partisipasi, evolusi 
maupun reformasi pada kebijakan-kebijakan kehidupan mahasiswa 
dimana peran mahasiswa adalah scbagai individu dan juga scbagai 
bagian dari masyarakat, organisasi, maupun institusi. 
Sclain mcnciptakan lingkungan anti korupsi di arca Pcrguruan Tinggi, 
nilai dan prinsip anti korupsi yang telah dijabarkan di ata., tentunya berlaku 
juga untuk kehidupan setiap individu dalam masyarakat. Contoh penerapan 
nilai dan prinsip anti korupsi dalam kehidupan masyarakat diantaranya, tidak 
mencrima kuitansi kosong atau mark-up harga, tidak mclakukan pcnyuapan, 

tidak mengajarkan anak untuk berbohong, dan lain sebugainya. 
8.32



MODUL 9 
9.3 
KEGIATAN BELAJAR 1 
Prinsip-Prinsip Hukum Yang Terdapat Dalam UNCAC dan Prinsip Internasional Lainnya Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi 
A. KEBIJAKAN KRIMINALLSAS1 LAM UNCAC 

Korupsi bukan lagi menjadi kejahatan yang bersifat national crime, melainkan sudah bertransformasi menjadi transnational crime. Hal ini merujuk pada sifatnya sebagai kejahatan yang borderless (tanpa batas). Melihat realita dernikian, banyak keljasama baik yang sifatnya bilateral atau multilateral dilalcukan oleh bangsa-bangsa di clunia guna memberantas korupsi, khusunya ditujukan dalam hal perampasan terhadap hasil korupsi. Beberapa kerjasama internasional yang fokus terhadap korupsi diantaranya: 1. Inter American Convention Against Corruption, 1996 (Konvensi pemberantasan korupsi antar negara Amerilca ); 2. The Convention on the Fights Against Corruption involving Officials of The European Communities or Officials of Member States of European Union. 1997 (Konvensi pemberantasan korupsi yang melibatkan pejabat masyaralcat Eropa atau pejabat-pejabat negara anggota uni Eropa); 3. The Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transaction, 1997 (Konvensi pemberantasan suap bagi pejabat publik asing dalam transalcsi bisnis internasional); 4. The Criminal Law Convention on Corruption. 1999 (Konvensi hukum pidana mengenai korupsi); 5. The Civil Law Convention on Comption. 1999 (Konvensi hukum sipil mengenai korupsi); 6. The African Union Convention on Preventing and Combating Cor-ruption. 2003 (Konvensi Uni Afrika dalam mencegah dan memberantas korupsi); 7. The United Nations Againts Transnational Organized Crime, 2003 (Konvensi PBB mengenai kejahatan terorganisasi transnasional). 
9.3

Beberapa konvensi internasional di atas, menegaskan bahwa korupsi buk. mcnjadi masalah bagi suatu bangsa saja, mclainkan sudah mcnjadi mus. bersama. Dengan demikian, mutlak diperlukan kerjasama antar bangsa-bangsa di dunia guna memberantas dan mencegah korupsi. Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip dcmokrasi, yang mcnjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta kcamanan dan stabilitas suatu bangsa. Olch karena korupsi mcrupakan tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan, sehingga memerlukan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menycluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional. Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi yang efisien dan efektlf diperlukan dukungan manajcmcn tala pcmcrintahan yang baik dan kcrja sama internasional, termasuk pengernbalian aset-aset yang berasal dari tindak pidana korupsi. Di Indonesia sendirl, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi Indoncsia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undungan khusus y.g berlaku sejak tahun 1957, yaitu mclalui Peraturan Penguasa Militer No. PRT/ PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, Peraturan Pcnguasa Militcr No, PRT/PM/08/1957 tentang Pcnilikan Harta Benda, Peratuntn Penguasa Militer No. PRT/PM/11/1957 tentang Mensita dan Merampas Barang, dan telah diubah sebanyak 5 (lima) kuli. Akan tetapi peraturan perundang-undangan dimaksud belum memadar, antara lain karena bclum adanya kcrja sama internasional dalam masalah pcngcmbalian hasil tindak pidana korupsi. Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 18 Desember 2003 di Markas Bcsar Perscrikatan Bangsa-Bangsa tclah ikut mcnandatangani Konvcnsi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption-UNCAC) yang diadopsi oleh Sidang ke-58 Majelis Umum melalui Resolusi Nomor 58/4 pada tanggal 31 Oktober 2003. Kemudian, pada tanggal yang sama, PBB mcnctapkan 9 Desember scbagai hari anti korupsi Iniernasional. Hal ini benujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap perang melawan korupsi sekaligus menegaskan peranan UNCAC dalam mencegah dan memerangi korupsi. Dalam perkembangannya, UNCAC mulai berlaku pada bulan Desember 2005 dan Indonesia telah meratifikusi UNCAC pada tahun 2006, berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. 
9.4

Dilihat dari maksud dan tujuan dibuatnya UNCAC, paling tldak ada 3 (tiga) maksud dan tujuan, yaitu (Hamzah, 2008: 249-250): 1. Untuk memajukan dun memperkuat tindakan-tindakan untuk memberantas korupsi yang lebih efisien dan efektif: 2. Untuk memajukan, memfasilitasi, dan mendukung kerja sama internasional dan bantuan tcknis dalam mcnccgah dan mcmcrangi korupsi, tcrmasuk pengembalian aset; 3. Untuk memajukan integritas, akuntabilitas, dan manajemen yang seharusnya dalam soal-soal publik dan harta publik. 
Landasan yang menjadi dasar terkait kebijakan meratifikasi UNCAC dapat dilihat dalam konsideran Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. yaitu: 1. Dalam rangka mcwujudkan masyarakat ndil dan makmur berdasarkan Pancasila dun Undang-Undang Dasur Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemerintah bersama-sama masyarakat mengambil langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi secara sistematis dan berkesinanthungan: 2. Tindak pidana korupsi tidak lagi merupakan masalah lokal, akan tetapi merupakan fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat clan perckonomian schingga pcnfing adanya kerja sama internasional untuk pencegahan dan pemberantasannya termasuk pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi: bahwa kerja sama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu didukung olch integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerinuthan yang baik; 3. bangsa Indonesia telah ikut aktif dalam upaya masyarakat internasional untuk pcnccgahan dan pemberantasan tindak pidnnn korupsi dengan tclah menandatangani United Nations Convention Against Co•ruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). 

Bcrdasarkan kctiga alasan tcrscbut, maka pcmerintah mcngcluarkan kebijakan untuk merati fikasi UNCAC. Dengan dirati fikasnya UNCAC oleh bangsa Indonesia, hal ini memiliki konsekuensi yuridis bahwa bangsa Indonesia terikat secara norrnatif dengan ketentuan-ketentuan dalam UNCAC. Ratifikasi UNCAC merupakan komiimen nasional untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional. Arti penting lainnya dari ratifikasi Konvensi tersebut adalah pertama untuk meningkatkan 
9.5

kelja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan. menyita. clan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri; kedua. meningkatkan kerja sama intemasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik; ketiga. meningkatkan kerja sama intemasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana. dan ketja sama penegakan hulcum; keempat. mendorong terjalinnya kerja sama teknik dan pertukaran informasi dalarn pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kelja sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral. regional, dan multilateral: kelima, harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan UNCAC. UNCAC terdiri atas pembukaan dan batang tubuh yang terdiri atas 8 (delap.) bab d. 71 (tujuh puluh satu) pasal dengan sistematika sebagai berikut 1. Bab I: Ketentuan Umum, memuat Pernyataan Tujuan; Penggunaan Istilah-istilah; Ruang lingkup Pemberlakuan; dan Perlindungan Kedaulatan. 2. Bab Tindakan-tindak. Penoegahan, memuat Kebijakan d. Praktek Pencegahan Korupsi; Bad. atau Badan-badan Pencegaban Korupsi; Sektor Publik; Aturan Perilaku Bagi Pejabat Publik; Pengadaan Umum dan Pengelolaan Keuangan Publik; Pelaporan Publik; Tindakan-tindakan yang Berhubungan dengan Jasa-jasa Pera.dilan dan Penuntutan; Sektor Swasta; Partisipasi Masyarakat; dan Tindakan-tindakan untuk Menceg. Pencucian Uang. 3. Bab Kriminalitas d. Penegalcan Hukum, memuat Penyuapan Pejabat-pejabat Pubtik Nasional, Penyuapan Pejabat pejabat Publik Asing dan Pejabat-pejabat Organisasi-Organisasi Intemasional Publik; Penggelapan, Penyalahgunaan atau Penyimpangan lain Kekayaan oleh Pejabat Publik; Memperdagangkan Pengaruh; Penyalahgunaan Fungsi: Memperkaya Diri Secara Tidak Sah; Pcnyuapan di Sektor Swasta; Penggelapan Kekayaan di Sektor Swasta; Pencucian Hasil-Hasil Kejahatan; Penyembunyian; Penghal.gan Jalannya Proses Pengaclilan; Tanggung Jawab Badan-badan Hukunt Keikutsertaan dan Percobaan; Pengetahuan, Maksud dan Tujuan Sebagai Unsur Kejahatan; Aturan Pembatasan; Penuntutan dan Pengadilan, d. Saksi-saksi; Pembeluan, penyitaan dan Perampasan; Perlindungan para salcsi, Ahli d. Korban; Perlindungan bagi Orang-orang yang Melaporkan; Akibat-akibat Tindalc. Korupsi; Kompensasi atas Kerugian; Badan-badan 
9.6

Berwenang Khusus; Kerja Sama dengan Badan-badan Penegak Hukum; Kcrja Sama antar Badan-badan Bcrwcnang Nasional; Kcrja Sama antara Badan-badan Berwenang Nasional dan sektor Swasta; Kerahasian Bank; Catatan Kejahatan; dan Yurisdiksi. 4. Bob Kerja sama Internasional, memuat Ekstradisi; Transfer Nantpidana; Bantuan Hukum Timbal Balik; Transfcr proscs Pidana; Kcrja sama Penegakan Hukum; Penyidikan Bersama; dan Teknik-teknik Penyidikan Khusus. 5. Bab Pengembalian Aset, memuat Pencegahan dan Deteksi Transfer Hasil-hasil Kejahatan; Tindakan-tindakan untuk Pengembalian Langsung atm Kekayaan; Mekanisme untuk Pengembalian Kekayaan melalui Kerja Sama Internasional dalam l'erampasan; Kerja sama Internasional untuk Tujuan Pcranrpasan; Kcrja SIIMR Khusus; Pcngembalian dan Penyenthan Aset; Unit Intelejen Keuangan dan Perjanjian-perjanjian dan Pengaturan-pengaturan Bilateral dan Multilateral. 6. Bob VI: Bantuan Teknis dan Pertukaran Informasi, memuat Pelatihan dan Banwan Teknis; Pengumpulan, Periukaran, dan Analisis Informasi tentang Korupsi; dan Tindakan- tindakan lain; Pelaksatuum konvemi melalui Pembangunan Ekonomi dan Bantuan Teknis. 7. Bab VII: Mckanisme-mckanismc Pclaksanaan, mcmuat Konfercnsi Negara-negara Piltak pada Konvensi; dan Sekretariat. 8. Bab VIII; Ketentuan-ketentuan Akhir, memuat Pelaksanaan Konvensi; Penyelesaian Sengketa; Penandatanganan, Pengesahan, Penerimaan, Persetujuan, dan Aksmi (tindakan formal yang dilakukan ncgara di tingkat intemasional untuk menyatakan kenerikatan atau menjadi pihak daltun satu perianjian); Pemberlakuan; Atnandemen; Penarikan Diri; Penyimpanan dan Bahasa-bahasa. 

Dilihat dari substansinya, dapat dikatakan bahwa UNCAC (United Nations Convention Againt• Corntption) adalah konvensi anti korupsi pertama tingkat global yang komprchcnsif dalam mcnanggulangi masalah kortipsi. Perlu diketahui, tlari kescluruhan 71 pasal dalam UNCAC, pemerintah mengajukan reservation (persyaratan) terhadap aili•e 66 sub 2. Hal ini ditegaskan dalam Pasal I ayat (2) Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Article 66 sub 2 menyatakan sebagai be•ikut: Any dispute between two or more States Parties concerning the huerpretation or appl)cation of this Convention that cannot he settled 
9.7

through negotiation ivithin a reasonable time shall, at the request of one of those States Parties, be submitted to arbitration. If sir months after the date of the request for arbitration, those States Parties are unable to agree on the organization of the arbitration. any one of those States Parties may refer the dispute to the International Court of Justice by request in accordance with the Statute of the Court (setiap perselisihan dtm atau lebih negara peserta berkaitan dengan penafsiran atau penerapan konvensi ini. yang tidak bisa diselesaikan melalui negosiasi dalam jangka walctu yang wajar, atas permintaan salah satu dari negara-negara peserta itu, diajukan kepada arbitrase. Bilamana 6 (enam) bulan setelah tanggal permintaan untuk pengajuan arbitrase, negara-negara peserta itu tidak dapat sepalcat mengenai struktur arbitrase, salah satu Negara Peserta dapat mengajukan sengketa itu kepada Mahlcamah Intemasional dengan permohonan sesuai dengan status pengadilan-terjemahan bebas). 

Dari ketentuan Pasal 66 ayat (2) UNCAC, pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat ketentuan Pasal 66 ayat (2) Konvensi (UNCAC) dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran atau penerapan isi Konvensi, yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (2) pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Intemasional (the International Court) hanya berdasarkan kesepakatan para Pihak yang berselisih. Pada halcekamya, upaya dalam penanggulangan kejahatan (termasuk korupsi) dapat dila1culcan melalui suatu kebijakan kriminal (thminal policy). Menurut Marc Ancel (Hoefnagels, 1969: 57), kebijalcan Icriminal merupakan usaha rasional dari masyarakat dalarn menangani kejahatan (criminal policy is the rational organization of the social reactions to crime). Kemudian dari pendapat Marc Ancel, Peter Hoefnagels (1969: 57) membealcan suatu definisi bahwa criminal policy merupakan suatu ilmu tentang kebijakan yang menjadi bagian dari suatu kebijakan yang lebih besar yaitu kebijakan penegalcan hukum (criminal policy is as a science of policy is part of a large policy: the law enforrement). Masih menurut Hoefnagels (1969: 57), cHminal policy diwujudkan sebagai ilmu dan untuk diterapkan. Menurut Mardjono Reksodiputro (2007: 92), tujuan dari kebijakan kriminal adalah mengurangi keinginan terhadap pelanggaran aturan-aturan pidana sekaligus guna memenuhi rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief (2011: 4), kebijakan luiminal merupalcan bagian 
9.8

integral dari kebijakan sosial (social policy) yang terkandung di dalamnya usaha untuk perlindungan masyarakat (social defence) dan usaha kesejahteraan masyarakat (social welfare). Dalam kajian yang lebih khusus, kebijakan kriminal meliputi pula kebijakan hukum pidana (penal policy) dan kebijakan non hukum pidana (non penal policy). Dengan demikian, strategi penanggulangan kejahatan dalam perspektif kebijakan kriminal dapat dilakukan dengan kebijakan hukum pidana (penal policy) dan kebijakan non hukum pidana (non penal policy). Kebijakan hukum pidana lebih bersifat represif, sebaliknya dalam kebijakan non hulcum pidana lebih menitikberatkan suatu upaya prevensi terhadap kejahatan. Terkait dengan usaha penanggulangan korupsi, UNCAC menyusun kebijakan pemberantasan korupsi melalui penal policy maupun non penal policy, yang dapat dijabarlcan melalui stmtegi lcriminalisasi, pengembalian hasil aset korupsi, dan kedasama intemasional. Terkait dengan kebijakan kriminalisasi, UNCAC merumuskan beberapa perbuatan yang dilcatagorikan sebagai korupsi dan yang bericaitan dengan hasil korupsi dalam Pasal 15-25. Beberapa perbuatan yang dilcriminalisasikan, tidak tercantum dalam undang-undang di Indonesia. Contohnya adalah penyuapan terhadap pejabat publik asing/organisasi intemasional dan penyuapan di sektor swasta. Masalah kriminalisasi dalam UNCAC, secara lengkap alcan diuraikan dalam bahasan sebagai berikut: 1. Pasal 15 Each State Party shall adopt such legislcuive and other measures as may be necessaty to establish as criminal offences, when committed intentionally: a. The promise, offering or giving, to a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the official act or refrain fmm acting in the exerthe of his or her official duties; b. The solicitation or acceptance by a public official, directly or indirectly, of an imdue advantage, for the official himself or herself or another person or emity, in order that the official act or refrain from acting in the exereise of his or her official duties. 
9.9

Terjemahan bebas: Sctiap ncgara pcscrta wajib mcngambil tindakan-tindakan legislatif dan tindakan lainnya yang mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak pidana, apabila tindakan-tindakan itu dilakukan dengan sengaja: a. Menjanjikan, menawarkan. atau memberikan kepada seorang pejabat publik. secara langsung atau tidnk langsung, suatu kcuntungan ynng tidak layak untuk pcjabat itu sendiri atau untuk orung lain, atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya: b. Permohonn atau penerimaan oleh seorang pejabat publik, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak layak, untuk pejabat itu sendiri, orang luin, utuu badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau tiduk mclakukan suatu tindakan ditlam mclaksanakan tugas resminya. 

Pembahasan: Pasal l5 UNCAC mengatur mengenai penyuapan terhadap pejabat publik nasional. Unsur penyuapan yung diutur Pasal 15 UNCAC yaitu menjanjikan, menawarkan, atau memberikan. Dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ketentuan yang mirip dengan Pasal 15 UNCAC terdapat dalam Pasal 5, 11, 12 huruf a dan b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Pasal 5 Undang-Undang Tipikor berbunyi sebagai berikut: a. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat I (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana dendu paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh jutu rupiah) dan paling bunyuk Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: 1) memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyclenggara ncgara dengan maksud supaya pcgawai ncgcri atau penyelenggara negara tersebut berbuat uluu tiduk berbuat scsuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya: atau 2) memberi sesuatu kepada pegawai negerl atau penyelenggara negara karcna atau bcrhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabutannya. b. Bagi pegawai negeri atau penyelenggant negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam uyut ( I ). 
9.10

Pasal 11 Undang-Undang Tipikor berbunyi sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima pu1uh juta zupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga. bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pildran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 
Sedangkan bunyi Pasal 12 huruf a dan b Undang-Undang Tipikor adalah sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah): a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberilcan untuk menggeralcican agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya: b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang rnenerfina hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadith tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakulcan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. 
Pemaknaan penyuapan terhadap pejabat publik sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 15 UNCAC dapat ditujukan juga kepada hakim. Dengan demikian, ketentuan Pasal 15 UNCAC dapat diidentikkan dengan ketentuan Pasal 6 (dengan subyek halcim) dan Pasal 12 huruf c. 

2. Pasal 16 a. Each State Party shall adopt such legislative and other measures as ,nay be necessary to establish as a criminal offence, when committed intentionally, the promise, offering or givbig to a foreign public 
9.11

official or an official of a publie international organization, directly or indirectly, of undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, order that the official act or refrain from actMg in the exercise of his or her official ditties, in order to obtain or retain business or other un"e advantage relation to the conduct of international business. b. Each State Party shall comider adopting such legislative and other meastmes as may be necessiuy to establish as a criminal offence, when comm•tted intentionally, the solicitation or acceptance by a foreign public official or an official of a public international organhation, direetly, or indirectly, of an undtte advantage, for the official hintself or herseif or another person or entity M onier that the offieMI act or refrainfrom acting in the exereise of his or her official duties. 

Terjemahan bebas: a, Setiap negara peserta wajib mengambil tindakan-tindakan lan sejauh diperlukan untuk menetapkan scbagai suatu iindak pidana, bila dilakukan dengan sengaja, menjanjikan, mcnawarkan, atau memberikan kepada seorang pejabat publik asing atau seorang pejabat dari suatu organisasi intcrnasional publik, sccara langsung atau tidak langsung, suatu kcuntungan yang tidak semestinya, untuk pejabat itu sendiri, orang atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan tindakan dalam melaksanakan tugas-tugas resminya, guna mcmperolch atau mcmpertahankan bisnis atau kcuntungan yang tidak semestinya berkaitan deng. perilaku bisnis intermional. b. Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan untuk mengadopsi tindakan-tindakan Icgslatif drll tindakan-tindakan lain scjauh diperlukan, untuk menetapkan sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan sengaja, permohonan atau penerimaan oleh seorang pejabat publik asing atau seorang pejabat dari organisasi internasional publik, secara langsung atau sccara tidak langsung, suatu kcuntungan yang tidak scmcstinya, untuk pcjabat itu scndiri, orang lain, atau badan hukum, agar pcjabat itu bertindak atau tidak melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas-tugas resminya. 
9.12

Pembahasan: Pasal 16 UNCAC mengatur ketentuan mengenai penyuapan terhadap pejabat publik asing dan pcjabat organisasi internasional publik. Ketentuan Pasal 16 UNCAC ini tidak diakomodasi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Kompsi di Indonesia. Pasal 16 UNCAC pada dasamya adalah pasal yang melarang menjanjikan. menawarkan, atau memberikan kepada seorang pejabat. Namun pejabat yang dimaksud adalah pejabat yang masuk dalam katagori pejabat publilc asing (misal: duta besar) dan pejabat organisasi internasional publik (misal: perwakilan PBB). 
3. Pasal 17 Each State Party shall adopt such legislative and other measures as mav be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally, the embezzlement, misappropriation or other diversion by a public official for his or her benefit or for the benefit of another person or entity, of any property, public or private fimds or securities or any other thing of value entrusted to the public ofi7cial by vinue of his or her Terjemahan bebas: Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan tindalcan lain sejauh diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak pidana. apabila dilakukan dengan sengaja, penggelapan. penyalahgunaan, atau pengalihan lain, oleh seorang pejabat publik untuk keuntungan dirinya sendiri, orang lain, atau badan hukum, terhadap kekayaan, dana-dana publik, atau sekuritas-sekuritss atau segala sesuatu yang bemilai yang dipercayalcan kepada pejabat publik itu karena jabatannya. 

Pembahasan: Pasal 17 UNCAC mengatur tentang peng,gelapan, penyalahgunaan, atau pengalihan lain atas kekayaan oleh pejabat publik. Pasal 17 UNCAC dapat kita identikkan dengan Pasal 3 (penyalahgunaan jabatan oleh pejabat publik). Pasal 8 (pejabat publik yang melakulcan penggelapan uang atau surat berharga), Pasal 9.Psssl 10, Pasal 12 huruf e,f,g,h,i. 
9.13

4. Pasal 18 Each State Party shall consider adopting stwh legislative and other measteres unmay be necessaty to establish as criminal offences, when committed intentionally: a. The promise, offering or giving to a public official or any othe• person, di•ectly or indirectly, of undue advantage order that the public »fflii»l or the person abuse his or her real or supposed influence with a view to obtaining from an administration or public authority of the State Party an undue advantage Ibr the original instigator of the act or for any other person; b. The solicitation or acceptance by a public official or imy other person. directly or indirectly, of undue advantage for himself or herself or for another person order that the public official or the person abuse his or her real or supposed Mfluence with » view to obtaining from an administration or public authority of the State Party an undue advantage. 

Terjemahan bebas: Setiap negara peserta w,jib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan Icgislatif dan tindakan lain scjauh diperlukan untuk mcnctapkan sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan sengaja: a. Menjanjikan, menawarkan atau memberikan keuntungan yang tidak semestinya kepada pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, agar pcjithat publik atau orang itu mcnyalahgunakan penguruhnya yang adu atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari lembaga pemerintah atau lembaga publik ncgara pcscrta untuk kcpcntingan penghasut asli perbuatan itu atau untuk orang lain; b. Permintaan atau penerimaan keuntungan yang tidak semestinya oleh pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, untuk dirinya atau untuk orang lain agar pcjabat publik atau orang itu menyalahgunaan pengaruhnya yang ada atau yang dianggap ada dengan maksud memperoleh manfaat yang tidak semestinya dari lembaga pemerintah atau lembaga publik negara peserta. Pembahasan: Pasal 18 UNCAC adalah pasal tentang memperdagangkan pengaruh. Ketentuan ini tidak diakomodasi oleh UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di 
9.14

Indonesia. Namun demikian. sebenamya ketentuan Pasal 18 UNCAC dapat dlidentikkan dengan nepolisme. Nepotisme diartilcan sebagai setiap pethuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungican kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyara1cat, bangsa, dan negara. Larangan nepotisme ini diatur dalam Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi. Kolusi, dan Nepotisme. Ancaman bagi penyelenggara negara yang melakukan nepotisme adalah pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah). Pada halcelcatnya, nepotisme dapat dianggap sebagai suatu bentuk memperdaganglcan pengaruh Icarena kedudukan atau jabatan yang dimiliki. 
5. Pasal 19 Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence. when committed intentionally, the abuse of finctions or position, that b. the petfonnance of or failure to petform an act, in violation of laws, by a public official in the discharge of his or her functions, for the putpose of obtaining an undue advantage for himself or herself or for another person or entity. 
Terjemahan bebas: Setiap negara peserta wajib mempertimbanglcan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan tindakan lainnya sejauh diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak pidana, jilca dilakukan dengan sengaja, penyalahgunaan fungsi atau jabatan, dalam sssti, melaksanakan atau tidak melaksanalcan suatu perbuatan, yang melanggar hukum, oleh pejabat publik dalam pelaksanaan tugasya, dengan maksud memperoleh keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya atau untuk orang atau badan hukum. 

Pembahasan: Ketentuan Pasal 19 UNCAC mirip dengan penyalahgunaan jabatan sebagaimana dimaksud Pasal 17 UNCAC. Karena dalam Pasal 19 UNCAC terdapat frasa penyalahugunaan ftmgsi atau jabatan. Dengan demilcian, subyek 
9.15

hukum yang dimaksud dalam Pasal 19 UNCAC adalah orang yang memiliki kcdudukan karcna jabatannya. 
6. Pasal 20 Subject to its constitution and the fimdamental principles of its legal system, each State Partyshall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as a criminal offence, when committed buentionally, illicit enrichment, that is, significant increase in ol,ot00000t0000fa public official that he or she cannot reasonably explain in relation to his or her Inwfid income. Terjemahan bebas: Dengan memperhatikan konstitusi dan prinsip-prinsip dasar sistem hukum, setiap ncgara pcscrta wajib mcmpertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan tindakan lainnya yung perlu untuk menctapkan sebagai tindak pidana, jika dilakukan dengan sengaja, perbuman memperkaya diri. dalam arti, penambahan besar kekayaan pejabat publik itu yang tidak dapat secara wajar dijelaskannya dalam kaitan dengan penghasilannya yang sah. 
Pembahasan: Pasal 20 UNCAC mcngatur tentang memperkaya yang melawan hukum. Ketentuan Pasal 20 UNCAC identik dengan Pasal 2 UU No. 31 No. 1999, yang berbunyi sebagai berikut: a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan mcmperkaya diri scndiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negant, dipidana penjant dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling scdikit Rp. 200.000.00(l,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). b. Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (I) dilakukan dalam kcadaan tcrtentu, pidana mati dapat dijatuhkan. 

7. Pasal 21 Each State Patv shall consider adopting such legislative and other measures as may be necesswy to establish as criminal offences, when committed intentionally in the course of economic, financial or commercial activities: 
9.16

a. The promise, offering or ghhg, direetly or indireetly, of an undue advantage to any person who direets or works, in any capacity, for a private sector entity, for the person himseff or herself or for another pemon, order that he or she. in breach of his or her dudes, act or refrain from acting, b. 77w solicitation or acceptance, directly or indirectly, of an undue advank, by any person who directs or works, any capaelty, for a private sector entity, fbr the person himself or hemelf or for another person, order that he or she, ltt breach of his or her dudes, act or refrain from acting. 
Terjemahan bebas: Sctiap ncgara pcscrta wajib mcmpertimbangkan untuk mcngambil tindakan-lindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai kejahaian, jika dilakukan dengan sengaja dalam rangka kegiatan ekonomi, keuangan atau perdagangan: Menjanjikan, menawarkan atau mentberi, sccara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya keptida orang yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apapun, untuk badan sektor swasta, untuk dirinya atau untuk orang lain, agar ia, dengan mclanggar tugasnya, bertindak atau tiduk bertindal, b. Permintaan atau penerinnum, secura langsung atau tidak langsung, manfaat yang tidak semestinya oleh orang yang memimpin atau bekerja, dalam jabatan apaptin, di badan scktor swasta, untuk dirinya atau untuk orang lain, agar ia, dengttn melanggar tugasnya, bertindak atau tidak bertinduk. Pembahasan: Pasal 21 UNCAC adulah pasal yang mcngatur tcntang pcnyuapan di scktor swasta. UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indoncsia tidak mengakomodir penyuapan di sektor swasta. Natnun demikian, sebenanlya ada undang-undang yang bisa digunakan dalam hal menjerat pelaku suap (baik suap aktif maupun pasif) yang terjadi di sektor swasta. Ketentuan tersebut ada dalam UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap. Mengenui hal ini, dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 2 dan 3 UU No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap: 

Pasal 2 Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat 
9.17

sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kcwajibannya yang mcnyangkut kcpcntingan umum, dipidana karcna mcmbcri suup dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah). l'asal 3 Barangsiapa mcncrima scsuatu atau janji, scdangkan ia mcngctahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau junji itu dimaksudkan supaya iu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum. dipidana karcna menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 ((iga) tahun atau denda sebanyakbanyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas ju(a rupiah). 
Sckcdar catatan mcngcnai Pasal 2 dan 3 UU Tindak Pidana Suap di atas. Pada dasanlya, baik Pasal 2 maupun Pasal 3 UU Tindak Pidana Suap tidak menegaskan apakah obyek yang disuap harus memiliki kapasitas sebagai pejabat publik atau tidak. Tiduk ada ketentuan yang tegas. Dengan demikian, Pasal 2 dan 3 UU No. 1 I Tahun 1980 dapat ditafsirkan juga berlaku bugi sektor swasta selama kewenangan dun kewajiban yang dilaksanakan menyangkut kepentingan umum. Namun perlu diperhatikan mengenai strafinaat (berat ringannya pidana) di kedun pasal tcrsebut. Mclihat ketcntuan ancaman sanksi dalam Pasal 2 dan 3 akan dirasakan tidak sebanding apabila kita bandingkan dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, maka dirasa undang-undang tersebut perlu dilakukan penyesuaian ancaman sanksi pidananya. 
8. Pasal 22 Ench State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may he necessary to establish as criminal offence, when committed intentionally in the course of economic, finandal or commercial aetivities, embezzlement by a person who direets or works. in any, eapacity, inta private sector enthy of any property, private fitnds or securities or any other thing of value entrusted to him or her by virtue of his or her position. 

Teijemahan bebas, Setiap negara peserta wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif dan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai tindak pidana, jika dilakukan dengan sengaja, dalam rangka kegiatan ekonomi, keuang. atau perdagangan, penggelapan oleh orang yang memimpin atau 
9.18

bekerja, dalam jabatan apapun, di badan sektor swas. terhadap kekayaan, dana atau sekuritas swasta atau barang lain yang berharga yang dipercayakan kepadanya karena jabatannya. Pembahasan: 
Pasal 22 UNCAC mengatur tentang penggelapan kekayaan di sektor swas. Pada dasamya, dalam praktek di Indonesia, masalah penggelapan kekayaan di sektor svmsta tidak bisa dikatakan sebagai korupsi sebagaimana diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penggelapan di sektor swasts lazimnya akan dikenakan ketentuan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan. Dengan demikian, dalam praktek di Indonesia, masalah penggelapan kekayaan di sektor swasta dikatagorilcan sebagai delik umum, bukan delik khusus. 

9. Pasal 23 a. Each State Party shall adopt. in accordance with fundamental principles of . domestic law, such legislative and other measuresss may be necessaty to establish as criminal offences, when committed intentionally: 1) (i) TIze conversion or transfer of propeny, Icnowing that such property is the proceeds of crime. for the purpose of conceding or disguising the iltisb origin of the property or of helping any person who is involved in the commission of the predicate offence to evade the lega1 consequences of his or her action; (ii) The concealment or disguise of the true nature, source, location, disposition, movement or ownership of or rights with respeci to property, knowing that such property is the proceeds of alme; 2) Subject to the basic concepts of its legal system: (i) The acquisition, possession or use of property, knowing, at the time of receipt, that such property is the proceeds of crime; Participation in, association with or conspiracy to commit, attempts to commit and aiding, abetting, facilitating and counselling the commission of any of the offences established in accordance with this article b. For putposes of implementing or applying paragraph 1 of this article: I) Each State Party shall seek to apply paragraph 1 of this article to the widest range of predicate offences; 
9.19

2) Each State Party shall include as predicate offences at a minimumieciiiiiprehetiieiee range of criminal offences established in accordance with this Convention; 3) For ihe pumoses of subparagraph (b) above, predicate offences shall include offences committed both within and outside the jurisdiction of the State Party in question. HOWCVel, offences committed outside the jurisdkdon iife State Party shall constitute predicate offences only when the relevant conduct is acriminal offence imder the domestic law of the State where it is committed and WOUld be a crimimd offence under the dontestic law of the State Party implementing or applying this ankle had h been committed there, 4) Each State Party shall fiimish cepieeeflieieieeiheigiee effect to this article and of any subsequent changes to such laws or a description thereof to the Secrewry-General of the United Nations: 5) U required by fimdamental principles of the domestic law of a State Party, it may be pmvided that the offences set ffirth lii paragraph I of this amicle do not apply to the persons who committed the predicate offence. Terjemahan bebas: a. Setiap negara peserta wajib mengambil tindakan-tindakan legislatif dan tindakan lain yang diperlukan, sesuai dengan prinsip-prinsip dasei hukum nasionalnya, guna menctapkan scbagai suatu tindak pidana, jika dilakukan dengan sengaja: I) (i) Konversi atau transfer kekayaan. padahal mengetahui bahwa kckayaan tcrscbut adalah hasil kcjahatan, dengan maksud menyembunyikan atau mcnyamarkan asal usul tidak sah kekayaan itu atau membantu orang yang terlibat dalam pelaksanaan kejahatan asal untuk menghindari konsekuemi hukum perbuatannya. (ii) Pcnyembunyian atau pcnyamaran sifat sebenarnya, sumber, lokasi, pelepasan, pergerakan atau pemilikan atau hak yang berkenaan dengan kekayaan, padahal mengetahul bahwa kekayaan iie adalah hasil kcjahatan; 
9.20

2) Dengan memperhatikan konsep dasar sistem hukumnya: Perolehan, pemilikan atau penggunaan kekayaan, padahal mengetahul, pada waktu menerimanya, bahwa kekayaan itu adalah hasil kejahatan; Penyertaan dalam, permufakatan jahat untuk melakukan, percobaan untuk melakukan dan pembantuan, memfasilitasi dan menganjurkan melakukan tindak pidana yang ditetaplcan menurut pasal ini; b. Untuk melalcsanakan atau menerapkan ketentuan ayat 1) Setiap negara peserta wajib berusaha menerapkan ketentuan ayat 1 dalam arti seluas-luasnya berkaitan dengan kejahatan asal; 2) Setiap negara peserta wajib memasukkan sebagai kejahatan asal sekurang-kurangnya suatu rangkaian komprehensif kejahatan menurut Konvensi ini; 3) Untuk maksud sub-ayat (b) di atas, kejahatan asal meliputi kejahatan yang dilakukan di dalam dan di luar yurisdiksi negara peserta yang bersangkutan. Namun, kejahatan yang dilakulcan di luar yurisdiksi negara peserta merupakan kejahatan asal hanya jika perbuatan yang bersangkutan merupakan kejahatan menurut hukum nasional negara tempat perbuatan dilakukan dan merupakan kejahatan menurut hukum nasional negara peserta yang melalcsanakan atau menerapkan pasal ini seandainya perbuatan tersebut dilakukan di negara peserta itu. 4) Setiap negara peserta wajib menyerahican salinan undang-undang yang menerapkan pasal ini dan perubahan undang-undang itu atau keterangan mengenai hal itu kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa; 5) Apabila diperlukan oleh prinsip-prinsip dasar hukum nasional suatu negara peserta, dapat ditentukan bahwa kejahatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku bagi orang yang melakukan kejahatan asal. Pembahasan: Pasal 23 UNCAC mengatur tentang pencucian uang (money loundering) hasil kejahatan korupsi. Mengenai hal ini, Indonesia telah mengatur ketentuan mengenai tindak pidana pencucian uang (money loundering) dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. 
9.21

10. Pasal 24 Without prejudice to the provisions of artide 23 of this Convention, each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessaty to establish as a criminal offence, when committed intentionally after the commission of any of the offences established in accordance with this Convention without having participated in stich offences, the concealment or continued retention of property when the person involved btows that such property is the result of any of the offences established in accordance with this Convention. Terjemahan bebas: Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 23 Konvensi ini, setiap negara peserta wajib mempertimbangican untuk mengambil tindalcan-tindakan legislatif dan tindakan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai tindak pidana. jika dilakukan dengan sengaja setelah kejahatan dilakukan sesuai dengan Konvensi ini tanpa berpartisipasi dalam kejahatan tersebut, penyembunyian atau penahanan terus menerus terhadap kekayaan, jika orang yang terlibat mengetahui bahwa kekayaan itu adalah hasil dari kejahatan menurut Konvensi Pembahasan: Pasal 24 UNCAC mengatur mengenai penyembunyian. Ketentuan ini identik dengan Pasal 4 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Penoegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang berbunyi sebagai berikut: Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-halc, atau kepemililcan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana Icarena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 

11. Pasal 25 Each State Party shall adopt such legislative and other measures as may be necessaty to establish tsi criminal offences, when committed s. intentionally: 7he use of physical force. threats or intimidation or the promise, offering or giving of an undue advantage to induce false testimony or to intetfere is the giving of testimony or the production of evidence in 
9.22

a proceeding in relation to the commission of offences established in accordance with this Convention: b. The use of physical force, threats or intimidation to intetfere with the exercise of ojficial duties by a justice or law enforce,nent ojj4cial in relation to the commission of offences established in accordance with this Convention. Nothing in this subparagraph shall prejudice the right of States Parties to have legislation that protects other categories of public official. Tedemahan bebas: Setiap negara peserta wajib mengambil tindakan-findakan legislatif dan tindakan lainnya yang perlu untuk menetapkan sebagai tindak pidana, jika dilalculcan dengan sengaja: a. Penggunaan kekuatan fisik, ancaman atau intimidasi atau janji, tawaran atau pemberian manfaat yang tidak semestinya untuk memberikan kesalcsian palsu atau untuk mencampuri pemberian kesaksian atau pengajuan bukti dalam proses hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan kejahatan menurut Konvensi ini; b. Penggunaan kekuatan fisik, ancaman, intimidasi untuk mencampuri pelaksanaan tugas resmi pejabat peradilan atau penegakan hukum yang berIcaltan dengan pelalcsanaan kejahatan menurut Konvensi ini. Ketentuan sub-ayat ini tidak mengurangi halc Negara Pihak untuk mempunyai peraturan perundang-undangan yang melindungi kelompok pejabat publik lain. Pembahasan: Pasal 25 UNCAC mengatur menganai perbuatan menghalang-halangi proses peradilan. Dalam UU Pemberantasan Tipikor, ketentuan Pasal 25 UNCAC idenfik dengan Pasal 21 UU Pemberantasan Tipikor yang berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan. penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangica dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singlcat 3 (figa) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,C0 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). 
9.23

B. PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSYSTOLENASSETRECOVERY (STAR) 

Sebagai negara yang telah meratifikasi UNCAC melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006. Indonesia berkewajiban untuk mengadopsi/menerapkan langkah-langkah/strategi penanggulangan korupsi secara meluas. Hal ini tentunya berimplilcasi pada konsep-konsep kebijalcan perundang-undangan nasional, khususnya undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi. Implikasi ratifikasi juga bertalian dengan insti.i serta pelalcsanaannya dalam kebijakan aplikasi. Selain mengusung strategi kriminalisasi tindak pidana, UNCAC juga menempuh strategi yang bertujuan untuk mengembalikan aset dari hasil tindak pidana korupsi. Hal ini penting dilakukan karena korupsi sudah menjelma menjadi tindak pidana trans-nasional. Tindak pidana trans-nasional adalah tindak pidana yang melintasi batas negara. Dalam beberapa kasus, banyak koruptor yang sengaja menempatkan hasil kejahatannya di luar negeri dengan tujuan lolos dari pemantauan lembaga pengawas di Indonesia. Cara ini banyak dilakukan oleh koruptor mengingat cara ini dianggap paling aman dalam menjauhkan harta hasil kejahatan dari pernerintah. Untuk memberantas praktek-praktek semacam ini, UNCAC membuat strategi yang bertujuan untuk mengembalikan aset koruptor yang dibawa lari dari negara asalnya ke negara lain. Strategi ini disebut dengan strategi Stolen Asset Recovery (StAR). StAR (Stolen Asset Recovety) merupalcan program bersama yang dliuncurkan oleh Bank Dunia (World Bank) dan Perserikatan Bangsa-Bangsa khususnya UNODC (United Nations Office on Drugs and Crimes) untuk meningkatkan kerjasama intemasional dalam mengimplementasikan upaya pengembalian aset hasil korupsi, sebagai salah satu terobosan dalam hukum intemasional yang menetapkan landasan mengenai pengembalian asset hasil kejahatan (terutama korupsi) di negara-negara sedang berkembang (Ariawan, 2008). StAR diluncurican di markas PBB, New York. tanggal 18 September 2007. Inisiatif yang dipralcarsai Bank Dunia dan PBB tersebut, dimaksudkan agar lebih mengefektifkan UNCAC untuk membantu negara-negara berkembang dalam pengembalian dan pemulihan aset. StAR merupakan suatu bentuk kepedulian dari Bank Dunia dalam memberikan bantuan bagi negara-negara berkembang dalam pengembalian aset hasil tindak pidana, terutama dari korupsi. Progam yang diluncurkan oleh PBB ini sebenarnya terinspirasi dari keberhasilan Peru, Nigeria dan Filipina dalam 
9.24

mengembalikan aset-aset yang diinvestasikan di negara lain oleh mantm kepala negaranya. Walaupun keberhasilan tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Pengembalian aset tersebut dilakukan melalui proses litigasi dan permintaan antar pemerintah melalui Mutual Legal Ar.sistance (Ariawan, 2008). Bila dielaborasi, menurut Eddy Pratomo, sebagaimana dikutip I Gusti Ketut Ariawan (2008), tujuan StAR adalah: 1. memberikan faktor pencegahan dengan menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi koruptor serta meningkatkan kewaspadaan komunitas intemasional untuk memberikan komitmen penuh dalam pemberantasan korupsi; 2. meningkatkan kapasitas dalam mengembalikan aset-aset yang dicuri dan mencegah tindak pidana korupsi di masa depan. Aset-aset yang berhasil dikembalikan, dipergunakan untuk kepentingan pembangunan berkelanjutan; 3. meninglcatkan kerjasama negara-negara berkembang dengan membantu mengurangi hambatan-hambatan yang dialami negara-negara tersebut dalam upayanya mengembalikan asset yang dicuri. Mendorong upaya-upaya bersarna untuk mengembalikan asset-aset negara berkembang yang seringkali disimpan di negara maju. 

Walaupun sudah teniapat kebijakan StAR sebagai upaya untuk mengembalikan aset koruptor di luar negeri, namun dalam prakteknya, terIcadang menemui beberapa kendala. Sulitnya mengembalilcan hasil korupsi yang sudah disimpan di luar negeri pernah di alami Filipina dalam upaya pengembalian aset mantan Pre.siden Ferdinand Marcos. Marcos menyimpan uang hasil korupsi selama dia berkuasa di Amerika Serikat dan Eropa (Swiss). Di Swiss, proses pengembalian aset Marcos dimulai tahun 1986, dan baru kembali ke Filipina pada tahun 2003. Itupun tidak keseluruhan, melainkan hanya sebesar US $ 624 juta, dari perldraan total aset sebesar US $ 5 — 10 miliar (Reksodiputro, 2012). Sebagaimana disinggung di atas, upaya dalam pengembalian aset hasil tindak pidana bukan hal yang mudah. Para pelaku kejahatan memiliki alcses yang luar biasa luas dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan pencucian uang (money laundering). Belum lagi apabila menemui permasalahan aturan prosedural dari negara yang "melindungi" harta hasil 
9.25

tinduk pidana. Ada beberapa negara yang dianggap menjadi surga dalam menempatkan harta kckayaan hasil tindak pidana. Mcnurut Eddy Hiariej (2013: 3), setidaknya ada cmpat negara maju, yaitu Singapura, Australia, Amerika dan Swiss, yang menjadi tempat menyembunyikan aset hasil tindak pidana. Bahkan, harta tersebut seakan-akan dilindungi oleh prosedural legal negara setempat yang mengaturnya scbagai bagian dari kcrahasiaan bank (bank secrecy act). Dcngan dcmikian, akan mustahil untuk mcngembalikan aset kcjahatan tersebut apabila negara-negara maju tiduk berperan uktif dan sungguh-sungguh membantu pengembalian aset tersebut. Pengembalian aset suatu negara yung teluh dicuri, kendatipun tidak selamanya terkait erut dengan hasil kejahatan, yang paling dominan biasanya berhubungan dengan berbagai kejahatan ekonomi yung meliputi korupsi, kcjahatan perpajakan, kcjahatan perbankan, perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang serta kcjahatan pencucian uang. Pencurian asct juga scring kali bertalian dengan suatu rezim otoriter yang korup (Hiariej, 2013: 3). Dalam UNCAC, masalah pengembalian aset (asset recovery) diatur dalam ketentuan Pasal 5 , yang berbunyi sebagai berikut: The return of assets pursuant w this chapter is a fundamental principle nf this Convention, and States Parties shall qfjord one another the widest measure of cooperation and assistance in this regard Terjemahan bcbas: Pengembalian aset menurut bub ini merupakan prinsip dasar Konvensi ini, dan negara peserta wajib saling memberikan kerjasama dan bantuan seluas mungkin untuk itu. Bcrdasarkan kctentuan Pasal 51 UNCAC, maka konvcnsi mcnyatakan dcngun tegas bahwa pengembalian aset merupakan strategi penting dalum penanggulangan tindak pidana korupsi. UNCAC juga mcngatur bagamana strategi yung dilakukan guna mcnccgah penempatan harta kckuyuun hasi dari suatu tinduk pidttrtt, yung dirumuskan dalam Pasal 52 UNCAC, yang berbunyi sebagai berikut, I. Without prejudice to articie 14 of this Convention, each State Purty shall take such measures as tnay be necesswy, itt accordance with its domestic to require financial institutions within its jurisdiction to venfv the identity of customers, tn take reasonable steps to determine the identity of beneficial owners of funds deposited into high-value ticcounts and to conthict enhanced scrutitty of accounts sought or mainwined hy or on behalf of individuals who are, or have been, entrusted with prominent public fitnctions and their family members and close associates. Such 
9.26

enhanced scnainy shall be reasonably designedto detect suspicious transactions for the purpose of reporting to competent authorities and should not be so construed as to discourage or prohibit financial institutions from doing business with any legitimate customer. 2. In order to facilitate implementation of the measures provided for in paragraph I of this article. each State Party, in accordance with its domestic law and inspired by relevant initiatives of regional, interregional and multilateral organizations against money-laundering, shall: a. Issue advisories regarding the types of natural or legal person to whose accounts financial institutions within its jurisdiction will be expected to apply enhanced scnainy, the types of accozazu and transactions to which to pay panicular attention and appropriate account-opening, maintenance and recordkeeping measures tt take concerning such accounts: and b. Wlzere appropriate, notify financial institutiozu within i s jurisdiction, at the request of another State Party or on its own initiative, of the identity of particular natural or legal persons to whose accounts such institutions will be expected to apply enhanced scrutiny, in addition to those whom the financial institutions may othenvise identifr 3. M the context of paragraph 2 (a) of this article, each State Party shall implement measures to ensure that its financial institutions maintain adequate records, over an appropriate period of time. of accounts and transactions involving the persons mentioned in paragraph I of this article, which should, as a minimum, contain infonnation relating to the identity of the customer as well as, as far as possible, of the beneficial owner. 4. With the aim of preventing and detecting transfers of proceeds of offences established in accordance with this Convention, each State Party shall implement appropriate and effective measures to prevent, with the help of its regulatory and oversight bodies, the establishment of banks that have no physical presence and that are not affiliated with a regulated financial group. Moreover, States Panies may consider requiring their financial institutions to refuse to enter into or continue a correspondent banking relationship with such instinaions and to guard against establishing relations with foreign financial institutions thtttptttitthtitttttttitt&tttt be used by banks that have no physical presence and that are not affiliated with a regulated financial group. 
9.27

5. Each State Party shall consider establishing. in accordance with its 
domestic Itov. effective financial disclosure systems for appropiate public 
officials and shall provide for appropriate sanctions for non-compliance. 
Each State Party shall also consider taking such measures as may be 
necestytrrptitittttprtttitihrrtiirirttthtttrihrttti,tfttttt,titrittts with 
the competent authorities in other States Parties when necessaty to 
investigate, claim and recover proceeds of offences established in 
accordance with this Convention. 
6. Each State Party shall consider taking such measures as may be necessary, 
in accordance with its domestic law, to require appropriate public officials 
having an interest in or signature or other authority over a financial 
account in a foreign counny to report that relationship to appropriate 
authorities and to maintain appropriate records related to such accounts. 
Such measitres shall also provide for appropriate sanctions for non-compliance. 
Terjemahan bebas Pasal 52 UNCAC: 
I . Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 14 Konvensi ini, negara peserta wajib 
mengambil tindakan-tindakan yang perlu, sesuai dengan hulcum 
nasionalnya, untuk mewajibkan lembaga keuangan dalam yurisdiksinya 
untuk meneliti identitas nasabah, guna mengambil langkah-langkah yang 
wajar guna menetapkan identitas pemilik dari dana yang disimpan dalam 
rekening yang bernilai besar dan untisk melaksanakan ketelitian ekstra atas 
rekening yang dibuat atau dipegang oleh atau atas nama perorangan yang 
dipercayakan atau telah dipercayakan pada jabatan publik yang penting dan 
para anggota keluarga serta sejawat dekamya. Ketelitian ekstra itu harus 
dirancang secara memadai untuk mendeteksi transaksi-transaksi yang 
mencurigakan untuk tujuan pelaporan kepada pejabat yang berwenang dan 
tidak boleh ditafsirkan sedemikian rupa untuk mencegah atau melarang 
lembaga keuangan melakulcan kegiatan usaha dengan nasabah yang sah. 
2. Untuk memfasilitasi pelaksanaan tindalcan-tindakan sebagimana dimaksud 
pada ayat I, negara peserta, sesuai dengan hulcum nasionalnya dan dengan 
mengikuti prakarsa-prakarsa organisasi regional, antar regional dan 
multilateral yang bersangkutan terhadap pencucian uang, wajib: 
a. Mengeluarkan pedoman mengenai jenis orang atau badan hukum yang 
rekening-rekeningnya perlu diberikan ketelitian ekstra oleh lembaga 

keuangan di dalam yurisdiksinya, jenis rekening dan transaksi yang 
9.28

perlu diberikan perhatian khusus serta tindakan-tindakan yang akan diambil dalam pembukaan rekening, penyimpanan dan pembukuan menyangkut rekening-rekening tersebut; dan b. Sepanjang dipedukan, memberitahukan kepada lembaga keuangan di dalam yurisdiksinya, atas perrnintaan negara peserta lain atau atas prakarsanya sendiri, mengenai identitas orang atau badan hukum tertentu yang rekening-rekeningnya perlu diberikan ketelitian ekstra oleh lembaga tersebut, selain dari orang atau badan hukum yang dlidentifikasi oleh lembaga keuangan. c. Dalam rangka ketentuan ayat 2 huruf (a), negara peserta wajib melaksanalcan tindakan-tindalcan untuk menjamin agar lembaga keuangannya menyimpan catatan yang memadai, selama jangka waktu yang layak, tentang rekening-rekening dan transaksi-transaksi yang melibatkan orang-orang sebagaimana dimaksud pada ayat I, dan catatan itu sekurang-kurangnya memuat informasi yang berkaitan dengan identitas nasabah dan, sejauh memungkinican, identitas pemilik. 3. Untuk maksud mencegah dan mendeteksi transfer hasil dari kejahatan menurut Konvensi ini, negara peserta wajib melaksanakan tindalcan-tindakan yang tepat dan efektif untuk mencegah, dengan bantuan badan pengatur dan pengawas, pendirian bank yang tidak mempunyai keberadaan fisik dan yang tidak terafiliasi pada suatu kelompok keuangan. Selain itu. negara peserta thpat mempertimbangkan untuk mewajibkan lembaga keuangannya menolak mengadakan atau meneruskan hubungan koresponden perbankan dengan lembaga semacam itu dan untuk menghindari hubungan dengan lembaga keuangan asing yang mengkinkan rekeningnya digunakan oleh bank yang tidak mempunyai keberadaan fisik dan yang tidak terafiliasi pada suatu kelompok keuangan. 4. Negara peserta wajib mempertimbangkan untuk mengadakan, sesuai dengan hukum nasionalnya, sistem pengungkapan keuangan yang efektif untuk para pejabat publik yang sesuai dan wajib mengatur sanlcsi yang sesuai jilca tidak dipatuht. Negara peserta wajib juga mempertimbangkan untuk mengambil tindalcan-tindakan yang perlu untuk mengizinkan pejabat berwenangnya memberilcan informasi itu kepada pejabat berwenang negara peserta yang lain jika ada keperluan untuk menyidik, rnenuntut dan mengembalikan hasil dari kejahatan menurut Konvensi ini. 
9.29

5. Negara peserta wajib mempertimbangkan untuk mengambil tindakan-tindakan yang perlu, sesuai dengan hukum nasionabya, untuk mewajibkan para pejabat publik yang sesuai yang mempunyal kepentingan dalam atau tanda tangan atau kewenangan lain atas suatu rekening di negara asing untuk melaporIcan hubungan itu kepada pejabat berwenang yang sesuai dan untuk menyimpan catatan-catatan yang sesuai yang berkaitan dengan rekening-rekening itu. Tindalcan-tindakan itu wajib juga rnemberikan sanksi yang sesuai jika tidak dipatuhi. 

Dilihat dari bentuk formulasinya, Pasal 52 UNCAC merupakan suatu strategi yang bersifat non penal. Strategi yang diterapkan dalam Pasal 52 UNCAC adalah strategi yang bersifat prevensi agar tidak terjadi proses pencucian uang yang melibatkan sistem keuangan di suatu negara. Stategi yang diterapkan Pasal 52 UNCAC adalah strategi Amow your custumer. Prinsip lmow your custumer dapat kita lihat sebagai bagian dari strategi dasstt yang dirumuskan dalam Pasal 52 ayat 1 UNCAC. Ketentuan Pasal 52 UNCAC dapat diidentikkan dengan Pasal 18 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berbunyi sebagai berikut: 1. Lembaga Pengavvas dan Pengatur menetapkan ketentuan prinsip mengenali Pengguna Jasa. 2. Pihak Pelapor wajib menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa yang ditetapkan oleh setiap Lembaga Pengawas dan Pengatur sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 3. Kewajiban menerapkan prinsip mengenali Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilalcukan pada saat: tt melakukan hubungan usaha dengan Pengguna Jasa; b. terdapat Transaksi Keuangan dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp100.000.000.00 (seratus juta rupiah); c. terdapat Transaksi Keuangan Mencurigalcan yang terkait tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana pendanaan terorisme; atau d. Pihak Pelapor meragukan kebenaran informasi yang dilaporkan Peng,guna Jasa. 4. Lembaga Pengawas dan Pengatur wajib melalcsanakan pengawasan atas kepatuhan Pihak Pelapor dalam menerapkan prinsip mengenali Peng,guna Jasa. 5. Prinsip mengenali Pengguna Jasa sekurang-kurangnya memuat 
9.30

a. identifikasi Pengguna Jasa; b. vcrifikasi Pcngguna Jasa; dan c. pcmuntauan Transaksi Pengguna Jasa. 6. Dalam hal belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengatur. ketentuan mengenai prinsip mengenali Pengguna Jasa dan pengawasannya diatur dcrigan Pcraturan Kcpala PPATK. 

Dalam hal telah terjadi penempatan aset hasil tindak pidana di sistem keuangan suatu negara, maka negara tersebut wajib tnembuka peluang bagi negara yang dirugikan untuk mclakukan gugatan secara keperdataan dulam rangka pengenthalian aset yang sudah dicuri oleh pelaku tindak pidana. Flal ini ditegaskan dalam Pasal 53 UNCAC yang berbunyi sebagai berikut: Each State Parnyallall, in accordance with its domestic law; a. Take such measttres as may be necesswy to permit another State Party to initiate civil actittttittitacaaarta w establish thle to or ownership of property acquired through the commission afatt offence established in accordance with this Convention; b. Take such meMlires ata may be necesswy to permit its courts w order those who have committed offences esmblished itt accordance with this Convention to pay compensation or damages to another State Party that has been harmed by such offences; and c. Take such measures as may be necesswy to permit its couns or competent authorities, when having to decide . confiscation, to recognize another State Party's claim as a legitimate owner nf property acquired through the commission of an offence eenablieltedin accordance with this Convention. Tcrjcmahan bcb. Pasal 53 UNCAC: Setiap negara peserta wajib, berdasarkan ketentuan hukum nasionalnya: a. Mengambil tindakatmindakan yang perlu untuk mengizinkan negara peserta lain guna melakukan gugatan perdata di pengadilannya untuk mcnctapkan hak atas atau pcmilikan dari kckayaan yang diperolch dari pelaksanaan kcjahatan menurut Konvensi ini; b. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk mengizinkan pengadilannya memerIntahkan kepada mereka yang telah melakukan kejahatan menurut Konvemi ini untuk membayar kompensasi atau kerugian kepada negara peserta lain yang dirugikan oleh kejahatan itu; dan 
9.31

c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk mengizinkan pengadilan atau badan berwenangnya, kenka harus memutus tentang perampasan, untuk menerima klaim negara lain sebagai pemilik sah dari kekayaan yang diperoleh dari pelaksanaan kejahatan menurut Konvensi ini. 

Mekanisme pengembalian aset yang telah dicuri melibatkan kerjasama intemasional/MLA (Mutual Legal Assistance). Melalui perjanjian ini, suatu negara peserta dapat meminta bantuan untuk merampas harta yang telah ditempatkan di negara lain. Indonesia sudah mennliki perangkat hukum yang mengatur tentang MLA, yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Walaupun undang-undang ini tidak dikhususkan bagi tindak pidana korupsi saja, namun ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut dapat menjadi landasan yang kuat dalam melaksanakan bantuan tinabal balik terhadap tindak pidana korupsi di Indonesia. Pembahasan tentang MLA alcan lebih diuraikan dalam pokok bahasan selanjumya. Dalam UNCAC, mekanisme tersebut diatur dalam Pasal 54 UNCAC yang berbunyi sebagai berikut: 1. Each State Party, in order to provide muntal legal assistance pursturnt to cniicle 55 of this Convention with respect to property acquired through or involved in the conunission of an offence established in accordance with this Convention, shall, in accordance ►ith its domestic lcrw: a Take such measures as may be necessary to permit its competent authorities to give effect to an order of confiscation issued by a court of another State Party: b. Take such measures as may be necessary to permit its competent authorities. where they have jurisdiction. to order the confiscation of such property of foreign origin by adjudication of an offence of money-latmdering or such other offence as may be within its jurisdiction or by other procedures authorized under its domestic and c. Consider taking such measures as may be necessary to allow confiscation of such property without a criminal conviction in cases in which the offender cannot be prosecuted by reason of death, flight or absence or in other appropriate cases. 
9.32

2. Each State Party. in order to provide muneal legal assistance upon a request made pursuant tv paragraph 2 of article 55 of this Convention, shall, in accordancelvith its domestic law, Take such measures as may be necessary to permit its competent authorities to freeze or seize property upon a freezing or seizure order issued by a court or competent authority of a requesting State Parly that provides a reasonable basis for the requested State Party to believe that there are sufficient grounds for taking such actions and that the property would eventually be subject to an order of confiscation for purposes of paragraph I (a) of thr's article, b. Take such measures as may be necessary to permit its competent authorities to freeze or seize property upon a request that provides a reasonable basis for the requested State Party to believe that there are sujficient grounds for taking such actions and that the property would eventually be subject to an order of confiscation for purposes of paragraph (a)of this article, and c. Consider taking additional measures to permit bv competent authorities to preserve property for confiscation, such as on the basis of a foreign arrest or criminal charge related to the acquisition of such property. Terjemahan bebas Pasal 54 UNCAC: 1. Setiap negara peserta, dalam rangka memberikan bantuan hukum timbal balik berdasar Pasal 55 Konvensi, yang menyangkut kelcayaan yang diperoleh dari atau yang terlibat dalam pelaksanaan tindak pidana menurut Konvensi ini, berclasar hukum nasionalnya, berkewajiban: a. mengambil tindakan yang perlu untuk mengizinkan pejabat berwenangnya melaksanakan perimah perampasan yang dikeluarkan oleh pengadilan negara peserta lain b. rnengambil tindakan yang perlu untuk mengizinkan pejabat berwenangnya, yang ada dalam yurisdiksinya, memerintahkan perampasan kekayaan yang berasal dari luar negeri dengan putusan tentang kejahatan pencucian uang atau kejahatan lain yang ada dalam yurisdiksinya atau dengan prosedur lain yang dimungkinkan oleh hukum nasionalnya; dan c. mempertimbangkan untuk mengambil tindalcan-tindalcan yang per1u untuk memungkinIcan perampasan kekayaan itu tanpa disertai penghukuman pidana dalam Icasus-lcasus yang pelakunya tidak dapat 
9.33

dituntut karena meninggal dunia, melarikan diri atau tidak ditemukan atau dalam kas.-kas. lain yang sesuai 2. Setiap negara peserta, dalam rangka memberikan bantuan hulcum timbal balik atas permintaan yang diajukan menurut ketentuan Pasal 55 ayat 2 Konvensi ini, berdasar hukum nasionalnya, berkewajiban: a mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk mengizinIcan pejabat berwenangnya membekulcan atau menyita kekayaan berdasarkan perintah pembelcuan atau penyitaan yang dikeluarkan oleh pengadilan atau pejabat berwenang negara pesena yang meminta yang memberilcan dasar yang memadai bagi negara peserta yang diminta untuk meyaicini bahwa terdapat alasan-alasan yang culcup untuk mengambil tindakan-tindalcan itu dan bahwa kekayaan terscbut akan pada alchimya dikenakan perintah perampasan untuk tujuan ketentuan ayat I huruf (a); b. mengambil tindakan-tindalcan yang diperlukan untuk mengizinkan pejabat berwenangnya membelculcan atau menyita kekayastt atas permintaan yang memberikan dasar yang memadai bagi negara peserta yang diminta untuk meyakini bahwa terdapat alasan-alasan yang cukup untuk nnengambil tindakan-tindakaan itu dan bahwa kekayarn tersebut alcan pada alchimya dikenakan perintah perampasrn untuk tujuan ketentuan ayat 1 huruf (a); dan c. mempertimbangkan untuk mengambiI tindakan-tindakrn tambahan untuk mengizinkan pejabat berwenangnya menahan kekayaan itu guna perampasan, seperti atas dasar putusan negara asing atau tuduhan pidana yang berkaitan dengan perolehan kekayaan itu. 
C. KERJASAMA INTERNASIONAL DALAM MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI 
Mengutip suatu idiom dari Dictionary of American Idioms and Phrasal Verbs (McGraw-Hill, 2002) yang menyatakan crime doesn's pay (kejahatan tidak akan menguntungkan). Dengan mengutip idiom tersebut, seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi para koruptor bahwa aset yang didapatkan dari korupsi tidak alcan memberilcan rasa tentram. Namun demikian, yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya, sehingga idiom di atas tidak berlaku. Banyaknya kasrn korupsi di Indonesia menunjulckan bahwa Indonesia masih menjadi surga bagi para koruptor. 
9.34

EnSau undnew murtuad L0S31 muq incitup Sum< 3tepup muns se,u crellpuSuad Sums ueus,uatuad uep Imimunuad in,pguad sascud zreueSueuad gepmuncluzaw ,ruun impipadm r..reSau .reum euresers, (s.ODN puoyowafig) reuomtuam LCuperns e8eq1ai 08uop uuresufim letio!setua.r! eSuqtual ueSuop CUM0f.1331 r.JuSau JEWE uuresurimi vuuacpaq esiq 11g3impllp SEre,C unresutzwi •(1c, :00z) uzipnia guaare. mmuatu leuo!suunun mfflup -puo!seluom undnetu puolseu ItnICIP.ASECLI yeq •mv...misetu uxuala Ogq.mq 00u3p utuesepwi mens umplepui ,imum uucpremminq spauopui trezugawad .!sdrumi umfinququp Sour( psum ludtusp immaN leuo!sinuam Impue■Cssux REn3mpal )repp W4e.re,(setu entuas qap trevorepp )repruu !schum treuegueuad .efes u0dau mes glupetllp uXumi trelnq SuuX .resaq quiesstu nums !v8vcps -drucnt em2au tigiepr inqasia, eze2au miew v..1123u muns ludurlp 8,..( (0 .1211. 11.13puatu) JONS treptial uniewas ..iinfgecps -,ussaq Strei< 10e8au qufflpu inqasial u.ieSau Ere8au nwns xels (001 e,f2uu pu,tapuatu) 1.28up upiewas •lly minuatu Inqasial elep ue,a 
(I1,L).101oPo1 puo!setualui !suwedsueu 
001 LO1 1711 811 P.MgaN Imfflugad 9£ 17£ Z£ Z£ )1dI SIOZ 1,10Z 5105. Z1OZ U11,81, 
qemuq laqt9 uped umnfusq, umpacirp SuuX ..(udulSuat ipqai ,puun .(znisiaq 1e8ues greiaq 001 uup leares 11.1.1.1 0) 001-0 .1.1s ImP 9£ ic.Is '.111nP IP SLI 1.11P 001 IsIsc., pedtuauxu sgauopui mt untrei eped emq•ci le,Inuatu ru, Lpio umfuaqm SzreX (Ndmschu, !sdaszad niapui) rapu, uopda,ra, uoydnuoj ,schuo, tielV113, q!seui msauopui usSiteg .!schuox uup suqaq usgi tuniaq msauoPol •sffueq emireq utuffps trefflunffuatu (lli) msauomq feucqseunmi pualedsup.ii yalo ,enqw 011d ipspets ischuoN 0 seqaq esK, umpq msauopui es2u2q unntiuq u.ppfunuatu SIOZ onwel Suslimdas !sdruo, sumurm 0111.301 1. treitunriaq mqasia, smsex iecppa Sue,C mi8uesia, •!sdnico, snsex OSS ,1.111111!" pup undepv 11.111,1 81 <121 mdmuaw SIOZ ungel enpal 13J.1.1113S eped umffluepas .stoz unge, uulauad q•md L,d um1111 ZI du P..IE83U UE1211139 inqasia, sns.1119111r10C1 xesacias s1oZ un, Suerugdas ,saimpui ,pu1zal 8u.< Tschuo, sns, quiumf (.,01) POAO uoychuicg vgaziopui utInIellp SuvX uempuad uevesepiag 
S£'6 
6 ,nacnwote.vm..4 • 
9.35

diminta. Terlebih dalam tindak pidana korupsi yang sudah menjelma menjadi kcjahatan lintas batas negara (kcjahatan trusnasionalltransnational crtme). Pernyauum ini juga menjadi konsideran dalam UNCAC, yang menyatakan: I. Convinced that corruption i.nnu hffiger a local matter but a transttational phenomenon that affects societtes and economies, making international cooperation to prevent and contml it essential. (tcrjemahan bcbas: mcyakini bahwa korupsi tidak lagi mcrupakan masalah lokal, tctapi merupakan fenomena internasional yung mempengaruhi seluruh masyarakat dan ekonomi, menelptakan suatu bentuk kerjasama internasional untuk mencegah dan mengendalikannya sangat penting); 2. Determined to prevent. detect and deter ht a more effective manner intemational transfers of iltiaitty acquired assets and to strengthen international cooperation asset recovery (tcrjemahan bcbas: Berketetapan untuk mcncegah, mendeteksi, dan menghambut dengan cara yang lnblt efektif transfer internasional aset yang diperoleh secara tiduk sah dan untuk memperkuat kerjasama Internasional dalam pengenthalian aset); 3. Rearing mind that the prevention and e•adication of corruption is a responsibility afantlnnanl.at and that they must cooperate with one another, with the support and involvement of individuals and groups outside the public sector, sttch as civil society, non governmental organizations and community-based organizations, if their efforts itt this area are to be effective (terjemahan bebas: mengingat bahwa pencegahan dun pcmberantasan korupsi mcrupakan tanggung jawab scmua negara dan bahwa negara-negara harus salIng bekerjasama, dengan dukungan dan keterlibatan orang-perorangan dat kelompok di luar sektor publik, seperti masyarakat madani, organisasi non pcmcrintah, dun organisasi kemasyarakatan agar upaya-upaya dalam bidang ini dapat efektif). 
Berdasarkan uraian-uraian di atas. UNCAC menginginkan bahwa dalam pcnanggulangan korupsi diadakan kcrjasama antara ncgara-ncgara di dunia. Ketentuan ini jugu bisa ditemukan dalam ketentuan Pasal 5 ayat 4 UNCAC yung menyatakan sebagai berikut: States Parties shall, as appropriate and in accordance with the fimdamental principles of their legal system. collahorate with each other and with relevant international and regional organizations itt promoting and developing the mettsures referred to this article. 7hat collaboration 
9.36


may indude participation in intenzational programmes and projects aimed at the prevention of corruption (Terjemahan bebas: setiap negara peserta wajib, jika dipandang periu dan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sistem hukumnya, bekerjasarna dengan negara peserta lain dan dengan organisasi internasional dan regional yang terkait untuk meningkatkan dan mengembangkan upaya-upaya sebagaimana dimaksud clalam Pasal ini. Kerjasama itu dapat meliputi partisipasi dalam program dan proyek internasional yang ditujukan untuk penoegahan korupsi. 

Selain ditegaskan dalam Pasal 5 ayat 4 UNCAC, masalah kerjasama juga diatur dalam Pasal 43 UNCAC yang menyatalcan sebagai berikut: 1. States Parties shall cooperate in criminal maiters in accordance with articks 44 to 50 of this Convention. VVhere appropriate and consistem with their domestic legal system, States Parties shall consider assisting each other in investigations of and proceedings in civil and administrative matters relating to comiption. (terjemahan bebas: setiap negara peserta wajlb bekerjasama dalam masalah-masalah kejahatan sesuai dengan ketentuan Pasal 44 sampai Pasal 50 Konvensi ini. Sepanjang perlu dan sesuai dengan sistem hukum nasional masing-masing, negara peserta wajlb mempertimbangkan untuk saling membantu penyidikan dan proses dalam masalah-masalah perdata dan admistratif yang berkaitan dengan korupsi. 2. ln matters of international cooperation, whenever dual criminalny is considered a requirement, ft shall be deemed hdfilled irrespective of whether the laws of the requested State Party place the offence within the same category of offence or denominate ►he offence by the same terminology as the requesting State Party, if the conduct underlying the offence for which assistance is sought is a criminal offence under the laws of both States Parties. (terjemahan bebas: dalam masalah-masalah kerjasama intemasional. dalam hal kriminalitas ganda dianggap sebagai persyaratan, malca hal itu dianggap sebagai telah dipenuhi tanpa memperhatikan apakah undang-undang negara peserta yang diminta menempatkan kejahatan itu ke dalarn kategori kejahatan yang sama atau menyebut kejahatan itu dengan istilah yang sama seperti di negara peserta yang meminta, jika perbuatan yang mendasari kejahatan yang menjadi alasan permintaan bantuan adalah kejahatan menurut undang-undang kedua negara peserta. 
9.37

UNCAC juga mengatur mengenai kerjasama antar aparat penegak hukum dari negara peserta UNCAC. Ketentuan ini dapat kita lihat dalam Pasal UNCAC yang menyatakan sebagai berikut: I. States Parties shall cooperate closely with one another. consistent with their respective domestic legal and administrative systems. to enhance theeffectiveness of law enforcement action to combat the offences covered by this Convention. States Parties shall, in particular, take effective measures: a. To enhance and, where necessary, to establish channels of communication between their competent authorities, agencies and services in order ts facilitate the secure and rapid exchange of information concerning all aspeas of the offences covered by this Convention, including, if the States Parties concerned deem it appropriate, littk€ with other criminal activities; b. To cooperate with other States Parties in conducting inquiries with respect to offences covered by this Convention concerning: I ) The identit, whereabouts and activities of persons suspected of involvement in such offences or the location of other persons concerned; 2) 77te movement of proceeds of crime or property derived from the commission of such offences; 3) The movement of propert, equipment or other instrumentalities used or intended for use in the commission of such offences; c. To provide, where appropriate, necessaly items or quataities of substances for analytical or investigative plaposes; tL To exchange, where appropriate, information with other States Parties concerning specific means and methods used to commit offences covered by this Convention, including the use of false identities, forged, altered or false documents and other means of concealing activities; e. To facilitate effective coordination between their competent authorities, agencies and services and to pramote the exchange of personnel and other experts, including, subject to bilateral agreements or arrangements benveen the States Parties concented, the posting of liaison officers; 
9.38

f To exy..hange information and coo•dinate whninistmtive and other measures taken as appropriate for the purpose of early klentlfication of the offences covered by this Co►vention. 2. With a view to giving effect w ihts Convention. States Pa►des shall co►sider entering into bllateral or multilateral agree►ents or arrangements on direct cooperation between thetr law enffireement agenries and, where su•h agreements or arrangements already exlst, amending them, ht the absence of such agreements or ar►angements between the States Padies concented, the States Parties may consider t►is Convention to be the basis for mutual law enffirce►ent cooperation in respect of the offences covered by this Convendon. Whenever appropriate, States Parties shall make fidl use of agreemen►s or arrangements, including international or regional organhatio►s, to enhance the cooperatio► between their law e►force►ent agencies. 3. States Padies shall endeavou• to cooperate within thetr means ta respond to offences covered by thts Convention committed through the use of ►odern technolou 
Terjemahan bebas l'asal 48 UNCAC: I. Ncgara pescrta wajib saling bekcrja sama dengan cntt, scsuai dengan sistem hukum dan pcmcrintahan masing-masing, untuk mcningkatkan keelektivan tindakan penegakan hukum untuk tnemberantas kejahatan-kejahatan menurut Konvensi ini, Negara-negara peserta wajib, khususnya, mcngambil tindakan-tindakan yang cfcktif: a. Untuk meningkatkan, dan sepanjung perlu, uniuk mengatlakan saluran komunikasi antara pejabat yang berwenang, instansi dan dinas agar mcmpermudah pertukaran informasi secara aman dan ccpat menyangkut semua aspek kejahluan tnenurut Konvensi ini, termasuk, jika dianggap perlu oleh Negara Pihak yang bersangkutan, kaitan dengan kegiatan Icriminal lain. b. Untuk bckerja sama dengan ncgara pcserta lain dalam mclakukan penyclidikan atas kcjahatan menurut Konvensi ini menyangkut: I) Identitas, keberadaan dun kegiatan orang yang dicurigai terlibat dalam kejahatan itu atau lokasi orang lain yang bersangkutan: 2) Pcrgerakan hasil kcjahatan atau kckayaan yang bcrasal dari pelaksanaan kejahatan itu:
9.39

3) Pergerakan kekayaan, peralatan atau sarana lain yang digunalcan atau direncanakan untuk digunakan dalam melaksanakan kejahatan itu: c. Untuk rnemberikan. sepanjang perlu, barang atau bahan yang perlu untuk tujuan analisis atau penyidikan; d. Untuk bertulcar, sepanjang perlu, informasi dengan Negara Pihak lain mengenai alat dan cara yang digunalcan untuk melakulcan kejahatan menurut Konvensi ini. termasuk penggunaan identitas palsu, dokumen palsu, yang diubah, atau yang dipalsukan dan cara lain untuk menyembunyilcan kegiatan: e. Untuk memfasilitasi koordinasi yang efektif antara pejabat yang berwenang, instansi dan dinas serta untuk meningkatIcan pertukaran personil dan ahli lain, termasuk penempatan petugas penghubung. dengan memperhatilcan perjanjian atau pengaturan bilateral antara negara peserta yang bersangkutan; f. Untulc bertulcar informasi dan mengkoordinasikan tindakan-tindakan yang diambil sepanjang periu untuk tujuan identiftkasi dini kejahatan menurut Konvensi ini. 2. Dalam rangka melaksanalcan Konvensi ini, negara-negara peserta wajib mempertimbangkan untuk mengadalcan perjanjian atau pengaturan bilateral atau multilateral mengenai kerjasama langsung antara instansi penegalcan hukum dan untuk menyesuaikan pedanjian atau pengaturan jika sudah ada lika tidak ada perjanjian atau pengaturan semacam itu antara negara peserta yang bersangkutan, negara-negara peserta itu dapat mempertimbangkan Konvensi ini sebagai dasar bagi kerja sama penegakan hukum bersama berkenaan dengan kejahatan menurut Konvensi ini. Sepanjang periu, negara peserta wajib memanfaatkan secara maksimal perjanjian atau pengaturan, termasuk organisasi intemasional atau regional, untuk meninglcatkan kerja sama antara instansi-instansi penegakan hukum. 3. Negara peserta wajib mengupayakan untuk bekerja sama sesuai kemampuan masing-masing untuk mengatasi kejahatan menurut Konvensi ini yang dilakukan melalui penggunaan teknologi modern. Selain kerjasama yang dapat dilakulcan antar penegak hukum dari masing-masing negara peserta, UNCAC juga memberikan kesempatan bagi aparat penegak hukum untuk melakulcan penyidikan bersama (joint investigation). Ketentuan ini secara khusus diatur dalam Pasal 49 UNCAC yang menyatakan sebagai berikut: 
9.40

States Parties shall consider concluding bilateral or multitateral agreements or arrangements whereby, in relation tr matters that are the subject of investigations, prosecutions or judicial proceedings in one or more States. the competent authorities concerned may establish joint investigative bodies. ln the absence of such agreements or arrangements joint investigations may be undertaken by agreement on a case-by-case basis. The States Parties involved shall ensure that the sovereignty of the State Party in whose territory such investigation is to take place is fitlly respected. 

Terjemahan bebas Pasal 49: negara peserta wajib mempertimbangkan untuk mengadakan perjanjian atau pengaturan bilateral atau multilateral yang, dalam kaitan dengan masalah yang menjadi pokok penyidikan, penuntutan atau proses pengadilan di satu atau lebih negara, dapat digunakan oleh pejabat berwenang yang bersangkutan untuk mengadakan penyidikan bersama, lika perjanjian atau pengaturan semacam itu tidak ada, penyidikan bersama dapat dilakukan dengan perjanjian atas dasar kasus per kasus. Negara peserta yang terlibat, wajib rnengusahakan agar kedaulatan negara peserta yang di wilayahnya dilakukan penyidikan semacam itu dihormati sepenuhnya. Untuk memberikan dasar hulcum yang kuat mengenai kerjasama antar negara dalam rangka penanggulangan tindak pidana korupsi, pemerintah Indonesia membuat undang-undang khusus yang mengatur tentang pedoman bagi Pernerintah Republik Indonesia untuk membuat perjanjian dan melaksanakan permintaan bantuan kerjasama dari negara asing. Perangkat hukum tersebut berupa undang-undang yang mengatur beberapa asas atau prinsip, prosedur dan persyaratan permintaan bantuan, sena proses hukum acaranya. Dasar hukum yang dimaksud adalah dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. Secara khusus, tujuan dibuatnya undang-undang tersebut adalah sebagai dasar hukum bagi pemerintah Indonesia dalam meminta dan/atau memberikan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan pedoman dalam memb.t perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara asing. Dalam konsideran, dapat cliketahui urgensi lahirnya Undang -Undang No. 1 Tahun 2006, yaitu: 1. Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republilc Indonesia T.un 1945 yang 
9.41

mendukung dan menjamin kepastian, ketertiban. dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran; 2. Tindak pidana, terutama yang bersifat transnasional atau lintas negara mengakibatkan timbulnya permasalahan hukum suatu negara dengan negara lain yang memerlukan penanganan melalui hubungan baik berdasarkan hukum di masing-masing negara; 3. Penanganan tindak pidana transnasional harus dilakukan dengan beketjasama antar negara dalam bentuk bantuan timbal balik dalam rnasalah pidana, yang sampai saat ini belum ada landasan hukumnya; 4. bahwa berdasarican pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana. 

Asas atau prinsip bantuan timbal balik dalarn masalah pidana dalam Undang-Undang No. 1 Talum 2006 didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana, perjanjian antar negara yang dibuat, dan konvensi dan kebiasaan intemasional. Bantuan timbal balik dalam masalah pidana dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan jika belum ada perjanjian maka bantuan dapat dilakukan atas dasar hubungan baik. Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tidak memberilcan wewenang untuk mengadakan ekstradisi atau penyerahan orang, penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang, pengalihan narapidana. atau pengalihan perkara. Undang-Undang tersebut juga mengatur secara rinci mengenai permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari Pemerintah Republik Indonesia kepada Negara Diminta dan sebaliknya yang antara lain menyangkut pengajuan permintaaan bantuan, persyaratan permintaan. bantuan untuk mencari atau mengindentifikasi orang, bantuan untuk mendapatkan alat bukti, dan bantuan untuk mengupayalcan kehadiran orang. Undang-Undang tersebut juga memberikan dasar hukum bagi Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia sebagai pejabat pemegang otoritas (Central Anthority) yang berperan sebagai koordinator dalam pengajuan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana kepada negara asing maupun penanganan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari nega
9.42

Bantuan yang dimaksud dalam Undang-Undang No. I Tahun 2006 bcrkcnaan dcngan masalah pcnyidikan, pcnuntutan, dan pcmcriksaan di sidang pengadilan sesuai clengan ketentuan peraturan perundang-undangan negara diminta. Bantuan tersebut dapat berupa: I. mengidentifikasi dan mencari orang; 2. mcndapatkan pernyataan utttu bcntuk lainnya; 3. menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya; 4. mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan: 5. menyampaikan surat; 6. melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan; 7. perampasan hasil tindak pidana: 8. mcmperolch kembali sanksi denda bcrupa uang schubungen dengan tindak pidana; 9. melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yung dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana; 10. mencari kekayaan yang dapat dilepaskan, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan. sehubungan dengan tindak piclana; dan/atau lt. bantuan lain yang sesulti dengan Undang-Undang No. I Tahun 2006. 

Ditegaskan tebilt khusus dalam Pasal 4, Undang-Undang No. I Tahun 2006 tidak memberikan kewenangan untuk mengadakan: 1. ckstradisi atau pcnycrahan orang; 2. penangkapan atau penahanan dengan maksud untuk ekstradisi atau penyerahan orang: 3. pengalihan narapidana; atau 4. pengalihan perkara. Menurut MarceIla Elwina (2013: 136), dalam praktek, sebelum berakunya Undang-Undang No. l Tuhun 2006. beberapa negara ASEAN, termasuk Indonesia telah mcnandatangani scbitah perjanjian multilatcral, tepatnya pada 29 November 2004. Perjanjian yang ditandatangani di Kuala Lumpur Malaysia, berisi tentang MutttttlLnttuld.n.riuturrte yang ditandatangani 8 (delapan) negara, tcrdiri dari Brunci Darussalam, Kamboja, Indoncsia, Laos, Malaysia, Pilipina, Singapura, dun Victnam. 
9.43

KEGiATAbi EIELAJAR 2 
Korelasi antara Tindak Pidana Korupsi 
Dengan Tindak Pidana Pencucian Uang 
A. TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI TINDAK PIDANA ASAL 
TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 
Terkait dengan definisi penctician uang, secara sederhana Sarah N. 
Welling sebagaimana dikutip Sutan Remy Sjandeini (2004:2) memberilcan 
definisi pencucian uang sebagai the process by which one conceals the 
existences, illegal source. or illegal application of income. and than disguises 
that income to make it appear legitimate (proses menyembunyikan harta 
kekayaan ilegal atau pendapatan ilegal kemudian menyamarkannya, seolah-olah hal itu terlihat sebagai sumber yang legal/sah). Dengan demikian, 
menurut Welling. pencucian uang mensyaratkan adanya uang kotor (dirty 
money), yang kemudian uang kotor tersebut dikoversi/diubah ke dalam 
bentuk yang tampak sah agar dapat digunakan secara aman. Uang kotor 
inilah yang menjadi obyek dari pencucian uang. 
Masih menurut Welling (Sjandeini, 2004: 7), uang kotor dapat diperoleh 
melalui dua cara, pertama melalui pengelakan pajak (tax evasion). 
Pengelakan pajak dapat dilakukan dengan cara melaporkan jumlah kekayaan 
kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak dimana jumlah yang 
dilaporkan lebih sedikit daripada kekayaan sebenarnya. Kedua. melalui 
tindak pidana. Cara kedua ini biasa dilakukan dengan melakukan tindak 
pidana, seperti perdagangan narkotika, perjudian, terorisme, pornografi, 
korupsi, dan sebagainya. 
Selain pendapat dari Welling, Department of Justice Canada 
(Departement Kehakiman Kanada). memberikan definisi pencucian uang 
sebagai the conversion or transfer of property, knowing that such property is 
derived from cHminal adivity, for the purpose of concealing the illicit nature 
and origin of the property from government authorities (suatu kegiatan 
mengubah atau memindahkan harta kekayaan, dimana harta kekayaan 
tersebut berasal dari kegiatan kriminal, yang bertujuan untuk 

menyembunyikan sifat terlarang dan asal usul kekayaan dari pemerintah). 
9.50

Di Indonesia, pemaknaan pencucian uang diformulasikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 8 Tahun 2010. Sebenamya Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tidak bisa dikatakan sebagai ketentuan yang mendefinisikan (delik) pencucian uang. Ketentuan Pasal 1 angka 1 hanya berisi tentang batasan dari TPPU. Pasal 1 angka 1 tidak menunjuk secara tegas, pasal mana dalam UU TPPU yang dikatakan sebagai TPPU. Di sisi lain. secara yuridis, UU No. 8 Tahun 2010 mengkualifikasikan delik berupa findak pidana pencucian uang dan tindak pidana lain yang berhubungan dengan TPPU. Tentu apabila melihat definisi dari Pasa 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2010, ma1ca definisi TPPU merujuk pada delik pencucian uang. Pasal 1 angka 1 UU TPPU menegaskan bahwa pencucian uang sebagai segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini (Undang-Undang No 8 Tahun 2010). Unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tersebut dapat diketahui dari Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan pasal-pasal lain dari Undang-Undang No 8 Tahun 2010. Walaupun Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tidak secara tegas memberikan definist apa itu pencucian uang, dengan memperhatilcan ketentuan Pasal 3, 4. dan 5 Undang-Undang No 8 Tahun 2010, maka dapat disimpullcan bahwa pencucian uang (money laundering) adalah rangkaian kegiatan, baik melakulcan (commisi) maupun tidak melakukan (ommisi), yang dilakulcan oleh orang perseorangan atau korporasi, terhadap harta kekayaan yang perolehannya berasal dari tindak pidana. Dari berbagai uraian mengenai pengertian tindak pidana pencucian uang di atas, ada beberapa karakteristik dalam pencucian uang, yaitu: 1. Ada uang kotor (dirry money); 2. Ada kegiatan mengubah/menyamarkan/menyembunyikan uang kotor; 3. Dengan maksud menciptakan suatu keadaan dimana uang kotor menjadi uang yang tampak bersih (legal money). 

Memperhatikan pengertian pencucian uang di atas, dapat disitnpulkan bahwa pencucian uang memiliki tujuan sebagai berikut. Periama. agar uang haram tersebut tersembunyi dan tidak dapat dike,tahui dan dilacak asal-usulnya oleh para penegak hukum. Kedua. agar setelah proses pencucian uang selesai dilakukan, uang tersebut secara formil yuridis merupakan uang 
9.51

yang -seolah-olah" berasal dari sumber yang sah atau dari kegiaun-kegiatan yang ticlak melanggar hulcum. Berbicara mengenai pencucian uang. maka keberadaan pencucian uang tidak bisa dipisahkan dari kejahatan asal (predicate offenselpredicate cre/core crime). Kejahatan asal akan menghasilkan sejumlah harta kekayaan yang menjadi pangkal dari pencucian uang. Dari kejahatan asal inilah. apabila ada kelanjutannya (follow up) dari kejahatan asal, maka inilah yang dimaksud dengan tindak pidana pencucian uang. Dengan demikian, hakekat dari delik pencuci. uang bukan sebagai kejahatan tunggal/Icejahatan yang berdiri sendiri, melainkan sebagai kejahatan lanjutan (follow up crime). Hakekat pencucian uang sebagai follow up crime dapat dimaknai bahwa pencucian uang bulcan merupakan tindak pidana utama, karena sifatnya hanya kelanjulan (follow up) dari kejahatan asal (core crime). Karena pencucian uang merupalcan kelanjutan dari core crime/predicate offence, sehing,ga pencucian uang bersifat mengikuti core crime-nya. Dengan kata lain, tidak alcan ada pencucian uang apabila tidak ada core crime-nya. Terkait dengan kalimat terakhir. Pasal 69 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya ditulis UU TPPU), penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap TPPU. tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (core crime). Dengan demilcian, TPPU dapat diang,gap sebagai delik yang mandirilberdiri sendirilseparate crime. Pemikiran bahwa delik pencucian uang adalah delik yang mandiri dapat dilihat juga terhadap delik penadahan. Dalam yurisprudensi Indonesia, untuk dapat menjatuhkan pidana terhadap pelaku penadahan, tidak perlu membuktilcan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Pernyataan demikitt juga dapat kita temukan dalam pendapat yang dikemukalcan R. Wiyono. Menurut R Wiyono (2013: 194), Pasal 69 UU TPPU dapat diartilcan bahwa TPPU merupakan kejahatan yang berdiri sendiri, yang berlakunya tidak tergantung dari ketentuan tindak pidana lain. Frasa "tidak wajib dibuktilcan" diartikan sebagai keadaan dimana tidak wajib dibuktikan dengan adanya putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Oleh Icarena itu, untuk melakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadil. TPPU, tidak perlu ada putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana asal. Tindak pidana pencucitt uang, secara teoretis dapat dilakukan dengan dua model, yaitu modern dan tradisional. Cara-cara modern meliputi tiga 
9.52

proses, yaitu placement (penempatan), layering (pemindahan), atau integration (penggabungan). Dalam cara yang modera ketiga proses tersebut bisa terjadi dalam waktu bersamaan atau dalam waktu yang berlainan. Selain itu, tidak harus ketiga proses itu diwujudkan. Proses placentant. merupakan metode paling sederhana. Secara harafiah, placement dapat dimalmai dengan proses menempatIcan uang haram ke dalam sistem keuangan. Pengertian demikian dapat kita temukan dalam beberapa literatur yang mengulas tentang pencucian uang, semisal dari Yenti Ganarsih (2016: 204-207) dan Sutan Remy Sjandeini (2004: 33-38). Namun demikian, proses placement tidak hanya sekedar menempatIcan uang hasil kejahatan dalam sistem keuangan saja. Melainkan juga bisa diubah dalam bentuk investasi. Beberapa contoh yang bisa dilakukan dalam proses placement misalnya: menempatkan uang haram ke dalam bank, asuransi, membeli barang mewah/rumah. Menurut Jeffrey Robinson, tujuan dari proses placement ini untuk menyembunyikan asal-usul uang haramnya. Proses layering merupakan proses dimana pelalcu pencucian uang membant transalcsi-transaksi yang diperoleh dari dana ilegal ke dalam transaksi yang lebih rumit dan berlapis-lapis serta berangkai dengan tujuan menyembunyikan sumber uang haram tersebut (Ganarsih, 2016: 205). Dalam proses layering, melibatkan suatu proses transfer secara elektronik (wire transfer) yang melibatican sejumlah rekening baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Tujuan dari layering yaitu agar hubungan dengan hasil kejahatan dan sumbernya menjadi putus (Sjandeini, 2004: 35). Proses integration adalah tahap dimana pelaku pencuci uang menggunakan uang yang sudah berhasil ditengarai sebagai uang halal (clean money) ke dalam usaha-usaha bisnis yang halal (legal business). Jadi, dalam tahap integration juga dapat dilakukan dengan jalan memasukkan uang haram kepada sirkulasi keuangan yang sah. Hasil dari sirkulasi keuangan tersebut alcan digunakan sebagai uang yang halal, yang kemudian akan digunalcan untuk membiayai bentuk kejahatan lainnya. Dengan kata lain, dalam tahap integration. uang haram diintegrasikan ke dalam sirkulasi keuangan yang mana sifatnya adalah sebuah investasi bisnis yang dapat memberikan hasillkeuntungan bagi pelaku. Dari uraian-uraian metode/cara pencucian uang yang dilakulcan dengan cara modern di atas, yang perlu diperhatikan adalah cara nadisional. Hal ini perlu diperhatilcan atau menjadi hal yang patut diwaspadai oleh aparat hukum dilcarenakan saat ini sindikat pencucian uang sudah memanami bagaimana 
9.53

sistem operasional dari sebuah sistem keuangan. Ketika seseorang momasukkan harta kckayaan kc dalam sistcm kcuangan, sccara otomatis kegiatan ini akan termonitor olch lembaga pengawas keuangan (misal PPATK). Cara tradisional dalam melakukan pencucian uang dilakukan dengan cara bagage to bagage. Mereka tidak menggunakan jasa sistem kcuangan, melainkan clengan mcnggunakan cara-cara tntdisional, Undang-Unclang No 8 Tahun 2010 tentang Penceguhan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang pada prinsipnya mengkualifikasikan del(k dalam dua bentuk, yaitu tindak pidana pencucian uang cian tindak pidana yung berhubungan clengan pencucian uang. llttl demikian juga dilakukan oleh Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang No, 20 Tahun 2001, Dalnm Undang-Undang No 8 Tahun 2010, tindak pidana pencucian uang diacur dalam Bab II dari Pasal 3, 4, 5. Sedangkan tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang diatur dalam Bab 111 dari Pasal 11 — 16. Scbagaimana sempat clisinggung scbclumnya bahwa pencucian uang pada prinsipnya merupakan tindak pidana kelanjutan (follow crime). Dengan demikian, tidak mungkin ada pencucian uang apabila tidak ada core crime-nya. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tclah mengkualifikasikan 26 tindak pidana yang bisa dijadikan core crime/pmlame ofiense dalam TPPU, yaitu: I. korupsi; 2. pcnyuapan; 3. narkotika; 4. psikotropika; 5. pcnyclundupan tcnaga kcrja; 6. penyelundupan migrun; 7. di bidang perbankan; 8. di bidang pasar modal; 9. di bidang perasuransian; 10. kepabeanan; 11. cukai; 12. perdagangan orang; 13. perdagangan senjata gelap: 14. terorisme; 15. penculikan; 
9.54

16. pencurian: 17. penggelapan; 18. penipuan: 19. pemalsuan uang; 20. perj udian: 2/. prostitusi: 22. di bidang perpajalcan: 23. di bidang kehutanan; 24. di bidang lingkungan hidup; 25. di bidang kelautan dan perikanan; atau 26. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilalcukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. 
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (2) dijelaskan bahwa harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamalcan scbagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n. BerdasarIcan dari ketentuan tersebut, dapat dinyatakan bahwa delik pencucian uang bisa berasal dari berbagai macam kejahatan. Salah satunya adalah korupsi. Berdasarkan data yang diltimpun oleh Anti Corrupption Clearing House (AACH) Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak tahun 2005 terdapat lebih dari 137 putusan perkara TPPU. Berdasarkan dugaan tindak pidana asalnya. korupsi merupakan putusan terbanyak dengan 40 putusan atau 29,2% dibanding putusan dengan dugaan tindak pidana asal lainnya. Rincian perbandingan jumlah putusan perkara TPPU (Periode Januari 2005 s.d November 2015) berdasarkan dugaan tindak pidana asalnya dilihat dalam tabel di bawah ini: 
No 
Tindak Pidana Asal 
Jund«.1 Putusan 
Prosentase 
Korupsi 
40 
29.2% 

Narkotika 
36 
26,3% 

426/445 
9.55

9.56 
No 
Tindak Pidana Asal 
Jumlah Putusan 
Prosentase 
Penipuan 16 11.7% Penggelapan 10,9% Perbankan 8,0% Pemalsu. Surat 4,4% Psikotropika 1,5.4 Perjudian 1,5% Pencurian 0,7% 10 Pelanggaran Pembawaan Uang Tunai 0,7% Kehutanan 0,7% 12 Penyuapan 0,7% Tindak Pidana Lain 3,6% 
Data di atas menunjukkan bahwa TPPU dapat dilakukan dari berbagai jenis tindak pidana. Dalam prakteknya, ditemulcan banyak kasus TPPU yang berasal dari tindak pidana seperti korupsi, narkotika, penipuan, perbankan, penggelapan. dan sebagainya. Dari data tersebut, juga dapat kita simpulkan bahwa korupsi masih menjadi tindak pidana asal. Tidak mengherankan, karena jumlah korupsi di Indonesia masih tergolong sangat tinggi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) jumlah kasus korupsi yang terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2015 sebesar 550 Icasus. Dari jumlah kasus tersebut, kerugian negara ditaksir sebesar Rp. 1.2 triliun pada paruh pertama tahun 2015. Sedangkan pada semester kedua tahun 2015 mencapai Rp. 1,8 triliun. Adapun dari jurnIah 550 kasus korupsi, tersangka yang terlibat Icasus tersebut berjumlah 1.124 orang. 
9.56

B. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAI SARANA MENYAMARKAN HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI 
9.57 
Tindak pidana pencucian uang merupakan delik yang memiliki karakteristik khusus. Kebijalcan penang,gulan tindak pidana pencucian uang tidak hanya ditujukan guna memberantas tindak pidananya, namun juga harus ditujukan pada upaya pengembalian aset dari hasil tindak pidana. Pada awalnya, masyarakat intenasional belum terlalu memildrkan mengenai pencucian uang. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin meningkatnya praktik-praktik pencucian uang dibeberapa negara, pada tahun 1989 dibentuklah suatu lembaga yang dinamakan Financial Action Task Force on Mon, Loundering (FATF) oleh negara-negara G-7 (Sjandeini, 2004: ix). Sejak dibentuknya FATF pada tahun 1989, kepedulian masyarakat intemasional terhadap money loundering semalcin meningkat. Pada tahun 1990, FATF mengeluarkan empat puluh rekomendasi (The Fourty Recomendations) yang kemudian menjadi standar bagi negara-negara di dunia dalam menciptakan suatu rezim anti pencucian uang. Salah satu rekomendasi yang diberilcan FATF menyatakan bahwa setiap negara-negara harus memiliki ketentuan undang-undang yang mengatur tentang pencucian uang. Setiap negara tidak hanya dituntut untuk memiliki undang-undang yang dimaksud. melainkan juga menentukan agar negara-negara yang bersangkutan harus mengakomodir ketentuan-ketentuan yang diatur dalam standar internasional yang dikeluarkan FATF (Sjandeini, 2004: x). Dilihat dari sisi historis, bangsa Indonesia pertama kali melakulcan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang pada tahun 2002, yaitu melalui UU No. 15 Tahun 2002. Karena materi dari UU No. 15 Tahun 2003 dianggap masih kurang mernadai, pada tahun 2003 diadalcan perubahan atas UU No. 15 Tahun 2002 melalui UU No. 25 Tahun 2003. Selanjutnya pada tahun 2010, dikeluatican Undang-Undang No 8 Tahun 2010 yang mencabut keberadaan UU No. 15 Tahun 2002 beserta perubahannya. Kemunculan undang-undang tentang anti pencucian uang di Indonesia tidak terlepas dari tekanan yang diberilcan oleh IMF. Sebagaimana kita ketahui bersama, pada tahun 1997, bangsa Indonesia mengalami gejolak perekenomian yang luar biasa. Dampaknya adalah terjadi banyak krisis, terutama Icrisis keuangan yang kemudian meluas hingga krisis moneter. Untuk mengatasi gejolak perekonomian tersebut, Indonesia terpalcsa 
9.57

sempat dimasulckan dalam daftar negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan tindak pencucian uang (Non Cooperative Countries Territories-NCCT). Mengingat desakan dari IF sebagai pihak yang memberikan bantuan kepada Indonsia, maka Indonesia mengeluarkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (Sjandeini, 2004: x-xi). UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dikeluarican pemerintah Indonesia atas desakan IMF, dinilai FATF belum mengakomodir standar intemasional dalam pemberantasan pencucian uang, sehingga Indonesia masih masuk dalam daftar negara tidak kooperatif (NCIT). Karena Indonesia masih masuk dalam daftar negara tidak kooperatif, hal ini berdampak negatif terhadap laju investasi. Dengan masulcknya Indonesla dalam NCCT, Indonesia tidak bisa membuka Letter of Credit (L/C) di begara lain. Selain itu, Indonesia juga mengalami kesulitan dalam transaksi perbanIcan intemasional. Untuk mengeluarkan Indonesia dalarn NCTT, pemerintah melalcukan revisilperubahan atas UU No. 15 Tahun 2002. Perubahan tersebut kemudian diundangican dalam UU No. 25 Tahun 2003. Dengan diubahnya UU No. 15 tahun 2002. temyata tidak serta merta mengeluarkan Indonesia dari daftar NCCT. Terbukti, Indonesia baru dikeluarkan dalam daftar NCTT oleh FATF pada Februari 2005. Tahun 2010, Indonesia kembali melakulcan perubahan ketentuan anti pencucian uang yang sebelumnya diatur dalam UU No. 15 Tahun 2002 Jo. UU No. 25 Tahun 2003, melalui Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ketentuan teralchir sebagaimana disebut, mencabut UU sebelumnya (UU No. 15 Tahun 2002 dengan perubahannya) dan masih berlaku hing.ga sekarang. Dengan demikian, saat ini yang menjadi hulcum positif sebagai ketentuan anti pencucian uang adalah Undang-Undang No 8 Tahun 2010. Perubahan ketentuan mengenai pencucian uang yang dilakukan dalam kurun waktu delapan tahun (tahun 2002, 2003, dan 2010), mengalcibatIcan penegalcan hukum dalam hal pencucian uang tidak malcsimal. Pada prinsipnya, pencucian uang adalah delik yang memanfaatkan atau menilcmati harta kekayaan hasil dari suatu tindak pidana. Oleh karena itu, pencucian uang ada hakekatoya adalah delilc yang mengikuti kejahatan 
9.58

asalnya, sehingga sering dikatakan bahwa pencucian uang adalah follow up ctime. Walaupun pada hakekatnya, pencucian uang adalah follow top crime, namun dalam proses penegakan hukumnya, delik pencucian uang harus dipandang sebagai delik yang berdiri senditi (delictum sui generiskeparate crime). Sebagai follow up crime, delik pencucian uang merupakan suatu kejahatan yang mengikuti kejahatan aslinya (predicate crime/predicate offence/core crime). Idealnya, ticlak ada delik pencucian uang apabila tidak ada tindak pidana asalnya. Namun harus diingat, formulasi delik pencucian uang (Pasal 3. 4, dan 5 Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang) berkualifticasi sebagai delik proparte dolus proparte culpa, dimana tindak pidana asal tidak harus dilcetahui secara pasti (sengaja), namun sudah cukup walau sekedar patut menduga (kealpaan) bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari tindak pidana. Berkaitan dengan itu, muncul suatu pertanyaan, haruskah tindak pidana asal dibuktikan untuk membuktikan delik pencucian uang? Yunus Husein dalam keterangannya sebagai ahli dalam sidang MK nomor No. 77/PUU-X11/2014, menyatalcan ada tujuh alasan kenapa dalam TPPU tidak pertu dibulctikan tindak pidana asa1nya, yaitu: 1. Alasan yang bersifat normatif, dimana Pasal 69 UU TPPU menegaskan bahwa penyidikan. penuntutan, dan pemeriksaan sidang pengadilan terhadap TPPU tidak wajib dibulailcan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Dengan demikian, jelas dan tegas menurut Pasal 69, bahwa untuk memulai penyidikan dalam TPPU tidak bergantung pada terbukti atau tidaknya tindak pidana asal. 2. Alasan terkait dengan peradilan yang cepat (spedy trial). Apabila dalam sebuah penyidikan TPPU harus mentmggu terbuktinya delik asalnya, maka akan memalcan waktu yang sangat larna. Belum 1agi kalau dalam proses pengadilan terhadap tindak pidana asal terjadi banding atau kasasi. 3. Terdapat 116 yurisprudensi berkekuatan hukum tetap, yang mengadili perkara pencucian uang, yang menunjuldcan bahwa untuk memeriksa perkara TPPU tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Banyak yurisprudensi seperti ini. menunjukkan bahwa dalam proses penegakan hukum terhadap pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu pidana asalnya. 
9.59

4. TPPU pada dasarnya memiliki karaktersitik yang hampir mirip dengan Pasal 4130 KUHP (del. penadahan). Dalam proses proses hukum delilc penadahan, selama ini tidak perlu dihukum dulu pencurinya. 5. Dalam TPPU. digunakan model pendekatan follow the money. Dengan pendekatan follow the money. maka aliran aset atau uang hasil tindak pidana itu dibuktilcan oleh terdakwa. Tujuannya yang menjadi prioritas dalam delik money laundering adalah mengejar uang/aset. bulcan prioritas mengejar pelakunya. Karena yang dikejar itu adalah uang atau aset, maka yang membuktikan aset itu berasal dari sumber yang sah adalah terdakwa. 6. Berdasarkan pengalaman beberapa halcim di beberapa negara, baik yang memiliki sistem common kst tttttttitil law system, menyatalcan dalam TPPU tidak periu dibuktikan tindak pidana asalnya. Hal ini diketahui dari pendapat Mr. Keizer (Hakim Agung Belanda) dan Mr. Borunga (Hakim Belanda) yang menyatalcan tidak perlu dibuIctilcan lebih dulu predicate offence-nya. Pendapat senada juga disampaikan oleh Mrs. Virginia (Hakim Amerika). Pun demikian dengan hakim-hakim di Australia yang menyatalcan bahwa dalam TPPU tidak perlu dibuktikan tindak pidana asalnya. 

Dalam tataran internasional, UNODC (United Nation Office of Drug and Crime) mengeluarkan sebuah pedoman yang diistilahkan sebagai model legislation on money laundering and financing of terrorism. Pedoman tersebut menyatakan bahwa untuk memeriksa TPPU tidak perlu pidana asal dibuktikan dulu (in order to prove the illicit of origin of the proceeds. it sha(l not be required to obtain the conviction of the predicate offences). Di dalam teori, pencucian uang dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe aktif dan pasif. Pencucian uang alctif terjadi apabila seseorang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak piclana. Selain itu, dianggap juga sebagai pencucian aktif apabila seseorang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lolcasi, peruntukan, pengalihan halc-hak, atau kepemilikan yang sebenamya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Sedanglcan 
9.60

pencucisstt pasif terjadi apabila seseorang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipaa, penulcaran, atau menggunalcan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Pencuci&tt uang merupakan sarana bagi pelaku kejahatan untuk melegallcan uang hasil kejahatan dalam ranglca menghilanglcan jejak tindak pidana yang dilakulcan (Ganarsih, 2016: 60). Artidjo Alkostar (2003: 48). dengan mengutip pendapat dari Sue Titw Reid, menyatakan bahwa pencucian uang dikualifikasikan sebagai perbuatan menutupi koedaan sebenamya dari pemilik uang, serta menghindari persyaratan kewajiban untuk melaporkan kepada pihalc yang berwajib. Pencucittss uang adalah uang kotor yang diusahalcan untuk dicuci agar terlihat bersih. Tujuan dari pencucissss uang adalah mengubah status hana kekayaan dari yang tadinya "kotor" menjadi "bersib". Berdasar data yang dikemukakan Anti Comtpption CleaHng House (AACH) Komisi Pemberantasan Korupsi, sejak tahun 2005 terdapat lebih dari 137 putusan perkara TPPU. Jika ditilik dari tindak pidana asalnya korupsi me,njadi predicate offence terbanyak dari pencucian uang dengan 40 putusan atau 29,2% dari total keseluruhan putusan tentang tindak pidana pencucian uang. Berdasar data tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa korupsi menyumbang paling banyak kasus pencucian uang. Dalam hal ini pencucis& uang paling sering berkorelasi dengan tindak pidana korupsi. Walaupun pada dasarnya korupsi bulcan satu-satunya predicate crime pencucis& uang, namun dalam praktek, korupsi masib menjadi penyumbang utama kasus pencucian uang. Berdasarkan investigasi dart Indonesia Corruption Watch, sebuah LSM yang concem terhadap korupsi di Indonesia, pada semeter pertarna tahun 2014, terdapat 308 kasus korupsi dengan jumlah tersangka 659 orang. Sedanglcan kerugian negara sebesar Rp3,7 triliun. Pada semester kedua, terdapat 321 kasus korupsi deng. 669 orang tersanglca, serta kerugian negara sebesar 1,59 ttitiss rupiah. Total jumlah kasus korupsi selama tahun 2014 sebanyak 629 kasus dengan jumlah tersangka 1328 orang serta kerugian negara sebesar 5,29 triliun rupialL Sedangkan dalam semester pertama tahun 2015, terdapat 308 kasus dengan 590 orang tersangka sena potensi kerugian negara dari Icasus-kasus tersebut mencapai 1,2 triliun rupiah. ICW juga mencatat, selama kurun waktu tahun 2010-2014, telah terjadi 2.492 kasus korupsi dengan total nilai kerugian negara sebesar 30 triliun rupiah. Dari 
9.61

sejurnlah kasus tersebut. 552 kasus dikategorikan mangkrak atau tidak jelas penanganannya. Berdasarkan thta di atas, thpat disimpulkan bahwa korupsi sampai saat ini masih merajalela, sehingga berpotensi untuk menimbulkan lebih banyak praktek pencucian uang. Korelasi antara korupsi dengan pencucian uang, secara global juga sudah diantisipasi oleh UNCAC melalui mekanisme Mutual Legal Assistance (alkostar, 2003: 46). Banyalcnya kasus korupsi di Indonesia. berpotensi berbanding lurus dengan jumlah tindak pidana pencucian uang. Secara sederhana, seorang pelaku korupsi yang kemudian menggunakan uang hasil korupsinya untuk membeli suatu barang. maka sudah dapat dikatakan telah melakukan pencucian uang. Dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2010, ketentuan yang mengatur hal ini ada di Pasal 3. yang berbunyi sebagai berikut: Setiap Orang yang menempatkan. mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasa1 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana Icarena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000.00 (sepuluh miliar rupiah). 

Dari ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No 8 Tahun 2010, dapat kita jabarlcan sebagai berikut: l. Subyek hukum: setiap orang (menurut Pasal 1 angka 9 UU TPPU, yang dimaksud setiap orang adalah perseorangan atau korporasi) 2. Sanksi pidana, penjara (maksimal 20 tahun) dan denth (maksimal Rp 10.000.000.000,00). Sanksi dalam Pasal 3 dirumuskan secara kumulatif. Selain itu, UU Pencucian Uang juga tidak mengatur tentang ancaman pidana minimal khusus. Dengan demikian, ancaman minimal pidananya menggunalcan ketentuan dalam KUHP. 3. TPPU yang dirumuskan dalam Pasal 3 rnerupalcan bentuk TPPU alctif. 4. Unsur 6ndalc pidana: n. menempatkan, mentransfer, mengalihIcan. membelanjakan, membayarIcan, menghibahkan, menitipkan. membawa ke luar 
9.62

negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uung atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan; b. dikeuthuinya atitu putut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); c. dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kckayaan, 
Ad.1) menempatkan, mentransfer, ntengallItkan, membelatijakan, membayarkan, menghlbahkan, menItIpkan, mentlbawa ke luar negerl, mengultall bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perltuatan luin atas harta kekayaan 
Unsur pertama dalam Pasal 3 merupakan unsur obyekif. Dalam unsur pertama terkandung beberapa perbuatan, yttitu: I. menempatkan harta kekayaan; 2. mentransfer harta kekayaan; 3. mengalikkan harta kekayaan; 4. membelanjakan hartu kekayaan; 5. membayarkan harta kekayaan; 6. menglabahkan harta kekayaan; 7. menitipkan hatia kekayaan; 8. tnembawa ke luar negeri harta kekayaan; 9. mengubah bentuk harta kekayaan; 10. menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan. 
Dari berbagai jenis perbualan yang dilukiskan dalam Pasal 3 terscbut, dapat dilakukan baik secara alternatif maupun kumulatif. Dengan kata lain, bisa saja perbuatan hanya berupa menempatkan harta kekayaan ke dalam sistem keuangan (proses pla•ement). Dengan demikian, seseorang yang menempatkan harta kekayaan hasil tindak pidana dalam suatu sistem keuangan, sudith dapat dikatakan telah melakukan pencucian uang. 

Ad.2) diketalxulnya atau patut diduganya merupakan has11 undak pidana sebagaimana climaksud dalam Pasal 2 ayat (1) 
9.63

Unsur kedua ini merupakan unsur subyektif. Unsur ini menyatakan 
bahwa perlakuan terhadap harta kekayaan sebagaimana dimaksucl dalam 
unsur pertama (menempatkan, mentransfer, mengulihkun, dst), harus berasal 
dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Dalam 
Pasal 2 ayat ( 1 ), ditegaskan terdapat 26 katagori tindak pidana yang bisa 
mcnjadi predicate offence pcncucian uang, yaitu: 
1. korupsi; 
2. penyuapan; 
3. narkotika; 
4. psikotropika; 
5. penyelundupan tenaga kerja; 
6, penyelundupan migrant 
7. di bidang perbankan; 
8. di bidang pasar modal; 
9. di bidang perasuransian; 
10. kepabeanan; 
II. cukai; 
12. perdagangan orang; 
13. perdagangan senjata gelap; 
14. terorisme; 
15. penculikan; 
16. pencuriant 
17. penggelapan; 
18. pcnipuan; 
19. pemalsuan uang; 
20. perjudian; 
21. prostitusi; 
22. di bidang perpajakan; 
23. di bidang kehutanan; 
24. di bidang lingkungan hidup; 
25. di bidang kelautan dan perikanan; atau 
26. tindak pidana luin yung diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun 
atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik 
Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan 
tindak pidana tersebut juga merupakan tinduk pidunu menurut hukum 

Indonesia. 
9.64

Dalam menentukan asal usul/sumber dari harta kekayaannya, menurut ketcntuan Pasal 3, tidak harus bahwa scscorang mcngclahui secara pasti/secara persis bahwa asal usul harta kekayaan iersebut berasal dari tindak pidana. Cukup seseorang memiliki dugaan/memperkirakan bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari sumber yang tidak wajar (d)rty money). Dengan dcmikian, unsur kcsalahannya mcnganclung kcscngajaan (dolus) dan kcalpaan (eulpa), schingga Pasal 3 mcrupakan dclik pro parte dolu• pro parte culpa (delik yang memuat unsur kesengajaan dan kealpaan sekallgus). l'erumusan unsur kesalahan berupa kesengctjaan dan kealpaan sekaligus (pro parte dolus pro parte culpa), bukan mcrupakan ketcntuan baru. KUI.IP dalam beberapa pasal juga mengatur ketentuan demikian, sebagaimana diatur dalam Pasal 283 ayat (1), 287 ayat (1), 288 ayat (1), 290 ke 2 dan 3, 292, 295 ayat (1) ke 2, 393 ayat (I), 393 bis ayat (1), 480 (pcnadahan). 

Terkait dengan perumusan kesalahan berupa pro parte dolus pro parte culpa dalam Pasal 3, perlu ditegaskan bahwa unsur patut diduga (unsur kealpaan). Unsur patut diduga ini pada prinsipnya ditujukan kepuda orang lain yang mencrima harta kckayaan yang scharusnya patut diduga berasal dari sumber yang ilcgal.

Bagaimana menentukan kualitas "patut diduga bahwa harta tersebut ilcgal"? Tiduk lain, hal ini bisa dilakukan dcngan mcncocokkan tcntang latar belakang dari orang yang membcri harta kekayaan. Semisal, ada seorang kerabat yang menerima sejumlah uang. Jumlah uang tersebut tidak sesuai dengan latar belakang pekerjaan dari pemberi uang yang bekerja sebagai scorang PNS dcngan golongan Illb. Apabila orang tcrscbut kcmudian menempatkan uang pemberian dari kerabatnya ke dalam sistem keuangan maka dia dapat dikenakan ketentuan Pasal 3. Di sini, kerabat tidak mcngctahui pasti dari mana asal usul uang yang diberikan. Namun apabila melihat laiar belakang si pemberi, seharusnya patut diduga bahwa apa yang diberikan, memiliki indikasi berasal dari sumber yang tidak halal. Di kemudian hari, si pemberi ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi, maka di sini kcrabat yang mencrima scjumlah uang dapat dijerat dengan TPPU, dengan unsur kesalahan berupa "patut diduga".

Ad.3) deugan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kokayaan 

Sama dengan unsur kedua, unsur ketiga merupakan unsur subyektif (batiniah). Untuk menentukan ada tidaknya unsur ketiga ini, tidkc dapat dilepaskan dari unsur pertama dan kedua. Dengan kata lain, unsur ketiga ini tidak dapat berdiri sendiri. Di sini harus diperhatikan skema pencucian uang yang dilakukan. Semisal ada seseorang yang mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana narkotika kepada para kerabatnya. Transfer uang tersebut jelas berasal dari sumber yang tidak halal (dari tindak pidana), maka unsur ketiga ini dianggap terpenuhi (Ganarsih, 2016: 46).

Maksud dari menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan di sini tidak berarti bahwa dana tersebut tidak tampak. Namun harta kekayaan tersebut sudah berubah ke dalam bentuk lain, semisal reksa dana, mobil, properti, dan barang investasi lainnya.

BerdasarIcan ketentuan Pasal 3 di atas, salah satu unsur delik (bestandeel) dalam pencucian uang yaitu adanya maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari aparat penegak hulcum. Unsur ini adalah unsur subyektif/unsur batiniah yang menjadi dasar bagi pelaku dalam menjalankan kejahatannya.