TINDAK PIDANA KHUSUS

Related image

DAFTAR ISI
MODUL 1  : PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA KHUSUS
MODUL 2  : TINDAK PIDANA KORUPSI
MODUL 3  : TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)
MODUL 4  : TINDAK PIDANA HAK ASASI MANUSIA BERAT, TINDAK PIDANA TERORISME, DAN TINDAK PIDANA PENERBANGAN
MODUL 5  : TINDAK PIDANA PERPAJAKAN
MODUL 6  : TINDAK PIDANA NARKOTIKA, DAN TINDAK PIDANA PSIKOTROPIKA
MODUL 7  : TINDAK PIDANA DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP
MODUL 8  : TINDAK PIDANA DI BIDANG KETENAGAKERJAAN DAN KEPEGAWAIAN
MODUL 9  : TINDAK PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN SUMBER DAYA ALAM


MODUL 1   
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA KHUSUS
KB 1 : PENGERTIAN TINDAK PIDANA KHUSUS
Moeljatno; Hukum Pidana adalah bagian dari hukum berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :
1. Perbuatan mana tidak boleh, dilarang, ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan dapat dikenakan pidana sebagaimana diancamkan.
3. Menentukan cara pengenaan pidana dilaksanakan apabila ada orang yang disangka melanggar larangan.
Simons; Hukum Pidana adalah sebagai berikut :
1. Keseluruhan larangan atau perintah oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu pidana apabila tidak ditaati.
2. Keseluruhan peraturan menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana
3. Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar penjatuhan dan penerapan pidana.
Wirjono Prodjodikoro; Pidana adalah hal-hal dipidanakan oleh instansi yang berkuasa yang dilimpahkan kepada oknum sebagai hal yang tidak enak dirasakannya, dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
Van Hamel; Pidana menurut Hukum Positif adalah " Sesuatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar sesuatu peraturan hukum yang ditegakkan oleh negara "
Simons; Lamintang; Pidana diartikan suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.
Sudarto; pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Roeslan Saleh; pidana adalah reaksi atas delik dan berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.

Pidana memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
1. Pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.
2. Diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)
3. Dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang.

Andi Hamzah; Pidana diatur dalam Pasal 10 KUHP; Pidana terdiri dari Pidana Pokok dan Pidana Tambahan.
Pidana Pokok : 1. Pidana Mati; 2. Pidana Penjara; 3. Pidana Kurungan; 4. Pidana Denda
Pidana Tambahan : 1. Pencabutan hak-hak tertentu; 2. Perampasan barang-barang tertentu; 3. Pengumuman Putusan Hakim.

Tindak Pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah "perbuatan jahat" atau "Kejahatan" (Crime atau Verbrechen atau Misdaad) yang diartikan secara kriminologis dan psikologis.
Tindak Pidana biasa dikenal dengan istilah delik; delictum (bahasa latin); Kamus Hukum; merupakan perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).

Djoko Prakoso; kejahatan atau tindak pidana :
secara yuridis; adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan pelanggarannya dikenakan sanksi
secara kriminologis; adalah perbuatan yang melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat dan mendapatkan reaksi negatif dari masyarakat.
secara psikologis; adalah perbuatan manusia yang abnormal yang bersifat melanggar hukum yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan dari si pelaku perbuatan tersebut.

Moeljatno; Tindak Pidana adalah suatu pengertian yuridis seperti halnya untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah hukum, maka bukanlah hal yang mudah untuk memberikan definisi atau pengertian terhadap istilah tindak pidana.
Pembahasan Hukum Pidana dimaksudkan untuk memahami pengertian pidana sebagai sanksi atas delik, sedangkan pemidanaan berkaitan dengan dasar-dasar pembenaran pengenaan pidana serta teori-teori tentang tujuan pemidanaan.
Pidana berasal dari bahasa Belanda yaitu "Straf" yang dapat diartikan sebagai "hukuman"; Tindak Pidana dalam KUHP strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sebagai delik, sedangkan pembuat UU merumuskan istilah sebagai peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau sering disebut Tindak Pidana.
Strafbaarfeit; Straaf berarti pidana atau huku, Baar berarti dapat atau boleh, feit berarti tindak atau peristiwa atau pelanggaran atau perbuatan (aktif maupun pasif).
Van Hamel; Strafbaarfeit adalah kelakuan manusia (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam UU, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.
Pompe; Strafbaarfeit sebagai suatu pelanggaran norma yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan oleh pelaku.

Moeljatno; hukuman berasal dari Straf; dihukum atau pidana berasal dari kata wordt gestraft; Strafrecht diartikan sebagai hukuman-hukuman; dihukum berarti "diterapi hukuman"; baik hukuman pidana maupun perdata.
Hukuman merupakan hasil atau akibat dari penerapan hukum yang maknanya lebih luas dari pidana karena mencakup keputusan hakim dan lapangan hukum perdata.

Soedarto; "penghukuman" berasal dari kata "hukum", sehingga dapat diartikan sebagai "menetapkan hukum" atau "memutuskan tentang hukum" (berechten); Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa tidak hanya pidana tetapi juga perdata.

Hart; Pidana itu harus :
1. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan.
2. Dikenakan kepada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana.
3. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum
4. Dilakukan dengan sengaja oleh selain pelaku tindak pidana
5. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.

Tindak Pidana setidaknya memuat rumusan tentang :
1. Subjek hukum yang menjadi sasaran norma tersebut (addressaat norm)
2. Perbuatan yang dilarang (Strafbaar), baik dalam bentuk melakukan sesuatu (commission), tidak melakukan sesuatu (omission), dan menimbulkan akibat (kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan)
3. Ancaman pidana (strafmaat), sebagai sarana memaksakan keberlakuan atau dapat ditaatinya ketentuan tersebut.

Tindak Pidana Khusus diatur dalam UU diluar hukum pidana umum; Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri.
Pendapat Pompe; Hukum Pidana Khusus mempunyai Tujuan dan fungsi tersendiri, UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan hukum administrasi negara terutama mengenai penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.

Syarat-Syarat / Unsur-Unsur Tindak Pidana :
1. Melanggar Hukum
2. Kualitas si pelaku
3. Kausalitas, hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Lamitang; Unsur Tindak Pidana dalam KUHP :
1. Unsur Subjektif; melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan si pelaku dan termasuk kedalamnya segala sesuatu yang terkandung didalamnya.
2. Unsur Objektif; berhubungan dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.

Unsur Subjektif dari suatu tindak pidana dapat berupa :
1. Kesengajaan atau Ketidaksengajaan (culpa/dolus)
2. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti dimaksud dalam Pasal 53(1) KUHP.
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dll.
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti misalnya terdapat didalam kejahatan pembunuhan menrut pasal 340 KUHP
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana menurut pasal 308 KUHP.

Pengertian Unsur-Unsur Tindak Pidana dilihat dari alirannya :
1. Aliran / Pandangan Monistis; adalah suatu pandangan yang melihat keseluruhan syarat untuk adanya pidana itu kesemuannya merupakan sifat dari perbuatan; didalam pengertian perbuatan atau tindak pidana sudah tercakup didalamnya perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan (criminal responbility); Tidak memisahkan antara unsur mengenai perbuatan dengan unsur mengenai orang.
2. Aliran / Pandangan Dualistis; Memisahkan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana; Dalam tindak pidana hanya menyangkut perbuatannya saja, sedangkan pertanggungjawaban pidana tidak menjadi unsur tindak pidana; Untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau pertanggungjawaban pidana.

Pandangan menurut beberapa ahli mengenai tindak pidana berdasarkan alirannya :
1. Monistis; Tidak ada pemisahan antara criminal act dengan criminal responsibility.
Simons; mengemukakan adanya unusr subjektif dan unsur objektif dari Strafbaarfeit antara lain :
a. Subjektif; 
1). Orangnya mampu bertanggungjawab
2). Adanya Kesalahan (dolus/culpa)
b. Objektif; 
1). Perbuatan orang
2). Akibat dari perbuatan
3). Adanya keadaan tertentu yang menyertai perbuatan-perbuatan seperti dalam Pasal 281 KUHP yang sifatnya openbaar atau dimuka umum.
Para Ahli Penganut Aliran Monistis; Selain Simons adalah Van Hamel, E. Mezger, dan Baumman.

2. Dualistis; memisahkan criminal act dengan criminal responsibility
Moeljatno; Unsur dari Strafbaarfeit yang harus dipenuhi adalah :
a. Perbuatan
b. Memenuhi rumusan dalam UU (syarat formiil)
c. Syarat formil harus ada;  karena keberadaan asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine praevia poenali yang artinya tiada ada suatu perbuatan tindak pidana, tiada pula dipidana, tanpa adanya UU Hukum Pidana terlebih dahulu.
Syarat Material juga harus ada; karena perbuatan itu harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai perbuatan yang tidak boleh dilakukan karena bertentangan atau menghambat tercapainya ketertiban dalam masyarakat.
Para Ahli Penganut Aliran Dualistis; Selain Moeljatno adalah H.B. Vos dan Pompe

S.R. Sianturi; Suatu perbuatan dikatakan tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur :\
1. Subjek; 2. Kesalahan; 3. Bersifat melawan hukum; 4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh UU / Perundangan  dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; 5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya)

Adami Chazawi; 11 Unsur normatif tindak pidana dalam KUHP :
1. Tingkah laku atau perbuatan yang dilarang; 2. Objek tindak pidana; 3. Subjek hukum tindak pidana; 4. Kesalahan; 5. Sifat melawan hukum perbuatan; 6. Akibat konstitutif; 7. Keadaan yang menyertai; 8. Syarat tambahan untuk dapatnya dituntut pidana pembuat; 9. Syarat tambahan untuk dapatnya dipidana pembuat; 10. Syarat tambahan untuk diperberatnya pidana pembuat; 11. Syarat tambahan untuk diperingannya pidana pembuat

Beberapa Jenis Tindak Pidana :
PERTAMA ; Kejahatan atau misdrijven dan pelanggaran atau overtredingen;
Kejahatan diatur dalam Buku II KUHP, sedangakan Pelanggaran diatur dalam Buku III KUHP; Tetapi dalam KUHP tidak ada penjelasan pengertian Kejahatan dan pelanggaran
Kejahatan adalah delik-delik yang melanggar kepentingan hukum dan membahayakan secara konkrit atau nyata.
Pelanggaran merupakan wets delict atau delik UU yang hanya membahayakan in abstracto saja.

M.v.T (Memorie van Toelichting); dikutif Moeljatno;
dalam pandangan kualitatif :  
Kejahatan adalah "rechtsdelicten" yaitu perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam UU, sebagai perbuatan pidana, telah dirasakan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.
Pelanggaran adalah "wetsdelicten" yaitu perbuatan-perbuatan yang sifatnya melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada ketentuan yang menentukan demikian.

dalam pandangan kuantitatif; melihat berat atau ringannya ancaman pidana, yaitu :
1. Pidana Penjara hanya berlaku pada kejahatan
2. Jika menghadapi kejahatan maka bentuk kesalahan (kesengajaan atau kealpaan) yang diperlukan disitu, harus dibuktikan oleh jakas, sedangkan jika menghadapi pelanggaran hal itu tidak usah. Kejahatan dibedakan atas dolus dan culpa
3. Percobaan untuk melakukan pelanggaran tidak dapat dipidana. Juga pada pembantuan pada pelanggaran tidak dipidana.
4. Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak perjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek daripada kejahatan tersebut masing-masing adalah satu tahun dan dua tahun.
5. Dalam hal pembarengan (concurcus) pada pemidanaan berbeda buat pelanggran dan kejahatan; Kumulasi pidana yang enyeng lebih mudah daripada pidana berat.

Perbedaan antara Kejahatan dan Pelanggaran; Kejahatan hukumannya diatas satu tahun, pelanggaran hukumannya dibawah satu tahun; Kejahatan mengenal penjara sedangkan pelanggaran mengenal kurungan.

KEDUA ; delik formil dan delik materil; 
Delik Formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti dari larangan itu adalah melakukan suatu perbuatan tertentu; disebut hanya suatu perbuatan tertentu yang dapat dipidana; Misal Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu (242 KUHP)
Delik Materil terdapat akibat tertentu dengan atau tanpa menyebutkan perbuatan tertentu, maka dari itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang tersebut yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

KETIGA ; delik dolus dan delik culpa;  
Delik Dolus memiliki unsur kesengajaan, Delik Culpa memuat unsur kealpaan dalam tindakannya.

KEEMPAT ; delik commissionis (aktif) dan delik ommisionis (pasif)
Delik aktif yaitu perbuatan fisik, dapat berupa suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari bagian tubuh manusia; Misalnya Pencurian (362 KUHP), Penganiayaan (351 KUHP).
Delik Pasif yaitu perbuatan yang tidak melibatkan fisik, dimana seseorang melakukannya dengan mengabaikan kewajiban hukum yang dibebankan kepadanya atau tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum; Misalnya Meninggalkan orang yang perlu ditolong (304 KUHP).
Dua Macam Perbuatan Pasif : Perbuatan Pasif Murni dan Perbuatan Pasif tidak murni (delicta commissionis per omissionem)
Delik Pasif Murni adalah : Tindak Pidana Pasif yang dirumuskan secara formil atau delik yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif.
Delik Pasif Tidak Murni adalah : yang pada dasarnya berupa delik positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, atau delik yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan atau tidak berbuat atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul; Misalnya seorang Ibu tidak menyusui anaknya agar mati (Pasal 338 KUHP) dengan secara perbuatan pasif.

KELIMA : delik aduan dan delik biasa
Delik Aduan adalah merupakan tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yaitu korban atau wakilnya atau keluarga atau orang yang diberi kuasa khusus untuk melakukan pengaduan.
Delik Biasa adalah tindakan pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap pelakunya tidak disyaratkan adanya pengaduan dari pihak yang berhak.

Hukum Pidana terbagi menjadi beberapa Macam :
1. Hukum Pidana Materiil dan Hukum Pidana Formil
Hukum Pidana Materiil (ius poenale) adalah sebagai sejumlah pertauran hukum yang mengandung larangan dan perintah atau keharusan yang terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana (sanksi hukum) bagi mereka yang mewujudkannya.
Hukum Pidana Formil atau Hukum Acara Pidana adalah hukum yang menetapkan cara negara menggunakan kewenangannya untuk melaksanakan pidana, juga disebut hukum pidana in concreto karena mengandung peraturan bagaimana hukum pidana materiil atau hukum pidana in abstracto dituangkan kedalam kenyataan (in concreto).

2. Hukum Pidana Umum dan Hukum Pidana Khusus
Sudarto; Ruslan Renggong; Hukum Pidana Umum adalah hukum pidana yang dapat diberlakukan terhadap setiap orang pada umumnya
Hukum Pidana Khusus adalah diperuntukkan bagi orang-orang tertentu saja, atau hukum yang mengatur delik-delik tertentu saja

3. Hukum Pidana Tertulis dan Hukum Pidana Tidak Tertulis
Hukum Pidana Tertulis; Meliputi KUHP dan KUHAP yang merupakan Kodifikasi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil (Hukum acara pidana) termasuk hukum pidana tertulis yang bersifat khusus dan hukum pidana yang statusnya lebih rendah daripada UU dalam arti formil
Hukum Pidana Tidak Tertulis; adalah sebagian besar hukum adat pidana berdasarkan Pasal 5 ayat (3) UU Darurat No 1 Tahun 1951 yang masih berlaku.

4. Hukum Pidana Nasional dan Hukum Pidana Internasional
Hukum Pidana Nasional; adalah Hukum Pidana yang dibentuk oleh negara tertentu yang ruang lingkup berlakunya hanya dalam yurisdiksi negara tersebut
Hukum Pidana Internasional; adalah Hukum Pidana yang dibentuk oleh masyarakat internasional melalui organ-organ PBB yang berlaku secara Internasional.

Hukum Pidana Khusus; Jan Remelink : secara sederhana disebut delicti propria; Suatu delik yang dilakukan oleh seseorang dengan kualitas atau kualifikasi tertentu
Teguh Prasetyo; Istilah Hukum Pidana Khusus sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus; Mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu, harus dilihat substansi dan berlaku kepada siapa hukum tindak pidana khusus itu; diatur dalam UU diluar Hukum Pidana Umum.

Penyimpangan Ketentuan Hukum Pidana yang terdapat dalam UU Pidana merupakan indikator apakah UU Pidana itu merupakan hukum tindak pidana khusus atau bukan, maka dari itu Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU Pidana tersendiri; Pompe : Hukum Pidana Khusus mempunyai Tujuan dan Fungsi tersendiri.

UU pidana yang dikualifikasikan sebagai hukum tindak pidana khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan hukum administrasi negara, terutama penyalahgunaan kewenangan yang Terdapat dalam Perumusan Tindak Pidana Korupsi

Sejalan Teguh Prasetyo; Azis Syamsudin; Hukum Pidana Khusus adalah perundag-undangan dibidang tertentu yang bersanksi pidana, atau tindak pidana yang diatur dalam UU khusus.
Kewenangan penyelidikan dan penyidikan dalam hukum pidana khusus; Polisi, Jaksa, PPNS, dan KPK.
Pemeriksaan perkara hukum pidana khusus dapat dilakukan di pengadilan tipikor, pengadilan pajak, pengadilan hubungan industrial, pengadilan anak, pengadilan HAM, pengadilan niaga dan pengadilan perikanan.

Tujuan pengaturan Tindak Pidana Khusus adalah untuk mengisi kekurangan ataupun kekosongan hukum yang tidak tercakup pengaturannya dalam KUHP.
Sudarto; mengemukakan istilah UU Pidana Khusus atau bijzondere wetten tetapi sulit untuk diuraikan.

Tiga Kelompok yang dikualifikasikan sebagai UU Pidana Khusus :
1. UU yang tidak dikodifikasikan
2. Peraturan-Peraturan Hukum administratif yang mengandung sanksi pidana
3. UU yang mengandung hukum pidana khusus yang mengatur tentang delik-delik untuk kelompok-kelompok orang tertentu atau perbuatan tertentu.

Teguh Prasetyo; Karakteristik atau Kekhususan dan Penyimpangan Hukum Pidana Khusus terhadap Hukum Pidana Materiil digambarkan sebagai berikut :
1. Hukum Pidana bersifat elastis (Ketentuan Khusus)
2. Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman (menyimpang)
3. Pengaturan tersendiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran (ketentuan khusus)
4. Perluasan berlakunya asas teritorial (menyimpang/ketentuan khusus)
5. Subjek hukum berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan perekonomian negara (ketentuan khusus)
6. Pegawai negeri merupakan subjek hukum tersendiri (ketentuan khusus)
7. Memiliki sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu menentukan menjadi tindak pidana (ketentuan khusus)
8. Pidana denda ditambah sepertiga terhadap korporasi (menyimpang)
9. Perampasan barang bergerak, tidak bergerak (ketentuan khusus)
10. Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU itu (ketentuan khusus)
11. Tindak pidana bersifat transnasional (ketentuan khusus)
12. Adanya ketentuan yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi (ketentuan khusus)
13. Tindak Pidana dapat bersifat politik (ketentuan khusus)

Selain terhadap hukum pidana materiil, terdapat penyimpangan terhadap hukum pidana formil sebagai berikut :
1. Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa, penyidik KPK
2. Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain.
3. Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa tindak pidana korupsi
4. Penuntutan kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara
5. Perkara pidana khusus diadili di pengadilan khusus
6. Dianutnya peradilan in absentia
7. Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank
8. Dianut pembuktian terbalik
9. Larangan menyebutkan identitas pelapor
10. Perlunya pegawai penghubung
11. Diatur TTS dan TTD

Hubungan antara Peraturan Umum dan Khusus tercakup dalam suatu proses harmonisasi hukum; Yakni sebagai upaya/proses untuk merealisasikan keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, keseimbangan diantara norma-norma hukum didalam pertauran perundang-undangan sebagai sistem hukum dalam satu kesatuan kerangka sistem hukum nasional.
Sebagai suatu aturan khusus yang bersifat khusus peraturan diluar KUHP tersebut harus tetap dan berada dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum pidana formil dan materil.

Bagir Manan; sebagai lex specialis harus memenuhi beberapa syarat :
1.  Prinsip bahwa semua kaidah umum berlaku dan prevail kecuali secara khusus diatur berbeda
2. Dalam pengertian lex specialis termasuk juga asas dan kaidah-kaidah yang menambah kaidah umum yang diterapkan secara kumulatif antara kaidah umum dan kaidah khususdan bukan hanya mengatur penyimpangan
3. Dalam lex specialis bermaksud menyimpangi atau mengatur berbeda dengan lex generalis harus dengan motif lebih memperkuat asas dan kaidah-kaidah umum bukan untuk memperlemah kaidah umum, selain itu harus dapat ditunjukkan pula suatu kebutuhan khusus yang hendak dicapai yang tidak cukup memadai hanya mempergunakan kaidah umum
4. Semua kaidah lex specialis harus diatur secara spesifik sebagai kaidah (norma) bukan sesuatu yang sekedar dilandaskan pada asas-asas umum atau kesimpulan umum belaka
5. Semua kaidah lex specialis harus berada dalam regim hukum yang sama dan diatur dalam pertingkatan perundang-undangan yang sederajat dengan kaidah-kaidah lex generalis.

Berdasarkan MvT dari Pasal 103 KUHP; "Pidana Khusus" diartikan sebagai perbuatan pidana yang ditentukan dalam perundangan tertentu diluar KUHP.
Rochmat Soemitro; Tindak Pidana Khusus sebagai tindak pidana yang diatur tersendiri dalam UU khusus, yang memberikan peraturan khusus tentang tata cara penyidikannya, tuntutannya, pemeriksaannya, maupun sanksinya yang menyimpang dari ketentuan yang dimuat dalam KUHP

T. N. Syamsah; berpendapat pengertian tindak pidana khsusu harus dibedakan dari pengertian ketentuan pidana khusus
Pidana Khusus mengatur tentang Tindak Pidana yang dilakukan dalam bidang tertentu atau khusus (diluar KUHP) seperti perpajakan, imigrasi, perbankan yang tidak diatur secara umum dalam KUHP atau yang diatur menyimpang dari ketentuan pidana umum.
Tindak Pidana Khusus adalah tindak pidana yang diatur tersendiri dalam UU khusus, yang memberikan peraturan khusus cara penyidikannya, tuntutannya, pemeriksaannya maupun sanksinya yang menyimpang dari ketentuan yang dimuat dalam KUHP yang lebih ketat atau lebih berat. Tetapi jika tidak diberikan ketentuan menyimpang Ketentuan KUHP tetap berlaku.
Macam-Macam tindak Pidana Khusus misalnya Tindak Pidana Ekonomi, Tindak Pidana Korupsi, dan Tindak Pidana HAM Berat.

Titik tolak kekhususan suatu peraturan perundang-undangan khusus dapat dilihat dari perbuatan yang diatur, subjek tindak pidana, pidana dan pemidanaannya. 
Subjek Hukum Tindak Pidana Khusus diperluas, tidak hanya orang pribadi melainkan juga Badan Hukum (Korporasi).
Dari aspek pemidanaan, dilihat dari pola perumusan ataupun pola ancaman sanksi, Tindak pidana khsusu dapat menyimpang dari ketentuan KUHP.
Substansi Tindak Pidana Khsuus menyangkut tiga permasalahan; Yaitu Tindak Pidana, Petanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan.

Ruang lingkup Tindak Pidana Khusus tidak bersifat tetap, tetapi dapat berubah sesuai dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tersebut.


KB 2 : RUANG LINGKUP TINDAK PIDANA KHUSUS
Muladi; Perkembangan Hukum Pidana diluar Kodifikasi KUHP, khususnya berupa UU Tindak Pidana Khusus; Kedudukan UU Tindak Pidana Khusus dalam Hukum Pidana yaitu sebagai pelengkap dari Hukum Pidana yang dikodifikasikan dalam KUHP.
Sifat dan Karakter Hukum Pidana Khusus terletak pada kekhususan dan penyimpangan dari Hukum Pidana Umum,  Mulai dari Subjek Hukumnya yang tidak hanya orang tetapi juga Korporasi.
Azis Syamsudin; Substansi Hukum Pidana Khusus menyangkut tiga permasalahan yaitu Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Pidana, serta Pidana dan Pemidanaan.

Perbandingan Ruang Lingkup Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana Khusus di Mahkamah Agung; Terlampir dalam Laporan Tahunan MA Tahun 2013 dan Kejaksaan, Sebagaimana terdapat dalam PERJA No. PER-036/A/JA/09/2011 tentang SOP Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum dan PERJA No. PERJA-039/A/JA/10/2010 tentang Tata Kelola Administrasi dan Teknis Penanganan Perkara Tindak Pidana Khusus :

KLASIFIKASI
MAHKAMAH AGUNG
KEJAKSAAN
Pidana Umum
1. Kekerasan
2. Penipuan
3. Penggelapan
4. Pencurian
5. Nyawa dan Tubuh Orang
6. Pengrusakan
7. Akta Palsu
8. Kealpaan
9. Pemalsuan
10. Perbuatan Tidak Menyenangkan
11. Perjudian
12. Perzinahan
13. Keterangan Palsu
14. Penyerobotan
15. Perampasan
16. Pemerkosaan
17. Penghinaan
18. Penadahan
19. Pemerasan dan Pengancaman
20. Fitnah
21. Pencemaran Nama Baik
22. Poligami Liar
23. Ketertiban Umum
24. Lain-lain
1. Tindakan Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda

a. Kejahatan Terhadap Asal Usul Perkawinan
b. Meninggalkan Orang yang perlu ditolong
c. Penghinaan
d. Kejahatan terhadap Kemerdekaan Orang
e. Kejahatan terhadap Nyawa
f. Penganiayaan
g. Menyebabkan Mati atau luka karena kealpaan
h. Pencurian
i. Pemeriksaan dan Pengancaman
j. Penggelapan
k. Perbuatan curang
l. Perbuatan merugikan pemiutang atau orang yang mempunyai hak
m. Penghancuran atau perusakan barang
n. Penadahan, penerbitan, dan Percetakan
o. Pelanggaran mengenai asal usul perkawinan
p. Pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan
q. Pelanggaran mengenai Tanah, Tanaman dan perkarangan


2. Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda

a. Kejahatan terhadap Keamanan Negara
b. Kejahatan terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden
c. Kejahatan terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala Negara Sahabat serta Wakilnya
d. Kejahatan melakukan kewajiban umum dan Hak Kenegaraan
e. Kejahatan terhadap Ketertiban umum
f. Perkelahian Tanding
g. Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang
h. Kejahatan terhadap penguasa umum
i. Sumpah Palsu atau Keterangan Palsu
j. Pemalsuan mata uang dan uang kertas
k. Pemalsuan meterai dan merek
l. Pemalsuan surat
m. Kejhatan terhadap kesusilaan
n. Kejahatan rahasia
o. Kejahatan Jabatan
p. Kejahatan Pelayaran
q. Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap sarana atau prasarana penerbangan
r. Pelanggaran keamanan umum bagi orang atau barang dan kesehatan
s. Pelanggaran Ketertiban Umum
t. Pelanggaran Penguasa Umum
u. Pelanggaran Kesusilaan
v. Pelanggaran Jabatan
w. Pelanggaran Pelayaran

Pidana Khusus

1. Korupsi
2. Narkotika dan Psikotropika
3. Perlindungan Anak
4. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
5. Kehutanan
6. Migas
7. Kepabeanan
8. HAKI
9. Perikanan
10. Perbankan
11. Perumahan
12. Lingkungan Hidup
13. Perdagangan Orang
14. Kesehatan
15. Senjata Api
16. Perlindungan Konsumen
17. Pencucian Uang
18. Ketenagakerjaan
19. Pornografi
20. Perpajakan
21. Terorisme
22. Lain-lain

1. Perkara Tindak Pidana Korupsi, Tindak Pidana Perikanan, dan Perkara Tindak Pidana Ekonomi (Kepabeanan dan Cukai)
2. Perkara Pelanggaran HAM yang berat yang penanganannya hanya di Kejaksaan Agung
3. Perkara Tindak Pidana Khusu lainnya

















Ruslan Renggong; Tindak Pidana Khusus sebagai berikut :
1. Tindak Pidana Korupsi
Dalam UU 31/1999 jo UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Pasal 2 UU Tipikor; Korupsi adalah : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Sudarto : Korupsi menunjuk pada perbuatan yang rusak, busuk, tidak jujur yang dikaitkan dengan keuangan
Henry Campbell Back : Korupsi sebagai perbuatan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapat suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain
Marwan Mas : Tiga Jenis Korupsi : 1). Korupsi karena kebutuhan 2). Korupsi untuk memperkaya diri 3). Korupsi karena peluang
Umumnya Korupsi di Indonesia dikarenakan : a). Sistem yang keliru b). Gaji yang rendah c). Law enforcement tidak berjalan d). Hukuman yang ringan e). Tidak ada keteladanan pemimpin f). Masyarakat yang apatis
Subjek Hukum Tipikor : (Pas 1 angka 1,2,dan 3 UU Tipikor) :
a. Korporasi;
b. Pegawai Negeri : 1). Sebagaimana diatur dalam UU Kepegawaian 2). Sebagaimana diatur dalam KUHP 3). Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah 4). Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah 5). Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat
Romli Atmasasmita : "Dengan memperhatikan perkembangan Tindak Pidana Korupsi, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas, dan setelah mengkajinya secara mendalam, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi di Indonesia bukan merupakan kejahatan biasa melainkan sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa. Selanjutnya jika dikaji dari sisi akibat atau dampak negatif yang sangat merusak tatanan kehidupan Bangsa Indonesia sejak Pemerintahan Orde Baru sampai kini, jelas perbuatan korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia
Penanganannya; mengikuti prosedur yang telah ditentukan dalam Hukum Acara Pidana, baik diatur dalam KUHAP maupun UU yang mengatur secara khusus tentang korupsi.
Penyelidikan dan Penyidikan; dilakukan oleh tiga institusi Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Diadili secara khusus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan TIPIKOR). Pengadilan TIPIKOR terbentuk seiring dengan terbentuknya KPK.

2. Tindak Pidana Pencucian Uang
Dalam UU 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Pencucian Uang).
Pasal 1 angka 1 : Adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana sesuai dengan Ketentuan dalam UU Pencucian Uang; Unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum, serta unsur merupakan hasil tindak pidana.
Sutan Remy Sjahdeni; Pencucian Uang atau Money Laundering : " Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang halal "
Gerry A. Perguson; dikutip Alma Manuputty Pattileuw; Tahapan mekanisme Pencucian Uang :
a. Placement; Penempatan uang hasil kejahatan atau perbuatan melawan hukum kedalam deposito bank, real estate, atau saham-saham, konversi ke mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing untuk sementara waktu.
b. Layering; Membuat transaksi-transaksi keuangan yang kompleks dan rumit serta berlapis-lapis, dilindungi oleh pelbagai bentuk ononimitas dan rahasia profesional, sering melibatkan beberapa negara sulit pelacakan oleh penegak hukum
c. Integration; Tipu muslihat untuk dapat memberikan legitimasi terhadap uang hasil kejahatan. Biasanya yang sering dilakukan adalah menempatkan uang  di bank yang bersangkutan. Pemilik uang yang bersangkutan bisa memakai uang secara terang-terangan. Pada tahap ini uang hasil kejahatan tersebut sulit untuk dikenali atau di claim sebagai hasil kejahatan.
Subjek Hukum Tindak Pidana Pencucian Uang : a). Orang Perorangan b). Korporasi
Objek Tindak Pidana Pencucian Uang : yaitu segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Pencucian Uang.
Proses Hukum Terdiri dari : Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan melalui Sidang Pengadilan (Pasal 68 sd 82 UU Pencucian Uang)

3. Tindak Pidana Terorisme
Diatur dalam UU 15/2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1/2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi UU (UU Terorisme)
Black Law's Dictionary; Terorisme merupakan kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, dimaksudkan untuk mengintimidasi penduduk sipil, mempengaruhi kebijakan pemerintah dan penyelenggaraan dengan cara penculikan atau pembunuhan.
Subjek Hukum Tindak Pidana Terorisme : a. Orang  b. Korporasi
Pasal 6 UU Terorisme : Tindak Pidana Terorisme adalah :
" Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun "
Kualifikasi Tindak Pidana Terorisme :
a. Delik Materiil  b. Delik Formil  c. Delik Percobaan  d. Delik Pembantuan  e. Delik Penyertaan  f. Delik Perencanaan

4. Tindak Pidana dalam Pengadilan HAM
Diatur dalam UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM); Pengadilan yang memeriksa dan memutuskan segala bentuk pelanggaran HAM yang berat, termasuk genosida dan kejahatan kemanusiaan yang merupakan pelanggaran HAM berat; Pengadilan khusus yang berada dibawah Peradilan Umum.
Pelanggaran HAM Berat merupakan extra ordinary crime berdampak nasional dan internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam KUHP serta menimbulkan kerugian, baik materiil maupun immateriil, yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Black's Law Dictionary; Genosida : an act committed with the intent to destroy, in whole apart, a national, ethnic, racial, or religious group.
Kejahatan Kemanusian; Pasal 6(c) Piagam Nuremberg : " Pembunuhan, Pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil, sebelum atau selama perang, atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, rasa atau agama sebagai pelaksanaan dari atau berhubungan dengan setiap kejahatan yang berada dalam yuridiksi pengadilan tersebut baik yang melanggar ataupun tidak hukum negara setempat dimana ia dilakukan "
Komisi Hukum Internasional; Kejahatan Kemanusiaan : " Tindakan-tindakan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh para penguasa suatu negara atau oleh individu-individu perseorangan terhadap suatu populasi sipil seperti pembunuhan, atau pemusnahan atau perbudakan atau deportasi atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, ras, agama atau budaya bilamana tindakan-tindakan demikian dengan kejahatan-kejahatan lain yang didefinisikan dalam pasal ini "
Pelanggaran HAM Berat atau dikenal dengan gross violation of human rights atau greaves breaches of human rights dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokolnya, tidak dikenal dalam UU 39/1999 tentang HAM.
Dasar dari Hukum HAM adalah Hukum Internasional; Subjek Hukum dalam Bidang HAM :
a. Aktor Negara - Pemangku Kewajiban
b. Aktor Non-Negara - Pemangku Kewajiban
c. Aktor Non-Negara - Pemangku Hak

5. Tindak Pidana Narkotika
Diatur dalam UU 35/2009 tentang Narkotika (UU Narkotika);
Pasal 1 angka 1; Narkotika adalah : " Zat atau obat berasal yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagaimana terlmpir dalam UU ini "
Pasal 6 ayat 1 : Jenis-jenis Narkotika : a. Narkotika Golongan I  b. Narkotika Golongan II  c. Narkotika Golongan III
Penggunaan Narkotika secara Legal hanya bagi kepentingan-kepentingan

6. Tindak Pidana Psikotropika
Dalam UU 5/1997  (UU Paikotropika)
Pasal 1 angka 1; Psikotropika adalah : zat atau obat, baik alamiah maupun sintesis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Pasal 2 ayat (2); Kedalam beberapa golongan : a). Psikotropika golongan I b). Psikotropika Golongan II c). Psikotropika Golongan III d). Psikotropika Golongan IV
Jenis Psikotropika: amfetamin, ekstasi, shabu, obat penenang seperti mogadon, rohypnol, dumolid, lexotan, pil koplo, BK. termasuk LSD, Mushroom.

7. Tindak Pidana Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekositemnya
Dalam UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekositemnya  (UU Konsevasi SDA)
Pasal 1 angka 1; Sumber Daya Alam Hayati adalah : unsur-unsur hayatai di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan SDA hewani (satwa) yang bersama dengan unsur nonhayati disekitarnya secara keseluruhan membentuk ekosistem.
Pasal 1 angka 2; Konservasi SDA Hayati adalah : Pengelolaan SDA Hayati yang pemnafaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannnya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya
Tindak Pidananya antara lain : illegal logging dan Perdagangan Satwa
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.
Konsep Penegakan Hukum berupa : a). Tindak Pidana Materiil  b). Tindak Pidana Formil  c). Tindak Pidana Konservasi SDA adalah kejahatan dan pelanggaran.

8. Tindak Pidana Lingkungan Hidup
Dalam UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup  (UU PPLH)
Pasal 1 angka 1; Lingkungan Hidup adalah : merupakan kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Tiga Kelompok Lingkungan Hidup : a). Lingkungan Fisk (Physical Environment)  b). Lingkungan Biologi (Biological Environment)  c). Lingkungan Sosial (Social Environment)
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.

9. Tindak Pidana Perikanan
Dalam UU 45/2009 tentang Perubahan atas UU 31/2004 tentang Perikanan (UU Perikanan).
Perikanan adalah : kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Ikan.
Kegiatan yang termasuk Perikanan : praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan; Tindak Pidana Perikanan adalah Delik Kejahatan dan Delik Pelanggaran
Pasal 84 (1) Tindak Pidana Perikanan adalah : Tindak Pidana yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja dibawah pengelolaan Perikanan  RI melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelesatarian sumber daya ikan dan/atau lingkungan di wilayah pengelolaan perikanan RI.
Penanganan Perkara Tindak Pidana Perikanan adalah melalui Pengadilan Perikanan; Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum; Pembentukan Pengadilan Perikanan sesuai Pasal 71 UU Perikanan.

10. Tindak Pidana Kehutanan
Dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan).
Perikanan adalah : kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Ikan.
Pasal 1 angka 1; Kehutanan adalah : Sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu.
Penegakkan Hukum Tindak Pidana Kehutan yang berkelanjutan dilakukan melalui konsolidasi dan Kooordinasi antara Departemen Kehutanan dengan Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Pemerintah Daerah dan instansi terkait.
UU Kehutanan merumuskan Bentuk Tindak Pidana Kehutanan yaitu : berdasarkan kejahatan dan pelanggaran.
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.

11. Tindak Pidana Penataan Ruang
Dalam UU 26/2007 tentang Penataan Ruang (UU Tata Ruang).
Pasal 1 angka 2; Tata Ruang adalah : Wujud struktur Ruang dan Pola Ruang.
Pasal 1 angka 5; Penataan Ruang adalah : Suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Pasal 35; Pengendalian pemanfaat ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi
Pasal 39; Pengenaan Sanksi : merupakan tindakan penertiban yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi, dimana pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi dengan izin maupun yang tidak memiliki izin dikenai sanksi administratif, sanksi pidana penjara, dan/atau sanksi pidana denda.

12. Tindak Pidana Keimigrasian
Dalam UU 6/2011 tentang Keimigrasian  (UU Keimigrasian)
Pasal 1 angka 1; Keimigrasian adalah : Hal ihwal orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia serta pengawasannya dalam rangka menjaga tegaknya Kedaulatan Negara.
Keimigrasian terdapat dua unsur pengaturan yaitu : 
1). Penganturan tentang berbagai hal mengenai lalu lintas orang yang masuk, keluar dan tinggal dari dan dalam wilayah NRI.
2). Pengaturan tentang berbagai pengawasan tidak hanya orang asing saja, namun juga warga negara Indonesia diwilayah Indonesia, guna tegaknya kedaulatan negara.
Pengawasan Keimigrasian mencakup penegakan hukum keimigrasian baik yang bersifat administratif maupun tindak pidana keimigrasian.
Pengawasan adalah : Keseluruhan proses kegiatan untuk mengontrol atau mengawasi apakah proses pelaksanaan tugas telah sesuai dengan rencana atau atauran yang ditentukan.
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.

13. Tindak Pidana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Dalam UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ)
Pasal 1 angka 1; Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah : kesatuan sistem yang terdiri atas lalu lintas, angkutan jalan, jaringan lalu lintas dan angkutan jalan, prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, kendaraan, pengemudi, pengguna jalan serta pengelolaannya.
Tindak Pidana Pelanggaran lalu lintas (Pasal 105) :
a. Pelanggaran terhadap alat pemberi isyarat lalu lintas
b. Pelanggaran terhadap marka
c. Pelanggaran terhadap rambu-rambu lalu lintas
d. Pelanggaran terhadap kecepatan maksimum dan minimum
e. Pelanggaran terhadap persyaratan administratif pengemudi dan kendaraan
f. Pelanggaran terhadap peringatan bunyi
Tindak Pidana Pelanggaran Angkutan Jalan (Pasal 106) :
a. Pelanggaran terhadap persyaratan teknis layak jalan kendaraan
b. Pelanggaran terhadap perizinan
c. Pelanggaran terhadap berat muatan kendaraan
Penyidik adalah : Penyididk adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polisi Jalan Raya), Penyidik PNS Tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya meliputi pembinaan dibidang lalu lintas dan angkutan jalan.

14. Tindak Pidana Kesehatan
Dalam UU 36/2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan)
Pasal 1 angka 1; Kesehatan adalah : merupakan keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Tindak Pidana Kesehatan adalah :
a. Tindak Pidana sengaja melakukan tindakan pada ibu hamil
b. Tindak Pidana pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
c. Tindak Pidana transplatasi dengan tujuan komersial
d. Tindak Pidana memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar
e. Tindak Pidana memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
Penyidik adalah : Penyididk adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat PNS

15. Tindak Pidana Praktik Kedokteran
Dalam UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran  (UU Praktik Kedokteran)
Pasal 1 angka 1; Praktik Kedokteran adalah : merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Pasal 1 angka 11; Profesi Kedokteran adalah :  suatu pekerjaan kedokteran yang dilaksanakan berdasarkan keilmuan dan kompetensi
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.

16. Tindak Pidana Sistem Pendidikan Nasional 
Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional  (UU Pendidikan)
Pasal 1 angka 1; Pendidikan adalah : " Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif  mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara
Jenis Tindak Pidana Pendidikan pada prinsipnya tindak pidana yang konvensional, yang menjadi kekhususan disini adalah bidang yang disimpangi adalah pendidikan, dan pelakunya sebagian besar adalah pihak-pihak yang terlibat dalam proses pendidikan ataupun yang memanfaatkan jasa pendidikan, seperti pemalsuan ijazah sekolah.

17. Tindak Pidana Diskriminasi RAS dan Etnis
Dalam UU 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi  (UU Diskriminasi)
Pasal 1 angka 1; Diskriminasi RAS dan Etnis adalah : Segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada RAS dan Etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan HAM dan Kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi;  diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17
Tindak Pidana ini dapat menimbulkan Tindak Pidana Perampasan Kemerdekaan; yaitu merupakan penangkapan dan penahanan orang berdasarkan membeda-bedakan adanya ras dan etnis yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada.
Meknisme Penyelesaian adalah : Penyidikan, Penuntutan, dan Pemidanaan terhadap pelakunya.

18. Tindak Pidana KDRT
Dalam UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT)
Pasal 1 angka 1; KDRT adalah : Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, sexsual, psikologis, dan/atau penelataran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Pasal 1 angka 2; Penghapusan KDRT adalah : Jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya KDRT, menindak pelaku KDRT, dan melindungi korban KDRT
Pasal 1 angka 3; Korban KDRT adalah : Orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
Pasal 3; Asas Penghapusan KDRT : a). Penghormatan HAM b). Keadilan dan Kesetaraan Gender c). Nondiskriminasi d). Perlindungan Korban
Pasal 10; Hak-Hak Korban KDRT : 
a). Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b). Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c). Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.
d). Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
e). Pelayanan Bimbingan Rohani
Pasal 54; Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan dilaksanakan menurut ketentuan hukum acara pidana yang berlaku.

19. Tindak Pidana Terhadap Anak
Dalam UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak  (UU Perlindungan Anak)
Penjelasan UU; Anak adalah : Bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara.
Upaya perlindungan untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.
Pasal 1 angka 1; Anak adalah :  Seorang yang belum berusia 18 tahun , termasuk anak yang masih dalam kandungan,
Pasal 1 angka 2; Perlindungan Anak adalah :  Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Asas-asas Perlindungan Anak : a). Non Diskriminasi b). Kepentingan yang terbaik bagi anak c). Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan d). Penghargaan terhadap anak.

20. Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik
Dalam UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik  (UU ITE)
Pasal 1 angka 1; Informasi Elektronik adalah : satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), Surat elektronic (Email), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 1 angka 2; Transaksi Elektronik adalah : perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau jaringan media elektronik lainnya.
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.
Penyidik adalah : Penyididk adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat PNS

21. Tindak Pidana Pornografi
Dalam UU 44/2008 tentang Pornografi (UU Pornografi)
Pasal 1 angka 1; Pornografi adalah : gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan dimuka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi sexsual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.

22. Tindak Pidana Kepabeanan
Dalam UU 17/2006 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan)
Pasal 1 angka 1; Kepabeanan adalah : segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan ataus lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar.
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.

23. Tindak Pidana Cukai
Dalam UU 39/2007 tentang Cukai (UU Cukai)
Pasal 1 angka 1; Cukai adalah : Pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam UU ini.
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.

24. Tindak Pidana Perlindungan Konsumen
Dalam UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
Pasal 1 angka 1; Perlindungan Konsumen adalah : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.
Pasal 1 angka 2; Konsumen adalah : Setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia di masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Pasal 1 angka 3; Pelaku Usaha : yaitu orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan didirikan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi.
Pasal 45; Penyelesaian Sengketa : melalui pengadilan atau diluar pengadilan; Jika dipilih diluar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya diluar pengadilan menurut satu pihak atau para pihak bersengketa tidak berhasil.

25. Tindak Pidana Pangan
Dalam UU 18/2012 tentang Pangan (UU Pangan)
Pasal 1 angka 1; Pangan adalah : Segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Mekanisme penyelesaian Tindak Pidana : Pengawasan, Pemeriksaan, penyidikan, lalu pidana.

26. Tindak Pidana Paten
Dalam UU 14/2001 tentang Paten (UU Paten)
Pasal 1 angka 1; Paten adalah : Hak eksklusif yang diberikan negara kepada Inventor atas hasil Invensinya dibidang Tehnologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannnya kepada pihak lain untuk melaksanakannya.
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.
Bentuk Pelanggaran Paten : Membuat, menggunakan, menjual, mengimpor, menyewakan, menyerahkan atau menyediakan untuk dijual, atau disewakan atau diserahkan produk atau proses yang diberi paten dengan cara apapun tanpa seizin dari inventor atau pemegang hak paten yang sah karena bertentangan dengan apa yang diatur dalam UU Paten.

27. Tindak Pidana Merek
Dalam UU 15/2001 tentang Merek (UU Merek)
Pasal 1 angka 1; Merek adalah : tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.
Penyidik adalah : Penyididk adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat PNS tertentu di Direktorat Jenderal,  diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana dibidang merek.

28. Tindak Pidana Hak Cipta
Dalam UU 28/2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta).
Pasal 1 angka 1; Hak Cipta adalah : Hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyidik adalah : Penyididk adalah Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pejabat PNS tertentu di lingkungan kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang hukum diberi wewenang  khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU yang mengatur mengenai Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan Tindak Pidana Hak Cipta dan Hak Terkait.
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.

29. Tindak Pidana Pemilihan Umum (Pemilu)
Dalam UU 8/2012 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Pasal 1 angka 1; Pemilu adalah : sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam NKRI berdasarkan Panca Sila dan UUD NRI Tahun 1945.
Bentuk / Jenis Pelanggaran Pemilu : a). Pelanggaran administrasi pemilu  b). Pelanggaran Pidana Pemilu  c). Perselisihan Hasil Pemilu

30. Tindak Pidana Kewarganegaraan
Dalam UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan (UU Kewarganegaraan).
Pasal 1 angka 1; Warga Negara adalah; Warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan .
Pasal 1 angka 2; Kewarganegaraan yaitu; segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara.
Asas-Asas yang dianut dalam UU Kewarganegaraan :
a. ius sanguinis (law of the blood); adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran
b. ius soli (law of the soil); adalah kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ini.
c. kewarganegaraan tunggal; adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang
d. kewarganegaraan ganda terbatas; adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ini.

31. Tindak Pidana Penerbangan
Dalam UU 1/2009 tentang Penerbangan (UU Penerbangan); 
Pasal 1 angka 1; Penerbangan adalah; sebagai kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandara udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
Diataur dalam Konvensi Internasional seperti Konvensi Tokyo 1963 (Konvensi tentang Pembajakan Udara), Konvensi The Hague 1970, Konvensi Montreal 1971, dan terakhir Konvensi Montreal 1991.
Subjek Hukum : a). Orang  b).Korporasi.


MODUL 2 
KEGIATAN BELAJAR 1 
TINDAK PIDANA KORUPSI
Tindak pidana korupsi berasal dari kata korupsi yang berasal dari bahasa latin Corruptio atau Corruptus. Korupsi digambarkan dengan istilah corruptus dalam Webster Student Dictionary.

Istilah korupsi berasal dari bahasa Latin Corruption sama dengan penyuapan, sedangkan corrumpere artinya merusak. Gejala di mana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka sehingga memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta berbagai ketidakberesan lainnya.

Pada mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi dengan menggunakan bahasa kamus, yang berasal dari bahasa Yunani Latin Corruption yang berarti perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, menyimpang dari kcsucian, melanggar norma-norma agama, mental dan hukum.

Andi Hamzah menyatakan bahwa korupsi kemudian muncul di negara-negara Eropa, seperti kata Corruption,  Corrupt dalam bahasa Inggris, Corruption dalam bahasa Perancis, sedangkan Corruptive dalam bahasa Belanda.  Selain itu, kata Corrupt juga dapat diartikan sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat di suap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah, penyuapan.

Fockema Andrea mengemukakan bahwa corruptio baasal dari kata corrumpierre atau corrupteia, kata Latin kuno. Bahasa asli korupsi memiliki makna bribery, yaitu penyuapan atau seduction. Maka dari itu, tindak pidana korupsi sering diartikan sebagai perbuatan memberikan, menyerahkan kepada seorang agar orang tadi berbuat untuk atau guna keuntungan (dari pemberi). Selain itu, seduction sesuatu yang menarik untuk membuat sescorang menyeleweng, dan dipakai juga untuk menunjukkan kcadaan dan perbuatan yang busuk.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyclewengan atau penggelapan untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Kemudian arti kata korupsi Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kecurangan dalam melakukan kewajiban sebagai pjabat.
Istilah korupsi juga terdapat dalam bahasa Sansekerta bahwa arti corrupt menunjukan kepada prbuatan yang rusak, busuk, bejad, tidak jujur yang disangkutpautkan dengan keuangan.

Definisi tentang korupsi terdapat dalam laporan Amstcrdam, dcfinisi tentang korupsi dalam konteks umum disebutkan sebagai menawarkan, memberikan, mcminta, atau menerima keuntungan pribadi, karena posisi atau perannya dalam jabatan playanan publik. Dalam konteks hukum pidana, jabatan pelayanan publik adalah pcgawai negeri sipil termasuk juga para politisi, para gubernur dan menteri.

Lubis dan Scott berpcndapat bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah tingkah laku yang mcnguntungkan diri scndiri dengan mcrugikan orang lain, oleh pjabat pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut; sedangkan menurut norma-norma pcmcrintahan dapat dianggap korupsi apabila ada pclanggaran hukum atau tidak, namun dalam bisnis tindakan tersebut adalah tercela.

Sclanjutnya, terdapat bcbcrapa faktor yang menyebabkan timbulnya korupsi dalam buku Andi Hamzah, antara lain;
1. Kurangnya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) jika dibandingkan dengan kebutuhan sehari-hari yang semakin meningkat
2. Kultur kcbudayaan Indonesia yang mcrupakan sumber meluasnya korupsi
3. Manajemen yang kurang baik serta komunikasi yang tidak efektif dan efisien
4. Modernisasi

Selain itu pada umumnya perbuatan korupsi didorong olch dua motivasi. Pertama, motivasi intrinsik, yaitu dorongan memperoleh kepuasan yang ditimbulkan olch tindakan korupsi. Pelaku merasa puas dan nyaman ketika berhasil mclakukannya. Selanjutnya, korupsi mcnjadi gaya hidup, kebiasaan, dan tradisi.
Kedua, motivasi ekstrinsik, yaitu dorongan korupsi dari luar diri pelaku yang tidak menjadi bagian yang melekat dari pelaku. Pelaku melakukan korupsi karcna alasan ekonomi, ingin mencapai suatu jabatan tertentu, atau ingin meningkatkan taraf hidup maupun karir melalui jalan pintas atau jalan cepat.

Lebih rinci, korupsi itu disebabkan oleh tiga hal, antara lain :
1. Keserakahan (Corruption by greed) 
Korupsi terjadi pada orang yang sebenamya tidak membutuhkan secara ekonomi, bahkan mampu, Jabatan tinggi, gaji besar, rumah mewah tetapi kekuasaan yang tak terbendung mcnyebabkan korupsi. Korupsi ini banyak dilakukan oleh pejabat tinggi, pejabat di suatu perusahaan.
2. Kebutuhan (Corruption by need) 
Korupsi dilakukan karena keadaan mendesak oleh pelaku yang biasanya mcmiliki upah minimum dan memiliki standar hidup rendah untuk memenuhi kebutuhan hidup, Korupsi ini banyak dilakukan olch pegawai atau karyawan kecil, buruh kasar, tukang parkir.
3. Adanya peluang (Corruption by chance) 
Korupsi dilakukan karena adanya pcluang besar untuk melakukan korupsi, peluang untuk cepat kaya tnelalui jalan pintas, secara instan, didukung oleh lemahnya sistem organisasi, rendahnya akuntanbilitas publik, longgarnya pengawasan masyarakal dan keroposnya penegakan hukum yang diperparah dengan sanksi hukum yang tidak membuat jera.

Selain itu terdapat penyebab lainnya yang bersifat lebih khusus, yaitu : 
1. Rendahnya pengalaman nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari
2. Struktur pemerintahan atau kepemimpinan organisasi yang bersifat tertutup dan cenderung otoriter
3. Kurang berfungsinya lembaga perwakilan bagi Presiden, Gubenur, Bupati, dan Walikota
4. Tidak berfungsinya lembaga pengawas dan penegak hukum scrta sanksi hukum yang tidak membuat jera pelaku
5. Minimnya keteladanan pemimpin atau pejabat dalam kehidupan sehari-hari
6. Rendahnya upah yang berakibat rendahnya tingkat kesejahteraan

Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus karena dilakukan orang yang khusus maksudnya subyck dan pclakunya khusus dan perbuatannya yang khusus akibat yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana korupsi harus dilangani serius dan khusus untuk itu perlu di kembangkan peraturan-peraturan khusus schingga dapat menjangkau semua perbutuan pidana yang merupakan tindak pidana korupsi karena hukum pidana umumnya iidak sanggup untuk menjangkaunya.
Tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang 31 Tahun 1999 scbagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). 

Ciri-ciri tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
1. Tindak pidana korupsi melibatkan lebih dari satu orang. Namun, hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan.
2. Tindak pidana korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali telah menyebar dalam lingkungannya.
3. Tindak pidana korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keumungan timbal balik.
4. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk menyelubungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum.
5. Mereka yang terlibat tindak pidana korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi kcputusan-keputusan itu.
6. Setiap perbuatan tindak pidana korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan olch badan publik atau umum.
7. Setiap bentuk tindak pidana korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.

Selanjutnya, Black's Law Dictionary mengartikan tindak pidana korupsi sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau kewenangannya untuk mendapatkan suatu keuntungan dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain.

Selanjutnya, definisi tindak pidana korupsi menurut para ahli adalah scbagai berikut :
1. Mochar Mas'oed 
Tindak pidana korupsi merupakan perilaku yang mcnyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena kehendak untuk memperoleh keuntungan ekonomis atau status bagi diri sendiri, keluarga dekat atau klik.
Tindak pidana korupsi pada umumnya merupakan transaksi dua pihak, yaitu pihak yang menduduki jabatan publik dan pihak yang bertindak sebagai pribadi swasta. Tindakan yang dapat discbut scbagai tindak pidana korupsi yaitu adanya transaksi dimana pihak yang satu memberikans sesuatu beharga (uang alau aset) untuk memperoleh imbalan berupa pengaruh atau keputusan-keputusan pemerintahan.

2. Eggi Sudjana 
Tindak pidana korupsi merupakan kebusukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, penyimpangan dari kesucian, kata-kata bemuansa menghina atau ntemfitnah, penyuapan, niet ambtelijk corruptie, atau yang dalam bahasa Indonesia kata korupsi adalah perbuatan buruk, seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya.

3. Baharuddin Lopa 
Tindak pidana korupsi ialah  suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang mcrugikan atau dapat mcrugikan keuangan atau perckonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.

4. Vito Tanzi 
Tindak pidana korupsi adalah perilaku tidak mematuhi prinsip, artinya dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, baik dilakukan oleh perorangan di sektor swasta maupun pejabat publik, menyimpang dari aturan yang berlaku.

5. James C. Scoot 
Tindak pidana korupsi meliputi penyimpangan tingkah laku atau penyimpangan standar, yaitu melanggar atau bertentangan dengan hukum untuk memperkaya diri scndiri. Oleh karena itu, dalam penanggulangan tindak pidana korupsi diberlakukan kontrol sosia1.

6. David H. Bayley 
Tindak pidana korupsi merupakan perbuatan perangsang seorang pejabat pemerintah berdasarkan itikad buruk.

7. Marella Buckley 
Tindak pidana korupsi merupakan penyalahgunaan jabatan publik demi keuntungan pribadi dengan cara suap atau komisi tidak sah

8. Robert Klitgaard 
C=M+D - A 
(Corruption = Monopoly Power + Discretion by Official — Accountability) 
Tindak pidana korupsi terjadi karena adanya monopoli atas kekuasaan dan diskresi, tetapi dalam kondisi tidak adanya akuntabilitas.

Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dikutip Kristian dan Yopi Gunawan, menyatakan tindak pidana korupsi merupakan lindak pidana yang diperhitungkan. Perhitungannya dihitung secara ekonomis sebagai berikut :











United Nations (PBB) secara luas mendefinisikan tindak pidana korupsi sebagai ”missus of (public) power for private gain". Sedangkan tindak pidana korupsi menurut Centre for Crime Prevention (C1CP) yaitu perbuatan yang mempunyai dimensi yang luas, meliputi tindak pidana suap (bribery), penggelapan (emblezzlement), penipuan (fraud), pemerasan yang berkaitan dengan jabatan (exortion), penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), pemanfaatan kedudukan seseorang dalam aktivitas bisnis untuk kepentingan perseorangan yang bersifat ilegal (exploiting a conflict interest), perdagangan informasi oleh orang dalam (insider trading), nepotisme, komisi ilegal yang diterima oleh pejabat publik (illegal commission), dan kontribusi uang secara ilegal untuk partai politik.

Kekuasaan sangat rentan terhadap tindak pidana korupsi. Hal ini sejalan dengan Lord Acton yang pernah mengatakan bahwa Power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, yang artinya kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung melakukan korupsi secara absolut.
Selanjutnya, menurut Piers Beime dan James Messerschmidt, tipe tindak pidana korupsi yang berkaitan erat dengan kekuasaan antara lain:
1. Political bribery 
Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kekuasaan di bidang legislatif sebagai pembentuk undang-undang.
2. Political kickbacks 
Tindak pidana korupsi berupa kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan sistem kontrak pekerjaan borongan antara pejabat pelaksana dan pengusaha yang memberi peluang untuk mendatangkan banyak uang bagi pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Election fraud 
Tindak pidana korupsi yang berkaitan langsung dengan kecurangan saat pemilu.
4. Corrupt campaign practices 
Praktik kampanye  dengan menggunakan fasilitas negara maupun uang negara olch calon yang sedang memegang kekuasaan negara.



Tindak pidana korupsi memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 
1. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Kerah Putih (White Collar Crime
White Collar Crime merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang berkelebihan kekayaan dan dipandang terhormat, karena mempunyai kedudukan penting baik dalam pemerintahan maupun di dunia perekonomian.
Korupsi dan White Collar Crime menjadi konsep kedua dari penelitian kriminologi tentang korupsi. Sutherland, yang memperkenalkan konsep ini, dan mendefinisikan White Collar Crimne sebagai kejahatan yang dilakukan oleh seseorang terhormat atau berstatus sosial tinggi dalam masa jabatannya.

Indriyanto Adji berpendapat bahwa korupsi merupakan White Collar Crime dengan perbuatan yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dikatakan sebagai invisibie crime yang penanganannya memerlukan kebijakan hukum pidana.
Berkaitan dengan fungsi Hukum pidana dalam mendefinisikan White Collar Crime, menurut Sutherland, White Collar Crime merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan olch mereka dari kalangan atas yang berkedudukan sosial tinggi dan dilakukan dalam pekerjaannya. Mengingat bahwa:
"upper class criminals often operate undetected, that if deteeted they may not be prosecuted, and that if prosecuted they may not be convicted" the amount of criminally convicted persons are far fmm the total population of white collar criminals." 

Apabila ditinjau dari perspekti (Intemasional, korupsi merupakan salah satu kejahatan dalam klasifikasi White Coilar Crime dan mempunyai akibat kompleksitas serta rnenjadi atensi masyarakat Internasional. Kongres PBB ke-8 mengenai "Prevention of Crime and Treatment of Offenders" yang mengesahkan resolusi "Corruption in Goverment" di Havana tahun 1990 merumuskan tentang akibat korupsi, berupa : 
a. Korupsi dikalangan pejabat publik (corrupt activities of public official) 
1) Dapat menghancurkan efektivitas potensial dari semua jenis program pemerintah ("can destroy the potential effectiveeness of all types of govermental programmes") 
2) Dapat menghambat pembangunan ("hinder development") 
3) Menimbulkan korban individual kelompok masyarakat ("victimize individuals and groups") 
b. Ada keterkaitan erat antara korupsi dengan berbagai bentuk kejahatan ekonomi, kejahatan terorganisasi dan pencucian uang. 

Berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik suatu konklusi bahwa dasar tindak pidana korupsi bersifat sistemik, terorganisasi, transnasional dan multi dimensional dalam arti berkorelasi dengan aspek sistem, yuridis, sosiologis, budaya, ekonomi antar negara dan lain sebagainya.
Selanjutnya, karakteristik White Collar Crime ini dapat dijabarkan sebagai berikut : 
a. Low visibility 
Kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang sulit dilihat karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan pekerjaan yang rutin dan melibatkan keahliannya serta bersifat sangat kompleks.
b. Complexity
Kejahatan kerah putih bukan kejahatan yang sederhana melainkan kejahatan yang sangat kompleks.
c. Defussion of responsibility 
Kejahatan kerah putih biasanya terjadi penyebaran tanggung jawab yang semakin luas
d. Defussion of victimization 
Kcjahatan kcrah putih biasanya terjadi penycbaran korban yang semakin luas
e. Detection and proccution 
Dalam hal ini, biasanya pelaku menggunakan teknologi yang canggih, berpendidikan tinggi dan memiliki kemampuan yang khusus, sedangkan penegak hukumnya masih terbatas kemampuannya.


2. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Terorganisir (Organized Crime) 
Kejahatan terorganisir telah menjadi domain yang paling penting dalam Kriminologi untuk penelitian tentang korupsi. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya inisiatif kebijakan kriminal internasional pada akhir tahun sembilan puluhan dalam memerangi kejahatan terorganisir. Kejahatan terorganisir dianggap sebagai fenomena kejahatan yang semakin mengancam perekonomian negara, tetapi tampaknya sulit bagi penegak hukum untuk menangkap jaringan ilegal di balik kejahatan terorganisir tersebut. Pencucian uang (Money laundering) dan korupsi dianggap sebagai mekanisme yang digunakan oleh organisasi kejahatan untuk memfasilitasi atau untuk melanjutkan kegiatan ilegal yang menguntungkan mereka tanpa terdeteksi.

IS Susanto mengemukakan bahwa kcjahatan terorganisir sebagai suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks dan harapan-harapan di antara dcwan direksi, eksekutif, dan manajer di satu sisi dan di antara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang di sisi lain.

Tindak pidana kejahatan terorganisir terdiri dari 3 unsur utama, yaitu:
a. Adanya organisasi kejahatan
b. Kelompok yang melindungi tindak pidana ini
c. Kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang menikmati hasil kejahatan

Pada skala dunia, Van Dijk menemukan korelasi yang kuat antara tingkat kejahatan terorganisir dalam suatu negara dengan tingkat korupsi, seperti dilansir Transparansi Internasional. Namun, perlu disadari bahwa hubungan dengan organisasi ilegal hanya satu dimensi tertentu dari korupsi. terdapat dimensi lain dari korupsi yang menjadi alasan pentingnya membahas korupsi sebagai fenomena kejahatan.



3. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Lintas Batas Negara Yang Terorganisasi (Transnational Organized Crime) 
Dikategorikan sebagai kejahatan lintas negara yang terorganisasi berarti memenuhi kriteria kejahatan lintas batas negara yang terorganisasi sebagaimana diatur secara tegas dalam The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) atau Konvensi PBB yang menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi.

Tujuan konvensi tersebut ialah untuk memajukan kerja sama untuk mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional terorganisasi secara lebih efektif. Hal ini dibuktikan karena adanya peningkatan kejahatan atau tindak pidana dan keprihatian masyarakat internasional mengenai kejahatan yang berkembang, salah satunya tindak pidana korupsi.

Suatu tindak pidana korupsi dapat dikategorikan sebagai kcjahatan transnasional yang bersifat terorganisir karena melibatkan orang-orang yang membentuk sebuah jaringan atau suatu sistem yang berkaitan dan tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lainnya. Selain itu, dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (2) dari Konvensi UNCATOC yang menyatakan :
a. Hal ini dilakukan di lebih dari satu Negara
b. Hal ini dilakukan di satu negara tetapi bagian substansialnya, perencanaan, arah, persiapan, atau kontrol terjadi di negara lain.
c. Hal ini dilakukan di satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat terorganisasi yang terlibat dalam kegiatan di lebih dari satu negara.
d. Hal ini dilakukan di satu negara tetapi memiliki efek atau dampak yang substansial di negara lain.



4. Tindak Pidana Korupsi Scbagai Tindak Pidana Yang Berdampak Luar Biasa (Extraordinaty Crime) 
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang berdampak luar biasa. Dalam UU Tipikor disebutkan bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memaparkan bahwa meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suntu kejahatian luar biasa.



5. Tindak Pidana Korupsi Sebagai Kejahatan Dengan Dimensi-Dimensi Yang Baru (New Dimention of Crime) 
Kristian dan Yopi Gunawan dalam bukunya beranggapan bahwa 1indak pidana korupsi sebagai kejahatan dengan dimensi-imensi yang baru itu karena modus operandi tindak pidana korupsi senantiasa berkembang seiring perkembangan zaman. Modus operandi pada tahun 1990-an jelas berbeda dengan modus operandi di tahun 2000-an.
Sehingga tindak pidana korupsi merupakan kejahatan dengan dimensi-dimensi yang baru karena akan terus berkembang mengikuti perkembangan zaman, perkembangan masyarakat, serta perkembangan ilmu pengetahuan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, hukum harus bersifat dinamis mengikuti perkembangan tersebut khususnya dalam rangka pcnanggulangan (mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi).

Menurut Andi Hamzah, tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia disebabkan karena faktor-faktor, yaitu :
1. Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri dibandingkan dengan kebutuhan yang makin hari makin meningkat
2. Latar belakang kebudayaan atau kultur Indonesia
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan kurang efisien sering dipandang pula sebagai penyebab korupsi, khususnya dalam arti bahwa hal yang demikian itu akan memberi peluang untuk melakukan korupsi
4. Modernisasi mengembangkan korupsi karena membawa perubahan-perubahan pada nilai dasar atas masyarakat, membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru, membawa pcrubahan-perubahan yang diakibatkan dalam bidang kegiatan memperbesar kekuasaan pemeriniah dan melipat gandakan kegiatan-kegiatan yang diatur olch Peraturan Pemerintah.

Thomas Hobbes mclihat tindak pidana korupsi scbagai persoalan biasa, dan merupakan sesuatu yang sifainya alamiah. Selain itu, berkaitan erat dengan karakter manusia itu sendiri, karena karakter manusia mempengaruhi perspektif terhadap lingkungan atau masyarakatnya. Dengan demikian, karakter hakiki manusia akan mempengaruhi sebuah sistem dimana ia hidup.

Berdasarkan pandangan Thomas Hobbes menghasilkan tiga pokok permasalahan yang akan dijelaskan scbagai berikut:
1. Akar epistemologis persoalan tindak pidana korupsi
Hakikatnya, tindak pidana korupsi tidak sesederhana terpenuhinya unsur-unsur yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Sclain itu, karena banyaknya faktor yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan tindak pidana korupsi, sehingga banyak hal-hal mendasar yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
2. Akar antropologis persoalan tindak pidana korupsi
Dalam bermasyarakat terdapat nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut yang bertujuan untuk mencegah dilakukan suatu tindak pidana (termasuk tindak pidana korupsi). Apabila nilai-nilai ini tidak diimplementasikan maka akan terjadi krisis makna dalam lingkungan sosial. Apabila nilai-niai tersebut kehilangan daya berlakunya karena suatu krisis atau adanya inkonsistensi terhadap nilai-nilai dalam jangka panjang akan mendorong dilakukannya tindak pidana korupsi.
3. Akar sosiologis manusia persoalan tindak pidana korupsi
Hakikatnya, manusia selalu merasa tidak puas. Karena adanya ketidakpuasan dan rendahnya rasa malu serta rendahnya integritas, tindak pidana korupsi marak dilakukan.

Selain itu, Robert Klitgaard juga menyatakan bahwa penyebab utama tindak pidana korupsi adalah pemberian hadiah yang sudah merupakan adat istiadat. Kebiasaan yang terus dilakukan akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan dalam perkembangannya kemudian menjadi suap dan gratifikasi.

Baharudin Lopa mengemukakan bahwa lcmahnya sistem merupakan salah satu scbab terjadinya tindak pidana korupsi di berbagai sektor. Kristian dan Yopi Gunawan juga berpendapat bahwa tindak pidana korupsi disebabkan karena beberapa hal antara lain :
1. Lemahnya pendidikan agama dan etika
2. Kolonialismc
3. Kurangnya pendidikan akan etika dan moral
4. Tidak adanya sanksi yang kcras dan tcgas
5. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku amikorupsi
6. Struktur pemerintahan
7. Perubahan radikal
8. Keadaan masyarakat

Sclain faktor-faktor di atas, penycbab dilakukannya tindak pidana korupsi dapat dijabarkan menjadi beberapa aspek, yaitu :
1. Aspek Individu Pelaku :
a. Sifat tamak manusia
b. Moral yang kurang kuat
c. Penghasilan yang kurang mencukupi
d. Kebutuhan hidup yang mendesak
e. Gaya hidup yang konsumtif
f. Malas atau tidak mau bekerja
g. Ajaran agama yang kurang diterapkan

2. Aspek Organisasi :
a. Kurang adanya sifat keteladanan seorang pimpinan
b. Tidak ada kultur organisasi yang benar
c. Kultur organisasi biasanya mempunyai pengaruh kuat terhadap anggotanya
d. Sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah kurang memadai
e. Kelemahan sistem pengendalian manajemen
f. Manajemen cenderung menutupi tindalc pidana korupsi yang terjadi di dalam organisasi
g. Dan lain sebagainya

3. Aspek Individu dalam Organisasi di mana ia berada :
a. Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya tindak pidana korupsi
b. Masyarakat kurang menyadari sebagai korban utama dari tindak pidana korupsi.

Selain aspek-aspek dilakukannya tindak pidana korupsi, terdapat aspek-aspek penghambat penanggulangan tindak pidana korupsi, antara lain :
1. Aspek politis
Tindak pidana korupsi sering dilakukan untuk kepentingan politik. Tindak pidana korupsi di bidang politik dapat menimbulkan akibat atau dampak yang sangat berbahaya antara lain gangguan terhadap kehidupan demokrasi yang dalam jangka panjang membuat roda pemerintahan tidak berjalan lancar dan mengakibatkan pemerintah yang lemah.
Selain dari berbagai peristiwa tindak pidana korupsi di dunia, terbukti bahwa tindak pidana korupsi sangat erat hubungannya dengan politik, karena politik itu wilayahnya luas.

2. Faktor hukum 
Salah satu faktor yang menyebabkan tindak pidana korupsi sulit diungkapkan karena adanya aturan hukum yang tidak jelas, multiinterpretasi dan memihak kepada pelaku-pelaku tindak pidana korupsi.
Penanggulangan tindak korupsi menggunakan sarana hukum harus diusahakan dan diarahkan pada usaha-usaha untuk mencegah dan menghapus faktor-faktor yang berpotensi menjadi penyebab terjadinya tindak pidana korupsi. Karena jangkauan hukum pidana itu terbatas, maka secara tidak langsung pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan melalui bidang politik, ekonomi, dan bidang lainnya

3. Aspek sosial kcmasyarakatan 
Aspek sosial berperan sebagai kekuatan yang mengawasi perilaku individu, khususnya pejabat aparatur pelayanan sosial, agar interaksi antara masyarakat dan instansi pemerintah berjalan dengan wajar. Hal ini karena berbagai reaksi sosial berpengaruh dalam penanggulangan tindak pidana korupsi.

4. Aspek agama 
Sarana agama dapat digunakan untuk menanggulangi tindalc pidana korupsi. Agama dapat berperan dalam menanamkan nilai-nilai positif dan nilai-nilai moral seperti kcjujuran dan mampu mempengaruhi psikologi dan pembentuk karakter masyarakat untuk tidak melakukan kcjahatan atau tindak pidana korupsi.

5. Aspek ekonomi dan pembangunan 
Salah satu pemicu dilakukannya tindak pidana korupsi ialah kemiskinan dan ketamakan. Selain itu, faktor ekonomi sebagai penyebab terjadinya tindak pidana korupsi tumbuh di negara-negara yang pemerintatannya menciptakan bingkai ekonomi monopoli.
Dalam penanggulangan tindak pidana korupsi harus memperhatikan faktor ekonomi, melalui perbaikan taraf hidup para karyawan, memperbesar lapangan kerja, menumbuhkan sikap kewiraswastaan dan lainnya

6. Aspek lingkungan 
Faktor lingkungan dapat menyebabkan dilakukannya tindak pidana kompsi. Dibutuhkan upaya menciptakan iklim lingkungan yang mendukung tumbuh berkembangnya moral atau etika yang tinggi di lingkungan profesional sehingga dapat mencegah dilakukannya tindak pidana korupsi.
Apabila telah tercipta iklim lingkungan tersebut, maka tindak pidana korupsi dapat diminimalisir.

7. Aspek sosial dan budaya 
Aspek sosial dan budaya mewarnai sikap atau perilaku individual yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Perlu disadari bahwa masalah tindak pidana korupsi tidak dapat dilepaskan dari kondisi dan struktur masyarakat. Oleh sebab itu, pemberantasan tindak pidana korupsi tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat dengan cara mengefektifkan kembali program-program anti tindak pidana korupsi yang telah berjalan.

8. Faktor kesempatan 
Faktor kesempatan ditanggulangi dcngan adanya sistem checks and balances. Dengan adanya prinsip ini, kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga kesempatan aparat penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabaian dalam lembaga-lembaga negara untuk menyalahgunakan kekuasaannya atau melakukan tindak pidana korupsi dapat dperkecil.
Dalam sistem ini terdapat asas keterbukaan atau transparansi. Peningkatan transparansi atas berbagai kegiatan atau program pemerintah sangat diperlukan agar masyarakat dapat ikut mengontrol atau mengawasi aktivitas pemerintah dan aparat penyelenggara negara.

9. Faktor keinginan memperoleh uang dengan cara yang mudah dan singkat 
Faktor ini berkaitan dengan masalah moral yang buruk dari para pelaku tindak pidana korupsi, Mereka memiliki mental "menerobos" karena ingin memperoleh uang banyak jalan pintas, yaitu dengan tindak pidana korupsi. Upaya yang dapat dilakukan untuk dapat menanggulanginya adalah dengan meningkatkan standar moral para profesional.
Unpaya untuk membangun moral yang tinggi antara para profesional dapat dilakukan melalui penerapan prosedur yang demokratis dalam lingkungan internal profesional karena di dalam demokrasi terkandung nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran.
Hal ini disebabkan seorang profesional yang memiliki moral atau etika yang tinggi tentu tidak ingin memperoleh uang banyak dengan jalan pintas, tetapi dengan bekerja keras, memperoleh pendidikan, dan melalui sarana lainnya yang tidak melanggar hukum.

Selain fakior penyebab, aspek-aspek di atas, terdapat faktor pendorong sehingga dilakukannya korupsi menurut Suradi antara lain:
1. Adanya tekanan (perceived pressure)
2. Adanya kesempatan (perceived opportunity)
3. Berbagai cara untuk merasionalisasi agar kecurangan dapat diterima (some way to rationalize the fraud as acceptable)

Selain itu, Sudarto menjelaskan unsur-unsur tindak pidana korupsi, dikutip Evi Hartanii, sebagai berikut:
1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang laian atau suatu badan. "Perbuatan memperkaya" artinya berbuat apa saja misalnya mengambil, memindahbukukan. menandatangani kontrak dan sebagainya, sehingga si pembuat bertambah kaya
2. Perbuatan itu bersifat melawan hukum. "Melawan hukum" disini diartikan secara formil dan materiil. Unsur itu perlu dibuktikan karena tercantum secara tegas dalam rumusan delik
3. Perbuatan itu seeara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan Negara dan/atau perekonornian Negara, atau perbuatan itu diketahui atau patut disangka oleh si pembuat bahwa merugikan keuangan negam atau perekonomian negara.

Pendapat lain dikemukakan oleh Selo Soemardjan, beliau mengungkaplcan bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme adalah dalam satu napas karena ketiganya melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum.

Selanjutnya, tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor antara lain : 
1. Perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 ayat ( 1))
2. Perbuatan dengan tujuan mcnguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan negara atau perokonomian negara (Pasal 3)
3. Perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabathnya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a)
4. Perbuatan memberi scsuatu kepada pegawai negeri atau penyclenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1)huruf b).
5. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1 ) huruf a dan huruf b (Pasal 5 ayat (2))
6. Perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6)
7. Perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayal (1) huruf b)
8. Perbuatan hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a (Pasal 6 ayat (2))
9. Perbuatan advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalum ayat (1) huruf b (Pasal 6 ayat (2))
10. Perbuatan pemborong, ahli bangunan yang yang pada waktu membuat bangunan, atau menjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf a).
11. Perbuatan orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalatn huruf a (Pasal 7 ayat (1) huruf b)
12. Perbuatan orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan kesclamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c)
13. Perbuatan orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (Pasal 7 ayat (1) huruf d)
14. Perbuatan orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbualan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a huruf c (Pasal 7 aya) (2))
15. Perbuatari pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surai berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut (Pasal 8)
16. Perbuatan pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administmsi (Pasal 9)
17. Perbuman pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan atau membat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikusai karena jabatannya (Pasal 10 huruf a)
18. Perbuatan pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut (Pasal 10 huruf b)
19. Perbuatan pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut (Pasal 10 huruf c).
20. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya (Pasal 11 )
21. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf a)
22. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggam negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12 huruf b)
23. Perbuatan hakim yang mencrima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang discrahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12 huruf c)
24. Perbuatan seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, mencrima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili (Pasal 12 huruf d)
25. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseoarang memberikan sesuatu, membayar, atau menerinta potongan, pembayaran dengan atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (Pasal 12 huruf e)
26. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai ncgcri atau penyclenggara negara yang lain atau ke kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggam negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal terscbut bukan merupakan utang (Pasal 12 huruf f)
27. Perbuatan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau mencrima pekcrjaan atau menyerahlran barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang (Pasal 12 huruf g)
28. Perbuntan pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah mcrugikan orang yang berhak, padahal diketahui bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 12 huruf h)
29. Perbuatan pcgawai negeri atau penyclenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (Pasal 12 huruf i)
30. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajibannya atau tugasnya (Pasal 12B ayat (1))
31. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Pasal 12C ayat (1))
32. Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratilikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi terscbut diterima (Pasal 12C ayat (2))
33. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara (Pasal 12C ayat (3))
34. Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Pasal 12C ayat (4)

Terdapat tujuh jenis tindak pidana korupsi berdasarkan UU Tipikor, yaitu:
1. Tindak pidana korupsi yang mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara
2. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap menyuap
3. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penggelapan dalam jabatan
4. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pemerasan
5. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan perbuatan curang
6. Tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Tindak pidana korupsi yang berupa gratifikasi.

Selanjutnya, Ronny Rahman Nitibaskara mengemukakan bahwa tindak pidana korupsi di masyarakat Indonesia sudah menjadi endemik yang sulit diatasi. Begitu pula dengan pendapat Umi Kulsum yang menyatakan bahwa tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan perbuatan yang telah mengakar dalam berbagai sendi kehidupan manusia, sehingga seolah-olah dianggap sebagai budaya.

Hendarman Supandji mengemukakan bahwa tindak pidana korupsi membawa dampak yang luar biasa terhadap kuantitas dan kualitas tindak pidana lainnya. Semakin besarnya kesenjangan sosial antara golongan kaya dengan golongan miskin memicu meningkatnya jumlah dan modus kejahatan yang terjadi di masyarakat. Sclain itu, Romli Atmasasmita menyatakan bahwa tindak pidana korupsi sudah berupa ancaman yang bersifat serius terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat nasional dan intemasional. Sehingga terdapat kepincangan pada bagian pendapatan yang diterima olch berbagai golongan masyarakat yang disebut sebagai relative inequality atau terdapat tingkat kemiskinan yang absolut (absolute poverly)

Frans Magnis Suseno juga menjelaskan bahwa praktik tindak pidana korupsi di Indonesia telah sampai pada tingkat yang membahayakan dalam kehidupan berbangsa dan bemegara. Hal ini dilihat dari kondisi perekonomian negara yang selalu berada dalam posisi yang kurang baik bagi perjalanan pembangunan di Indonesia.

Dalam buku Kristian dan Yopi Gunawan, disebutkan penjelasan UU Tipikor terkait dampak dari tindak pidana korupsi yang berbunyi:
"...mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan kekayaan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa..."

Selain itu disebutkan penjelasan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang menyatakan : 
"Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena iiu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan bisasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa"

Olch karena itu, upaya penanggulangan (pencegahan dan pemberantasan) tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan olch satu negara saja, melainkan dengan menggunakan kerja sama Internasional antar negara, upaya penanggulangan tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan hanya oleh aparat penegak hukum saja, melainkan harus melibatkan peran serta masyarakat, upaya penanggulangan tidak dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen hukum saja, melainkan harus memperhatikan instrumen-instrumen lainnya seperti pendidikan, sistem, budaya dan integritas.



KEGIATAN BELAJAR 2 
SUBJEK HUKUM DAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA KORUPSI 

Subjek hukum tindak pidana korupsi dapat berupa orang perseorangan atau korporasi. Dalam perkembangan praktik penegakan hukum, pelaku tindak pidana korupsi dominan dengan melibatkan direksi atau pcgawai perusahaan, baik perusahaan negara maupun perusahaan swasta.

Dalam Undang-Undang No. 31 Tahtm 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), disebutkan subjek hukum tindak pidana korupsi sebagai berikut :
1. Korporasi
Kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2. Pegawai negeri yang meliputi:
a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian
b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah
d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah
e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang menggunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat

Selain itu, dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggantan Negara yang Bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, menentukan komponen penyelenggara negara, sebagai berikut:
1. Pcjabat negara pada lembaga tertinggi negara
2. Pcjabat ncgara pada lembaga tinggi ncgara
3. Menteri
4. Gubemur
5. Hakim
6. Pcjabat negara lain yang sesuai dengan ketcntuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
7. Pcjabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara scsuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Yang dimaksud dengan pejabat lain. yaitu:
a. Direksi, Komisaris dan pcjabat struktural lainnya pada BUMN dan BUMD
b. Pimpinan Bank Indonesia dan Pimpinan Badan Penyehatan Perbankan Nasional
c. Pimpinan Perguruan Tinggi Negeri
d. Pcjabat eselon I dan pejabat lain yang disamakan di lungkungan sipil, militer dan Kepolisian Negara Republik Indonesia
e. Jaksa
f. Penyidik
g. Panitera pengadilan
h. Pcmimpin dan bendaharawan proyek

Selanjutnya, unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Tipikor adalah sebagai berikut:
1. Pasal 2 :
a. Pasal 2 ayat (1) :
1) Setiap orang
2) Melawan hukum
3) Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
4) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
5) Dipidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun.
6) Denda paling sedikit Rp200.000.000,- dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,-

b. Pasal 2 ayat (2) :
Tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, dapat dijatuhkan hukuman mati.

2. Pasal 3 :
a. Setiap orang
b. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
c. Menyalahgunakan kewenangan, kesempaan atau sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan
d. Dapat mcrugikan keuangan ncgara atau perekonomian ncgara
e. Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling sinbgkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun
f. Denda paling sedikit Rp50.000.000,- dan paling banyak Rp 1,000.000.000,-

3. Pasal 4 :
Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3

4. Pasal 5 :
a. Pasal 5 ayat (1) :
1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan/atau
2) Denda paling sedikit Rp50.000.000.- dan paling banyak Rp250.000.000.- setiap orang yang: a) Memberi atau menjanjikan sesuatu:
Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Dengan maksud supaya pegawai negcri atau penyelenggara negara tersebut:
Berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya;
Bertentangan dengan kewajibannya.
b) Memberi sesuatu:
Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban:
Dilakukan atau tidak dilakukan dalam jahatannya.
b. Pasal 5 ayat (2) :
a) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara
b) Menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud pada ayal (1) huruf a dan huruf b
c) Dipidana sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

5. Pasal 6 :
a. Pasal 6 ayat (1) :
1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan/atau 2) Denda paling sedikit RpI50.000.000.- dan paling banyak Rp750.000.000.- setiap orang yang: a) Memberi atau menjanjikan sesuatu:
Kepada hakim:
Dengan maksud:
Mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.
b) Memberi atau menjanjikan sesuatu;
Kepada advokah Dengan maksud;
Mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

b. Pasal 6 ayat (2) :
1) Hakim
2) Menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud ayat (I) huruf a
3) Advokat
4) Menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud ayai (I) huruf b
5) Dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud ayat  (1)

6. Pasal 7 :
a. Pasal 7 ayat (1) :
1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan/atau
2) Denda paling sedikit Rp100.000.000,- dan paling banyak Rp350.000.000.-
a) Pemborong, ahli bangunan:
Pada waktu membuat bangunan, atau menjual bangunan atau pada walau menyerahkan bahan bangunan;
Melakukan perbuatan curang:
Membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang:
b) Seliap orang:
Bertugas mengawasi pembangunan atau menyerahkan bahan bangunan:
Sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
c) Setiap orang:
Pada waktu menyerahkan barang keperluan TNI dan/atau Kepolisian Negara Republik Indomia;
Melakukan perbuatan curang;
Dapat membahayakan keselamatan negara; Dalam keadaan negara.
d) orang:
Bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dart Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Dengan sengaja;
Membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

b. Pasal 7 ayat (2) :
Setiap orang:
Menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang mencrima menyerahkan barang kcperluan TNI dan/atau Kepolisian Negara Republik Indonesia;
Membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c; Dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana diatur ayat (1).

7. Pasal 8 :
a. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun;
b. Denda paling sedikit Rp150.000.000.- dan paling banyak Rp750.000.000.-
c. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri;
d. Ditugaskan menjalankan suatu jabatan untuk secara terus-menerus atau untuk sementara waktu;
e. Dengan sengaja;
f. Menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut;
g. Diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.

8. Pasal 9 :
a. Dipidana dcngan pidana ganjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun;
b. Denda paling sedikit Rp50.000.000,-;
c. Pegawai negeri atau orang sclain pegawai negeri;
d. Diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu;
e. Dengan sengaja;
f. Memalsukan buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.

9. Pasal 10 :
a. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun;
b. Denda paling sedikit Rp100.000.000,- dan paling banyak Rp350.000.000.-
c. Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri;
d. Diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu;
e. Dengan sengaja :
1) Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk mcyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya;
2) Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daflar tersebut
3) Membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daflar tersebut.

10. Pasal 11 :
a. Dipidana dengan pidana pcnjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun;
b. Denda paling sedikit Rp50.000.000,- dan paling banyak Rp250.000.000,-
c. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
d. Menerima hadiah atau janji;
e. Diketahui atau patut diduga;
f. Hadiah atau janji tersebut;
g. Diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatan.

11. Pasal 12 :
a. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun;
b. Denda paling sedikit Rp200.000.000,- dan paling banyak Rp1.000.000.000,-;
c. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Menerima hadiah atau janji;
Diketahui atau patut diduga;
Hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya;
Bertentangan dengan kewajibannya

d. Pegawai negeri atau penyelenggara negara;
Menerima Hadiah;
Diketahui atau patut di duga bahwa hadiah tersebut;
Diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya;
Yang bertentangan dengan kewajibannya.

e. Hakim :
Menerima Hadiah atau janji;
Diketahui atau patut di duga;
Hadiah atau janji tersebut diberikan;
Untuk mempengaruhi putusanperkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili.

f. Seseorang :
Menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat;
Untuk menghadiri sidang pengadilan;
Menerima hadiah atau janji;
Padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan;
Berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili

g. Pegawai negeri atau penyelenggara negara :
Dengan maksud;
Menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
Secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekausaannya;
Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar atau menerimapembayaran dengan potongan, atau untuk  mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri

h. Pegawai negeri atau penyelenggara negara :
Pada waktu menjalankan tugas;
Meminta, menerima, atau memotong pembayaran;
Kepada pegawai negeri atau penyclenggara negara yang lain atau kepada kas umum;
Seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya:
Pada hal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

i. Pegawai negeri atau penyclenggara negara :
Pada waktu menjalankan tugas;
Meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang;
Seolah-olah merupakan utang kepada dirinya;
Pada hal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang.

j. Pegawai negeri atau penyelenggara negara :
Pada waktu menjaladan tugas;
Telah menggunakan tanah negara;
Yang diatasnya terdapai hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan:
Telah merugikan orang yang berhak;
Pada hal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

k. Pegawai negeri atau penyelenggara negara :
Baik langsung maupun tidak langsung;
Dengan sengaja;
Turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan;
Yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.

12. Pasal I2A :
a. Pasal I2A ayat (I) :
1) Ketentuan pidana penjara dan denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12
2) Tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000.-
b. Pasal I2A ayat (2) :
1) Pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000.-
2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp50.000.000.-

13. Pasal 12B :
a. Pasal I2B ayat (1) :
1) Setiap gratifikasi
2) Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
3) Dianggap suap
4) Apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Nilai Rp10.000.000.- atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi bukan merupakan suap yang dilakukan oleh penerima gratifikasi
b) Nilai kurang dari Rp10.000.000,-, pembuktian bahwa gratifikasi bukan merupakan suap yang dilakukan oleh penuntut umum

b. Pasal I2B ayat (2) :
1) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud ayat (I)
2) Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun 3) Denda paling sedikit Rp200.000.000.- dan paling banyak Rp1.000.000.000.-

14. Pasal 12C ayat (I) :
a. Ketentuan dalam Pasal I2B ayat (1) tidak berlaku bila penerima melaporkan gatifikasi yang diterimanya kepada KPK
b. Penyampaian laporan tersebut wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lama 30 hari kerja sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima
c. KPK dalam waktu paling lama 30 hari scjak menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara
d. Ketentuan tnengenai tata cara penyampaian laporan tersebut dan penentuan status gratifikasi diatur dalam Undang-Undang tentang KPK

Selanjulnya, berdasarkan unsur.unsur tindak pidana korupsi di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk atau jenis tindak pidana korupsi dapat dikclompokkan scbagai berikut:
1. Melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi dan dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian ncgara
2. Menyalahgunakan kewenangan untuk kepentingan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara
3. Mcnyuap pcgawai negeri
4. Memberikan hadiah kepada pegawai negeri karena jabatannya
5. Pegawai negeri menerima suap
6. Pegawai negeri mencrima hadiah yang berhubungan dengan jabatannya
7. Menyuap hakim
8. Menyuap advokat
9. Hakim dan advokat meneritna suap
10. Pegawai negeri menggelapkan uang membiarkan penggelapan
11. Pegawai negeri mcmalsukan buku untuk pemeriksaan administrasi
12. Pegawai negeri merusak bukti
13. Pegawai negeri membantu orang lain merusak bukti
14. Pegawai negeri memeras
15. Pegawai negeri memeras pegawai yang lain
16. Pemborong berbuat curang
17. Pengawas proyek membiarkan perbuatan curang
18. Rekanan TNI/Polri berbuat curang
19. Pcngawas rekanan TNI/Polri membiarkan perbuatan curang
20. Penerima barang TN1/Polri membiarkan perbuatan curang
21. Pegawai negeri menyerobot tanah negara sehingga merugikan orang lain
22. Pegawai negeri turut serta dalam pengadaan yang diurusnya
23. Pegawai negeri menerima gratifikasi dan tidak melapor ke KPK
24. Merintangi proses pemeriksaan
25. Bank yang tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu
26. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu
27. Saksi yang membuka keterangan pelapor

Dalam penjabaran unsur-unsur tindak pidana di atas, dalam buku Agus Mulya Karsona disebutkan juga beberapa bentuk pemberian yang termasuk gratifikasi sebagai berikut :
1. Pemberian hadiah atau yang kepada pegawai negeri atau penyclenggara negara sebagai ucapan terima kasih karena telah dibantu
2. Hadiah atau sumbangan dari rekanan yang diterima pejabat pada saat perkawinan anaknya 3. Pemberian tiket perjalanan kepada pejabat/pegawai negeri atau keluarganya untuk keperluan pribadi secara cuma-cuma
4. Pemberian potongan harga khusus bagi pejabat/pegawai negeri untuk pembelian barang atau jasa dari rekanan
5. Pemberian biaya atau ongkos naik haji dan rekanan kepada pejabat/pegawai negeri
6. Pemberian hadian ulang tahun atau pada acara-acara pribadi lainnya dari rekanan
7. Pemberian hadiah atau suvenir kepada pejaba/pegawai negeri pada saat berkunjung kerja
8. Pemberian hadiah atau parsel kepada pejabat/pegawai negeri pada saal hari raya keagamaan, oleh rekanan atau bawahannya
9. Pembiayaan kunjungan kerja lembaga legislatif, karena hal ini dapat mempengaruhi legislasi dan implementasinya olch eksekutif
10. Pungutan liar di jalan raya dan tidak disertai tanda bukti dengan tujuan sumbangan tidak jelas, oknum yang terlibat bisa jadi dari petugas kepolisian, retribusi, LLAJR dan masyarakat. Apabila kasus ini terjadi, KPK menyarankan agar laporan dipublikasikan oleh media massa dan dilakukan penindakan tegas terhadap pelaku
11. Penyediaan biaya tambahan 10-20 persen dari nilai projek
12. Uang retribusi untuk masuk pelabuhan tanpa tiket yang dilakukan oleh instansi pelabuhan, dinas perhubungan, dan dinas pendapatan daerah
13. Parsel ponsel canggih keluaran terbaru dari pengusaha ke pejabat
14. Perjalanan wisata bagi bupati menjelang akhir masa jabatan
15. Pembangunan tempat ibadah di kantor pemerintah
16. Hadiah pernikahan untuk keluarga PNS yang melewati batas kewajaran
17. Pengurusan KTP/SIM/Paspor yang dipercepat dengan uang tambahan
18. Mensponsori konferensi internasional tanpa menyebutkan biaya perjalanan yang transparan dan kegunaannya, adanya pencrimaan ganda, dengan jumlah tidak masuk akal
19. Pengurusan izin yang dipersulit.

Selanjutnya, persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia bukan hanya persoalan hukum dan penegakan hukum semata-mata melainkan persoalan sosial dan psikologi sosial yang sungguh sangat parah dan sama parahnya dengan persoalan hukum sehingga wajib segera dibenahi secara simultan. Korupsi juga merupakan persoalan sosial karena korupsi mengakibatkan tidak adanya pemerataan kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi mcrupakan penyakit sosial yang sulit disembuhkan.

Upaya untuk dapat melaksanakan pemberantasan korupsi secara cfcktif clisien salah satunya adalah melalui penerapan sistim Pembalikan Beban Pembuktian dan pembentukan suatu badan atau lembaga khusus yang independen dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi.Lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia adalah KPK berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberamasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Tidak hanya di Indonesia, di beberapa negam asing juga membentuk lembaga pemberantasan tindak pidana korupsi, seperti di Australia terdapat Independent Commission Against Coruption (ICAC) yang didirikan berdasarkan Independent Commission Against Coruption Act No. 35 Tahun 1988.

Payung hukum Intemasional mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi adalah United Nations Conrentions Againts Corruption (UNCAC) 2003. Instrumen Hukum internasional ini wajib ditaati oleh semua negara-negara seluruh Negara anggota PBB yang telah menandatangani dan meratifilcasi aturan Konvensi PBB tentang Korupsi tahun 2003, termasuk di dalamnya Indonesia yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Againns Coruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun Anti Korupsi 2003). 

Selain bentuk-bentuk tindak pidana korupsi beodasarkan UU Tipikor, terdapat bentuk-bentuk tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 15 sampai dengan Pasal 22 UNCAC, yang meliputi :
1. Penyuapan Pejabat Publik Nasional
2. Penyuapan Pejabai Publik Asing Dan Pejabat Organisasi Internasional Publik
3. Penggelapan, Penyalahgunaan, Atau Penyimpangan Kekayaan Lain Oleh Pejabat Publik
4. Pemanfaatan Pengaruh
5. Penyalahgunaan Fungsi
6. Memperkaya Diri Sendiri Secara Tidak Sah
7. Penyuapan Di Sektor Swasta
8. Penggelapan Kekayaan Di Sektor Swasta

Tindak pidana korupsi yang dapat ditangani oleh KPK terbatas pada tindak pidana korupsi sebagai berikut :
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat dan/atau
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,-

Selanjutnya, dalam pemberantasan atau penanggulangan tindak pidana korupsi terdapat kebijakan, yaitu kebijakan aplikatif tindak pidana korupsi dapat dari upaya memproses tindak pidana korupsi yang telah diidentifikasi sebelumnya dengan cara melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan putusan pengadilan. Begitu juga bagi kalangan legislatif yang melakukan tindak pidana korupsi, akan ditindaklanjuti juga sesuai dengan kebijakan forumulatif yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, terdapat kebijakan ancaman pidana yang diatur dalam undang-undang tindak pidana korupsi yang selama ini telah diatur dalam KUHP maupun UU Tipikor belum sepenuhnya mampu mencegah terjadinya tindak pidana korupsi terutama yang dilakukan olch pejabat legislatif.

Kebijakan dalam pemberaniasan atau penanggulangan tindak pidana korupsi menurut Muladi yaitu, kebijakan kriminal (criminal policy) yang bersifat represif melalui sistem peradilan pidana yang efektif memang sangat strategis, namun hal ini hanya dapat dilakukan setelah terjadinya kejahatan (after the fact), Padahal langkah-langkah preventif untuk mencegah tetjadi dan berkembangnya kejahatan serta menghindari kerugian yang besar tidak kalah pentingnya.

Kebijakan preventif (preventive policy) tersebut misalnya adalah pembentukan lembaga anti korupsi, transparansi dalam pengelolaan dana-dana kampanye pemilu dan partai politik. peningkatan efisiensi dan transparansi dalam pclayanan publik, rekrutmen atas dasar system, penegakan "code of conduc" untuk para pejabat publik, pengungkapan kekayaan penyelenggara negara, penegakan tindakan disiplin, kewaspadaan terhadap wilayah rawan (critical areas) korupsi dalam sektor publik seperti pengadilan dan pengadaan perbekalan publik (public procurement), serta penegakan standar tinggi perilaku untuk pelayanan publik. Di samping itu tidak kalah pentingnya keterlibatan semua anggota masyarakat secara aktif dalam usaha pemberantasan korupsi, termasuk Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan elemen-elemen lain masyaralcat sipil serta peningkatan kesadaran masyarakat terhadap korupsi dan langkah-langkah apakah yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut.

Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan dengan cara konvensional, harus dilakukan dengan cara yang berbeda dan di luar kelaziman penanggulangan kejahatan lainnya. Salht satu upaya yang dapat dilakukan tersebut adalah mendorong agar hukum mampu berperan dalam upaya mencipiakan kontrol guna mencegah hasil tindak pidana korupsi untuk dinikmati oleh para koruptor, di samping itu upaya ini mcrupakan bentuk dari asset recovery (pengamanan aset). 

Barda Nawawi Arief
berpendapat bahwa Upaya melakukan pembaharuan Undang-Undang atau perangkat hukum memang mcrupakan langkah yang sepatutnya dilakukan, namun kerena korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah, maka juga ditempuh "pendekatan integra". Tidak hanya melakukan law reform, tetapi juga disertai dengan social, economic, political, cultural, moral, and administrative reform.



MODUL 3
KEGIATAN BELAJAR 1 
PENGERTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 

Istilah pencucian uang alau money laundering telah dikenal sejak Tahun 1930 di Amerika Serikat, yaitu ketika Al Capone,  penjahat terbesar di Amerika masa lalu, mencuci uang hitam dari usaha kcjahatannya dengan memakai Meyer Lansky, orang Polansia, yaitu seorang akuntan, mencuci uang kejahatan Al Capone melalui usaha binatu (laundry) menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan pengemasan daging.
Uang hasil bisnis ilegal ini dikirimkan ke beberapa bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasiaan nasabah, untuk didepositokan. Deposito ini kemudian diagunakan untuk mendapatkan pinjaman yang dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya.

Selanjulnya, Al Capone membeli perusahaan yang sah dan resmi, yaitu perusahaan pencucian pakaian atau disebut laundromat yang ketika itu terkenal di Amerika Serikat sebagai salah satu strateginya, yang kemudian usaha pencucian pakaian ini berkembang maju, dan berbagai perolehan uang hasil kejahatan seperti dari cabang usaha lainnya ditanamkan ke perusahaan pencucian pakaian ini, seperti uang hasil minuman keras ilegal, hasil perjudian dan hasil usaha pelacuran.

Secara etimologis, pencucian uang berasal dari bahasa Inggris yaitu money "uang" dan laundering "pencucian", jadi, secara harfah money laundering merupakan pencucian uang atau pemutihan uang hasil kejahatan, yang sebenamya tidak ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai money laundering.

Baik negara-negara maju dan negara-negara dunia ketiga masing-masing mempunyai definisi sendiri-sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda, namun para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money laundering dengan pencucian uang. 

Money Laundering biasanya dilakukan atas beberapa alasan, seperti karena dana yang dimiliki adalah hasil curian/korupsi, hasil kejahatan (semisal pada sindikat kriminal), penjualan ganja, pelacuran, penggelapan pajak. dan sebagainya. Atas hal tersebut maka uang tersebut harus "dicuci" atau ditransaksikan ke pihak ketiga, lewat badan hukum, atau negara dunia ketiga. Untuk itu, perlu diperketat mengenai pengawasan aliran dana baik asal usul sumbernya maupun tujuan dana pemakaian dana tersebut. Tujuannya adalah tidak lain untuk memutus dan mencegah rantai aliran dana yang tidak jelas tersebut yang akan "dicucikan" olch pemiliknya.

Menurut Sarah N. Welling, uang kotor (dirty money) tersebut discbabkan olch dua cara. Pertama, melalui penggelapan pajak (tax evasion), memperoleh uang secara legal atau halal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan penghitungan pajak lebih sedikit dari pada yang sebenamya diperoleh. Kedua, memperoleh uang melalui cara-cara yang melanggar hukum. Teknik-teknik yang bia.sa dilakukan untuk hal itu antara lain ialah penjualan obat-obata terlarang atau perdagangan narkoba secara gelap (drug sales atau drug trafficking).

Kejahatan pencucian uang adalah suatu kejahatan yang berdimensi internasional schingga penaggulangannya harus dilakukun secara kerja sama intemasional, prinsip dasar pencucian uang adalah menyembunyikan sumber dana tersebut dari segala pencucian uang dari aktivitas ilegal dengan melegalkan uang tersebut.
Untuk melakanakan hal tersebut uang diisyaratkan disalurkan melalui suatu penyesatan (imaze) guna menghapus jejak peredarannya dan orang-orang yang mempunyai uang tersebut menyalurkan bisnis yang fiktif yang tampaknya sebagai sumber penghasilan.

Secara umum pencucian uang dapat dirumuskan sebagai suatu proses dimana seseorang menyembunyikan penghasilannya yang berasal dari sumber ilegal dan kemudian menyamarkan penghasilan lersebul agar tampak legal (money laundering is the proces by which once conceals the existence of irs illegals sources, or it illegal application of income and the disquises that income, to make it aimear legimate). Dengan perkataan lain perumusan tersebut berarti suatu proses merubah uang haram (dirty money) atau uang yang diperoleh dari aktiviias ilegal menjadi halal (legimate money).

Menurut Made M. I Pastika, pencucian uang adalah cara dimana seseorang mengubah uang "haram" yang dimilikinya menjadi uang "bersih" yang bisa ditelusuri kembali kepada mereka, dan tidak bisa dihubungkan dengan kejahatan manapun. Sedangkan, menurut Anwar Nasution, pencucian uang adalah suatu cara atau proses untuk mcngubah uang "haram" yang sebenarnya dihasilkan dari sumber ilegal schingga menjadi uang yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah atau halal.

Teknik-teknik yang biasa dilakukan untuk hal itu, antara lain penjualan obat-obatan terlarang atau perdagangan narkoba secara gelap (drag sales atau drag trafficking), penyuapan (bribery), terorisme (terrorism), pelacuran (prostitution), perdagangan senjata (arms trafficking), penyelundupan minuman keras, tembakau, dan pomografi (smuggling of contraband alcohol, tobacco, pomography), penyelundupan imigran gelap (illegal immigration rackets alau people smuggling), dan kejahatan kerah putih (White collar crime). 

Implikasi negatif yang ditimbulkan olch kegiatan pencucian uang misalnya dengan penyelewengan pajak yang mengurangi porsi pendapatan negara, moral pejabat menjadi tidak terkontrol, karena semakin tergiur untuk melakukan korupsi dan penyalahgunaan jabatan lainnya. Pencucian uang juga dapat mempengaruhi sistem ekonomi dan politik suatu negara menjadi goyah.

Tindak pidana pencucian uang (money latendering) secara populer dapat dijelaskan sebagai aktivitas memindahkan, menggunakan atau melakukan perbuatan lainnya atas hasil dari tindak pidana yang kerap dilakukan oleh kejahatan terorganisir (organized crime) maupun individu yang melakukan tindakan korupsi, perdagangan narkotika dan tindak pidana lainnya.
Hal ini bertujuan menyembunyikan atau mengaburkan asal-usul uang yang berasal dari hasil tindak pidana tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang sah tanpa terdeteksi bahwa uang tersebut berasal dari kegiatan ilega1.

Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana bawaan (derifative crime) yang selalu di awali dengan tindak pidana asal (predicate crime), seperti tindak pidana korupsi, narkotika, psikotropika dan terorisme. Dirty money, uang kotor atau uang ilegal yang dihasilkan dari tindak pidana asal dicuci atau diproses untuk disamarkan, sehinggan tersembunyi asal usulnya dan tidak dapat di kctahui serta dilacak olch para penegak hukum.
Setelah proses pencucian uang selesai dilakukan, maka uang tersebut secara formil yuridis merupakan uang yang berasal dari sumber yang sah atau kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum. Berdasarkan proses-proses tersebut, tindak pidana pencucian uang dapat dikatakan sebagai sarana untuk menghilangkan jejak asal usul dari uang hasil tindak pidana asal dan menjadikan uang tersebut sebagai uang yang legal secara formil yuridis.

Sutan Remy Sjandeini, mendefinisilcan pencucian uang atau money laundering sebagai:
"Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kcjahatian dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (finacial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal."

Perangkat Undang-Undang tentang pencucian uang di Indonesia merupakan sala satu langkah pemberantasan tindak pidana pencucian uang dipengaruhi oleh tuntutan masyarak Internasional serta kepentingan Internasional yang memaksa dan mendesak Indonesia untuk melakukan kriminalisasi dengan melihat bahayanya kejahatan tersebut bagi Internasional, hal ini dilandai dengan masuknya negara Indonesia sebagai salah satu negara dimana pencucian uang sebagai salah satu kategori serious crime. 

Desakan intemasional antara lain Financial Action Task Force (FATF) dimana Indonesia dan 17 negara lainnya mendapat ancaman sanksi Intemasional serta dimasukkan sebagai negara yang tidak kooperatif dalam mcmberantas pencucian uang atau Non Cooperative Coutries and Trytorries to Combat Money Laundering/NCCiS. 

Awalnya, Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi sasaran dari pelaku kejahatan intemasional untuk melakukan pencucian uang. hal terscbut disebabkan oleh :
1. Indonesia belum memiliki ketentuan yang mengatur larangan bank atau pelaku bisnis lokal yang menerima uang hasil kejahatan. Selama ini Indonesia tidak ada ketentuan yang membolehkan pclacakan dari mana uang tersebut diperoleh, bahkan sebaliknya Indonesia justru memiliki sistem kerahasiaan perbankan yang ketat.
2. Banyak peluang bisnis yang sah yang dapat dimaksuki olch pelaku kejahatan internasional di Indonesia. Keadaan ini masih ditambah dengan keterpurukan Indonesia di bidang ekonomi yang membnutuhkan dana dari investor asing schingga semakin menjadikan Indonesia sebagai negara yang menarik untuk dimasuki oleh para pelaku kejahatan untuk melakukan kegiatan pencucian uang.

Pada tingkat Internasional, upaya untuk memerangi kegiatan pencucian uang dilakukan dengan melakukan berbagai perjanjian internasional dimana terdapat ketentuan yang mengatur tentang upaya-upaya pemberantasan praktik pencucian uang.
Maka dari itu, pada tahun 1998, terdapat The United Nation Convention Against lllicit Trafic in Narcotics, Drugs and Psycontropic Substances, atau UN Drugs Convention atau Vienna Convention, yang dalam Pasal 3 Konvensi tersebut menyebutkan bahwa pencucian uang atau money laundering berarti setiap tindakan yang dilakukan dengan sengaja dalam hal-hal sebagaimana dibawah ini :
1. Konversi atau pengalihan barang, yang diketahui bahwa barang tersebut berasal dari suatu kegiatan kriminal atau ikut berpartisipasi terhadap kegiatan tersebut, dengan tujuan untuk menyembunyikan sifat melawan hukum dari barang tersebut, atau membantu sescomng yang terlibat scbagai perantara dalam kegialan tersebut untuk menghilangkan konsekuensi hukum dari kegiatan tersebut.
2. Menyembunyikan keadaan yang sebenamya, sumbernya, lokasi, pengalihan, penggerakan, hak-hak yang berkenaan dengan kepemilikan atau barang-barang dimana yang bersangkutan mengetahui bahwa barang tersebui berasal dari kegiatan kriminal atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
3. Perolehan, penguasaan, atau pemanfaatan dari barang-barang dimana pada waktu menerimanya yang bersangkutan mengetahui bahwa barang-barang tersebut berasal dari tindakan kriminal atau ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut.
4. Segala tindakan partisipasi dalam kegiatan untuk melaksanakan percobaan untuk melaksanakan, membantu, bersekongkol, menfasilitasi, dan memberikan nasehat terhadap tindakan-tindakan tersebut diatas.

Selain itu, terdapat United Nation Convention Against Transnational Organized Crime.
Sekarang, Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) telah diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Pasal 1 angka I UU TPPU, disebutkan bahwa definisi dari pencucian uang adalah scgala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana.

Adapun latar belakang para pelaku pencucian uang melakukan aksinya adalah dengan mansud memindahkan atau menjauhkan para pelaku itu dari kejahatan yang menghasilkan proceeds of crime, memisahkan proceeds of crime dari kejahatan yang dilakukan, menikmati hasil kejahatan tanpa adanya kerurigaan kepada pelakukanya, serta melakukan reinvestasi hasil kejahatan tersebut untuk aksi kejahatan selanjutnya atau ke dalam kegiatan usaha yang sah.

Sementara itu, Black's Law Dictionary memberikan balasan tentang pencucian uang sebagai berikut :
 "Term used to describe investment or other transfer of money flowing from racketeering, drug transaction, and other illegal sources into legitimate channels so that its original source cannot be traced" 

Juni Sjafrien Jahja dalam bukunya menjelaskan bahwa terdapat dua alasan pokok yang menyebabkan praktik pencucian uang diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana, yaitu :
1. Pengaruh pencucian uang pada sistem keuangan dan ekonorni diyakini berdampak negatif bagi perekonomian dunia.
Hal tersebut tcrjadi karena uang hasil tindak pidana diinvestasikan di negara-negara yang dirasakan aman untuk mcncuci uangnya, walaupun hasilnya lebili rendah. Uang hasil tindak pidana ini dapat saja beralih dari suatu negara yang perekonomiannya kurang baik.
Dampak negatifnya money laundering bukan hanya menghambat penumbuhan ekonomi dunia saja, tetapi juga menyebabkan kurangnya kepercayaan publik terhadap sistem keuangan internasional, fluktuasi yang tajam pada nilai tukar suku bunga dan dapat mengakibatkan ketidakstabilan pada perekonomian nasional dan internasional.
2. Dengan ditetapkannya pencucian uang sebagai tindak pidana akan memudahkan penegak hukum untuk mclakukan penindakan terhadap pelaku kcjahatan tersebut.
3. Orientasi pemberantasan tindak pidana sudah beralih dari "menindak pelakunya" ke arah menyita "hasil tindak pidana". Pernyataan pencucian uang sebagai tindak pidana juga merupakan dasar bagi penegak hukum untuk memidanakan pihak ketiga yang dianggap menghambat upaya penegakan hukum.

Dalam UU TPPU diatur tcntang perbuatan-perbuatan yang mcrupakan tindak pidana pencucian uang sebagai berikut: 
1. Pasal 3
Perbuatan menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya.

2. Pasal 4
Perbuatan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumbcr, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenamya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya.

3. Pasal 5
a. Pasal 5 ayat (1)
Perbuatan menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, pcnitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya,
b. Pasal 5 ayat (2)
Perbuatan pada ayat (1) tidak bcrlaku bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

4. Pasal 6
a. Pasal 6 ayat (1)
b. Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi.
c. Pasal 6 ayat (2)
Pidana dijatuhkan terhadap korporasi apabila tindak pidana pencucian uang :
1) Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi;
2) Dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan korporasi;
3) Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
4) Dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi.

5. Pasal 7
a. Pasal 7 ayat (1)
Pidana pokok yang dijatuhkan kepada korporasi adalah pidana denda
b. Pasal 7 ayat (2) Selain pidana denda sebagaimana diatur pada ayat (1), terhadap korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa :
1) Pengumuman putusan hakim;
2) Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi;
3) Pencabutan izin usaha;
4) Pembubaran dan/atau pelarangan korporasi;
5) Perampasan aset korporasi untuk negara; dan/atau
6) Pengambilalihan korporasi oleh negara

6. Pasal 8 Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4. dan Pasal 5. pidrum denda tersebut digami dengan pidana kurungan.

7. Pasal 9
a. Pasal 9 ayat (1)
Dalam hal korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan harta kckayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.
b. Pasal 9 ayat (2)
Dalam hal penjualan harta kekayaan milik korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak meneukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatulikan terhadap personil pengendali korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar.
c. Pasal 10
Perbuatan turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

Selain itu, terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang, yaitu: 
1. Pasal 11
a. Pasal 11 ayat (1)
Pcrbuatan memperolch dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut undang-undang ini wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut, kccuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang ini.
b. Pasal 11 ayat (2)
Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara.
c. Pasal 11 ayat (3)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, dan hakim jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Pasal 12
a. Pasal 12 ayat (1)
Dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.
b. Pasal 12 ayat (2)
Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada lembaga pengawas dan pengatur.
c. Pasal 12 ayai (3)
Dilarang memberitahukan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada pengguna jasa atau pihak lain.
d. Pasal 12 ayat (4)
Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut Undang-Undang ini.
e. Pasal 12 ayat (5)
Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara dan denda

3. Pasal 13
Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda scbagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5), pidanadenda tersebut diganti dengan pidana kurungan.

4. Pasal 14
Setiap orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara dan denda.

5. Pasal 15
Pejabat atau pegawai PPATK yang melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara dan denda.

6. Pasal 16
Dalam hal pcjabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana Pencucian Uang yang sedang diperiksa, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1 ) dan/atau Pasal 85 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara.

Dalam proses pencucian uang ada empat faktor yang harus diperhatikan, antara lain: 
1. Merahasiakan siapa pemilik yang sebenarnya ataupun sumber uang hasil kejahatan tersebut
2. Mengubah bentuknya sehingga mudah dibawa ke mana-mana
3. Merahasiakan proses pencucian tersebut sehingga menyulitkan pelacakan oleh petugas
4. Mudah diawasi oleh pemilik kekayaan yang sebenarnya.

Pada umumnya, modus operandi kejahatan pencucian uang umumnya dilakukan melalui cara-cara antara lain sebagai berikut: 
1. Melalui kerja sama modal
Uang hasil kejahatan secara tunai dibawa ke luar negeri. Lalu, uang tersebut kembali dalam bentuk kerja sama modal (joint venture project). Keuntungan investasi tersebut diinvestasikan lagi dalam berbagai usaha lain.
Keuntungan usaha ini dinikmati sebagai uang yang sudah bersih karena tampaknya diolah secara legal, bahkan sudah dikenakan pajak.
2. Melalui agunan kredit
Uang tunai disclundupkan ke luar negeri, lalu disimpan di bank negara tertentu yang prosedur perbankannya tidak sulit. Dari bank tersebut lalu di transfer ke Bank Swiss dalam bentuk deposito. Kemudian dilakukan peminjaman suatu bank di Eropa dengan jaminan deposito.
3. Melalui perjalanan negeri
Uang tunai ditransfer ke luar negeri melalui bank asing yang ada di negaranya, lalu uang tersebui dicairkan kembali dan dibawa kembali ke negara asalnya olch orang tertentu seakan-akan uang tersebut berasal dari luar negeri.
4. Melalui penyamaran usaha dalam negeri
Dengan uang tersebut didirikanlah perusahaan samaran, tidak dipermasalahkan apakah uang tersebut berasal dari mana atau halal tidaknya. Namun, kesannya usaha tersebut telah menghasilkan uang "bersih".
5. Melalui penyamaran perjudian
Dengan uang tersebut didirikanlah usaha perjudian. Tidak menjadi masalah apakah menang atau kalah, tetapi akan dibuat kesan "menang" schingga ada alasan asal-usul uang tersebut.
6. Mclalui pcnyamaran dokumen
Uang tersebut secara fisik tidak ke mana-mana, tetapi keberadaannya didukung olch berbagai dokumen palsu atau dokumen yang di ada- adakan.
7. Melalui pinjaman luar negeri
Uang tunai dibawa ke luar negeri dengan berbagai cara, lalu uang tersebut dimasukkan kembali sebagai pinjaman luar negeri. Hal ini seakan-akan memberi kesan bahwa pelaku memperoleh bantuan kredit dari luar negeri.
8. Melalui rekayasa pinjaman luar negeri
Uang secara fisik tidak ke mana-mana, tetapi kemudian dibuat suatu dokumen seakan-akan ada bantuan pinjaman luar negcri. Jadi, pada kasus ini sama sekali tidak ada pihak pemberi pinjaman. Hal yang ada hanya dokumen pinjaman, yang kemungkinan besar adalah dokumen palsu.
9. Dengan cara memberikan sumbangan.
Baik berupa uang ataupun benda-benda bergerak maupun benda tetap/tidak bergerak pada pihak-pihak tertentu. Benda bergerak seperti, mobil, motor, emas, mesin, dan lainnya. Benda tidak bergerak seperti, rumah, tanah, dan lainnya. Pihak-pihak tertentu seperti, yayasan, panti asuhan, majelis taqlim, pengurus masjid, gereja dan sebagainya.

Dilihat dari sisi prosesnya atau mekanisme, Yenti Garnasih berpendapat bahwa pencucian yang dapai dilakukan dengan cara tradisional dan modern. Hal ini membuktikan bahwa pencucian uang sudah terjadi sejak lama.

Cara modern yang dimaksud ialah melalui placement, layering, dan integration. Sedangkan, cara tradisional yang dimaksud ialah melalui suatu jaringan atau sindikat etnik yang sangat rabasia. Di China. dilakukan dengan memanfaatkan semacam bank rahasia atau disebut hui (hoi) atau The Chinese Chip (Chop), di India dilakukan melalui sistem pengiriman uang tradisional yang disebut hawala, sedangkan di Pakistan disebut dengan hundi. Cara-cara tersebut dilakukan sejak lama dan diyakini masih berlangsung hingga sekarang.

Tiga tahap dalam proses pencucian uang secara modern yaitu placement, layering dan integration. Selanjutnya, terdapat mekanisme pencucian uang scbagai berikut: 
1. Placement 
Placement (penempatan) merupakan upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque. wesel bank, seriffikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan.
Placement merupakan tahap yang paling sederhana, suatu langkah untuk mengubah uang yang dihasilkan dari kegiatan kejahatan ke dalam bentuk yang kurang menimbulkan kecurigaan dan pada akhirnya masuk ke dalam jaringan sistem keuangan.
Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik dari uang tunai baik melalui pcnyclundupan uang tunai, menggabungkan antara uang dari kcjahatan dengan uang dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan melakukan penempatan uang giral ke dalam sistem perbankan misalnya deposito bank, cek atau melalui real estate atau saham, atau juga mengkonversikan ke dalam mata uang asing atau transfer uang ke dalam valuta asing. Dengan demikian, melalui penempatan (placement), bentuk dari uang hasil kcjahstan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul uang yang tidak sah tersebut.
Dalam rangka mencegah industri jasa keuangan dipakai oleh para pelaku tindak pidana untuk mencuci uangnya dan untuk mendeteksi proses placement diciptakanlah Cash Transaction Report atau CTR (laporan transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai). Kadangkala placement ini dapat dideteksi juga dengan menggunakan Laporan Transaksi Yang Mencurigakan (Suspicious Transaction Report atau STR). 
Kedua laporan ini diatur dalam Pasal 13 UU TPPU. Laporan transaksi tunai yang diatur undang-undang adalah un. transak, tunai yang berjumlah kumulatif sebesar lima ratus juta atau lebih , baik dalam rupiah rupiah maupun dalam valuta asing. Suatu jumlah yang dianggap olch sementara orang sebagai jumlah yang terlalu besar.

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan berpendapat bahwa bentuk kegiatan ini antara lain :
a. Menempatkan dana pada bank. Kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan.
b. Menyetorkan uang pada Penyedia Jasa Keuangan (PJK) sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail
c. Menyeludupkan uang tunai dari suatu negara ke negam lain.
d. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah bcrupa kredit/pembiayaan, sehingga mengubah kas menjadi kredit/pembiayaan.
e. Membeli barang-barang berharga yang bernilai untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan/hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK.

2. Layering 
Layering mempakan upaya mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) ynag telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain. Dilakukannya layering, membuat penegak hukum sulit untuk dapat mengetahui asal-usul harta kekayaan tersebut.
Dalam layering terjadi pemisahan hasil kcjahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan atau pelaku pencuci uang berusaha memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya. Terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui transaksi kompleks yang didesain uniuk menyamarkan sumber dana "haram" tersebut. Layering dapat dilakukan melalui pembukaan scbanyak mungkin rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank. Dengan demikian, pada tahap ini sudah terjadi pengalihan dana dari bcbcrapa rekcning ke rekening lain melalui mekanisme transaksi yang kompleks, termasuk kcmungkinan pembentukan rekening fiktif dengan tujuan menghilangkan jejak.
Proses "layering" ini dideteksi dengan adanya laporan transaksi keuangan yang mencurigakan (suspicious transaction report atau STR) seperti diatur dalam Pasal 13 UU TPPU. Laporan STR ini mengingat memerlukan judgement dari bank sudah tentu lebih berbobot dibandingkan CTR. Sementara itu yang dimaksud dengan tamsaksi keuangan yang mencurigakan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7 UU TPPU merupakan transaksi yang menyimpang dari prolil dan karakteristik nasabah serta kebiasan nasabah termasuk transalcsi yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan.

Secara umum bentuk kegiatan ini antara lain:
a. Transfer dana dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah/negara.
b. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah
c. Memindahkan uang tunai lintas batas negara mclalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company

3. Integration 
Integration (penggabungan) merupakan upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan (placement) atau transfer (layering) sehingga scolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Disini yang yang "dicuci" melalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi schingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kcjahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang dicuci. Integration ini merupakan tipu muslihat untuk dapat memberikan legitimasi terhadap uang hasil kejahatan.

Dalam ketiga tahap proses pencucian uang tersebut, laporan yang disampaikan oleh penyedian jasa keuangan sangat penting untuk digunakan sebagai upaya melakukan deteksi. Itu pulalah sebabnya mengapa penyedia jasa keuangan yang dengan sengaja tidak menyampaikan laporan kepada PPATK dipidana dengan denda paling banyak dua ratus lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah. Denda pidana ini sudah tentu diputuskan melalui proses pengadilan. Selain itu, apabila tindak pidana pencucian uang dilakukan olch korporasi, misalnya penyedia jasa keuangan, maka terhadap korporasi tersebut dapat dijatuhkan pidana denda dengan ketentuan maksimum pidana ditambah satu pertiga.

Korporasi tersebut dapat juga dikenakan hukuman tambahan berupa pemcabutan izin usaha dan/atau pembubaran korporasi yang diikuti dengan likuidasi. Untuk bank, sanksi seperti ini merupakan suatu hal yang sangat berat, karena bank begitu banyak memiliki kreditur, debitur dan pegawai serta mengingat begitu pentingnya peranan perbankan dalam perekonomian.

Penyedia jasa keuangan di atas diartikan sebagai penyedia jasa dibidang keuangan, misalnya bank, perusahaan pembiayaan, dana pensiun lembaga keuangan, perusahaan efek, pedagang valuta asing, penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu, koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam, pegadaian, dan penyelenggam kegiatan usaha pengiriman uang.

Sedangkan, metode yang digunakan untuk melakukan Pencucian uang di Australia terdiri atas: 
1. Real Estate 
Kekayaan atau asset lainnya dibeli dengan menggunakan nama samaran, seperti perusahaan, keluarga atau teman
2. Concealed Identity 
Dana didepositokan, atau dipindahkan melalui rekening yang nama samaran seperti halnya perusahaan, keluarga atau teman
3. Funds sent overseas 
Hasil kejahatan dikirim ke luar negeri dengan menggunakan beberapa sarana termasuk telegraphic transfer, travelers checques, atau bahkan uang tersebut dibawa secara fisik keluar negeri
4. False Income 
Hutang palsu dibuat dengan jalan seolah berhutang dengan orang lain dengan pembayaran itu dilakukan dari hasil kcjahatan yang disediakan untuk orang tersebut. Cara ini meliputi deposito palsu atas kekayaan yang dimiliki oleh pelaku, pinjaman kcluarga atau pinjaman yang keluarga atau kepada perusahaan yang dimiliki si pelaku.
5. Mingling
Dana scolah menjadi bagian dari kegiatan bisnis yang sah.

Kegiatan money laundering dalam sistem keuangan pada umumnya dan sistem perbankan pada khususnya memiliki risiko yang sangat besar. Risiko tersebut antara lain risiko operasional, risiko hukum, risiko terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi. Bagi perbankan Indonesia tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang sangat rawan karena. Pertama, peranan sektor perbankan dalam sistem keuangan di Indortesia diperkirakan mencapai 93%.

Oleh sebab itu sistem perbankan menjadi perhatian utama dalam pelaksanaan rezim anti-money laundering. Kedua, tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri perbankan menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang dan merupakan sarana yang paling efektif untuk melakukan kegiatan money laundering. Pclaku kcjahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga asa1 usul uang tersebui sulit dilacak oleh penegak hukum.

Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
1. Penyimpanan uang hasil kcjahatan dengan nama palsu atau dalam safe deposit box,
2. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito/tabungan/ giro;
3. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal
4. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada bank yang bersangkutan;
5. Penggunuan fasilitas transfer alau EFT;
6. Pemalsuan dokumen-dokumen L/C yang bekerjasama dengan oknum pejabat bank terkait;
7. pendirian/pemanfaatan bank gelap.

Hal-hal tersebut diatas terjadi karena adanya kemudahan dalam proses pengelolaan hasil kcjahatan pada berbagai kegiatan usaha bank, karena penggunaan bank sangat diperlukan dalam upaya mengaburkan asal-usul sumber dana. Selain hal tersebut perlu dicermati berlakunya System Real Time Gross Settlement (RTGS) pada transaksi ransfer dana antar bank, karena dalam hitungan detik pelaku kejahatan dapat dengan mudah memindahkan dana hasil kejahatannya.
Demikian juga penggunaan media pembayaran yang bersifat elektronik lebih sulit dilacak, terutama apabila dana tersebut masuk kc dalam sisteni perbankan di negara yang ketat dalam menerapkan ketentuan rahasia bank. Tingginya tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat industri ini menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang.

Pencucian uang dapai berdampak dimana transaksi-transaksi yang ilegal dapai mencegah pihnk-pihak tertentu melakukan transaksi-transaksi yang legal karena kontaminasi. Beberapa transaksi yang melibatkan pihak luar negeri meskipun scpenuhnya legal, nyatanya telah menjadi kurang diminati karena adanya dampak pencucian uang.

Tindak pidana pencucian uang dapat tnenimbulkan dampak ekonomi makro dan mikro. Dampak-dampaknya adalah sebagai berikut : 
1. Dampak ekonomi makro
a. Tindak pidana pencucian uang menghindari pembayaran pajak sehingga mengurangi penerimaan Negara.
b. Apabila transaksi keuangan dilakukan dengan membawa uang yang ilegal ke luar negeri maka akan membuat neraca pembayaran negara luar negeri defisit.
c. Apabila negara memperopleh sejumlah uang ilegal dari luar negeri maka akan menambah kegoncangan stabilitas ekonomi makro.
2. Dampak ekonomi mikro
a. Cara perolehan yang olegal mengganggu jalannya mekanisme pasar.
b. Transaksi keuangan untuk melegalkan hasil perolchan uang yang ilegal membawa dampak penurunan produktivitas masyarakat.

Dampak pencucian uang menurut John McDowel dan Gary Novis (Bureau of Internasional Narcotics and Low Enforcement Affairs) sebagaimana dikutip oleh Sutan Remy Sjandeni adalall sebagai berikut : 
1. Merongrong sektor swasta yang sah
Salah satu dampak pencucian uang terasa di sektor swasta. Para pencuci uang menggunakan perusahaan-perusahaan untuk mencapurkan uang hasil kejahatan dengan uang sah, dengan tujuan untuk menyembunyikan uang hasil kegiatan kejahatan.
2. Merongrong integritas pasar-pasar keuangan
Lembaga-lembaga keuangan yang mengandalkan kegiatannya pada dana yang merupakan hasil kejahatan dapat menghadapi bahaya likuiditas karena tiba-tiba dana yang baru saja ditempatkan menghilang dari bank tersebut karena pemiliknya memindahkan melalui wire transfer. Hal ini dapat membuat runtuh sejumlah bank sebagai lembaga keuangan di dunia.
3. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya.
Pencucian uang dapat menimbulkan dampak yang tidak diharapkan terhadap nilai-nilai mata uang dan tingkat suku bunga. Hal ini terjadi setelah pencuci uang, menanamkan kembali dana-dana tersebut dengan alasan di negara-negara dimana mereka melakukan kegiatan tersebut memiliki kemungkinan yang kecil sekali untuk di deteksi. Maka dapat meningkatkan ancaman ketidakstabilan moneter. Lebih lanjut dapat berakibat kepada lepasnya kehendak pemerintah terhadap kebijakan perekonomian negara.
4. Timbul distorsi dan ketidakstabilan ekonomi
Para pencuci uang melakukan investasi dengan uang hasil kejahatan ke dalam kegiatan-kegiatan yang dianggap aman dari otoritas penegak hukum, seperti industri konstruksi dan perhotelan dimana industri tersebut memiliki kepentingan jangka pendek dengan pencuci uang. Hal ini memiliki akibat dimana apabila industri tersebui tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan para pencuci uang untuk menyembunyikan uang hasil kejahatan, maka mereka akan meninggalkan usaha itu, dan akibatnya sektor-sektor tersebut akan mengalami kerusakan parah yang berdampak terhadap ekonomi.
5. Mengurangi pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak
Pencucian uang mengurangi pendapatan pajak pemerintah karena objek pajaknya tidak dapat diketahui kemana. Hal ini mengakibatkan pengumpulan pajak oleh pernerintah menjadi sulit, akibatnya berkurangnya pendapatan pajak tersebut maka tinglcat pembayaran pajak menjadi lebih tinggi dari normalnya. Secara tidak langsung hal ini merugikan wajib pajak yang jujur.
6. Membahayakan upaya-upaya privatisasi perusahaan-perusahaan negara yang dilakukan olch pemerintah
Pencucian uang dapat mengancam upaya-upaya negara-negara yang sedang melakukan reformasi ekonomi melakukan privatisasi. Dengan dana hasil kejahatan tersebut, organisasi kejahatan tersebut mampu membeli saham-saham perusahaan negara yang di privatisasi dengan harga yang jauh lebih tinggi dari calon pembeli lainnya. Maka, perusahaan negara yang di privatisasi ini akan jatuh ke tangan organisasi kejahatan tersebut karena digunakan sebagai wahana untuk mencuci uang hasil kejahatan mereka.
7. Mengakibatkan rusaknya reputasi negara
Rusaknya reputasi akibat kegiatan pencucian uang dan kejahatan di bidang keuangan mengakibatkan negara tersebut kehilangan kesempatan.kesempatan global yang salah satu akibatnya dikucilkan atau di embargo olch dunia Intemasional schingga rcputasinya akan rusak dan sulit untuk memulihkan keadaan seperti semula.
8. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi
Pencucian uang menimbulkan biaya sosial dan resiko yang tinggi. Mcluasnya kegiatan pencucian uang mengakibatkan meningkatnya biaya pemerintah untuk membiayai peningkatan upaya penegakan hukum dalam rangka memberantas kejahatan-kejahatan itu dan menanggulangi segala akibatnya. Pemerintah terpaksa meningkatkan biaya untuk merawat korban kejahatan.

Apabila terjadi transaksi yang mencurigakan wajib dilaporkan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Transaksi yang dimaksud antara lain:
1. Transaksi keuangan mencurigakan
Transaksi keuangan mencurigakan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (5) UU TPPU adalah sebagai berikut:
a. Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan.
b. Transaksi Keuangan olch Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai denga ketentuan Undang-Undang ini.
c. Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
d. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan olch Pihak Pelapor karcna melibatkan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
2. Transaksi Keuangan tunai dalam jumlah paling sedikit Rp500.000.000,- atau dengan mata uang asing yang nilainya setara yang dilakukan baik dalam satu transaksi atau beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja.
3. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri

Dalam UU TPPU, terdapat beberapa asas-asas yang dapat dilihat dari pasal UU TPPU, yaitu: 1. Asas DoubIe Criminality alau KriminalitasGanda 
Asas ini terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU, yaitu penjatuhan pidana yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dalam hukum Indonesia, sehingga perbuatan apapun yang melanggar hukum di tempat manapun yang dilakukan olch warga Indonesia maka tetap harus dipidana menurut hukum yang berlaku.

2. Asas Lec Specialis 
Asas ini terdapat dalam Pasal 68 UU TPPU, yaitu UU TPPU ini merupakan Undang-Undang khusus yang mengatur tentang pencucian uang yang mempunyai peraturan tersendiri baik penyidikan, penuntutan, pemeriksaan serta pelaksanaan putusan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam perundang-undangan ini.

3. Asas Pembuktian Terbalik 
Asas ini terdapat dalam Pasal 69, Pasal 77, dan Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) UU TPPU :
a. Pasa1 69
Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.
Maksudnya yaitu bahwa sudah dapat dilakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa perlu membuktikan adanya tindak pidana asal atau predicate crime
b. Pasal 77
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan terdakwa wajib membuktikan bahwa Harta Kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana. Maksudnya yaitu terdakwa barus membuktikan asal usul dana atau harta kekayaan yang dimiliki untuk membuktikan kehalalan hartanya tersebut, melalui penetapan hakim.
c. Pasal 78 ayat ayat (1 ) dan ayat (2)
Mekanisme adalah hakim yang memerintahkan terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan mengajukan alat bukti yang cukup. Penerapan pembuktian terbalik ini tidak bisa diterapkan dalam kasus korupsi murni, melainkan pada kasus korupsi yang memiliki unsur pidana pencucian uang. Jadi ini terkait dengan masalah tindak pidana pencucian uang.

4. Asas in Absentia 
Asas ini terdapat dalam Pasal 79 ayat (1) UU TPPU. Pemeriksaan dan penjatuhan putusan oleh tanpa kehadiran terdakwa, jadi tidak ada penundaan sidang meskipun tidak dihadiri terdakwa proses hukum atau persidangan tetap berlanjut.


KEGIATAN BELAJAR 2 
SUBJEK HUKUM DAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Tindak Pidana Pencucian Uang awalnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Setahun kemudian, Undang-Undang tersebut diganti dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Hal ini ditujukan supaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat berjalan sccara efektif dikarenakan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standar intemasional. 

Dalam perkembangannya, Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tersebut dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No. 8 Tuhun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU). Hal ini dikarenakan tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Selain pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memerlukan dasar hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana.

Selanjumya, materi muatan dalam UU TPPU, adalah sebagai berikut: 
1. Redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang
2. Penyempurnaan tindak pidana pencucian uang
3. Pengaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif
4. Pengukuhan penempan prinsip mengenali pengguna jasa
5. Perluasan pihak pelapor
6. Penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya
7. Penataan mengenai pengawasan kepatuhan
8. Pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi Perluasan kewenangan direktorat jenderal bea dan cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean
10. Pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang
11. Perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK
12. Penataan kembali kelembagaan PPATK
13. Penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi
14. Penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang dan
15. Pengaturan mengenai penyitaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

Pada dasarnya tindak pidana pencucian uang tidak merugikan seorang atau perusahaan tertentu secara langsung. Sepintas lalu tampaknya tindak pidana pencucian uang tidak ada korbannya. Pencucian uang tidak seperti halnya dengan perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan yang menimbulkan kerugian bagi korbannya. Pencucian uang, menurut Billy Steel merupakan "it seem to be a victimless crime".

Subjek hukum tindak pidana pencucian uang dapat berupa orang perseorangan atau korporasi. Orang perseorangan sebagai subjek hukum dari tindak pidana pencucian uang dapat dipahami dengan melihat Pasal 1 ayat (9), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 10 UU TPPU dan seterusnya. Pasal 1 ayat (9) UU TPPU menegaskan bahwa setiap orang terdiri dari orang perseorangan atau korporasi. Korporasi dalam Pasal I ayat (1) UU TPPU adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

Subjek bukum tindak pidana pencucian uang dibagi menjadi dua, yaitu: 
1. Subjek bukum aktif
Subjek hukum yang aktir berarti orang perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana peneucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU TPPU.
2. Subjek hukum pasif
Subjek hukum yang pasif berani orang perseorangan atau korporasi yang mencrima atau mcnguasai scbagaimana diatur dalam Pasal 5 UU TPPU.

Kegiatan pencucian uang sangat kompleks dan rumit. Sarana yang biasa digunakan olch para pelaku bervariasi, antara lain :
1. Perusahaan-perusahaan
Pelaku pencucian uang sering mendirikan perusahaan dari hasil kejahatan agar dapat tnelakukan transaksi fiktif. Hasil keuangan yang diperoleh seolah-olah beasal dari perusahaan tersebut sehingga tidak terlihat adanya kcjahatan.
2. Emas dan harang-barang antik
Emas dan barang-barang antik dapat dijadikan sarana melakukan pencucian uang. Dengan menjadikan uang haram tersebut menjadi emas dan barang-barang antik maka pada saat yang tepat harta tersebut dapat diuangkan kembali dengan mudah.
3. Real Estate
Real Estate yang dibeli dan discwakan pelaku juga mempakan sarana pencucian uang hasil kejahatan. Dalam menyalurkan uang hasil kegiatan pencucian uang tersebut, pada umumnya pelaku mendirikan agen real estate, menunjuk perusahaan pemborong, dan memanfaatkan jasa pengacara.
4. Deposit Taking Institutions
Kepopuleran Deposit Taking Institutions seperti chartered banks, trust companies, dan credit union scbagai sarana pencucian uang terutama disebabkan pelayanan yang ditawarkan sehingga menarik untuk dijadikan sarana pencucian uang.
5. Institusi Penanaman Modal Asing
Beberapa institusi ini seringkali inenawarkan jasanya sebagai organisasi kejahatan dengan lembaga perbankan dalam mendepositokan uangnya.
6. Pasar Modal
Praktik pencucian uang dalam pasar modal dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
a. Jual beli surat berharga oleh para pelaku perusahaan perantara.
b. Hasil kejahatan diinvestasikan dalam perusahaan swasta kemudian perusahaan tersebut go public dengan menjual saham-sahamnya.
7. Lembaga Keuangan Nonbank
Hampir semua jasa yang ditawarkan lembaga non bank dapat digunakan untuk melakukan praktik pencucian uang, dimana pelaku membuat polis asurasi atas nama orang lain untuk mengaburkan asal-usul uang tersebut. Sementara itu, pada perusahaan penukaran valuta asing, pelaku dapat menukarkan uang miliknya yang merupakan hasil kejahatan dalam bentuk mata uang lain.
8. Lembaga Perbankan
Bank konvensional ataupun syariah dapal berpcluang melakukan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh nasabah yang menabung kalau pihak perbankan tidak hati-hati dalam memeriksa tabungan kreditur yang tidak diketahui asal-usulnya, dapat berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap bank tersebut.

Selanjutnya, dalam UU TPPU, unsur-unsur lindak pidana pencucian uang adalah sebagai berikut :  
1. Pasal 3
a. Setiap orang
b. Menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan;
c. Diketahinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
d. Dengan tujuan membunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
e. Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,-

2. Pasal 4
a. Setiap orang
b. Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan
c. Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);
d. Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,-

3. Pasal 5 ayat (1)
a. Setiap orang
b. Menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran. hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan hana kekayaan;
c. Dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling bunyak Rp 1.000.000.000,-

4. Pasal 5 ayat (2)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

5. Pasal 6 ayat (1)
Dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personel Pengendali Korporasi

6. Pasal 6 ayat (2)
Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana pencucian uang:
a. Dilakukan atau diperintahkan oleh Personel Pengendali Korporasi
b. Dilakukan dalam rangka pemenuhan malcsud dan tujuan Korporasi
c. Dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah.
d. Dilakukan dengan maksud memberi manfaat bagi Korprasi

7. Pasal 7 ayat (1)
Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000.-

8. Pasal 7 ayat (2)
Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. Pengumuman putusan hakim
b. Pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi
c. Pencabutan izin usaha
d. Pembubaran dan/atau pelanggaran Korporasi
e. Perampasan aset Korporasi untuk negara dan/atau
f. Pengambilan Korporasi oleh negara

9. Pasal 8
Dalam hal hana terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun 4 bulan

10. Pasal 9 ayal (1)
Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personel Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan

11. Pasal 9 ayat (2)
Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personel Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang tclah dibayar

12. Pasal 10
a. Setiap orang
b. Berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
c. Turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang
d. Dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5

Selanjulnya akan diuraikan unsur-unsur tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam UU TPPU antara lain: 
1. Pasal 11 ayat (1)
a. Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut UMUM, hakim, dan setiap orang
b. Memperolch dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang ini
c. Wajib merahasiakan dokumen atau ketcrangan tersebut. kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut Undang-Undang ini

2. Pasal 11 ayat (2)
a. Setiap orang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.

3. Pasal 11 ayat (3)
a. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi pcjabat atau pegawai PPATK, pcnyidik, penuntut umum dan hakim
b. Jika dilakukan dalam rangka memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Pasal 12 ayat (1)
Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK.

5. Pasal 12 ayat (2)
Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pemberian informasi kepada Lembaga Pengawas dan Pengatur.

6. Pasal 12 ayat (3)
Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi keuangan mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung mau tidak langsung dengan cara apa pun kepada pengguna jasa atau pihak lain.

7. Pasal 12 ayat (4)
Ketentuan mengenai larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku dalam rangka pemenuhan kewajiban menurut Undang.Undang ini.

8. Pasal 12 ayat (5)
Pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjam paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,-

9. Pasal 13
a. Dalam hal terpidana tidak mampu rnembayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5)
b. Pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun 4 bulan.

10. Pasal 14
a. Setiap orang
b. Melakukan canpur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3)
c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,-

11. Pasal 15
a. Pejabat atau pcgawai PPATK yang melanggar kewajiban scbagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4)
b. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,-

12. Pasal 16
a. Dalam hal pcjabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau yang menengani perkara tindak pidana Pencucian uang yang sedang diperiksa
b. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dan/atau Pasal 85 ayat (1)
c. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun.

Selanjutnya, berdasarkan unsur-unsur tindak pidana pencucian uang di atas, dapat dikemukakan bahwa jenis-jenis tindak pidana pencucian uang antara lain : 
1. Menempatkan
2. Mentransfer
3. Mengalihkan
4. Membelanjakan
5. Membayarkan
6. Menghibahkan
7. Menitipkan
8. Membawa ke luar negeri
9. Mengubah bentuk
10. Menukarkan dengan mala uang
11. Menukarkan dengan surat berharga
12. Menyembunyikan
13. Menyamarkan
14. Menerima
15. Menguasai
16. Perbuatan lain

Disebutkan Pasal 2 ayat (1) UU TPPU, dimana pasal tersebut menyebutkan asal dari harta kekayaan hasil tindak pidana pencucian uang. Asal-asal harta kekayaan dari hasil tindak pidana pencucian uang tersebut berupa: 
1. Korupsi
2. Penyuapan
3. Narkotika
4. Psikotropika
5. Penyclundupan tenaga kerja
6. Penyelundupan migran
7. Di bidang perbankan
8. Di bidang pasar modal
9. Di bidang peransuransian
10. Kepabeanan
11. Cukai
12. Perdagangan orang
13. Perdagangan senjata gelap
14. Terorisme
15. Penculikan
16. Pencurian
17. Penggelapan
18. Penipuan
19. Pemalsuan uang
20. Perjudian
21. Prostilusi
22. Di bidang perpajakan
23. Di bidang kehutanan
24. Di bidang lingkungan hidup
25. Di bidang kelautan dan perikanan atau
26. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara empat tahun atau lebih

Yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Proses penyelesaian suatu perkara pidana berdasarkan KUHAP dibagi ke dalam 4 tahap sebagai berikut:
a. Penyelidikan
b. Penangkapan
c. Penahanan
d. Pemeriksaan di muka sidang pengadilan

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Penyidik harus melakukan proses hukum yang dimulai dari menerima hasil analisis dari PPATK, penyidik kepolisian selanjutnya melakukan penyelidikan dan penyidikan. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan mendasarkan pada KUHAP seperti proses penanganan tindak pidana lainnya. kecuali yang secara khusus diatur dalam UU TPPU.

Beberapa ketentuan acara pidana dalam UU TPPU yang merupakan pengecualian dari KUHAP. di antaranya ketentuan bahwa penyidikan tindak pidana pencucian uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal. Proses hukum tindak pidana pencucian uang terdiri dari penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Akibat dari pencucian uang dapat mengakibatkan ketidakstabilan pada perekonomian nasional dan internasional. maka pihak-pihak yang terkait dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang harus melakukan tugasnya secara optimal. Pihak-pihalc tersebut adalah :
1. Bank Indonesia 
Beberapa ketentuan yang terdapat dalam peraturan Bank Indonesia yang mendukung pencegahan tindak pidana pencucian uang, misalnya peraturan tentang penerapan KYC (Know Your Customer) dan penugasan khusus Direktur Kepatuhan pada bank umum untuk dapat menerapkan ketentuan perbankan yang sehat.

2. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 
Dalam usaha mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dibentuk suatu lembaga independen, yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Pentingnya PPATK dilatarbelakangi kesadaran bahwa untuk memerangi pencucian uang dibutuhkan keahlian khusus bagi penegak hukum. Pendirian unit intellijen keuangan yang bertugas menerima dan memproses informasi keuangan dari penyedia jasa keuangan harus dilihat dari latar belakang phenomena semakin meningkataya kebutuhan akan lembaga penegak hukum khusus.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 41 UU TPPU berwenang sebagai berikut:
a. Meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu;
b. Menetapkan pedoman Transaksi Keuangan Mencurigakan;
c. Mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait;
d. Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan lindak pidana pencucian uang;
e. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
f. Menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan
g. Menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

3. Pihak Pelapor
Pihak pelapor dalam tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) UU TPPU antara lain:
a. Penyedia jasa keuangan
b. Penyedia barang dan/atau jasa lain

4. Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK)
Merupakan lembaga yang bertugas melakukan pembinaan, pengaturan, dan pengawasan di bidang pasar modal dan lembaga keuangan nonbank. Terkait dengan pelaksanaan rezim anti pencucian uang, sebagai tindakan pcncegahan, Bapcpam-LK mengeluarkan kebijakan sesuai dengan Keputusan Ketua BAPEPAM-LK No. Kep-476/BL/2009 tentang Prinsip Mengenal Nasabah (PMN) oleh Penyedia Jasa Keuangan di Bidang Pasar Modal. Penyedia Jasa Keuangan di Bidang Pasar Maoal antara lain perusahaan efek, pengelola reksa dana, dan kustodian. Scmcntara itu, yang dimaksud dengan lembaga keuangan non-bank antara lain perasuransian, dana pensiun, dan lembaga pembiayaan.

5. Kementrian Komunikasi dan Infonnatika
Merupakan regulator atau pengawas perposan sebagai salah satu pengelola jasa keuangan (PJK) berdasarkan UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

6. Kementrian Perdagangan Merupakan regulator atau pengawas perdagangan

7. Direkrorat Jenderal Bea Cukai 
Merupakan salah satu unit di bawah Kementrian Keuangan yang juga bagian dari rezim anti-peneucian uang terkait dengan pelaporan Cross Border Cash Carrying (CBBC), yaitu pembawaan uang fisik lintas negara.

8. Penegak Hukum
Penegak hukum terkait tindak pidana penecucian uang adalah sebagai berikut :
a. Penyidik tindak pidana asal
Penyidik tindak pidana asal adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukfi permulaan yang cukup saat melakukan penyidikan sesuai kewenangannya. Penyidik tindak pidana asal antara lain :
1) Kepolisian
2) Kejaksaan
3) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
4) Badan Narkotika Nasional (BNN)
5) Direktorat Jenderal Pajak
6) Direktorat Jenderal Bea Cukai
b. Pengadilan