HUKUM PIDANA INTERNASIONAL


DAFTAR ISI

MODUL 1 : RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
MODUL 2 : HAKIKAT DASAR MENGIKAT HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
MODUL 3 : KEJAHATAN INTERNASIONAL (INTERNATIONAL CRIME)
MODUL 4 : SUMBER DAN SUBYEK HUKUM PIDANA INTERNATIONAL
MODUL 5 : EKSISTENSI HYBRID TRIBUNAL DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
MODUL 6 : YURISDIKSI KRIMINAL 
MODUL 7 : KERJA SAMA INTERNASIONAL DALAM KERANGKA HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
MODUL 8 : INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DAN PENGADILAN HAM INDONESIA 
MODUL 9 : PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO



MODUL 1 
RUANG LINGKUP HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
KB 1 : ISTILAH HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Secara Gramatikal dapat dikemukakan bahwa Hukum Pidana Internasional bersumber dari dua bidang hukum yang berbeda satu dengan lainnya, yaitu disatu pihak dikenal sebagai Bidang hukum Internasional yang mengatur mengenai masalah-masalah yang terkait dengan persoalan pidana dan di pihak lainnya dikenal sebagai bidang dalam Hukum Pidana Nasional yang mengandung dimensi-dimensi Internasional.
Asas-asas hukumnya bersumber dari asas-asas hukum dari kedua bidang hukum yang berbeda dari segala hal anatara satu dengan lainnya. Antara hukum pidana dan hukum Pidana Internasional tersebut sebenarnya bersifat saling melengkapi (Komplementer) antara satu dengan lainnya. sekalipun diantara keduanya dapat dibedakan satu dengan lainnya.
Keberadaan dari Hukum Pidana Internasional telah mampu mengatasi berbagai macam kelemahan-kelemahan dari Hukum Pidana yang merupakan Hukum Positif dari suatu negara yang merdeka dan berdaulat yang secara khusus dirancang untuk menghadapi berbagai macam kejahatan-kejahatan yang bersifat lintas batas wilayah teritorial satu negara dengan negara lainnya atau bahkan Internasional yang telah berkembang secara pesat dan marak.

Penggunaan Istilah Hukum Pidana Internasional mulanya diperkenalkan oleh para ahli Hukum Internasional yang berasal dari Eropa Daratan; Friederich Meili (Swiss) 1910, George Schwarzenberger (Jerman) 1950, Gerhard Mueller (Jerman) 1965, J.P. Francois (Prancis) 1967, Rolling (Belanda) 1979, dan Van Bemmelen (Belanda) 1979.
Kemudian diikuti ahli dari Negara Amerika Serikat dipelopori Edmund Wise (1065) dan Cherif Bassiouni (1986),
Hukum Pidana Internasional merupakan salah satu cabang dari Ilmu Hukum, pengembangannya tidak terlepas dari buku Karya Gerhard O.W. Mueller dan Edmond M. Wise yang berjudul Interntional Criminal Law, yang kemudian dilanjutkan Bassiouni dan V. Nada (1986) dengan buku A Treatise on International Criminal Law. (Romli Atmasasmita).

I Wayan Parthiana; menguraikan apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Internasional dan Kejahatan Internasional, Hukum Pidana  Transnasional, dan Kejahatan Transnasional, serta Hukum Pidana Nasional yang berdimensi Internasional dan Kejahatan Nasional yang berdimensi Internasional.

Kaidah-kaidah dan Asas-asas hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan Internasional dapat diketemukan dalam berbagai macam bentuk perjanjian Internasional baik bilateral maupun multilateral yang substansi materinya secara langsung maupun tidak langsung mengatur tentang Kejahatan Internasional, diantaranya adalah :
Konvensi tentang Genosida 1948, Konvensi tentang kejahatan penerbangan Internasional, Konvensi Tokyo (1963), Konvensi Den Haag (1970), Konvensi Montreal (1971), Konvensi tentang Apartheid (1973), Konvensi Palermo (2000) tentang Transnational Organized Crimes (TOC); Perjanjian Ekstradisi.
Istilah Kejahatan Internasional dimaksudkan sebagai upaya untuk menunjukkan adanya suatu peristiwa kejahatan yang sifatnya Internasional, atau lintas negara, atau menyangkut kepentingan dari dua atau lebih negara.
Contoh Kejahatan Internasional ; Salvery, Piracy, Terorisme, Pelanggaran HAM berat, Cyber Crime.
Hukum Pidana Transnasional ; adanya sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan yang bersifat transnasional atau lintas batas wilayah negara merdeka dan berdaulat satu dengan lainnya; Hukum suatu negara yang merdeka dan berdaulat tidak semata-mata berlaku didalam batas-batas wilayaj suatu negara, akan tetapi lintas batas-batas wilayah dua atau lebih negara.
Dengan adanya kejahatan transnasional maka hukum pidana masing-masing negara itu dapat diterapkan terhadap kejahatan tersebut; Hukum Pidana Transnasional lebih menekankan pada berlakunya Hukum Pidana Nasional suatu negara keluar batas-batas wilayah negara yang bersangkutan dan sampai pada tahap tertentu Hukum Pidana Nasional negara tersebut akan berhadapan dengan Hukum Pidana Nasional negara lain.
Jika diperbandingkan antara Hukum Pidana Internasional dengan HP Transnasional, perbedaannya HP Internasionap lebih menekankan pada aspek internasional yang berdiri sendiri, sedangkan HP Transnasional lebih menekankan aspek nasional atau domestik yang keluar batas wilayah suatu negara yang merdeka dan berdaulat.
I Wayan Parthiana; Istilah kejahatan transnasional dimaksudkan untuk menunjukan adanya kejahatan yang sebenarnya nasional yang mengandung aspek transnasional atau lintas batas negara satu dengan lainnya. Terjadinya suatu kejahatan itu sendiri sebenarnya didalam batas wilayah nasional suatu negara akan tetapi dalam beberapa hal terkait dengan kepentingan negara-negara merdeka dan berdaulat lainnya sehingga tampak adanya dua atau lebih negara yang berekpentingan atau terkait dengan kejahatan tersebut.
Dalam hal ini kejahatan yang terjadi bisa saja didalam satu wilayah nasional suatu  negara, akan tetaqpi berdampak juga terkait dengan kepentingan dua atau lebih negara merdeka dan berdaulat lainnya. Sehingga sifat dari kejahatan tersebut masuk kategori kejahatan transnasional.

HP Nasional yang berdimensi internasional dimaksudkan untuk menunjukan pada pengertian adanya sekumpulan kaidah-kaidah atau asas-asas HP Nasional yang mengandung dimensi-dimensi internasional.
Yang dimaksud dengan Kejahatan Nasional yang berdimensi Internasional juga merujuk kepada adanya kejahatan nasional yang mengandung dimensi internasional.
Suatu Kejahatan Nasional telah mengandung dimensi internasional adalah dengan memperhatikan hal berikut :

  1. Dimensi Internasional dari HP Nasioanal, bisa saja pada HP Nasional diberlakukan ke luar batas wilayah negara bersangkutan, misalnya pemberlakuan HP Nasional terhadap kejahatan yang terjadi didalam wilayah negara tetapi menimbulkan korban yang berada diluar wilayah negara, seperti korban-korban di laut lepas.
  2. Dimensi Internasional dari kejahatannya adalah kejahatan dengan segala akibatnya itu tidak terjadi semata-mata di dalam batas wilayah negara yang bersangkutan, tetapi juga di wilayah negara lain sehingga tersangkut kepentingan atau Hukum Nasional negara atau negara-negara lainnya. Suatu kejahatan yang dilakukan di suatu negara ternyata dapat pula menimbulkan korban diberbagai negara, dalam hal ini dapat dikemukakan suatu kejahatan pemalsuan mata uang yang dilakukan di suatu wilayah negara dan kemudian di edarkan di negara-negara yang mata uangnya di palsukan.
  3. Bahkan dimensi internasionalnya itu bisa terjadi pada subyek hukumnya, baik subyek hukum sebagai pelakunya maupun sebagai korban dari kejahatan tersebut. Misalnya beberapa orang di wilayah negara berbeda bekerja sama melakukan kejahatan yang menimbulkan korban juga di berbagai negara, maka dalam hal ini tersangkut kepentingan lebih satu negara dengan Hukum Nasionalnya masing-masing.
  4. Kombinasi dari pertama, kedua, dan ketiga yang mana dalam kenyataan hidup sehari-hari dapat dijumpai berbagai jenis kejahatan yang boleh jadi penampakan semua aspek.
Tidak mudah untuk membedakan antara satu dengan lainnya karena dalam suatu kejahatan yang digolongkan sebagai kejahatan Internasional, sekaligus juga mengandung aspek transnasional maupun dimensi-dimensi internasional lainnya.
Penggunaan masing-masing istilah hanya menunjukan perbedaan pada sudut pandang dan penekanannya saja dari yang menggunakannya. Apakah kejahatan  di pandang dari sudut pandang internasional, transnasional, atau pidana nasional dengan dimensi internasionalnya.
Dari istilah yang beragam tersebut sebenarnya semuanya menunjuk pada objek yang sama yaitu menyangkut suatu kejahatan yang menjadi musuh bersama umat manusia (Hostis Humanis Generis).

Di Indonesia HP Internasional adalah bidang ilmu hukum yang baru. Istilah yang sering dipergunakan sebagai padanan istilah HP Internasional (paling banyak digunakan); International Criminal Law, International Penal Law, Internationale Strafprocessrecht, HP Nasional yang berdimensi Internasional, Hukum Pidana  Transnasional.

Secara Teoritis Praktis penggunaan istilah HP Internasional tidak dapat disamakan dengan istilah Hukum Internasional Pidana karena seakan-akan di dunia ini terdapat :
1. Adanya KUHP dunia
2. Adanya Hakim, Jaska dan Pengacara dunia
3. Adanya Hukum dunia
4. Adanya pertanggungjawaban pidana terhadap negara
5. Hukum Internasional yang berlaku sekarang adalah bersifat sub ordinatif.
Kelima unsur tersebut tidak mungkin diketemukan secara nyata, dikarenakan masing-masing negara mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat satu dengan yang lainnya sebagai negara merdeka dan berdaulat.

Berlakunya Hukum Internasional itu sendiri adalah bersifat koordinatif, bahwa Hukum Internasional berlaku untuk menyelaraskan kepentingan masing-masing negara yang sederajat satu dengan yang lainnya, sehingga tidak ada satupun negara merasa superior dan menganggap negara lain paling rendah atau inferior sehingga bisa di dikte dan di intervensi kekuasaan maupun kedaulatannya.
HPI merupakan bagian dari HI sebagai suatu tertib hukum yang bersifat koordinatif, oleh karenanya maka HPI mempunyai sifat koordinarif, dalam arti menghormati batas-batas wilayah yurisdiksi kriminal dari suatu negara yang merdeka dan berdaulat satu dengan negara yang merdeka dan berdaulat yang lainnya.

Pemakaian istilah HPI dipandang paling sesuai dengan realitas saat ini, didasarkan pada pemikiran sebagai berikut :
  1. Penggunaan kata atau istilah Internasional mengandung makna bahwa kejahatan yang dijadikan objek dalam pembahsannya, akan mencakup semua perbuatan yang secara internasional dilarang dan semua kejahatan yang dimaksudkan mempunyai aspek yang bersifat lintas batas terhadap wilayah negara merdeka dan berdaulat satu dengan lainnya.
  2. Lazimnya perbuatan yang diindikasikan bentuk kejahatan internasional atau transnasional atau lintas batas wilayah antar negara telah di akomodir dalam rumusan instrumen Hukum Internasional tertulis (Agreement, convention, maupun statute). misalnya Konvensi Palermo (2000) tentang Transnasional Organized Crimes, London Agreement (1945) dasar hukum pendirian International Military Tribunal Nuremberg (IMTN) dan International Military Tribunal Tokyo (IMTT), Statute Roma (1998) tentang International Criminal  Court (ICC). Beberapa instrumen ini telah berhasil mengkriminalisasikan kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup yurisdiksinya, suatu kejahatan yang bersifat transnasional maupun internasional yang dinyatakan pula sebagai suatu kejahatan yang menjadi musuh bersama umat manusia (Hostis Humanis Generis).
  3. Tidak ada KUHP dunia, Jaksa Dunia, Hakim Dunia, Polisi Dunia, dan peradilan dunia yang dapat dipergunakan sebagai sarana menghukum dan mengadili pelaku kejahatab internasional/transnasional. Penangkapan Anotio Noriega Presiden Panama yang dianggap gembong narkoba internasional oleh Amerika tidak dapat disebut sedang menjalankan tugas Polisi dunia. Sama halnya dengan ICC  tidak dapat diartikan bentuk peradilan dunia dengan keberadaan jaksa dan hakim didalamnya karena keberlakuannya memerlukan ratifikasi dari suatu negara, sedangkan dalam Hukum Dunia jika ada tentunya tidak perlu ratifikasi yang lazimnya berlaku dalam HI.
  4. Penegakkan hukumnya didasarkan kepada pengadilan nasional dan terhadap kejahatan tertentu dapat diadili secara internasional. Dalam praktek-praktek negara yang terakomodasi dalam hukum internasional, menunjukan bahwa penegakan hukum atas pelaku kejahatan internasional telah dilakukan antara lain oleh peradilan di IMTN, IMTT, International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR), Internal Criminal Tribunal former Yugoslavia (ICRT), dan Hybrid Tribunal atau peradilan campuran sebagaimana dilaksanakan di negara Sierra Leone, Kamboja, dan Timor Leste. Sedangakan penegakkan yang dilakukan via peradilan nasional terlihat dalam peradilan pelaku pelanggaran berat HAM di Indonesia yang dilaksanakan berdasar UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM dan Peradilan pelaku Terorisme berdasarkan UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Individu merupakan subjek Hukum Internasional yang dapat diadili secara Internasional atau di tuntut pertanggungjawaban pidana secara individual dihadapan Mahkamah atau Peradilan Internasional, menjadi entry point diakuinya para individu pelaku kejahatan internasional sebagai salah satu Subjek HI selain negara, Organisasi Internasional, International Committee of The Red Cross (ICRC), Tahta suci Vatikan, Belligerency.
Nilai dasar hukum yang didapat dari pelaksanaan peradilan international terhadap individu yang melakukan kejahatan international yaitu bahwa para individu pelaku kejahatan tidak dapat berlindung dibalik kebijakan nasional negaranya sebagai pejabat negara untuk menikmati adanya kekebalan hukum atas kejahatan yang bersifat transnasional maupun internasional.

Berlakunya Hukum Pidana Internasional berbeda dengan Hukum Perdata Internasional; Hukum Perdata internasional dapat diperjanjikan dahulu Hukum Perdata negara manakah yang dapat dipilih menyelesaikan kasus antar negara.
Hukum Pidana Internasional tidak dapat dipilih Hukum Pidana Nasional manakah untuk mengadili secara khusus WNA pelaku kejahatan transnasional/internasional yang melakukan tindak pidana di wilayah suatu negara yang berdampak luas hingga ke berbagai wilayah negara merdeka dan berdaulat lainnya.
Misalnya dalam penerapan UU 15/2003 tentang Pemberantasn Tindak Pidana Terorisme, tidak dapat diperjanjikan antar negara terkait dengan pengadilan negara mana yang akan mengadili pelaku kejahatan internsional/transnasional maupun kejahatan lintas batas negara. Termasuk juga pilihan negara mana yang akan dijadikan tempat narapidana menjalankan hukumannya.

Pemakaian kata internsional dalam HPI hakekatnya menunjukkan bahwa kejahatan yang dibahas merupakan suatu bentuk kejahatan yang bersumber dari ketentuan Hukum Internasional ataupun perbuatan yang dikategorikan sebagai bentuk kejahatan menurut HI namun pengadilannya dapat dilakukan secara nasional maupun internsional. HPI memuat sekumpulan kaidah-kaidah atau asas-asas Hukum Pidana secara khusus mengatur tentang Kejahatan bersifat transnasional/internasional.

Kejahatan Transnasional merupakan bentuk-bentuk kejahatan nasional yang mengandung aspek transnasional (lintas wilayah negara), dan bahkan ada yang bersifat internasional. Kejahatan yang sebenarnya dalam batas wilayah nasional suatu negara, akan tetapi dalam beberapa hal hal tekait dengan kepentingan hukum atau yurisdiksi kriminal berbagai negara lain sehingga nampak dua atau lebih negara berkepentingan atau terkait dengan kejahatan itu.
Misalnya terkait dengan Tindak Pidana Terorisme, hijacking, korupsi, yang mana pelaku (offender) maupun aset hasil kejahatannya berada di negara lain.

Nike K Rumokoy; Empat Fungsi Utama dari Hukum Pidana Internasional.
1. Agar Hukum Nasional pada umumnya dan Hukum Pidana Nasional pada khususnya masing-masing negara dipandang dari sudut pandang HPI  sederajat satu dengan yang lain.
2. Agar tidak ada Intervensi antar negara yang merdeka dan berdaulat (Penjabaran asas nonintervensi).
3. Berfungsi sebagai sarana untuk pemberian solusi bagi negara-negara yang terlibat konflik internasional untuk menjadikan Mahkamah Peradilan Internasional sebagai jalan keluar.
4. Berfungsi untuk dijadika landasan agar penegakan HAM internasional relatif menjadi lebih baik.

Tindak pidana korupsi disamping money loundring, hijacking, piracy, dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) tahun 2003, sebagai salah satu Konvensi PBB tentang Tindakan Anti Koupsi menyebutkan Bahwa Koupsi sudah meupakan ancaman serius terhadap stabilitas, keamanan masyarakat nasional dan internasional, telah melemahkan institusi, nilai-nilai demokrasi dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan maupun penegakan hukum.
Sebelumnya dalam Kongres PBB Ke-8 mengenai Prevention of Crime and Treatment of offenders mengesahkan Resolusi Coruption in Goverment (Havana 1990) merumuskan akibat korupsi berupa : Korupsi pejabat publik (corrupt activities of public official) dapat menghancurkan evektifitas potensial dari semua jenis program pemerintah (can destroy the potential effectiveeness of all types of govermental programmes), dapat menghambat pembangunan (hinder development), dan dapat menimbulkan korban individual kelompok masyarakat (victimize individuals and groups).
Tindak pidana korupsi di Indonesia bukan lagi merupakan kejahatan biasa (ordinary crimes) melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes).

Dalam penjelasan UU 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi :" ......... meningkatnya tindak pidnaa korupsi yang ...... "
Pemberantasan Korupsi oleh Lembaga yang berkewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan dalam upaya pemberantasannya secara optimal, efektif, propesional serta menjalin kerja sama internasional antar negara dan berbagai Subjek HI lainnya maupun antar lembaga Kepolisian antar negara (Interpol).

Fungsi Hukum Pidana Internasional menjadi penting bagi kejahatan bersifat transnasional yang dalam praktiknya dengan penandatanganan perjanjian internasional baik bilateral maupun multilateral. perjanjian ekstradisi adalah bentuk bilateral, dengan perjanjian ini berdampak terhadap fungsi HPI yaitu tidak adanya intervensi hukum antar negara karena sebelumnya telah melakukan perjanjian secara bilateral.

KB2 : PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP  HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Munculnya kejahatan jenis baru yang ternyata tidak mampu dijangkau oleh HP Nasional negara-negara di dunia, hal ini menjadikan muncul dan berkembangnya cabang ilmu hukum baru dikenal dengan HPI. Kejahatan Internasional merupakan pokok dari Hukum Pidana Internasional.

Pendefinisian HPI walaupun sukar tetapi menjadi sesuatu yang bersifat wajib, berlaku adagium bahwa adanya suatu definisi dari objek yang akam di pelajari betapapun tidak sempurna masih lebih baik daripada tidak ada definisi sama sekali.

Antonio Cassese; bukunya International Criminal Law; HPI adalah sebagai suatu bagian dari aturan-aturan internasional mengenai larangan-larangan kejahatan internasional dan kewajiban negara untuk melakukan tindakan penuntutan dan penghukuman terhadap para pelaku kejahatan yang telah melakukan yang tergolong kejahatan internasional.
Remmelink; HPI diartikan sebagai Hukum Pidana yang berkelakuan mendasarkan pada Hukum antar bangsa tidak bisa mengesampingkan prinsip-prinsip Internasional dan kebiasaan-kebiasaan Internasional.
Otto Triffterer; HPI termasuk sejumlah ketentuan internasional yang menetapkan suatu perbuatan merupakan kejahatan menurut Hukum Internasional; bagian dari hukum bangsa-bangsa; dikatakan the bridging science yang menghubungkan dua kepentingan yaitu Kepentingan Hukum Internasional (International Law Interest) dan Kepentingan Hukum Nasional (National Law Interest) dalam menghadapi objek yang sama yaitu ancaman kejahatan internasional/transnasional, kedua kepentingan adalah pasangan harmonis dalam praktik penegakan HPI.

Hukum Pidana Internasional didefinisikan ; sebagai seperangkat aturan yang menyangkut kejahatan-kejahatan Internasional yang penegakannya dilakukan oleh negara atas kerja sama Internasional atau oleh masyarakat internasional melalui suatu lembaga internasional baik yang bersifat permanen atau sementara atau ad hoc.

Hukum Pidana Internasional ; adalah sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum mengatur tentang kejahatan internasional yang dilakukan oleh subjek-subjek hukumnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

I Wayan Parthiana (Pengantar Hukum Pidana Internasional); 2 Macam Pengertian HPI :
Pertama; Sebagai sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur tentang kejahatan Internasional; mengandung dua hal pokok yaitu terkait dengan HPI sebagai kaidah / asas hukum dan terkait objek yang diatur didalamnya tentang kejahatan atau tindak pidana Internasional.
Kedua; Sekumpulan kaidah/asas hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional yang dilakukan oleh subjek-subjek hukumnya, untuk mencapai suatu tujnuan tertentu.

Pengertian HPI mengandung empat unsur pokok :
1. HPI merupakan sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang berlaku
2. Hal atau Objek yang diatur; Berupa kejahatan atau tindak pidana yang bersifat Internasional
3. Subjek-Subjek Hukumnya, yaitu; Pelaku-pelaku yang melakukan kejahatan atau tindak pidana internasional yang dapat diadili baik dalam kerangka peradilan internasional maupun nasional suatu negara.
4. Tujuan yang hendak dicapai atau diwujudkan HPI tidak lain adalah kerja sama internasional dalam kerangka mencegah dan memberantas tumbuh dan berkembangnya kejahatan internasional dengan mengadili pelaku kejahatan sesuai asas aut punere aut dedere.

Untuk dapat memahami dengan baik HPI maka seseorang harus memiliki penguasaan yang memadai tentang Hukum Internasional pada umumnya dan Hukum Perjanjian Internasional pada khususnya.

Berdasarkan pengertian HPI, maka dalam arti luas akan meliputi tiga (3) Hal berikut :
1. Kekuasaan mengadili dari Pengadilan Negara tertentu terhadap kasus-kasus yang melibatkan unsur asing.
2. Prinsip-prinsip dari Hukum Internasional yang telah menetapkasn suatu kewajiban Internasional kepada negara-negara dalam Hukum Pidana atau Hukum Acara Pidana Nasional negara yang bersangkutan.
3. Mengandung arti sesungguhnya dan keutuhan pengertian HPI termasuk instrumen penegak hukumnya; Tercakup pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court).

Rolling; Romli Atmasasmita; Hukum Pidana dibagi :
(1) Hukum Pidana Nasional (National Criminal Law); the criminal law which ......... source of law (Hukum Pidana yang berkembang di dalam kerangka orde peraturan perundang-undangan nasional dan dilandaskan pada sumber hukum nasional).
(2) Hukum Pidana Internasional (International Criminal Law); the law which ..... an international (Hukum yang menentukan Hukum Pidana Nasional yang akan diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan yang nyata-nyata telah dilakukan bilamana terdapat unsur-unsur internasional didalamnya)
(3) Hukum Pidana Supranasional (Suprtanational Criminal Law); the criminal law of  the greater ...... greater community (Hukum Pidana yang merupakan kumpulan dari masyarakat yang lebih luas atau besar terdiri atas negara dan rakyat, berarti standar Hukum Pidana yang telah berkembang di dalam kumpulan masyarakat tersebut)

Hukum Pidana dapat dikatakan sebagai Hukum Pidana Internasional kalau Hukum Pidana Nasional tersebut digunakan atau diterapkan untuk memidana terhadap kejahatan yang terdapat unsur-unsur internasional didalamnya.
Contohnya penggunaan UU 15/2003 untuk mengadili pelaku kejahatan terorisme (Kejahatan Internasional), Juga terhadap Kejahatan Money Loundering, Narkotika, Pembajakan Pesawat Udara (Hijacking) dan Pembajakan di Laut Lepas (Piracy), Semua Kejahatan ini diatur dalam Konvensi Internasional.
HPI merupakan HP Nasional suatui negara yang digunakan mengadili dan menghukum para pelaku kejahatan yang bersumber pada ketentuan Hukum Internasional, baik dalam Perjanjian Internasional, Hukum Kebiasaan Internasional, Perinsip Hukum Umum maupun Yurisprudensi, dan Doktrin para Sarajana Terkemuka.

Hukum Pidana Supranasional diartikan sebagai kumpulan Hukum Pidana dari berbagai negara; Standar hukum pidana yang berkembang dalam masyarakat internasional; Pembedaan HPI dan HP Supranasional terletak pada institusi penegak hukum yang mempeunyai eksistensi sebagai lembaga supransional; Jaksa, Hakim, dan Pengadilan (Supra Institution).

HP Supranasional adalah keberadaan International Criminal Court (ICC) sebagai lembaga peradilan pidana internasional permanen.
Yang dimaksud dengan Kumpulan Hukum Pidana dari berbagai negara Statuta Roma 1998 sebagai Anggaran Dasar Pendirian ICC yang memuat jenis-jenis most serius crime berupa Kejahatan Agressi, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genocide, dan kejahatan perang. Juga mencantumkan sanksi pidana secara internasional terhadap kejahatan tersebut berupa pidana penjara masksimal 30 tahun (Pasal 77 Statuta Roma 1998).

HP Supranasional atau ICC tidak dapat disamakan dengan Pengadilan Dunia, Karena Statuta Roma tidak dapat disamakan dengan KUHP Dunia. Mengingat Yurisdiksi ICC hanya berlaku untuk 4 most serius crime dan hanya pada negara yang telah meratifikasi Statuta Roma 1998. sementara KUHP (Dunia) sebagai Kodifikasi Hukum Pidana yang memuat berbagai delik atau tindak pidana dunia, dan mengikat seluruh negara di dunia.





















Terdapat perbedaan pemakaian istilah antara HPI dan HP Supranasional, tetapi dalam praktek peradilannya tetap digunakan istilah Mahkamah Pidana Internasional (ICC), bukan Mahkamah Pidana Supranasional.
Kata Internasional dalam istilah HPI mencakup segala kejahatan beraspek internasional, tetapi secara khusus Kejahatan Internasional yang dapat diadili secara international; war crime, crime against humanity, dan genocide; Biasanya dilakukan dalam konteks kekuasaan pemerintahan atau di fasilitasi oleh pemerintah.
















Dalam Kenyataannya di dunia ini tidak ada Hukum Pidana Dunia, mengingat masing-masing negara mempunyai kedudukan yang sejajar satu dengan lainnya.

George Schwanzenberger; Romli Atmasasmita; 6 Ciri mengenai Hukum Pidana Internasional :
1. HPI dalam arti lingkup teritorial HP Nasional (International Criminal Law in thr meaning of the teritorial scope of municipal criminal law);
Dalam hal terjadi kejahatan yang bersifat internasional ataupun transnasional, maka kewenangan untuk melaksanakan penangkapan, penahanan, dan peradilan atas pelaku kejahatannya akan diserahkan sepenuhnya kepada yurisdiksi kriminal negara yang berkepentingan dalam batas-batas wilayah teritorial negara tersebut.
Contohnya penerapan UU 15/2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme didalam Wilayah negara Indonesia, dan Penerapan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM untuk mengadili Pelanggaran HAM Berat (gross violation of Human Rights)
2. HPI dalam arti Aspek hukum Internasional yang ditetapkan sebagai ketentuan dalam HP Nasional (International Criminal Law in the meaning of internationally prescribed municipal Law); 
Dalam hal terjadi tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai suatu kejahatan internasional, dimana suatu negara yang terikat pada ketentuan hukum internasional berkewajiban sesuai dengan Perjanjian Internasional maupun Hukum Kebiasaan Internasional untuk menerapkan sanksi-sanksi pidana atas para pelaku kejahatan tersebut sebagaimana ditetapkan dalam HP Nasionalnya.
Setiap negara mempunyai kewajiban untuk mengkriminalisasikan kejahatan internasional dalam hukum nasionalnya, secara yuridis kewajiban ini dicantumkan dalam Konvensi internasional tentang Kejahatan Internasional. Contohnya Pasal 6 Konvensi Palermo Tahun 2000 yang mengatur tentang Tranational Organized Crime, menegaskan bahwa : ...... each state ........... is the proceeds of crime"
3. HPI dalam arti Kewenangan Internasional yang terdapat dalam HP Nasional (International Criminal Law in the meaning of internationally authorised municipal criminal Law);
Ketentuan-Ketentuan dalam HPI telah memberikan kewenangan pada suatu negara untuk mengadili kejahatan internasional yang dilakukan dalam batas teritorial yurisdiksi riminalnya dan terhadap kejahatan internasional tertentu diluar batas yurisdiksi teritorialnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan didalam Hukum Internasional.
Contohnya Kejahatan yang dalam Hukum Kebiasaan Internasional digolongkan sebagai delict jure gentium meliputi : Kejahatan pembajakan di laut lepas, Kejahatan perbudakan dan Kejahatan Perang.
4. HPI dalam arti ketentuan HP Nasional yang diakui sebagai hukum yang patut dalam kehidupan masyarakat bangsa-bangsa yang beradab (International Criminal Law in the meaning of municipal criminal law common to civilised nations);
Hukum Pidana Nasional yang secara minimal dapat memuat ketentuan-ketentuan yang melindungi hak untuk  hidup, kemerdekaan dan hak kepemilikan dari warganya atau warga negara asing, apabila Hukum Pidana Nasional tidak memuat ketentuan-ketentuan mengenai subjek hukum tersebut diatas, maka HPN belum memenuhi standar sebagai hukum bangsa yang beradab.
HPN suatu negara dapat diakui telah memenuhi standar internasional apabila memberikan perlindungan terhadap HAM yang universal, termasuk perlindungan Hak Milik asing dan perwakilan asing.
KUHP telah memenuhi unsur tersebut karena mengatur tentang :
a. Asas Legalitas dan Asas Non-Retroaktif
b. Ada delik yang mengatur tentang perlindungan terhadap para pejabat diplomatik atau Kepala negara asing
c. Mengakui berlakunya Hukum Internasional dalam ketentuan Pasal 9 KUHP, yang intinya menyatakan bahwa berlakunya Hukum Pidana Nasional dibatasi oleh ketentuan-ketentuan Hukum Internasional.
d. Adanya delik yang mengancam pidana terhadap kejahatan Internasional yaitu delik penerbangan (Pasal 479 s/d 479r KUHP).
5. HPI dalam arti Kerja Sama Internasional dalam mekanisme administrasi peradilan (International Criminal Law in the meaning of international co operation in the administration of municipal criminal law);
Semua aktivitas atau kegiatan penegakan  Hukum Pidana nasional yang memerlukan kerja sama antara negara, baik yang bersifat bilateral maupun multilateral.
Bentuk Kerja sama dalam praktek Hukum Internasional adalah Perjanjian Ekstradisi. Pengaturan tentang ekstradisi diatur dalam UU 1/1979.
Kendala-kendala yang melingkupi pelaksanaan perjanjian ekstradisi, antara lain meliputi kendala yang bersifat Yudisial dan bersifat prosedural. 
Kendala yang bersifat Yudisial menyangkut proses penetapan oleh pengadilan dari negara yang dimintakan ekstradisi dan memerlukan pemeriksaan bukti-bukti secara teliti sehingga memerlukan waktu yang tidak singkat serta beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara peminta ekstradisi sesuai dengan ketentuan perjanjian ekstradisi yang diakui secara internasional.
Kendala yang bersifat diplomatik sering menimbulkan sensitivitas hubungan diplomatik antara kedua negara yang terlibat dalam pelaksanaan ekstradisi tersebut.
Bentuk kerja sama antara lain diwujudkan melalui Hukum Kebiasaan Internasional melalui Mutual Legal Assistence (MLA), contohnya antara Pemerintah Amerika Serikat dengan Turki (1979), dsb. 
6. HPI  dalam arti kata Materiil (International Criminal Law in the materials sense of the world);

Objek pembahasan HPI yang ditetapkan PBB sebagai tindak pidana internasional dan merupakan pelanggaran atas delict jure gentium seperti : piracy, agresi, war crimes, genocide, money loundering, dan perdagangan gelap narkoba.

M Cherif Bassiouni; HPI adalah suatu hasil pertemuan pemikiran dua disiplin hukum yang telah muncul dan berkembang secara berbeda serta saling melengkapi dan mengisi. Kedua disiplin hukum ini adalah aspek-aspek hukum pidana dari Hukum Internasional dan aspek-aspek internasional dari Hukum Pidana.
Aspek Pidana didalam Hukum Pidana Internasional adalah aspek-aspek sitem Hukum Internasional melalui tingkah laku atau tindakan yang dilakukan oleh perorangan sebagai pribadi atau dalam kapasitas sebagai perwakilan atau kolektif yang melanggar ketentuan-ketentuan internasional dan dapat diancam dengan pidana.
Aspek Internasional didalam Hukum Pidana Internasional adalah aspek-aspek sistem Hukum Internasional dan sistem Hukum Nasional yang mengatur tentang Kerja sama Internasional terkait dengan tumbuh dan berkembangnya jenis kejahatan internasional yang melibatkan perorangan, yang melanggar HP Nasional negara-negara merdeka dan berdaulat yang berada di berbagai belahan dunia.

Pasal 3 UU 24/2000 tentang Perjanjian Internasional; Pemerintah RI mengikatkan diri pada Perjanjian Internasional melalui cara :
1. Penandatanganan
2. Pengesahan
3. Pertukaran dokumen perjanjian atau nota diplomatik
4. Cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam Perjanjian Internasional.

Dua cara mengikatkan diri dengan PI ; Terhadap perjanjian yang tidak memerlukan ratifikasi maka pengikatan dirinya cukup melalui penandatanganan, Sedangkan Perjanjian berlakunya yang memerlukan ratifikasi maka pengikatan negara dilakukan dengan ratifikasi.

Pasal 10 UU 24/2000 ; Perjanjian yang memerlukan ratifikasi Pengesahan Perjanjian Internasional dilakukan dengan UU apabila berkenaan dengan :
1. Masalah Politik, Perdamaian dan Kemanan Negara
2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara RI
3. Kedaulatan atau Hak berdaulat negara
4. HAM dan Lingkungan hidup
5. Pembentukan Kaidah hukum baru
6. Pinjaman dan atau hibah luar negeri

Implementasi konvensi internasional tentang Kejahatan internasional kedalam HP Nasional merupakan pembentukan Kaidah Hukum baru, Karena mencakup Kriminalisasi; Menjadikan suatu perbuatan yang dulunya bukan merupakan tindak pidana dijadikan sebagai Tindak Pidana.
Dalam KUHP tidak ada Kejahatan Terorisme, Kemudian Kejahatan Terorisme merupakan suatu tindak pidana, Karena diatur dalam UU 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Aspek Hukum Internasional dalam HP Nasional mencakup persoalan tenatang penetapan yurisdiksi kriminal suatu negara dan mencakup pula tentang persoalan Kerja Sama Internasional ; Interpol, Ekstradisi, Mutual Assistence in Criminal Legal Matters.

Dari keenam ciri diatas maka HPI didefinisikan :

  • Ketentuan HP Nasional yang digunakan untuk mengadili kejahatan-kejahatan internasional baik yang bersumber pada Konvensi Internasional maupun Hukum Kebiasaaan Internasional ;(Segi Hukum Nasional)
  • HPI merupakan perwujudan Hukum Internasional dalam Pengadilan Nasional, Quasi Internasional, dan Internasional yang berkaitan dengan kejahatan internasional ; (Segi Hukum Internasional)
Dari definisi yang kedua tersebut (Segi Hukum Internasional) karena pada hakekatnya bentuk perwujudan Hukum Internasional dapat dibedakan dalam 3 bentuk :
(1). Perwujudan Hukum Internasional secara Nasional ; Ketentuan-Ketentuan Hukum Internasional yang digunakan oleh Pengadilan Nasional untuk mengadili Kejahatan Internasional.
Contoh : Peradilan HAM Ad Hoc Jakarta Pusat yang mengadili : Pelanggaran HAM Berat Timor Timur Pasca Jajak Pendapat 1999; Pelanggaran HAM Berat Tanjung Priok 1984; Peradilan HAM Makasar mengadili Pelanggaran HAM Abipura Papua Nugini tahun 2000.
Dasar Hukum adalah UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM yang mengkriminalisasikan pelanggaran HAM Berat berupa Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan.
PN Den Pasar yang mengadili Amrozi dan Imam Samudera; Kasus Terorisme; Berdasarkan UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang juga merupakan implementasi dari 12 Konvensi Internasional yang mengatur Kejahatan Terorisme Internasional.
(2). Perwujudan Hukum Internasional secara Quasi Internasional atau Regional ; Pemakaian Ketentuan Hukum Internasional dalam scope wilayah regional tertentu, Karena adanya lembaga-lembaga hukum internasional regional yang disebabkan keadaan-keadaan khusus sesuai dengan kondisi wilayah regional tersebut.
Contoh : Pengaturan HAM Regional Eropa terdapat Lembaga Pengadilan HAM Eropa, demikian juga di regional Inter Amerika dan Afrika.
Keberadaan pengaturan dan Lembaga yang berkaitan dengan Pengaturan Hukum Pidana Regional tersebut memberi sumbangan perkembangan Hukum Pidana Internasional.
Seperti pengaturan dalam UN Convention Against Corupption 2003 dipengaruhi oleh berbagai Instrumen di berbagai negara yang berlaku secara regional; Instrumen tersebut antara lain : The Inter American ... (1996), The Convention on The fight ...... (1997), The Convention On Combating ... (1997), The Civil Law Convention .......... (1999), The African Union ...... Corruption (2003). Ketentuan Korupsi yang berlaku dalam wilayah regional tersebut merupakan progresive development bagi perkembangan Hukum Internasional sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu sumber Hukum Internasional.
Statuta Roma 1998 dasar pendirian Mahkamah Pidana Internasional, mengadopsi dari Statuta International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia 1993 dan Statuta International Criminal For The Rwanda 1994 bentukan DK PBB, merupakan peradilan Quasi Internasional yang secara khusus hanya berlaku di wilayah negara bekas-bekas Yugoslavia dan Rwanda.
(3). Perwujudan Hukum Internasional secara Internasional ; Ketentuan Hukum Internasional dapat dipergunakan secara Internasional untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang bersifat Internasional.
Contoh : ICC sebagai lembaga peradilan Internasional permanen yang dapat dipergunakan sebagai sarana untuk menghukum dan mengadil para pelaku pelanggaran HAM Berat, yang terdiri dari Kejahatan Perang, Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Kejhatan Genocide, dan Kejahatan Agressi, khususnya bagi negara-negara yang telah meratifikasi Statuta Roma 1998.
Objek Hukum Pidana Internasional antara lain meliputi : Kejahatan Internasional dan Transnasional, Yurisdiksi Kriminal negara, Ekstradisi, dan Interpol.
Pemahaman terhadap HPI tidak hanya Kejahatan Internasional saja sebagaimana tercantum dalam Konvensi Internasional, masih banyak hal terkait didalamnya antara lain terkait penegakan hukum (Law enforcement) dan sebagainya.
Cakupan HPI teramat luas bukan saja dalam arti lingkup teritorial HP Nasional, akan tetapi juga meliputi aspek Internasional, baik dalam arti kewenangan internasional yang terdapat dalam HP Nasional, mekanisme administrasi peradilan pidana nasional serta HPI dalam arti materiil, juga terdapat adanya hubungan yang erat antara HPI dan Kejahatan Transnasional, baik cara melakukannya (modus operandi), bentuk dan jenisnya, serta locus dan tempus delicti yang lazimnya melibatkan beberapa negara dan Sistem hukum pidana pelbagai negara.


Edward M Wise : HPI bukan merupakan pengertian yang kaku atau pasti oleh karena dalam arti yang paling luas; Pengertian dari HPI meliputi 3 (tiga) topik pokok :
1. Mengenai Kekuasaan mengadili dari pengadilan suatu negara tertentu yang merdeka dan berdaulat terhadap kasus-kasus yang melibatkan unsur-unsur asing.
Termasuk masalah-masalah yang menyangkut Yurisdiksi atas Tindak Pidana Internasional; Pengakuan terhadap putusan-putusan Pengadilan negara asing lainnya; dan bentuk-bentuk kerja sama dalam penanggulangan tindak pidana internasional tersebut.
2. Menyangkut mengenai prinsip-prinsip hukum publik internasional yang menetapkan suatu kewajiban pada negara-negara yang dituangkan dalam HP Nasional negara bersangkutan.
Meliputi Kewajiban Menghormati Hak-Hak Asasi seorang tersangka diatur dalam Ketentuan Internasional (Konvensi Internasional) tentang HAM; Menuntut dan Menjatuhi pidana terhadap beberapa Tindak Pidana Internasional sesuai ketentuan internasional, antara lain terkait Kejahatan Penerbangan Internasional (Konvensi Tokyo 1963, Konvensi Den Haag 1970, dan Konvensi Montreal 1971).
3. Terkait mengenai arti sesungguhnya dan keutuhan pengertian HPI termasuk Instrumen-instrumen yang mendukung dalam penegakan HPI tersebut.
Termasuk keharusan adanya satu Mahkamah Internasional dengan kelengkapannya; Hakim, JPU, Panitera dan lain sebagainya terkait dengan proses persidangan.

Van Bemmelen ; HPI didefinisikan : ...... bahwa didalam HP Nasional sebenarnya juga telah diatur batas berlakunya di dunia internasional; Pengaturan tersebut dinamakan dengan HPI, yang dapat diatur baik dengan UU ataupun dengan suatu perjanjian baik bilateral maupun multilateral.
HPI diartikan sebagai Ketentuan-Ketentuan didalam HP Nasional yang mengatur tentang batas berlakunya HPI.
Perbedaan antara HP Supranasional dan HPI terletak pada eksistensi lembaga-lembaga supranasional; Polisi, Jaksa, Hakim, dan Pengadilan yang tersendiri.



KB3 : ASAS-ASAS HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Asas Hukum; adalah aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang bersifat abstrak yang akan melatarbelakangi penerapan pada suatu kasus hukum secara kongkrit.
Asas (Principle; Bahasa Inggris); dalam KBBI diartikan :
Pertama; Hukum Dasar
Kedua; Sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat
Ketiga; Dasar cita-cita
Dalam pembuatan suatu peraturan hukum (Nasional/Internasional), termasuk juga didalamnya dalam pembuatan putusan Hakim, tentunya tidak boleh bertentangan dengan asas-asas hukum yang mendasarinya.

Bellefroid; Asas Hukum; adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum.
Scholten; Asas Hukum; adalah kecendrungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum dan merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.
Hommes; Asas Hukum; bukanlah norma-norma hukum konkrit, tetapi sebagai dasar-dasar pikiran umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku.
Velden; Asas Hukum; adalah tipe putusan yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai situasi atau digunakan sebagai pedoman berprilaku.

Asas Hukum bukanlah merupakan hukum konkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkrit tersebut.

Asas Hukum merupakan asas yang melatarbelakangi dari terbentuknya suatu hukum konkrit yang akan diterapkan dalam kasus nyata.
Pengertian asas hukum mencerminkan landasan berpijak dalam penerapan hukum, sedangkan pengertian kaidah hukum mencerminkan rambu-rambu yang harus ditaati di dalam menggunakan landasan berpijak tersebut.
Penerapan kaidah hukum tanpa asas hukum akan mengakibatkan penegakan hukum tanpa landasan moralitas yang kokoh dan jauh dari tujuan mencapai kepastian hukum dan keadilan serta kemanfaatannya.

Hukum Pidana Internasional bersumber dari dua sumber; Hukum Internasional mengenai masalah-maslah pidana dan Hukum Pidana Nasional yang mengandung dimensi-dimensi Internasional.
Oleh karena itu asas-asas hukum yang terdapat didalamnya juga akan bersumber dari asas-asas hukum dari kedua bidang hukum tersebut.
Penerapan asas-asas Hukum Internasional pada umumnya tetap harus menghormati asas-asas Hukum Pidana Nasional negara-negara. Asas-asas dari Hukum Pidana Internasional yang berasal dari asas-asas kedua bidang hukum tersebut, tidak dapat dipandang secara terpisah ataupun berdiri sendiri melainkan harus dipandang sebagai satu kesatuan yang terintegrasi atau terpadu, yakni sebagai asas-asas dari Hukum Pidana Internasional.

Asas-asas Hukum  Internasional menjadi landasan bagi negara-negara didalam melakukan hubungan-hubungan Internasional, misalnya dalam membuat perjanjian-perjanjian Internasional  tidak boleh bertentangan antara satu dengan lainnya, bahkan dapat saling mengisi atau saling melengkapi yang semuanya terjalin dalam satu sistem yang terintegrasi serta tampaklah keterpaduannya.
Dalam penerapan praktik Hukum Pidana Nasionalnya masing-masing terutama dalam menghadapi suatu kejahatan atau tindak pidana internasional, negara-negara berkewajiban untuk berlandaskan pada asas-asas Hukum Internasional tersebut. Sehingga suatu negara tidak akan melanggar asas kemerdekaan, kedaulatan dan kesamaan derajat, tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang merupakan campur tangan atas masalah dalam negeri negara lain, ataupun tindakan tidak bersahabat yang lainnya, yang bertentangan dengan asas hidup berdampingan secara damai.
Asas-Asas Hukum Pidana Nasional negara-negara tersebut sidah merupakan bagian dari Hukum Kebiasaan Internasional.

Asas-asas dari Hukum Internasional yang paling utama dalam Hukum Pidana Internasional adalah asas Kemerdekaan, Kedaulatan dan Kesamaan derajat sebagai negara yang merdeka dan berdaulat; Merupakan asas yang bertujuan untuk menempatkan negara-negara di berbagai kawasan dunia tanpa memandang besar atau kecil, kuat atau lemah, maju atau tidaknya, memiliki kedaulatan dan kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya didepan Hukum Internasional.
Turunan dari asas-asas tersebut adalah : asas nonintervensi, asas saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, dan kesamaan derajat dari negara yang merdeka dan berdaulat, asas hidup berdampingan secara damai, asas penghormatan dan perlindungan atas HAM, asas bahwa suatu negara tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang mencerminkan kedaulatan di dalam wilayah negara lainnya.


Asas Nonintervensi; Suatu negara tidak boleh campur tangan atas masalah yang terjadi dalam negeri wilayah negara merdeka dan berdaulat kecuali negara tersebut menyetujuinya secara tegas.

Jika suatu negara menggunakan kekuatan bersenjata berusaha memadamkan atau mendukung pemberontakan bersenjata dalam wilayah negara lain tanpa persetujuan negara bersangkutan maka merupakan bentuk pelanggaran asas nonintervensi. Contohnya tindakan Israel mengintervensi Libanon (1984), dan Tindakan Amerika Serikat dan sekutunya menyerbu Irak (2004).

Asas Hidup berdampingan secara damai; Menekankan pada negara-negara dalam menjalankan kehidupannya, baik internal maupun eksternal supaya dilakukan dengan cara hidup bersama secara damai, saling menghargai antara satu dengan lainnya. Dalam sengketa yang timbul antara dua atau lebih negara supaya diselesaikan secara damai.
Wujud dari asas Hidup berdampingan secara damai adalah terlihat dari pengaturan masalah-masalah Internasional baik ruang lingkup global, regional maupun bilateral adalah dengan merumuskan kesepakatan-kesepakatan untuk mengatur masalah tertentu dalam Perjanjian Internasional.

Asas Penghormatan dan Perlindungan terhadap HAM; dimaksudkan untuk membebani suatu Kewajiban Internasional kepada negara-negara bahkan kepada siapapun untuk menghormati dan melindungi HAM dalam situasi dan kondisi bagaimanapun juga. Tindakan apapun oleh negara atau seseorang tidak boleh melanggar atau bertenatangan dengan HAM.
Sebuah Negara yang merdeka dan berdaulat, manakala membuat suatu peraturan perundang-undangan nasional dalam hukum pidananya, tidak boleh ada ketentuan yang bertentangan dengan HAM.

Asas-asas Hukum Pidana Internasional berpedoman kepada asas-asas Hukum Pidana Nasional dan beberapa asas lainnya yang terdapat dalam Hukum Internasional.
Asas HPI; Asas Komplementaritas, Asas Legalitas, Asas Pertanggungjawaban Individu, asas pemberlakuan hukum pidana, Asas aut dedere aut punere, dan asas aut dedere aut judicare.

Asas Komplementaritas; eksplisit dalam alinea kesepuluh Mukadimah Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar pendirian dari International Criminal Court (ICC); sebenarnya merupakan asas yang terdapat dalam HPI tersendiri yang lahir dari sejarah perkembangan pembahasan dari Draf Statuta Roma 1998 tentang ICC ketika mendiskusikan wewenangnya sebagai Permanent Internasional Criminal Court atas pelanggaran HAM berat dalam hubungannya dengan pengadilan nasional.
Konsep asas Komplementaritas telah lama ada sejak Komisi Hukum Internasional atau International Laws Commission (ILC) menyusun Draf Statuta yang menjadi dasar pendirian ICC (1954). Perdebatan hangat tentang konsep tersebut muncul ketika dibahas mekanisme implementaris dari statuta yang dimaksud dalam konteks penerapan kedalam sistem hukum nasional.

Tiga (3) makna yang terkandung dalam Asas Komplementaritas :
Pertama; asas tersebut berkaitan dengan yurisdiksi, tetapi konsep tersebut bukan norma semata-mata
Kedua; asas komplementaris bermuatan substantif, ketiga asas ini bersifat civitas maxima
Ketiga; Makna dari asas komplementaris inilah yang menyebabkan ICC menjadi suatu sistem peradilan pidana yang komprehensif dalam menuntut dan mengadili para  pelaku kejahatan Internasional  yang termasuk dalam kualifikasi gross violation of human rights, meliputi kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agesi.

Khusus untuk kejahatan agresi, hingga saat disahkannya Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar hukum pendirian ICC, belum dapat diterima sebagai suatu kejahatan internasional yang termasuk dalam yurisdiksi ICC.
Upaya memasukan asas komplementaris dalam kewenangan ICC didasarkan pada empat (4) faktor pokok yaitu :
Pertama; Faktor kepentingan yang sama (mutual interest)
Kedua; Faktor Kedaulatan Negara (national sovereignty)
Ketiga; Faktor nilai-nilai humanisme dan humanistis (humanistic-humanitarian values)
Keempat; Faktor keperluan adanya dunia yang tertib (needs of world order)

Asas Pertanggungjawaban Individu (Individual Criminal Responsibility); Dari sudut HPI berbeda dengan sudut pandang Hukum Pidana Nasional yang secara universal telah berlaku dalam lingkungan berbagai negara merdeka dan berdaulat.
Pertanggungjawaban individu tidak dapat dilepaskan dari pertanggungjawaban negara terkait dengan maraknya perkembangan Kejahatan Internasional diberbagai belahan dunia. Berdasarkan kesepakatan mengenai tanggung jawab individu sebagai representasi negara, telah terakomodasi dalam Pasal 98 Statuta Roma 1998 tentang ICC.
Asas Legalitas yang dibahas adalah Asas Legalitas yang telah diakui secara universal dalam Sistem HP Nasional yang dianut banyak negara. Ketidaksamaan penafsiran asas Legalitas yang diakui secara universal dalam praktik HPI akan diketahui dari beberapa hal bahwa asas noella poena sine lege yang terdapat pada sostem HP Nasional tidak dapat diterapkan dalam praktik Hukum Kebiasaan Internasional. Asas Legalitas didalam HPI bersifat sui generis karena harus memelihara keseimbangan, mempertahankan keadilan dan fairnes bagi tertuduh dan mempertahankan tertib dunia.

Penerapan Asas Legalitas dalam praktik HPI menggunakan standar minimum yang dikenal sebagai the rule of ejusdem genmeris.
Penerapan asas nonreaktif dalam praktik HPI dapat dikecualikan atau dikesampingkan dari penggunaan asas hukum yang lainnya secara selektif dan mendasarkan pada suatu keadilan yang bersifat substantif.
Asas pemberlakuan Hukum Pidana dalam Hubungan Internasional; seberapa jauh kewenangan suatu negara dapat menuntut dan mengadili para pelaku kejahatan yang tergolong sebagai kejahatan nasional yang berdimensi internasional, kejahatan transnasional maupun kejahatan internasional, baik didalam maupun diluar batas teritorial dari suatu negara bersangkutan.
Dalam praktik Hukum Internasional Asas-asas berlakunya hukum sering diterjemahkan dengan istilah penerapan Yurisdiksi; Adalah menunjuk secara langsung kewenangan suatu negara melaklukan penuntutan atau mengadili para pelaku dari kejahatan tertentu atau tidak menuntut dan mengadili sesuai dengan kewenangan hukum yang dimilikinya sebagai negara merdeka dan berdaulat bebas dari pengaruh dan intervensi dari negara lain.

Asas Teritorial dalam HPI sebenarnya merupakan asas hukum tertua daloam pemberlakuan UU Pidana; Sangat terkait dengan Teori Kedaulatan Negara yang dikembangkan oleh J. Bodin dan C. Beccaria saat mengembangkan Hukum Internasional sebagai cabang suatu Ilmu Pengetahuan hukum yang mandiri.
Empat keuntungan terkait penggunaan asas teritorial dalam pengembangan HPI :
1. Terkait dengan adanya asas lex locus delicty yang merupakan asas yang tepat untuk memudahkan mengumpulkan bukti-bukti yang berkaitan dengan terjadinya suatu tindak pidana
2. Terkait dengan adanya asas lex locus delicty adalah jaminan tempat dimana tertuduh dapat menggunakan haknya sesuai dengan hukum yang berlaku di negara setempat.
3. Terhadap Kejahatan Internasional, asas lex locus delicty sangat berguna bagi masyarakat suatu negara dimana kejahatan tersebut dilakukan dan telah menjadi korban kejahatan tersebut.
4. Penggunaan asas lex locus delicty telah mengukuhkan kewenangan administrasi peradilan di negara tempat terjadinya kejahatan dan negara meneguhkan kedaulatannya terhadap setiap ancaman perdamaian dan keamanan dalam batas teritorial negara yang bersangkutan dan diharapkan dapat mencegah kejahatan di masa yang akan datang.

Asas HPI yang berasal dari HP Nasional adalah Asas Legalitas (Asas Nullum delictum) dan Asas Culpabilitas, yang kemudian diturunkan ke beberapa asas hukum lainnya; Contohnya dari asas culpabilitas adalah asas tidak ada hukuman tanpa kesalahan, asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan asas nebis in idem

Asas Legalitas (nullum delictum noela poena sine lege) sebagai salah satu asas utama HP Nasional, pada hakikatnya menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana apabila atas perbuatan itu tidak atau belum diatur dalam suatu perundang-undangan pidana nasional.
Asas Legalitas dalam HP Nasional diikuti pula dengan adanya atau diakuinya suatu asas non retroaktif sebagai asas turunannya.
Asas Nonretroaktif menyatakan bahwa untuk menetapkan terlebih dahulu suatu perbuatan sebagai kejahatan atau tindakan pidana didalam hukum atau perundang-undangan pidana nasional, dan atas dasar itu barulah negara dapat menerapkannya terhadap pelaku kejahatan.
Asas Culpabilitas menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila kesalahannya sudah dapat dibuktikan berdasarkan atas suatu peraturan perundang-undangan yang didakwakan kepadanya melalui suatu proses pemeriksaan oleh badan peradilan yang memang memiliki wewenang untuk itu; sebaliknya jika kesalahannya tidak dapat dibuktikan maka harus dibebaskan dari tuntutan pidana yang diajukan kepadanya.
Asas Praduga tak bersalah (Presumption on innocent) memuat aturan bahwa seseorang yang diduga melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana wajib untuk dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan berdasarkan suatu putusan badan peradilan yang sudah memiliki kekuatan mengikat yang pasti; Setiap orang yang didakwa melakukan kejahatan harus diperlakukan layaknya manusia biasa yang tidak bersalah, dengan segala HAM yang melekat pada dirinya.
Asas nebis in idem (nonbis in idem) menegaskan bahwa seseorang yang sudah diadili dan atau dijatuhi hukuman yang sudah memiliki kekuatan mengikat  yang pasti oleh suatu badan peradilan yang berwenang atas suatu kejahatan/tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, tidak boleh diadili atau dijatuhi putusan kedua kalinya atau lebih, atas kejahatan/tindak pidana tersebut; Tidak boleh diadili dan atau dijatuhi putusan lebih dari satu kali atas perbuatan yang dilakukannya; Dasar pertimbangannya adalah para pelaku tersbut akan sangat dirugikan dan terhadapnya juga tidak diberikan jaminan adanya kepastian hukum.

Putusan suatu badan peradilan bisa berupa putusan untuk melakukan penghukuman ataupun putusan untuk pembebasan atau pelepasan terhadap seseorang yang didakwa melakukan suatu tindak pidana.

Asas-Asas HP Nasional adalah juga merupakan asas-asas dari HPI yang bersumber dari Hukum Kebiasaan Internasional; dapat dijumpai di : 
- Instrumen HI tentang HAM; Universal Declaration of Human Rights (1948); International Convenant of Economic, Social, and Cultural Rights (1966); International Convenant on Civil an Political Rights (1966)
- Instrumen HI tentang HAM yang regional; European Convention on Human Rights and Fundamental Freedom (1950); American Convention on Human Rights (1969); African Charter on Human and People's Rights (1981)

Tujuh Prinsip / asas HPI yang didalam London Agreement 1945 yang menjadi dasar pembentukan International Military Tribunal nuremberg dan International Military Tribunal Tokyo (1950) yaitu :
1. Principle I : Setiap orang yang melakukan perbuatan yang merupakan kejahatan berdasarkan HI harus bertanggungjawab dan oleh karena itu dapat dijatuhi hukuman)
2. Principle II : Suatu kenyataan bahwa Hukum Nasional atau domestik tidak memaksakan suatu hukuman terhadap suatu perbuatan yang merupakan kejahatan berdasarkan HI tidaklah membebaskan orang yang bersangkutan yang telah melakukan perbuatan tersebut dari pertanggungjawabannya berdasarkan HI
3. Principle III : Suatu kenyataan bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan kejahatan berdasarkan HI bertindak sebagai Kepala Negara atau Pejabat Pemerintah yang bertanggungjawab tidaklah membebaskan yang bersangkutan dari pertanggungjawaban berdasarkan HI.
4. Principle IV : Suatu kenyataan bahwa seseorang yang melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan perintah dari pemerintahnya atau dari kekuasaan yang lebih tinggi, tidaklah membebaskannya dari pertanggungjawaban berdasarkan HI, sepanjang masih ada pertimbangan moral yang dapat dipilihnya)
5. Principle V : Seseorang yang dituduh melakukan suatu kejahatan berdasarkan Hukum Internasional mempunyai hak atas peradilan yang fair atau tidak memihak atas fakta-fakta dan hukumamannya.
6. Principle VI : Kejahatan-Kejahatan dibawah ini yang dapat dihukum sebagai kejahatan berdasarkan HI :
(a) Kejahatan terhadap Perdamaian (Crimes againts peace):
(b) Kejahatan Perang (War Crimes)
(c) Kejahatan terhadap kemanusiaan ( Crimes againts humanity)
7. Principle VII : Keterlibatan dalam suatu perbuatan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, atau kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana ditentukan dalam Prinsip VI adalah merupakan kejahatan berdasarkan HI.





MODUL 2 
HAKIKAT DASAR MENGIKAT HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
KB 1 : SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL 
HPI mampu menggabungkan HP Nasional dan HI; Karakteristik HPI tercermin dari substansi objek pembahasannya yang memiliki kepribadiian ganda (double personality) maupan dalam hal penegakan hukumannya.

Keterkaitan dan Perkembangan HPNasional dan HI, tercermin dalam tiga peristiwa :
1. Sejarah perkembangan dari HI yang telah mampu menteapkan tindak pidana pembajakan di wilayah laut (Piracy) sebagai kejahatan yang mengancam kehidupan manusia dengan menghancurkan lalu lintas perdagangan bahan sandang dan pangan ke penjuru dunia.
2. Praktik yang berkembang dalam pengimplementasian ketentuan HI yang didalamnya memuat tentang kejahatan internasional yang termuat dalam suatu konvensi internasional.
3. Terkait dengan Persoalan HAM; Kejahatan Apartheid dan gross violation of human rights.

KB2 : HUKUM PIDANA INTERNASIONAL SEBAGAI DISIPLIN BARU ILMU HUKUM
HPI memiliki kharakteristik khas mampu membedakan dengan disiplin ilmu hukum lainnya :
1. HPI sterdiri dari sekumpulan disiplin ilmu; 2. HPI sangat lengkap; 3. HPI mempunyai fungsi deklaratif, preventif dan represif; 4. Penagakan HPI lebih diutamakan; 5. Implementasi HPI dalam praktik berada ditengah kepentingan nasional dan internaional

KB 3 : HAKIKAT DASAR MENGIKAT HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
A. BERLAKU HUKUM PIDANA INTERNASIONAL MENDASARKAN PADA HUKUM INTERNASIONAL
Kelemahan HI dan HPI; John Austin "International Law is not a Law"; 
1. Tidak adanya badan Supra Nasional diatas negara-negara;
2. Tidak adanya Badan atau Lembaga Legislatif, Eksekutif, Yudikatif termasuk kehakiman dan kepolisian
3. Dalam kasus-kasus tertentu bersifat ambigius (mendua), satu kasus diterapkan kasus lain tidak ditegakkan.

B. HAKIKAT DASR BERLAKUNYA HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
Adalah tidak lepas dari bertlakunyan HI ; didasarkan pada kenyataan antara HI dan HPI :
1. Adanya Kesamaan Sumber Hukum; 2. Unsur Kepentingan bersama; 3.Kesamaan atas asas-asas hukum; 4. Berlakunya Asas Aut Punere Aut Dedere dan Asas Pacta Sunt Servanda 

Sumber Hukum Internasional; 1. Perjanjian Internasional; 2, Hukum Kebiasaan Internasional; c. Prinsip-Prinsip Umum Hukum; d. Putusan Pengadilan Internasional.

Asas Aut Punere Aut Dedere; setiap kejahatan internasional harus diadili dimanapun si pelaku berada, apabila negara si pelaku kejahatan tidak mau mengadili maka harus di serahkan ke negara lain.
Asas Pacta Sunt Servanda; suatu negara yang merdeka dan berdaulat yang terikat pada suatu perjanjian wajib mematuhi dan mentaati perjanjian internasional yang telah disepakati atau diratifikasinya.


C. LANDASAN SOSIOLOGIS BERLAKU HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
dipengaruhi oleh adanya :
1. Keiginan dari suatu negara untuk tunduk terhadap HI; 2. Pertanggungjawaban negara atas tindakan atau kegagalan mematuhi ketentuan HI; 3. Kekuatiran negara tindakan bertentangan dengan HI menimbulkan pembalasan dari negara lain; 4. Kekuatan dan tekanan opini masyarakat.

D. RUANG LINGKUP BERLAKUNYA HUKUM PIDANA INTERNASIONAL 
Rolling; Hukum Pidana Nasional yang digunakan untuk mengadili kejahatan kejahatan Internasional
M Cherif Bassiouni; Merupakan hasil pertemuan dua disiplin hukum  (Hukum Pidana dan Hukum Internasional)

Asas Personal aktif; Bahwa Hukum Pidana Nasional suatu negara berlaku terhadap warga negaranya yang melakukan tindak pidana diluar wilayah teritorialnya.

Asas Nasional Pasif; Hukum Pidana Nasional suatu negara dapat digunakan untuk mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh warga negaranya sendiri maupun warga negara asing diluar wilayah teritorialnya yang menyerang kepentingan negaranya.


MODUL 3
KEJAHATAN INTERNASIONAL (INTERNATIONAL CRIME)
KB 1 : RUANG LINGKUP DAN PENGERTIAN KEJAHATAN INTERNASIONAL, SUMBER HUKUM KEJAHATAN INTERNASIONAL, KEJAHATAN TRANSNATIONAL, MONEY LAUNDRING KEJAHATAN TRANSNASIONAL
A. ISTILAH KEJAHATAN INTERNASIONAL
Kejahatan Internasional berbeda dengan Tindak Pidana Internasional karena Kejahatan Internasional tidak terdapat sanksi pidana didalamnya,; sanksi pidananya diserahkan sepenuhnya pada hukum nasional  dengan kriminalisasi dalam hukum nasional suatu negara.

B. SUMBER HUKUM KEJAHATAN INTERNASIONAL
1. Pada Hukum Kebiasaan Internasional;
2. Pada Konvensi Internasional; a. Tentang Kejahatan Internasional; b. Konvensi lain terkait kejahatan internasional yaitu Hukum Laut 1982, LH, Pelanggaran HAM Berat
Kejahatan Internasional Mengandung Unsur :
1. Internasional; 2. Transnasional; 3. Necessity (Kepentingan)

C. KEJAHATAN TRANSNATIONAL
Merupakan bagian dari Kejahatan Internasional yang mempunyai dampak melewati batas teritorial suatu negara.

D. MONEY LAUNDERING KEJAHATAN TRANSNASIONAL
Tahap-tahapan tindakan Pencucian Uang :
1. Placement (Penempatan); 2. Layering (Transfer); 3. Integration (Penggunaan Harta Kekayaan).

KB 2 : TERORIS SEBAGAI KEJAHATAN INTERNASIONAL
1. Pengertian Terorisme Internasional;
adalah sebagai suatu kekerasan atau ancaman kekerasan yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut di kalangan masyarakat umum, dan dengan tujuan akhir menimbulkan perubahn politik,
2. Klasifikasi Terorisme

The sociology and Phsychological of Terorism; Lima Ciri Terorisme; separatis nasional, fundamental religius, religius baru, revolusioner sosial, dan Teroris sayap kanan,
Lodewijk F Paulus; Karakteristik Terorisme; 
1. karakteristik organisasi; rekruitmen, pendanaan dan Hubungan Internasional

2. Karaketirtik pelaku; motivasi, dedikasi, disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup.

MODUL 4
SUMBER DAN SUBYEK HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
KB 1 : SUMBER HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA
A. SUMBER HUKUM INTERNASIONAL PADA UMUMNYA

Sumber Hukum; dasar berlakunya suatu ketentuan hukum, baik itu Hukum Nasional suatu negara maupun hukum internasional yang berlaku secara universal diberbagai belahan dunia; Hukum berlaku dan mengikat tanpa ada diskriminasi dalam bentuk apapun juga.
Sumber Hukum dalam arti Materiil; dipergunakan untuk menyelidiki masalah apakah yang pada hakikatnya menjadi dasar dari pada kekuatan mengikat suatu ketentuan hukum yang dalam hal ini termasuk pula didalamnya adalah Hukum Internasional.
Sumber Hukum dalam arti Formil; dimanakah kita mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum yang dapat diterapkan sebagai kaedah dalam satu persoalan yang konkret dalam suatu realita kehidupan dalam berbagai interaksi yang tak jarang dapat menimbulkan berbagai benturan hingga pertikaian yang pada titik tertentu dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional.


Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional; Sumber Hukum Internasional dipergunakan : Perjanjian-perjanjian Internasional, Hukum Kebiasaan Internasional, Prinsip-Prinsip Hukum umum Internasional, Keputusan Pengadilan dan ajaran-ajaran sarjana-sarjana yang paling terkemuka dari berbagai negara sebagai sumber tambahan bagi menetapkan kaedah-kaedah hukum.

Sumber Hukum Formiil dibagi atas dua golongan :
(1). Utama atau Primer; Perjanjian Internasional, Hukum Kebiasaan Internasional, Prinsip-Prinsip Hukum Umum.
(2). Tambahan atau Subsider; Keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran sarjana hukum yang paling terkemuka  dari berbagai negara.

Perjanjian Internasional; Bentuk perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu; Diadakan atau dilakukan oleh Subjek-Subjek Hukum Internasional yang menjadi anggota masyarakat Internasional; Yaitu antar negara dengan negara, Negara dengan organisasi Internasional, sesama organisasi internasional,
UU 24/200; Perjanjian Internasional; Perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam HI dan dibuat secara tertulis oleh Pemerintah dengan satu negara, Organisasi Internasional atau Subjek HI lainny, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada pemerintah yang bersifat publik.
Psl 2 Konvensi Wina 1969; Perjanjian Internasional; Persetujuan Internasional yang dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh HI baik dalam satu instrumen maupun lebih dengan apapun bentuk atau namanya; Yang dapat mengadakan perjanjian Internsional hanya Negara.

Perjanjian Internasional dibedakan menjadi : 
(1). Perjanjian Bilateral; yang diadakan oleh dua negara saja, bersepakat bersama untuk menjalin suatu perjanjian.
(2). Perjanjian Multilateral; 

B. HUKUM PIDANA INTERNASIONAL BERSUMBER PADA HUKUM INTERNASIONAL
KB 2 : SUBYEK HUKUM PADA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
A. SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL PADA UMUMNYA
B. SUBYEK HUKUM PIDANA INTERNASIONAL



MODUL 5
EKSISTENSI HYBRID TRIBUNAL DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
KB 1 : LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA HYBRID TRIBUNAL DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL, TUJUAN PEMBENTUKAN DAN KELEBIHAN TERBENTUKNYA HYBRID TRIBUNAL DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN INTERNASIONAL, TINJAUAN UMUM MENGENAI PELANGGARAN BERAT HAM, MEKANISME PENGADILAN UNTUK MENGADILI PELANGGARAN BERAT HAM PENGADILAN INTERNASIONAL
A. LATAR BELAKANG TERBENTUKNYA HYBRID TRIBUNAL  DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
B. TUJUAN PEMBENTUKAN DAN KELEBIHAN TERBENTUKNYA HYBRID TRIBUNAL DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN INTERNASIONAL
C. TINJAUAN UMUM MENGENAI PELANGGARAN BERAT HAM
D. MEKANISME PENGADILAN UNTUK MENGADILI PELANGGARAN BERAT HAM PENGADILAN INTERNASIONAL
KB 2 : SISTEM PENGADILAN HYBRID TRIBUNAL DAN PELAKSANAANNYA
A. SISTEM PENGADILAN HYBRID TRIBUNAL
B. PELAKSANAAN HYBRID TRIBUNAL
C. DASAR HUKUM PEMBENTUKAN HYBRID TRIBUNAL




MODUL 6
YURISDIKSI KRIMINAL 
KB 1 : PENGERTIAN YURIDIKSI DAN RUANG LINGKUP YURIDIKSI, YURISDIKSI EXTRATERITORIAL
A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP 
B. RUANG LINGKUP YURIDIKSI
C. YURISDIKSI EKSTRA TERITORIAL 
KB 2 : YURISDIKSI KRIMINAL TERHADAP KAPAL ASING DI LAUT TERITORIAL, PERLUASAN YURISDIKSI KRIMINAL DI LAUT LEPAS, YURISDIKSI KRIMINAL BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN DI ATAS PESAWAT BTERBANG
A. YURISDIKSI KRIMINAL TERHADAP KAPAL ASING DI LAUT TERITORIAL
B. PERLUASAN YURISDIKSI KRIMINAL DI LAUT LEPAS
C. PERLUASAN YURISDIKSI NEGARA PANTAI
D. PENGERTIAN YURIDIS PEMBAJAKAN DI LAUT LEPAS
E. HAK PENGEJARAN SEKETIKA (HOT PURSUIT)
F. YURISDIKSI KRIMINAL BERKAITAN DENGAN KEJAHATAN DI ATAS PESAWAT TERBANG



MODUL 7
KERJA SAMA INTERNASIONAL DALAM KERANGKA HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
KB 1 : SEJARAH DAN INSTRUMEN HUKUM SERTA STRUKTUR ORGANISASI ICPO INTERPOL
A. ICPO INTERPOL DALAM LINTASAN SEJARAH
B. KETERKAITAN ICPO INTERPOL DENGAN PERJANJIAN EKSTRADISI 
C. ICPO INTERPOL SEBAGAI ORGANISASI INTERNASIONAL
KB 2 : EKSTRADISI DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
A. RUANG LINGKUP PERJANJIAN EKSTRADISI
B. ASAS-ASAS DALAM PERJANJIAN EKSTRADISI
C. SISTEM PERJANJIAN EKSTRADISI
D. PENOLAKAN EKSTRADISI



MODUL 8
INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC) DAN PENGADILAN HAM INDONESIA
KB 1 : RUANG LINGKUP INTERNATIONAL CRIMINAL COURT, PRINSIP DASAR PENDIRIAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT, ASAS-ASAS BEKERJANYA INTERNATIONAL CRIMINAL COURT
A. RUANG LINGKUP INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC)
ICC; Mahkamah Pidana Unternasional dibentuk 17 Juli 1998 melalui pengesahan Statuta Roma 1998 oleh United Nations Diplomatic Conference of Pleni.....Criminal Court di Roma Italia; 120 negara setuju 7 menolak 21 abstain termasuk Indonesia; berlaku efektif Juli 2002 diratifikasi 60 negara.
Latar belakang ICC adalah kekajaman manusia wanita dan anak korban kebijak penguasa.
Pelaku kejahatan menpunyai kekevalan hukum nasionalnya (impunity).

Struktur Organisasi ICC:
a. Kepresidenan; b. Divisi Banding; Divisi Peradilan dan Divisi Pra Peradilan; c. Kantor Jaksa Penuntut; d. Kepaniteraan
Yuridiksi ICC :
a. genocide; b. terhadap kemanusian; c. perang; d. agresi
Yurisidksi ICC kejahatan most serius crime disasarkan pada asas :
a. Jurisdiksi Ratione Temporis; hanya mempunyai yurisdiksi setelah berlaku statuta efektif
b. Asas Melekat / Inherent; setiap negara yang meratifikasi statuta roma otomatis tunduk  yurisdiksi ICC.

B. PRINSIP DASAR PENDIRIAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT (ICC)
Asas Complementary; asas pelengkap; ICC dibentuk sebagai pelengkap dari pengadilan nasional.
Unwillingness; Ketidakmampuan negara mengadili
Unable; pengadilan nasional telah mengalami keruntuhan seluruhnya; negara tidak mampu menghadirkan terdakwa, saksi, dan bukti.
Pihak Yang mengajukan perkara ke ICC :
1. Negara peserta; 2. DK PBB; 3. Inisiatif JPU untuk melakukan penyelidikan (propio Motu).


C. ASAS-ASAS BEKERJANYA ICC
Asas Complementary; Pelengkap Pengadilan HAM Nasional
Asas Operasional; Berlakunya Prinsip-Prinsip Umum Hukum Pidana :
Nullum Crimen Sine Lega; seorang dipertanggungjawaban atas dasar statuta ini apabila tindakan atau perbuatan yang sedang berlangsung merupakan kejahatan dibawah yurisdiksi ICC.
Nulla Poena Sine Lega; seseorang hanya dapat dinyatakan bersalah dan dihukum sesuai dengan statuta.
Ratione Personae Non Rektroaktif; seorang tidak dapat dipertanggung jawaban secra pidana berdasar statuta ini atas perbuatan yang dilakukan sebelum diberlakukannya statuta ini.

Individual Criminal Responsibility; seorang yang melakukan kejahatan sesuai dengan statuta ini hanya dapat di pertanggung jawaban pidana secara individual
Nebis In Idem; Tidak seorangpun boleh diadili dan dihukum di depan Mahkamah berkenaan dengan perbuatan yang merupakan dasar kejahatan untuk orang tersebut telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh Mahkamah.
Pertanggungjawaban Komandan dan Atasan;


KB 2 : PENGADILAN PELANGGARAN HAM BERAT INDONESIA, PERBEDAAN DELIK KUHP (ORDINARY CRIME) DAN PELANGGARAN HAM (EXTRA ORDINARY CRIME), ASAS-ASAS POKOK DALAM UNDANG-UNDANG NO.26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM
A. GAMBARAN UMUM PENGADILAN PELANGGARAN HAM BERAT INDONESIA
Pengadilan Berat HAM di Indonesia : dengan dua cara :
1. Pengadilan HAM Ad Hoc seperti Pengadilan HAM Kasus TimTim (sebelum berlakunya UU 26/2000)
2. Pengadilan HAM tidak bersifat Ad Hoc seperti Pengadilan HAM di Makasar Kasus Abipura (Setelah berlakunya UU 26/2000).

B. PERBEDAAN DELIK KUHP (ORDINARY CRIME) DAN PELANGGARAN HAM (EXTRA ORDINARY CRIME)
Perbedaan karakteristik delik KUHP dengan Pelanggaran HAM Berat :
1. Tindak Pidana KUHP Kasuistis; Pelanggaran HAM Berat Sistematis;
2. Delik KUHP Hukum Nasional; delik pelanggaran HAM Berat Hukum Internasional
3. Pelaku pidana Pelanggaran KUHP tidak dapat dituntut internasional; pelaku pelanggaran HAM Berat diadili nasional maupun internasional

C. ASAS-ASAS POKOK DALAM UNDANG-UNDANG NO. 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAM

Asas Retroaktif; Berlaku Surut; Psl 43 UU 26/2000; Pelanggaran HAM Berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad-Hoc.
1. Asas Individual Criminal Responsibility; seseorang dianggap mempunyai pertanggungjawaban pidana, apabila yang bersangkutan telah melakukan perbuatan yang memenuhi unsur tindak pidaba.
2. Asas Pertanggungjawaban Komandan; Hakikat pelanggaran HAM Berat sebagai pelanggaran yang dilakukan dalam konteks kekuasaan pemerintah atau difasilitasi oleh pemerintah
3. Asas Kedaluwarsa; berlaku ketentuan Kedaluwarsa



MODUL 9
PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO
KB 1: TANGGUNG JAWAB KOMANDO DALAM HUKUM PIDANA INTERNASIONAL
A. PENGANTAR PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO
Timbulnya pertanggungjawaban komando terkait pelanggaran HAM berat dalam HPI, tidak terlepas dari perkembangan Hukum Humaniter Internasional.
Hugo Grotius (De Jure Belli Ac Pacis) ; Negara melalui pejabat yang berkuasa (pemegang komando) bertanggungjawab terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berada dibawah kekuasaan dan pengendalin efektifnya.; Atas akibat yang timbul dari kesalahan (wrongful act) berupa tidak melakukan kewajiban hukumnya, yaitu dalam hal memerintah dan mengatur, menegakkan disiplin terhadap hukum, serta mencegah dan menindak pelaku pelanggaran.
Pasal 87 Protokol I Tahun 1977; menyatakan bahwa Tugas Komando adalah; mencegah, menindak, dan melaporkan kepada yang berwenang, anggota dibawah komandonya atau orang lain yang berada dalam pengendaliannya yang melakukan pelanggaran.
Kesalahan Komandan karena lalai melaksanakan kewajiban hukumnya untuk mencegah, menghentikan, menindak atau menyerahkan pelaku kepada pihak yang berwajib, akan melahirkan anggung jawab (hukum) atas pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya.


Pertanggungjawaban Komando berkembang pasca PD II, melalui Tokyo Tribunal yang menangani perkara Jenderal Tomoyuki Yamashita, telah meletakkan prinsip : (1). Komandan harus bertanggungjawab atas kejahatan anak buahnya jika terpenuhi unsur-unsur yang menjadi dasar dalam penuntutan pertanggungjawaban komando;  (2). Komandan mengetahui atau seharusnya mengetahui anak buahnya akan melakukan suatu kejahatan (perang) tetapi ia tidak mencegahnya;  (3). Komandan mengetahui atau seharusnya mengetahui anak buahnya telah melakukan kejahatan tetapi ia tidak menghukumnya.

Selanjutnya Perkara Admiral Soemu Toyoda (Kepala Staf Armada Gabungan Jepang).


B. DINAMIKA PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO DARI KONSEPSI PEMIKIRAN KE PENGATURAN INSTRUMEN HUKUM
KB 2 : PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO DALAM SISTEM PERADILAN HAM INDONESIA DAN INTERNASIONAL
A. PRAKTEK PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO DALAM PERADILAN HAM INDONESIA
B. PRAKTEK PENERAPAN PERTANGGUNGJAWABAN KOMANDO PADA PERADILAN HAM INTERNASIONAL