HUKUM PERBANKAN DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG


DAFTAR ISI

MODUL 1  : PENGERTIAN DAN SEJARAH PERBANKAN DI INDONESIA
MODUL 2  : BENTUK, JENIS-JENIS BANK DAN KEGIATAN JASA PERBANKAN
MODUL 3  : SISTEM DAN LEMBAGA PENGAWASAN PERBANKAN
MODUL 4  : PRINSIP KEHATI-HATIAN PERBANKAN, MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI BANK
MODUL 5  : RAHASIAN BANK
MODUL 6  : TINDAK PIDANA PERBANKAN
MODUL 7  : TEORI DAN KONSEP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
MODUL 8  : UNSUR-UNSUR DAN HUKUM ACARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG
MODUL 9  : STUDI KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG



MODUL 1   
PENGERTIAN DAN SEJARAH PERBANKAN DI INDONESIA
KB 1 : SEJARAH PERBANKAN DUNIA 
A. SEJARAH PERBANKAN DUNIA
Kata "Bank" berasal dari Bahasa Italia banque atau banca yang berarti bangku; Para bankir di Florence pada masa Renessains melakukan transaksi mereka dengan duduk di meja penukaran uang.
Usaha perbankan sendiri daru dimulai dari Zaman Babylonia kemudian dilanjutkan Zaman Yunani Kuno dan Romawi. Namun saat ini tuga utama bank hanyalah sebagi tempat tukar menukar uang.

Perkembangan Perbankan tidak terlepas dari perkembangan perdagangan yang semula daratan eropa menyebar ke Asia Barat. Sebaliknya perkembangan Perbakan di Inggris mulai abad ke-16, namun karena Inggris aktif mencari daerah perdagangan yang kemudian dijajahnya maka perkembangan perbankanpun ikut dibawa ke jajahannya.

Didasarkan Waktu (Time Line) Sejarah Perbankan di Dunia :
1. Abad 18 Sebelum Masehi (SM / BC); Masa Penyimpanan di Rumah Ibadah

  • Masa Penyimpanan di rumah ibadah
  • Rumah Ibadah sebagai tempat yang paling aman untuk menyimpan kekayaan (emas, koin)

2. Abad 4 (SM / BC); Masa Lembaga Keuangan Yunani dan Roma

  • Lembaga Keuangan di Yunani dan Roma
  • Mulai diperkenalkan sistem pembayaran dan transaksi perdagangan

3. Abad 12 - 14 Setelah Masehi (AD);  Kerjaan Perbankan Eropa

  • Kerjaan Perbankan di Eropa 
  • Bari dan Peruzzi, Banker Lom
  • Double entry book keeping
  • Bank of Genoa, Bank Valensia dan Bank of Barcelona

4. Abad 15 - 16 AD; Dinasti Fugger

  • Dinasti Fugger
  • Akhir Medici Bank
  • Pengaruh Sistem Perbankan di Eropa

5. Abad ke 16 AD; Mulai Cek diperkenalkan.

  • Banco della Piazza
  • Mulai mengenalkan alat pembayaran selain koin
  • Dikenalkan wesel, cek dan giro

6. Abad 17 - 18 AD; Kebangkitan Bank-Bank Nasional

  • Pembentukan Bank Nasional
  • Pesat perkembangan bank dan alat pembayaran
  • Pembayaran negara oleh bank
  • First united bank (USA)

7. Abad 19 - 20 AD; Kerja Sama Internasional

  • Kerja sama Internasional
  • Pembentukan bank modern
  • Sistem perbankan berbasis teknologi

B. SISTEM PERBANKAN DUNIA
1. Bank Dunia
Adalah sebuah lembaga keuangan global yang secara struktural berada dibawah PBB dan diistilahkan sebagai "specialized agency".
Dibentuk tahun 1944 hasil dari Konferensi Bretton Woods yang berlangsung di AS; diikuti delegasi dari 44 negara, namun yang paling berperan dalam negosiasi pembentukan adalah Amerika dan Inggris.
Tujuan dibentuknya adalah untuk mengatur keuangan dunia pasca PD II dan membantu negara-negara korban perang untuk membangun kembali perekonomiannya.

2. International Money Fund (IMF)
Sebagai hasil dari perundingan Bretton Woods, pasca Great Depression yang melanda dunia dekade 1930-an; Pada tanggal 22 Juli 1944  akibat Great depression 44 negara mengadakan pertemuan di Hotel Mount Washington, Kota bretton Woods, New Hampshire AS membahas kerangka kerja sama ekonomi internasional baru yang akan dibangun setelah PD II yang sangat dibutuhkan menghindari pengulangan Bencana ekonomi selama Great depression.
Pertemuan ini melahirkan "Bretton Woods Agreements" yang membangun IMF dan organisasi kembarannya The International Bank for Reconstruction and Depelovment (sekarang World Bank).
IMF bersama Bank untuk Penyelesaian Internasional dan Bank Dunia sering disebut sebagai Institusi Ruli Anancuhi; Ketiga institusi ini menentukan kebijakan moneter yang diikuti hampir semua negara-negara yang memiliki ekonomi pasar.


KB 2 : SEJARAH PERBANKAN DI INDONESIA
A. MASA SEBELUM KEMERDEKAAN
Institusi perbankan pertama di Indonesia adanya Veerenigde Oost-Indische Compagnie (VOC); yaitu perusahaan induk penghimpun perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mengukuhkan kekuasaannya di Batavia 1619.
Pada 20 Agustus 1746 didirikan De Bank van Leening; Kemudian dilebur kedalam De Bankcourant 1 september 1752 berubah nama De Bankcourant en Bank van Leening;
Akhir abad 18 kemunduran dan kebangkrutan VOC maka kekuasaan di nusantara diambil alih pemerintah Kerajaan Belanda; Setelah pemerintahan Herman William Daendels dan Janssen, Hindia Timur jatuh ke tangan Inggris.

Beberapa Bank yang memegang peranan penting di Hindia Belanda :
1).De Javasce NV -  2).De Post Poar Bank - 3).Hulp en spaar Bank - 4).De Algemenevolks Crediet Bank - 5).Nederland Handles Maatscappi (NHM) - 6).National Handles Bank (NHB) - 7).De Escompto Bank NV

De Javasche Bank (Berdiri 1828) cikal bakal Bank sentral Indonesia; Nederlandsch Indische Escompto Maatschapij, Nederlandsch Indische Handelsbank, Nederlandsche Handel Maatschapij, mulai beroperasi berturut turut 1857,1864 dan 1883.
De Javasche Bank diberi monopoli mengeluarkan uang yang semula pengedarannya ditangani pmerintah; bank sirkulasi atau bank of issue
Dari fungsinya merupakan bankir pemerintah hindia belanda; menjalankan beberapa tugas Bank Sentral; Mengeluarkan dan mengedarkan uang kertas, mendiskonto wesel, surat hutang jangka pendek, dan obligasi negara; menjadi kasir pemerintah; menyimpan dan menguasai dana-dana devisa; bertindak sebagai pusat kliring sejak 1909; Meskipun sebagai bank sirkulasi tetapi juga sebagai bank umum (dualistis).
Sifat dualistis menuai kritik, dengan alasan :
1. Dengan bunga lebih rendah, De Javasche Bank dengan mudah menarik nasabah terbaik.
2. Persaingan oleh suatu badan (De Javasche Bank) karena tugasnya memiliki data bank lain, sehingga dianggap tidak wajar.

Perkembangan Perekonomian Nusantara, Beroperasi Bank-Bank Asing :
1. The Chartered Bank of India, Australia and China, Batavia 1862. - 2. Hongkong and Shanghai Banking Corporation, Batavia 1884. - 3. Yokohama - Specie bank, Batavia 1919 - 4. Taiwan Bank, 1915, Batavia, Semarang, dan Surabaya - 5. China and Southern Ltd, Batavia 1920 - 6. Mitsui Bank, Surabaya 1925 - 7. Overseas China BankingCorporation 1932.

Menjelang Pecah PD II Pemerintah Hindia Belanda melikuidasi tiga bank Jepang. Saat Jepang berkuasa Bank Belanda, Inggris dan beberapa Bank Cina dilikuidasi Jepang; hanya mengakui pemerintah Jepang yang mengendalikan seluruh keuangan dan sistem perbankan; hanya ada satu bank yang beroperasi oleh putra Indonesia yaitu BRI (Algemeene Volkscrediet Bank) nama jepangnya Syomin Ginko.
De Javasche Bank; zaman Belanda sebagai Bank Sentral; pada zaman Jepang dikuasai pemerintahan tentara Jepang; Setelah merdeka beberapa tahun berfungsi Bank Sentral meskipun berkedudukan sebagai Badan  Usaha Swasta yang sebagian sahamnya ditangan asing; Nasionalisasi De Javasche Bank berdasarkan UU 24 / 1951 tentang Nasionalisme De Javasche Bank; tanggal 6 Desember 1951.

B. MASA AWAL KEMERDEKAAN DAN ORDE LAMA
Proklamasi memberi angin segar untuk menggerakan roda perbankan dengan melakukan nasionalisasi terhadap perbankan yang ada; Keberhasilan sekutu mengalahkan Jepang mengembalikan Bank-Bank Belanda dan Asing muncul kembali; Izin pembukaan Bank Belanda di Indonesia dikeluarkan 2 Januari 1946 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Kebijakan yang cukup berpengaruh adalah nasionalisasi De Javasche Bank pada tahun 1951. Tahun 1953 dengan pertimbangan guna lebih memberikan kemudahan menjalankan kebijakan moneter dan kebijakan perekonomian maka ditetapkan UU 11/1953 tentang Penetapan UU Pokok Bank Indonesia dan lebih dikenal dengan UU Pokok Bank Indonesia 1953; Dilakukan mengingat De Javasche Bank masih berbadan hukum sebagai PT, belum leluasa menerapkan kebijakan moneter.

Sesuai UU, BI sebagai Bank sentral bertugas untuk mengawasi bank-bank, aturan pelaksanaan ketentuan pengawasan baru ditetapkan dalam PP No 1/1955 yang menyatakan bahaw BI atas nama Dewan Moneter melakukan pengawasan terhadap semua bank yang beroperasi di Indonesia, guna kepentingan solvabilitas dan likuidasi badan-badan kredit tersebut dan pemberian kredit secara sehat berdasarkan azas kebijakan bank yang tepat.

Dari Pengawasan dan Pemeriksaan BI, terungkap berbagai praktik tidak wajar seperti penyetoran modal fiktif atau bahkan praktik bank dalam bank; Untuk mengatasinya keluar Keputusan Dewan Moneter 25/1957 yang melarang bank-bank untuk melakukan kegiatan diluar kegiatan perbankan.

PP 1/1946 Pasal 1; BRI adalah Bank Pemerintah pertama di Republik Indonesia. Perang mempertahankan kemerdekaan 1948 kegiatan BRI sempat terhenti, aktif kembali setelah Perjanjian Renville 1949 dengan berubah nama menjadi  Bank Rakyat Indonesia Serikat.
Melalui PERPU 41/1960 dibentuk Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) merupakan peleburan BRI, Bank Tani Nelayan dan Nederlandsche Maatschappij (NHM).
Berdasarkan Penetapan Presiden (Penpres) 9/1965; BKTN diintegrasikan kedalam Bank Indonesia dengan nama Bank Indonesia Urusan Koperasi Tani dan Nelayan.
Keluarnya Penpres 17/1965 tentang pembentukan Bank tunggal dengan nama Bank Negara Indonesia; Bank Indonesia Urusan Koperasi, Tani dan Nelayan (eks BKTN) diintegrasikan dengan nama Bank Negara Indonesia unit II bidang Rural, sedangkan NHM menjadi Bank Negara Indonesia unit II bidang Ekspor Impor (Exim).

UU 14/1967 tentang UU Pokok Perbankan dan UU 13/1968 tentang UU Bank Sentral
, mengembalikan fungsi BI sebagai Bank Sentral dan BNI Unit II Bidang Rular dan Ekspor Impor dipisahkan masing-masing menjadi dua Bank yaitu BRI dan Bank Ekspor Impor Indonesia.
UU 21/1968 menetapkan kembali tugas-tugas pokok BRI sebagai Bank Umum.

Sidang Dewan Menteri RI tanggal 19 september 1945 diputuskan untuk mendirikan sebuah bank milik negara yang bertugas sebagai Bank Sirkulasi.
Persiapan pembentukannya memberikan Surat Kuasa kepada Bpk. R.M. Margono Djojohadikoesomo (alm), Langkah awal 9 oktober 1945 didirikan Yayasan Poesat Bank Indonesia; 5 Juli 1946 didirikan Bank sentral dengan nama Bank Negara Indonesia (BNI), dengan pegawai berjumlah 38 orang. Kemudian Yayasan Poesat Bank Indonesia dilebur kedalamnya.
Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, Pemerintah Indonesia dan Belanda, memutuskan untuk mengubah fungsi BNI dari Bank sentral menjadi Bank Umum. Bank BNI untuk pembangunan ekonomi sedangkan BI (De Javasche Bank) ditunjuk menjadi Bank Sentral.

1. Nasionalisasi Bank Milik Belanda
Nasionalisasi Bank belanda di tahun 1959 hingga 1960 seperti; Nationale Handels Bank NV menjadi Bank Umum Negara; Escomptobank menjadi Bank Dagang Negara; Nederlandsche Handels Maatschappij menjadi Bank Ekspor Impor Indonesia. Nasionalisasi Perusahaan Belanda ditetapkan dalam UU 86/1958 yang berlaku surut hingga 3 Desember 1957.
Nasionalisasi Bank Belanda berdasarkan prinsip kehati-hatian; Badan Pengawas Bank Pusat mempertahankan direksi lama bank yang diawasi.
Dengan prinsip berdikari dan semangat nasionalisme masa 1950-an Pemerintah menyatakan menutup beberapa Bank Asing (Bukan Belanda) yaitu Overseas Chinese Banking Corporation, Bank of China, serta Hongkong and Shanghai Banking Corp. berdasarkan PP 2/1959.
Nasionalisme bank-bank Belanda dikarenakan semangat Nasionalisme Bangsa Indonesia karena Belanda mengingkari Perjanjian Linggar Jati dan Belanda Agresi Militer Belanda I (yang diakhiri dengan Perjanjian Renville 17 Januari 1948).

Kegiatan Nasionalisasi Bank Belanda dimulai dengan penghentian segala kegiatan lalu lintas luar negeri Nationale Handelsbank NV (NHB) terhitung 3 November 1958; NHB hanya diperkenalkan untuk melanjutkan proses transaksi luar negeri yang sebelumnya telah atau masih dijalankan sebelum tanggal 5 November 1958; NHB hanya mewajibkan bank koresponden diluar negeri untuk memindahbukukan semua valuta asing atas namanya kepada rekening Dana Devisen milik negara.
Manajemen NHB diserahkan kepada BPBB (Badan Pengawasan Bank-Bank) yang terdiri atas Wakil Angkatan Darat, Bank Indonesia, dan Departemen Keuangan, disahkan melalui Pengumuman Menteri Keuangan dan Surat Keputusan KSAD No Kpts/MP/080/1957 tanggal 8 Desember 1957 dan BPBB Pusat pada tanggal 20 April 1959, dan kemudian di nasionalisasikan pada 10 agustus 1959.
Seluruh aset NHB kemudian dialihkan kepada Bank Umum Negara. Anggaran Dasar Escomptobank diubah melalui Rapat Umum Pemegang Saham yang dilaksanakan pada tanggal 18 November 1958. Dewan Komisaris dan Direksi PT Escomptobank di Jakarta, yang semuanya WNI asli, diberi kekuasaan lebih banyak atas Dewan Pengawas/Pemimpin Cabang dari kantor-kantor Escomptobank di luar negeri. Saham-saham PT Escomptobank yang telah dikeluarkan atas unjuk, harus diubah menjadi atas nama.

Setelah dikeluarkannya UU Pokok BI 1953; BI sebagai lembaga yang sangat berkepentingan dengan lahirnya ketentuan tentang pengawasan Bank telah  melakukan penelitian dan pengkajian atas ketentuan serupa yang berlaku di berbagai negara terutama Belanda.
Agar jumlah Bank Swasta tidak terus bertambah tanpa pengawasan maka 1 Januari 1955 berlaku PP No 1 untuk mengatur pengawasan atas kredit di Indonesia; Mengatur pengawasan Bank Umum dan Bank Tabungan oleh BI atas nama Dewan Moneter guna kepentingan solvabilitas dan likuiditas bank-bank dan guna kepentingan pemberian kredit secara sehat dan berdasarkan asas-asas kebijaksanaan bank yang tepat.

2. Penetapan Sanering
Sanering (Bahasa Belanda); Penyehatan, Pembersihan atau Reorganisasi. Ilmu Moneter; Sanering adalah pemotongan nilai uang tanpa mengurangi nilai harga, sehingga daya beli masyarakat menurun; Misalnya jika nilai uang Rp.100.000,- dipotong menjadi Rp.100,-; Karena nilainya sudah diturunkan, jumlah barang yang dibeli dengan uang baru lebih sedikit; Pertama kali dilakukan 19 Maret 1950.
Pertama kali Pemerintah melakukan Sanering yaitu untuk : mengatasi situasi perekonomian sedang terpuruk, yaitu Hutang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung; disebabkan perekonomian yang belum tertata setelah kemerdekaan; Tindakan Sanering dikenal dengan sebutan Gunting Syafrudin

Sanering berikutnya; Pemerintah melakukan kebijakan pengetatan moneter antara lain dilaksanakan dengan mengeluarkan ketentuan pagu kredit bagi tiap-tiap bank secara individual pada 8 april 1959; dengan UU 2 Prp/1959 melakukan sanering uang 25 agustus 1959 dengan menurunkan nilai uang pecahan Rp. 500 dan Rp.1.000,- menjadi Rp.50 dan Rp.100,-; melalui UU 3 Prp/1959 membekukan simpanan giro dan deposito sebesar 90% dari jumlah diatas Rp.25.000,- yang akan diganti menjadi simpanan jangka panjang.
Penanganan Inflasi hingga awal 1960-an dengan melakukan pembatasan kredit perbankan secara kuantitatif dan kualitatif; dilakukan devaluasi nilai tikar rupiah sebesar 74,7% dari Rp. 11,40 per USD menjadi Rp. 45 per USD, penurunan nilai rupiah tidak berlaku dalam perhitungan laba maupun pendapatan yang dikenakan pajak dan tidak diperhitungkan dengan pajak apapun.
Sanering 25 Agustus 1959 mengakibatkan bank-bank kesulitan likuiditas sehingga BI segera mengeluarkan kebijakan pemberian kredit likuiditas (darurat) kepada bank-bank dan penangguhan penerapan ketentuan pembatasan pemberian kredit (berdasarkan Rapat Dewan Moneter 3 Agustus 1959).

Pada tahun 1965 salah satu kebijakan moneter tang diambil pemerintah untuk menghambat laju inflasi pada saat itu adalah pemberlakuan mata uang rupiah baru bagi seluruh wilayah RI melalui Penetapan Presiden (Penpres) No 27 tahun 1965 tanggal 13 desember 1965 yang menetapkan penggantian uang lama dengan uang baru dengan perbandingan nilai Rp. 1000 (lama) menjadi Rp. 1000 (baru); Tujuan Penpres adalah untuk mempersiapkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah RI termasuk Daerah Provinsi Irian Barat.

C. MASA ORDE BARU
Supersemar 11 Maret 1966 dan Pembubaran PKI 12 Maret 1966 adalah Tonggak kelahiran Orde Baru. Tanggal 25 Juli 1966 dibentuk Kabinet Ampera menggantikan Kabinet Dwikora.
Tugas Pokok Kabinet Ampera adalah melaksanakan program stabilisasi dan rehabilitasi yang berkonsentrasi pada pengendalian inflasi, pencukupan penghidupan pangan, rehabilitasi prasarana ekonomi, peningkatan ekspor, dan pencukupan kebutuhan sandang.

Pemerintah Orba ingin konsisten menerapkan anggaran berimbang dan lalu lintas devisa bebas; Program Kabinet Ampera dikenal dengan Catur Karya Kabinet Ampera, yakni :
1. Memperbaiki kehidupan rakyat terutama dibidang sandang dan pangan
2. Melaksanakan Pemilu dalam batas waktu yang ditetapkan (5 Juli 1968)
3. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif untuk kepentingan nasional
4. Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk dan manifestasinya
5. Setelah MPRS 27 Maret 1968 menetapkan Soeharto sebagai Presiden RI untuk masa jabatan lima tahun maka dibentuklah Kabinet Pembangunan.

Kabinet Pembangunan dengan tugasnya yang disebut Panca Krida yang meliputi :
1).Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi; 2).Menyusun dan Melaksanakan Pemilu; 3).Mengikis habis sisa-sisa G30S dan membersihkan aparatur negara di pusat dan daerah dari pengaruh PKI.

Perbaikan Perbankan Orba dengan memperkuat perundangan; Membuat peraturan baru berupa UU 14/1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan; Pergantian peraturan lama yaitu UU 13/1968 tentang Bank Sentral menggantikan UU 11/1953 tentang Pokok-Pokok BI; Perbaikan kelembagaan perbankan dengan memperkuat landasan hukumnya, adalah suatu pilar bagi terselenggaranya pembinaan, dan pengawasan yang mendukung peningkatan kemampuan perbankan dalam menjalankan fungsinya secara sehat, wajar, efisien, sekaligus memungkinkan perbankan Indonesia melakukan penyesuaian yang diperlukan sejalan dengan berkembangnya norma-norma perbankan internasional.
UU 14 /1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan ingin secara jelas mengatur usaha perbankan termasuk perkreditan sehingga kesalahan pengelolaan, seperti ekspansi kredit yang tak terkendali dapat dihindari.
Selain itu dibuka kembali pendirian bank asing melalui Ketentuan Peraturan Pemerintah No 3/1968 tentang Bank Asing.

D. MASA FAKTO 88 (1983-1997)
Perbankan sebagai bagian dari sistem keuangan harus menyesuaikan usahanya dengan kebijakan deregulasi dan debiroklasi di bidang ekonomi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Paket deregulasi periama ditetapkan pada 1 Juni 1983 yang dikenal dengan Pakjun 1983. Dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, bank-bank memperoleh kebebasan dalam menentukan besamya kredit yang diberikan sesuai dengan dana masyarakat yang dapat dihimpun. Di samping itu, kepada bank-bank pemerintah diberi kebebasan menentukan sendiri tingkat suku bunga baik suku bunga dana maupun kredit. Kebijakan tersebut bertujuan agar perbankan sebanyak mungkin membiayai pemberian kreditnya dengan dana simpanan masyarakat dan mengurangi ketergantungan bank-bank pada KLBI (Kridit Likuidasi Bank Indonesia). 

Upaya untuk mendorong timbulnya produk-produk baru diperlukan dalam penghimpunan dana dari masyarakat. Di samping itu, persaingan yang sehat di antara bank-bank juga diperlukan sebagai salah satu unsur pendorong peningkatan efisiensi. Untuk tujuan tersebut, pada 27 Oktober 1988 Pemerinuh mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 yang dikenal sebagai Pakto 1988.
Dengan kebijakan yang terangkum dalam Pakto 1988, kebijakan deregulasi perbankan berkembang menjadi deregulasi yang sangat luas karena di dalamnya termasuk juga aspek kelembagaan. Pemerintah membuka kembali perizinan pendirian bank swasta nasional baru dengan modal disetor minimum sebesar Rp10 milyar dan bank perkreditan rakyat (BPR) dengan modal disetor minimum sebesar Rp50 jula. Perizinan tersebut sebelumnya telah dibekukan masing-masing sejak 1971 dan 1973.
Demikian pula persyaratan untuk ditunjuk sebagai bank devisa serta pembukaan kantor cabang dan kantor cabang pembantu yang sebelumnya dikaitkan dengan merger dalam ketentuan ini tidak diberlakukan lagi.
Pemberian izin usaha bank baru yang telah dihentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Demikian pula dengan ijin pembukaan kantor cabang atau pendirian BPR menjadi lebih dipermudah dengan persyaratan modal ringan. Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan.
Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perijinan untuk bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan aset bank telah mencapai Rp 100 juta. Namun demikian, Pakto 88 juga mempunyai efek samping dalam bentuk penyalahgunaan kebebasan dan kemudahan oleh para pengurus bank. Bersamaan dengan kebijakan Pakto 88. BI secara intensif memulai pengembangan bank-bank sekunder seperti bank pasar, bank desa, dan badan kredit desa. Kemudian bank karya desa diubah menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Tujuan pengembangan BPR tersebut adalah untuk memperluas jangkauan bantuan pembiayaan untuk mendorong peningkatan ekonomi, terutama di daerah pedesaan, di samping untuk modernisasi sistem keuangan pedesaan. Memasuki tahun 1990-an. BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya.
Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu,  terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank. seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu,  UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.

Untuk memberikan landasan hukum yang lebih kuat atas prinsip-prinsip deregulasi yang terkandung dalam paket-paket kebijakan yang telah dikeluarkan sejak tahun 1983, Undang- undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ditetapkan pada tanggal 25 Maret 1992. Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan. ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya, dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi-sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.

Aturan
Kegiatan
Paket Juni 1983
Langkah penting deregulasi sektor perbankan Indonesia. 
Dalam Paket Juni (Pakjun) 1983 diberikan kemudahan bsgi bank untuk menentukan sendiri suku bunga deposito dan dihapuskannya campur tangan BI terhadap bank dalam penyaluran kredit.
Deregulasi pertama itu memperkenalkan adanya Sertifikat BI (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
Pakjun bertujuan merangsang pertumbuhan perbankan Indonesia, Langkah ini berhasil "menarik" dana masyarakat ke bank secara drastis.
Paket 27 Oktober 1988
Paket ini adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah perbankan Indonesia.
Hanya dengan modal 10 Milyar siapa saja dapat mendirikan bank baru. Paket Oktober 1988 (Pakto 88) dianggap telah banyak mengubah kehidupan perbankan nasional.
Keberhasilan itu dinyatakan dalam angka-angka absolut seperti pada jumlah bank, kantor cabang, jumlah dana yang dihimpun, jumlah kredit yang disalurkan, tenaga kerja yang mampu dipekerjakan, serta volume usaha dalam bentuk aset dan hasil-hasilnya.
Secara kualitas keberhasilan tampak pada peningkatan SDM yang lebih profesional, mutu pelayanan perbankan yang lebih baik, penggunaan perangkat keras dan lunak yang super canggih, juga komunikasi antar pelaku perbankan yang tidak terlalu birokratis.
Paket Februari 1991
Mengkoreksi akibat buruk Pakto 88 meluncurkan Paktri 28 Februari 1991.
Diatur bahwa syarat modal sendiri bank haruslah sebesar 8% dari seluruh aset. Lazim disebut CAR (capital adequacy ratio atau perbandingan antara modal sendiri dengan saet) sebesar 8% mengharuskan bank-bank memperkuat modalnya sendiri.
Terbitnya paket ini ditandai dengan berbagai kejadian pahit dunia perbankan Indonesia; Bank Duta yang kolaps gara-gara permainan valuta asing , juga ambruknya Bank Umum Majapahit.
UU Perbankan Nomor 7 tahun 1992
UU lahir pada tanggal 25 maret 1992 menyempurnakan UU 14/1967.
Adalah meniadakan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan - misalnya pemilikan bank oleh pemerintah, swasta dan daerah.
Dalam pendirian bank baru UU mengatur berbagai syarat seperti susunan organisasi, pemodalan, kepemilikan, keahlian dibidang perbankan, kelayakan kerja dan lain-lain. Syarat ditetapkan Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 1992
Pemerintah menaikkan modal minimum pendirian bank dari Rp. 10M menjadi 50M; dimaksudkan untuk mengendalikan pertumbuhan bank yang nyaris tak terkendali.
Tahun 1992 ada 17 ribu bank, 8400 diantaranya adalah BPR (Bank Perkreditan Rakyat). Ada sekitar 100 nama baru pemilik bank. banyak dana luar negeri yang masuk lewat pasar modal dipakai untuk mendirikan bank di Indonesia.
Paket Mei 1993
Paktri dinilai kelewat menekan dunia perbankan. Untuk mengimbangunya dikeluarkan Pakmei yang intinya melonggarkan aturan soal CAR sebesar 8%.
Antara lain boleh memasukan seluruh laba tahun sebelumnya dalam komponen modal sendiri, Aturan sebelumnya hanya boleh 50%.
Pemberian kredit oleh bank bagi grup usahanya diturunkan dari 50% menjadi 20% dari total kredit yang disalurkan.
Cadangan minimum turun dari 1 persen menjadi 0,5 persen dari aktiva lancar; Menaikkan kapasitas pemberian kredit.
Penyaluran kredit juga diatur; kebebasan untuk memberikan kredit kecil maksimal Rp. 25 juta tanpa melihat penggunaannya. Menurut Trenggono , Ketua Perbanas ketika itu, hal tersebut akan mendorong kredit konsumsi yang berlebih.
Paket Juli 1997
Sepekan sebelum Pertemuan Consultative Group on Indonesia (CGI) di Tokyo, Pemerintah mengeluarkan Paket Tujuh Juli (Pakjul). Dibidang moneter, menentukan pembatasan pemberian kredit oleh Bank umum kepada perusahaan pengembang properti.
Dikarenakan karena kredit macet properti sangat tinggi, Pertumbuhan kredit umum 23-24%, sedang pertumbuhan kredit properti 35%.
Sebelum Pakjul pada 16 april, BI membuat penentuan tentang reserve requirement (cadangan wajib minimum bagi perbankan) dari 3 menjadi 5%.
Bulan september keluar Kebijakan penundaan terhadap mega proyek. Langkah ini diharapkan mampu mengurangi impor barang oleh pihak swasta. Ditengah lilitan kredit macet, bank-bank masih punya beban untuk menanggung proyek-proyek swasta dengan dana raksasa.
Pengumuman Pemerintah 1 November 1997
Merupakan puncak tragedi perbankan. Likuidasi serempak terhadap 16 bank telah menjawab rumor yang beredar. 
Sejumlah bank akan melakukan merger. Pertanyaan selanjutnya, apakah benar Pernyataan BI tidak ada lagi bank yang dilikuidasi.

E. MASA REFORMASI : KRISIS MONETER DAN BANTUAN LIKUIDASI BANK INDONESIA
Krisis 1997 mengakibatkan peningkatan utang perbankan nasional mengakibatkan likuidasi 16 bank yang akhirnya mengguncang perekonomian Indonesia; selama krisis penyelamatan sistem perbankan nasional dilakukan dalam intensitas tinggi.
3 September 1997, Pemerintah memutuskan untuk : membantu bank-bank yang masih memiliki harapan hidup; memerintahkan merger atau penjualan beberapa bank kepada bank yang lebih mampu; dan mencabut izin bank yang sudah tidak memiliki harapan hidup.
Bank yang dianggap layak berlanjut dibantu dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI); 16 Bank dinyatakan sebagai Bank Dalam Likuidasi (BDL); 4 Bank dinyatakan Bank Taken Over (BTO); 10 Bank sebagai Bank Beku Operasi (BBO); dan 39 Bank sebagai Bank Beku Kegiatan Usaha Tertentu (BBKU).
Dalam upaya pemulihan perbankan, Pemerintah melakukan penguatan modal (rekapitalisasi) terhadap 10 Bank Pembangunan Daerah (BPD) dan 9 Bank Umum. Pendirian BPPN 26 Januari 1998, Identifikasi Bank-Bank berdasarkan kriteria rekapitalisasi pada akhir 1998, pengambilalihan bank-bank oleh pemerintah pada bulan mei dan agustus 1998 serta penghentian kegiatan usaha tertentu bank-bank tanggal 13 maret 1999.

Persetujuan Gub BI dan Menkeu 6 Februari 1999, BLBI adalah 144,5 T dan pemberian BLBI kepada Bank Ekspor Impor Indonesia sebesar 20 T. BLBI 144,5 T Pemerintah menerbitkan tiga Surat Utang; SU 001/MK/1998 Rp. 80T, SU 003/MK/1998 64,5T, dan SU 004/MK/1998 Rp. 53,8T.
Penyediaan dana BLBI mengacu ketentuan Psl 32 ayat (3) dan Penjelasan Umum Angka III huruf b UU 13/1968 tentang Bank Sentral; BI sebagai lender of the last resort; untuk melaksanakan komitmen BI untuk membantu pemerintah dalam menjalankan kebijakan mikro ekonomi nasional.

Amandemen UU 7/1992 tentang Pokok-pokok perbankan menjadi UU 10/1998 tentang Perbankan maka wewenang perizinan dibidang perbankan beralih dari Menkeu ke Pimpinan BI; Peranan BI dalam kebijakan perbankan mengalami perubahan drastis mengatur :
1. Pengalihan wewenang perizinan dibidang perbankan dari Menkeu kepada Pimpinan BI
2. Kepemilikan bank oleh pihak asing tidak dibatasi tetapi tetap memperhatikan prinsip kemitraan
3. Pengembangan bank berdasarkan syariah
4. Perubahan cakupan rahasia bank yang semula meliputi sisi aktiva dan pasiva dari neraca bank, menjadi nasabah penyimpanan dan simpanannya
5. Pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
6. Pendirian badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan

Tahun 1991 berdiri Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank umum satu-satunya yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil; Introduksi prinsip ini dalam hukum positif adalah UU 7/1992 tentang Perbankan dan PP 72/1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil.
Bank Syariah tidak hanya Prinsip Bagi Hasil, namun juga akad-akad tradisional Islam lainnya atau prinsip syariah yang merupakan instrumen yang menggantikan sistem konvensional berupa bunga (riba), ketidakpastian (garar), perjudian (maisyir), dan batil yang merupakan unsur dilarang dalam Islam.
Perubahan Atas beberapa materi UU 7/1992 dituangkan dalam UU 10/1998; UU yang mempertegas eksistensi perbankan syariah di Indonesia.

F. MASA REFORMASI : SISTEM PERBANKAN MODREN
Setelah krisis ekonomi  maka sistem perbankan mulai mengkaji sistem perbankan sebelumnya dengan melakukan pengawasan ketat melibatkan IMF (International Monetary Fund), sehingga dibentuklah BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) berdasarkan Kepres 27/1998 tentang pembentukan BPPN; dibentuk dengan tugas pokok penyehatan perbankan, penyelesaian aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan.
Pada 27 Februari 2004 berdasarkan Kepres Presiden Megawati No 15/2004 tentang pengakhiran dan pembubaran BPPN; Menunjuk Menkeu Boediono sebagai Ketua Tim Pemberesan BPPN melalui Kepres 16/2004 tentang pembentukan Tim Pemberesan BPPN.
Perusahaan Pengelola Aset (PPA/Persero) didirikan pemerintah 27 Februari 2004 melalui PP 10/2004 untuk melaksanakan pengelolaan aset eks BPPN yang tidak berperkara hukum; Menkeu dan Dirut PPA menandatangani perjanjian pengelolaan aset 24 maret 2004 jangka waktu lima tahun dan dapat diperpanjang melalui PP 61/2008 tanggal 4 september 2008.

Amanat UU 23/1999 tentang BI salah satu tugas BI adalah mengatur dan mengawasi perbankan; meliputi menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentudari bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Selain Bank, Lembaga yang mengawasi Bank namun dengan Lingkup terbatas yaitu :
1. Badan Pemeriksa Keuangan; memiliki tugas mengawasi bank-bank pemerintah
2. Bapepam; berwenang mengawasi bank-bank yang sudah go-public.
3. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK); dibentuk 2002, berdasarkan UU 15/2002 sebagaimana telah diubah dengan UU 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang; memiliki wewenang meminta dan menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan serta melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam UU ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan.
4. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS); berwenang mendapatkan data simpanan nasabah dan laporan keuangan bank serta melakukan verifikasi dan konfirmasi data dalam rangka merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan dan melaksanakan penjaminan simpanan. Sesuai dengan amanat UU 23/1999 tentang Bank Indonesia, salah satu tugas BI adalah mengatur dan mengawasi perbankan.

Pada masa ini dilakukan penguatan sistem perbankan dengan cara :
Perbaikan
Infrastruktur
Penerapan Good
Corporate Governance
Penyempurnaan
Pengaturan dan Pengawasan

      ·         Ketegasan Kewenangan         otoritas jasa keuangan
      ·         Kepastian skim                       penjaminan simpanan
      ·         Kepastian sumber                   pembiayaan bagi  
             kemungkinan terjadinya 
             permasalahan sistemik  
             suatu ketika
      ·         Pengembangan BPR  
             dan  Bank Syari’ah. 
             Segmen pasar bagi 
             penanaman dana kedua 
             jenis bank ini lebih  
             tahan gejolak

      ·         Penyaringan  
             Kelayakan dan  
             Kepatutan  
             pemegang  
             saham pengendali, 
             pengurus & pejabat           eksekutif
      ·         Keharusan adanya  
             Direktur Kepatuhan  
             di bank

      ·         Ketegasan sanksi atas                 
             Ketidaklayakan &    
             Ketidakpatutan
      ·        Pembentukan kerja sama dalam  
             rangka Law Enforcement – 
             Penerapan Standard  
             Internasional  dalam Sistem  
             pengawasan bank.

Untuk mewujudkan struktur perbankan yang stabil secara berkesinambungan, BI berkoordinasi dengan Pemerintah dalam merancang Arsitektur Perbankan Indonesia (API); bank-bank diwajibkan memperkuat permodalannya sesuai dengan lingkup operasionalnya; semakin luas lingkup operasionalnya semakin besar permodalan yang dipersyaratkan. Bank-Bank kecil didorong menjadi besar, merger, diambil alih, atau turun menjadi BPR.
Lingkup Operasional Bank dibedakan 4 Kriteria; Bank dengan Kegiatan Usaha Terbatas, Bank Fokus, Bank Nasional dan Bank Internasional.

Pengalihan Pengawasan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dibentuk berdasarkan UU 21/2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan jasa keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK); adalah Lembaga Independen bebas campur tangan pihak lain, mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan; Didirikan mengganti peran Bapepam-LK.



MODUL 2   
BENTUK, JENIS-JENIS BANK DAN KEGIATAN JASA PERBANKAN
KB 1 : JENIS, BENTUK, DAN PERIZINAN BANK
A. FUNGSI BANK
Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 UU Perbankan, Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bemuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Melihat dari definisi bank secara normatif tersebut dan dikuatkan dengan Pasal 3 UU Perbankan, terlihat secara jelas apa yang menjadi fungsi utama dari bank, yakni sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Dalam hal menjalankan fungsi utama bank tersebut, bank menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki kelebihan dana dalam bentuk simpanan, yakni berupa giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, dan menyalurkan dana tersebut kepada masyarakat yang kekurangan dan membutuhkan dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya.
Berdasarkan fungsi utama bank tersebut, jelaslah bahwa bank berfungsi sebagai "financial intermediary" atau perantara keuangan. Namun demikian, dalam perkembangannya bank tidak hanya terbatas pada fungsi utama tersebut saja, terdapat pula fungsi bank lainnya. seperti menerbilkan surat pengakuan hutang, melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dan banyak kegiatan usaha bank lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Perbankan.

Keberadaan bank di tengah-tengah masyarakat dikatakan sebagai salah satu bentuk daripada lembaga keuangan. Batasan pengertian dari lembaga keuangan itu sendiri menurut Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 792 Tahun 1990, yaitu lembaga keuangan diberikan batasan sebagai semua badan yang kegiatannya bergerak di bidang keuangan, yang fungsinya melakukan penghimpunan dan penyaluran dana kepada masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan.

Investasi perusahaan dalam hal ini memiliki pengertian sebagai suatu kegiatan yang mengharapkan adanya kenaikan dari nilai uang yang dimiliki sekarang dengan berjalannya waktu schingga dapat memberikan keuntungan bagi perusahaan. Uang yang diinvestasikan, diharapkan dapat bertambah nilainya untuk disimpan dalam suatu bentuk kekayaan. Secara umum, lembaga keuangan dapat dikelompokkan kedalam dua buah bentuk, yaitu Lembaga Keuangan Bank (LKB) dan Lembaga Keuangan Bukan Bank (yang selanjutnya akan disebut LKBB).
Pengertian LKB telah coba diuraikan di atas, yaitu scbagai lembaga yang memiliki fungsi intermediasi, menghimpun, dan menyalurkan dana kepada masyarakat. Sama halnya seperti kegiatan yang dilakukan olch LKB.
LKBB juga menghimpun dan menyalurkan dana kepada masyarakat hanya dalam hal ini tindakannya dilakukan secara tidak langsung. Dapat dikatakan demikian karena tidak sccara langsung dana dari masyarakat dihimpun oleh LKBB melainkan dilakukan terutama melalui kertas berharga ataupun dapat juga diberikan dalam bentuk penyertaan, pinjaman, ataupun berupa kredit dari lembaga lain.

Sementara itu. kegiatan penyaluran dana kepada masyarakat, baik itu dari lembaga keuangan bank ataupun LKBB tidak memiliki perbedaan yang terlalu berarti sebab penyaluran dana itu utamanya, yaitu untuk tujuan investasi, konsumsi, ataupun modal kerja. Sementara untuk jangka waktunya dapat ditempuh, baik itu dalam jangka waktu yang pendek, menengah, maupun jangka waktu yang panjang. Pemberian penyaluran dana tersebut dapat diberikan kepada badan usaha ataupun atas permohonan individu.

Pengaturan mengenai LKBB. diuraikan di dalam Pasal 16 Ayat (I) UU Perbankan yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagal Bank umum atau Bank Perkreditatn Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.

Penjelasan maksud dari pasal di atas mengenai kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat yang diatur dengan undang-undang tersendiri, yaitu bahwa di masyarakat terdapat pula jenis lembaga lainnya yang juga melakukan kegiatan menghimpun dana masyarakat datam bentuk simpanan atau semacam simpanan, misalnya yang dilakukan olch kantor pos, oleh dana pensiun, atau oleh perusahaan asuransi.
Kegiatan lembaga-lembaga tersebut tidak dicakup sebagai kegiatan usaha perbankan, berdasarkan ketentuan ayat ini. Terhadap kegiatan menghimpun dana masyarakat yang dilakukan olch lembaga-lembaga tersebut, diatur dengan undang-undang tersendiri beserta peraturan pelaksanaannya.
LKBB terdiri dari Lembaga Pcmbiayaan yang terurai dalam berbagai jenis usaha, seperti sewa guna usaha atau yang lebih akrab kita kenal sebagai leasing, kemudian ada modal ventura, pembiayaan konsumen, jasa anjak piutang, dan kartu plastik. Sementara selain dari lembaga pembiayaan ada juga perusahaan asuransi, perusahaan dana pensiun, perusahaan pegadaian, dan perusahaan pasar modal.

Menurut UU 14 / 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, jenis kelembagaan bank menurut fungsinya dibedakan atas: 
1. bank sentral, yaitu Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral, kemudian dicabut dengan UU No. 23 / 1999 tentang Bank Indonesia:
2. bank umum, yaitu bank yang dalam penghimpunan dana dari masyarakat terutama menerima simpanan dalam bentuk giro dan deposito, dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka pendek:
3. bank tabungan, yaitu bank yang dalam penghimpunan dana dari masyarakat terutama menerima simpanan dalam bentuk tabungan dan dalam usahanya terutama memperbungakan dananya dalam kertas berharga:
4. bank pembangunan, yaitu bank yang dalam penghimpunan dana dari masyarakat terutama menerima simpanan dalam bentuk deposito dan/atau mengeluarkan kertas berharga jangka menengah dan panjang. dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan panjang di bidang pembangunan:
5. bank lainnya, yang ditetapkan dengan undang-undang menurut kebutuhan dan perkembangan ekonomi.

Seiring perkembangannya, melalui keberadaan Undang-Undang Perbankan maka jenis kelembagaan bank ditata kembali dalam suatu struktur yang lebih sederhana, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. disebutkan bahwa berdasarkan jenisnya, bank dibedakan atas:
1. bank umum, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran, (berdasarkan pengertian ini maka dengan sendirinya bank umum adalah bank pencipta uang giral)
2. bank perkreditan rakyat, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Berdasarkan pengertian ini, dengan sendirinya bank perkreditan rakyat bukan bank pencipta uang giral karena bank perkreditan rakyat tidak ikut memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Terkait dengan jenis kelembagaan hank yang telah ditata ulang menjadi bank umum dan bank perkreditan rakyat, bank umum itu sendiri didirikan dalam bentuk hukum berupa perseroan terbatas, koperasi, dan/atau perusahaan daerah, sedangkan bank perkreditan rakyat dapat didirikan dalam bentuk hukum berupa perusahaan daerah, koperasi, perseroan terbatas, dan/atau bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Menurut kegiatan usahanya, jenis kelembagaan bank sebagaimana dipaparkan di atas, dapat dibedakan atas: 
1. bank konvensional, yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional, dan berdasarkan jenisnya terdiri atas bank umum konvensional dan bank perkreditan rakyat:
2. bank syariah, yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, dan berdasarkan jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank perkreditan rakyat syariah.


B. JENIS BANK BERDASARKAN FUNGSINYA
1. Bank Sentral, yaitu Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral, kemudian dicabut dengan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengatur dan mengawasi perbankan.
Ruang lingkup tugas ini meliputi menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan atas bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Bank Umum, yaitu bank yang melaksanakan kegitan  usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. (Pasal 1 Angka 3 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan (UU Perbankan 1998).

a. Kegiatan usaha yang dapor dilakukan oleh Bank Umum. 
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, senifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2) Memberikan kredit
3) Menerbitkan surat pengakuan hutang.
4) Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya.
5) Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud.
6) Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud.

b. Kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah.
1) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
2) Obligasi:
3) Surat dagang berjangka waktu sampai dengan  (satu) tahum
4) Instrumen surat berharga lain yang berjangka walnu sampai dengan 1(satu) tahun.

c. Memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah.
1) Menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya.
2) Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga.
3) Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
4) Melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.
5) Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek.
6) Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat.
7) Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
8) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
9) Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi keientuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
10) Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
11) Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
12) Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

d. Kegiatan usaha yang dilarang untuk dilakukan oleh bank unuan 
1) Melakukan penyertaan modal, kecuali pada dua alasan, yaitu pertama, bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan olch Bank Indonesia. Kedua, untuk mengawasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2) Melakukan kegiatan usaha perasuransian.
3) Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha yang sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perbankan.

3 Bank Perkreditan Rakyat, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 Angka 4 UU Perbankan 1998).
a. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank perkreditan rakyat. 
1) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan. dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2) Memberikan kredit.
3) Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip.
4) Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
5) Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito. dan/atau tabungan pada bank lain.

b. Kegiatan usaha yang dilarang untuk dilakukan oleh bank perkreditan rakyat. 
1) Menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran.
2) Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing.
3) Melakukan penyertaan modal.
4) Melakukan usaha perasuransian.
5) Melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha.

4 Bank Umum yang mengkhususkan diri utuk melaksanakan kegiatan tertentu atau memberikan perhatian yang lebih bcsar kepada kegiatan tertentu. Hal tersebtu dimungkinkan oleh keternuan Pasal 5 Ayat (2) UU Perbankan 1992.

Berdasarkan uraian di atas mengenai kegiatan apa saja yang bolch dan dilarang uniuk dilakukan oleh bank umum serta BPR. dapat dikatakan buhwa bank umum diberikan kewenangan yang jauh lebih luas dibandingkan BPR. Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tenentu adalah antara lain mclaksanakan kegiaran pembiayaan jangka panjang, pembiayaan untuk mcngcmbangkan koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah/pengusaha kecil, pcngembangan ekspor nomnigas dan pengembangan pembangunan perumahan.

Sedangkan prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kcgiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual-beli barang dengan memperolch keuntungan (murabahah) atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) aiau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah iqtina), sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Fungsi bank sangat krusial bagi perekonomian suatu ncgara, yang mana fungsi utama Perbankan Indonesia adalah scbagai penghimpun dan pcnyalur dana masyarakat scbagaimana ada tenulis dalam Undang-Undang Perbankan Pasal 3. Di Indonesia, selain memiliki fungsi yang lazim seperti tersebut di atas, bank juga memiliki fungsi yang diarahkan sebagai agen pembangunan (agent of development). Tujuan utama perbankan di Indonesia sebagaimana tercanum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan adalah menunjang pclaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, penumbuhan ckonotni, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.


C. JENIS BANk BERDASARKAN KEPEMILIKANNYA

1. Bank Umum Millk Negara, yaitu bank yang hanya dapat didirikan berdasarkan UU.
2 Bank Umum Swasta, yaitu bank yang hanya dapat didirikan dan menjalankan usahanya setelah mendapat izin dari pimpinan BI. Kaentuan-ketentuan tentang perizinan, bentuk hukum dan kepemilikan Bank Umum Swasta ditetapkan dalam Pasal 16, Pasal 21, dan Pasal 22 UU No. 7 1992 tentang Perbankan yang kemudian pasal-pasal tersebut telah diubah dengan UU No. 10 tahun 1998.

Sedangkan syarat-syarat untuk pendiriannya sebelum ini diatur dalam SK Menteri Keuangan RI No. 2201K.MK. 017/1993 tentang Bank Umum. Setelah diundangkannya UU No. 10 ahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan pada 10 November 1998, maka pendirian bank umum diatur dengan SK Direksi BI No. 32/33/ KEP/DIR tentang Bank Umum tanggal 12 Mei 1999.

3. Bank Campuran, yaitu bank umum yang didirikan bersama oleh satu atau lebih bank umum yang berkedudukan di 1ndonesia dan didirikan oleh warga negara 1ndonesia dan atau badan hukum Indonesia yang dimiliki sepenuhnya oleh warga negara Indonesia, dengan satu atau lebih bank yang berkedudukan di luar negeri.
Ketentuan tentang pendirian Bank Campuran diatur dan ditetapkan dalam Pasal 17 UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Syarat-syarat pendirian Bank Campuran semula diatur dalam SK Menteri Keuangan RI No. 1068/KMK.001 1988 tentang pendirian Bank Campuran tanggal 28 Oktober 1988. Dalam UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank Campuran ini tidak disebutkan lagi dalam Pasal 1 yang telah diubah. Ketentuan tentang pendirian Bank Campuran, yaitu Pasal 17 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan juga dihapus. Namun, Pasal 22 UU No. 10 Tahun 1998 menyatakan bahwa bank umum selain dapat didirikan oleh warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia dapat juga didirikan oleh warga negara asing dan badan hukum asing secara kemitraan. Tata cara pendirian bank kemitraan maupun bank umum tersebut akan diatur oleh BI, namun Pasal 69 SK Direksi B1 No. 32/33/ KEP/DIR Tahun 1998 menyatakan bahwa Bank Campuran yang telah ada sebelum adanya SK Direksi BI No. 32/33/KEP/DIR tersebut pengertiannya sama dengan pengertian bank umum, artinya pendirian bank campuran sama dengan pendirian bank umum biasa.

4. Bank Milik Pemerintah Daerah, yaitu Bank Pembangunan Daerah. Berdasarkan Pasal 54 UU Perbankan 1992 di mana dinyaiakan bahwa UU No. 13 Tahun 1962 tentang ketentuan-ketentuan pokok Bank Pembangunan Daerah dinyatakan hanya berlaku untuk jangka waktu 1 tahun sejak mulai berlakunya UU tersebut nuka bentuk Bank Pembangunan Daerah (BPD) tersebut akan disesuaikan menjadi Bank Umum sesuai dengan UU Perbankan 1992.

Dalam Pasal 22 Ayat (1) Undang-undang Perbankan, Bank Umum hanya dapat didirikan olch warga negara Indonesia, Badan hukum Indonesia, warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan (joint venture). 
Dalam Pasal 22 Ayat (2) menentukan bahwa ketentuan mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipcnuhi pihak-pihak scbagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditetapkan olch Bank Indonesia. Menurut Pasal 23 Undang-undang Perbankan, bank perkreditan rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indoncsia yang scluruh pemiliknya warga negara Indonesia, pemerintah daerah atau dapat memiliki bersama ketiganya. Jclaslah bahwa dalam pendirian bank perkreditan rakyat tidak memberi peluang kepada warga negara asing dan badan hukum asing, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama secara kemitraan (joint venture) dengan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia.
Dengan perkataan lain, bank perkreditan rakyat dimiliki olch badan hukum Indonesia maka badan hukum Indonesia dimaksud scluruh pcmiliknya adalah warga negara Indonesia yang sama sekali tidak mengandung unsur asing (foreign element). 

Kepemilikan bank ini oleh Undang-undang Perbankan dibedakan sesuai dengan bentuk hukum dari bank. Untuk bank umum dan bank perkreditan rakyat yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang tentang Koperasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24. Sedangkan Pasal 25 ditentukan bahwa bank umum dan bank perkreditan rakyal yang berbentuk perseroan terbatas, sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. Maksud dari ditemukannya bentuk saham bank dalam bentuk saham atas nama adalah untuk dapat mengetahui perubahan kepemilikan saham dari bank tersebut.

Ketentuan Pasal 26 Ayat (1), (2), (3) ditentukan hal-hal yang juga berkaitan dengan kcpcmilikan bank.

Pasal 26 Ayat (1) :
Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek.

Penjelasannya dikemukakan bahwa ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk memperkuat struktur permodalan, penyebaran kepemilikan, dan meningkatkan kinerja bank tersebut.

Pasal 26 Ayat (2) :
Warga Negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia, dan/atau badan hukum asing dapat membeli saham Bank Umum, secara langsung, dan/atau melalul bursa efek.

Maksud ayat ini adalah untuk membuka kesempatan lebih luas kepada berbagai pihak, baik Inclonesia maupun asing untuk turut serta memiliki Bank Umuni.

Pasal 26 Ayat (3) :
Pelaksanaan ketentuan sebagairnana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Penjelasan pasal ini dikatakan bahwa pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pcmerintah memuat, antara lain persyaratan,
1. Kcpcmilikan saham termasuk kondisi kcuangan calon pemilik bank;
2. Dokumen yang harus dipenuhi.

Berkaitan dengan masalah kepemilikan bank tersebut, perlu dikemukakan bahwa dalam hal terjadinya perubahan kepemilikan bank, ada 2 (dua) kewajiban yang wajib dipenuhi sebagaimana ditentukan oleh Pasal 27 Undang-undang Perbankan, yaitu:
1. Memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Ayat (3). Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26.
2. Dilaporkan kepada Bank Indonesia.


PERIZINAN PENDIRIAN BANK
1. Perizinan
Bank sebagai salah satu badan usaha yang mempunyai kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat dan mcnyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam berbagai bentuknya. membutuhkan persyaratan dalam mcnjalankan usahanya. Untuk maksud tersebut, Undang-undang Perbankan telah mengatur mengenai perizinan untuk menjalankan kegiatan usaha bank sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 Ayat (1), (2), (3).

Pasa) 16 Ayat (1): Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghtmpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh Izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia kecuali apablla kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.

Dalam ketentuan Pasal 16 Ayat (1), terkandung arti bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapa pun pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kcpcntingan masyarakat yang hartanya disimpan pada pihak yang mcnghimpun dana tcrscbut. Dalam ayat ini ditcgaskan bahwa kcgiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat.

Pasal 16 Ayat (2): Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), wajib memenuht persyaratan sekurang-kurangnya tentang:
a. Susunan organisasi dan kepengurusan:
b. Permodatan;
c. Kepemilikan;
d. Keahlian di bidang perbankan;
e. Kelayakan rencana kerja.

Dalam ketentuan Pasal 16 Ayat (2) dapat dikemukakan bahwa dalam hal memberikan izin usaha sebagai Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, Bank Indonesia selain memerhatikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini, juga wajib memerhatikan tingkat persaingan yang sehat antarbank, tingkat kejenuhan jumlah bank dalam suatu wilayah tertentu, serta pemerataan pembangunan ekonomi nasional.

Pasal 16 Ayat (3): "Persyaratan dan tata cara perizinan bank sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dttetapkan oleh Bank Indonesia"

Dalam ketentuan tersebut, dapat dikemukakan bahwa pokok-pokok kctentuan yang ditetapkan olch Bank Indonesia memuat. antara lain:
1. Persyaratan untuk menjadi pengurus bank antara lain menyangkut keahlian di bidang perbankan dan konduite yang baik:
2. Larangan adanya hubungan keluarga di antara pengurus bank;
3. Modal disetor minimum untuk pendirian Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyal:
4. Batas maksimum kepemilikan dan kepengurusan;
5. Kelayakan rencana kerja:
6. Batas waktu pemberian izin pendirian bank.


2. Bentuk-Bentuk Hukum Pendirian Bank 
Undang-undang Perbankan membedakan secara tegas bentuk hukum bank umum, bank perkreditan rakyal dan bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar negeri.
Untuk Bank Umum dikenal tiga bentuk hukum yang ditentukan olch Pasal 21 Ayai (1), yaitu perseroan terbatas, koperasi, dan perusahaan daerah, sedangkan bentuk hukum Bank Perkreditan Rakyat diatur dalam Pasal 21 Ayat (2) perusahaan daerah, koperasi, perseroan terbatas, dan bentuk lain yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang bcrkedudukan di luar negcri adalah mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya sebagaimana ditentukan Pasal 21 Ayat (3).

Bentuk hukum Bank Perkreditan Rakyat lebih banyak daripada bentuk hukum untuk Bank Umum. Perbedaan yang substansial adalah adanya peluang untuk mendirikan Bank Perkreditan Rakyat dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud Pasal 21 Ayat (2). Dalam penjelasan Pasal 21 Ayat (2) Huruf d dikatakan bahwa kcientuan izin dimaksudkan untuk memberikan wadah bagi penyelenggaraan lembaga perbankan yang lebih kecil Bank Perkreditan Rakyat, seperti bank desa, lumbung desa, badan kredit desa, dan lembaga-lembaga lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
Dalam Pasal 58 Undang-undangan Perbankan ditentukan bahwa, Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Nagari (LPN). Lembaga Perkreditan Desa (LPD), Badan Kredit Desa (BKD), Badan Kredit Kecamatan (BKK), Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK), Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK), Badan Karya Produksi Desa (BKPD), dan/atau lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu status sebagai Bank Perkreditan Rakyai berdasarkan undang-undang dengan memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, pendirian bank harus memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Taltun 1998.

3. Pendirian Bank Umum 
Untuk mendirikan Bank Umum selain harus memenuhi persyaratan dalam Pasal 16 Ayat (2) Undang-undang Perbankan juga memperhatikan dan memenuhi ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan bank yang diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum. Dalam Pasal 5 Keputusan Direksi Bank Indonesia tersebut, dikemukakan bahwa pemberian izin usaha untuk mendirikan Bank Umum harus melalui dua tahapan, yaitu tanapan:
1. Persetujuan prinsip, adalah persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian bank yang bersangkutam
2. Pemberian izin usaha, adalah izin yang diberikan untuk melakukan usaha setelah persiapan selesai dilakukan.

Ketentuan Pasal 5 Keputusan Direksi Bank Indonesia di atas, menunjukkan bahwa sebelum memperoleh izin usaha, pihak yang telalt memperolan persetujuan prinsip tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan usahanya. Dengan kata lain, untuk sahnya kegiatan usaha bank harus terlebih dahulu adanya izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia.
Menurut Pasal 6 Ayat (I) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum. permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip diajukan sekurang-kurangnya oleh salah seorang calon pemilik dengan lampiran sebagai berikut :

1. Rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan anggaran dasar yang sekurang-kurangnya memuat nama dan tempat kedudukan, kegiatan usaha sebagai bank, permodalan, kepemilikan, wewenang, ianggung jawab, dan masa jabatan demin komisaris serta direksi.
2. Data kepemilikan berupa daftar calon pemegang saham berikut rincian besamya masing-masing kepemilikan saham bagi bank yang berbentuk hukum perseroan terbatas/perusahaan daerah. dan dafiar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib serta daftar hibah bagi bank yang berbentuk hukum koperasi.
3. Daftar calon anggota dewan komisaris, dan anggota direksi, disertai kelengkapan tanda pengenal, riwayat hidup, surat pernyataan pribadi tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang perbankan, keuangan dan usaha lainnya dan/atau lidak pemah dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana kejahatan, surat keterangan atau bukti tertulis dari bank tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman operasional di bidang perbankan bagi calon direksi yang tclah berpcngalaman, dan surat keterangan dari lembaga pendidikan mengenai pendidilcan perbankan yang pernah atau bukti tertulis dari bank tempat bekerja sebelumnya mengenai pengalaman di bidang perbankan bagi calon anggota dewan komisaris.
4. Rencana dan susunan organisasi.
5. Rencana kerja untuk tahun pertama, yang sekurang-kurangnya memuat hasil penelaahan mengenai peluang pasar, dan potensi ekonomi, rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana tersebut, rencana kebutuhan pegawai, dan proyeksi arus kas bulanan selama 12 bulan yang dimulai sejak bank melakukan kegiatan operasionalnya serta proyeksi neraca dan perhitungan laba rugi.
6. Bukti setoran modal sekurang-kurangnya sebesar 30% dari modal disetor. Dengan perkataan lain, harus telah ada modal sebesar 1 triliun rupiah dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada bank di Indonesia dan atas nama Direksi Bank Indonesia c.q. salah seorang calon pemilik.
7. Surat pernyataan dari calon pemegang saham bagi bank yang berbentuk hukum perscroan terbatas/perusahaan daerah atau dari calon anggota bagi bank yang berbentuk hukum koperasi, bahwa pelunasan modal tersebut tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun dari dan/atau pihak lain di Indonesia, juga tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang (money laundering),

Jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap. Bank Indonesia dituntut harus memberikan pernyataan atas permohonan persetujuan prinsip tersebut baik disetujui maupun ditolak.
Bank Indonesia terlebih dahulu akan melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokument analisis yang mencakup antara lain tingkat persaingan yang sehat antarbank, tingkat kejenuhan jumlah bank, dan pemerataan pembangunan ekonomi nasional, serta wawancara dengan calon pemilik, dewan komisaris, dan dewan direksi sebelum memberikan izin atau menolak.
Apabila permohonan persetujuan prinsip telah memenuhi persyaratan yang ditentukan maka Bank Indonesia akan menyetujui permohonan tersebut dan mengcluarkan persetujuan prinsip. Jangka waktu berlakunya izin prinsip adalah 360 hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya persetujuan dimaksud. Pihak penerima izin prinsip tetap tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usahanya sebelum mendapatkan izin usaha. Setelah memperoleh persetujuan atau izin prinsip dari Bank Indonesia maka pihak pcnerimaan sesegera mungkin mempersiapkan dan mengurus pennohonan izin usahanya.

Menurut Pasal 9 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tentang bank umum, ditentukan bahwa permohonan untuk memperoleh izin usaha wajib memenuln persyaratan tertentu, serta melampirkan hal-hal sebagai berikut ini :
1. Akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang.
2. Data kepemilikan bcrupa: daftar calon pemegang saham berikut rincian besamya masing-masing kepernilikan saham bagi bank yang berbentuk hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah dan daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi bank yang berbentuk hukum koperasi.
3. Daftar susunan dewan komisaris dan direksi.
4. Susunan organisasi serta siswa dan prosedur kerja termasuk susunan personalia.
5. Bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk fotokopi bilyet deposito
6. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa: daftar aktiva tetap dan inventaris; bukti penguasaan gedung berupa bukti kepemilikan atau perjanjian sewa menyewa gedung kantor; foto gedung kantor dan tata letak ruangan; contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional bank; nomor pokok wajib pajak dan tanda daftar perusahaan.
7. Surat pernyataan dari pemegang saham bagi bank yang berbentuk hukum perseroan terbatas/perusahaan daerah atau dari calon anggota bagi bank yang berbentuk hukum koperasi, bahwa pelunasan modal tersebut tidak berasal pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun dari dan/atau pihak lain di Indonesia, juga tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
8. Surat pemyataan tidak merangkap jabatan dari anggota dewan komisaris sebagai anggota dewan komisari pada lebih dari 1 (satu) bank lain atau sebagai anggota dewan komisaris, direksi atau pejabat eksekutif lainnya pada perusahaan lain lebih dari 2 (dua) perusahaan.
9. Surat pernyataan tidak merangkap jabatan dari anggota direksi sebagai anggota komisaris, direksi atau pejabat eksekutif lainnya pada lembaga perbankan, perusahaan, atau lembaga lain.
10. Surat pemyataan dari anggota dewan komisaris dan anggota direksi bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga sampai derajat kedua termasuk suami, istri, menantu, dan ipar dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris lainnya.
11. Surat pernyataan dari anggoia direksi bahwa yang bersangkumn baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari modal disetor pada perusahaan lain.

Berkaitan dengan permohonan izin usaha tersebut maka Bank Indonesia selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterimanya secara lengkap dituntut memberikan peernyataan disetujui atau ditolak. Bank lndonesia terlebih dahulu akan melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen serta wawancara dengan pemilik; anggota dewan kornisaris dan direksi dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan, namun bila tidak ada penggantian maka tidak diperlukan wawancara lagi.
Dengan dikeluarkannya izin usaha oleh Bank Indonesia maka bank yang bersangkutan wajib melakukan kegiatan usahanya selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya izin usaha tersebut. Apabila setelah jangka waktu tersebut lewat, namun bank belum melakukan kegiatan usahanya maka Direksi Bank Indonesia akan membatalkan izin yang telah dikeluarkannya.

4. Pendirian Bank Perkreditan Rakyat 
Permohonan izin prinsip untuk bank perkreditan rakyat wajib memenuhi persyaramn scbagaimana ditcmukan dalam Pasal 6 Surat Keputusan Dircksi Bank Indonesia Nomor 32/35/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat, serta melampirkan:
1. Rancangan akta pendirian badan hukum, termasuk rancangan anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
2. Data kepemilikan berupa daftar pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham bagi bank yang berbentuk hukum perscroan tcrbatas/perusahaaan daerah, dan daftar calon anggota berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi bank yang berbentuk hukum koperasi;
3. Daftar susunan dcwan komisaris dan direksi;
4. Rencana dan susunan organisasi;
5. Rencana kcrja untuk tahun pertama, yang memuat: hasil penclaahan mengcnai peluang pasar, dan Potensi ckonomi; rencana kegiatan usaha yang mencakup penghimpunan dan penyaluran dana serta langkah-langkah kegiatan yang akan dilakukan dalam mewujudkan rencana tersebut; rencana kebutanan pegawai; dan proyeksi arus kas bulanan selama 12 (dua belas) serta proyeksi neraca dan perhitungan laba rugi;
6. Bukti pelunasan modal sekurang-kurangnya sebesar 30% dalam bentuk fotokopi bilyet deposito pada bank umum di Indonesia dan atas nama direksi bank Indoncsia c.q. salah scorang pcmilik bank perkreditan rakyat yang bersangkuian;
7. Surat pcrnyataan dari calon pemegang saham bagi bank yang bcrbantuk hukum perseroan terbatas/perusahaan daerah atau dari calon anggota bagi bank yang berbentuk hukum koperasi, bahwa pelunasan modal disetor tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun dari bank dan/atau pihak lain di Indonesia atau tidak berasal dari hasil kegiatan yang melanggar hukum.

Hal-hal yang diuraikan di atas, merupakan persyaratan yang wajib dipenuhi oleh pemohon dan Bank Indonesia berkewajiban untuk manangani permohonan tersebut apabila kelengkapan persyaratan dari pemohon telah dipenuhi. Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap dituntut harus memberikan pernyataan atas perrnohonan persetujuan prinsip tersebut, baik disetujui maupun ditolak.

Sedangkan untuk memperoleh izin usaha bank perkreditan rakyat maka permohonan yang diajukan oleh si pemohon harus memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/35/KEP/DIR tentang Bank Perkredi. Rakya :
1. Akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar badan hukum yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang.
2. Data kepemilikan berupa: daftar calon pemegang saham berikut rincian besarnya masing-masing kepemilikan saham bagi bank yang berbentuk hukum perseroan terbatas/perusahaan daerah dan daftar calon anggota, berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar hibah bagi bank yang berbentuk hukum koperasi.
3. Daftar susunan Dcwan Komisaris dan Direksi.
4. Susunan organisasi serta sistem dan prosedur kerja termasuk susunan personalia.
5. Bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk fotokopi bilyet deposito.
6. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa: daftar aktiva tetap dan inventaris; bukti penguasaan gedung berupa bukti kepemilikan atau perjanjian sewa menyewa gedung kantor; foto gedung kantor dan tata letak ruangan; contoh fomulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional bank; nomor pokok wajib pajak dan tanda daftar perusahaan.
7. Surat pernyataan dari pemegang saham bagi bank yang berbentuk hukum perseroan terbatas/perusahaan dacrah atau dari calon anggota bagi bank yang berbentuk hukum koperasi, bahwa pelunasan modal tersebut tidak berasal dari pinjaman atau fasilitas pembiayaan dalam bentuk apa pun dari bank dan/atau pihak lain di Indonesia juga tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang.
8. Surat pernyataan tidak merangkap jabatan dari anggota dewan komisaris sebagai anggota dewan komisaris pada lebih dari 3 (tiga) bank lain atau sebagai anggota direksi pada bank umum.
9. Surat pernyataan tidak merangkap jabatan dari anggota direksi sebagai anggota komisaris, direksi atau pejabat eksekutif lainnya pada lembaga perbankan, perusahaan, atau lembaga lainnya.
10. Surat pernyataan dari anggota dewan komisaris dan anggota direksi bahwa yang bersangkutan tidak bersedia menjadi direksi selama sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sejak bank perkreditan rakyat beroperasi dan tidak akan mengundurkan diri, kecuali mendapat persctujuan terlebih dahulu dari Bank Indonesia.
11. Surat pernyataan dari anggota dewan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan anggota direksi lainnya dalam hubungan sebagai orang tua termasuk mertua, anak termasuk menantu, saudara kandung termasuk ipar dan suami isiri, juga dengan Dewan Komisaris dalam hubungan sebagai orang tua, anak dan suatni istri.

Berkaitan dengan permohonan izin usaha tersebut, maka Bank Indonesia selambat-lambamya 60 (enam puluh) hari setelah dokumen permohonan diterimanya secara lengkap dituntut memberikan pernyataan disetujui atau ditolak. Bank Indonesia terlebih dahulu akan melakukan penelitian: atas kelengkapan dan kebenaran dokumen serta wawancara dengan pemilik: anggota Dewan Komisaris dan Direksi dalam hal terdapat penggantian atas calon yang diajukan. namun bila tidak ada penggantian maka tidak diperlakukan wawancam lagi.
Dengan kcluarnya izin usaha olch Bank Indonesia maka bank yang bersangkutan wajib melakukan kegiatan usahanya selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya usaha tersebut. Apabila setelah jangka waktu tersebut lewat, namun bank belum melakukan kegiatan usahanya maka Direksi Bank Indonesia akan membatalkan izin yang telah dikeluarkannya.


E. LEMBAGA KEUANGAN NONBANK
Pengertian lembaga keuangan nonbank adalah semua badan yang melakukan kegiatan di bidang keuangan, yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana terutama dengan jalan mengeluarkan kertas berharga dan menyalurkan dalam masyarakat terutama guna membiayai investasi perusahaan. Lembaga keuangan berkembang sejak tahun 1972, dengan tujuan untuk mendorong perkembangan pasar mdal serta membantu permodalan perusahaan-pennahaan ckonomi lemah.

1. Jenis-Jenis Lembaga Keuangan 
a. Lembaga pembiayaan pembangunan.
b. Lembaga perantara penerbit dan perdagangan surat-surat berharga, contoh PT. Danareksa.
c. Lembaga keuangan lain.
1) Perusahaan Asuransi, yaitu perusahaan penanggungan sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab Undang-Undang Hukum Perniagaan ayat 246.
2) PT. Pegadaian (Persero), yaitu Perusahaan milik Pemerintah yang ditugasi untuk membantu rakyat, meminjami uang secara perorangan dengan menjaminkan barang-barang bergerak maupun tak bergerak.
3) Koperasi Kredit, yaitu sejenis koperasi yang kegiatan usahanya adalah mengumpulkan dana anggota melalui simpanan dan menyalurkan kepada anggota yang membutuhkan dana dengan cara pemberian kredit.

Perlu Anda ketahui, selain lembaga keuangan yang resmi ada juga lembaga keuangan nonbank yang tidak resmi. seperti pengijon dan rentenir, akan tetapi keberadaan lembaga keuangan informal ini terkadang banyak merugikan masyarakat.

2. Usaba-Usaha yang dilakukan LKBB 
a. Menghimpun dana dengan jalan mengeluarkan kertas berharga.
b. Sebagai perantara untuk rnendapatkan kompanyon (dukungan dalam bentuk dana) dalam usaha patungan.
c. Perantara untuk mendapatkan tenaga ahli.

3. Jenis-Jenis LKBB 
a. Perusahaan Asuransi, perusahaan yang memberikan jasa-jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat. dan tanggung jawab hukum pada pihak ketiga karena peristiwa ketidakpastian.
b. Perusahaan Dana Pensiun (TASPEN); badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.
c. Koperasi Simpan Pinjam, menghimpun dana dari masyarakat dan meminjamkan kembali kepada anggota atau masyarakat.
d. Bursa Efek/Pasar Modal; Tempat jual beli Surat Berharga
(1). Saham; Surat berharga dalam hal ini pemiliknya merupakan pemilik perusahaan
(2). Obligasi; Surat berharga yang merupakan instrumen utama perusahaan; Pemiliknya bukan merupakan pemilik perusahaan
e. Perusahaan Anjak Piutang; Badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian atau pengalihan serta pengurusan piutang
f. Perusahaan Modal Ventura; Badan usaha yang melakukan pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal kedalam perusahaan.



KB 2 : JASA PELAYANAN BANK DAN BANK SYARIAH

A. USAHA-USAHA DILAKUKAN BANK
Menurut UU 10 / 1998 tentang Perubahan atas UU 7 / 1992 tentang Perbankan. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya ke masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup orang banyak.
Dalam literatur ekanomi dan keuangan, peranan bank digambarkan sebagai lembaga intermediasi (financial intermediary) yang menghubungkan para pemilik dana (owner of funds) dan pengguna dana (user of funds) di tengah-tengah kegiatan masyarkat.

Kegiatan bank umum meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Menghimpun Dana (Funding)
Kegiatan menghimpun dana merupakan kegiatan membeli dana dari masyarakat. Kegiatan ini dikenal juga dengan kegianan funding. Kegiatan membeli dana dapat dilakukan dengan cara mcnawarkan berbagai jcnis simpanan. Simpanan scring disebut dengan nama rekening atau account.

2. Menyalurkan Dana (Lending)
Menyalurkan dana merupakan kegiatan menjual dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat. Kegiatan ini dikenal dengan nama kegiatan Lending. Penyaluran dana yang dilakukan oleh bank dilakulczn melalui pemberian pinjaman yang di masyarakat lebih dikenal dengan nama kredit. Kredit yang diberikan oleh bank terdiri dari berbagai jenis, tergantung dari kemampuan bank yang menyalurkannya, Jumlah serta tingkat suku bunga yang ditawarkan juga beragam.

3. Memberikan jasa-jasa perbankan lainnya (services) 
Jasa-jasa bank lainnya merupakan kegiatan penunjang untuk mendukung kelancaran kegiatan menghimpun dana dan menyalurkan dana. Kegiatan penunjang meskipun bukan kegiatan utama, namun kegiatan ini memberikan keuntungan yang besar bagi bank dan nasabah. Bahkan dewasa ini kegiatan dimaksud memberikan kontribusi yang tidak sedikit bagi keuntungan bank, apalagi keuntungan dari spread based semakin mengecil.

Sesuai dengan Pasal 6 UU No. 7 tahun 1992 yang kemudian diubah dengan UU No. 10 tahun 1998. usaha-usaha yang dapat dilakukan bank melipuil hal berikut : 
1. Menghimpun dana dari masyarakat dalant bentuk simpanan berupa giro. dcposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
2. Memberikan Kredit
3. Menerbitkan surat pengakuan utang.
4. Membeli, rnenjual, atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepenfingan dan atas perintah nasabahnya:

a. surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa bcrlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
b. surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebilt lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud:
c. kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerimah:
d. sertifikat Bank lndonesia
e. obligasi:
f. surat dagang berjangka waktu sampai dengan satu tahum
g. instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan satu tahun
h. memindahkan uang. baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan nasabah:
i. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk. cek atau sarana lainnya:
j. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
k. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
l. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak.

5. Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalum bentuk surat berharga yang lidak tercatat di bursa efek.
6. Membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal debitor tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
7. Melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit, dan kegiatan wali amanat.
8. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan priasip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (dalam UU 10 tahun 1998 menjadi: Menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain benlasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia,
9. Melakukan kegiaian lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan UU No. 10 Tahun 1998, Pasal 6 Huruf k UU Perbankan 1992 tersebut dihapus dan diciptakan pasal baru. yaitu Pasal I 2A yang berbunyi:
1. Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara suka rela oleh pemllik agunan atau berdasarkan kuasa atau menjual di luar lelang darl pemilik agunan dalam hal nasabah debitor tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.
2. Ketentuan mengenai tata cara pembelian agunan dan pencairannya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diatur tebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Selain melakukan kegiatan usaha tersebut di atas, Bank Umum dapat pula:
1. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketcntuan yang ditetapkan oleh BI;
2. melakukan kegiatan pcnyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring pcnyclesaian dan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh BI
3. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditelapkan olch BI (dalam UU No. 10 tahun 1998 menjadi: mclakukan kcgiatan penycrtaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali pcnyertaannya dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan olelt B1); 4 bertindak sebagai pendiri dana peasiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

Sedangkan usaha-usaha BPR, antara lain: 
1. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
2. memberikan kredit;
3. menyediakan pembiayaan bagi nasubah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditctapkan dalam Peraturan Pcmcrintah,
4. menempalkan dananya dalam bentuk SBI, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain.

1. Jasa-jasa Perbankan Transfer
Transfer adalah suatu kcgiatan jasa bank untuk memindahkan sejumlah dana tertentu sesuai dengan perintah si pemberi amanat yang ditujukan untuk keuntungan seseorang yang ditunjuk sebagai penerima transfer. Baik transfer uang kcluar atau masuk akan mengakibatkan adanya hubungan antar cabang yang bersifat timbal balik, artinya bila satu cabang mendebet cabang lain mengkredit

a. Transfer keluar, salah satu jenis pengiriman uang yang dapat menyederhanakan lalu lintas pembayaran adalah dengan pengiriman uang keluar. Media untuk melakukan transfer ini adalah secara tertulis ataupun melalui kawat. Pembatalan transfer keluar, bila terjadi pembatalan transfer. haruslah diperhatikan bahwa pembatalan tersebut hanya dapat dilakukan bila transfer keluar belum dibayarkan kepada si penerima uang dan untuk itu bank pemberi amanat harus memberi perintah berupa "stop payment" kepada cabang pembayaran. Pembayaran pembatalan ini baru dapat dilakukan olch bank pemberi amanat kepada nasabah pemberi amanat hanya apabila telah diterima berita konfirmasi dari bank pembayar bahwa memang transfer dimaksud belum dibayarkan.

b. Transfer masuk, dalam hal ini bank menerima amanat dari salah satu cabang untuk membayar sejumlah uang kepada sescorang beneficiary. Bank pembayar akan membukukan hasil transfer kepada rekening nasabah beneficiary bila ia memiliki rekening di bank pembayar. Transfer masuk tidak dikenakan lagi komisi karena si nasabah pemberi amanat telah dibebankan sejumlah komisi pada saat mentberikan amanat iransfer.

Pembatalan Transfer Masuk 
Jika terjadi pembatalan. penama-tama yang harus dilakukan adalah memeriksa apakalt hasil transfer telah dibayarkan kepada beneficiary. Bila temyata belum, akan diblokir dan dibatalkan untuk kemudian dikembalikan kepada cabang pemberi amanat melalui pemindahbukuan.

2. Inkaso 
Inkaso merupakan kegiatan jasa bank untuk melakukan amanat dari pihak ke tiga berupa penagihan sejumlah uang kepada seseorang atau badan tertentu di kota lain yang telah ditunjuk olch si pemberi amanat.

a. Warkat Inkaso
1) Warkat inkaso tanpa lampiran, yaitu warkat-warkat inkaso yang tidak dilampirkan dengan dokumen-dokumen apapun, seperti cek, bilyet giro, wesel. dan surat berharga.
2). Warkat inkaso dengan lampiran, yaitu warkat-warkat inkaso yang dilampirkan dengan dokumen-dokumen lainnya, seperti kuitansi, faktur, polis asuransi, dan dokumen-dokumen penting.

b. Jenis Inkaso
Inkaso keluar merupakan kegiatan untuk menagih suatu warkat yang telah diterbitkan oleh nasabah bank lain. Di sini bank menerima amanat dari nasabahnya sendiri untuk menagih warkat tersebut kepada sescorang nasabah bank lain di kota lain.
Inkaso masuk, merupakan kegiatan yang masuk atas warkat yang telah diterbitkan olch nasabah sendiri. Dalam kegiatan inkaso masuk, bank hanya memeriksa kecukupan dari nasabahnya yang ielah menerbitkan warkat kepada pihak ke tiga.

3. Bank Garansi 
Bank garansi adalah salah satu jasa yang diberikan oleh bank berupa jaminan pembayaran sejumlah tertentu uang yang akan diberikan kepada pihak yang menerima jaminan, hanya apabila pihak yang dijamin melakukan cidera janji. Perjanjian bisa berupa perjanjian jual-beli, sewa, kontrak-mengontrak, pemborongan, dan lain-lain.  Pihak yang dijamin biasanya adalah nasabah bank yang bersangkutan, sedangkan jaminan diberikan kepada pihak lain yang mengadakan suatu perjanjian dengan nasabah.

Jenis dan manfaat bank garansi, berikut beberapa jenis bank garansi yang ada.
a. Bank Garansi Pembelian, bank garansi diberikan kepada supplier /pabrik sebagai jaminan pembayaran atas pembelian banng oleh nasabah atau pihak yang dijamin oleh bank.
b. Bank Garansi Pita Cukai Tembakau. bank garansi yang diberikan kantor bea cukai sebagai jaminan pembayaran pita cukai tembakau atas rokok yang dijual oleh pabrik rokok. dalam hal ini pihak yang dijamin adalah pabrik rokok.
c. Bank Garansi Penangguhan Bea Masuk. bank garansi yang diberikan kepada kantor bea cukai sebagai jaminan pembayaran bea masuk atas barang yang dikeluarkan dari pelabuhan milik nasabah. d. Bank Garansi Tender (Bid Bond), bank garansi yang diberikan kepada pcmilik proyek (bouwheer) untuk kepentingan kontraktor/leverensi yang akan mengikuti tender atas suatu proyek, dalam hal ini pihak yang dijamin adalah kontraktor/leverensi terscbut. Salah satu persyaratan kontraktor/leverensi dapat mengikuti tender adalah menyerahkan bank garansi.
e. Bank Garansi Pelaksanaan (Petfomance Bond), bank garansi yang diberikan kepada pcmilik proyek (bouwheer) untuk kepentingan kontraktor/leverensi guna menjamin pelaksanaan pekerjaan/proyek oleh kontraktor/leverensi, dalam hal ini pihak yang dijamin adalah kontraktor/leverensi.
f. Bank Garansi Uang Muka (Advance Payment Bond), bank garansi yang diberikan kepada pemilik proyek (bouwheer) untuk kepentingan kontraktor/leverensi atas uang muka yang diterima oleh kontraktor/leverensi, dalam hal ini pihak yang dijamin adalah kontraktor/leverensi.
g. Bank Garansi Pemeliharaan (Retention Bond), bank garansi yang diberikan pemilik proyek (bouwheer) untuk kepentingan kontmktor/leverensi guna menjamin pemeliharaan atas proyek yang telah disclesaikan oleh kontaktor/leverensi.

Scdangkan manfaatnya antara lain: penerimaan bcrupa biaya administrasi (provisi/komisi), yang merupakan fee based income bagi bank pengendapan dana setoran yang merupakan dana murah bagi bank memberikan pelayanan kepada nasabahnya sehingga nasabah menjadi lebih loyal kepada bank

4. Letter of Credit 
Letter of Credit atau dalam bahasa Indonesia discbut Surat Krcdit Berdokumen merupakan salah satu jasa yang ditawarkan bank dalam rangka pembelian barang, berupa penangguhan pembayaran pembelian olch pembeli scjak LC dibuka sampai dengan jangka waktu tertentu sesuai perjanjian.
Berdasarkan pengertian tersebut, tipe perjanjian yang dapat difasilitasi LC terbatas hanya pada perjanjian jual-beli, scdangkan fasilitas yang diberikan adalah berupa penangguhan pembayaran. jenis dan manfaat Letter of Credit. Isi dari perjanjian LC mencakup banyak hal, seperti jangka waktu, pembatalan, cara pembayaran, dan lain-lain.

a. Ruang Lingkup Transaksi LC:
1). LC lmpor adalah LC yang digunakan untuk mengadakan transaksi jual beli barang/jasa melewati batas-batas Negara.
2). LC Dalam Negeri atau surat kredit berdokumen dalam negeri (SKBDN) adalah LC yang digunakan untuk mengadakan transaksi di dalam wilayah suatu negara.

b. Saat Penyelesaian LC
1). Sight LC adalah LC yang penangguhan pembayarannya sampai dengan dokumen tiba.
2). Usance LC adalah LC yang penangguhan pembayarannya sampai wesel yang diterbitkan jatuh tempo (tidak Iebih lama dari 180 hari).

c. Pembatalan LC:
1). Revocable LC adalah LC yang dapat dibatalkan atau diubah secara sepihak olch issuing bank setiap saat tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada pihak yang berhak menerima pembayaran (beneficiary). LC jenis ini biasanya digunakan sebagai bekal awal sebelum negosiasi antara importir dan ekspotir mencapai kesepakatan final.
2). Irrevocable LC adalah LC yang tidak dapat dibatalkan atau diubah sccara sepihak olch issuing bank sctiap saat tanpa persetujuan beneficiary. Apabila suatu LC tidak secara eksplisit menyatakan 'revocable' atau 'irrevocable' malca LC tersebut dianggap sebagai irrevocable LC.

d. Pengalihan Hak LC 
1). Transferable LC adalah LC yang diberikan hak kepada beneficiary untuk mengalihkan scbagian alau seluruh hak penerimaan pcmbayaran kepada pihak lain. Pengalihan hak ini hanya dapat dilakukan satu kali.
2). Untransferable Leadalah LC yang tidak memberikan hak kepada beneficiary untuk mengalihkan sebagian atau seluruh hak penerimaan pembayaran kepada pihak lain,

e. Pihak advising bank 
1). General/Negotiating/Nonrestricted LC adalah LC yang tidak menyebutkan dengan bank yang akan menjadi advising bank.
2). Restricted/Straight LC adalah LC yang menyebutkan dengan tegas bank yang menjadi advising bank.
3). Stand by LC adalah surat pernyataan dari pihak bank yang menyatakan bahwa apabila pihak yang dijamin (nasabah bank tersebut) cidera janji maka pihak bank akan menerbitkan Straight LC untuk kepentingan yang menerima jaminan, yaitu beneficiary.
4). Red.Clause LC adalah LC yang mcmperkenankan pcnarikan sejumlah tertentu uang muka olch beneficiary, LC ini diterbitkan biasanya hanya apabila issuing bank benar-benar percaya pada reputasi beneficiary.
5). Clean LC adalah LC yang pembayarannya kepada beneficiary dapat dilakukan hanya atas dasar kuitansi/wesel/cek tanpa harus menyerahkan dokumen pengiriman barang.

f Manfaat yang dapat diharapkan oleh bank dengan memberikan fasilitas Letter of Credit kepada nasabah, adalah 
1). pcnerimaan biaya administrusi berupa provisi/komisi yang merupakan fee based income bagi bank:
2). pengendapan dana setoran yang merupakan dana murah bagi bank:
3). pemberian pelayanan kepada nasabahnya sehingga nasabah menjadi Icbih loyal kepada bank.


5. Waliamanat 
Waliamanat adalah pihak yang mcwakili kepentingan pemegang efek bersifat uang. Bank umum yang akan bertindak sebagai wali amanat, wajib terlebih dahulu terdaftar di Bapepam untuk mendapatkan surat tanda terdaftar sebagai wali amanat.
Manfaat dari Wali Amanat adalah :
a. mcmcnuhi salah satu persyaratan atas pcnerbitan obligasi;
b. meningkatkan kepercayaan investor untuk membeli obligasi yang ditcrbitkan;
c. menambah kepercayaan investor atas bonafiditas emiten.
Persyaratan untuk menjadi wali amanat adalah :
a. bertempat kedudukan di Indonesia;
b. dalam dua tahun terakhir secara berturut-turut memperolch laba/keuntungan;
c. laporan keuangan telah diperikan akuntan publik/akuntan negara untuk dua tahun berturut-turut dengan pcmyataan pendapat wajar tanpa syarat untuk tahun terakhir.

Berikut adalah beberapa tugas dari wali amanat :
a. Menganalisis kemampuan dan kredibiltas emiten apakah secara operasional perusahaan (emiten) mempunyai kesanggupan menghasilkan dan membayar obligasi beserta bunganya.
b. Menilai kekayaan emiten yang akan dijadikan jaminan wali amanat harus mengetahui dengan pasti apakah nilai kekayaan emiten yang menjadi jaminan setara atau memadai dibanding nilai obligasi yang diterbitkan.
c. Melakukan pengawasan terhadap kekayaan emiten. Apabila harta yang menjadi jaminan tadi dialihkan pemanfaatan atau pemilikannya haruslah sepengetahuan wali amanat.


6. Kliring 
Kliring adalah suatu cara penyelesaian utang-piutang antara bank-bank pesena kliring dalam bentuk warkat atau surat-surat berharga di suatu tempat tertentu. Warkat kliring, antara lain cek, CD, nota debet, dan nota kredit. Warkat harus dinyatakan dalam mata uang rupiah, bernilai nominal penuh, dan telah jatan tempo. Kliring dibagi 2, yaitu a) Kliring manual; b) kliring elektronik.

Bank peserta kliring adalah bank umum yang berada dalam wilayah tertentu dan tidak dihentikan kepesertaannya dalam oleh Bank Indonesia. Sebuah bank dapat dilarang untuk mengikuti kliring karena berbagai alasan. Jika salah satu peserta kliring karena suatu hal tidak dapat turut serta dalam kliring, peserta tersebut wajib mengajukan permohonan pada penyelenggara kliring sepuluh hari sebelumnya.

Alasan pengunduran diri :
a. kesulitan keuangan sehingga tidak dapat memenuhi syarat-syarat ikut kliring;
b. masalah dalam kepengurusan.

Syarat yang harus dipenuhi oleh suatu kantor bank umum agar dapat menjadi peserta kliring :
a, suatu kantor bank umum diwajibkan ikut seria dalam kliring, setelah mendapat persetujuan BI;
b. mempunyai izin usaha yang sah;
c. keadaan administrasi dan keuangan memungkinkan;
d. simpanan masyarakat dalam bentuk giro dan kelonggaran tarik kredit yang diberikan olch kantor tersebut telah mencapai sekurang-kurangnya 20% dari syarat modal disetor minimum bagi pendirian bank baru di wilayahnya;
e. menyetor jaminan Kliring sebesar 50% rata-rata kewajiban 20 hari terakhir dikurangi 40% rata-rata tagihan 20 hari terakhir, bank peserta menunjuk minimal orang wakil tetap pada lembaga kliring.

Mekanisme Kliring, pertemuan kliring dilakukan dalam dua tahap :
a. Kliring penyerahan kegiatan yang harus dilakukan :
1) warkat dicap yang memuat scbutan "kliring" dan dicantumkan nomor kode kelompok peseria;
2) persetujuan penyelenggara dan peserta lain;
3) Kliring retur.

b. Setelah warkat dikembalikan kemudian dikelompokkan menurut peserta dan dicatat dalam daftar kliring retur lengkap dengan nilai nominalnya. Penyclenggara selanjutnya menyusun neraca gabungan peserta. Mencari pinjaman dari bank lain atau call money.
Kliring clektronik adalah kliring lokal dalam pelaksanaan perhitungan dan pembuatan bilyet saldo kliring yang didasarkan pada data keuangan elektronik diseriai penyampaian warkat (surat berharga).

Tujuan diselenggarakannya elektronik ini adalah :
a. meningkatkan kualitas dan kapasitas layanan sistem pembayaran cepat, akurat, andal, aman, dan lancar
b. meningkadcan efisiensi, efektivitas, keamanan pelaksanaan, dan pengawasan proses.

Mekanisme kliring, pesertanya. terdiri dari peserta:
a. langsung aktif (PLA)
b. langsung pasif (PLP)
c. tidak langsung (PTL)

Fasilitas bagi peserta, meliputi:
a. informasi hasil kliring;
b. laporan hasil proses kliring;
c. rekaman data warkat yang diterima;
d. salinan warkat dan perminman ulang atas laporan hasil proses kliring;
e. investigasi selisih;
f. pengujian kualitas MICR code line .

Proses:
a. siklus kliring nominal besar;
b. siklus kliring ritel.

Settlement Dasar perhitungan dalam kliring elektronik di bawah Rp100 juta adalah Data Keuangan Elektronik (DKE). Perhirungan hasil kliring akan tercermin dalam bilyet saldo kliring yang dapat bersaldo kredit (menang) atau debet (kalah). Hasil ini dibukukan langsung ke rekening giro tiap bank di Bank Indonesia tanpa melihat kecukupan dana (net settlement). Biaya Bank Indonesia mengenakan biaya kepada para peserta kliring.


B. JASA PELAYANAN BANK SYARIAH

1. Prinsip A1 Wadiah (Simpanan atau Titipan)
Wadiah adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang arau uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang tersebut.
Berdasarkan jenisnya, wadiah terdiri aias 2 (dua) macam: 
a. Wadiah yad amanah, yaitu akad penitipan barang atau uang di mana pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang atau uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan.
b. Wadiah yad dhamanah, yaitu akad penitipan barang atau uang dalam hal ini pihak penerima titipan dengan atau tanpa izin pemilik barang atau uang dapat memanfaatkan barang atau uang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan, barang atau titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan barang atau uang tersebut menjadi hak penerima titipan.

Bank berdasarkan prinsip wadiah ini dapat menerima titipan nasabah, baik berupa uang, barang, atau surat-surat berharga yang tujuannya untuk disimpan dan bank memperoleh fee sebagai imbalan.

2. Prinsip Syarikah atau Musyarakah (Bagi Hasil) 
Instrumen penting yang digunakan olch perbankan Islam untuk menyediakan pembiayaan adalah musyarakah atau penyertaan modal (equity participation). Istilah lain musyarakah adalah syarikah atau syirkah. Bahasa Inggris diterjemahkan dengan partnership. Lembaga-lembaga keuangan Islam menerjemahkan participation financing. Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kemitraan, persekutuan, atau perkongsian. 

Syirkah berarti ikhtilath (percampuran), Para fuqaha mendefinisikannya sebagai akad antara orang-orang yang berserikat dalam hal modal dan keuntungan.

Secara sederhana musyarakah dapat diartikan akad kerja sama usaha patungan antara 2 (dua) pihak atau lebih pemilik modal untuk membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati bersama pada saat membuat akadnya. Porsi pembagian keuntungan tersebut tidak harus sebanding dengan pangsa pembiayaan masing-masing, tetupi atas dasar perjanjian kedua belah pihak. Apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan pangsa pembiayaan masing-masing. Dalam hal ini, bank dapat ikut serta mengelola usaha tersebut.

Secara garis besar musyarakah dapat dibagi kepada syarikah amlak dan syarikah uqud. Syarikah amlak berarti eksistensi suatu perkongsian tidak perlu kepada suatu kontrak membentuknya tetapi terjadi dengan sendirinya. Sedangkan syarikah uqud berarti perkongsian yang terbentuk karena suatu kontrak.

Bentuk syarikah amlak terbagi atas:
a. Amlak jabar, yang terjadinya secara otornatis dan paksa. Otomatis berarti tidak memerlukan kontrak untuk membentuknya. Paksa berarti tidak ada alternatif untuk menolaknya. Hal ini terjadi dalam proses waris-mewarisi, manakala 2 (dua)) saudara atau lebih menerima warisan dari orang tua mereka.
b. Amlak ikhtar, yang terjadinya secara otomatis, tetapi bebas. Otomatis berarti tidak memerlukan kontrak untuk membentuknya. Beban berarti adanya pilihan untuk menolak.

Umumnya fiqh membedakan syirkah uqud menjadi 5 (lima) jenis, yaitu syirkah:
a. inan, b. mufawadhah, c. wujuh, d. abdan, e. mudharabah.

a. Syirkah inan 
Sylrkah jenis ini disyaratkan:
1) penyertaan modal tidak disyaratkan sama. dibolehkan salah satunya menyertakan modal lebih banyak dari yang lain;
2) hak dan wewenang para pihak tidak haras sama, boleh pula salah satu pihak sebagai penanggung jawab, sedang yang lainnya tidak;
3) persentase pembagian hasil keuntungan tidak harus sama, disesuaikan dengan kesepakatan mereka berdua. Apabila usaha mereka mengalami kerugian, maka persentasenya didasarkan pada modal masing-masing.

b. Syirkah mufawadhah 
Syirkah mufawadhah disyaratkan:
1) samanya modal masing-masing. Seandainya salah satu partner memiliki lebib banyak permodalan, maka syirkah tidak sah;
2) mempunyai wewenang bertindak yang sama. Tidak sah syirkah antara anak kecil dengan orang yang sudah baligh;
3) mempunyai agama yang sama, syirkah muslim dengan nonmuslim tidak boleh;
4) masing-masing menjadi penjamin lainnya atas apa yang ia bcli dan jual, seperti kalau mereka menjadi wakil, tidak dibenarkan salah satu di antara mereka mempunyai wewenang lebih dari yang lainnya.

c. Syirkah wujuh 
Dinamakan syirkah wujuh karena dalam syirkah ini para sekutu hanya berlandaskan kepada wujuh, yaitu kepercayaan, wibawa, dan nama baiknya saja. Unsur modal tidak diperlukan. Keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama di antara sekutu syirkah wujuh.
Menurut Hanafi dan Hambali, syirkah ini boleh dan sah, karena suatu bentuk pekerjaan. Untuk syirkah ini dibolchkan berbeda pemilik dalam sesuatu yang dibeli, sehingga nanti keuntungan menjadi milik mereka, sesuai dengan bagian (tanggung jawab) masing-masing. Sedang Syafi'i dan Maliki menganggap syirkah ini batil (tidak sah). Karena yang disebut syirkah hanyalah dengan modal dan kerja. Sedangkan kedua unsur ini, dalam syirkah wujuh tidak ada.

d. Syirkah abdan
Syirkah abdan (risik) disebut juga syirkah amal (syirkah kerja). Syirkah shanai (syirkah para tukang), atau syirkah taqqbbul (syirkah penerimaan). Syirkah abdan arti syirkah sekerja, 2 (dua) orang atau lebih yang sama atau berdekatan bentuk kerjanya menerima pesanan dari pihak ketiga dan mcmbagi kcuntungan melalui ncgosiasi bersama.

Syirkah abdan disyaratkan:
l) adanya bentuk kerja yang sejenis atau tidak jauh berbeda;
2) adanya kerjaan yang merupakan pesanan orang lain:
3) baik keuntungan maupun kerugian ditanggung bersama-sama sesuai dengan kesepakatan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh mereka sendiri.

e. Syirkah mudharabah
Mudharabah adalah akad antara pihak pernilik modal yang disebut dengan shahibui maal dengan pengelola yang disebut dengan mudharib untuk memperoleh pendapatan atau keumungan yang dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati di awal akad. Dalam hal ini shahibul maal tidak dibenarkan ikut dalam pengelolaan usaha, tetapi diperbolehkan membuat usulan dan melakukan pengawasan. Apabila usaha yang dibiayai mengalami kcrugian maka kerugian tersebut sepenuhnya ditanggung olch shahibul maal, kecuali apabila kerugian tersebut terjadi karena penyelewengan atau penyalahgunaan olch mudharib.

Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib mudharabah dibagi menjadi mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah mutlaqah, mudharib diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola modal dan tidak dibatasi, baik mengenai tempat, tujuan maupun jenis usahanya. Adapun mudharabah muqayyadah, shahibul maal menetapkan syarat tertentu harus dipatuhi mudharib, baik mengenai tempat, tujuan maupun jenis usaha. Dalam skim ini mudharib tidak diperkenankan untuk mencampurkan dengan modal atau dana lain. Pembiayaan mudharabah muqayyadah antara lain digunakan untuk investasi khusus dan reksadana.

Berikut syarat-syarat mudharabah : 
1) Modal 
a) Modal harus dinyatakan dengan jclas jumlahnya, scandainya modal berbentuk barang-barang, maka barang tersebut harus dihargakan dengan semasa dalam uang yang beredar (atau sejenisnya).
b) Modal harus dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
c) Modal harus diserahkan kepada mudharib, untuk memungkinkan melakukan usaha.
2) Keuntungan 
a) Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti.
b) Kesepakatan rasio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak.
c) Pembagian kcuntungan baru dapat dilakukan sctelah mudharib mengembalikan seluruh (atau sebagian) modal kepada shahibul maal atau rab almal

3. Prinsip Tijaroh (Pengembalian Keuntungan) 
Tijaroh artinya proses pemindahan hak milik barang atau aset dengan mempergunakan uang sebagai medium. Berdasarkan perbandingan harga jual dengan harga bcli, jenis-jenis jual beli dapat dikelompokkan:
a. Al-Musawamah, yaitu jual beli biasa, penjual memasang harga tanpa memberi tahu si pembeli berapa margin keuntungan yang diambilnya.
b. At-Taubah, yaitu menjual dengan harga beli tanpa mengambil keuntungan sedikit pun seolah-olah si penjual menjadikan si pembeli sebagai walinya (tauliah) atas barang atau asset.
c. Al-Murabahah
d. Al-Muwadhaah, yaitu menjual dengan harga yang lebih rendah dari harga beli atau dengan kata lain  merupakan bentuk kebalikan dari Al-Murabahah. Hal ini biasa dilakukan ketika si penjual benar-benar membutuhkan likuiditas atau pada saat resesi ekonomi. Demikian pula dapat dilakukan manakala memberikan discount dalam penagihan kredit sebelum maturity time-nya.

4. Murabahah 
Yaitu akad jual beli antara bank dengan nasabah. Bank membeli barang yang diperlukan nasabah dan menjual kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati. Atas dasar prinsip murabahah, bank memberikan fasilitas kepada nasabah untuk membuka letter of credit dan membelikan barang yang diperlukannya. Dalam pcmbelian barang tersebut, nasabah tidak wajib menyediakan dana sehingga seluruhnya dibiayai terlebih dahulu oleh bank. Untuk dapat memungut fee atau komisi atas penyediaan fasilitas pembukaan letter of credit untuk pembelian barang dimaksud yang diperlukan nasabahnya.

Berdasarkan pada jenis barang pengganti, jenis jual beli meliputi:
a. Al-Muqayadhah, yaitu bentuk awal dari transaksi, barang ditukar dcngan barang (barter). b. Al-Mutlaq, yaitu bentuk jual beli biasa, barang ditukar dengan uang. c. Ash-Sharf atau money exchanging

5. Ash Sharf 
Arti harfiah dari shaft adalah penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan atau transaksi jual beli. Sharf adalah akad jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya. Dengan kata lain, sharf mcrupakan kegiatan jual beli suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang lazim dilakukan oleh bank. 

Berdasarkan pada waktu penyerahan barang, jenis jual beli meliputi:
a. Bai bithaman ajil. b. Baras-salam. c. Baral-istishna.

a. Bai bithaman ajil 
adalah akad jual beli suatu barang dengan harga pasar sebesar harga pokok ditambah dengan keuntungan yang disepakati bersama. Dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara membeli atau memberi kuasa kepada nasabah untuk membelikan barang yang dieprlukannya atas nama bank. Selanjutnya, pada saat yang bersamaan bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sebesar harga pokok ditambah dengan sejumlah keuntungan yang jangka waktu serta besarnya cicilan berdasarkan kesepakatan bersama antara bank dengan nasabah.

b. Bai as-Salam 
Bai as-Salam adalah akad jual 2 (dua) kepada pembelinya. Apabila bank bertindak sebagai muslam kemudian memesan kepada pihak lain untuk menyediakan barang (muslam fiih) maka hal ini disebut salam paralel.
Berbeda dengan pembiayaan murabahah, yang juga merupakan jual beli barang di mana spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati di awal akad dan pembayaran dilakukan secara penuh atau cicilan setelah barang pesanannya diserahkan kepada pembeli. Perbedaan antara transaksi salam dan murabah terletak pada penyerahan dan pembayaran harga barang pesanan. Transaksi Salam, barang pesanannya akan diserahkan kemudian setelah pembayaran harga barangnya dilakukan oleh pembeli. Pada Transaksi Murabah barang pesanannya diserahkan terlebih dahulu kepada pemesannya, kemudian diikuti dengan pembayaran harga barang pesanan tersebut.

c. Bai' Al-Istishna 
Istishna adalah akad jual beli barang (mashnu') antara pemesan (mustashni) dengan penerima pesanan (shani). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati di awal akad dengan pembayaran dilakukan secara bertahap. Apabila bank yang bertindak sebagai shani kemudian menunjuk pihak lain untuk membuat barang maka hal ini disebut istishna paralel. Bank menyediakan sejumlah uang sebagai pembayaran atas harga barang yang dipesan mustashi tadi, selanjutnya pemesan barang yang akan membayarnya kepada bank secara angsuran ditambah dengan keuntungannya dalam jangka waktu tertentu sesuai kescpakatan bersama.

d. Prinsip ijarah (Persewaan) 
Al-ijarah berasal dari kata Al-Ajru yang berarti Al Iwadhu (ganti). Dari sebab itu Ats Tsawab (pahala) dinamai Ajru (upah). Menurut pengertian syara, Al-ljarah adalah jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.

ljarah adalah akad sewa-menyewa barang antara bank, yang dinamakan dengan muaajir selaku orang yang menyewakan dengan pihak lain selaku penyewa, yang dinamakan dengan mustajir. Setelah masa sewa berakhir, barang sewaan dikembalikan kepada pihak bank (muaajir). Perjanjian ijarah sama dengan leasing. Kegiatan ini tidak dapat dilakukan secara langsung olch bank, tetapi harus melalui anak perusahaan bank. Undang-undang Sipil Islam kerajaan Jordan dan Uni Emirat Arab mendefinisikan ijarah yaitu memberi penyewa kesempatan untuk mengambil pemanfaatan dari barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan yang besamya disepakati bersama.

Jenis-jenis Ijarah yaitu ijarah mutalaqah,  bai at-takjiri atau ijarah wa iqtina, musyarakah mutanaqisah.
1) ljarah Mutlaqah atau leasing 
adalah proses scwa-menyewa yang biasa kita temui dalam kegiatan perekonomian sehari-hari, bisa menyewa untuk suatu jangka waktu tertentu atau untuk suatu proyek atau usaha tenentu. Bentuk yang pertama banyak diterapkan dalam sewa-menyewa barang atau aset, sedangkan yang kedua dipakai untuk menyewa pekerja atau tenaga ahli untuk usaha-usaha tertentu.

2) Bai at-Takjiri atau ljarah wa iqtina 
Adalah akad sewa menyewa barang antara bank (muaajir) dengan penyewa (mustajir) yang diikuti janji bahwa pada saat yang ditentukan kepemilikan barang sewaan akan berpindah kepada mustjir. Transaksi ini sama dengan hire purcas, Bai at-Takijiri dapat dikombinasikan dengan Bai al-murabahah atau Bai Bithaman Ajil untuk tujuan pengadaan barang dan pembiayaan impor. Dalam bentuk ini bank setelah membiayai pengimporan barang sesuai dengan pesanan nasabah (secara murabahah) langsung menyewakannya kepada nasabah untuk jangka waktu tertentu pada akhir pembayaran semua nasabah memiliki aset tersebui.

3) Musyarakah Mutanaqisah (descreasing participation) 
adalah kombinasi antara musyarakah dengan ijarah (perkongsian dengan sewa). Sistem ini dapat diterapkan dalam pemberian kredit rumah dan proses refinancing.

6. Jasa Perbankan Islam Lainnya: Rahn
Rahn adalah tetap, kekal dan jaminan. Rahn dalam Hukum positif Indonesia adalah apa yang disebut dengan barang jaminan, anggunan, rungguhan, cagar atau cagaran, dan tanggungan.
Rahn adalah akad penyeraban barang atau harta yang dinamakan marhun dari nasabah yang dinamakan rahin kepada bank yang dinamakan murtahin sebagai jaminan sebagian atau seluruh hutang. Barang atau harta yang diserahkan rahin kepada murtahin tersebut berfungsi sebagai agunan semata-mata atas hutangnya pada murtahin. Barang atau harta rahin yang dijaminkan tersebut hanya akan dijual bila rahin wanprestasi mclunasi hutangnya.



MODUL 3   
SISTEM DAN LEMBAGA PENGAWASAN PERBANKAN
KB 1 : SISTEM PENGAWASAN PERBANKAN OLEH BANK INDONESIA  
Sistem Pcngawasan terhadap Pcrbankan yang dilakukan oleh Bank Indonesia didasarkan pada ketentuan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan UU No. 23 Tahun 1999 jo UU No. 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indoncsia, lembaga yang mengawasi perbankan. 

A. SISTEM PENGAWASAN PERBANKAN 
Sistem Pengawasan tertinggi dalam perbankan di Indonesia saat ini sclain dibcrikan pada Otoritas Jasa Keuangan pertama sckali dibcrikan kcpada bank Indonesia. UU 6 / 2009 tcntang Bank Indonesia, menentukan bahwa BI mempunyai tugas sebagai berikut. 
1. Menetapkan dan mclaksanakan kcbijakan monctcr, yang tcrdiri dari: a. menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya. b. melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara tcrtcntu scperti operasi pasar tcrbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit atau pembiayaan dengan cara-cara yang lazim ataupun dilaksanakan bcrdasarkan prinsip syariah. 
2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran yang terdiri dari: a. melaksanakan dan membcrikan persetujuan dan izin atas penyclenggaraan sistcm pembayaran. b. mewajibkan penyelenggara Jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya; c. menetapkan penggunaan alat pembayaran. 
3. Mengatur dan mengawasi bank. Bank Indonesia (BI) dalam mengcmban tugas untuk mcngatur dan mengawasi bank, sestuti dengan ketentuan Pasal 24 UU 23 / 1999 tentang Bank Indonesia, berwenang untuk menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut lzin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tenentu dari bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Mengacu kepada ketentuan tersebut maka jelas bahwa BI memiliki kewenangan, tanggung jawab, dan kewjiban secara utuh untuk mclakukan pcmbinaan dan pcngawasan tcrhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang sangat bersifat preventif maupun represif.

Dengan diterbitkannya UU 21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pengaturan, pembinaan, dan pengawasan yang dilakukan BI terhadap perbankan hanya untuk yang bersifat macro-pruderitial. OJK bertugas untuk mcngatur dan mcngawasi aspek micro-prudential yang meliputi kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank.

B. FUNGSI BANK SENTRAL 
BI merupakan bank sentral yang mempunyai wewenang untuk mcngcluarkan alat pembayaran yang sah, mcrumuskan dan melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjuga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan fungsi sebagai lender of the last resort. 

Bank Sentral di berbagai negara termasuk di Indonesia, melaksanakan fungsinya sebagai berikut : 
1. Bank sentral sebagai bank sirkulasi. Sebagai bank sirkulasi, BI memiliki hak tunggal (monopoli) untuk mengedarkan uang kertas dan uang logam sebagai alat pembayaran yang sah. Hak ini disebut dengan Hak Oktroi. Dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang BI,  termuat ketentuan sebagai berikut : Bank Indonesia berwenang mcnctapkan macam, harga, ciri uang yang akan dikcluarkan, bahan yang digunakan, dan tanggal berlakunya sebagai alat pembayaran yang sah (Pasal 19). Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengedarkan uang rupiah serta mcncabut, mcnarik, dan mcmusnahkan uang dimaksud dari peredaran (Pasal 20). 
2. Bank sentral scbagai Banker's Bank, maksudnya bank sentral dianggap sebagai bankir dari bank-bank lain, bank-bank tersebut dapat meminta bantuan BI untuk menambah permodalan mereka dalam rangka pemberian kredit kepada nasabahnya. Bentuk bantuan permodalan dari BI ini disebut dengan krcdit ilkuiditas. Di samping itu, bank sentral berfungsi pula sebagai "lender of last resort" (pemberi pinjaman pada tingkat yang terakhir). Dalam hal ini Bank Indoncsia tnembcrikan bantuannya dengan fasilitas "kredit likuiditas darurat". Fasilitas ini diberikan Bank Indonesia bilamana bank-bank mengalami kesulitan likuiditas schingga dikhawaiirkan tidak clapat memenuhi kewajiban-kewajiban yang segera dapat ditagih.
Pada awalnya, bank yang mengalami kesulitan likuiditas harus berusaha sendiri untuk mengatasi kesulitan likuiditas ini dengan membenahi manajemennya. Bila tidak berhasil, barulah pada tingkat terakhir Bank Indonesia membantu dengan mentberikan kredlt likulditas darurat. Lazimnya bantuan kredit likuiditas darurat ini discrtai dengan bimbingan manajemen dan pengawasan agar bank tersebut dalam waktu yang relatif singkat dapat sehat kembali. 
3. Bank setural sebagai pengatur dan pengawas perbankan. Scsuai dengan ketentuan yang termuat pada UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki kewenangan penuh dalam menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakan pengawasan serta mengenakan sanksi terhadap bank. Dalam hal ini, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian. Sementara itu, dalam bidang perizinan, wewenang Bank Indonesia. mencakup: (1) memberikan dan mencabut izin usaha bank: (2) memberikan izin pembukaan, penutupan dan pemindahan kantor bank: (3) memberikan persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank: (4) memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu.
Dalam bidang pengawasan, Bank Indonesia berwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keternngan, dan penjelasan sesuai dcngan tata cara yang ditetapkan. 
4. Bank sentral sebagai pelaksana kebijakan moneter. Kebijakan moneter yang dimaksudkan adalah kebijakan yang ditetapkan oleh BI sebagai bank sentral dalam rangka mencapai dan mcmclihara kestabilan nilai rupiah.  Pasal 10, UU No. 23 Tahun 1999 dinyatakan bahwa Bank Indonesia memiliki kewenangan mcnctapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi yang ditetapkannya, melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara, antara lain: operasi pasar terbuka, penetapan tingkat diskonto, penetapan cadangan wajib minimum, dan pengaturan kredit.

C. KEBIJAKAN PENGAWASAN OLEH BANK INDONESIA 
Undang-undang yang kini berlaku yang mengatur kedudukan Bank Indonesia sebagai bank sentral, adalah UU6 / 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 2 / 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UU 3 / 2004 tentang Perubahan atas UU 23 / 1999 tentang Bank Indonesia. 
Undang-undang tersebut merupakan peraturan pengganti dari UU 13 / 1968 tentang Bank Sentral. Ketentu. Pasal 7 UU 23 / 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana yang telah diubah dengan UU 3 / 2004 dan kemudian dengan UU 6 / 2009 mcngatur bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. 
Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Di dalam mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut maka Bank Indonesia dapat melakukan aktivitas perbankan yang dianggap perlu, tetapi tidak melakukan kegiatan intermediasi seperti bank umum.

Tujuan dari Bank Indonesia terscbut, sesuai dengan Pasal 7 UU 6 / 2009 jo UU 3 / 2004 tentang Perubahan atas UU 23 / 1999 tentang Bank 1ndonesia, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. 
Kcstabilan nilai rupiah dikaitkan dengan stabilitas nilai rupiah terhadap barang dan jasa, diukur dengan atau tercermin dari perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.
Tujuan kestabilan nilai rupiah ini, yaitu untuk mendukung pcmbangunan ckonomi yang berkelanjulan dan mcningkatkan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan Bank Indonesia tersebut, dilaksanakan dalam bentuk kebijakan moneter secara berkelanjutam konsisten, transparan, dan mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian.
Konsekuensi sebagai lembaga yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara kestabilan nilai rupiah maka Bank Indonesia mempunyai tugas, yaitu 1. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, 2. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, 3. mengatur dan mengawasi bank. 

Peran dan tugas Bank Indonesia difokuskim pada tiga subsistem perekonomian. Tiga subsistem tersebut terdiri dari moneter, perbankan, dan sistem pembayaran. Pelaksanaan tiga bidang tugas tersebut akan sangat menentukan keberhasilan Bank Indonesia dalam mencapai tujuan utamanya; yaitu memelihara kestabilan nilai rupiah sebagaimana tertulis pada Pasal 7 Ayat (1) UU 6 / 2009 jo UU 3 / 2004 yang merupakan pcmbaharuan dari UU 23 / 1999 tentang BI yang mempertegas tujuan BI dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 35 tentang tugas-tugas Bank Indoncsia.

Berkaitan dengan ketentuan independensi Bank Indonesia terdapat pacla Pasal 7 UU 3 / 2004 serta Pasal 8 dan Pasal 9 UU 23 /1999. Dalam Pasal 9 Ayat (1) UU 23 / 1999 discbutkan bahwa "pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia...". Sedangkan dalam Pasal 7 Ayat (2) UU Nomor 3 / 2004 disebutkan bahwa "untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), Bank Indonesia mclaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, transparan, dan harus mempertimbangkan kebijakan umum pemerintah di bidang perekonomian". 
Dilihat dari isi kedua Pasal di atas, melarang segala bentuk campur tangan pihak lain terhadap Bank Indonesia, namun tetap mengharuskan Bank Indonesia mempertimbangkan kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, yang dapat menghasilkan penafsiran yang kurang tegas atas status independensi Bank Indonesia.
Pasal di atas dapat dijadikan pedoman atas koordinasi Bank Indonesia dengan Mentcri Keuangan dalam menentukan target inflasi. Namun, koordinasi tersebut tidak mempunyai tolak ukur yang jelas dalam kebijakan perundang-undangan sehingga intensitas keselarasan antara kebijakan fiskal yang dilakukan pemerintah dengan kebijakan moneter yang dilakukan Bank Indonesia sedikit banyak tergantung kepada arah dari kebijakan pcmcrintah.
Namun demikian koordinasi ini dilakukan dengan tetap mempertahankan Bank Indonesia scbagai lcmbaga yang independen. Untuk mempertahankan Bank Indonesia tetap sebagai lembaga yang independen, Menteri Keuangan diberikan hak untuk memberi pertimbangan kepada Bank Indonesia mengenai penentuan target inflasi. Namun, Menteri Keuangan tidak mempunyai hak suara dalam pengambilan keputusan akhir mengenal target dan besaran-besaran moneter untuk penentuan tingkat inflasi.
Berdasarkan ketentuan yang tercantum pada UU 3 / 2004 tentang Perubahan atas UU 23 / 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 4 Ayat (2) disebutkan bahwa: “Bank Indonesia adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini." 

Bank Indonesia berdasarkan ketentuan tersebut di atas mempunyai otonomi penuh dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini penting untuk diketahui mengingat kedudukan bank sentral dahulu selalu berada di bawah kekuatan Menteri Keuangan. Untuk menjamin independensi, dari segi kelembagaan Bank Indonesia berada pada posisi di luar pcmerintah. Sebagai lembaga negara yang independen, Bank Indoncsia memiliki kedudukan khusus yang tidak diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Independensi bank sentral memiliki dua makna; yang pertama berarti bahwa bank sentral memiliki wewenang untuk menetapkan target moneter tertentu yang akan dicapai pada suatu periode. Kedua, bank sentral dimungkinkan untuk mcmilih cara dan kcbijakan yang dianggap tepat untuk mencapai target moncter yang telah ditentukan. 
Bank Indonesia memiliki kedua bentuk otonomi di atas. Bank Indonesia menciptakan dan melaksanakan kebijakan moneter tak lepas dari koordinasi yang dilakukan bersama dengan Mentert Keuangan untuk mcncntukan targct inflasi. Dalam hal pcnctapan inflasi, sccara tcoritis pelaksanaannya dapat dilakukan oleh bank sentral secara indepcnden atau dilakukan secara bersama-sama antara bank sentral dengan pemerintah. 

Pengaturan independensi BI telah ditetapkan dalam UU 23 / 1999 tentang BI scbagaimana tclah diubah dengan UU 3 /2004 dan UU 6 / 2009. Sesuai UU, BI adalah lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pcmerintah atau pihak lain. Tujuan BI difokuskan pada kestabilan nilai rupiah dengan tugas-tugas kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan perbankan.
Demikian pula, kcwcnangan dan akuntabilitas BI tclah diatur secara jclas dalam UU. Indepcndensi kelembagaan ini bukan berani bahwa BI mempunyai kewenangan yang tidak terbatas karena independensi dimaksud hanya terbatas pada tugas dan wewenang yang ditetapkan dalam UU. Bank Indonesia tetap tunduk pada segala ketentuan hukum di Indonesia atas hal-hal yang bukan mcrupakan cakupan tugas dan wewenang yang diatur dalam UU BI.

Dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap bank, BI dilengkapi dengan berbagai instrumen pengaturan dan pengawasan. Adapun instrumen sebagaimana dimaksud adalah :
1. menetapkan peraturan dalam memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kcgiatan usaha tcrtcntu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mcngenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
2. mcnctapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang mcmuat prinsip kehati-hatian;
3. mewajibkan kepada bank serta apabila diperlukan, perusahaan induk, perusahaan anak dan pihak terafiliasi dari bank untuk menyampaikan laporan, kcterangan dan penjelasan scsuai dcngan tata cara yang ditctapkan olch BI
4. mewajibkan bank dan pihak-pihak perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak dan debitur bank untuk memberikan kepada pcmcriksa: a) keterangan dan data yang diminta, kesempatan untuk melihat semua pembukuan, dokumen dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usaha, serta c) hal-hal lain yang diperlukan: 
5. memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau scluruh kcgiatan transaksi tertentu apabila mcnurut pcnilaian BI tcrhadap suatu transaksi tcrtcntu apabila mcnurut pcnilaian BI terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.
6. mengatur dan mcngcmbangkan sistcm informasi antar bank;
7. melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.


D. OTOR1TAS PENGAWASAN BANK 
Kewenangan memberikan izin (power to licence), kewenangan untuk mcngatur (power to regulate), kewcnangan untuk mengendalikan atau mengawasi (power to control), dan kewenangan untuk mengenakan sanksi (power to impose sanetion), 

1. Kewenangan Memberikan Izin (Power to License)
Melalui kewenangan ini memungkinkan ditetapkannya ketentuan dan persyaratan pcndirian scbuah bank olch otoritas pcngawas. Kcwcnangan pemberian izin ini mcrupakan scleksi paling awal terhadap kehadiran sebuah bank dengan menetapkan tata cara perizinan dan pendirian suatu bank. Pada umumnya, persyaratan pendirian bank menyangkut 3 (tiga) aspek, yaitu : (1) akhlak dan moral calon pcmilik dan pcngurus bank; (2) kcmampuan menyediakan dana dalam jumlah tertentu untuk modal bank; dan (3) kesungguhan dan kemampuan dari para calon pemilik dan pengurus bank dalam melakukan kegiatan usaha bank. 
Kewenangan dalam pemberian izin tersebut juga memungkinkan otoritas pengawas bank mencegah terjadinya pendirian bank yang tidak didukung dengan modal yang cukup, yang kurang dipersiapkan dengan baik atau yang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi pemilik atau pengurus tanpa mengindahkan kepentingan musyarakat. 

2. Kewenangan untuk Mengutur (Power Regulate) 
Kewenangan untuk mengatur ini memungkinkan otoritas pengawas bank untuk menctapkan kctcntuan yang mcnyangkut aspck kcgiatan usaha perbankan dalam rangka menciptakan adanya perbankan yung schat dan mampu memenuhi rasa perbankan sesuai dengan kebutuhan masyarukat. Ketentuan yang dapat ditetapkan antara lain mencakup pengaturan likuiditas dan solvabilitas bank, jenis usaha yang dapat dilakukan, dan risiko, atau exposure yang dapat diambil oleh bank.

3. Kewenangan untuk Mengendalikan/Mengawasi (Power to Control) 
Kewenangan untuk mengendalilkan atau mengawasi ini adalah kewenangan yang paling mendasar yang diperlukan oleh otoritas pengawas bank. Pengawasan bank dilaksanakan melalui pengawasan tindak langsung (off site supervision); yaitu pengawasan yang dilakukan melalui alat pantau, seperti laporan berkala yang disampaikan bank, laporan hasil pcmeriksaan, dan informasi lainnya. Dengan data yang diperoleh melalui alat pantau tersebut, otoritas pengawas melakukan pcnilaian tcrhadap keadaan usaha dan keschatan bank.
Selain melalui pengawasan tidak langsung tersebut di atas, otoritas pengawas juga dapat melakukan pengawasan langsung (on site examination) yang dapat berupa pemeriksaan umum dan pemeriksaan khusus. Pcngawasan langsung ini bertujuan untuk memperolch gambaran tentang ketaatan terhudap peraturan yang berlaku serta untuk mengetahui apakah terdapat praktik-praktik yang tidak sehat yang membahayakan kelangsungan usaha bank,

4. Kewenangan untuk Mengenakan Sanksi (Power to Impose Sanction) 
Kewenangan yang keempat ini merupakan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi apabila sebuah bank kurang atau tidak mcmcnuhi hal-hal yang diatur atau dipersyaratkan dulam kewenangan-kewenangan tersebut di atas. Pengenaan sanksi ini dimaksudkan agar bank melakukan perbaikan atas kelemahan dan penyimpangan yang dilakukannya.
Dengan perkataan lain, dalam pengenaan sanksi oleh otorilas pengawas bank tersebut mengandung unsur pembinaan agar suatu bank sungguh-sunggult taat dalam menerapkan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip perbankan yang sehat. 

Berkaitan dengan instrumen pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud, Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas pengawasan terhadap bank dilengkapi dengan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap bank baik dalam bentuk pengawasan secara berkala maupun dalam bentuk pengawasan setiap waktu. Apabila diperlukan, Bank Indonesia juga dapat mclakukan pcmcriksaan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak berafiliasi, serta debitur bank.

Bank Indonesia melaksanakan sistem pengawasan dengan menggunakan dua pendekatan: 
1) pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision), yaitu pemantauan kepatuhan bank terhadap ketentuan-ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan bcnar-bcnar sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Pcngawasan terhadap pemenuhan aspek kepatuhan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan pengawasan bank berdasarkan risiko.
2) Pengawasan bank berdasarkan risiko (risk based supervision), yaitu pengawasan bank yang menggunakan strategi dan metodologi berdasarkan risiko yang memungkinkan pengawas bank dapat mendeteksi risiko yang signifikan secara dini dan mengambil tindakan yang sesuai dan tepat waktu. 

Pengawasan terhadap perbankan pada umumnya terbagi ke dalam dua jenis :
a. macro-economic supervision adalah pengawasan dalam rangka mendorong bank-bank untuk ikut serta dalam menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kcstabilan monctcr:
b. prudential supervision adalah pengawasan yang mendorong bank agar secara individual tetap berada dalam keadaan sehat dan agar bank senantiasa mampu menjaga kepentingan masyarakat dengan baik. 

Kedua jenis pengawasan perbankan tersebut masing-masing memiliki tujuan yang berbeda. Pelaksanaan macro-prudential supervision bertujuan untuk mengarahkan dan mendorong bank serta sekaligus mengawasinya agar dapat berperan dalam berbagai program pencapaian ekonomi makro. Sementara itu, prudential supervision bertujuan untuk mengupayakan agar setiap bank secara individual dapat senantiasa berada dalam keadaan sehat sehingga pada akhirnya bank mampu menjaga kepercayaan masyarakat scbagai kunci utama dalam bisnis perbankan.


KB 2 : PENGAWASAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN (OJK)
A. SEJARAH PEMBENTUKAN OJK 
Pcmbentukan Otoritas Jasa Keuangan berawal dari adanya ketakutan dari beberapa pihak dalam hal fungsi pengawasan Bank Indonesia. Terdapat 3 hal yang melatarbelakangi pembentukan Otoritas Jasa Keuangan  yaitu perkembangan industri sektor jasa keuangan di Indonesia, permasalahan lintas sektoral industri jasa keuangan dan amanat yang tertulis pada Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indoncsia.
Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia merupakan respons terhadap krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang mempunyai dampak negatit khususnya pada sektor perbankan. Krisis tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bank -bank yang mengalami kebangkrutan sehingga banyak yang mempertanyakan pcngawasan Bank Indonesia terhadap perbankan. Reformasi di bidang hukum perbankan diharapkan dapat mengatasi kerangka sistem keuangan yang lebih tangguh sckaligus mcnciptakan pencegahan dalam permasalahan-pennasalahan di masa depan. Untuk itu, muncul pemikiran awal untuk membentuk Otoritas Jasa Keuangan, yang sebenarnya merupakan kompromi berbagai lembaga berkaitan dengan pembahasan untuk mcmisahkan pengawasan perbankan di Bank Indonesia.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia menjelaskan mengenai independensi yang diberikan kepada bank sentral. Ketentuan undang-undang ini di samping memberikan independensi, tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia.
Ide pemisahan fungsi pengawasan dari bank sentral ini datang dari Helmut Schlesinger, mantan Gubernur Bank Scntral Jerman yang pada waktu pcnyusunan rancangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia bertindak sebagai konsultan. Pada waktu rancangan undang-undang tersebut diajukan muncul penolakan yang kuat dari kalangan DPR dan Bank Indoncsia. Scbagai kompromi maka discpakati bahwa lembaga yang akan menggantikan Bank Indonesia dalam mengawasi industri perbankan juga bertugas mengawasi lembaga keuangan lalnnya.
Hal ini dimaksudkan agar tidak terlihat bahwa pemisahan fungsi pengawasan tersebut ditujukan untuk mengurangi kewenangan bank sentral. Pada akhirnya, Otoritas Jasa Keuangan akan mengawasi seluruh industri jasa keuangan yang ada di Indonesia.

Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tcntang Bank Indoncsia ditetapkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan akan dibcntuk paling lambut tahun 2010. Namun, sebelum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 diamandemen menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. bunyi ketentuannya adalah "Lembaga Otoritas Jasa Keuangan paling lambat sudah harus dibcntuk pada akhir Desember 2002". Akan tetapi, dalam pcnyusunan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan terdapat masalah yang harus diidentifikasi tcrIcbih dahulu yang kcmudian dikaji dan dianalisis kclcbihan dan kelemahannya, serta mencliti praktik-praktik dalam membentuk suatu lembaga pengaturan dan pengawaasan sektor jasa keuangan.
Dalam hal ini sangat perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip untuk melakukan reformasi dan mcmbentuk organisasi lembaga yang mclaksanakan fungsi pcngaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menjadi landasan bagi pembentukan suatu lembaga indepcnden untuk mengawasi scktor jasa kcuangan. Hal ini sangat diperlukan untuk memperkuat akuntabilitas, transparansi, dan kredibilitas Bank Indonesia tanpa mengurangi makna independensi lembaga negara tersebut. Dalam menjalankan tugasnya, lembaga otoritas jasa kcuangan ini berkoordinasi dengan Bank Indoncsia sclaku bank scntral. Lembaga terscbut sangat berkaitan erat dengan Bank Indonesia dalam pengawasan bank terutama mengenai data makro yang diperlukan.

B. PENGATURAN DAN PENGAWASAN OLEH OJK 
Pembentukan Otoritas Jasa Kcuangan (OJK) dalam bidang pengaturan dan pengawasan lembaga jasa keuangan tentu akan berdampak bagi Bank Indonesia. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tersebut telah mengurangi fungsi dan tugas Bank Indonesia terutama yang menyangkut pengaturan dan pengawasan perbankan schingga diharapkan Bank Inclonesia dapat lebih fokus untuk melaksanakan kebijakan moneter dan sistem pembayaran. 
Pengawasan yang dilakukan Bank Indonesia terhadap bank dapat berupa pengawasan langsung, yaitu berbentuk pemeriksaan yang disusul dengan tindakan-tindakan perbaikan, selain itu dapat pula dilaksanakan berupa pengawasan tidak langsung, yaitu suatu bentuk pengawasan dini melalui pcnclitian analisis, dan evaluasi laporan bank.
Dalam rangka pcngawasan yang dilakukannya, Bank Indonesia dapat menjalankan pemeriksaan secara berkala sekurang-kurangnya satu tahun sekali untuk setiap bank. Di samping itu, pemeriksaan langsung dapat dilakukan secara insidental setiap waktu apabila diperlukan untuk meyakinkan hasil pengawasan tidak langsung dan apabila terdapat indikasi adanya penyimpangan.
Tugas pengawasan perbankan ini selanjutnya akan diserahkan kepada lembaga otoritas jasa kcuangan. Agar tcrdapat pengawasan yang intcgral atas kcgiatan micro prudential perbankan yang akan dilaksanakan OJK maka yang dialihkan bukan hanya fungsi dan tugas pengawasannya, tetapi mencakup pengaturan, pemberian izin, dan pengawasan atas micro prudential perbankan.

Tugas dan wcwenang OJK dalam hal pcngaturan dan pcngawasan perbankan hanya berkaitan dengan aspek micro prudential seperti kelembagaan, kegiatan usaha, dan penilaian tingkat kesehatan. Sedangkan aspck macro prudential berkaitan dengan kebijakan monetcr dan sistem pembayaran seperti ketentuan tentang giro wajib minimum (GWM), ketentuan devisa, operasi pasar terbuka (OPT) dan laporan-laporan serta pemeriksaan yang terkait dengan pelaksanaan tugas di bidang moneter dan sistcm pcmbayaran merupakan kewenangan dari Bank Indonesia.
Lembaga OJK tersebut kewenangannya tidak terbatas mengawasi bidang perbankan saja, tetapi juga mengawasi perusahaan-perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi asuransi, dana pensiun. sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat, dengan demikian pengaturan dan pengawasan keseluruhan kegiatan jasa keuangan diharapkan akan lebih terpadu.
Menurut UU OJK, lembaga tersebut adalah lembaga pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengaturan dan pengawasan pengelolaan kegiatan bidang jasa keuangan, kemudian dalam Pasal 94 Ayat (3) UU OJK disebutkan bahwa:
1. Wewenang BI sehubungan dengan pengaturan dan pengawasan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf C, Pasal 24 sampai dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tcntang Bank Indoncsia dan sebagaimana dimaksud dalam perubahannya, menjadi wewenang OJK. Substansi Pasal 8 Huruf C, Pasal 24 sampai dengan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 yang kini menjadi kewenangan OJK adalah pengaturan dan pengawasan di bidang micro prudential.
2. Kewajiban untuk menyampaikan laporan, informasi, atau dokumen kepada Bank Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Inclonesia dan scbagaimana dimaksud dalam perubahannya, menjadi kewajiban untuk menyampaikan laporan, informasi atau dokumen kepada OJK. 

Scperti telah disebutkan di atas, sebelum diberlakukannya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, fungsi dan tugas pengawasan perbankan seluruhnya berada di tangan Bank Indonesia. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan maka fungsi dan tugas pcngaturan dan pengawasan perbankan dialihkan ke tangan OJK. Namun, pengalihan yang dimaksud hanya mencakup ruang lingkup pengaturan di bidang micro prudential, yaitu:
1. mengatur dan mengawasi bank:
2. menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank dan mengenakan sanksi terhadap bank scsuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku:
3. menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian:
4. berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memberikan:
a. dan mencabut izin usaha bank:
b. izin pembukaan, penutupan, dan pemindahan kantor bank:
c. persetujuan atas kepemilikan dan kepengurusan bank:
d. izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-kegiatan usaha tertentu. 
5. Melakukan pengawasan bank sebagaimana dimaksud pada pasal 24, yaitu pengawasan langsung dan tidak langsung.
6. Mcwajibkan bank untuk mcnyampaikan laporan, ketcrangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan apabila diperlukan, kewajiban tersebut di atas dikenakan pula terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak tcrkait, dan pihak terafiliasi dari bank.
7. Melakukan pemeriksaan:
a. terhadap bank, baik secara berkala maupun setiap waktu apabila diperlukan:
b. apabila diperlukan, pemeriksaan sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak tcrkait, pihak tcrafiliasi, dan dcbitur bank;
c. bank dan pihak-pihak sebagaimana dimaksud di atas, wajib memberikan kepada pemeriksa, keterangan dan data yang diminta dan pemeriksa mempunyai kesempatan untuk melihat semua pembuktian, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya.
8. Menugasi pihak lain, untuk melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 Ayat (1) dan (2), serta pihak lain yang melaksanakan pcmcriksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), wajib merahasiakan keterangan dan data yang diperoleh dalam pemeriksaan.
9. Memerintahkan bank untuk:
a. menghentikan scmentara sebagian atau scluruh kcgiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian OJK terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana di bldang perbankan;
b. bcrdasarkan penilaian di atas, OJK wajib mengirim tim pcmcriksa untuk meneliti kebenaran atas dugaan tersebut;
c. apabila dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud di atas tidak diperoleh bukti yang cukup, OJK pada hari itu juga mencabut perintah penghentian transaksi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1). 
10. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank. Sistem informasi tersebut dapat dlperluas dengan menyertakan lembaga lain di bidang keuangan. Penyclenggaraan sistem informasi tersebut daput dilakukan sendiri dan atau oleh pihak dengan persetujuan OJK. 
11. Dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian OJK membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan atau membahayakan sistcm perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, OJK dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku.

C. SEKTOR-SEKTOR PENGATURAN DAN PENGAWASAN OLEH OJK 
Penyatuan fungsi pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan terdiri dari sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, serta lembaga jasa keuangan, yang akan diatur sebagai bcrikut :
1. Sektor Perbankan
Karena kegiatan perbankan sangat bersentuhan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan scluruh sendi kehidupan masyarakat dan perekonomian nasional. Dengan diundangkannya UU OJK maka tugas pengaturan dan pengawasan jasa keuangan di sektor perbankan dialihkan ke tangan OJK.
Pengalihan dimaksud bersifat persial dan hanya mencakup ruang lingkup pengaturan dan pengawasan di bidang microprudential, yakni:
a. Pengaturan dan pengawasan mcngcnai kclembagaan bank yang mcliputi: 
1) perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank, dan
2) kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi dan aktivitas bidang jasa. 
b. Pengaturan dan pengawasan kesehatan bank yang meliputi: 
1) likuiditas, renhabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank:
2) laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank:
3) sistem informasi debitur: 
4) pengujian kredit (credit testing): dan
5) standar akuntansi. 
c. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: 
1) manajemen risiko;
2) tata kelola bank:
3) prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang: dan
4) pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan. 
d. Pemeriksaan Bank 
Di luar hal tersebut, pengaturan dan pengawasan perbankan yang bersifat microprudential tetap bcrada di tangan Bank Indoncsia, Pada Pasal 8 UU 23 / 1999 tentang BI, maka fungsi dan tugas yang berkaitan dengan kebijakan moneter dan sistem pembayaran masih tersisa dan melekat pada BI. Dengan tersisanya tugas untuk memfasilitasi sistem pembayaran di BI sedang di sisi lain tugas pengaturan dan pengawasan perbankan akan bcrpindah ke OJK, maka koordinasi antara kedua lembaga tersebut mutlak diperlukan.

Setelah OJK terbentuk, memang BI kehilangan satu pilar dari tugas-tugasnya, yakni yang berkatan dengan pengaturan dan pengawasan sektor perbankan, tetapi hanya yang berkaitan dengan aspek mikroprudential. Dua pilar lainnya, tugas kcbijakan moncter dan memperlancar sistcm pembayaran tetap berada di Bank Indonesia. Kegiatan yang berkaitan dengan sistem pembayaran menyangkut ruang lingkup yang sangat luas, baik skala nasional maupun internasional. 
Pada skala nasional, Bank Indonesia menjadi penyelengguara tunggal sistem pembayaran di tanah air melalui kegiatan kliring antarbank dengan infrastruktur yang dibangun dengan baik untuk menopang kegiatan tersebut. Pada skala internasional, Bank Indonesia memelihara rekening nostro di bank-bank scntral di berbagai belahan negara di dunia untuk dapat memfasilitasi sistem pembayaran internasional. 
Hal yang luput dicakup UU OJK adalah mengenai pengaturan dan pengawasan kegiatan perbankan syariah di Indonesia. UU OJK tidak secara jelas merinci mengenai hal ini, sedang di pihak lain dengan berlakunya UU OJK maka Bank Indonesia tidak lagi mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengawasi sektor micro-prudential.
Kebutuhan akan jasa-jasa perbankan syariah diperkirakan akan semakin besar seiring dengan perkembangan dunia perbankan dewasa ini. keinginan untuk memiliki perbankan yang memiliki kekhususan semakin meningkat.

2. Sektor Pasar Modal
Pengaturan dan pengawasan sektor pasar modal selama ini berada di tangan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lcmbaga Keuangan (Bapepam-LK). Kewenangan Bapepam-LK dalam mengawasi sektor pasar modal diatur dalam UU No. 8 Tahun 1992 tentang Pasar Modal, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal.

Bapepam-LK selama ini melaksana fungsi sebagai berikut: 
a. penyusunan peraturan di bidang pasar modal: b. penegakan peraturan di bidang pasar modal: c. pembinaan dan pengawasan terhadap pihak yang memperoleh usaha, persetujuan. pendaftaran dari badan atau pihak lain yang bergerak di bidang pasar modal: d. penetapan prinsip keterbukaan perusahaan bagi emiten dan perusahaan publilc: e. penyelesaian keberatan yang diajukan oleh pihak yang dikenakan sanksi oleh bursa efek, kliring dan penjaminan, serta lembaga penyimpanan dan penyclesaian: f. penetapan ketentuan akuntansi di pasar modal: g. penyiapan perumusan kebijakan di bidang lembaga keuangan: h. pelaksanaan kebijakan di bidang lembaga keuangan, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku: i. perumusan standar, norma, pedoman kriteria, dan prosedur di bidang lembaga keuangan: j. pemberian bimbingan teknis dan evaluasi di bidang lembaga keuangan.

Bapepam-LK mempunyai kewenangan sesuai Pasal 5 UU No. 8 Tahun 1995 tentang pasar modal, adalah : a. menerbitkan izin: b. memberikan persetujuan: c. melakukan proses pendaftaran dalam rangka penawaran umum efek: d. menerbitkan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal: scrta e. melakukan penegakan hukum atas setiap pelanggaran yang terjadi di pasar modal.

Scbagai lembaga pcngatur dan pcngawas di pasar modal, Bapepam LK melakukan tindakan preventif dan represif/korektif. Tindakan preventif dilakukan dengan cara menerbitkan peraturan-peraturan dalam bentuk Keputusan Ketua Bapepam-LK yang diramu sedemikian rupa untuk menciptakan pasar modal dan industri sekuritas yang tcrtib, efisien, dan kredibel. Tindakan represif/korektif dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan rutin maupun investigasi terhadap pelaku pasar modal, dan pcncgakan hukumnya kepada instansi lain yang berwenang apabila menyangkut kejahatan di bidang pasar modal. 
Untuk mencapai efektivitas pengawasan, Bapepatn-LK inempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan tindakan penyidikan. Secara garis besar, fungsi utama Bapepam-LK dapat digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis berikut ini. a. Fungsi rule making atau quasi legislative power, Bapepam-LK sebagai lembaga pengawas mempunyai kewenangan untuk membuat aturan main di pasar modal. b. Fungsi adjudicatory atau Judicial power, di mana Bupepam-LK berwenang melakukan tindakan sebagaimana kewenangan yudisial yang dimiliki suatu badan peradilan misalnya wewenang untuk mengadili, mencabut izin usaha, atau wewenang pelaku pasar modal untuk melakukan kegiatan tertentu di pasar moclal. c. Fungsi investigatory enforcement, di mana UU No. 8 Tahun 1995 memberikan kewenangan kepada Bapcpam-LK untuk melakukan penyclidikan dan tindakan penyclidikan, yang membuat Bapepam-LK mempunyai kewenangan sebagai "polisi khusus". 

Sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1995, Bapepam-LK ditetapkan sebagai lembaga yang independen. Namun demikian, status indcpenclensi Bapepam-LK ini sempat diperdebatkan berbagai pihak, dan keraguan akan status independensi dimaksud masilt terjadi sampai saat-saat terakhir sebagai fungsi dan tugas Bapepam-LK dialihkan ke OJK. 

Dengan peralihan fungsi pengaturan dan pengawasan sektor pasar modal ke lembaga baru, diharapkan nantinya lembaga dimaksud mampu melakukan pengaturan dan pengawasan yang lebih baik dari yang telah dicapai selama ini. Dengan adanya ketentuan pada Pasal 2 Ayat (2) UU OJK yang menyebutkan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam mclaksanakan tugas dan wewenangnya dan bcbas dari campur tangan pihak lain setidaknya dapat memberikan jawaban akan independensi dan kredibilitas OJK yang akan lebih baik dari Bapepam-LK yang ada sebelumnya.

3. Sektor Perasuransian
Kegiatan perasuransian diatur dalam UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Pcrasuransian yang kcmudian dijabarkan lebih lanjut dalam PP No.73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. 
Beberapa lembaga yang berkecimpung di bidang usaha perasuransian, yakni perusahaan perasuransian, perusahaan asuransi kerugian, perusahaan reasuransi, perusahaan asuransi jiwa, dan perusahaan penunjang kegiatan asuransi yang terdiri dari: a. pialang asuransi, b. pialang reasuransi, e. agen asuransi, d. penilai kerugian asuransi. dan e. konsultan aktuaria. 

Untuk hal-hal yang menyangkut jaminan kecelakaan kerja, kematian, hari tua, dan pensiun bagi mereka yang bekerja dl sektor swasta dan BUMN pada umumnya dikclola olch PT. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PT. Jamsostek). Berdasarkan Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS), dibentuk badan hukum BPJS I dan BPJS II. 
Badan hukum BPJS I akan beroperasi mulai 1 Januari 2014 dan langsung menyclenggarakan program jaminan keschatan, termasuk menampung pengalihan program jaminan keschatan yang selama ini diselenggarakan PT. Jamsostek dan PT. Asabri.
Badan hukum BPJS II akan mengelola jaminan kecelakaan kerja, kematian, hari tua, dan pensiun atau transformasi Jamsostek yang akan dilakukan pada tanggal 1 Januari 2014 dan dioperasikan selambat-lambatnya pada bulan Juli 2015. 


Sesuai Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 168/PMKJ2010 tanggal 16 Scptembcr 2010, pcngawasan yang dilakukan Bapepam-LK atas usaha perasuransian terdiri dari pemeriksaan laporan berkala yang diterima dan pemeriksaan lapangan, dengan tujuan untuk: a. memperoleh keyakinan mengenai kondisi perusahaan perasuransian yang scbcnarnya; b. meneliti kesesuaian kondisi perusahaan perasuransian dengan peraturan perundang-undangan serta standar, prinsip, dan praktik penyelenggaraan usaha perasuransian yang sehat; e. memastikan bahwa perusahaan perasuransian telah menerapkan manajemen risiko dengan baik yang meliputi risiko: 1) tata kelola dan kepengurusan, 2) stratcgi dan perencanaan, 3) kepatuhan, 4) operasional, 5) asuransi, 6) likuiditas, 7) pasar dan investasi, serta 8) modal; d. memastikan bahwa perusahaan perasuransian telah berupaya mcmcnuhi kewajiban-kewajibannya kepada tertanggung atau para pcmcgang polis.

4. Sektor Dana Pensiun 
Scbclum diterbitkan UU No. 11 Tahun 1992 tcntang Dana Pensiun, telah dikenal beberapa istilah program pensiun, seperti program pensiun (Zulaini Wahab, 2005:34-35): a. yang dikelola olch perusahaan/pemberi kcrja yang dibayarkan dari cadangan perusahaan (book reserved) atau dari biaya perusahaan (pay as you go): b. yang dikelola oleh yayasan dana pensiun di mana yayasan dimaksud scbelumnya telah memperolch persetujuan Menteri Kcuangan, dan telah memperolch fasilitas perpajakan dari pemerintah; c. pegawai negeri sipil dan pejabat negara yang dficelola oleh PT. Taspen; dan d. anggota TNI dan Polri yang dikelola olch PT. Asabri. 

Program pensiun yang dikelola oleh perusahaan/pemberi kerja tersebut ada yang diatur dengan peraturan perusahaan namun ada pula yang hanya diatur dengan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) antara Scrikat Pekerja Perusahaan (mewakili karyawan/pekerja) dengan perusahaan tempat para karyawan bekerja. Program pensiun seperti ini tidak mendapatkan fasilitas perpajakan dari Pcmcrintah scbagaimana halnya yang diperolch yayasan dana pensiun, program pensiun PNS dan pcjabat negara, serta program pensiun TN1 dan Polri.

Kemudian Pemerintah menerbitkan UU No.11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun, yang mengenal adanya 2 (dua) jenis dana pensiun, yakni dana pensiun pemberi kerja dun dana pensiun lembaga keuangan. Dana pensiun pemberi kerja dimaksudkan sebagai dana pensiun yang dibentuk oleh orang atau badan yang mempckerjakan karyawan, untuk menyelenggarakan program pensiun manfaat pasti atau program pensiun iuran pasti, bagi kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja. Dana pensiun lembaga keuangan dimaksudkan sebagai dana pensiun yang dibentuk oleh bank atau perusahaan asuransi jiwa untuk menyclenggarakan program pensiun iuran pasti bagi perorangan, baik karyawan maupun pekerja mandiri yang terpisah dari dana pcnsiun pcmberi kerja bagi karyawan bank atau perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan.

Oleh karena dana pensiun merupakan tabungan jangka panjang milik peserta yang jumlahnya cukup banyak, diperlukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi para pekerja. Perlindungan dimaksud berkaitan dengan kepastian bagi pekerja mengenai hak-haknya selaku penabung yang telah dibangun selama bcrpuluh tahun agar dapat dijaga dengan utuh.
Dengan tcrbcntuknya BPJS 1 dan BPJS II yang masing-masing merupakan badan hukum, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah khusus untuk mengamankan dana BPJS, seperti penyesuaian besarnya manfaat pensiun, besarnya iuran pensiun, serta pcninjauan usia pcnsiun.

5. Sektor Lembaga Pembiayaan
Berdasarkan Pasal 2 Perpres No. 9 Tahun 2009 menyebutkan lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana ataupun berupa barang modal yang terdiri dari perusahaan: 
a. pembiayaan; merupakan badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan sewa guna usahn (leasing), kegiatan anjak piutang (factoring), pembiayaan konsumen (consumers finance), dan/atau usaha kartu kredit (credit card),
b. modal ventura (venture capital company); yakni badan usaha yang melakukan usaha pcmbiayaan/pcnyertaan modal ke dalam suatu perusahann yang mencrima bantuan pembiayaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu, dalam bentuk penyertaan saham, penyertaan melalui pembelian obligasi konservasi, dan/atau pemblayaan berclasarkan pembagian atas hasil usaha;
c. pembiayaan infrastruktur; yakni badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek-proyek infrastruktur. 

Perusahaan pembiayaan pada butir 1 melakukan berbagai jenis kegiatan, dan yang paling utama, terdirl dari:
a. sewa guna usaha (leasing); yakni kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik melalui cara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan olch penycwa guna usaha (lessee) sclama jangka waktu tertentu berdasarkan pembiayaan secara angsuran;
b. anjak piutang (factoring); yakni kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang (account receivable) suatu perusahaan yang berjangka waktu pendek, berikut kegiatan pengurusan atas piutang tersebut:
c. pembiayaan konsumen (consume finance); yakni kegiatan memberikan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kcbutuhan dari konsumen dengan pembayaran secara angsuran;
d. usaha kartu kredit (credit card); yakni kegiatan memberikan pembiayaan untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit. 

Kegiatan dari perusahaan modal vetura pada butir 2 mcliputi penyertaan saham (equity participation), penyertaan melalui pembelian obligasi konversi (quasi equity padicipation), serta pembiayaan berdasarkan pembagian atas hasil usaha (profit/revenue sharing).
Kegiatan dari perusahaan pembiayaun infrastruktur pada butir 3 meliputi pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk pembiayaan infrastruktur, pembiayaan ulang (refinancing) atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain, dan/atau pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur.
Untuk mendukung kegiatan usaha yang dilakukan oleh perusahaan pembiayaan infrastruktur tersebut, lembaga dimaksud dapat pula melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a. pemberian dukungan Kredit (credit enchancement), tcrmasuk penjaminan untuk pcmbiayaan infrastruktur: b. pembiayaan jasa konsultasi (advisory services), c. penyertaan modal (equity participation); d. upaya mencairkan swap market yang berkaitan dengan pembiayaan infrastruktur: dan/atau e. kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan pembiayaan infrastruktur.

Pengaturan dan pengawasan kegiatan yang dilakukan oleh lembaga pembiayaan tersebut selama ini dilakukan oleh Bapepam-LK yang secara struktural berada di bawah Menteri Keungan.
Kegiatan yang dilakukan lembaga pembiayaan di atas pada dasarnya mengandung risiko dari sudut:
a. pendanaan untuk membiayai aktivitas yang dilakukan lembaga tersebut sebagian besar bersumber dari pemodal atau lembaga perbankan, satu dan lain hal lembaga ini tidak diperkenankan menghimpun dana dari masyarakat, karena jangkauan usaha lembaga pembiayaan yang sedemikian luas maka modal sendiri dari pcmilik lembaga tersebut biasanya hanya mcrupakan scbagian kecil dari pcndanaan yang dibutuhkan secara keseluruhan:
b. kegiatan pembiayaan yang dilakukan merupakan penyaluran dana kepada unit-unit usaha yang membutuhkan, sebagaimana halnya dengan pemberian kredit yang dilakukan oleh industri perbankan, karena itu lembaga pembiayaan juga mclakukan intermediary function, dapat disebutkan bahwa risiko yang merekat seperti gagal bayar (default) sebagaimana halnya yang scring dialami oleh perbankan juga akan menimpa kegiatan lembaga pembiayaan. 

D. ASAS-ASAS KEWENANGAN OJK 
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja berlandaskan asas-asas yang disusun dengan memperhatikan tugas dan wewenangnya. Asas-asas yang dianut OJK dalam melaksanakan tugas dan wcwenangnya tersebut mcnyangkut asas: 
1. independensi; yakni mampu bertindak independen dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya dengan bertindak tetap sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku:
2. kepastian hukum; yakni asas di dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan tugasnya:
3. kepentingan umum; yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum:
4. keterbukaan; yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan kegiatan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan:
5. profesionalitas; yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan:
6. Integritas; yakni asas yang berpegang teguh pada nila-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyclenggaraan tugas-tugasnya. Asas ini menjadi pegangan bukan hanya pada tingkat pimpinan tetapi juga di tingkat pelaksana, schingga intcgritas dari lembaga OJK secara kescluruhan dapat terpelihara:
7. akuntabilitas; yakni asas yang menentukan bahwa untuk setiap kegiatan dan hasil akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak-pihak terkait (stakeholders) dss juga kepada publik. 

Prinsip check and balance ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jclas antara fungsi, tugas, dan kewenangan pengaturan dan pengawasan di dalam internal organisasi OJK sendiri, yakni:
1. fungsi, tugas, wewenang pengaturan, dan pengawasan dilaksanakan dewan komisioner melalui pembagian tugas yang jelas di antara masing-masing anggota dcwan komisioncr dcmi pcncapaian tujuan lembaga tersebut,
2. di pihak lain, tugas anggota dewan komisioner meliputi bidang yang terkait dengan kode etik, pengawasan intemal (internal control) melalui mekanisme dewan audit (audit committee), edukasi dan perlindungan konsumen, serta fungsi, tugas dan wewenang pengawasan untuk sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pcmbiayaan, dan lcmbaga jasa kcuangan lainnya.

E. TUGAS DAN WEWENANG OJK 
OJK dirancang untuk melakukan tugas pengaturan dan pengawasan secara terintegrasi terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor: 
1. perbankan. 2. pasar modal, dan 3. perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

Undang-Undang OJK menyebutkan bahwa pelaksanaan tugas pengaturan dan pengawasan tersebut dilakukan secara terpadu, independen, dan akuntabel. Terpadu dimaksudkan sebagai suatu kegiatan pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dalam rangka efektivitas pelaksanaannya. Independen dimaksudkan sebagai pelaksanaan mandiri tanpa adanya campur tangan dari pihak lain. Akuntabel dimaksudkan sebagai pelaksanaan kegiatan pengaturan dan pengawasan yang harus dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyatuan pengaturan dan pengawasan terhadap semua sektor jasa keuangan di atas diharapkan mampu menjawab hal-hal berikut Ini.
1. Lebih menyclaraskan cakupan dan kedalaman semua regulasi yang selama ini dipraktekkan di sektor jasa keuangan, termasuk dalam rangka pengelolaan struktur konglomerasi industri keuangan yang ada di Indoncsia.
Penyatuan ini ditujukan untuk memberikan ruang gerak yang lebih optimal bagi institusi pengatur dan pengawas jas keuangan tersebut dalam rangka memelihara, membenahi dan memperkuat kebijakan-kebijakannya, serta untuk lebih mengefektilkan penegakan hukum (law enforcement), untuk pemeliharaan disiplin pasar (market discipline) dan perlindungan konsumen di sektor jasa keuangan.
2. Untuk menycimbangkan penerapan ketentuan-ketentuan terhadap semua sektor utama pada industri jasa keuangan dan sekaligus merupakan peluang yang berharga demi membentuk budaya baru bagi regulator untuk mengawasi sektor jasa keuangan.
Dengan demikian, lembaga dimaksud juga diharapkan dapat dan mampu untuk memperbaharui sistem regulasi sektor jasa kcuangan agar lebih konsistcn dan lebih harmonis terhadap keseluruhan sektor jasa keuangan.
3. Diharapkan akan lebih memungkinkan untuk menghasilkan pengaturan-pengaturan yang terkonsolidasi sesuai dengan harapan-harapan masyarakat, sebagai modal awal untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyaralcat terhadap sistem keuangan di Indonesia.
Hal ini merupakan kesempatan baru tidak hanya untuk pembentukan kepercayaan diri secara domestik, tetapi lebih dari itu juga untuk mernbentuk kepercayaan diri di dunia internasional dan untuk memacu perbaikan kegiatan-kegiatan di sektor riil.

Untuk melaksanakan tugas pengaturan terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa kcuangan, UU memberikan kewenangan yang cukup luas kepada OJK yang mencakup kegiatan untuk menetapkan: 1. peraturan pelaksanaan dari UU OJK: 2. peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan: 3. peraturan dan keputusan OJK: 4. peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan: 5. kebijakan mengenai pelaksanaan tugas 6. peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap lembaga keuangan dan pihak tertentu: 7. peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter lembaga jasa keuangan: 8. bentuk struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban: dan 9. peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. 

Untuk melaksanakan tugas pengawasan yang dibebankan kepadanya, OJK mempunyai kewenangan untuk: 
1. Mcnetapkan kcbijakan operasional pengawasan tcrhadap kegiatan jasa keuangan
2. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif. Pengawasan Dewan Komisioner terhadap pelaksanaan tugas Kepala Eksekutif ditujukan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja dari Kepala Eksekutif itu sendiri.
Oleh karena itu pengawasan ini tidak dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada Dewan Komisioncr mclakukan intervensi atau turut campur tcrhadap pelaksanaan tugas dan wewenang dari setiap Kepala Eksekutif.
3. Melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa kcuangan.
4. Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak-pihak tcrtentu, untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu kegiatan tertentu guna memenuld ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau mencegah dan mcngurangi kerugian konsumcn, masyarnkat, dan sektor jasa keuangan lainnya.
Perintah tertulis tersebut diberikan antara lain untuk mengganti pengurus atau pihak lain di lembaga jasa keuangan, menghentikan, mcmbatasi, atau mcmperbaiki kegiatan usaha atau transaksi, menghentikan atau mengubah perjanjian antara lembaga jasa keuangan dengan pihak lain yang diduga merugikan konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan lainnya, serta menyampaikan informasi, dokumcn, dan/atau laporan tcrtcntu kepada OJK.
5. Melakukan penunjukan pengelola statuter 
6. Menetapkan pengelola statuter. Pengelola statuter dimaksudkan sebagai orang perseorangan atau badan hukum yang ditetapkan OJK untuk melaksanakan kewenangan lembaga tersebut. pengelola statuter melaksanakan kewenangan yang dimiliki OJK, antara lain untuk memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, mencegah dan mengurangi kerugian konsumen, masyarakat, dan sektor jasa keuangan, dan/atau pemberantasan kejahatan keuangan yang dilakukan pihak tertentu di sektor jasa keuangan.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan pengelola statuter antara lain melalui: a. penyelamatan atas kclangsungan usaha lembaga jasa keuangan usaha lembaga jasa keuangan tenentu; b. pengambilan seluruh wewenang dan fungsi manajemen lembaga jasa keuangan olch pengelola statuter; c. pembatalan atau pengakhiran perjanjian; serta d. pengalihan portofolio kekayaan ataupun usaha dari letnbaga jasa keuangan.
7. Menetapkan sanksi administrasi terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
8. Memberikan dan/atau mencabut:
a. izin usaha; b. izin orang perseorangan; c. efektifnya pernyataan pendaftaran: d. surat tanda terdaftar; e. persetujuan melakukan kegiatan usaha; f. pengesahan; g. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan h. penetapan lain, sebagaimana dimaksudkan dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Khusus untuk tugas pengaturan dan pengawasan yang akan dilakukan OJK di sektor perbankan telah ditetapkan secara lebih terperinci, di mana OJK diberikan kewenangan untuk pengaturan dan pengawasan mengenai hal berikut :
1. Kelembagaan bank yang meliputi:
a. perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar, rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumbcr daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank, dan
b. kegiatan usalut bank, antara lain yang mcnyangkut sumber-sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi dan aktivitas di bidang jasa. 

2. Tingkat kesehatan bank, yang meliputi:
a. likuiditas, rehabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; b. laporan bank yang terkait dengan tingkat kesehatan dan kincrja bank: c. sistem informasi debitur; d. pengujian kredit (credit testing); dan e. standar akuntansi bank, yang memuat standar akuntansi yang dianut olch bank dengan memperhatikan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum.

3. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank (prudent banking principles), yang meliputi : a. manajemen risiko; b. tata kelola bank; c. prinsip mengenal nasabah (know your custumer) dan anti pencucian uang; serta d. pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan.

4. Pemerik.saan bank. 
Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, keschatan, aspek kehati-hatian (prudent banking principles), dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan yang bersifat micro-pruddential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Lingkup pengaturan dan pengawasan bersifat makro berada di luar ketentuan dia atas tidak termasuk yang diserahkan ke tangan OJK dan masih merupakan kewenangan Bank Indonesia.
Pengawasan untuk bidang yang bersifat microprudential ini. OJK akan sepenuhnya membantu Bank Indonesia manakala diperlukan, dalam bentuk himbauan moral (moral suasion) kepada lembaga perbankan agar menaati rambu-rambu moneter yang ditetapkan Bank Indonesia.
Dalam kaitan dengan tugas dan wewenang OJK terdapat dua bidang utama yang harus diatur dan diawasi, namun mereka memiliki keunikannya masing-masing. Perbankan menekankan kepada prinsip prudensial (kchati-hatian). sedangkan pasar modal menekankan prinsip ketcrbukaan (full disclosures). Prinsip kehati-hatian cenderung menerapkan langkah-langkah defensif dan tidak diketahui oleh banyak orang. Prinsip keterbuknan menekankan pcngungkapan fakta-fakta secara transparan dan komprehensif agar pihak-pihak yang mengambil kesimpulan tidak merasa terperdaya.

F. HUBUNGAN KELEMBAGAAN 
1. Hubungan dengan Bank Indonesla
UU OJK mengatur hubungan kelembagaan dan koordinasi serta kerja sama lembaga tersebut dengan instansi lainnya, terutama dalam mcmbuat peraturan pengawasan di bidang perbankan yang mencakup hal berikut :
a. Kewajiban pemenuhan permodalan minimum bank (capital adequacy requirernent). b. Sistem informasi perbankan yang terpadu. c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri. d. Produk perbankan transaksi derivatif, dan kegiatan usaha bank lainnya. Ke dalam kcgiatan usaha bank lainnya termasuk antara lain kartu kredit, kartu debit, dan internet banking. c. Pcncntuan institusi bank yang masuk katcgori systematically importans bank. Dimaksudkan sebagai suatu bank yang karena ukuran aset, modal dan kewajiban, luas jaringan, atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lainnya dapat mengakibatkan gagalnya scbagian atau kcseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa finansial, apabila bank terscbut mengalami gangguan atau gagal beroperasi. Harus diakul penerapannya di kemudian hari potensil untuk dipermasalahkan, karcna tolok ukur yang dikandung tidak menyebutkan angka-angka yang pasti. Hal itu akan menjadi isu besar jika penerapannya ditengarai cenderung pilih kasih menurut favorit tidaknya bank yang bermasalah tersebut di mata pemerintah yang berkuasa. f. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kcrahasiaan informasi.

Dalam hal sebuah bank mengalami kesulitan likuiditas dan/atau kondisi kesehatan bank itu semakin memburuk, OJK wajib segera menginformasikannya kepada Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat mengambil langkah-langkah tertentu sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, antara lain dapat bcrupa pcmberian fasilitas pembiaynan jangka penclek dalam fungsinya scbagai pembcri talangan terakhir (lender of the last report). Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank yang akan dibantu tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kcpuda OJK. 

2. Hubungun dengan Lembaga Penjamin Simpanan 
LPS merupakan lembaga yang lebih dahulu dibentuk dari OJK, yang berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalain memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya (Pasal 4 UULPS). Semula kewenangan LPS sangat luas karea sebagian bcsar kewcnangan yang dulunya dimiliki BPPN bcralih mcnjadi milik LPS (Pasal 6 ayat (2) UULPS), seperti:
a. mengambil alih serta menjalankan segala hak-hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS: b. menguasai serta mengelola seluruh aset beserta kewajiban bank gagal yang diselamatkan; c. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat bank gagal yung disclamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank; dan d. menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur. 

Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 memberikan mandat kepada LPS untuk melakukan tindakan hukum terhadap bank gagal atau bank yang mcngalami kesulitan kcuangan dan mcmbahayakan kelangsungan usahanya, serta dinyatakan tidak dapat disehatkan lagi oleh lembaga pengawas perbankan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Ayat (2) UULPS. terhadap bank gagal yang tidak berdampak sistcmik LPS ditugaskan untuk merumuskan, menetapkan dan mclaksanakan kebijakan penyelesaiannya; sedung lerhadap bank gagal yang berdampak sistemik tugas penanganannya diserahkan kepada LPS. Perbedaan yang sangat mendasar dari kedua tugas int adalah bank gagal yang: 
a. dikategorikan tidak berdampak sistemik dimungkinkan untuk tidak disclamatkan atau dcngan kata lain dicabut izin usahanya dan selanjutnya dilikuidasi; b. berdampak sistemik tidak mungkin untuk diselamatkan, atau dengan kata lain pasti diselamatkan. 

Pasal 22 Ayat (1) a dan (1) b UU LPS yang menyebutkan bahwa: a. penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan terhadap bank gagal di maksud: b. penanganan bank gagal yang berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan yang mengikut sertakan pemegang saham lama atau tanpa mengikut sertakan pemegang saham lama. 

Beberapa hal spesifik yang tercantum dalam UU LPS bahwa kewenangan untuk melakukan likuidasi terhadap bank gagal yang tidak berdampak sistemik yang dicabut izin usahanya berada di tangan LPS. Tugas ini sebelumnya merupakan kewenangan penuh dari pemegang saham sesuai dengan anggaran dasar dan UU Perseroan Terbatas. Tindakan-tindakan hukum yang termasuk ke dalam cakupan tugas LPS tersebut di atas sangat luas, yang meliputi tindakan untuk; a. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham. termasuk hak dan wewenang rapat umum pemegang saham (RUPS); b. memberikan talangan pembayaran gaji dan pcsangon kcpada pcgawai bank; c. memutuskan pembubaran badan hukum bank; d. membentuk tim likuidasi; dan e. mcminta pertanggunpjawaban pclaksanaan likuidasi dari tim likuidasi yang beriugas untuk itu. 

Berdasarkan Pasal 43 Juncto Pasal 6 Ayat (2) UU LPS, LPS dapat melakukan tindakan-tindakan hukum yang sama dengan yang pernah dimiliki BPPN berdasarkan ketentu. PP No. 17 Tahun 1999, yaitu:
a. menguasai dan mengelola aset dan kewajiban bank dalam likuidasi; b. meninjau ulang, membatalkan, mcngakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat bank dalam likuidasi dengan pihak ketiga yang merugikan bank; serta c. menjual dan/atau mengalihkan aset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur. 

Kewenangan yang dimiliki LPS di atas kemudian mengalami perubahan dengan terbitnya UU OJK. Dengan berlakunya UU OJK maka tugas-tugas LPS yang bertentangan dengan fungsi dan tugas scrta kewenangan OJK menjadi tidak berlaku lagi sejak diundangkannya UU OJK. Untuk itu, LPS memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan terhadap bank yang terkait dengan fungsi, tugas, dan wewenangnya dengan berkoordinasi dan memberitahukan terlebih dahulu kepada OJK. Ruang lingkup pemeriksaan yang dilakukan LPS terhadap perbankan dapat meliputi : 
a. pemeriksaan premi; b. posisi simpanan bank: c. tingkat bunga; d. kredit macet dan catatan mengenai hal tersebut dalam pembukuan bank; e. bank bermasalah: f. perjanjian-perjanjian bank dengan pihak ketiga: g. kualitas aset; dan h. kejahatan di sektor perbankan.

OJK dibebankan pula kewajiban untuk menginformasikan kepada LPS keadaan dari bank yang cenderung bermasalah. Apabila ada bank bermasalah yang sedang diupayakan penychatannya, maka OJK akan menginformasikan hal itu kepada LPS pada kesempatan pertama. Dengan demikian, LPS dimungkinkan untuk mengantisipasi terhadap kemungkinan pembayaran-pembayaran atas pertanggungan yang ditutupnya. 

3. Protokol Koordinasi 
Dalam protokol koordinasi yang mcngikat lembaga-lembaga terkait di atas tercantum aturan-aturan scbagai berikut :
a. Untuk menjaga stabilitas sistcm keuangan, akan dibentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dengan keanggotaan yang terdiri atas:
1. Menteri Keuangan selaku anggota merangkap koordinator:
2. Gubernur Bank Indonesia selaku anggota;
3. Ketua Dcwan Komisioner OJK selaku anggota; dan
4. Ketua Dewan Komisioner LPS selaku anggota. 
b. Forum KSSK akan dibantu oleh kesekretariatan yang dipimpin oleh salah scorang pcjabat csclon I di Kcmcntrian Keuangan. Mcngcnai cakupan ruang lingkup kerja, sumber daya, dan anggaran kesekretariatan akan disepakati oleh setiap anggota Forum KSSK. 
c. Pengambilan keputusan dalam rapat Forum KSSK ditetapkan bcrdasarkan musyawarah untuk mufakat.
d. Apabila musyawarah untuk mufakat tidak tercapai maka pengambilan keputusan akan dilakukan berdasarkan suara terbanyak, Keputusan yang diambil Forum KSSK bersifat mengikat untuk seluruh anggota forum dimaksud. 

Berikut ini, ketentuan protokol koordinasi yang dimuat dalam UU OJK : 
a. Dalam kcadaan normal maka Forum KSSK:
1. wajib melakukan pemantauan dan evaluasi atas siabilitas sistem keuangan:
2. melakukan rapat paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan:
3. membuat rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan: dan
4. melakukan pertukaran informasi,
b. Dalam mencegah dan menangani krisis pada situasi yang tidak normal maka Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan/atau Ketua Dewan Komisioner LPS yang mengindikasikan adanya potensi krisis atau tclah terjadi krisis pada sistem keuangan, masing-masing dari mereka dapat mengajukan ke forum KSSK agar forum tersebut segera melakukan rapat guna memutuskan langkah-langkah pcncegahan dan penanganan krisis.
Dengan krisis pada sistem kcuangan yang sudah gagal mcnjalankan fungsi dan perannya secara efektif dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dillhat dari makin memburuknya berbagai indikator ekonomi dan kcuangan, antara lain bcrupa kcsulitan likuiditas, masalah solvabilitas, dan/atau penurunan kepercayaan publik terhadap sistem keuangan.
c. Dalam kondisi tidak normal sebagaimana dimaksudkan pada butir (2) di atas, Menterl Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner OJK, dan Ketua Dewan Komisioner LPS berwenang mengambil dan melaksanakan keputusan untuk dan atas nama institusi yang diwakilinya dalam rangka pengambilan keputusan forum KSSK. 
d. Forum KSSK menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang diperlukan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis pada sistem keuangan sesuai dengan kewenangan mereka masing-masing. 
Dengan demikian, diharapkan bahwa masing-masing anggota forum KSSK tidak saling menunggu untuk mengambil keputusan penting untuk penyelamatan sistcm kcuangan agar tcrhindar dari kcmungkinan krisis sistcm kcuangan yang lehih besar. Demikian juga halnya langkah-langkah penyelamatan yang diambil untuk mengatasi krisis keuangan yang mengaklbatkan penyaluran dana (bail-out) yang kemungkinan jumlahnya relatif besar. diharapkan tidak menimbulkan dispute di antara lembaga yang menjadi anggota KSSK, sebagaimana yang terjadi dengan penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang dianggap sebagai kebijakan yang kontrovcrsial di masa lampau.
e. Keputusan yang diambil Forum KSSK yang terkait dengan penyelesaian dan penanganan suatu bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik, bersifat mengikat bagi institusi LPS. 
Bank gagal dalam hal ini climaksudkan sebagai bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan ticiak dapat lagi disehatkan oleh OJK sesuai dengan kewenangan yang dimillkinya. Adanya ketentuan ini climaksuclkan agar upaya penanganan bank gagal jungan sampai terhambat oleh perdebatan tentang ukuran dan norma-norma penetapan sebuah bank yang dinyatakan telah mengalami kegagalan. 

Terhadap setiap kebijakan forum KSSK yang akan membebani keuangan negara wajib diajukan terlebilt dahulu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan, sesuai dengan prinsip akuntabilitas. Forum KSSK tidak dapat mengambil kebijakan yang dapat mempengaruhi APBN tanpa persetujuan dari DPR lebih dahulu. Pengajuan dimaksud disampaikan oleh Menteri Keuangan selaku koordinator forum KSSK langsung kepada pimpinan alat kelengkapan DPR yang membidangi keuangan dan perbankan, dengan menyampaikan tembusannya kepada Pimpinan DPR.

Kecepatan mengambil keputusan di KSSK tidak berarti apa-apa jika tidak diimbangi dengan hal yang sama di DPR. Memang DPR diwajibkan untuk memberikan keputusan dalam tempo 24 (dua puluh empat) jam sejak menerima pengajuan usulan dari KSSK. namun harus diingat bahwa anggota DPR bersumber dari unsur yang beragam dan terkadang melihat segera sesuatu dari sudut kepentingan politik. Oleh karena Itu, ketentuan dalam Pasal 46 Ayat (1) dan (2) UU OJK mcnjadi salah satu batu sandungan tcrhadap kinerja OJK di masa mendatang karena tuntutan terhadap OJK bukan hanya agar lembaga tersebut mampu melakukan penanganan lembaga jasa keuangan yang tepat, komprehensif, terintegritasi, tetapi juga mampu mcngambil kcputusan yang tcpat waktu. 



MODUL 4
PRINSIP KEHATI-HATIAN PERBANKAN, MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI BANK

KEGIATAN BELAJAR 1 

PRINSIP KEHATI-HATIAN DAN PENJAMINAN DANA NASABAH BANK 

A. PRINSIP KEHATIAN-KERATIAN PERRANKAN 
Prinsip kehati-hatian perbankan diperlukan sebagai dasar pelaksanaan perbankan yang baik dan benar sesuai dengan Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur keharusan penggunaan prinsip kehati-hatian oleh perbankan Indonesia dalam menjalankan usahanya. Ketentuan dalam Pasal 2 tersebut tidak diubah oleh undang-undang perbankan yang baru, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Kemudian prinsip kehati-hatian itu diatur lebih lanjut dalam undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 pada perubahan Pasal 29. Ketentuan Pasal 29 Ayat (2) yang telah diubah mengatur bahwa bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, dan rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha dengan prinsip kehati-hatian.
Di dalam Ayat (5) Pasal yang sama, diatur bahwa ketentuan mengenai kewajiban bank tersebut ditetapkan oleh Bl. Artinya. BI diberi kewenangan untuk menetapkan pengaturan mengenai pelaksanaan kewajiban bank untuk melakukan usaha sesuai degan prinsip kehati-hatian. Selain itu, BI juga diberi kewenangan, tanggung jawab, dan kewajiban secara utuh untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif maupun represif. Semua itu diberikan oleh undang-undang dalam rangka memastikan dilaksanakannya prinsip kehati-hatian oleh bank dalam menjalankan usahanya.

Bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya berkaitan dengan berbagai risiko, dan sebuah bank harus dapat survive di tengah-tengah risiko tersebut. Oleh karena itu, bank harus dapat mencapai larget-target yang diamanatkan pemegang saham di tengah-tengah risiko yang ada.
Prinsip kehati-hatian (prudent banking practices) merupakan acuan yang harus senantiasa dipegang bankir dalam menjalankan kegiatan bank yang dipimpinnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU No.10 Tahun 1998 jo UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Kehati-hatian berasal dari kata "hati-hati" (prudent) yang erat kaitannya dengan fungsi pengawasan bank dan manajemen bank. Prudent dapat juga diterjemahkan dengan bijaksana, namun dalam dunia perbankan istilah itu digunakan dan diterjemahkan dengan hati-hati atau kehati-hatian (prudential).
Jadi, prinsip kehati-hatian perbankan (prudent banking principle) merupakan suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya.

Dalam rangka penyelesaian krisis perbankan pada Tahun 1998 dan Tahun 1999 yang lalu, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan peraturan dan pengawasan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian. Secara umum, mengacu pada Basel Core Priciples. Peranturan-peraturan tersebut, antara lain:
1. ketentuan klasifikasi pinjaman yang diperketat dengan memperpendek jangka waktu tidak membayar yang diterjemahkan kedalum beberapa tingkat klasifikasi nonperforming loans (NPLs):
2. pengaturan pencadangan atau provisioning yang diperbaiki dcngan mengeluarkan pada ketentuan klasifikasi pinjaman yang baru, prosedur penilaian kolateral diperbaiki sebagai reaksi kesulitan yang dihadapi dalam hal yang terjadi penyitaan:
3. ketentuan mengenai restrukturisasi utang diperketat dengan mengeluarkan prosedur formal umuk restrukturisasi, pelaporan dan monitoring, menetapkan aturan akuntansi yang jelas, dan mengadakan restriksi khusus bagi restrukturisasi jenis pinjaman yang terafiliasi khusus bagi restrukturisasi jenis pinjaman yang berafiliasi:
4. bank-bank diminta untuk melaporkan proyksi cashflow dan maturity gap analysis termasuk hal-hal yang terdapat dalam off balance sheer,
5. kewajiban untuk melakukan publikasi laporan keuangan secara triwulan,
6. batas net open position (NOP) bagi risiko transaksi devisa dikurangi,
7. konsep pihak terafilasi diperbaiki dan diperluas; dan
8. batasan bagi kepemilikan dan pengelolaan bank oleh asing dihapus.

Pengaturan perbankan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian, termasuk pengaturan yang berkenaan dengan kecukupan modal, sebenarnya telah diperkenalkan jauh sebelum krisis, yaitu pengaturan yang menyeluruh terhadap modal, aset, manajemen, ekuitas, serta likuiditas yang dikenal sebagai Capital, Asset, Management, Equity, and Liquidity (CAMEL)
Ketentuan tersebut dapat dilihat pada UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang disertai dengan pengaturan mengenai sanksi bagi pemilik bank, pengurus, dan komisaris atas pelanggaran terhadap undang-undang dan pengaturan yang terkail dengan pengclolaan bank
Hanya saja pengaturan yang berdasarkan prinsip kehati-hatian tidak secara tegas diatur. Hal ini dapat dilihai pada Pasal 29 Ayat (2) UU No.7 Tahun 1992 yang berbunyi : 
"Bank wajlb memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian". 

Prinsip kehati-hatian bukan hanya menjadi pusat perhatian bank pelaksana semata-mata Prinsip tersebut dipedomani, baik oleh bank pelaksana dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari maupun olch Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan perbankan. Bank Indonesia yang memegang fungsi regulasi, perizinan, dan pengawasan melihat sejauh mana masing-masing bank telah memperhatikan prinsip tersebut dalam kegiatan operasionalnya.

1. Bidang Perizinan
Bidang perizinan, UU No.10 Tahun 1998 jo UU No.7 Tahun 1992 tentang perbankan menyebutkan bahwa untuk dapat melaksanakan kegiatan maka bank harus terlebih dahulu memperoleh izin usaha dari instansi yang berwenang. Pasal 16 UU Perbankan menyebutkan bahwa : 
1. setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib dahulu memperoleh izin usaha sebagai umum atau bank perkreditan rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri;
2. untuk memperoleh izin usaha Bank UMUM dan bank perkreditan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang: a. susunan organisasi dan pengurusan. b. permodalan, c. kepemilikan, d. keahlian di bidang perbankan. e. kelayakan rencana kerja.

Bank Indonesia menilai kelayakan dari permohonan yang diajukan pendiri bank yang memuat data mengenai susunan organisasi dan pengurusan, permodalan, kepemilikan, keahlian masing-masing calon pengurus, serta rencana kerja yang menggambarkan target-target kuantitatif pertumbuhan yang direncanakan. Dalant menilai permohonan ini pun Bank Indonesia menerapkan prinsip kehati-hatian, antara lain dengan melihat bagaimana rencana kena bank ditinjau dari skenario pesimistis. Artinya, adalah apakah dengan menerapkan skenario yang pesimistis, rencana kerja bank terebut masih dinilai feasible. 

2. Tingkat Kesehatan Bank 
Kebijakan yang menyangkut penerapan manajemen risiko, Bank Indonaia telah menerbitkan PBI No. 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 serta SE BI No. 6/23/DPNP/2004 tanggal 31 Mei 2004 tentang sistem penilaian fingkat kesehatan Bank Umum. Melalui kedua ketentuan di atas, Bank Indonesia telah mewajibkan semua Bank yang beroperasi di Indonesia untuk melakukan penilaian atas tingkat kesehatan banknya masing-masing secara mandiri (self assessment) setiap tiga bulan, yakni bulan Maret, Juni, September, dan Desember setiap tahunnya.
Enam aspek yang harus diperhatikan bank dalam menilai tingkat kesehatannya menyangkut Capital, Asset Quality, Management, Eaming, Liquidity, dan Sensitivay to the Market yang disingkai dengan CAMMEL. Keenam aspek tersebut juga akan dinilai/dijustifikasi olelt team pemeriksa Bank Indonesia pada waktu melakukan pemeriksaan secara langsung (on site examination) ke masing-masing bank. Bagi Bank Indonesia, adanya kebijakan tersebut merupakan bagian dari sarana untuk menetapkan dan implementasi pengawasan terhadap masing-masing bank.
Di pihak lain, bagi bank itu sendiri, self assessemet di maksud sangat bermanfaat untuk dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin timbul berkenaan dengan operasionalnya schingga dapat digunakan sebagai salah satu masukan dalam menetapkan strategi usaha di masa yang akan datang. Dengan adanya ketentuan self assessment dimaksud diharapkan bahwa prinsip kehati-hatian akan mendapat penekanan, dan sistem peringatan dini yang ada di bank akan bekerja dengan baik.
Tentunya apabila sistem self assessment dilaksanakan secara benar dan dilakukan pemutakhiran data secara berkala, akan dapat mengambarkan permasalahan yang sebenarnya yang dihadapi oleh bank tanpa harus ditemukan lebih dahulu oleh team pengawas Bank Indonesia ataupun oleh team pengawas ekstern.

Tingkat keschatan bank diberikan Bank Indonesia juga menggambarkan kelayakan suatu bank untuk mendapatkan pinjaman antarbank. Makin baik tingkat kesehatan bank maka makin layak bank tersebut untuk mendapatkan pinjaman antarbank, demikian sebaliknya. Menurut Bank Indonesia, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesehatan bank umum mencakup: 
1. permodalan, yakni rasio modal bank (terdiri dari modal inti dan modal pelengkap) terhadap aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR); 
2. kualitas aktiva produktif, yang mencakup rasio aktiva produktif (terdiri dari kredit yang diberikan dan aktiva produktif lai(Jnya seperti halnya surat-surat berharga), penyisihan penghapusan aktiva produktif yang dibentuk oleh bank terhadap penyisihan penghapusan aktiva produktif yang wajib dibentuk oleh bank sesuai dengan ketentuan;
3. manajemen, yang menyangkut manajemen umum dan manajemen risiko;
4. rentabilitas, yang menyangkut manajemen rasio laba usaha rata-rata terhadap volume usaha, dan rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional bank:
5. likuiditas, yang menyangkut rasio kewajiban bersih antarbank terhadap modal inti. dan rasio kredit terhadap dana yang diterima oleh bank dalam rupiah dan valuta asing.

3. Kretlit dan Balas Maksimum Pemberian Kredit 
Dalam permohonan kredit, bank melakukan penilaian dan penerapan beberapa pendekatan, yang salah satunya adalah pendekatan 5 C's. Pendekatan 5 C's dalam pemberian kredit telah digunakan sejak lama dan masih terus dipergunakan sampai saat ini. Hal ini menandakan bahwa prinsip-prinsip yang dikandung di dalamnya masih relevan dengan kondisi sekarang. 5 C's of Credit begitu populernya, dan dipergunakan oleh bankir untuk melihat character, capacity, capital, condition, dan collateral dari nasabah debitur. 

Berikut ini, aspek-aspek yang dinilai bankir dalam menilai kelayakan kredit dikaitkan dengan 5 C's di atas :

a. Aspek Hukum 
Hal ini bertujuan untuk menilai keaslian dan keabsahan dokumen-dokumen yang diajukan oleh pemohon kredit. Penilaian aspek hukum ini juga dimaksudkan agar jangan sampai dokumen yang diajukan ke bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit merupakan dokumen palsu atau dokumen yang berada dalam status sengketa schingga dapat menimbulkan masalah di kemudian

b. Aspek pasar dan pemasaran 
Hal ini bertujuan untuk menilai apakah produk dari usaha yang akan dibiayai dengan fasilitas kredit bank akan laku di pasar, dan bagaimana mengenai strategi pemasaran yang akan dilakukan. Dalam aspek ini yang akan dinilai adalah prospek pemasaran dari usaha yang ada sekarang dan di masa yang akan datang.

c. Aspek keuangan 
Hal ini bertujuan untuk mcnilai kondisi keuangan perusahaan yang dilihat dari laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi selama 3 tahun terakhir. Analisis yang dilakukan oleh bankir untuk menilai kemampuan keuangan perusahaan menyangkut antara lain rasio likuiditas, rasio leverage, rasio aktivita, rasio profitabilitas, dan analisis pulang pokok (break even point). 

d. Aspek teknis / operasi 
Hal ini bertujuan untuk menilai tentang lokasi usaha, kemudian kelengkapan sarana dan prasarana yang dimiliki, termasuk lay-out gedung dan ruangan untuk aktivitas/ kegiatan

e. Aspek manajemen 
Hal ini bertujuan untuk menilai pengalaman calon nasabah dalam mengelola usahanya, termasuk sumber daya manusia yang dimilikinya

f Aspek ekonomi sosial 
Hal ini bertujuan untuk menilai dampak usaha yang akan dibiayai dengan fasilitas kredit terhadap masyarakat sekitar dan masyarakat luas, baik secara ekonomi maupun sosial.

g. Aspek amdal 
Hal ini bertujuan menilai apakah dampak usaha yang akan dibiayai dengan fasilitas kredit sudah memenuhi kriteria analisis dampak lingkungan terhadap darat, dan udara sekitarnya, perlu diperhatikan bahwa proyek yang akan dibiayai dengan fasilitas kredit bank tidak boleh merusak lingkungan sekhar.

UU Perbankan memberilcan penekanan agar dalam memberikan fasilitas kredit kepada debitur, para bankir mempunyai keyakinan atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitur untuk melunasi utang-utangnya. Hal ini mengandung makna bahwa sccara yuridis bankir bertanggung jawab untuk melakukan analisis yang mendalam atas kemampuan dan kemauan nasabah untuk melunasi fasilitas kredit yang diperjanjikan.
Dari analisis tersebut, bankir harus mendapatkan keyakinan bahwa usaha atau kcgiatan nasabah layak untuk dibiayai dengan fasilitas kredit, untuk sampai pada keyakinan tersebut perlu dilaksanakan analisis dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian, apabila tenggang waktu antara pencairan fasilitas kredit dengan saat kredit menjadi bermasalah terjadi dalam kurun waktu yang relatif singkat maka hal tersebut dapat menjadi indikasi bahwa penilaian atas kemampuan dan kemauan dari debitur uniuk membayar kembali fasilitas kreditnya tidak dianalisis oleh bankir secara mendalam dan tidak mencerminkan penilaian yang dilakukan secara hati-hati.
Berkaitan dengan ketentuan mengenai tingkat kesehatan bank, Bank Indonesia juga memberikan batasan-batasan lainnya pada kegiatan perbankan dengan tujuan agar bank selalu menjaga dengan prinsip kehati-hatian dan agar operasional perbankan tetap berada dalam batas rentang kendali. Ketentuan dimaksud antara lain yang menyangkut jumlah maksimum kredit yang dapat diberikan kepada seorang debitur atau grup debitur, yang disebut dengan batas maksimum pemberian kredit (BMPK). 
Sesuai dengan PBI No. 7/3/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang batas maksimum pemberian kredit bank umum, diletapkan bahwa BMPK kepada pihak yang tidak terkait adalah maksimum 20% dari bank.

4. Posisi Devisa Neto 
Selain dari adanya batasan dalam hal pemberian kredit, perbankan juga harus menaati rambu-rambu mengenai besarnya kekurangan maupun kelebihan devisa yang dapat dimiliki bank dikaitkan dengan kewajiban yang harus dibayar dalam valum asing. Batasan dimaksud disebut sebagai Posisi Devisa Neto (PDN) atau Net Open positian (NOP). 
Bank wajib memelihara PDN pada setiap akhir kerja yang ditetapkan setinggi-tingginya 20% (dua puluh per seratus) dari modal yang dindlilti bank, yang dihitung secara konsolidasi, yaitu mencakup seluruh kantor cabang bank, baik yang berada di dalam negeri maupun yang berada di luar negeri (Pasal 3 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/178/KEP/DIR). 

Agar terhindar dari risiko pasar (market risk) yang dapat terjadi karena adanya gejolak nilai tukar, bank diwajibkan untuk memelihara PDN-nya scpanjang hari (intra day) berdasarkan prinsip kehati-hatian. Dalam menghitung PDN, semua aktiva dan pasiva bank dalam valuta asing, baik yang tercatat di dalam neraca maupun yang masih dalam bentuk kontijensi turut diperhitungkan. Oleh karena itu, bank harus memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam mengelola aktiva dan pasiva bank, baik itu yang sudah merupakan pos-pos riil maupun yang kcpastiannya menjadi pos-pos rill atau tidak tergantung pada waktu yang akan datang.

5. Penyislhan Penghapusan Aktiva Produktif 
Bank diwajibkan untuk membentuk penyisihan dan penghapusan aktiva produktif dari portofolio aktiva yang baik aktiva berbentuk kredit maupun surat-surat berharga. Besar penyisihan ini dikaitkan dengan kolektibilitas masing-masing aktiva dimaksud, yang secara akumulasi merupakan pembebanan secara periodik aktiva yang tidak menghasilkan ke dalam pos-pos biaya. Adapun pertimbangan untuk mewajibkan aktiva produktif tersebut antara lain :
a. bahwa kelangsungan usaha bank tergantung pada kesiapan bank untuk menghadapi risiko kerugian yang diakibatkan dari penanaman dana bank:
b. bahwa guna menutup risiko kerugian tersebut, maka bank wajib membentuk penyisihan penghapusan aktiva produktif;
c. penyisihan penghapusan aktiva produktif adalah cadangan yang harus dibentuk sebesar persentase tertentu dari nominal berdasarkan pengelolaan kualitas aktiva produktif sebagaimana yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank harus melakukan penilaian kualitas aktiva produktif secara jujur sesuai dengan kriteria yang ditetaplcan olelt Bank Indonesia. Makin besar jumlah aktiva produktif bank yang diklasifikasikan maka makin besar pula jumlah biaya yang harus dicadangkan untuk itu, yang pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah keuntungan yang diperoleh.

B. GOOD CORPORATE GOVERNANCE 
Bank Indonesia mewajibkan perbankan untuk bekerja dengan memperhatikan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance). PBI No. 8/14/PBI/2006 jo No. 8/4/PBI/2006, Bank Indonesia telah menggariskan good corporate governance yang harus dituruti bank dalam kegiatan usahanya. Dalam PBI dimaksud disebutkan bahwa Good Corporate Governanse adalah suatu tata kelola yang baik yang menerapkan prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggung jawaban (responsibility), independen (independency), dan kewajaran (fairness). Agar tercipta akuntabilitas yang baik, Bank Indonesia menggariskan rambu-rambu bagi anggota direksi Bank (Pasal 7 PBI No. 8 /14/PBI / 2006 tentang Perubahan atas PBI No.8/4/ PBI 2006 tentang Pelaksanaan Good Governance bagi Bank Umum).
1. Anggota direksi bank dilarang merangkap jabatan sebagai anggota dewan komisaris, direksi, atau pejabat eksekutif pada bank, perusahaan dan/atau lembaga lain. Tidak termasuk ke dalam rangkap jabatan apabila Direksi yang bertanggung jawab terhadap pengawasan atas penyertaan pada perusahaan anak bank, menjalankan tugas fungsional menjadi anggota dewan komisaris pada perusahaan anak bukan bank yang dikendalikan oleh bank, sepanjang perangkapan jabatan tersebut tidak mengakibatkan yang bersangkutan mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggota direksi bank.
2. Anggota Direksi bank baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dilarang memiliki saham melebihi 25% (dua puluh lima perseratus) dari modal disetor pada suatu perusahaan lain.
3. Anggota direksi bank wajib mengungkapkan dalam laporan pelaksanaan Good Corporate kepada Bank Indonesia ataupun kepada komite untuk itu. yang menyangkut:
a. kcpcmilikan saham yang mencapai 5% (lima perscratus) atau baik pada bank yang bersangkutan maupun pada bank dan perusahaan lain, yang berkedudukan di dalam dan di luar negeri:
b. hubungan keuangan dan hubungan keluarga dengan anggota dewan komisaris, anggota direksi lainnya dan/atau pemegang saham pengendali bank.

Berikut ketentuan dari Bank Indonesia, khusus untuk anggota dcwan komisaris.
1. Anggota Dewan Komisaris hanya dapat merangkapi jabatan sebagai:
a. anggota dewan komisaris, direksi, atau pejabat eksekutif pada 1 (satu) lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan: atau
b. anggota dewan komisaris, direksi, atau pcjabat eksekulif yang mclaksanakan fungsi pengawasan pada 1 (satu) perusahaan anak bukan bank yang dikendalikan olch bank .

2. Tidak termasuk rangkap jabatan apabila anggota dewan komisaris,
a. independen menjalankan tugas fungsional dari pemegang saham bank yang berbentuk badan hukum pada kelompok usahanya; dan atau
b. menduduki jabatan pada organisasi atau lembaga nirlaba, sepanjang yang bersangkutan tidak mengabaikan pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai anggoia Dcwan Komisaris bank.

3. Mayoritas dari anggota dewan komisaris dilarang untuk saling memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua dengan sesama anggota dewan komisaris dan/atau anggota direksi.

Dcwan komisaris wajib memastikan terselenggaranya pelaksanaan Good Corporate Governance dalam setiap kegiatan usaha bank pada scluruh tingkatan atau jenjang yang ada pada organisasi bank tersebut. Hal ini didasarkan pemikiran bahwa tugas pengarahan kepada manajemen bank dan pengawasan kegiatan harus memastikan bahwa unsur-unsur good corporate governance tersebut juga dimuat dalam pedoman kebijakan bank. Sepanjang unsur-unsur good coporate governance yang disebutkan di atas telah dimasukkan dalam pedoman kebijakan atau standard operating procedures dari bank, maka ketidaktaatan pada unsur-unsur dimaksud dapat digolongkan sebagai sebuah kelalaian atau pelanggaran terhadap aturan internal yang telah dibuat, dan kepada mereka untuk dapat diminta pertanggung jawaban.
Dimensi dari pertanggung jawaban itu sedikit banyak akan ditentukan oleh seberapa besar kerugian yang ditimbulkan karena adanya pelanggaran terhadap unsur-unsur good corporate governance yang pertanggungjawaban dapat dianggap dalam lingkup administrasi, tetapi juga tidak tertutup kemungkinan untuk dilihat dalam ruang lingkup perdata ataupun pidana apabila berakibat kerugian bagi bank. Namun demikian, sepanjang prinsip-prinsip good cotporate govemance dielaborasi dalam bentuk buku pedoman maka pelanggaran terhadap hal tersebut lebih tepat dilihai scbagai sebuah pelanggaran administrasi, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa hal demikian dapat merusak budaya di dalam intemal bank itu sendiri.

C. DASAR HUKUM PENERAPAN PRINS1P KEHAT1-HATIAN 
Sebagai sebuah lembaga yang melakukan pengawasan terhadap setiap bank di Indonesia, Bank Indonesia tnelakukan kegiatannya berdasarkan beberapa landasan hukum, berikut ini. 
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 sebagaimana perubahan terakhir terhadap Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
2. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 sebagaimana perubahan terhadap Pasal 29 sampai dengan Pasal 33 terhadap Undang-Undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/6/PBU2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemeriksaan Bank di dalam UU Bank Indonesia, Pasal 8 antara lain menyebutkan bahwa pengaturan dan pengawasan bank menjadi tugas dari Bank Indonesia. Untuk maksud itu maka Bank Indonesia berwenang menerapkan ketentuan-kmentuan di bidang perbankan termasuk memuat ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian (terurai di dalam pasal 25 UU Bank Indonesia). Ketentuan-ketentuan perbankan mengenai prinsip kehati-hatian tersebut bertujuan uniuk memberikan rambu-rambu bagi penyelenggara kegiatan usaha perbankan, guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat.
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6 /10/PB1/2004, tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum.
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/2/PB1/2005, Tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum.
6. Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006, tanggal 5 Oktober 2006 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PB1/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.
7. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/15/PBI/2008, Tanggal 24 September 2008 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
8. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBU2009 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.
9. Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/26/PB1/2009, Tanggal 1 Juli 2009 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product Bagi Bank Umum.
10. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang menjadi landasan bagi pembentukan suatu lembaga independen untuk mengawasi sektor jasa keuangan, dalam Pasal 7 menjelaskan bahwa pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan pengaturan dan pengawasan micropudential yang menjadi wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada perbankan.

Penjelasan Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 sebagaimana perubahan terakhir terhadap Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonnsia disebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut perlu ditopang dengan tiga pilar utama, yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat tepat, serta sistem perbankan dan keuangan yang sehat. Sehubungan dengan kewenangan Bank Indonesia dalam menetapkan ketentuan prinsip kehati-hatian, ada beberapa pokok-pokok yang perlu ditetapkan dalam PBI, antara lain: 
1. perizinan bank;
2. kelembagaan bank, termasuk kepengurusan, dan kepemilikan;
3. kegiatan usaha bank pada umumnya;
4. kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah;
5. merger, konsolidasi, dan akuisisi bank;
6. sistem informasi antarbank;
7. tata cara pengawasan bank; '
8. sistem pelaporan bank kepada Bank Indonesia;
9. penyehatan perbankan;
10. pencabutan izin usaha, likuidasi, dan pembubaran bentuk hukum bank; dan
11. lembaga-lembaga pendukung sistem perbankan.

Berbagai peraturan Bank Indonesia (PBI) yang mengatur tentang prinsip kehati-hatian yang sudah ditetapkan dalam PBI di antaranya adalah : PB1 No. 11/ 26 /PB1/2009 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product Bagi Bank Umum, PB1 No.13/ 25 /PBI/2011 tentang Prinsip Kehati-hatian Bagi Bank Umum yang Melakukan Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Pihak Lain, PB1 No.5/10 /PBI/2003 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Kegiatan Penyertaan Modal, PB1 No.12/ 9 /PB1/2010 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri oleh Bank Umum. PB1 No.2/16/PB1/2000 tentang Perubahan SK Direksi BI Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang (UUBI). PB1 31/177/KEP/ DIR/1998 tentang Batas Maksimum Pemberian KrediL PBI No.3121/ PBU2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank, PBI No.3/22/PB1/2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank, Peraturan B1 6/25/PBI/2004 temang Rencana Bisnis Bank Umum, PBI No.7/4/ PBI/2005 tentang Prinsip Kehati-hatian dalam Aktivitas Sekuritisasi Asset Bagi Bank Umum.

Bahkan Bank Indonesia juga mengeluarkan PBI tentang program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (PPT) melalui PBI No. 11/28/PB1/2009 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Mencegah Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum dan PB1 Nomor 12/ 20 /PBI/2010 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.
Dalam kedua PBI ini, kchati-hatian dilakukan melalui pendekatan Customers Due Diligence (CDD) dan Enhanced Due Dilligence (EDD), misalnya ditegaskan dalam Pasal 8 PBI No. 11/28/ PBI/2009, dalam menerapkan program APU dan PPT, bank wajib memiliki kebijakan dan prosedur tertulis paling sedikitnya mencakup: permintaaan informasi dan dokumen, beneficial owner, veriftkasi dokumen; CDD yang lebih sederhana; penutupan hubungan dan penolakan transaksi; ketentuan mengenai area berisiko tinggi; pelaksanaan CDD olch pihak ketiga; pengkinian dan pernantauan; Cross Border Correspondent Banking: transfer dana: dan penatausahaan dokumen.

D. PENJAMINAN DANA NASABAH BANK 
Nasabah penyimpan dana di Bank sangat rentan terjadi masalah jika Bank mengalami penarikan dan yang cukup besar schingga mengakibatkan bank tidak dapat lagi menjalankan fungsinya dengan baik, pemerintah berkewajiban untuk menjamin dana nasabah yang disimpankan dalam bank dengan skema penjaminan simpanan nasabah dengan cara, antara lain :
1. Pemerintah menjaga kestabilan perbankan dan sisiem pembayaran guna menanggulangi dampak penarikan dana pada perbankan secara besar-besaran, dengan Bank Indonesia yang berfungsi scbagai pemberi jaminan pada urutan yang terakhir (lender of the last resort). Fasilitas ini dikenal berupa pemberian izin penarikan dana giro cadangan wajib atau Giro Wajib Minimum (GWM), saldo negatif, atau saldo debet ataupun memberi over draft pada rekening bank di Bank Indonesia.
2. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar kembali dana nasabah bank yang dicabut izin usahanya atau Bank Dalam Likuidasi (BDL), untuk melaksanakan sistem penjaminan menyeluruh (bianket guarantee) dan pembayaran kewajiban luar negeri bank-bank nasional.

Sebelum adanya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7 Tahun 2009, pada masa krisis perbankan pemerintah melakukan restrukturisasi perbankan nasional dengan membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang juga membentuk program penjaminan atas simpanan nasabah, Sejak adanya LPS maka scluruh penjaminan dana nasabah dijamin olch LPS.

1. Maksud daa Tujuan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 
Pembentukan LPS di Indonesia merupakan pelaksanaan dari Pasal 37 B UU No. 10 Tahun 1998, yang secara umum disebutkan bahwa pemerintah akan membentuk LPS berdasarkan pada suatu Peraturan Pemerintah (PP).
LPS diharapkan dapat turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Untuk itu LPS membuat visi, yaitu menjadi lembaga penjamin simpanan yang dipercaya dalam memelihara stabilitas sistem perbankan nasional, sedangkan misi yang diemban, adalah a) berwujudkan program penjaminan simpanan yang efektif, b) berperan aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan nasional.

2. Nilai-nilai Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 
a. Profesional.
b. thtegritas.
c. Layanan Prima.
d. Proaktif.
e. Sinergi.

3. Fungsi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 
a. Menjamin simpanan nasabah penyimpan.
b. Turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya.

4. Tugas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS1 
a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjatninan simpanan. b. Melaksanakan penjaminan simpanan. c. Merumuslcan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif mernelihara stabilitas sistem perbankan. d. Merumuskan, menetapkan. dan melaksanakan kebijabn penyelesaian bank gagal yang tidak berdampak sistemik. Melaksanakan penanganan Bank Gagal yang berdampak sistemik.

5. Wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 
a. Menetapkan dan memungut premi penjaminan.
b. Menetapkan dan memungut kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
c. Melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban LPS.
d. Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank sepanjang tidak melanggar kerahasiaan bank.
c. Melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data tersebut pada point d. 
f. Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan pembayaran klaim.
g. Menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS, guna melaksanakan scbagian tugas tertentu.
h. Melakukan penyuluhan kepada bank dan masyarakat tentang penjaminan simpanan.
i. Menjatuhkan sanksi administratif.

6. Simpanan Yang Dijamin LPS 
a. Simpanan yang dijamin meliputi giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu
b. Simpanan nasabah bank berdasarkan prinsip syariah yang dijamin, meliputi :
1) giro berdasarkan prinsip wadiah;
2) giro berdasarkan prinsip mudharabah;
3) tabungan berdasarkan prinsip wadiah;
4) tabungan berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqayyadah yang resikonya ditanggung oleh bank;
5) deposito berdasarkan prinsip mudharabah muthlaqah atau prinsip mudharabah muqayyadah yang risikonya ditanggung oleh bank;
6) simpanan berdasarkan prinsip spriah lainnya yang ditetapkan oleh LPS setelah mendapat pertimbangan LPP.
c. Simpanan yang dijamin mencakup pula simpanan yang berasal dari bank lain.
d. Nilai simpanan yang dijamin LPS mencakup saldo pada tanggal pencabutan izin usaha bank.
e. Saldo tersebut berupa:
1) pokok ditambah bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah, untuk simpanan yang memiliki komponen bagi hasil yang timbul dari transaksi dengan prinsip syarialr,
2) pokok ditambah bunga yang telah menjadi hak nasabah, untuk simpanan yang memiliki komponen bunga;
3) nilai sekarang per tanggal pencabutan izin usaha dengan menggunakan tingkat diskonto yang iercalat pada bilyet, untuk simpanan yang memiliki komponen diskonto.
f. Saldo yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank adalah hasil penjumlahan saldo seluruh rekening simpanan nasabah pada bank terubut, baik rekening tunggal maupun rekening gabungan (joint account).
g. Untuk rekening gabungan (joint account), saldo rekening yang diperhitungkan bagi satu nasabah adalah saldo rekening gabungan tersebut yang dibagi secara proram dengan jumlah pemilik rekening
h. Dalam hal nasabah memiliki rekening tunggal dan rekening gabungan (joint account), saldo rekening yang terlebih dahulu diperhitungkan adalah saldo rekening tunggal.
i. Dalam hal nasabah memiliki rekening yang dinyatakan secara tertulis diperuntukkan bagi kepentingan pihak lain (benefciary), maka saldo rekening tersebut diperhitungkan sebagai saldo rekening pihak lain (benefciary) yang bersangkutan
j. Sejak 13 Oktober 2008, saldo yang dijarnin untuk setiap nasabah pada satu bank adalah paling banyak sebesar Rp2 Miliar.

Perlindungan bagi deposan/penyimpan dana pada institusi perbankan memiliki manfaat bagi berbagai pihak, baik bagi para nasabah, bagi bank itu sendiri, dan juga bagi tercapai stabilitas perekonomian nasional. Bagi nasabah yang menyimpan dananya di institusi perbankan, adanya program penjaminan melalui LPS akan memberikan perlindungan bagi deposan dalam bentuk rasa aman seltingga terdapat kepastian akan nasib simpanannya yang dimasukkan dalam institusi perbankan.
Perbankan juga diuntungkan karena akan rnenciptakan stabilitas pendanaan sehingga terhindar dari potensi likuidasi yang diakibatkan oleh penarikan dana secara besar-besaran, demikian juga pemerintah akan menjamin stabilitas dan keamanan karena penjaminan tersebut memberikan ketenangan bagi deposan dan perbankan guna menjamin stabilitas keamanan negara.



KEGIATAN BELAJAR 2 
MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI BANK

A. FUNGSI MERGER, KONSOLIDASI, DAN AKUISISI 
Sistem perbankan dewasa ini sangat dimungkinkan terjadi merger, konsolidasi maupun akuisisi. keberadaan kegiatan tersebut dapat dikarenakan untuk meningkatkan modal perbankan ataupun peralihan kepcmilikan karcna proses penjualan maupun pengambilalihan (take over) schingga pelaksanaan merger, konsolidasi, dan akuisisi dapat dilakukan atas: a) inisiatif dari bank yang bersangkutan; atau b) atas permintaan Bank Indonesia; atau c) inisiatif badan khusus yang bersifai sementara dalam rangka penyehatan perbankan.

Perbankan memiliki peran yang strategis karena fungsi utama perhankan sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat dalam rangka menunjang perekonomian nasional. Dalam kehidupan perekonomian yang semakin terbuka dan berkembang cepat, dibutuhkan layanan jasa perbankan yang semakin luas, baik. dan berkualitas. Sehubungan dengan hal tersebut diperlukan sistem perbankan yang schat, efisien, mampu bersaing dalam era globalisasi dan perdagangan bebas. Untuk itu, perbankan perlu didorong untuk memperkuat dirinya melalui berbagai upaya, antara lain merger, konsolidasi, dan akuisisi.
Sinergi antara dua bank atau lebih dapat terjadi akibat dari merger dan konsolidasi sehingga diharapkan muncul bank yang kuat dengan kinerja yang lebih baik. Demikian juga, akuisisi bank dapat menunjang terciptanya sistem perbankan yang sehat dan efisien melalui masuknya investor yang mcmpunyai modal kuat. Saat ini banyak bank-bank asing sudah mulai mengakuisisi bank-bank Indonesia. Demikian juga peleburan hasil konsolidasi Bank Mandiri dari Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim. dan Bank Pembangunan Indonesia. Bank CIMB Niaga peleburan dari Bank Lippo dan Bank Niaga.

B. PERLINDUNGAN DALAM KEGIATAN NIERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI 

Kegiatan merger, konsolidasi, dan akuisisi tentu tidak dapat dilakukan tanpa memperhatikan kepentingan para pemegang saham minoritas, karyawan, dan juga para nasabah yang telah diatur dalam ketentuan Peraturan Pemerintah RI No. 28 Tahun 1999, perlindungan yang harus diperhatikan dalam hal ini adalah sebagai berikut :
1. Merger, konsolidasi, dan akuisisi bank yang dilakukan atas inisiatif bank yang bersangkutan, wajib terlebih dahulu memperolch izin dari pimpinan Bank Indonesia, izin ini berlaku pula untuk merger dan konsolidasi yang dilakukan atas inisiatif hadan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan (Pasal 4).

2. Merger, konsolidasi, dan akuisisi bank dilakukan dengan memperhatikan kepentingan bank, kreditor, pemegang saham minoritas dan  karyawan bank; dan kepentingan rakyat banyak dan persaingan yang sehat dalam melakukan usaha bank (Pasal 5).

3. Merger, konsolidasi, dan akuisisi tidak mengurangi hak pemegang saham minorims untuk menjual sahamnya dengan harga yang wajar, jika hal ini diajukan oleh pemegang saham minoritas maka pelaksanaan merger, konsolidasi, dan akuisisi tidak dapat dihentikan (Pasal 6).

4. Merger, konsolidasi, dan akuisisi hanya dapat dilakukan dengan persetujuan rapat umum pemegang saham bagi bank yang berbentuk perseroan terbatas atau rapat sejenis bagi bank yang berbentuk hukum lainnya.

5. Merger, konsolidasi, dan akuisisi dilakukan berdasarkan keputusan rapat umum pemegang saham yang dihadiri olch pemegang saham yang mewakili sekurang-kurangnya 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara yang sah dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 3/4 (tiga per empat) bagian dari jumlah suara pemegang saham yang hadir.
Bagi bank yang berbentuk perscroan terbuka, dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak tercapai maka syarat kehadiran dan pengambilan keputusan ditetapkan scsuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang pasar modal.

6. Untuk dapat memperoleh merger atau konsolidasi, wajib dipenuhi persyaratan berikut ini. a) Telah memperoleh persetujuan dari rapat umum pcmcgang saham bagi bank yang berbentuk perseroan terbatas atau rapat sejenis bagi bank yang berbentuk hukum lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
b) Pada saat terjadinya merger atau konsolidasi, junilah aktiva bank merger atau konsolidasi tidak melebihi 20% (dua puluh per seratus) dari jumlah aktiva seluruh bank di Indonesia.
c) Permodalan bank hasil merger atau konsolidasi harus memenuhi ketentuan rasio kecukupan modal yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
d) Calon anggota direksi dan dewan komisaris yang ditunjuk tidak tercantum dalam daftar orang yang melakukan perbuaian tercela di bidang perbankan.

7. Akuisisi bank dilakukan dengan cara mengambil alih seluruh atau sebagian saham yang mengakibatkan beralihnya pengendalian Bank kepada pihak yang mengakuisisi. Pengambilalihan saham bank, baik secara langsung maupun melalui bursa efek, yang mengakibatkan kepemilikan saham oleh pemegang saham perorangan atau badan hukum menjadi lebih dari 25% (dua puluh lima per seratus) dari saham bank yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara, dianggap mengakibatkan beralihnya pengendalian bank, kecuali yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.
Pengambilalihan saham bank yang mengakibalkan kepemilikan saham oleh pihak yang mengambil alih menjadi 25% (dua puluh lima per seratus) atau kurang dari saham bank yang telah dikeluarkan dan mempunyai hak suara dianggap tidak mengakibatkan beralihnya pengendalian bank, kecuali yang bersangkutan menyatakan kehendaknya untuk mengendalikan atau dapat dibuktikan bahwa yang bersangkutan secara langsung atau tidak langsung mengendalikan bank tersebut.

8. Untuk memperoleh izin, akuisisi wajib dipenuhi persyaratan berikut ini.
a) Telah memperoleh persetujuan rapat umum pemegang saham dari bank yang akan diakuisisi atau rapat sejenis dari bank yang berbadan hukum bukan perseroan terbatas.
b) Pihak yang melakukan akuisisi tidak tercantum dalam daftar omng yang melakukan perbuatan tercela di bidang perbankan.
c) Dalam hal akuisisi dilakukan oleh bank maka bank wajib memenuhi ketentuan mengenai penyertaan modal oleh bank yang diatur oleh Bank Indonesia.

C. KEGIATAN MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI 
Ketentuan merger, akuisisi, dan konsolidasi perbankan terlepas dari kedudukan badan hukum institusi perbankan tersebut. Berikut ini, bentuk-bentuk upaya merger, akuisisi, dan konsolidasi adalah sebagai berikut :

1. Merger 
Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah R1 No. 28 Tahun 1999 tentang merger, konsolidasi, dan akuisisi (PP No. 28 Tahun 1999), menyebutkan bahwa merger adalah penggabungan dari 2 (dua) bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya tanpa melikuidasi terlebih dahulu.
Sedangkan pengertian merger menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum, hal ini dapat digambarkan merger dalam bagan berikut ini:








Merger dari beberapa jenis dan bentuk yaitu: 

a. Merger horizontal 
Merger horizontal merupakan merger di antara dua atau lebih perusahaan di mana semua perusahaan tersebut bergerak pada bidang bisnis (line of business) yang sama.

b. Merger vertikal 
Merger vertikal merupakan suatu gabungan di antara dua perusahaan atau lebih dengan mana yang satu bertindak sebagai supplier bagi yang lainnya. Jadi, hubungan bisnis mereka merupakan hubungan produser dengan supplier atau hubungan dari hulu ke hilir.

c. Merger kon-generik 
Merger kon-generik merupakan merger antara perusahaan yang saling berhubungan satu sama lain, yang mempunyai kesamaan sifat produksinya, tetapi belum dapat dikatakan sebagai produsen terhadap produk yang sama (horizontal) dan bukan juga hubungan antara produsen dan supplier (vertikal).
Sumber lain memberikan pengenian merger kon-generik sebagai merger di antara dua atau lebih perusahaan yang saling berhubungan, tetapi bukan terhadap produk yang sama. Contohnya, yaitu merger antara bank dengan perusahaan leasing.

d. Merger kongiomerasi 
Merger konglomerasi merupakan gabungan antara dua perusahaan atau lebih yang sama sekali tidak punya keterkaitan bidang usaha satu sama lain. Contohnya, yaitu perusahaan pengobatan alternatif bergabung dengan perusahaan operator telepon seluler nirkabel.


2. Tata Cara Merger 
a. Direksi bank yang akan menggabungkan diri dan menerima penggabungan, masing-masing menyusun usulan rencana merger. Usulan sebagaimana dimaksud wajib mendapat persetujuan komisaris dan sekurang-kurangnya memuat:
1) nama dan tempat kedudukan bank yang akan melakukan merger:
2) alasan serta penjelasan masing-masing direksi bank yang akan melakukan merger dan persyaratan merger;
3) tata cara konversi saham dari masing-masing bank yang akan melakukan merger terhadap saham bank hasil merger;
4) rancangan perubahan anggaran dasar;
5) neraca, perhitungan laba rugi yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir dari semua bank yang akan melakukan merger; dan
6) hal-hal yang perlu diketahui oleh pemegang saham masing-masing bank antara lain :
a) neraca proforma bank hasil merger sesuai dengan standar akuntansi keuangan, serta perkiraan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan keuntungan dan kerugian serta masa depan bank yang dapat diperoleh dari merger berdasarkan hasil penilaian ahli yang independen;
b) cara penyelesaian status karyawan bank yang akan melakukan merger
c) cara penyelesaian hak dan kewajiban bank terhadap pihak ketiga;
d) cara penyelesaian hak-hak pemegang saham minoritas:
e) susunan, gaji dan tunjangan lain bagi direksi dan komisaris bank hasil merger;
i) perkiraan jangka waktu pelaksanaan merger,
g) laporan mengenai keadaan dan jalannya bank serta hasil yang telah dicapai;
h) kegiatan utama bank dan perubahan selama tahun buku yang sedang berjalan;
i) rincian masalah yang timbul selama tahun buku yang sedang berjalan yang mempengaruhi kegiatan bank;
j) nama anggota direksi dan komisaris; dan
k) gaji dan tunjangan lain bagi anggota direksi dan komisaris.

b. Dalam hal bank akan melakukan merger tergabung dalam 1 (satu) grup atau antargrup, usulan rencana merger memuat neraca konsolidasi dan neraca proforma dari bank hasil merger. Usulan sebagaimana dimaksud dalam poin a. merupakan bahan untuk menyusun rancangan merger yang disusun bersama oleh direksi bank yang akan melakukan merger.
Selain hal-hal sebagaimana dimaksud dalam poin a iersebut, rancangan merger harus memuat pcnegasan dari bank yang akan menerima penggabungan mengenai penerimaan peralihan segala hak dan kewajiban dari bank yang akan menggabungkan diri.
c. Sebelum pemanggilan rapat umum pemegang saham masing-masing bank, direksi berkewajiban untuk mengumumkan ringkasan rancangan merger selambat-lambatnya:
1) 30 (tiga puluh) hari sebelum rapat umum pemegang saham dalam 2 (dua) surat kabar harian yang peredarannya luas;
2) 14 (empai belas) hari sebelum rapat umum pemegang saham kepada karyawan bank secara tertulis:
3) khusus untuk bank perkreditan rakyat yang asetnya kurang dari Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah), pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat dilakukan dengan cara lain.
d. Rancangan Merger sebagaimana dimaksud poin a berikut konsep akta merger, wajib disampaikan kepada rapat umum pemegang saham masing-masing bank. Konsep akta merger yang telah mendapat persetujuan rapat umum pemegang dituangkan dalam akta merger yang dibuat di hadapan notaris dalam bahasa Indonesia.
e. Setelalt memperoleh persetujuan rapat umum pemegung saham untuk melakukan merger, direksi masing-masing bank secara bersama-sama mengajukan permohonan izin merger kepada Bank Indonesia dengan tembusan kepada menteri kehakiman, permohonan izin merger sebagaimana dimaksud diajukan dengan melampirkan akta perubahan anggaran dasar beserta akta merger, persetujuan atau penolakan atas permohonan merger diberikan oleh Bank Indonesia dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap, apabila dalam batas waktu sebagaimana dimalcsud Bank Indonesia tidak memberikan tanggapan atas permohonan izin merger, maka Bank Indonesia dianggap telah menyetujui permohonan izin merger.
f. Dalam hal perubahan anggaran dasar bank hasil merger memerlukan persetujuan Menteri Kehakiman maka bersamaan dengan pengajuan permohonan izin merger kepada Bank Indonesia, direksi bank hasil merger mengajukan permohonan persetujuan perubahan anggaran dasar kepada Menteri Kehakiman, diajukan secara tertulis dengan melampirkan akta perubahan angganan dasar dan akta merger.
Menteri Kehakiman hanya dapat memberikan persetujuan atas perubahan anggaran dasar bank hasil merger setelah memperoleh tembusan izin merger dari Bank Indonesia. Persetujuan atau penolakan Menteri Kehakiman atas permohonan sebagaimana dimaksud diberikan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah diperolelmya izin merger dari Bank Indonesia. Dalam hal permohonan ditolak maka penolakan tersebut harus diberitahukan kepada pemohon secara tenulis beserta alasannya.
g. Dalam waktu paling lama 30 (liga puluh) hari sejak akta perubahan anggaran dasar memperoleh persetujuan dari Menteri Kehakiman, direksi bank hasil merger wajib mendafiarkan akta perubahan anggaran dasar dalam daftar peruskaan dan mengumumkan dalam Tambahan Berita Negura Republik Indonesia.
h. Dalam hal perubahan anggaran dasar bank hasil merger tidak memerlukan persetujuan Menteri Kehakiman maka dalam jangka waktu paling lanta 14 (empat belas) hari terhitung sejak rapat umum pemegang saham, direksi bank hasil merger wajib melaporkan akta merger dan akta perubahan anggaran dasar tersebut kepada Menteri Kehakiman.
Menteri Kehakiman hanya dapat mengeluarkan surat tanda penerimaan laporan setelah diperolehnya izin merger dari Bank Indonesia dan direksi bank hasil merger dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak pencrimaan laporan olch Menteri Kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2), wajib mendaftarkan akta merger dan akta perubahan anggaran dasar dalam dafiar perusahaan, serta mengumumkan dalam tambahan berita negara.
i. Apabila merger dilaksanalcan sesuai dengan ketentuan maka bank yang menggabungkan diri bubar demi hukum, terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri Kehakiman atas perubahan anggaran dasar. Apabila merger dilaksanakan sesuai dengan ketentuan maka bank yang menggabungkan diri bubar demi hukum, terhitung sejak tanggal pendaftaran akta merger dan akta perubahan anggaran dasar dalam daftar perusahaan.
Bank yang mempunyai bentuk hukutn selain Perseroan Terbatas, berlakunya merger dan bubarnya bank yang menggabungkan diri mulai berlaku terhitung sejak tanggal persetujuan perubahan anggaran dasar bank hasil merger dari pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
j. Terhitung sejak tanggal penandatanganan rapat umum pemegang saham atas akta merger direksi bank yang menggabungkan diri tidak dapat melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan aset bank yang bersangkutan,  kecuali dalam rangka pelaksanaan merger jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud merupakan tanggung jawab direksi bank yang bersangkutan.
k. Direksi bank hasil merger wajib mengumumkan merger dalam 2 (dua) surat kabar harian yang peredarannya luas paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berlakunya merger. Khusus untuk bank perkreditan rakyat yang asetnya kurang dari Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah), pengumuman dapat dilakukan dengan cara lain.

3. Konsolidasi 
Pasal 1 Angka 3 PP No. 28 Tahun 1999 menyebutkan bahwa Konsolidasi adalah penggabungan dari 2 (dua) bank atau lebih, dengan cara mendirikan bank baru dan membubarkan bank-bank tersebut tanpa melikuidasi terlebih dahulu. 
Sedangkan menurut Pasal 1 Ayat 10 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, konsolidasi adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
Dalam hal ini dapat dikatakan juga bahwa dua pausahaan bergabung menjadi satu sehingga hilang bentuk badan hukum keduanya serta memunculkan badan hukum yang baru. Dalam hal ini penulis ingin menggambarkan konsolidasi dalam bagan berikut ini :




Keterangan: A dan B perusahaan yang akan dikombinasi C merupakan perusahaan baru sebagai hasil kombinasi dari konsolidasi.

Contoh: Peleburan hasil Konsolidasi Bank mandiri dari Bank Dagang Negara, Bank Bumi Daya, Bank Exim, dan Bank Pembangunan Indonesia. Bank CIMB Niaga peleburan dari Bank Lippo dan Bank Niaga.

4. Tata Cara Konsolidasi 
Prinsip kerja konsolidasi adalah sama dengan tata cara merger, terutama pada konsep memberikan keterbukaan dan proposal untuk melakukan konsolidasi. Berikut ini, hal yang membedakan tata cara konsolidasi tersebut :
a. Dalam waktu yang bersamaan dengan pengajuan izin konsolidasi kepada Bank Indonesia, direksi bank hasil konsolidasi wajib mengajukan permohonan persetujuan akta pendirian bank hasil konsolidasi kepada Menteri Kehakiman dengan tembusan kepada Bank Indonesia. Permohonan izin konsolidasi sebagaimana dimaksud melampirkan: 1) akta pendirian bank hasil konsolidasi., 2) akta konsolidasi.
b. Menteri Kehakiman hanya dapat memberikan persetujuan atas permohonan akta pengesahan pendirian bank hasil koasolidasi setelah terlebih dahulu memperoleh izin konsolidasi dari Bank Indonesia Persetujuan atau penolakan Menteri Kehakiman atas permohonan pengesahan sebagaimana diberikan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari setelah diperolehnya izin Konsolidasi dari Bank Indonesia.
Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud Menteri Kehakiman tidak memberikan tanggapan atas permohonan pengesahan maka Menteri Kehakiman dianggap telah mcnyetujui permohonan pengesahan dimaksud. Dalam hal permohonan pengesahan ditolak maka penolakan tersebut harus diberitahukan kepada pemohon secara tertulis beserta alasannya.
c. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) sejak akta pendirian bank hasil konsolidasi memperoleh persetujuan Menteri Kehakiman, direksi bank hasil konsolidasi wajib mendaftarkan akta pendirian bank hasil konsolidasi dalam daftar perusahaan dan mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
d. Bank yang meleburkan diri bubar terhitung sejak akta pendirian bank hasil konsolidasi disahkan oleh Menteri Kehakiman. 
e. Terhitung sejak tanggal penandatanganan akta konsolidasi, direksi bank yang meleburkan diri dilarang melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan aset bank yang bersangkutan, kecuali diperlukan dalam rangka pelaksanaan konsolidasi. Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut merupakan tanggung jawab direksi bank yang bersangkutan.

5. Akuisisi 
Menurut Pasal 1 Ayat 11 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perscroan Terbatas, akuisisi mcrupakan : perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut. Dalam mengambil alih saham maka perusahaan pengakuisisi membeli saham sampai jumlah saham perusahaan yang diakuisisi lebih banyak dimiliki oleh perusahaan yang mengakuisisi tersebut, dengan kata lain dalam hal ini pengambilalihan saham mayoritas tidak menghilangkan bentuk badan hukum dari perusahaan yang diakuisisi.
Pasal 1 Angka 3 PP No. 28 Tahun 1999 menyebutkan pengambilalihan (akuisisi) sebagai pengambilalihan kepemilikan suatu bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian terhadap bank. 




Keterangan: A =Perusahaan yang mengakuisisi B = Perusahaan Target Akuisisi (Perusahaan A dan B tetap ada setelah akuisisi terjadi)

6. Tata Cara Akuisisi 
Prosedur pelaksanaan akuisisi pada prinsip adalah sama dengan tata cara merger, terutama pada konsep memberikan keterbukaan dan proposal untuk melakukan akuisisi. Berikut ini hal yang membedakan tata cara akuisisi tersebut :
a. Pilhk yang akan mengakuisisi menyampaikan maksud untuk melakukan akuisisi kepada direksi bank yang alcan diakuisisi. Direksi Bank yang akan diakuisisi dan pihak yang akan mengakuisisi masing-masing menyusun usulan rencana akuisisi. Usulan sebagaimana dimaksud, masing-masing wajib mendapat persetujuan komisaris bank yang akan diakuisisi dan yang mengakuisisi atau lembaga serupa dari pihak yang mengakuisisi dengan memuat sekurang-kurangnya:
1) nama dan tempat kedudukan bank serta badan hukum lain, atau identitas perorangan yang melakukan akuisisi:
2) alasan serta penjelasan masing-masing direksi bank pengurus badan hukum atau perorangan yang melakukan akuisisi;
3) neraca, perhitungan laba rugi yang meliputi 3 (tiga) tahun buku terakhir, terutama perhitungan tahunan tahun buku terakhir dari bank dan badan hukum lain yang melakukan akuisisi;
4) tata cara konversi saham dari masing-masing pihak yang melakukan akuisisi apabila pembayaran akuisisi dilakukan dengan saham,
5) rancangan perubahan anggaran dasar bank hasil akuisisi;
6) jumlah saham yang akan diakuisisi:
7) kesiapan pendanaan;
8) cara penyelesaian hak-hak pemegang saham minoritas;
9) cara penyelesaian status karyawan dari bank yang akan diakuisisi;
10) perkiraan jangka waktu pelaksanaan akuisisi.
b. Usulan sebagaimana dimaksud dalam poin a merupakan bahan untuk menyusun rancangan akuisisi yang disusun bersama antara direksi bank yang akan diakuisisi dengan pihak lain yang akan mengakuisisi.
c. Rancangan akuisisi sebagaimana dimaksud sekurang-kurangnya memuat hal-hal yang tercantum dalam usulan tencana akuisisi sebagaimana dimaksud dalam poin a.
d. Sebelum pemanggilan rapat umum pemegang saham masing-masing bank, direksi berkewajiban untuk mengumumkan ringkasan rancangan akuisisi selambat-lambatnya : a) 30 (tiga Puluh) hari sebelum Rapat Umum Pemegang Saham dalam 2 (dua) surat kabar harian yang peredarannya luas; b) 14 (empat belas) hari sebelum rapat umum pemegang saham kepada karyawan bank secara tertulis. Khusus untuk Bank Perkreditan Rakyat yang asetnya kurang dari Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah), dapat dilakukan dengan cara lain. 
e. Rancangan akuisisi berikut konsep akta akuisisi wajib mendapatkan persetujuan dari : a) rapat umum pemegang saham bank yang akan diakuisisi; dan b) pihak yang akan melakukan akuisisi. Rancangan akuisisi berikut konsep akta akuisisi yang telah disetujui dituangkan dalam akta akuisisi.
f. Akuisisi bank mulai berlaku sejak tanggal penandatanganan akta akuisisi. Akta Akuisisi dibuat dan ditandatangani setelah adanya izin akuisisi dari Bank Indonesia. 

Kreditor dan para pemegang saham minoritas dapat mengajukan keberatan kepada Bank paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum pemanggilan rapat umum pemegang saham yang akan memutus mengenai rencana merger, konsolidasi, dan akuisisi yang telah dituangkan dalam rancangan tersebut.
Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud, kreditor dan para pemegang saham minoritas tidak mengajukan keberatan maka kreditor dan pemegang saham minoritas dianggap menyetujui merger, konsolidasi, dan akuisisi. Keberatan kreditor dan pemegang saham minoritas disampaikan dalam rapat umum pemegang saham guna mendapat penyelesaian. Selama penyelesaian sebagaimana dimaksud belum tercapai maka merger, konsolidasi, dan akuisisi tidak dapat dilaksanakan.

D. PERATURAN TENTANG MERGER, KONSOLIDASI DAN AKUISISI 
1. UU RI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)
2. Peraturan Pemerintah Indonesia No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
3. Peraturan Pemerintah Indonesia No. 28 Tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi.
4. Peraturan Pemerintah Indonesia No. 57 Tahun 2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha atau Pengambilalihan saham yang dapat mengakibatkan terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tindak Sehat,
5. SK Direksi BI No. 32/5I/Kep/Dir tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Umum. 
6. SK Direksi BI No. 32/52/Kep/Dir tentang Persyaratan dan Tata cara merger, Konsolidasi, dan Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat.
7. Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-52/PM/1997 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten. 




MODUL 5
KEGIATAN BELAJAR 1 
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP RAHASIA BANK

Rahasia Bank merupakan suatu sistem perbankan yang memberikan batasan-batasan terhadap pihak-pihak tertentu untuk dapat melakukan akses terhadap sistem dalam suatu perbankan pihak-pihak tertentu tersebut dapat dikatakan merupakan pihak yang hubungan langsung dengan perbankan (nasabah atau bank) autupun pihak lain yang memiliki kepentingan secara tidak langsung terhadap perbankan tersebut, tetapi perannya sangat penting untuk pelindungan masyarakat akibat perbuatan perbankan ataupun nasabah bank, seperti penegak hukum, pengadilan, dan pihak tertentu yang diberikan kewenangan oleh peraturan perundang-undangan. Sistem perbankan tersebut juga membuat hal-ha1 yang dapat dikategorikan sebagai rahasia bank maupun yang bukan mhasia bank.

A. SEJARAH RAHASIA BANK 
Rahasia bank awalnya lahir dari hubungan kontraktual antara nasabah dan perbankan. Dalam sistem comon law sistem mengambil contoh dalam kasus Tournier vs Union Bank of Engiand (1924), pengadilan menempatkan 4 (empat) kualifikasi kapan rahasia bank dibuka: 1) disclosure under compulsion of law, 2) disclosure arising from a duty of pubfic, 3) disclosure to protect the bank interes, dan 4) disclasure by the express or implied consent of the customer. Kasus ini merupakan cikal bakal adanya rezim rahasia bank di Eropa, dalam hal ini diharuskan bagi bank untuk tidak mengungkapkan keadaan keuangan nasabah bank yang bersangkutan kepada pihak lain, tetapi pada saat itu tidak semua setuju dengan leading case dalam rahasia bank tersebut sehingga pengaturannya belum dilakukan secara nasional di Inggris.

Perkembangan regulasi rahasia bank sangat berkembang di negara Swiss pada tahun 1934 telah mengeluarkan regulasi tentang rahasia bank dalam Swiss Banking Act, dengan rcgulasi ini maka scluruh uang yang disimpan di negara Swiss dijamin kerahasiaannya sehingga tidak semua pihak dapat menerima informasi tentang dana nasabah dalam perbankan tersebut bahkan dana-dana yang diyakini berasal dari suatu tindak pidana, misalnya pencucian uang maupun tindak pidana lainnya tidak secara otomatis negara korban dupat menerima informasi dana nasabah tersebut apalagi mengambil (consification) dana tersebut.
Prinsip rahasia bank yang digunakan di Swiss, yaitu kerahasiaan dilindungi oleh undang-undang, dengan Hukum yang berlaku di negara Swiss membatasi secara tcgas batasan-batasan informasi yang dapat dibagikan kepada pihak ketiga, termasuk petugas perpajakan, pemerintali negara lain ataupun juga kepada pemerintah Swiss sendiri kecuali 
atas perintah dari pengadilan Swiss.
Pada tahun 2000 atas desakan dan tekanan dari negara-negara yang tergabung dalam G20 dan OECD, pemerintah Swiss mengumumkan akan menghapus pengetatan rahasia bank khusus untuk kepentingan kcjahatan perpajakan yang dilakukan terhadap negara asing yang dananya disimpan di bank Swiss.

Amerika Serikat (USA) memiliki regulasi rahasia bank dalam US Bank Secrecy Act 1970 (BSA), regulasi tentang pelaporan transaksi lembaga keuangan kepada pemerintah untuk mencegah dan mengawasi tindak pidana pencucian uang. Khususnya untuk mencatat transaksi perbankan dengan menggunakan uang tunai yang nilai transaksinya di atas US$10.000.000 dan mclaporkan transaksi yang mcncurigakan dari kegiatan pencucin uang, penghindaran pajak, atau kegiatan tindak pidana lainnya.

Pada tahun 2001 kembali pemerintah Amerika Scrikat mengeluarkan USA Patriot Act, mengatur pembaharuan ketentuan perbankan di Amerika Serikat untuk membatasi sistem rahasia bank. Hal ini tidak terlepas dari pendanaan terorisme schingga diwajibkan bagi bank untuk tidak melayani perbankan yang dikirim dari luar negeri dan memastikan apakah nasabah tersebut warga negara Amerika atau tidak, jika tidak maka mereka harus menyebutkan kepentingan dan alasan-alasan pengiriman uang baik ke dalam 
dan luar ncgara Amerika Scrikat. 

Negara-negara yang menganut sistem rahasia bank yang ketat, seperti Swiss, Austria, Luxembourg banyak dijadikan tujuan penyimpanan terhadap penghindaran pajak dari negara-negara lain, baik dari Eropa, Amerika, Afrika, maupun Asia sehingga mereka menekan untuk tidak menerapkan terlalu ketat terhadap sistem rahasia bank yang dapat digunakan oleh pelaku tindak pidana dari negara lain untuk menyimpan uangnya di negara tersebut. Pada tahun 2013 Presiden Swiss sendiri pernah mengkritik terhadap rahasia bank di ncgara Swiss dengan mendeklarasikan sebagai "perbandingan" dengan "medical confidentiality" (kerahasiaan catatan medik). 

B. PENGERTIAN RAHASIA BANK 
Pengertian rahasia bank olch Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 diberikan oleh Pasal 1 Ayat (16) yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut :
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. 

Pengertian ini telah di ubah dengan pengertian baru oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Oleh Undang-Undang itu rumusan yang baru diberikan dalam Pasal 1 Ayat (28) Undang-Undang No. 10 tahun 1998 yang lengkapnya berbunyi scbagai berikut:
Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan degan keterangan mengenal nasabah penyimpanan dan simpanannya. 

Selain memberikan rumusan dari pengertiannya, Undang-Undang Perbankan juga memberikan rumusan mengenai delik rahasia bank. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 memberikan rumusan delik rahasia bank sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 Ayat (1). Bunyi lengkap dari rumusan delik rahasia bank menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 adalah :
Bank dilarang memberikan keterangan yang tercatat pada bank tentang keadaan keuangan dan hat-hal lain dari nasabahnya, yang wajib dirahasiakan oleh bank menurut kelaziman dalam dunia perbankan, kecuali dalam hal sebagaimana di maksud dalam Pasal 41, 42, 43 dan 44. 

Rumusan delik rahasia bank tersebut di atas telah diubah dengan rumusan yang baru, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Ayat (1) dari Undang-Undang No. 10 tahun 1998. Rumusan yang baru itu lengkapnya herbunyi sebagai berikut :
Bank wajib merahasiakan keterangan mengenal nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44 A. 


C. TEORI RAHASIA BANK 
Ada anggapan sebahagian orang bahwa kerahasiaan bank bisa mcrugikan masyarakat, nasabah nakal bisa berlindung pada ketentuan rahasia bank, kerahasiaan bank harus dibuka untuk kepentingan para penitip dana dan sebagainya. Sedangkan di pihak lain menghendaki dan menegaskan bahwa bank harus memegang teguh rahasia bank karena masyarakat hanya akan mempercayakan uangnya pada bank atau memanfaatkan jasa bank apabila dari pihak bank ada jaminan bahwa pengetahuan bank tentang simpanan dan keadaan keuangan nasabah tidak akan disalahgunakan.

Dengan demikian, terdapat 2 bentuk Teori rahasia bank yang diterapkan di masing-masing negara : 
1. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Mutlak (Absolute Theory) 
Menurut teori ini bank mempunyai kewajiban untuk menyimpan rahasia atau keterangan-keterangan mengenai nasabahnya yang diketahui bank karena kegiatan usahanya dalam keadaan apa pun juga, dalam keadaan biasa atau dalam keadaan luar biasa. Tcori ini semangat menonjolkan kepentingan individu, sehingga kepentingan negara dan masyarakat sering terabaikan. 
2. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Relatif 
Menurut teori ini bank diperbolehkan membuka rahasia atau memberi keterangan mengenai nasabahnya, jika untuk kepentingan yang mendesak, misalnya untuk kepentingan negara atau kepentingan hukum. Teori ini banyak dianut oleh bank-bank di banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia. Adanya pengecualian dalam ketentuan rahasia bank memungkinkan untuk kepentingan tertentu suatu badan atau instansi diperbolehkan meminta keterangan atau data tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 

Tidak ada suatu negara di dunia yang memiliki ketentuan rahasia bank yang bersifat mutlak, selalu ada pengecualian yang biasanya dikaitkan dengan kepentingan yang lebih besar seperti demi kepentingan umum.
Dalam pengaturan rahasia bank ini terdapat dua ajaran yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, yakni pendapat yang menganggap rahasia bank tersebut "bersifat mutlak" dan pendapat yang "bersifat relatif (Yunus Husein. 2010:117-118). Pendapat yang menyatakan rahasia bank bersifat mutlak mendasarkan pertimbangan bahwa keterangan tentang nasabah dan keadaan keuangannya harus dirahasiakan dalam segala situasi dan kondisi tanpa kecuali. Sebaliknya yang berpendapat bahwa rahasia bank bersifat rclatif menganut paham bahwa keterangan tentang nasabah dan keadaan keuangannya harus dirahasiakan dalam batas-batas tertentu dan terdapat kemungkinan untuk mencrobosnya dengan alasan yang khusus seperti untuk kepentingan umum.
Di kebanyakan negara terdapat alasan untuk membuka rahasia bank karena ketentuan hukum yang mewajibkannya seperti panggilan atau penggeledahan pihak yang berwajib, atau demi mencegah terjadinya tindak pidana, serta adanya panggilan Grand Jury (Yunus Husien, 2010:118).

Perlindungan yang diberikan bagi nasabah penyimpan sebagaimana yang disebutkan di atas sebenamya masih kurang memadai karena sifatnya yang hanya menyangkut perlindungan atas informasi, bukan perlindungan yang menyangkut segi risiko finansial. Apabila bank mengalami kebangkrutan yang akan mengancam kemungkinan pengembalian simpanan kepada para nasabht maka ketentuan yang berlaku saat ini hanya mengatur bahwa asuransi simpanan untuk masing-masing nasabah penyimpan maksimum sebesar Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah) dari keseluruhan simpanannya yang ada di bank tertentu. ltu pun jika bank tempat nasabah menyimpan dana mengikuti program penjaminan simpanan yang ditempkan oleh pemerintah.

Pada umumnya, setiap negara memberlakukan sistem rahasia bank secara ketat dan fleksibel sebagaimana negara Swiss, Austria, Swiss Luxemburg, dan Singapura. ada juga negara-negara yang fleksibel dalam penerapan rahasia bank, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Pada umumnya, negara yang menganut rahasia bank secara ketat, tidak akan mcmberikan keterangan sehubungan dengan nasabahnya, baik identitas, jumlah dana, maupun asal usul uang dana simpanannya dengan alasan apapun juga di luar dari putusan pengadilan yang telah memerintahkan untuk memberikan kepada pihak yang berwajib, hal ini pun harus atas perintah pengadilan di mana bank tersebut berkedudukan.
Kedudukan individu nasabah sangat diutamakan dengan mengabaikan kepentingan umum dan negara sekalipun. Sedangkan dalam sistem perbankan fleksibel dalam rahasia bank, dapat memberikan keterangan kepada pihak ketiga jika dalam keadaan mendesak, bahkan dalam saat proses penyidikan dan penuntutan bank dapat memberikan informasi schubungan dengan nasabah dan simpanannya kepada kepolisian dan atau kejaksaan sehubungan dengan dana nasabahnya, hal ini tentu mengutamakan kepentingan negara dalam rangka penclusuran asal usul dana yang disangkakan berasal dari suatu tindak pidana.


D. RUANG LINGKUP RAHASIA BANK DI INDONESIA 

UU No. 10 Tahun 1998 tidak memberikan perlindungan dalam bentuk kerahasiaan bank bagi nasabah debitur. Yang harus dirahasiakan bank hanya nasabah penyimpan dan simpanannya saja, tidak termasuk nasabah debitur meskipun nasabah debitur dimaksud termasuk debitur yang lancar dan taat terhadap ketentuan yang disyaratkan.
Menurut ketentuan yang ada, seluruh fasilitas kredit yang kolektibilitasnya lancar, di bawah pengawasan khusus, kurang lancar, diragukan, dan macet termasuk yang tidak dilindungi oleh ketentuan rahasia bank. Dalam hal ini, kelihatan bahwa UU No. 10 Tahun 1998 kurang memerhatikan rasa kcadilan karena masing-masing kolektibilitas tersebut berbeda-beda implikasinya terhadap dunia perbankan dan perekonomian secara kescluruhan.

Catatan yang dapat diberikan terhadap ketentuan rahasia bank di Indonesia adalah bahwa peraturan perundang-undangan tidak melihat nasabah perbankan sebagai suatu kesatuan yang utuh, melainkan memilah-milah nasabah berdasarkan kepentingannya. Padahal mungkin saja seorang nasabah debitur merangkap scbagai nasabah penyimpan, umpamanya dalam hal dana yang dimiliki nasabah pada suatu saat masih menganggur, sedang komitmen yang akan ditunaikan nasabah debitur dimaksud belum jatuh tempo. Dana nasabah debitur ini tentunya akan disimpan di bank dalam bentuk deposito atau sertifikat deposito, menunggu dipergunakan untuk membayar kewajibannya. Apakah untuk nasabah yang demikian ini ketentuan rahasia bank yang hanya melihat satu sisi saja dapat dipertahankan secara konsisten?

Kasus-kasus yang muncul berkaitan dengan rahasia bank biasanya berkisar pada pengaturan mengenai rahasia bank yang kurang lengkap sehingga untuk hal-hal tertentu terdapat keragu-raguan dalam penerapannya.
Sebagian permasalahan tersebut sudah terpecahkan dengan berlakunya UU No. 10 Tahun 1998 yang menetapkan bahwa ruang lingkup rahasia bank hanya meliputi nambah penyimpan dan simpanannya saja. Namun demikian, masih timbul pertanyaan apa yang dimaksud dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya. Tidak terdapat penjelasan lebilt lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan frase "segala sesuatu yang berhubungan dengan" maupun frase "keterangan mengenai nasabah penyimpan dana dan simpanannya" (Yunus Husien, 2010:118).
Oleh karena itu, dapat timbul keragu-raguan apakah keterangan yang hanya menyangkut nama dan alamat seorang nasabah penyimpan yang merupalcan identius umumnya termasuk ke dalam data yang harus dirahasiakan? Juga menjadi pertanyaan apakah ketentuan rahasia bank menyangkut para nasabah yang masih aktif atau yang sudah tidak menjadi nasabah lagi dalam kurun waktu relatif lama. Mengenai ini tidak terdapat informasi lebih lanjut.
Untuk melihat sejauh mana kerahasiaan informasi dan keuangan mantan nasabah harus dijaga, mungkin dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan lain yang tersedia dalam ketentuan perundang-undangan kita.
Pertama, Pasal 44A UU Perbankan yang menyatakan bahwa dalam hal nasabah penyimpan tclah meninggal dunia maka ahli waris yang sah berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut.
Kedua, Pasal 322 Ayat (1) KUHP yang menyebutkan bahwa "Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak sembilan juta rupiah".
Atas dasar ketentuan-ketentuan tersebut maka data simpanan mantan nasabah menjadi wajib untuk dirahasiakan. Namun demikian, tidak terdapat rumusan yang pasti untuk data yang tercatat sampai seberapa lama harus berada di dalam catatan administrasi bank. Ketentuan rahasia bank yang bersifat relatif yang kita miliki kelihatannya perlu untuk disempurnakan di masa-masa mendatang. Jangan sampai dengan alasan untuk menjaga kerahasiaan bank, justru kita mencipiakan ketidakadilan baru dengan menutup-numpi uang haram yang tersimpan di dunia perbankan.
Dengan alasan rahasia bank seperti ini dapat saja terjadi penyembunyian informasi atas nasabah tenentu. Kasus yang terjadi di PT. Bank Century Tbk, di mana scorang nasabah diperkenankan menarik dana yang ditengarai merupakan hasil bail-out dari LPS, yang karena atuan rahasia bank tidak dapat ditelusuri dengan baik oleh DPR.
Dari uraian terdahulu dapat diketahui bahwa untuk memahami ketentuan perundang-undangan mengenai rahasia bank di Indonesia tidak cukup dengan melihat UU Perbankan dan UU Bank Indonesia karena terdapat ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang menyangkut hal itu terutama dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang.
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 ternang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memperjelas kerahasiaan bank di Indonesia yang bersifat relatif, di mana UU dimaksud memberikan 3 (tiga) jenis pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank :
1. Pasal 22 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 yang menyebtakan bahwa Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit RpI50.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000 (enam ratus juta rupiah).

Pasal 29
a) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
b) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada Gubemur Bank Indonesla sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c) Gubemur Bank Indonesla berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selamba-lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
d) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa
e) Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak dlperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari itu juga mencabut pemblokiran.

Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank mengenai harta milik tersangka atau terdakwa, Gubernur Bank Indonesia berkewajiban memberikan data-data tersebut apa bila terdapat bukti yang cukup untuk menempkan tersangka menjadi terdakwa, dengan tidak diindahkannya perintah tersebut maka setiap orang yang tidak memberikan data dikenakan sanksi pidana.

2. Pasal 45 UU No. 8 Tahun 2010, yang menyebutkan bahwa dalam melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap PPATK tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode ctik yang mengatur kerahasiaan. yang dimaksud dengan "kerahasiaan" antara lain rahasia bank, rahasia nonbank, dan sebagainya.

3. Pasal 72 Ayat (2) UU No. 8 Tahun 2010, yang menyebutkan bahwa dalam memintakan keterangan, terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan undang-undang yang mengatur tentang mhasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.


E. PIHAK-PIHAK YANG BERKEWAJIRAN MERAHASIAKAN 

Menurut Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang berkewajiban memegang teguh rahasia bank ialah :
1. anggota dewan komisaris bank dan anggota direksi bank;
2. pegawai bank:
3. pihak terafiliasi lainnya dari bank.

1. Pengertian Pegawai Bank 
Siapa sajakah yang dapat dikategorikan sebagai "pegawai bank" yang dimaksudkan dalam Pasal 47 Ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.  Menurut penjelasan dari Pasal 47 Ayat (2) yang dimaksudkan dengan "pegawai bank" adalah "semua pcjabat dan karyawan bank". Menurut hemat saya, lingkup sasaran tindak pidana rahasia bank ini terlalu luas dan tidak realistis. Dengan pengertian bahwa "pegawai bank" adalah "semua pejabat dan karyawan bank" maka berarti rahasia bank berlaku bagi siapa saja yang menjadi pegawai bank, sekalipun pegawai bank tersebut tidak mempunyai akses sama sekali terhadap atau tidak mempunyai hubungan sama sekali dengan nasabah penyimpan dan simpanannya, misalnya para pelayan, satpam, pengemudi, juru ketik di unit logistik, para pegawai di unit yang mengurusi kendaraan dan masih banyak lagi contoh yang dapat dikemukakan.

2. Kewajiban Merahasiakan Bagi Mantan Pegawai Bank 
Seorang pegawai bank tidak selamanya menjadi pegawai dari bank yang bersangkutan. Yang bersangkutan akan : (1) menjalani pensiun setelah masanya tiba, atau (2) berhenti atas permintaan sendiri, atau (3) diberhentikan oleh bank tempatnya bekerja.
Beberapa waktu yang lalu banyak pcgawai bank yang terpaksa terkena PHK massal karena banyak bank dilikuidasi, atau dibekukan kegiatan usahanya. Timbul pertanyaan, bila pegawai bank itu sudah tidak lagi menjadi pegawai, apakah mantan pegawai itu masih tetap terkena oleh kewajiban untuk memegang teguh rahasia bank yang menjadi kewajibannya sewaktu yang bersangkutan masih menjadi pegawai aktif dari bank yang bersangkutan? Ternyata Undang-Undang No. Tahun 1992 maupun Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tidak mengaturmya.

Beberapa negara menentukan bahwa mantan pengurus dan pegawai bank terikat olch kewajiban rahasia bank. Ada yang menentukan keterikatannya berakhir setelah beberapa tahun sejak saat yang bersangkutan berhenti sebagai pengurus atau pegawai bank; ada pula yang menentukan kewajiban tersebut melekat terus seumur hidup.

Undang-Undang Perbankan Indonesia seyogianya menentukan secara tegas bahwa kewajiban merahasiakan itu berlaku terus sekalipun seseorang telah tidak lagi menjadi pengurus atau pegawai bank. Hanya saja perlu diperdebatkan apakah keterikatannya pada kewajiban itu perlu ditentukan batas waktunya ataukah sebaiknya diberlakukan terus seumur hidup. Sebaiknya diberlakukan untuk jangka waktu tertentu saja scjak yang bersangkutan tidak lagi menjadi pegawai, misalnya untuk janglca waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tidak lagi menjadi pegawai.

3. Pengerilan Pihak Terafiliasi lainnya 
Siapa sajakah yang dimaksudkan dengan pihak terafiliasi lainnya dari bank itu? Mengenai siapa yang dimaksudkan sebagai pihak yang terafiliasinya ditentukan di dalam Pasal 1 Ayat (22) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 1 Ayat (22) tersebut yang dimaksudkan dengan "pihak temfiliasi" ialah :
a. anggota dcwan komisaris, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau karyawan bank:
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola, atau kuasanya, pcjabat atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku:
c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.

Jadi, yang dimaksudkan olch Pasal 47 dengan pihak terafiliasi lainnya ialah selain anggota dewan komisaris, direksi dan pegawai bank adalah siapa pun yang memberikan jasanya kepada bank (seperti akuntan publik dan konsultan hukum dan pemegang saham dan keluarganya serta keluarga pengurus bank).



KEGIATAN BELAJAR 2 

HAK YANG DIKECUALIKAN DALAM RAHASIA BANK DAN SANKSI

Setelah memahami pengertian rahasia bank dan pihak-pihak yang terkait dengan rahasia bank dalam Kegiatan Belajar I, berikut kita akan membahas pihak-pihak yang dikecualikan dalam rahasia bank yang dapat dikategorikan menjadi pihak-pihak yang telah diatur dalam ketentuan undang-undang perbankan dan undang-undang lain yang mengatur tentang pengecualian tersebut.

A. PENGECUAL1AN KETENTUAN RAHAS1A BANK MENURUT UU NO. 7 TAHUN 1992 JO UU NO. 10 TAHUN TENTANG PERBANKAN

Pengecualian terhadap ketentuan rahasia bank dalam UU No. 7 Tahun 1992 jo UU No. 10 Tahun 1998 adalah mengacu kepada ketentuan Pasal 40 Ayat (1) UU No. 10 Taltun 1998 yang menentukan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.

Berdasarkan ketentuan Pasal 40 Ayat (1) tersebut dapatlah diuraikan secara sistematis pengecualian terhadap keientuan rahasia bank sebagai berikut :

1. Untuk Kepentingan Perpajakan 
Mengenai pembukaan rahasia bank untuk kepentingan perpajakan ini diatur dalam ketentuan Pasal 41 Ayat (1) yang menentulcan bahwa: "Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada bank agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti-bukti  tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak." 

2. Untuk Kepentingan Penyelesalan Piutang Bank yang Telah Diserahkan kepada BUPLN/PUPN 
Ketentuan Pasal 41A ayat (1) adalah landasan hukum untuk pembukaan rahasia bank untuk kepentingan piutang bank yang telah discrahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau Panitia Urusan Piutang Negara. Secara lengkap ketentuan Pasal 41A Ayat (1) menentukan bahwa:
Untuk penyelesaian piutang bank yang telah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank Indonesia memberikan izinn kepada Pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenal simpanan nasabah debitur. 

3. Untuk Kepentingan Peradilan Perkara Pidana 
Pembukaan atau penerobosan terhadap ketentuan rahasia bank dapat juga dilakukan dengan alasan untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana scbagaimana ditemukan olch Pasal 42 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998.
Ketentuan Pasal 42 Ayat (1) menentukan bahwa :
Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenal simpanan tersangka atau terdakwa pada bank

4. Dalam Perkara Perdata antara Bank dengan Nasabah 
Menurut ketentuan Pasal 43 UU No. 10 Tahun 1998 bahwa :
Dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, direksi bank yang bersangkutan dapat menginformaskcan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan laln yang relevan dengan perkara tersebut. 

Ketentuan ini mcrupakan landasan hukum dan alasan dapat dibukanya atau diterobosnya ketentuan rahasia bank untuk kepentingan penyelesaian perkara perdata antara bank dan nasabahnya di pengadilan. Untuk itu dircksi dari bank yang bersangkutan dapat memberikan keterangan mengenai keadaan keuangan dari nasabah tersebut

5. Dalam Tukar-menukar Informasi Antarbank 
Menurut ketentuan Pasal 44 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998, bahwa dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank juga merupakan alasan untuk pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank.

Pasa144 Ayat (1) menyatakan bahwa:
Dalam rangka tukar-menukar Informasi antarbank, direksi bank dapat memberitahukan keadaan keuangan nasabahnya kepada bank lain. 

Ketentuan di atas tentu dapat dilakukan jika ada suatu kepentingan dari bank yang bersangkutan yang berkailan dengan nasabah tersebut, dan tidak menimbulkan kerugian bagi nasabah. Olch sebab itu, pelaksanaan dari ketentuan ini lebih lanjut diatur oleh Bank Indonesia sebagaimana ditentukan olch Pasal 44 Ayat (2) UU No.10 Tahun 1998.

6. Atas Permintaan, Persetujuan atau Kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Ahli Warisnya Alasan-alasan pembukaan atau penerobosan ketentuan rahasia bank yang telah dikemukakan di atas, pada dasarnya mengandung suatu kepentingan dari negara, kepentingan penyelesaian perkara, dan kepentingan dari bank.

Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan juga mengatur mengenai pembukuan atau penerobosan ketentuan rahasia bank atas dasar kepentingan dari nasabah penyimpan sebagaimana diatur dalam Pasal 44A.

Pasal 44A ayat (1) menentukan bahwa:
Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh nasabah penyimpan tersebut. 

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 44A Ayat (2) diatur bahwa:
Dalam hal nasabah penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari penyimpan yang bersangkutan berhak memperoleh keterangan mengenai simpanan nasabah penyimpan tersebut. 

Dari ketentuan Pasal 44A Ayat (1) dan Ayat (2) di atas, menunjukkan bahwa bank berkewajiban untuk memberikan keterangan mengenai simpanan dari nasabah penyimpan kepada pihak yang diberi kuasa atau ditunjuk oleh nasabah penyimpan dan/atau memberi keterangan simpanan dari nasabah penyimpan kepada ahli warisnya apabila ia nteninggal dunia.

B. PENGECUALIAN KETENTUAN RAHASIA BANK MENURUT DI LUAR KETENTUAN UU NO. 7 TAHUN 1992 JO. UU NO. 10 TAHUN 19911 TENTANG PERBANKAN 

Pengaturan tentang pengecualian atas ketentuan rahasia bank yang bersifat relatif ini ditemukan pula pada UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, (Yunus Husein, 2010:133-135) :

1. Pasal 28 yang menyebutkan bahwa pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh pihak pelapor dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi pihak pelapor yang bersangkutan.

2. Pasal 41 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa penyampaian data dan informasi olch insuutsi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan, dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan.

3. Pasal 45 yang menyebutkan bahwa dalam hal melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur kerahasiaan.

4. Pasal 72 Ayat (1) yang menyebutkan baltwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum, atau Hakim berwenang meminta pihak pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan dari :
a. orang yang telah dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan kepada penyidik,
b. tersangka, atau
c. terdakwa.

5. Pasal 72 Ayat (2) yang menyebuilcan bahwa dalam memirua keterangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 72 Ayat (1), bagi penyidik, penuniut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lain.

6. Pasal 72 Ayat (3) yang menyebutkan bahwa permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 73 Ayat (1) harus diajukan dengan menyebutkan secara jelas mengenai:
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas orang yang terindikasi dari hasil analisis atau pemeriksaan pusat pelaporan dan analisa transaksi keuangan, tersangka, atau terdakwa:
c. uraian singkat tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat harta kekayaan berada.

7. Pasal 72 Ayat (4) yang menyebutkan bahwa permintaan sebagaimana dimaksud pada Pasal 72 Ayat (3) harus disertai dengan:
a. laporan polisi dan surat perintah penyidikan;
b. surat penunjukan sebagai penuntut umum; atau
c. surat penetapan majelis hakim.

8. Pasal 72 Ayat (5) yang meqebutkan bahwa surat permintaan untuk memperolch keterangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 72 Ayat (1) dan Ayat (3) harus ditandatangani oleh:
a. kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan olch pcnyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. pimpinan insiansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. jaksa agung atau kepala kcjaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan olch jaksa penyidik dan/atau penuntut umum; atau
d. hakim ketua majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.

Sementara itu, untuk pemeriksaan yang dilakukan olch Kepolisian dan Kejaksaan atas dugaan tindak pidana korupsi tetap harus berdasarkan Pasal 28 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 yang pada intinya tetap memerlukan izin Gubernur Bank Indoncsia untuk meminta keterangan tentang kcadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
Ditinjau dari segi perjanjian antara nasabah debitur dengan bank yang tunduk kepada Pasal 1338 KUHPerdata maka socara tersirat harusnya bank merahasiakan segala keterangan mengenai nasabah debiturnya. Hal ini dianggap perlu karena gencarnya kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh bank dan unit-unit kelompoknya sering menimbulkan pertukaran informasi mengenai nasabah antara satu lembaga dengan lembaga lain, atau antara satu bank dengan bank lainnya.
Dengan adanya ketcntuan yang termaktub dalam UU No. 10 Tahun 1998 maka ketentuan rahasia bank di Indonesia menjadi tidak sejajar apabila diperbandingkan dengan ketentuan yang sama di negara lain. seperti Amerika Serikat, Swiss, Austria, dan Sinppura. Di negara-negara tersebut ketentuan rahasia bank tidak seprti yang dianut di Indonesia dcwasa ini.

Selain pengecualian-pengecualian yang telah diuraikan di atas maka Komisi Pentberantasan Korupsi (KPK) juga diberikan kewenangan dalam membuka rahasia bank. Kewenangan tersebut didasarkan pada Surat Mahkamah Agung No. KMA/694/R.45/X11/2004 perihal pertimbangan hukum atas pelaksanaan kewenangan Komisi Pemberamasan Korupsi (KPK) terkait dengan ketentuan rahasia bank yang ditandatangani oleh Ketua Mahkamah Agung Republik 1ndonesia tanggal 2 Desember 2004. Surat Keputusan Mahkamah Agung R1 tersebut diterbitkan sebagai jawaban atas Surat Gubernur Bank Indonesia No. 6/2/GBI/DHK/Rahasia, tanggal 8 Agustus 2004 yang meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung untuk menjawab persoalan kewenangan KPK dalam membuka rahasia bank.

Dalam Surat Keputusan memuat penegasan hukum, bahwa ketentuan Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan ketentuan khusus (lex specialis) yang memberikan kewenangan kepada KPK dalam melaksanakan tugas pnyelidikan, pnyidikan, dan pnuntutan. Dengan berdasarkan ketentuan tersebut maka prosedur izin membuka rahasia bank scbagaimana diatur dalam Pasal 29 Ayat (2) dan Ayat (3) Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo, Pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, tidak berlaku bagi KPK.

Pemberian kewenangan untuk menerobos rahasia bank kepada KPK adalah suatu terobosan hukum yang tepat dalam upaya mencegah dan menindak tindak pidana di bidang perbankan.

C. SANKSI ATAS PELANGGARAN KETENTUAN RAHASIA BANK 

Ketentuan rahasia bank sebagaimana telah dikemukakan di atas merupakan suatu ketentuan yang menempatkan bank sebagai pihak yang berkewajiban untuk menjaga segala keterangan yang berhubungan dengan nasabah penyimpan dan simpanannya. Pelanggaran terhadap ketentuan rahasia bank tersebut telah diatur sedemikian rupa dalam UU No. 10 Tahun 1998 yang berupa ancaman pidana dan denda secara akumulatif.

Menurrn Ketentuan Pasal 47 Ayat (1)   bahwa :
Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya  Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah). 

Adapun Pasal 47 Ayat (2) menentukan bahwa :
Anggota Dewan Komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp. 4.000.000.000 (empat milyar rupiah) dan paling banyak Rp. 800.000.000.000,- (delapan ratus milyar rupiah). 

Berdasarkan ketentuan Pasal 47 Ayat (1) dan (2) di atas, menunjukkan bahwa sanksi pidana berupa pidana penjara dan denda dikenakan kepada siapa saja yang memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud Pasal 40.
Sanksi tersebut dikenakan juga kepada anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi yang sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut ketentuan Pasal 40.
Selanjutnya ketentuan Pasal 47A menentukan bahwa anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi lainnya yang dengan tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya dua tahun dan paling lama 7 tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah). 

Ketentuan Pasal 47A di atas mengatur mengenai sanksi yang dikenakan kepada anggota dcwan komisaris, direksi, pegawai bank, dan pihak terafiliasi yang telah mengabaikan kewajibannya untuk memberikan keterangan sebagaimana ditentukan olch Pasa1 42A dan Posa1 44A.

Sclain mengajukan gugatan pidana nasabah yang merasa dirugikan mempunyai hak untuk menuntut ganti kerugian dari bank yang membocorkan keterangan mengenai dana simpanannya melalui proses gugatan (litigasi) di pengadilan perdata berdasarkan dua alasan hukum.

Berikut ini penjelasan alasan hukumnya :
Pertama, hubungan hukum antara bank dan nasabah adalah suatu fiduciary relation (hubungan kepercayaan). Bahwa hubungan hukum antara bank dan nasabah adalah suatu fiduciary relation telah diakui sccara luas oleh pulusan pengadilan di banyak negara. Sebagai suatu fiduciary relation, maka bank mempunyai duty of fiduciary terhadap nasabah. Mcnurut asas hukum, dalam suatu duty of fiduciary apabila pihak yang harus mengemban kepercayaan tcrnyata mcngungkapkan hal yang harus dirahasiakan mengenai pihak lainnya maka terhadap perbuatannya itu dapat dimintai pertanggung-jawaban secara perdata.
Kedua, nasabah yang dirugikan itu dapat pula menggugat bank berdasarkan dalih bahwa bank telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata. Jelas bahwa perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang dilanggar oleh bank itu adalah Pasal 40 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.



MODUL 6
TINDAK PIDANA PERBANKAN

KEGIATAN BELAJAR 1 

TINDAK PIDANA PERBANKAN DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN

A. PENGERTIAN TINDAK PIDANA 

Hukum pidana merupakan kesatuan aturan yang mengatur tentang pemidanaan, baik yang menyangkut hukum pidana formal maupun hukum pidana materiil. Kesatuan sistem hukum pidana tersebut bukan hanya terdapat dalam ketentuan hukum yang mengatur tentang pidana tersebut, tetapi juga ketentuan hukum lain yang berisi substansi pemidanaan terhadap tindak pidana tertentu. 
Ketentuan hukum pidana secara umum telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi tidak seluruh ketentuan hukum pidana dalam KUHP dapat mengakomodir tindak pidana yang terus berkembang dalam kehidupan bermasyarakat sehingga dibuatlah aturan khusus pemidanaan terhadap ketentuan pidana yang tidak diatur dalam KUHP tersebut sehingga pemberlakuan ketentuan yang khusus untuk dapat mengisi dan mendefinisikan dengan jelas, terang dengan mengesampingkan ketentuan umum tersebut hal ini sering disebut dengan menggunalcan asas lex specialis derograd legi generalis. 
Ketentuan UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang mencantumkan tindak pidana merupakan lex specialis dari ketentuan KUHP tersebut sepanjang diatur secara khusus tentang tindak pidana dimaksud dalam ketentuan perbankan tersebut, tetapi dalam hal tindak pidana dilakulcan dengan menggunakan instrumen perbankan terhadap kejahatan yang bersifat umum maka ketentuan hukum perbankan tidak dapat digunakan dalam kejahatan pidana umum tersebut. Misalnya seorang melakulcan penipuan dengan menggunakan alat bayar check (surat berharga yang memiliki nilai nominal yang langsung dapat dicairkan) maka tindak pidana penipuan tersebut tetap tunduk pada ketentuan penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP dan tidak akan mencmukannya dalam UU Perbankan No. 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

Tindak pidana dalam hukum perbankan dapat dikategorikan dalam kejahatan perbankan yang dilakulcan oleh karyawan bank itu sendiri ataupun di luar karyawan perbankan, dalam banyak kasus kejahatan yang lerjadi terhadap bank atau yang menyangkut perbankan biasanya dilakukan oleh orang dalam atau pihak karyawan bank atau bersama-sama pihak lain di luar karyawan bank tersebut.
Tindak pidana perbankan merupalcan tindak pidana yang dapat digolongkan dalam tindak pidana white collar crime pada umumnya dilakukan olch orang-orang yang memiliki kemampuan intelektual yang tinggi dan biasanya dilakukan oleh beberapa orang yang disebut sebagai tindak pidana yang terorganisir (organize crimes).

B. TINDAK PIDANA PERBANKAN 

Ketentuan pidana yang diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 temang Perbankan sebagaimana tclah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.

1. Pemidanaan Pihak Terafiliasi 
Kcjahatan perbankan bukan saja dapat dilakukan olch karyawan ataupun orang-orang yang bekerja dalam perbankan tersebut, tetapi juga terhadap pihak-pihak lain yang saling dan keterkaitan dengan alaivitas perbankan tersebut, dalam Pasal 1 Angka 22 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, disebutkan pihak-pihak terafiliasi adalah :
a. anggota Dewan Komisaris, pengawas, Direksi atau kuasanya, pejabat atau karyawan bank;
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pcjabat atau karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku:
c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya.

Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.

Pihak terafiliasi tersebut dapat diancam pidana jika tindak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan perbankan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya terhadap perbankan tersebut, sebagai dimaksud dalam Pasal 50 berikut ini.

Pasal 50: 
Pihak terafillasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan datam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). 

Bahwa ketentuan pasal ini memastikan bahwa segala pihak terafiliasi yang tidak menaati prinsip ketaatan bank dapat dipidana, sistem ini menempatkan para pihak terafiliasi yang sebagai dimaksud di atas dengan sengaja memanfaatkan jabatan dan profcsinya untuk melakukan suatu perbuatan yang melanggar kegiatan perbankan dapat dipidana.
Pcmidanaan yang berlaku dalam ketentuan perbankan ini menganut pasal pemidanaan minimum dan maksimum, artinya setiap tindakan pidana yang terbukti tclah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal yang berisi sanksi pidana maka penjatuhan pidana tersebut diberikan tidak bolch kurang dari tindak pidana minimum yang telah ditetapkan, selain pidana penjara minimum juga diterapkan pidana denda yang juga dikategorikan sebagai standar minimum sehingga diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pihak terafiliasi yang beritikad buruk secara sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan pihak terafiliasi lain yang bemuksud untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang perbankan ini.

Selain Pasal 50 yang tersebut dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 mcrupakan perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ditambahkan pula Pasal 50 A, yang berbunyi sebagai berikut: 
Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh dewan komisaris, direksi, atau pengawai bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang.undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lalnnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pldana penjara sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang.kurangnya Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah). 

Pasal ini menitikberatkan pada pemegang saham, karena dalam ketentuan definisi dalam Pasal 1 Angka 22 sebagaimana dimaksud yang dapat dipidana dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 10 Tnhun 1998 yang merupakan perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tidak menyebutkan pemegang saham sebagai pihak terafiliasi sehingga diatur tersendiri dalam Pasal 50 A tersebut.

Kedudukan pemegang saham sebenarnya adalah pihak di luar sistem perbankan karena secara operasional perbankan pemegang saham tidak memiliki hubungan dengan kegiatan perbankan, kedudukan pemegang saham akan muncul pada saat rapat umum pemegang saham (RUPS) sebagai organ tertinggi dalam usaha perbankan yang berbentuk perseroan terbatas (PT).
Kedudukan mayoritas dari pemegang saham dan organisasi perbankan, tetapi jika pemegang saham mempengaruhi pihakpihnk yang terafiliasi dengan perbankan di luar organ RUPS tersebut maka hal ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana mempengaruhi melakukan suatu tindakan di luar kewenangan yang tentu kewenangan pemegang saham yang tidak menjabat sebagai struktural dalam organisasi perbankan tersebut tidak dapat memerintahkan organ lainnya sehingga jika perintah yang diberikan dalam hal ini menyuruh kepada organ struktural (dewan komisaris atau direksi) atau karyawan bank dengan maksud (sengaja) untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk mcmastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang perbankan maka pemegang saham tertebut dapat dipidana dengan undang-undang perbankan ini. Tentu dalam menentukan arah dan kebijakan perbankan dalam segi usaha perbankan.

Ketentuan sanksi juga menganui pemidanaan minimum dan maksimum, artinya setiap tindalcan pidana yang terbukti telah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal yang berisi sanksi pidana maka penjatuhan pidana tersebut diberikan tidak bolch kurang dari tindak pidana minimum yang telah ditetapkan selain pidana penjara minimum juga diterapkan pidana denda yang juga menerapkan prinsip pidana minimum dan pidana maksimum.
Penjatuhan pidana di luar batas minimum dan maksimum tersebut maka akan mengakibatkan batalnya putusan tersebut karena telah menyalahi ketentuan undang-undang hal ini yang sering disebut sebagai putusan "ultra petita", artinya putusan pengadilan yang melebihi ketentuan pidana yang telah ditetapkan dalam perundang-undangan. 

2. Tindak Pidana Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47 A, Pasa1 48 Ayat (1), Pasa149 
Selain pihak terafiliasi, penjatuhan pidana juga dapat dikenakan dalam hal sebagaimana dimaksud dalum beberapa pasal dalam ketentuan Pasal pemidanaan, seperti Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47 A, Pasal 48 Ayat (1). dan Pasal 49, perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut digolongkan sebagai tindak pidana kejahatan, konsekuensi tindak pidana kejahatan itu adalah pidana penjara dan pidana denda yang hukuman lebih berat dari tindak pidana pelanggaran.
Perbuatan scbagaimana dimaksud pasal-pasal pemidanaan dalam perbankan dikarenakan perbutuan tersebut walaupun tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sccara umum, tetapi dalam ketentuan-ketentuan lain dalam perundang-undangan dapat diatur perihal pemidanaan yang disebut sebagai pasal yang lebih khusus schingga berlaku ketentuan Lex specialis derograd legi generalis.
Kejahatan ini juga berdampak bagi masyarakat luas terutama bagi masyarakat yang menempatkan dananya di bank sebagai prinsip kepercayaan masyarakat, dalam hal ini jika pihak perbankan melakukan kejahatan terhadap dana nasabah tersebut mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat dan kerugian yang cukup besar terhadap tatanan masyarakat khususnya terhadap harta kekayaan masyarakat tersebut.

Ketentuan Pasal 51 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 sebagaimana perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan secara tegas bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47 A, Pasal 48 Ayat (1), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50 A adalah kejahatan, dengan demikian setiap tindakan terhadap perbuatan pidana diatur dalam ketentuan masing-masing pasal tersebut.

a. Tindak pidana menghimpun dana tanpa izin pimpinan Bank Indonesia 
Ketentuan dalam Pasal 46 merupakan suatu kejahatan yang diuraikan sebagai berikut :

Pasa146 Ayat (1)
Barang siapa menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (1ima) tahun dan pating lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar ruplah) dan paling banyak Rp20.000.000.000  (dua putuh miliar ruplah). 

Pasal 46 Ayat (2)
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. 

Sebagaimana dimaksud Pasal 16 adalah :
Pasal 16 Ayal (1)
Setiap pihak yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. 

Tugas menghimpun dana dari masyarakat adalah salah satu fungsi perbankan schingga seluruh tindakan tersebut harus mendapatkan izin usaha sebagaimana bank umum atau bank perkreditan rakyat penggalangan dana masyarakat olch suatu badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan, atau koperasi dari Bank Indonesia dengan tidak adanya izin operasional perbankan tersebut maka negara akan melakukan penuntutan terhadap badan-badan dimaksud, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

b. Tindak pidana perihal membuka rahasia bank 
Sebagaimana telah dijelaskan dalam modul sebelumnya perihal rahasia bank bahwa tindakan tidak memberikan informasi yang tidak benar kepada pejabat yang berwenang sehubungan dengan dana nasabah dan simpanannya merupakan tindakan kejahatan atau juga pihak bank memberikan informasi, tetapi informasi tersebut tidak benar atau sengaja diberikan tidak seluruhnya atau memberikan kepada pihak yang tidak memiliki kewenangan untuk mendapatkan informasi tersebut hal ini juga merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Panal 47 dan Pasal 47 A Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan :

Pasal 47 Ayat (1)
Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau Izin dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42 dengan sengaja memaksa bank atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurang, 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah). 

Ketentuan Pasal 47 Ayat (1) ini memasukkan unsur pemaksaan yang dilakukan oleh pihak tertentu yang sebenamya tidak memiliki kewenangan untuk meminta keterangan bank sebagai suatu rahasia, baik karena tidak mendapatkan tertulis dari Bank Indonesia ataupun pihak yang tidak diatur dalam undang-undang (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A dan Pasal 42 untuk mendapatkan informasi rahasia bank tersebut.
Jika pihak tersebut tetap melakukan pemaksaan untuk mendapatkan informasi yang sifatnya rahasia bank tersebut maka pihak tersebut dapat dikenakan sanksi pidana. Perlu diperhatikan bahwa terminologi gramatikal "pemaksaan" untuk mendapatkan informasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dikenal sehingga padanan kata yang tempat untuk mendefinisikan perbuatan "pemaksaan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 KUHP. Pasal 368 KUHP :

(1) barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendirl atau orang secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun

Perbuatan memaksa tersebut tentu dilakukan dengan upaya sengaja dan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman ataupun pengrusakan.

Pasal 47 Ayat (2) :
Anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank atau pihak terafiliasi lainnya dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000 (delapan ruplah). 

Pasal 47 A :
Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 A dan Pasal 44 A, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp4.000.000.000 (empat miliar ruplah) dan paling banyak Rp15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah). 

Pada Pasal 47 Ayat (2) dan Pasal 47 A ini memfokuskan pada aktivitas kejahatan berupa "dengan sengaja memberikan keterangan yang dirahasiakan" yang dilakukan oleh anggota dewan komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi lainnya dan "dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi" yang dilakukan oleh anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank, dari Pasal 47 A ini pihak terafiliasi tidak termasuk pihak yang dapat dipidana jika dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi hal ini dikarenakan pihak terafiliasi terikat pada kode etik profesi masing-masing untuk merahasiakan kedudukan kliennya, tetapi seharusnya pihak terafiliasi pun dapat dikenakan dalam Pasal 47 A tersebut.
Kegiatan aktif dari para pihak yang dengan sengaja memberikan informasi sangat diperlukan dalam menentukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 Ayat (2), sedangkan dalam Pasal 47 A pihak pasif dan sama sekali tidak melakukan apa yang menjadi perintah orang-orang yang berhak untuk mendapatkan rahasia tersebut, selain pasal ini juga maka jika pihak tersebut tidak dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi yang dimintakan olch petugas yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41 A, dan Pasal 42 maka pihak-pihak tersebut telah mcnghalang-halangi petugas untuk melaksanakan tugas negara dan hal ini juga dapat dimintakan pertanggungjawaban pidananya.

c. Tindak pidana tidak memberikan keterangan tentang kegiatan bank 
Pasal tindak pidana ini adalah tidak memberikan keterangan sehubungan dengan kegiatan perbankan yang dijalankan. hal ini merupakan suatu kewajiban setiap kegiatan perbankan untuk melaporkan kegiatan aktivitas bank ke Bank Indonesia saat ini kepada OJK (Otoritas lasa Keuangan) kelalaian atas tidak memberikan laporan kegiatan perbankan tersebut didasarkan Pasal 48 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dapat dipidana sebagai mana disebutkan pada Pasal 48.

Pasal 48 Ayat (1)
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja ticlak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta denda sekurang- kurangnya Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). 

Pasal 48 ayat (2)
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2) dan Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda sekurang-kurangnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah). 

Pasal 48 Ayat (1) memiliki unsur "dengan sengaja tidak memberikan keterangan", sedangkan dalam Pasal 48 Ayat (2) "dengan lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi" dalam hukum pidana dikenal dengan istilah "commission" perbuatan aktif, sedangkan "ommission" perbuatan pasif, kelalaian merupakan perbuatan "ommission" yang dapat dipidana, dalam hal ini kelalaian tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi merupakan tindak pidana meskipun tidak ada unsur "dengan sengaja" melalaikan perbualan tersebut.
Perbuatan tersebut adalah memberikan keterangan buku-buku yang diminta dan kebenaran segala dokumen yang dilaporkan segala neraca dan perhitungan rugi/laba tahunan serta penjelasannya yang harus disampaikan secara berkala kepada pihak yang berwenang dalam ketentuan undang-undang masih kepada Bank Indonesia yang kini menjadi kewenangan otorilas jasa keuangan (OJK).

d. Tindak pidana pembukuan dan pencatatan perbankan 
Tindak pidana dalam ketentuan Pasal 49 ini merupakan tindan pidana sebagaimana juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi karena objek tindak pidananya adalan bank dan segala kegiatan perbankan sehingga lebih khusus diatur dalam ketentuan undang-undang perbankan, adapun tindak pidana yang diatur sebagaimana dimaksud dalam Panal 49 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalan sebagai berikut:

Pasal 49 Ayat (1)
Anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja:
a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usana, laporan transansi atau rekening suatu bank;
b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan trananksi atau rekening suatu bank;
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, manghapus, atau menghilangkan adanya suatu pancatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, maupun dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, manyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (Iima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000 (dua ratus miliar rupiah). 

Dalam ketentuan Pasal 49 Ayat (1) kegiatan yang dilakukan adalah dengan sengaja a) "membuat palsu" suatu pembukuan ataupun suatu laporan; b) "menghilangkan atau tidak memasukkan" catatan dalam suatu pembukuan atau laporan; c) "memalsukan, menghapus, menyembunyikan", kegiatan transaksi perbankan autu dokumen dan laporan kegiatan usaha

Seluruh tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 Ayat (1) ini mcrupakan tindak pidana sebagaimana juga diatur dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), seperti Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan, Pasal 374 KUHP tentang penggelapan dalam jabatan dan ketentuan pencurian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 362 KUHP, hal ini juga bisa diterapkan dalam dakwaan subsider sebagai dakwaan alternatif bersamaan dengan Pasal 49 Ayat (1) UU Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Hal ini dapat untuk memberat sanksi pcmidanaan yang akan diterapkan, walaupun dengan undang-undang perbankan merupakan pilihan yang paling tepat untuk diterapkan dalam tindak pidana yang berhubungan dengan perbankan tersebut.

Pengecualian untuk bentuk usaha perbankan yang berbentuk Badan Usaha Milik Daerah (Bank Pembangunan Daerah) atau Bank PT. Persero yang di dalamnya terdapat penyertaan modal negara maka ketentuan pemidanaan terhadap tindak pidana yang dapat merugikan keuangan negara yang dilakukan oleh anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank atau afiliasinya maka akan tunduk kepada undang-undang tindak pidana korupsi No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Taltun 2001, dalam hal ini dalam ketentuan undang-undang tindak pidana korupsi tersebut berlaku bagi seluruh bentuk usaha perbankan yang modalnya terdapat pemyataan kekayaan negara di dalamnya sehingga anggota dcwan komisaris, direksi, atau pegawai bank merupakan pihak yang tunduk pada ketentuan undang-undang tindak pidana korupsi terscbut.

e. Tindak pidana suap perbankan 
Pasal 49 Ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ini merupakan pasal yang mengatur tentang anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja menerima suap untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank.

Khusus untuk tindak pidana suap yang melibatkan anggota dewan komisaris direksi, atau pegawai bank yang berbadan hukum BUMN, BUMD, dan PT. Persero dan badan usaha lainnya yang memiliki pernyataan uang negara maka ketentuan pidana menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tabun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.

Pasal 49 Ayat (2)
Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja : 
a. meminta atau menerlma, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu Imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya pada bank; 
b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang bertaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000 (lima millar ruplah) dan paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus mlliar rupiah). 



C. SAKSI ADMINISTRATIF DALAM PERBANKAN 

Selain saksi pidana dalam ketentuan sebagai tersebut dalam Pasal 46. 47. 48, 49, 50, 50 A, dan Pasal 51, juga diberikan sanksi administratif sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dalam hal ini sanksi administratif tersebut dapat diterapkan bersama-sama dengan sanksi pidana yang diberikan. Adapun sanksi administralif yang akan diterapkan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 52 tersebut, sebagai berikut:

Pasal 52 ayal (1)
Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagalmana dimaksud dalam Pasal 47, Pasal 47 A, Pasal 48, Pasat 49, dan Pasal 50 A, Bank Indonesia dapat menetapkan sanksi administratif kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, atau pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan. 

Pencabutan izin usaha bank yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud merupakan tindakan yudikatif yang diputuskan dalam sidang pengadilan, sanksi ini seyogianya tidak dapat diterapkan jika tidak terbukti pihak-pihak yang dimaksud dalam lindak pidana tersebut melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan pemidanaannya. Selain pencabutan izin Pasal 52 Ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, mengatur jenis-jenis sanksi adtninistratif yang dapat diterapkan sebagai berikut :

Pasal 52 Ayat (2)
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), antara lain adalah: 
a. denda uang; 
b. teguran tertulis; 
c. penurunan tingkat kesehatan bank; 
d. larangan untuk turut serta datam kegiatan ktiring; 
e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan; 
f. pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai rapat umum pemegang saham atau rapat anggota koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia; 
g. pencantuman anggota, pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang Perbankan. 




Tabel 6.1
Tindak Pidana Perbankan
(Pasal 46 sampai Pasal 53 Bab VIII Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998)



No.
Pasal
Unsur Tindak Pidana
Sanksi Pidana
1.
46 Ayat (1)
(Tindak Pidana (TP) berkaitan dengan perizinan)
a. menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan
b. tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia (BI) (sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16)
5 – 15 tahun penjara
Dan
10 – 200 M
2.
46 Ayat (2)
a. kegiatan dalam ayat (1)
b. dilakukan oleh badan hukum (berbentuk PT, perserikatan, yayasan, koperasi)
Penuntutan terhadap :
- yang memberi perintah
- pimpinan dalam perbuatan itu
- kedua-duanya
3.
47 Ayat (1)
Tindak Pidana (TP) berkaitan dengan rahasia bank :
a. tanpa perintah tertulis/Izin Pimpinan Bank Indonesia (BI) (sebagaimana dimaksud Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42)
b. sengaja memaksa Bank atau pihak terafiliasi
c. untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud Pasal 40
2 – 4 tahun penjara
Dan
10 – 200 M
4.
47 Ayat (2)
a. Anggota Dewan Komisaris, direksi, atau pegawai bank
b. dengan sengaja memberi keterangan yang wajib dirahasiakan menurut Pasal 40
2 – 4 tahun penjara
Dan
4 – 8 M
5.
47A
a. Anggota Dewan Komisaris, direksi, pegawai bank, atau pihak terafiliasi lain;
b. Sengaja tidak memberi keterangan yang wajib dipenuhi (sebagaimana dalam Pasal 42A dan Pasal 44A)
2 – 7 tahun penjara
Dan
4 – 15 M
6.
48 Ayat (1)
TP berkaitan dengan pengawasan bank
a. anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank
b. sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi (sebagaimana dimaksud pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2). Dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2))
2 – 10 tahun penjara
Dan
5 – 100 M
7.
48 Ayat (2)
a. anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank
b. Lalai memberikan keterangan yang wajib dipenuhi (sebagaimana dimaksud pasal 30 Ayat (1) dan Ayat (2). Dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2))
1 – 2 tahun kurungan
Dan atau
1 – 2 M
8.
49 Ayat (1)
TP berkaitan dengan usaha bank
Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang sengaja :
a. membuat/menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan/laporan, dalam dokumen/laporan kegiatan usaha, laporan transaksi, atau rekening suatu bank
b. menghilangkan, tidak memasukkan atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan/laporan, dalam dokumen/laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank
c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan adanya pencatatan dalam pembukuan/laporan, dalam dokumen/laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau rekening suatu bank, atau dengan sengaja, mengubah, mengaburkan, menghilangkan, atau merusak catatan pembukuan tersebut.
5 – 15 tahun penjara
Dan
10 – 200 M
9.
49 Ayat (2)
Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja :
– meminta/menerima, mengizinkan/menyetujui untuk menerima
- suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang/barang beharga
- untuk keuntungan pribadi/keluarganya
- dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan uang muka, bank garansi, atau fasilitas kredit dari bank
- atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh bank atas surat-surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya
- atau dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas kreditnya

3 – 8 tahun penjara
Dan
5 – 100 M
10.
50
TP berkaitan dengan terafiliasi :
a. pihak terafiliasi
b. dengan sengaja
c. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank
3 – 8 tahun penjara
Dan
5 – 100 M
11.
50A
TP berkaitan dengan pemegang saham :
a. pemegang saham
b. dengan sengaja
c. untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank
7 – 15 tahun penjara
Dan
10 – 200 M
12.
51 Ayat (1)
TP dalam pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48 Ayat (1), Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A adalah “Kejahatan”

13.
51 Ayat (2)
TP dalam Pasal 48 Ayat (2) adalah “Pelanggaran”

14.
52 Ayat (1)
Bank tidak memenuhi kewajiban dalam undang-undang ini
Sanksi Administrasi oleh Bank Indonesia (BI) (disebut dalam ayat (2))
15.
53
Pihak terafiliasi tidak memenuhi kewajiban dalam undang-undang ini
Sanksi Administrasi oleh Bank Indonesia (BI) (disebut dalam Penjelasan Pasal 53)



KEGIATAN BELAJAR 2 

TINDAK PIDANA PERBANKAN DI LUAR UNDANG-UNDANG PERBANKAN (UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 1998 PERUBAHAN TERHADAP NO. 7 TAHUN 1992 TENTANG PERBANKAN)

A. JENIS TINDAK PIDANA DILUAR UU PERBANKAN 
Tindak kejahatan perbankan bukan hanya diatur dalam ketentuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tetapi juga kegiatan perbankan yang semestinya diatur dalam ketentuan hukum lain, dalam hal ini tindak pidana tersebut berhubungan dengan korporasi perbankan dan aktivitas bisnis perbankan.

Kejahatan prbankan yang dilakukan oleh bank dapat dikatakan sebagai kejahatan korporasi, dalam hal ini bank dapat juga dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana, tindak pidana perbankan digolongkan ke dalam tindak pidana korporasi yang secara umum tindak pidana korporasi dibedakan atas:
1. crimes for corporation, yakni pelanggaran hukum dilakukan oleh korporasi karena menginginkan tujuannya, yakni mencari keuntungan dengan cara apapun,
2. criminal Corporation, yakni dibentuknya badan usaha memang ditujukan melakukan perbuatan jahat (dummy corporation). 

Kejahatun konvensional perbankan yang dilakukan orang perorangan dalam usaha perbankan dengan menggunakan upaya konvensional seperti menggelapkan uang nasabah atau memalsukan surat-surat berharga dari instrumen perbankan sampai pada tindakan-tindakan yang modern sebagaimana dengan transaksi elektronik, surat palsu atau mencuri dana bank milik sendiri sampai pada penyalahgunaan Bantuan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI) adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki intelektual yang tinggi sehingga juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan white collar crime, dalam hal ini tindak pidana dilakukan olch orang yang memiliki intelektual yang tinggi serta kemampuan keahlian yang bapengalaman untuk melakukan tindak pidana.
Kejahatan white collar crime ini biasanya dilakukan secara terorganisir dan mcmiliki dampak kerugian yang cukup besar dan cakupan kerugiannya tersebut juga cukup luas. Kcjahatan ini tidak dapat hanya diatasi dengan tindak pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 perubahan terhadap Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, tetapi juga harus diterapkan ketentuan perundang-undangan lainnya yang dapat memberikan efek jera terhadap pidana tersebut.
Terdapat beberapa ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana perbankan antara lain tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, tindak pidana pencucian uang sebagaimana diaiur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 dan tindak pidana lain yang menjadi objek sengketa ada produk-produk perbankan sebagaimana juga kelentuan tentang Bank yang dialur dalam Undang-Undang Bank Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.


B. KEJAHATAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PERBANKAN 

Kejahatan tindak pidana korupsi merupakan bentuk kcjahatan extra ordinary crime yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki intelektual terorganisir dan dilakukan secara sistematis, sclain hal itu perbuatan korupsi rnemberikan dampak yang cukup luas bagi perekonomian negara dan siabilitas negara.

Berikut ini, definisi korupsi yang dikemukakan oleh Benveniste terdiri dari 4 jenis. 
1. Discreationery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima olch para anggota organisasi.
Contoh: Seorang pelayan perizinan tenaga kerja asing memberikan layanan yang lebih cepat kcpada "calo" atau orang yang berscdia membayar lebih, ketimbang para pemohon yang biasa-biasa saja.

2. Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan, dan regulasi tertentu.
Contoh: Dalam peraturan lelang dinyatakan bahwa untuk pengadaan barang jenis tertentu harus melalui proses pelelangan atau tender. Namun karcna waktunya mendesak (karena turunnya anggaran terlambat) maka proses tender itu tidak dimungkinkan. Untuk itu, pemimpin proyek mencari dasar hukum mana yang bisa mendukung atau memperkuat pelaksanaan pelelangan sehingga tidak disalahkan oleh inspektur.
Dicari pasal-pasal dalam peraturan yang memungkinkan untuk bisa dipergunakan sebagai dasar hukum guna memperkuat sahnya pelaksanaan tender. Dari sekian banyak pasal, misalnya ditemukan suatu pasal yang mengatur perihal "keadaan darurat" atau "force majeur" .
Dalam pasal ini dikatakan bahwa "dalam keadaan darurat, prosedur pelelangan atau tender dapat dikecualikan, dengan syarat harus memperoleh izin dari pejabal yang berkompeten". Dari sinilah dimulainya illegal corroption, yakni pimpinan pmyek mengartikulasikan tentang keadaan darurat yang dimaksud sesuai dengan kehendaknya untuk menutupi keadaan tersebut. Balikan, dalam beberapa kasus, letak illegal corruption berada pada kecanggihan memainkan kata-kata: bukan substansinya.

3. Mercenary carruption, ialah jenis tindak korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. 
Contoh: dalam sebuah persaingan tender, penyelenggaraan tender menerima uang sogok untuk pemenangan tender, pemerasan oleh penegak hukum, menerima suap untuk memenangkan perkara bagi hakim, atau juga mengurangi tuntutan bagi jaksa penuntut umum.

4. Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionary yang dimaksud untuk mengejar tujuan kelompok.
Contoh: kasus skandal watergate adalah contoh ideological corruption, sejumlah individu memberikan komitmen mereka kepada Presiden Nixon ketimbang kepada undang-undang atau hukum. Penjualan aset BUMN untuk mendukung pemenangan pemilihan umum dari partai politik juga merupakan jenis korupsi ini.

Ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dijelaskan terdapat 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindalc Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi.
Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikui:
1. kerugian keuangan negara;
2. suap-menyuap;
3. penggelapan dalam jabatan;
4. pemerasan;
5. perbuatan curang;
6. benturan kepentingan dalam pengadaan;
7. gratifIkasi.

Kejahatan perbankan yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi yang paling banyak dilakukan schubungan dengan tindak pidana yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tersebut.
Tindak pidana perbankan dalam tindak pidana korupsi dilakukan olch pegawai bank atau pimpinan perbankan yang berbadan hukum Bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ataupun Bank Pembangunan Daerah (BPD) milik pemerintah daerah. Hal ini terjdi karena kerugian Bank BUMN maupun BPD merupakan objek kerugian keuangan negara sehingga tindak pidana yang dilakukan orang yang bekerja dalam badan usaha tersebut atau orang lain yang mengakibaikan kerugian bagi Bank BUMN dan BPD tersebut merupakan tindakan pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 2 Ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus Juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. 

Dalam rangka pemberian laporan terhadap suatu pada bank yang dilakukan penyidikan dan penuntutan oleh penyidik tindak pidana korupsi Gubemur Bank Indonesia harus memberikan keterangan kepada KPK maupun Kejaksaan dan Kepolisian, tidak diberikannya data tersebut maka berdasarkan Pasal 22 jo Pasal 29 UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diberikan sanksi pidana, dikutip sebagai berikui:

Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35 atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberlkan keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.00.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000 (enam ratus juta rupiah). 

Pasal 29
1) Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidlk, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa. 
2) Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
3) Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) dalam waktu selambat«lambatnya 3 (tiga) hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap. 
4) Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untuk memblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasil dari korupsi 
5) Dalam hal hasil pemeriksaan  terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperoleh bukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum, atau hakim, bank pada hari Itu juga mencabut pembloklran. 

Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada Bank mengenai harta milik tersangka atau terdakwa, Glubernur Bank Indonesia berkewajiban memberikan data-data tersebut apa bila terdapat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka menjadi terdakwa, dengan tidak diindahkannya perintah tersebut maka sctiap orang yang tidak memberikan data dikenakan sanksi pidana.


C. TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DAN PERBANKAN 

Tindak pidana pencucian uang walaupun akan dibahas lcbih khusus dalam modul tersendiri, sendiri lebih dahulu dijelaskan pasal-pasal yang berhubungan dengan tindak pencucian uang dengan perbankan. Tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana yang diterapkan didasarkan pada tindak pidana awal (predicate crime) salah satu tindak pidana asal adalah tindak pidana perbankan. Tindak pidana perbankan yang dilakukan sebagaimana disebutkan Modul 6, Kegiatan Belajar 1 tersebut, herikut berita tentang tindak pidana pencucian uang yang berhubungan dengan tindak pidana pencucian uang.

SEMARANG, KOMPAS.com — Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Kepolisian Daerah Jawa Tengah mengungkap kasus pencucian uang perbankan dengan modus pengajuan kredit fiktif. Hal itu menimbulkan kerugian pada pihak Bank Bukopin Cabang Tegal senilai Rp 36 miliar. 
Direktur Reserse Kriminal Khusus (Dirreskrimsus) Polda Jawa Tengah Kombes. Pol. Mas Guntur Laupe dalam gelar perkara, Kamis (16/5/2013), mengatakan, pihaknya menangkap satu tersangka, yakni Parmanto (57), warga Randugunting, Tegal Selatan. 
"Tersangka ditangkap pada Rabu (15/5/2013) siang di showroom Wijaya Tegal," Ujarnya. Tersangka dalam kasus ini bertindak menerima uang hasil tindak pidana perbankan dan pemalsuan data yang diajukan tersangka lainnya, Naufal. Tersangka Parmanto diketahui menyamarkan dan menyembunyikan dana yang digunakan untuk pembelian sejurnlah aset. Tindak pidana perbankan ini awalnya dilakukan tersangka utama, Naufal, yang merupakan Account Officer Bank Bukopin Cabang Tegal. Naufal diketahui melakukan rekayasa dokumen pengajuan kredit fiktif ketahanan pangan dan energi untuk budi daya tanaman tebu Koperasi Petani Tebu Rakyat Raksa laya dan Sumber Jaya dan Sumber Jaya. Dengan proposal fiktif tersebut, ia kemudian mendapatkan dana Rp13 miliar. 
Selain itu, tersangka juga melakukan pengambilan dan pemindahbukuan dana para nasabah sebesar Rp22,2 miliar sehingga total kerugian sekitar Rp 36 miliar. Dana tersebut kemudian oleh tersangka Parmanto digunakan untuk bisnis jual beli DO gula. Namun, ternyata bisnis Itu juga diketahul fiktif. 
Uang hasil kejahatan ternyata digunakan untuk pembelian aset berupa tanah, rumah, dan mobil mewah. Selain menangkap tersangka, petugas juga berhasil menyita aset yang diduga merupakan hasil kejahatan. Aset tersebut ialah dua sertifikat tanah atas nama Parmanto di Tegal, dua sertifikat rumah Semarang dan Solo, 37 lembar cek dari rekening Bank Bukopin atas nama Parmanto yang belum dicairkan, dan 26 slip pengiriman uang. 
Tersangka Parmanto masih menjalani pemeriksaan di Polda lateng, sedangkan tersangka utama, yakni Naufal, masih menjalani proses peradilan di Tegal. Kasus ini terus dikembangkan pihak kepolisian. 

Kompas, 16 Mel 2013 

Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Peneucian Uang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Peneucian Uang, menyebutkan bahwa hasil tindak pidana asal yang sengaja dikaburkan melalui penempatan, penyamaran, dan penggunaan merupakan tindak pidana pencucian uang.

Pasal 2
1) Hasil tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoteh dari tindak pidana : 
a. korupsi; b. penyuapan; c. narkotika; d. psikotropika; e. penyelundupan tenaga kerja; f. penyelundupan migran; g. di bidang perbankan; h. di bidang pasar modal; i. di bidang perasuransian; j. kepabeanan; k. cukai; l. perdagangan orang; m. perdagangan senjata gelap; n. terorisme; o. penculikan; p. pencurian; q. penggetapan; r. penipuan; s. pemalsuan uang; t. perjudian; u. prostitusi; v. di bidang perpajakan; w. di bidang kehutanan; x. di bidang lingkungan hidup; y. di bidang kelautan dan perikanan; atau z. tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar witayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. 
2) Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n. 

Tindak pidana pencucian uang png dimaksud terdapat dalam Pasal 3, 4, dan 5, kategori tindak pidana pencucian uang ini merupakan tindak pidana pencucian uang yang juga berlaku bagi uang hasil tindak pidana dari tindak pidana perhankan.

Pasal 3
Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga sebagaimana dimaksud datam Pasal 2 Ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar ruplah). 

Pasal 4
Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenamya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah). 

Pasal 5
Setiap orang yang menertma atau menguasai pepenempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah)


D. TINDAK PIDANA PERBANKAN SEBAGAIMANA DIATUR DALANI UNDANG-UNDANG BANK INDONESIA NO. 23 TAHUN 1999 

Pasal 65 sampai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999, mengatur tentang ketentuan tindak pidana yang dilakukan oleh orang maupun suatu badan hukum sebagai berikut :

No.
Pasal
Unsur Tindak Pidana
Sanksi
1.
65
a. Dengan Sengaja
b. Melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat (3)

Catatan :
Pasal 2 Ayat (3) wajib menggunakan uang rupiah dalam melakukan pembayaran/memenuhui yang harus dipenuhi dengan uang
1 – 3 bulan kurungan
Dan
2 – 6 juta rupiah
2.
66
a. Dengan Sengaja
b. Melanggar ketentuan Pasal 2 Ayat (4)

Catatan :
Pasal 2 Ayat (4) orang/badan yang menolakuang rupiah sebagai pembayaran/pemenuhan kewajiban menurut Ayat (3)
1 – 3 tahun penjara
Dan
1 – 3 miliar rupiah
3.
67
a. Melakukan campur tangan
b. Terhadap pelaksanaan tugas Bank dalam Pasal 9 Ayat (1)

Catatan :
- Pasal 9 Ayat (1) dilarang campur tangan terhdap pelaksanaan tugas bank dalam Pasal 8
- Pasal 8: tugas bank (a) menetapkan/melaksanakan kebijakan moneter; (b) mengatur sistem pembayaran; (c) mengatur dan mengawasi Bank
- BNA: perumusan Pasal 67 agak rancu karena tugas bank bukan dalam Pasal 9 Ayat (1) tetapi dalam Pasal 8
2 – 5 tahun penjara
Dan
2 – 5 miliar rupiah
4.
68
a. Anggota Dewan Gubernur dan/atau pejabat BI
b. Melanggar Pasal 9 Ayat (2)

Catatan :
- Pasal 9 Ayat (2) Bank Indonesia (BI) wajib menolak dan atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun
2 – 5 tahun penjara
Dan
2 – 5 miliar rupiah
5.
69
a. Badan
b. Tidak memenuhi kewajiban Pasal 14 Ayat (3)

Catatan :
- Pasal 14 Ayat (3) Bank Indonesia (BI) dapat menyelenggarakansurvei berkala atau sewaktu-waktu
- BNA :
* Subjek dalam Pasal 69 seyogyanya tidak disebut “badan”, tetapi “Bank Indonesia (BI)”
* Tidak konsisten antara norma dalam Pasal 69 (yang menyebut “kewajiban”) dengan Pasal 14 Ayat (3) yang menggunakan istilah “dapat” (jadi bukan kewajiban/keharusan)
50 juta
6.
70 Ayat (1)
Melanggar ketentuan Pasal 55 Ayat (4)

Catatan :
- Pasal 55 Ayat (4) Bank Indonesia (BI) dilarang membeli untuk diri sendiri surat-surat hutang negara, kecuali di pasar sekunder
1 – 3 tahun penjara
Dan
6 – 15 M
7.
70 Ayat (2)
Penuntutan terhadap Ayat (1) dilakukan terhadap :
a. yang memberi perintah;
b. yang melakukan perbuatan;
c. pimpinan dalam melakukan perbuatan itu;
d. ketiga-tiganya

8.
71 Ayat (1)
a. Gubernur/deputi gubernur senior/deputi gubernur/pegawai Bank Indonesia (BI)/pihak lain yang ditunjuk Bank Indonesia (BI) untuk tugas tertentu
b. Memberi keterangan/data lain yang bersifat rahasia
c. Yang diperoleh karena jabatannya secara melawan hukum
1 – 3 tahun penjara
Dan
1 – 3 M
9.
71 Ayat (2)
Pasal 71 Ayat (1) dilakukan oleh badan
3 – 6 M
10.
72 Ayat (1)
Dewan Gubernur dapat menetapkan sanksi Administrasi terhadap Pegawai Bank Indonesia (BI)/pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajiban dalam Undang-Undang ini
Sanksi Administrasi (Pasal 72 Ayat (2)) :
a. denda
b. teguran tertulis
c. pencabutan/pembatalan izin usaha;
d. sanksi disiplin kepegawaian


MODUL 7 
TEORI DAN KONSEP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

KEGIATAN BELAJAR 1 

SEJARAH, PENGERTIAN PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING), SERTA KONSEP PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK)

A. SEJARAH PENCUCIAN UANG DAN LEMBAGA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA 

Globalisasi perekonomian dan perkembangan teknologi yang semakin ccpat menimbulkan cepatnya interaksi di antara negara-ncgara di dunia. perkembangan ini juga mempercepat lalu lintas barang dan jasa di antara satu negara dengan negara lainnya, demikian pula keluar masuknya manusia dari tempat ke tempat lainnya semakin sering tajadi dan mudah, setiap negara mulai membuka diri dengan mengurangi hambatan-hambatan bagi negara lain untuk dapat masuk dalam otoritas wilayahnya, hal ini juga mengakibatkan terjadinya perdagangan-perdagangan ilegal untuk menghindari pajak, bea masuk barang dan jasa yang dilarang di setiap negara maupun yang dilarang secara internasional.

Untuk menghindari perdagangan yang ilegal dan tidak diperkenankan tersebut maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 1998 menerbitkan konvensi tentang pencegahan dan pemberantasan perdagangan ilegal narkotika, obat-obatan berbahaya dan psikotropika (The United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substance of 1988). Konvensi ini merupakan konvensi pertama yang pertama kali mendefinisikan money laundering sehingga dianggap sebagai tonggak berdirinya rezim hukum internasional anti pencucian uang.

Konvensi ini untuk menghindari pengedaran obat-obat terlarang di beberapa negara dan wilayah perbatasan intemasional yang menimbulkan banyak kejahatan. Negara penghasil obat tcrlarang, seperti kokain dan heroin umumnya bukanlah negara-negara yang mengonsumsinya, melainkan mereka menjualnya ke negara lain dengan menggunakan saran transportasi, baik darat, laut, maupun udara. Uang hasil kejahatan tersebut untuk menghindari dari pemerintah maka para pengedar obat-obat terlarang tersebut di sebarkan dalam suatu institusi keuangan dan setelahnya disamarkan dengan membeli aset-aset yang seakan-akan berasal dari kegiatan yang legal.

Pada tallun 1989 upaya untuk melawan kejahatan pencucian uang pada tingkat internasional dilakukan oleh negara-negara anggota Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dengan membentuk satuan tugas yang disebut Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF). Salah satu peran FATF adalah menetapkan kebijakan dan langkah-langkah yang diperlukan dalam upaya melawan kejahatan pencucian uang dalam bentuk rekomendasi tindakan untuk mencegah dan memberantasnya.
Pada tahun 1990 FATF mengeluarkan 40 recommendations sebagai suatu kerangka yang komprehensif untuk memerangi kcjahatan money laundering. Meskipun rekomendasi ini bukan merupakan produk hukum yang mengikat. namun rekomendasi ini dikenal dan diakui secara luas masyarakat dan organismi internasional untuk memerangi kejahatan money launderthg dan pendanaan terorisme. Misalnya IMF, World Bag, dan ADB juga mengakui dan menggunakan 40 recommendations sebagai rujukannya.
Pada Tahun 1995 sejumlah Unit Intelijen Keuangan (Financial Intelligence Unit) dalam pertemuan di Egmont Arenberg Palace, Brussel memutuskan untuk mendirikan sebuah kelompok informal yang bertujuan untuk memfasilitasi kerja sama intemasional. Saat ini dikenal sebagai Egmont Group of Financial Inteligence Unit (FlUs). Egmont Group bertemu secara teratur untuk menemukan cara untuk bekerja sama, terutama di bidang informasi, pelatihan pertukaran, dan berbagi keahlian.

Tahun 1999 didirikan The Asia/Pacific Group on Money laundering (APG) yang merupakan organisasi intemasional otonom dan kolaboratif di Bangkok, Thailand. Saat ini memiliki 41 anggota dan sejumlah intentational and regional observers. Beberapa organisasi internasional kunci yang berpartisipasi dan mendukung upaya APG di wilayah ini termasuk Financial Action Task Force, Internasional Moneter Fund, Bank Dunia, OECD, United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC), Asian Development Bank and the Egmont Group of Financial Intelligence Units.
Anggota APG berkomitmen untuk pelaksanaan yang efektif dan penegakan standar-standar yang diterima secara internasional terhadap pencucian uang dan pendanaan terorisme, khususnya 40 rekomendasi dan 9 rekomendasi khusus tentang pembiayaan teroris dari Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF).
Indonesia meratifikasi the UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics, Drugs and Psychotropic Substances of 1988 yang kemudian melalui UU No.7 Tahun 1997. Dengan penandatanganan konvensi tersebut maka setiap negara penanda tangan diharuskan untuk menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan dan mengambil langkah-langkah agar pihak yang benvajib dapat mengidentifikasikan, melacak, dan membekukan atau menyita hasil perdagangan obat bius. Indonesia menjadi angsom Asia Pacific Group on Money Laundering.

Pada tanggal 18 Juni 2001 Bank Indonesia mengcluarkan Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Know Your Customer yang mewajibkan lembaga keuangan untuk melakukan identilikasi nasabah, memantau profil transaksi, dan mendeteksi asal-usul dana. Berdasarkan PBI ini, pelaporan transaksi keuangan mencurigakan disampaikan ke Bank Indonesia dan dilakukan analisis oleh Unit Khusus Investigasi Perbankan (UKIP) Bank Indonesia.
Sejak bulan Juni 2001 Indon.ia bersama sejumlah negara lain dinilai kurang kooperatif dan dimasukkan ke dalam daftar Non Cooperative Countries atul Territories oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) Predikat sebagai NCCTs diberikan kepada suatu negara atau teritorial yang dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global memerangi kejahatan money laundering dan pada bulan Oktober 2001 FATF mengeluarkan 8 special recommendations untuk memerangi pendanaan terorisme atau yang dikenal dengan counter terrorist financing. 

Perkembangan tuntutan intemasional dan kebutuhan nasional akan suatu peraturan perundang-undangan tentang pencucian uang semakin mendesak karena diperhitungkan banyaknya dana-dana asing yang digunakan di Indonesia untuk target pencucian uang maka selain itu pada bulan Juni 2001.
FATF menjadikan Indonesia menjadi negara yang tidak kooperatif dalam penanganan tindak pidana pencucian uang dengan alasan:
1. Tidak adanya ketentuan yang menetapkan money laundering sebagai tindak pidana;
2. tidak adanya ketentuan KYC untuk lembaga keuangan nonbank;
3. minimnya kapasitas dalam penanganan kejahatan pencucian uang;
4. kurangnya kerja sama intemasional dalam penanganan kejahatan pencucian uang.

Maka pemerintah dengan segera melakukan upaya-upaya dalam regulasi untuk mengeluarkan Indonesia dari daftar FATF tersebut dengan upaya:
1. ditetapkannya UU No.15/2002 tanggal 17 April 2002;
2. dibentuknya PPATK sebagai FIU dan focal point penanganan money laundering di Indonesia;
3. dikeluarkannya ketentuan KYC untuk industri perbankan (PBI No. 3/1012001 dan PB1 No. 3/23/2001);
4. dikeluarkannya ketentuan KYC untuk lembaga keuangan nonbank (P10.Kep-02/PM0003 tanggal 15 Jan 2003 untuk Bapepam dan No.45/KMK.06/2003 tanggal 30 Jan'03 untuk LPJK);
5. kerja sama internasional, antara lain dalam bentuk MoU dengan FIU negara lain.

Untuk menindaklanjuti pembentukan PPATK sebagai FUI tersebut untuk pertama sekali pemerintah mengangkat Dr. Yunus Husein dan Dr. 1 Gde Made Sadguna sebagai Kepala . Wakil Kepala PPATK pada bulan Oktober 2002 berdasarkan Keputusan Presiden No. 201/M/2002.
Sehubungan dengan banyaknya permasalahan yang dikhawatirkan akan timbul dengan adanya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 karena masih banyak kesalahan dan ketidaksinkronan dengan ketentuan Hukum internasional maka pada tanggal 13 Oktober 2003, Undang-undang No. 15 Tahun 2002 mengalami perubahan dengan disahkannya Undang-undang No. 25 Tahun 2003.

Penanganan tindak pidana pencucian uang di Indonesia yang dimulai sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan ams Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, telah menunjukkan arah yang positif.
Hal itu, tercermin dari meningkatnya kesadaran dari pelaksanaan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, seperti penyedia jasa keuangan dalam melaksanakan kewajiban pelaporan, Lembaga Pengawas dan Pengatur dalam pembuatan peraturan. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam kegiatan analisis, dan penegak hukum dalam menindaklanjuti hasil analisis hingga penjatuhan sanksi pidana dan/atau sanksi administratif.
Upaya yang dilakukan tersebut dirasakan belum optimal, antara lain karena peraturan perundang-undangan yang ada temyata masih memberikan ruang timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, adanya celah hukum, kurang tepatnya pemberian sanksi, belum dimanfaatkannya pergeseran beban pembuktian, keterbatasan akses informasi, sempitnya cakupan pelapor dan jenis laporannya, serta kurang jelasnya tugas dan kewenangan dari para pelaksana undang-undang ini. Untuk memenuhi kepentingan nasional dan menyesuaikan standar intemasional, perlu disusun undang-undang tentang pncegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagai pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencuclan Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 temang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Peneucian Uang.

Pada tahun 2004, sejalan dengan berdirinya PPATK dan untuk menunjang efektifnya pelaksanaan rezim anti pencucian uang di Indonesia, melalui Keputusan Presiden No. 1 Tahun 2004 tanggal 5 Januari 2004, Pemerintah RI membentuk Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Komite TPPU) yang diketuai olch Menko Polilik, Hukum, dan Keamanan dengan wakil Menko Perekonomian dan Kepala PPATK sebagai sekretaris Komite. Anggota Komite TPPU lainnya adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Keuangan, Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, dan Gubernur Bank Indonesia.
Komite ini bertugas antara lain merumuskan arah kebijakan penanganan tindak pidana pencucian uang dan mengoordinasikan upaya penanganan pncegahan dan pemberantasannya, sejalan dengan FATF yang menetapkan rekomendasi kesembilan dalam rangka memerangi terorisme. Sembilan rekomendasi khusus FATF mencakup serangkaian tindakan, perlu dilakukan setiap yurisdiksi dalam mengimplementasikan secara efektif upaya melawan pendanaan teroris.

Salah satu pertimbangan perlunya perubahan dan penggantian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 adalah perlu disesuaikan dengan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar internasional pada tanggal 22 Oktober 2010.
Keberadaan Undang-undang ini diharapkan dapat menjawan kebutuhan mendesak terhadap upaya penegakan hukum tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lain, serta dapat memberikan landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektiviias penegakan hukum, serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana. 
Lebih dari itu undang-undang ini mengakomodir berbagai ketentuan dan standar intemasional di bidang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme atau yang dikenal "FATF Revised 40+9 Recommendations". Pada Tahun 2011 berdasarkan Keputusan Presiden nomor 160/M tanun 2011 tanggal 20 Oktober 2011, ditetapkan Muhammad Yusuf sebagai Kepala PPATK dan menunjuk Agus Santoso sebagai Wakil Kepala PPATK. Selanjulnya Muhammad Yusuf dan Agus Santoso dilantik oleh Presiden dan mengucapkan sumpah pada umggal 25 Oldober 2011 di 1stana Ncgara.
Scsuai dengan Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, PPATK dipimpin olch scorang kepala dan scorang wakil kepala, sedangkan menurut undang-undang yang lama kepala PPATK dibantu dengan empat orang wakil kepala.

Berikut beberapa hal schingga perlunya ada perubahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tanun 2002 tentang Tindak Pidana Peneucian Uang menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberamasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 dengan Undang-Undang RI Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dilakukan dengan alasan-alasan sebagai berikut :
1. kriminalisasi perhuatan peneucian uang yang multi-interpretatif, banyaknya unsur yang harus dipenuhi atau dibuktikan schingga menyulitkan dalam hal pembuktian;
2. kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya;
3. masih terbatasnya pihak pelapor (reporting parties) yang harus menyampikan laporan kepada PPATK termasuk jenis laporannya;
4. tidak adanya landasan hukum mengenai perlunya penerapan prinsip mengenali pengguna jasa (customer due diligence) olch pihak pelapor: yang ada hanya "know your customer (KYC)". melakukan deteksi dan penafsiran serta penyitaan aset hasil kejahatant dan terbatasnya kewenangan PPATK;
5. hukum acara pemeriksaan perkara TPPU dengan metode pmbuktian terbalik belum memadai sehingga menghambat efektivitas pemeriksaan di sidang pengadilant
6. masih terbatasnya wewenang penyidik tindak pidana asal untuk melanjutkan penyidikan atas  dugaan tindak pidana pencucian uang:
7. belum ada kewajiban laporan lembaga penyedia jasa keuangan dan barang yang diikuti dengan sanksi, dan belum ada perlindungan hukum yang memadai bagi pelapor dan lembaga dimaksud
8. berdasarkan rating Asia Pacifk Group on Money Laundering bulan Juli 2008 di Bali, pcmberantasan TPPU di Indonesia menempati "level of Compliance" yang rendah baik dalam memenuhi 40 butir rekomendasi dan 9 butir rekomendasi dalam Suspicious Transacrion Report (STR). Di antara kelcmahan Indonesia adalah Indonesia belum melaksanakan rekomendasi FATF No 12 dan No 13 yang mewajibkan perluasan kewajiban Pelapor Transaksi Keuangan Mencurigakan (TKM) meliputi designated Non-Financial Business seperti pengacara dan notaris.

Materi muatan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberamsan Tindak Pidana Pencucian Uang, antara lain:
1. redefinisi pengertian hal yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang;
2. penyempurnaan kriminalisasi tindak pidana pencucian uang;
3. pertgaturan mengenai penjatuhan sanksi pidana dan sanksi administratif.
4. pengukuhan penerapan prinsip mengenali pengguna jasa;
5. perluasan pihak pelapor;
6. penetapan mengenai jenis pelaporan oleh penyedia barang dan/atau jasa lainnya;
7. penataan mengenai pengawasan kepatuhan;
8. pemberian kewenangan kepada pihak pelapor untuk menunda transaksi;
9. perluasan kewenangan Direktorat Jendcral Bea dan Cukai terhadap pembawaan uang tunai dan instrumen pembayaran lain ke dalam atau ke luar daerah pabean;
10. pemberian kewenangan kepada penyidik tindak pidana asal untuk menyidik dugaan tindak pidana pencucian uang;
11. perluasan instansi yang berhak menerima hasil analisis atau pemeriksaan PPATK;
12. penataan kembali kelembagaan PPATK;
13. penambahan kewenangan PPATK, termasuk kewenangan untuk menghentikan sementara transaksi;
14. penataan kembali hukum acara pemeriksaan tindak pidana pencucian uang; dan
15. pengaturan mengenai penyitaan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana.

B. PENGERTIAN PENCUCIAN UANG 

Definisi dari pencucian uang sebenamya sudah banyak diterangkan dalam beberapa ketentuan dan kamus bahasa. Berikut beberapa pengertian pencucian uang.

1. Money Laundering is the practice of engaging in financial transactions in order to conceal the identit, source, andlor destination of money, and is a nwin operation of the wtderground economy.(Wikipedia Encylopedia) (Terjemahan bebas: pencucian uang adalah kegialan yang melibatkan transaksi keuangan dengan cara menyembunyikan/menyamarkan identitas, sumber dan/atau tujuan uang dan kegiatan utama tersebut dilakukan secara tersembunyi (sistem bawah tanah)

2. The process of creating the appearance that large amounts of money obtained from serious crimes, such as drug trafficking or terrorist activity, originated from a legitimate source.(Financial Dictionary) (Terjemahan bebas; proses menciptakan jumlah uang yang besar yang diperoleh dari tindak pidana yang serius, termasuk perdagangan obat-obat terlarang atau kegiatan terorisme yang terorganisir dari sebuah sumber keuangan yang legal)

3. MONEY LAUNDERING — Conduct/acts designed in whole or in part to conceal or disguise the nature, location, source, ownership or control of money (can be currency or equivalents, eg. checks, electronic transfers, etc.) to avoid a transaction reporting requirement under state or federal low or to disguise the fact that the money was acquired by illegal means. (Terjemahan bebas: tindakan/perbuatan yang seluruhnya atau sebagian untuk menyembunyikan atau membuat menjadi kabur keadaan, tempat, sumber, kepemilikan atau pengendalian uang (dapat berupa mata uang atau sejenisnya, seperti cek, transfer elektronik, dll.) untuk menghindari persyaratan pelaporan suatu transaksi oleh hukum negara bagian atau federal atau menyamarkan keadaan bahwa uang tersebut diperoleh dari kegiatan ilegal (The 'Lectric Law Library's Lexicon).

4. Monev Laundering is the processing of these criminal proceeds to disguiese their ilegal origin (The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF)) (Terjemahan bebas: pencucian uang adalah proses dari perbuatan pidana untuk menyamarkan sumber yang tidak sah)

Tidak ada yang bisa mencatat kapan penama sekali kegiatan pencocian uang itu dilakukan, tetapi diyakini kegiatan pencucian uang itu telah terjadi ribuan tahun yang lalu bahkan menurut dalam buku "Lord of the Rim" yang dibuat olch Sterling Seagrave menjelaskan di Cina, pedagang pada masa 2000 tahun yang lalu sebelum masehi menyembunyikan kekayaan mereka dari penguasa yang ingin mengambil keuntungan dari kekayaan mereka schingga mereka memindahkannya dan menginvestasikan di luar provinsi mereka dan bahkan ada sampai menyimpan dan menginvestasikan ke luar negeri Cina.

Istilah pencucian uang atau Money Laundering Money berarti "uang" sedangkan Laudering berani "Mencuci. Istilah ini digunakan bagi mafia-mafia di Amerika Serikat yang berusaha untuk menutupi dan mengaburkan uang hasil penjualan narkoba, bisnis klub malam dan perdagangan senjata ke dalam bisnis Laundromats (mesin peneuci otomatis), upaya untuk menjadi uang dari bisnis yang tidak ilegal menjadi satu pendapatan yang legal pada Abad ke 1920-an tersebut adalah dengan membeli perusahaan laundery (pencuci pakaian) karena mendapatkan penghasilan uang tunai dari usaha tersebut yang menjadi uang bersih dan dapat digunakan kembali. Cara-cara seperti ini temyata telah memberikan keuntungan kepada para mafia schingga discbut scbagai orang yang mcnyamarkan atau mcngaburkan uang di tempat pencucian sehingga dikenal dengan istilah pencucian uang.
Pendapat lain mengenai pertama sckali istilah money laundering adalah Billy Stell yang mengemukakan bahwa istilah money laudering pertama sekali digunakan di Amerika Serikat pada suatu surat kabar sehubungan pemberitaan skandal Watergate pada tahun 1973.

Pengertian pencucian uang (money laundering) secara sederhana adalah suatu perbuatan para penjahat yang menghasilkan uang hasil dari kejahatan yang merupakan uang kotor perlu dibersihkan dengan cara memasukkannya dalam suatu kegiatan ataupun institusi bersih sebagai tempat pencucian sehingga hasil dan kegiatan ataupun keluar dari institusi tersebut telah bersih sehingga tidak lagi dapat dideteksi sebagai uang kotor yang berasal dari kejahatan tersebut sehingga dapat diterima oleh setiap orang.

Dengan demikian, pencucian uang atau money laundering merupakan rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram. yaitu uang dimaksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana, dengan cara terutama memasukan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system), kemudian uang dapat dikeluarkan dari sistem keuangan tersebut sebagai uang yang halal.

Ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, menyebutkan dalam Pasal 1 Angka 1, Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini sedangkan dalam UU No. 25 Tahun 2003 menyebutkan definisi pencucian uang adalah :

"Perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah" 

Ketentuan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang dapat dikatakan pencucian uang itu sendiri dalam ketentuan Bab II tentang Tindak Pidana Pencucian Uang definisikan sebagai tindak pidana pencucian uang, yaitu, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, sebagai berikut:

Pasal 3
Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah). 

Pasal 4
Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah). 

Pasal 5 Ayat (1)
(1) Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu millar ruplah). 

Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 mensyaratkan adanya harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, dengan demikian seluruh uang kekayaan yang didefinisikan sebagai suatu tindak pidana asal (predicate crime) dapat dipidana dalam ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 ini. Adapun tindak pidana asal yang disebut sebagai predicate crime, sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) sebagai hana kekayaan hasil dari tindak pidana sehagai tindak pidana awal adalah kcjahatan:




Contoh: Tuan X merupakan bandar narkoba dan juga mengedarkan narkoba dari hasil penjualan narkoba tersebut X memasukkannya di Institusi kcuangan perbankan setelah itu ditarik kembali dari institusi keuangan untuk dibelanjakan rumah dan kcndarann bermotor tujuannya untuk mengaburkan asal-usul uang hasil dan penjualan narkoba tersebut, dengan demikian Tuan X telah masuk dalam pengertian pencucian uang tersebut.





C. PUSAT PELAPORAN DAN ANALISIS TRANSAKSI KEUANGAN (PPATK)

PPATK adalah mcrupakan lambaga Financial Inteligence Unit (FlUs) yang juga memiliki tugas mencegah dan memberantas tindak Pidana pencucian uang. Pendirian PPATK pertama sekali berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Peneucian Uang yang mana Fungsi dan Kewenangan adalah schagai berikut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Undang-Undang No. 8 tahun 2010, terdiri dari :
1. pencegahan dan pembemmasan tindak pidana Peneueian Uang;
2. pengelolaan data dan informasi yang diperolch PPATK;
3. pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor;
4. analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana peneucian uang dan/atau tindak pidana lain; dan
5. penghentian transaksi atas permintaan PPATK.

Berikut ini uraian dari tugas tersebut.

1. Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 
a. Dalam melaksanakan fungsi peneegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK berwenang :
1) meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu:
2) menetapkan pedoman identifikasi transaksi keuangan mencurigakan;
3) mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dengan instansi terkait; 4) memberikan rekomendasi kepada pemerimah mengenai upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang;
5) mcwakili pemerimah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
6) menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan anti pencucian uang; dan
7) menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

b. Penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta kepada PPATK sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf a dikecualikan dari ketentwn kerahasiaan.

c. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian data dan informasi oleh instansi pemerintah dan/atau lembaga swasta sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf a diatur dengan Peraturan Pemerintah.

2. Pengelolaan Data dan Informast yang Diperolch PPATK 
Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan data dan informasi, PPATK berwenang menyclenggarakan sistem informasi.

3. Pengawasan PPATK terhadap Kepatuhan Pihak Terlapor 
Dalam rangka melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor, PPATK berwenang :
a. menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi pihak pelapor;
b. menetapkan kategori pengguna jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana pencucian uang;
c. melakukan audit keptuhan atau audit khusus;
d. menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pihak pelapor;
e. memberikan peringatan kepada pihak pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan:
f. merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha pihak pelapor, dan
g. menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa bagi pihak pelapor yang tidak memiliki lembaga pengawas dan pengatur.

4. Analisis atau Pemeriksaan Laporan dan Informasi Transaks1 Keuangan yang Berindikasi Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Tindak Pidana Lain 
Dalam rangka melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf d, PPATK dapat:
a. meminta dan menerima laporan dan informasi dari pihak pelapor,
b. meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait;
c. meminta informasi kepada pihak pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK:
d. meminta informasi kepada Pihak Pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri;
e. meneruskan informasi dan/atau hasil analisis kepada instansi peminta baik di dalam maupun di luar negeri;
f. menerima laporan dan/atau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana pencucian uang;
g. nteminta keicrangan kepada pihak pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang;
h. merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan penuulang-undangan:
i. meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara scluruh atau sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan hasil tindak pidana;
j. meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan olch penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang:
k. mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan undang-undang ini; dan
1. meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik.

5. Penghentian Transaksi berdasarkan Permintaan PPATK 
Selain kewenangan tersebut PPATK juga dapat melakukan penghentian transaksi sementara atas dugaan transaksi yang mencurigakan penghentian sementara tersebut paling lama 5 hari kerja dan dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 15 hari kerja untuk melengkapi hasil analisis atau pemeriksaan yang disampaikan kepada penyidik. Dalam hal tidak ada orang/atau pihak ketiga yang mengajukan keberatan dalam waktu 20 (dua puluh) hari sejak tanggal penghentian sementara transaksi.
PPATK menyerahkan penanganan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan dan dalam hal yang diduga sebagai pelaku tindak pidana tidak ditemukan dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, penyidik dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri untuk memutuskan harta kekayaan tersebut sebagai aset negara atau dikembalikan kepada yang berhak.

Berikut skema kerja PPATK dan Pcnyidik Tindak Pidana Peneueian Uang (sumber www.ppatk.org).



KEGIATAN BELAJAR 2 

TAHAPAN DAN METODE TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 

A. JENIS DAN TAHAPAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 

Pelaku tindak pidana asal memiliki berbagai cara untuk menyamarkan uang hasil tindak pidananya agar tidak dapat diidentifikasi sebagai uang hasil tindak pidana dalam berbagai sistem transaksi keuangan, institusi keuangan bank dan nonbank dan sistem perdagangan instrumen pengganii uang yang merupakan sarana elektronik maupun konvensional.
Tujuan dari tindak tersebut adalah untuk menjadikan uang-uang hasil kejahatan sulit untuk dilacak dan pada akhimya akan menjadikan uang yang sah. Tahapan-tahapan tindakan tersebut sudah dapat dipolakan dalam beberapa kegiatan, seperti penempatan (placement), penyamaran (layering), dan penggabungan (integration) dengan metode-metode yang digunakan berbagai bentuk dan jenisnya.

1. Jenis Tindak Pidana Pencucian Uang 
Menurut konvensi Vienna tahun 1988 terdapat tiga jenis tindak pidana pencucian uang dalam "the process of money laundering conduct", yang bisa juga dikategorikan sebagai konsep dasar kegiatan money laundering, yaitu :
a. mengubah atau memindah "property" yang diketahuinya berasal dari kejahatan, dengan tujuan menyembunyikan asal usul gelap dari "property" tersebut atau untuk membantu seseorang menghindari akibat-alcibat hukum dari keterlibatannya dalam melakukan kejahatan.
b. menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari “property" yang berasal dari kejahatan itu (baik sumbernya, asal-usulnya, lokasinya, penempatan/pembagiannya, pergerakan/penyalurannya, maupun hak-hak yang bethubungan dengan "property“ tersebut;
c. menguasai/menerima, memiliki atau menggunakan “property" yang diketahuinya berasal dari kejahatan atau dari keikutsenaannya dalam melakukan kejahatan itu.

2. Tahapan Pencucian Uang 
Tahapan pencucian uang yang paling umum dilakukan oleh pelaku tindak pidana yang ingin menjadikan uang hasil kejahatan menjadi uang yang sah dilakukan dengan: a) tahapan penempaian (placement,. b) tahapan pelapisan (layering), dan c) tahapan penggabungan (integration), pengertian dan bentuk tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut : 

a. Tahapan penempatan (placement) 
Tahap pertama dari pencucian uang adalah menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system). Pada tahap placement tersebut, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misalnya, hasil dari perdagangan narkoba uangnya terdiri atas uang-uang kecil dalam tumpukan besar dan lebih berat dari narkobanya, lalu dikonversi ke dalam denominasi uang yang lebih besar. Kegiatan tersebut dapat berupa, menempatkan uang di bank bahkan terkadang dengan usaha untuk mendapatkan kredit pembiayaan, membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah, membeli barang-barang berharga yang memiliki harga yang sangat tinggi untuk kepentingan pribadi, seperti emas berlian, membelikan hadiah yang sangat mahal kepada kerabat atau saudara melalui pembayaran jasa keuangan.



b. Tahapan pelapisan (layering) 
Tahapan ini pelaku tindak pidana berusaha untuk mengaburkan asal-usul uang yang berkaitan langsung dengan diri pelaku dengan menyebarkan uang hasil kejahatan atau bahkan mengubah identitas pemilik harta tersebut, dengan tujuan memutuskan hubungan uang hasil kcjahatan dari sumbernya, schingga uang tersamarkan sehingga sulit diidentifikasi pemilik asli dari dana tersebut.
Upaya tersebut dapat berupa a) transfer satu bank ke tempat bank lain atau dari satu wilayah bahkan negara kc negara lain, b) memecah-mecah jumlah uang dalam rekcning schingga memiliki rekening yang banyak untuk menyebarkan dana tersebut, c) para pencuci uang juga melakukan dengan mendirikan perusahaan d) membeli efek-efek atau alat-alat transportasi scperti pcsawat, alat-alat berat dengan atas nama orang lain.

c. Tahapan penggabungan (integration
Tahapan ini dilakukan untuk kembali menarik dana-dana yang telah ditempatkan dan disamarkan asal-usul dikembalikan kepada pemilik aslinya yang digunakan untuk kegiatan legal sebagai usaha yang sah ataupun untuk membiayai kegiatan pidana lainnya. Penghimpunan dana tersebut sulit untuk ditetapkan sebagai dana hasil tindak pidana karena berasal dari institusi keuangan sah yang merupakan objek pajak lalu disalurkan secara sah sebagai suatu hasil usaha legal ataupun uang yang telah dilegitimasi sebagai uang yang sah.


B. METODE TINDAK P1DANA PENCUC1AN UANG 

Metode dasar dalam pencucian uang dapat dibedakan menjadi 3 bagian yang paling terkenal, walaupun selain metode-metode tersebut masih banyak lagi turunan dan jenis lainnya yang digunakan pelaku kejahatan.

1. Transaksi Jual Barang dan Jasa (Buy and Sell Conversions
Hal ini dilakukan dengan transalcsi jual beli barang dan jasa dengan memanipulasi transaksi jual beli barang dan jasa tersebut yang dapat dilakukan, seperti :
a. Tuan A membeli suatu real estate (rumah, tanah atau apartemen) dengan harga Rp500 juta dengan Tuan B, tetapi tuan A mendapatkan pembayaran dibayar melalui transfer Rp. 200 juta sedangkan sisanya dibayar dengan uang tunai Rp300 juta yang merupakan hasil dari tindak pidana sehingga pembelian real estate tersebut menjadi sah dengan menyamarkan pembelian uang dari hasil tindak pidana;
b. jual beli barang aniara A dan B, dalam hal ini mereka sepakat untuk menaikkan nilai objek jual beli tersebut dengan pemberian potongan diskon atau potongan harga sehingga waktu A sebagai pembeli membeli barang dari B nilai harga tinggi dengan potongan diskon sehingga B akan mengembalikan uang potongan tersebut kepada A, padahal uang yang digunakan untuk pembelian dari hasil tindak pidana, tetapi uang yang dikembalikan telah merupakan uang yang sah yang berasal dari diskon atau potongan harga tersebut

2. Pengalihan ke Negara Bebas Pajak (Offshore Conversions
Setiap negara memiliki sistem penerapan perpajakan yang berbeda, ada negara yang penerapan pajaknya sangat ketat (rigid system), sedangkan di beberapa negara tidak mengatur secara ketat perpajakannya (flexible system), tetapi ada juga negara yang sama sekali memberikan kebebasan kepada setiap pengusaha untuk tidak dikenakan pajak di negaranya hal ini disebut sebagai negara bebas pajak (offshore) atau tax heaven country, negara-negara seperti ini banyak menampung perusahaan-perusahaan fiktif yang digunakan untuk mclakukan suatu perbuatan pencucian uang. Kerahasiaan bank yang cukup ketat dan prosedur bisnis pendirian perusahaan yang sangat mudah sehingga dimungkinkan adanya perlindungan bagi kerahasiaan suatu transaksi bisnis, pembentukan dan kegiatan usaha trust fund, shadow holding company, ataupun kegiatan yang mengontrol perusahaan-perusahaan di negara lain yang biasanya dimasukkan dalam perusahaan di negara tax haven tersebut untuk menghindar dari kejaran pihak negara lain karena memiliki rahasia bank dan rahasia perusahaan yang ketat.

3. Usaha Legal (Legitimate Business Conversions) 
Pemanfaatan usaha atau kegiatan bisnis yang sah sebagai sarana untuk memindahkan dan memanfaatkan hasil kejahatan. Hasil kejahatan tersebut dikonversikan melalui transfer, cek atau instrumen alat pembayaran lainnya. Metode ini memungkinkan pelaku kejahatan menjalankan usaha dan bekerja sama dengan mitra bisnisnya dan menggunakan rekening perusahaan yang bersangkutan sebagai tempat penampungan untuk hasil kcjahatan yang dilakukan.

Karakteristik dan metode pencucian uang dalam hal ini dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut.
a. Kelebihan penulisan atas penerimaan legal
Metode ini digunakan untuk meningkatkan penerimaan yang sebenamya tidak sama dengan catatan pembukuan yang dalam hal ini kekurangan riil dari pernasukan tersebut diambil dari uang hasil tindak pidana.
Contoh: Perusahaan X yang memiliki usaha dealer mobil memberikan diskon kepada para pembelinya, tetapi dalam faktur pembayaran tidak disebut. sehingga harga normal, jika harga satu mobil Rp200 juta maka jika dia dapat potongan menjadi harga Rp170 juta, jika dalam satu bulan menjual 20 buah mobil dengan harga yang sama maka dalam pembukuan akan tercatat Rp200 jt x 20 = Rp4 miliar, tetapi dalam realitasnya uang riil yang diterima hanya Rp170 x 20 = Rp3,4 miliar, maka uang yang Rp600 juta kekurangan dari hasil riil dengan faktur diambil dari uang cash hasil tindak pidana tersebut dan dimasulckan dalam catatan pembukuan hasil dari penjualan mobil tersebut sehingga sama jumlah uang yang di faktur dengan riil uang yang ada sebagai laporan pajak kepada pemerintah menjadi uang yang sah.

b. Kelebihan pemilisan atas pengeluaran legal
Cara ini digunakan dengan meningkatkan pengeluaran-pengeluaran (expanses) yang sebenamya tidak pernah ada dan tidak pernah terjadi ada pengeluaran tersebut, pengeluaran berlebihan ini akan memberikan keuntungan dengan penggantian pajak (restitusi), misalnya: pembayaran karyawan yang tidak sama gaji dan jumlahnya, pembelian barang, jasa konsultasi pajak dan hukum, dan lain-lain.

4. Metode Gabungan dan Derivatif (Pengembangan)

a. Metode loan back 
Loan back, yakni dengan cara meminjam uangnya sendiri, modus ini terinci lagi dalam bentuk direct loan, dengan cara meminjam uang dari perusahaan luar negeri, semacam perusahaan bayangan (immobilen investment company) yang direksinya dan pemegang sahamnya adalah dia sendiri, dalam bentuk back to loan, dalam hal ini si pelaku peminjam uang dari cabang bank asing secara stand by letter of credit atau certificate of deposit bahwa uang didapat atas dasar uangdari kejahatan, pinjaman itu kemudian tidak dikernbalikan seltingga jaminan bank dicairkan.

b. Metode Operasi C-Chase 
Metode ini cukup rumit karena memiliki sifat lika-liku sebagai cara untuk menghapus jejak. Contoh dalam kasus BCCI, dimana kurir-kurir datang ke bank Florida untuk menyimpan dana sebesar US $ 10.000 supaya lolos kewajiban lapor. Kemudian beberapa kali dilakukan transfer, yakni New York ke Luxsemburg ke cabang bank Inggris, lalu di sana dikonversi dalam bentuk certificare of deposit untuk menjamin loan dalam jumlah yang sama yang diambil oleh orang Florida. Loan buat negara Karibia yang terkenal dengan Tax Heaven-nya. Di sini, loan itu tidak pemah ditagih, namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito itu saja. Dari Florida, uang tersebut di transfer ke Uruguay melalui rekening drug dealer dan di mna uang itu didistribusikan menurut keperluan dan bisnis yang serba gelap. Hasil investasi ini dapat tercuci dan aman.

c. Metode transaksi perdagangan internasional da penyeludupan 
Model ini menggunakan sarana dokumen Letter of Credit (L/C). Oleh karena menjadi fokus urusan bank, baik bank koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank itu sendiri dan tidak mengenal keadaan barang maka hal ini dapat menjadi sasaran money laundrying, berupa membuat invoice yang besar terhadap barang yang kecil atau malahan barang tidak ada.
• Model penyelundupan uang tunai atau sistem bank paralel ke negara lain. Modus ini menyehmdupkan sejumlah ftsik uang itu ke luar negeri. Berhubung dengan cara ini terdapat risiko seperti dirampok, hilang atau tertangkap maka digunakan modus berupa elektronik transfer, yakni mentransfer dari satu negara ke negara lain tanpa perpindahan fisik uang itu.

d. Metode akuisisi dan real estate carousel 
Model akuisisi, yang diakui sisi adalah perusahaannya sendiri. Contoh seorang pemilik perusahaan di Indonesia yang memiliki perusahaan secara gelap pula di Cayman Island, negara tax haven. Hasil usaha di Cayman didepositokan atas nama perusahaan yang ada di Indonesia. Kemudian perusahaan yang ada di Cayman membeli saham-saham dan perusahaan yang ada di Indonesia (secara akuisisi). Dengan cara ini, pemilik perusahaan di Indonesia memiliki dana yang sah karena telah tercuci melalui hasil penjualan saham-sahamnya di perusahaan Indonesia.
Model Real Estate Carousel, yakni dengan menjual suatu properti berkali-kali kepada perusahaan di dalam kelompok yang sama. Pelaku money laundrying memiliki sejumlah perusahaan (pcmcgang saham mayoritas) dalam bentuk real estate dari satu ke lain perusahaan.

e. Metode investasi tertentu 
Model Investasi Tertentu, Investasi tertentu ini biasanya dalam bisnis transaksi barang atau lukisan atau antik. Misalnya pelaku membeli barang lukisan dan kemudian menjualnya kepada sescorang yang sebenamya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga mahal. Lukisan dengan harga tak terukur, dapat ditetapkan harga setinggi-tingginya dan bersifat sah. Dana hasil penjualan lukisan tersebut dapat dikategorikan sebagai dana yang sudah sah.

f. Metode over invoices atau double invoice 
Modus over invoices atau douhle invoice. Modus ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan ekspor impor negara sendiri, lalu di luar ncgeri (yang bersistem tax haven) mendirikan pula perusahaan bayangan (shell company). Perusahaan di Negara Tax Haven ini mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan yang ada di luar negeri itu membuat invoice pembelian dengan harga tinggi, inilah yang disebut over invoice dan bila dibuat 2 invoices maka disebut double invoices.

g. Metode perdagangan saham 
• Model perdagangan saham, modus ini pernah terjadi di Belanda. Dalam suatu kasus di Bursa Efek Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek ini menjadi pelaku pencucian ung. Artinya, dana dari nasabahnya yang diinvestasi ini bersumber uang gelap. Nussre brink membuat 2 (dua) buah rekening bagi nasabah-nasabah tersebut, yang satu untuk nasabah yang rugi dan satu yang memiliki keuntungan. Rekening di upayakan dibuka di tempat yang sangat terjamin proteksi kerahasiaannya, supaya sulit ditelusuri siapa benefecial owner dari rckening terschut.

h. Metode la mina 
Model la mina, kasus yang dipandang sebagai modus dalam money laundrying terjadi di Amerika Scrikat tahun 1990, dana yang diperoleh dari perdagangan obat bius diserahkan kepada perdagangan grosiran emas dan permata sebagai suatu sindikat. Kemudian emas batangan diekspor dari Uruguay dengan maksud supaya impornya bersifat legal.
Uang disimpan dalam desain kotak kemasan emas, kemudian dikirim kepada pedagang perhiasan yang bersindikat mafia obat bius. Penjualan dilakukan di Los Angeles, hasil uang tunai dibawa ke bank dengan maksud supaya seakan-akan berasal dari kota ini dikirim ke bank New York dan dari kota ini dikirim ke bank Eropa melalui Negara Panama. Uang tersebut akhimya sampai di Kolombia guna didistribusikan berupa membayar ongkos-ongkos, untuk investasi perdagangan obat bius, tetapi sebagian untuk investasi janglca panjang.

i. Mode deposit taking dan identitas palsu 
• Model deposit taking, dengan mendirikan perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institution (DTI) Canada. DTI ini terkenal dengan sarana pencucian uangnya, seperti chartered bank, trust Company, dan credit union. Kasus money laundrying ini melibatkan DTI. antara lain transfer melalui telex, surat berharga, penukaran valuta asing, pembelian obligasi pemerintahan, dan teasury bills.
• Model identitas palsu, yakni memanfaatkan lembaga perbankan sebagai mesin pemutih uang dengan cara mendepositokan dengan nama palsu, menggunakan safe deposit box untuk menyembunyikan kejahatan, menyedialcan fasilitas transfer supaya dengan mudah ditransfer ke tempat yang dikehendaki atau menggunakan elektronic fund transfer untuk melunasi kewajiban transaksi gelap, menyimpan atau mendistribusikan hasil transaksi gelap tersebut.

C. PERATURAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI BEBERAPA NEGARA 

Setiap negara memiliki ciri dan bentuk regulasi tindak pidana pencucian uang yang berbeda, terlebih untuk menentukan tindak pidana asal (predicate crime) yang dapat dijadikan dasar bahwa dapat dikatakan telah terjadi perbuatan tindak pidana pncucian uang. Berikut ini ada beberapa negara yang telah mengatur tentang tindak pidana pencucian uang tersebut.

1. Amerika (USA) 
Amerika memiliki babagai macam peraturan perundang-undangan, seperti The Bank Secrecy Act (1970), Money Laundering Central Act. (1986), The Annunzio Wylie Act., dan Money Laundering Suppression Act. (1994). Dalam Bank Secrecy Act, terdapat kewajiban lembaga keuangan unluk melaporkan setiap transaksi alat pembayaran yang melebihi $10,000 kepada Internal Revenue Service yang dikenal dengan nama Currency Transaction Report (CIR).
Termasuk juga di dalamnya Foreign Transactions Reporting Act yang memperbesar jumlah informasi keuangan yang harus disampaikan kepada instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan dengan tindakan pidana, perpajakan, dan penuntutan. Setelahnya dalam Money Laundering Central Act (MLCA) diatur adanya unsur yang harus dipenuhi untuk mengategorikan tindak pidana pencucian uang, yakni terdapat:
a. transaksi finansial atau perpindahan internasional; dan
b. kegiatan melanggar hukum tertentu.

Kongres telah lulus beberapa hukum selama bertahun-tahun untuk mencegah keuntungan dari kegiatan kriminal dari yang digunakan, seperti laporan transaksi mata uang. Anti pencucian uang statuta mengkriminalisasi geraklan dan penggunaan keuntungan/kekayaan diciptakan oleh aktivitas kriminal.

2. Singapura 
Undang-undang CDSA (Corruption, Drug Trafficking, and Other Serious Crimes (Confiscation of Benefits) Act' (CDSA') 1999 mengkriminalisasi pencucian dana hasil narkotika dan 184 kategori tindak pidana serius lainnya. termasuk yang di luar negeri berkomitmen, yang akan dianggap pelanggaran serius jika mereka memiliki telah dilakukan di Singapura.
The provisions of the CDSA are applicable to all persons, including lawyers. Hukuman untuk pelanggaran di bawah Pasal 43, 44, 46, dan 47 dari CDSA adalah denda S $500.000 atau penjara tidak melebihi 7 tahun, atau keduanya jika pelaku adalah individu. jika pelaku tidak seorang individu. denda tidak melebihi $1 juta.

Suatu pelanggaran berdasarkan Pasal diancam dengan hukuman denda sampai S $20.000 dan suatu pelanggaran dari tipping-off di bawah bagian 48 diancam dengan hukuman denda sampai S 530.000 atau penjara tidak melebihi figa tahun, atau keduanya. CDSA ini secara substansial diubah (Amandemen) Act 2007 ("Amandemen UU CDSA") , yang mulai berlaku pada 1 November 2007. The CDSA Amandemen UU diubah CDSA untdc tujuan utama: 

a. memperluas ruang lingkup tindak pidana pencucian uang di bawah CDSA ke kepemilikan penggunaan akuisisi, atau menyembunyikan dari hasil tindak pidana;
b. memperjelas ketika tugas untuk membuat laporan transaksi yang meneurigakan muncul;
c. menyediakan sistem pelaporan untuk pergerakan lintas perbatasan mata uang fisik dan instrumen pembayaran atas bawah; dan
d. meningkatkan hukuman untuk pelanggaran berbagai CDSA bawah ini.

Selain CDSA, ada juga ketentuan 'Pemberitahuan dan Pedoman Pencegahan Pencucian Uang dan Melawan Pendanaan Terorisme (MAS) selain itu ada juga ketentuan tentang peraturan Casino dengan The Casino Control Act (Cap. 33A) mulai berlaku pada tanggal 2 April 2008 sebagai sarana untuk mengontrol dua kasino baru di Singapura.
Kasino bekerja dengan arus masuk yang besar dan tidak menentu dan arus keluar kas dan memiliki potensi untuk menjadi saluran untuk pencucian uang. Dalam hal ini, ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang Pengendalian Casino diarahkan untuk memastikan bahwa pencucian uang tidak terjadi. Ini termasuk mcwajibkan operator kasino untuk memiliki sistem pengendalian internal sesuai dengan pedoman internasional AML, seperti as know pelanggan Anda due diligence, pelaporan wajib untuk transaksi di atas S $10.000, pencatatan transaksi di atas S $5.000 kewajiban melaporkan transaksi yang mencurigakan dan anti pencucian uang pelatihan bagi karyawan. Ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Pengawasan Casino hanya berlaku untuk operator kasino.

3. Hongkong 
Anti Money Laundering and Counter-Terrorist Financing (Financial Institutions) Ordinance (AMLO) Act No. 15 Tahun 2011 yang telah diubah dan diperbarui dengan Act No. 2 Tahun 2012. ketentuan ini mengatur tentang sctiap institusi keuangan yang mengetahui adanya dugaan money laundering atau seseorang yang mengetahui perbuatan yang dilakukan bertentangan dengan aturan dalam AMLO akan dikenakan denda sebesar HK$1.000.000 dan 2 tahun penjara.

4. Swiss 
Mekanisme pemberantasan pencucian uang di Swiss dimulai tahun 1977. disepakati keterbukaan informasi yang scbut sebagai the Agreement on Due Diligence (CDB) in 1977 yang telah banyak perubahan sampai saat ini, dalam ketentuan ini mcwajibkan bank untuk mengetahui identitas nasabahnya bagi transaksi tertentu, misalnya nasabah yang memanfaatkan safe deposit box.  Di samping itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Swiss telah mencantumkan ketentuan yang mengancam tindak pidana pencucian.
The Swiss Penal Code (Art. 305bis and 305ter StGB), selain itu ada juga ketentuan tcntang pemberantasan pencucian uang dan terorisme federal. (The Federal Act on Combating Money Laundering and Terrorist Financing in the Financial Sector (AMLA) and a corresponding Ordinance of the Swiss Financial Market Supervisory Authority (FINMA) on the Prevention of Money Laundering and Terrorist Financing (FINMA Anti Money Laundering Ordinance, AMLO-FINMA).

5. Inggris 
Inggris mcmiliki bcbcrapa peraturan yang berkaitan dengan pcncucian uang, di antaranya Drug Traffiking Act1 986. Berdasarkan peraturan yang berlaku di Inggris orang yang membantu traffiking menikmati hasil kcjahatan atau memudahkan penguasaan hasil tindak pidana tersebut, diancam dengan hukuman penjara maksimum 14 Tahun.
Pada tanggal 10 Desember 1990, panitia kerja yang dibentuk olch British Association (BBA), The Building's Society Association (BSA) dan aparat pcncgak hukum, di bawah pimpinan Bank of England tclah mcngcluarkan pcdoman pengembangan Basle Statement of Principles on Money Laundering, yang antam lain bcrisikan pola market perbankan yang dapat digunakan untuk memberantas pencucian uang.



MODUL 8
UNSUR-UNSUR DAN HUKUM ACARA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

KEGIATAN BELAJAR I 
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

A. PENGERTIAN INSUR-UNSUR TINDAK PIDANA (DELIK) 

Apa yang dimaksud unsur-unsur tindak pidana pencucian uang adalah sama halnya dengan unsur-unsur dalam delik tindak pidana umumnya. Tindak pidana atau dalam Bahasa Belanda disebut scbagai “strafbaarfeit" atau "delict" atau delik dalam Bahasa Indonesia dalam arti sebenarnya disebut sebagai perbuatan pidana atau perbuatan yang dapat dihukum.
Menurut Simmons, delik adalah suatu perbuatan atau akibat dari suatu perbuatan, perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan undang-undang dan perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat diperlanggung-jawabkan kepadanya.

Menurut E. Utrecht, sturfbaarfeit adalah suatu peristiwa pidana, menjadikan suatu perbuatan menjadi suatu peristiwa pidana maka harus perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan atau kejahatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman. Menurui teori ini maka menurut E. Utrecht anasir-anasir peristiwa tindak pidana (E. Utrecht, 1999:252) adalah suatu kelakuan yang:
1. bertentangan dengan (melawan hukum) atau dalam bahasa Belanda onrechtmatig atau wederrechtelijk,
2. diadakan karena pelanggaran bersalah (aan schuld van de overtreder te witjen);
3. dapat dihukum (strafbaar).

Unsur-unsur (delik) dalam hukum pidana dapat dibagi dalam 2 (dua) golongan, yaitu a) unsur-unsur yang obyektif, dan b) unsur-unsur yang subycktif.
1. Unsur-unsur yang obyektif, unsur-unsur yang terdapat di luar dari manusia, yaitu berupa:
1) suatu tindak-tanduk: 2) suatu akibat tcrtentu dan 2) suatu keadaan yang keseluruhannya dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (Satochid Karianegara, 2000, 73). Unsur ini juga merupakan unsur/delik yang melekat pada perbuatan, yang terdiri dari:
a. sifat mclawan hukum dari perbuatan tersebut,
b. keadaan atau akibat yang menyertai perbuatan tersebut.
c. syarat tambahan untuk dapat dipidana.

Istilah ini juga sering disebut sebagai suatu perbuatan (actus reus) yang dilakukan, perbuatan tersebut diancam dengan pidana dan bertentangan dengan hukum yang ada.

2. Unsur-unsur yang subyektif, terdiri dari :
1) dapat dipertanggung-jawabkan kepada pelakunya; 2) terdapat unsur kesalahan (schuld), unsur ini sering juga disebutkan sebagai unsur kesalahan (mens rea) dalam hal mana perbuatan pelaku memiliki kesalahan dan dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya.
Unsur delik yang melekat pada pelaku terdiri dari: 1) unsur kesalahan sengaja (dolus/opzet) atau tidak sengaja (culpa); dan 2) keadaan pribadi seseorang/subyektif, misalnya keadaan psikis (takut, malu) atau kcadaan nonpsikis (seorang Pegawai Negeri Sipil, Seorang Ibu, Anak, dll.)

Contoh Pasal 362 KUHP yang unsur-unsurnya (Amir Ilyas. 20(2:52) terdiri atas : 
Barang siapa mengambil barang, yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki barang Itu dengan melawan hukum, dipidana karena mencuri dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ribu rupiah. 


B. UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 

Unsur-unsur tindak pidana pencucian uang merupakan segala delik yang terdapat dalam ketentuan hukum yang mengatur tentang perbuatan orang atau suatu korporasi yang mana perbuatan tersebut adalah perbuatan tindak pidana pencucian uang atau yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang dapat diberikan sanksi hukum dalam ketentuan undang-undang yang berlaku dan orang atau suatu korporasi yang melakukan perbuatan tersebut dapat dimintakan penanggungjawaban kepadanya.

Ketentuan perbuatan hukum pidana pencucian uang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Notnor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menjadi Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Penccgahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pcncucian Uang.
Ketentuan dclik tindak pidana pencucian uang sendiri hanya terdiri dari beberapa pasal dan diatur pula tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang itu sendiri. Ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, menyebutkan dalam Pasal 1 Angka 1, pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, sedangkan dalam UU No. 25 Tahun 2003 menyebutkan definisi pencucian uang adalah : 

"Perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah" 

Ketentuan delik tindak pidana pencucian uang sehubungan dengan perubahan undang-undang tindak pidana pencucian uang dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dibagi menjadi dua bagian, pertama sebagaimana dalam ketentuan Bab II tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Ayat (1), sedangkan yang kedua, yaitu Bab II tentang Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Pencucian Uang, yang ditentukan dalam ketentuan Pasal 11 sampai dengan Pasal 16.

1. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang

Unsur-unsur dalam Pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 : 
Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, mernbawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah). 





Unsur-unsur dalam Pasal 4 UU No. 8 Tahun 2010: 
Setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah). 



Unsur-unsur dalam Pasal 5 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010: 
(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling tarna 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah). 



Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 mensyaratkan adanya harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan demikian seluruh uang kekayaan yang didefinisikan sebagai suatu tindak pidana asal (predicate crime) dapat dipidana dalam ketentuan undang-undang No. 8 Tahun 2010 ini. Adapun tindak pidana asal yang disebut sebagai predicate crime, sebagaimana yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1 ) sebagai harta kekayaan hasil dari tindak pidana sebagai tindak pidana awal adalah kejahatan :



Unsur perbuatan pencucian uang terkait dengan tiga hal pokok (1rman S, 2012:35). yaitu adanya :
a. kejahatan semual, atau asal, atau predicate crime, yang mengakibatkan hasil, yaitu hasil tindak pidana;
b. suatu perbuatan yang dilakukan terhadap hasil tindak pidana tersebut,
c. harta kekayaan scbagai hasil dari tindak pidana tersebut.

Unsur tindakan perbuatan melawan hukum bukan pada kegiatan mendapatkan suatu barang ataupun uang atau kekayaan lainnya dengan melakukan tindak pidana. Kejahatan awal (predicate crime) tidak harus dilakukan oleh pelaku tindak pidana pencucian uang, tetapi juga dapat dilakukan oleh orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5, mclakukan pelapisan (layering) dan penggabungan (integration) ini tidak harus dilakukan oleh pelaku tidak pidana pencucian uang sebagai syarat untuk dapat dikenakan tindak pidana pelapisan dan penggabungan tersebut karena cukup pelaku tindak pidana Pasal 4 dan Pasal 5 tersebut mengetahui atau patut diduga bahwa harta, atau uang, atau harta kekayaan tersebut berasal dari tindak pidana. Jadi, syarat utama dalam tindak pidana pencucian uang harta atau uang atau kekayaan tersebut berasal dari tindak pidana sebagaimana telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tersebut.

Apabila sudah dapat dipastikan atau patut diduga bahwa harta atau uang atau kekayaan lainnya merupakan hasil tindak pidana maka unsur selanjutnya apakah ada niat atau kehendak dari setiap orang tersebut untuk melakukan suatu perbuatan atas harta tersebut sehingga harta tersebut sulit untuk dilacak dengan cara sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3, Pasal 4. dan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2010, dengan cara menetapkan, menyamarkan dan menggabungkan hana tersebut sehingga harta tersebut susah dilacak keberadaannya.

Setelah harta atau uang atau kekayaan lainnya susah untuk dilacak maka upaya tindak pidana selanjutnya mengubah bentuk atau jumlah dari harta tersebut dengan menggunakan uang atau harta dan kekayaan lainnya tersebut, baik dengan pembelian, hibah, mengalihkan, membuat modal usaha, menginvestasikan dalam bentuk benda ataupun saham, mengirimkan ke luar negeri, menukarkan dengan mata uang asing, atau surat berharga dan lain sebagainya.

Sebagai contoh: Saudara A melakukan tindak pidana korupsi, lalu hasil tindak pidana korupsi tersebut dimasukkan dalam institusi keuangan dan setelah itu membelanjakan uang tersebut dengan membeli rumah atau barang berharga lainnya dengan tujuan agar uang hasil tindak pidana korupsi tersebut bcrubah bentuk sehingga seakan-akan berasal dari uang yang sah. Jika A mendapatkan uang tersebut dari kegiatan bisnis yang sah maka penempatan dan pembelanjaan uang dan harta kekayaan tersebut tidak merupakan tindak pidana pencucian uang.


Unsur kesalahan adalah suatu keadaan psikis (batin) pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan suatu perbuatan itu (Irman S. 2012,73). Kcsalahan berhubungan dengan suatu perbuatan sehingga dapat dicela. Perbuatan tercela tersebut diatur dalam ketentuan hukum positip ataupun hal tersebut dianggap scbagai suatu perbuatan pidana.
Pcrbuatan tercela terschut scring disebut sebagai perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum tersebut dilakukan olch orang yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatan orang tersebut dan perbuatan tersebut adalah perbuatan yang dilarang ataupun perbuatan yang harus dilakukun sebagaimana diatur dalam ketentutui hukum yang ada (hukum positif) sehingga perbuatan tersebut dapat dikatakan telah memiliki unsur `kesalahan' hal sering disebut sebagai perhuatan hukum formil, scdangkan dalam hal perbuatan pidana tersebut tidak disebutkan dalam suatu peraturan perundang-undangan, tetapi dalam masyarakat dianggap scbagai perbuatan hukum yang terccla, tidak pantas, dan merugikan rasa keadilan dalam masyaralcat dan melanggar hak subyektif orang lain maka perbuatan hukum tersebut dapat dikatakan perbuatan melawan Hukum materiil.
Perbuatan melawan hukum materiil ini, walaupun tidak diatur dalam ketentuan hukum positif, tetapi perbuatan tersebut secara nyata-nyata telah dilakukan dan merugikan rasa kcadilan dalam masyarakat, dan perbuatan tersebut sebagai perbuatan tercela dalam masyarakat maka hakim dapat memutuskan bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi unsur adanya kcsalahan.

Perbuatan melawan hukum materiil dikaitkan dengan hukum yang tidak tertulis, jadi bukan hanya melanggar ketentuan hukum yang tertulis saja. Dengan demikian, perlanggaran terhadap hak subyektif orang lain, bcrtentangan dengan asas-asas hukum umum, bertentangan dengan kepatutan dan rasa kcadilan yang hidup dalam masyarakat juga dapat dikatakan tclah melakukan perbuatan tnelawan hukum secara materiil.

Ada dua pendekatan sehubungan dengan ajaran perbuatan melawan hukum materiil ini :
a) Perbuatan Melawan Hukum Materiil berfungsi negatif,
yaitu apabila perbuatan yang pelaku merupakan delik satu perbuatan pidana sebelumnya sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum pidana, tetapi karena ketentuan kepatutan, asas-asas, dan rasa keadilan dalam masyarakat maka perbuatan hukum tersebut tidak lagi atau bukan merupakan unsur perbuatan melawan hukum.
b. Perbuatan melawan hukum materiil berfungsi positif,
yaitu apabila perbuatan yang pelaku lakukan tidak merupakan delik suatu perbuatan pidana sebagaimana yang diatur dalam ketentuan hukum tertulis, tetapi karena ketentuan kepatutan, asas-asas, dan rasa keadilan dalam masyarakat maka perbuatan hukum tersebut menjadi delik perbuatan melawan hukum.

Contoh: Tuan A menggunakan perusahaannya untuk melakukan transaksi perdata, tetapi dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan (perseroan dijadikan alat untuk melakukan tindak pidana) maka orang dan korporasi tersebut dapat dimintakan pertanggung jawaban pidana walaupun dalam KUHP korporasi bukan merupakan subyek hukum, tetapi ajaran perbuatan hukum materiil telah jelas-jelas dilakukan.

2. Tindak Pidana yang Terkait dengan Tindak Pidana Pencucian 
Berikut ini, beberapa tindak pidana yang terkait dengan tindak pidana pencucian sebagaimana yang dimaksud :
a. Pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, hakim, dan setiap orang yang memperoleh dokumen atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut undang-undang pencucian, wajib merahasiakan dokumen atau keterangan tersebut, kecuali untuk memenuhi kewajiban menurut undang-undang peneucian uang. (Pasal 11 Ayat (1))
b. Direksi, komisaris, pengurus, atau pegawai pihak pelapor dilarang memberitahukan kepada pengguna jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK. (Pasal 12 Ayat I)
c. Pejabat atau pegawai PPATK atau lembaga pengawas dan pengatur dilarang memberitahukan laporan transaksi keuangan mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada pengguna jasa atau pihak lain. (Pasal 12 Ayat 3)
d. Setiap orang yang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 Ayat (3) undang-undang tindak pidana pencucian uang. (Pasal 14)
e. Dalam hal pejabat atau pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim, yang menangani perkara tindak pidana pencucian uang yang sedang diperiksa, melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 Ayat (1) dan/atau Pasal 85 Ayat (1). (Pasal 16)

Pasal 83 Ayat (1) 
Pejabat dan Pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, atau hakim wajib merahasiakan pihak pelapor dan pelapor

Pasal 85 Ayat (1) 
Di sidang pengadilan, saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang terkait dengan tindak pidana pencuclan uang yang sedang dalam pemeriksaan dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal laln yang memungkinkan dapat terungkapnya identitas pelapor. 




KEGIATAN BELAJAR 2 
PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) 

A. TINDAK PENCUCIAN UANG TINDAK PIDANA KHUSUS 

Tindak pidana pencucian uang termasuk tindak pidana khusus karena tindak pidana ini diatur di luar KUHP, ancaman hukuman berat, dan kumulatif dengan minimum hukuman. Berkaitan dengan hukum acara tindak pidana pencucian uang mengacu pada hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP, sepanjang tidak ditentukan lain dalam ketentuan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Peneucian Uang (TPPU).
Hal ini mengartikan bahwa dalam hal penyidikan dan penuntutan, tentang kewenangan institusi dan kewenangan yang dimiliki olch penyidik dan penuntut umum jika telah diatur dalam knentuan TPPU maka yang berlaku adalah ketentuan yang terdapat dalam ketentuan UU TPPU tersebut, tetapi sepanjang tidak diatur lebih khusus maka ketentuan hukum acara dan kewenangan yang dimiliki mengacu kepada ketentuan KUHAP. Hal inilah yang disebutkan sebagai penerapan asas 'lex specialis derograd legi generalis'.
Sebagai contoh dalam hal tindak pidana ekonomi dalam Penjelasan Pasal 284 Ayat (2) KUHAP menerangkan bahwa yang dimaksud dengan "ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu" ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undang-Undang tentang pengusutan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana ekonomi (Undang-Undang No. 7 Drt. Tahun 1955).
Pasal 68 UU TPPU juga menegaskan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan serla pelaksanaan putusan yang telah memperoleh kekuatan Hukum tetap terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang TPPU tetap dilakukan dengan ketentuan UU TPPU kecuali ditentukan lain maka ketentuan kembali kepada ketentuan KUHAP.

Ketentuan yang menyimpang dari UU TPPU dari ketentuan Hukum Acara Pidana Umum (KUHAP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, adalah Pasal 69, perihal pembuktian tindak pidana asal, Pasal 70 perihal Penundaan Transalcsi, Pasal 71 perihal Pemblokiran, Pasal 74 perihal Penyidikan, Pasal 77 dan 78 perihal Pembuktian Terbalik, Pasal 79 perihal perkara in absentia, dan Pasal 81 perihal Perampasan Harta Kekayaan yang belum disita.

B. PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 

Tentang penyidikan TPPU diatur dalam Bab VIII Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan dan penting sekali dipahami ketentuan Pasal 74 tentang perluasan penyidik, dan Pasal 75 tentang bagaimana cara menyidik antara predicate offense dan money laundering-nya.

Penyidikan merupakan rangkaian tindak penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam ketentuan KUHAP atau undang-undang lain yang diatur secara lebih khusus untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka (Pasal 1 Ayut (2) KUHAP).
Upaya yang dilakukan oleh penyidik dalam mengumpulkan bukti-bukti tersebut dengan melakukan pemanggilan terhadap pihak-pihak yang diduga terkait dengan pidana tasebut untuk diminta keterangan sehubungan dengan tindak pidana yang disangkakan kepada pihak tersangka, upaya-upaya yang dapat dilakukan terhadap tersangka dapat berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan. maupun penyitaan sedangkan terhadap sanksi dapat dipanggil secara paksa maupun ditingkatkan statusnya menjadi tersangka jika cukup bukti ada kaitannya dengan tindak yang dilakukan.

Proses tindak pidana pencucian uang (TPPU), untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Dengan demikian, dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana pencucian uang dan memberitahukan kepada PPATK maka antara tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang disusun dalam satu berkas yang nantinya didakwakan olelt Jaksa dalam bentuk atau susunan dakwaan kumulatif.

Yang dimaksud dengan penyidik pidana asal adalah pejabat dari instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan, yaitu Kepolisian RI, Kejalcsaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Ditjen Pajak, serta Ditjen Bea dan Cukai Kementrian Keuangan RI. Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemulcan bukti permulaan cukup terjadinya tindalc pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.

Selain itu, penyidik dan penuntut umum dalam rangka penyidikan dapat melakukan penundaan transaksi (Pasal 70), pemblokiran (71), keterangan tentang harta kekayaan tersangka kepada pihak pelapor (Pasal 72). dalam Ayat (5) dinyatakan harus dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh Kepala Kepolisian RI atau Kapolda.

Pasal 70 UU TPPU: 
Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan Pihak Pelapor untuk melakukan penundaan Transaksi terhadap Harta Kekayaan yang dlketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana. 

Penundaan transaksi merupakan upaya terhadap pemberhentian aktivitas transaksi yang mencurigakan, jika tidak dilakukan akan berdampak pada meningkatnya aktivitas transaksi yang diduga merupakan hasil dari suatu tindak pidana awal (predicate crime) upaya pemberhentian transaksi ini dilakukan terhadap transalcsi yang dilakukan secara elektronik sedangkan jangka waktu penundaan transaksi tersebut paling lama 5 (lima) hari dan setelah tersebui jika tidak ditemukan adanya indikasi untuk ditindak lanjuti maka penundaan transaksi tersebut haruslah dibatalkan.

Pasal 71 Ayat (I) UU TPPU: 
Pasal 71 TPPU menjelaskan bahwa penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dari:
a. setiap orang yang telah dilaporkan olch PPATK kepada penyidik;
b. tersangka: atau
c. terdakwa.

Ketentuan Pasal 71 Ayat (7) TPPU juga menyebutkan bahwa harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada pihak pelapor yang bersangkutan, pelapor dalam hal ini seperti perbankan. Dalam ketentuan ini tidak seperti hukum acara sebelumnya, pada saat proses sudah dilimpahkan ke penuntutan maka dengan sendirinya blokir dibuka dan dipindah ke rekening penampung di kejaksaan, sekarang tidak dibenarkan lagi.
Bahwa upaya pemblokiran aset ataupun harta kekayaan yang diduga melakukan TPPU tetap pada rekening orang tersebut. tanpa dengan memindahkan seluruh atau sebagian dari harta kekayaan tersebut.

Pasal 72 UU TPPU
Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta pihak pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan dari:
a. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik;
b. tersangka; atau
c. terdakwa.

Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud harus ditandatangani dan disetujui oleh:
a. Kepala Kepolisian Negarn Republik Indonesia atau kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan olch penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia:
b. pimpinan instansi atau lembaga atau komisi dalam hal permintaan diajukan olch penyidik selain penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. jaksa agung atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuniut umum: atau
d. hakim ketua majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.

Penyidikan yang dilakukan terhadap TPPU tergantung kepada tindak pidana awal (predicate crime) jika tindak pidana awal dilakukan oleh kepolisian maka TPPU tersebut juga dilakukan oleh kepolisian, demikian pula dengan tindak pidana narkotika jika dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) maka upaya terhadap penyidilcan TPPU juga dilakukan oleh BNN tersebut dengan demikian dalam melakukan upaya mencari bukti dan saksi-saksi harus dilakukan secara simultan dan bersama-sama dengan 2 (dua) pokok perkara yang disusun secara kumulatif sehingga pembuktian satu dengan lainnya saling mendukung hal ini sangat ditekankan dalam Pasal 74 dan Pasal 75 UU TPPU.

Pasal 74 UU TPPU 
Penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain menurut Undang-Undang ini. 

Pasal 75 UU TPPU 
Dalam hal penyidik menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana Pencucian Uang dan tindak pidana asal, penyidik menggabungkan penyidikan tindak pidana asal dengan penyidikan tindak pidana Pencucian Uang dan memberitahukannya kepada PPATK. 

C. PENUNTUTAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 

Terkait peran jaksa penuntut umum dalam pengungkapan kejahatan TPPU tentu tidak terlepas dari proses penyidikan yang menurut Pasal 74 dan 75 TPPU harus digabungkan maka dalam dakwaan juga harus secara kumulatif. Masalah berawal dari penuntutan yang ternyata tidak sederhana, pertama berkenaan apakah harus dibuktikan keduanya atau cukup pencucian uangnya saja tanpa terlebih dahulu membuktikan predicate offence-nya, terlebih terdapat ketentuan Pasal 69 UU TPPU menyebutkan bahwa untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Ketentuan ini juga menegaskan bahwa tindak pidana asal dari mana dugaan kuat telah terjadi pencucian uang, tidak perlu dibuktikan olch jaksa penuntut umum. Ketentuan ini untuk menegaskan bahwa sasaran UU TPPU adalah bukan pada thrbuatan (kesalahan) terdakwa, melainkan pada harta kekayaan yang diduga berasal dari atau terkait dengan tindak pidana asal.
Hal ini untuk mempermudah jaksa dalam melakukan proses pembuktian terhadap tindak pidana pencucian uang, namun tentu tidak sesederhana ini karena seperti disebutkan di atas bahwa sejak di penyidikan bahwa harus dicari bukti keduanya. Sclain itu, ada kesan sudah dilakukan pembuktian terbalik sejak di penyidikan, yaitu bahwa jaksa tidak perlu membuktikan tentang unsur harta kekayaan yang patut diduga dan atau diketahui berasal dari kejahatan tidak dibuktikan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 77 dan Paml 78 UU TPPU.

Pasal 77 
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Pasal 78 
(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1). 
(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. 

Jaksa penuntut umum harus memahami betul bahwa dakwaan harus disusun secara kumulatif bukan alternative, karena antara predicate offence dan peneucian uang adalah dua kejahatan yang walaupun perbuatan peneueian uang sclalu harus dikaitkan dengan predicate offence-nya, namun peneucian uang adalah kcjahatan yang berdiri sendiri (as a seporate crime).  Dengan demikian, dalam mendakwa tindak pidana pencucian uang misalnya berkaitan dengan dakwaan Pasal 3 maka predicate offence dan follow uperimes-nya didakwakan sekaligus. Namun demikian, perlu diperhatikan adakalanya terhadap pelaku Pasal 3 dakwaan bisa saja tunggal, yaitu ketika seseorang melakukan proses pencucian uang atas hasil kejahatan, pelaku tidak terlibat langsung dengan kejahatan, namun dia patut untuk menduga bahwa uang tersebut berasal dari kejahatan. Untuk pelaku ini tidak harus dipertanggungjawabkan predicate offence-nya, tetapi hanya lindak pidana pencucian uangnya.
Selanjutnya, masih ada dakwaan tunggal untuk tindak pidana pencucian uang yang tidak harus dikaitkan dengan predicate offence-nya, dalam hal ini misalnya pelaku hanya berkenaan dengan dakwaan Pasal 5 UU TPPU, dalam hal ini pelaku hanya dipenanggungjawablcan atas perbuatan pencucian uang pasif. yaitu mcnerima dan lain-lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut berasal dari kejahatan.
Dalam hal pelaku berkaitan dengan Pasal 6 UU TPPU maka dakwaannya bersifat tunggal atau didakwa alternatif dengan pasal lain yang relevan, yang penting harus sesuai dengan fakta bahwa perbuatannya hanya satu.

D. PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG 

Alat bukti yang sah dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang PPTPPU mengacu pada Hukum Acara Pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yakni: 
1. keterangan saksi,
2. keterangan ahli.
3. surat,
4. petunjuk.
5. keterangan terdakwa,

Dalam UU PPTPPU sekaligus diatur mengenai bukti elektronik, yakni alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan soeara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dokumen.

Pasal 1 Angka 16 menyebutkan: 
Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dillhat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, balk yang tertuang di atas kertas atau benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: 
a. tulisan, suara, atau gambar; 
b. peta, rancangan, foto, atau sejentsnya; 
c. huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. 

Hukum pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalam Pasal 77 sampai Pasal 78 Undang-Undang PPTPPU adalah menganut asas pembuktian terbalik, artinya terdakwa yang membuktikan di sidang pengadilan, sedangkan jaksa/penuntut umum bersikap pasif, Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) UU PPTPPU.

Pasal 77 
Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana.

Pasal 78 
(1) Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1). 
(2) Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup. 

Dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya. Pencucian uang merupakan independent crime, artinya kejahatan yang berdiri sendiri, meskipun merupakan kejahatan yang lahir dari kejahatan asalnya. Merujuk pada ketentuan Pasal 77 dan 78 UU TPPU, berdasarkan asas lex certa, kecuali ada penjelasan lain dalam pasal tersebut maka harta kekayaan yang wajib dibuktikan oleh terdakwa adalah harta kekayaan yang hanya terkait dengan tindak pidana atau secara negatif dirumuskan sebagai harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana.
Ketentuan tersebut secara eksplisit mewajibkan penuntut untuk secara selektif menentukan hatia kekayaan terdakwa yang wajib dibuktikan terdakwa dan mana yang tidak wajib dibuktikan. Hal ini berarti bahwa hanya harta kekayaan terdakwa terkait tindak pidana yang dicantumkan dalam surat dakwaan penuntut saja (aspek materiiI) yang wajib dibuktikan terdakwa, dan tidak pada harta kekayaan yang tidak terkait dan tidak dituntut dalam surat tuntutan penuntut. Mengenai tempus delicti dan locus delicti serta rincian harta kekayaan terdakwa merupakan masalah krusial karena UU TPPU tidak mengatur secara khusus mengenai tempus delicti harta kekayaan (bukan perbuatan) yang diduga berasal dari tindak pidana.
Tempus delicti harta kekayaan yang diduga berasal dari atau terkait tindak pidana tidak mutatis mutandis tempus delicti perbuatan yang didakwakan karena; pertama, harta kekayaan dimaksud khusus bagi seorang penyelenggara negara adalah harta kekayaan yang diperoleh sejak yang bersangkutan diangkat pada jabatannya, selama dan setelah berhenti dari jabaian; Kedua, tujuan UU TPPU 2010 adalah pada perampasan harta kekayaan terdakwa yang di duga dari atau terkait tindak pidana asal, bukan untuk tujuan membuktikan kesalahan terdakwa. Pembuktian kesalahan terdakwa tidak mutatis mutandis tidak sahnya perolehan harta kekayaun terdakwa yang tidak terkait tindak pidana (asal). (Romli Atmasasmita, 2013:25)

Contoh penerapan pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang, yaitu kasus tindak pidana pencucian uang dengan terdakwa Yudi Hermawan bin Hadi Samsudin dalam Putusan Mahkamah Agung No. 791 K/PID.SUS/2010 tanggal 29 Juni 2010. Kasus posisinya adalah terdakwa Yudi Hermawan (sclanjutnya disebut terdakwa) diduga melakukan tindak pidana pencucian uang terkait dengan jabatannya sebagai seorang pemeriksa pajak di kantor wilayah direktorat jenderal pajak khusus bersama rekannya Agi Sugiyono, S.E. dan R. Handaru lamoyojati pada pertengahan taltun 2006 sampai dengan bulan Februari 2007 ditugaskan melakukan pemeriksaan pajak atas PT. Broadband Multimedia, Tbk. Menjelang akhir pemeriksaan sekitar bulan Februari sampai dengan April 2007, terdakwa dan rekannya memperolelt uang sebesar Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah) dalam bentuk valas dari Pak Asri (PT. Broadband Multimedia, Tbk.). Kemudian, terdakwa menempatkan uang tersebut sebesar Rp4.590.000.000 (empat miliaar lima ratus sembilan puluh juta rupiah) dalam bentuk deposito di Bank BNI cabang Karawang, sedangkan sebagian uang tersebut diambil tunai oleh terdakwa untuk kepentingan sehari-hari.
Terdakwa telah mentransfer uang dari rekening atas namanya sendiri di Bank BN1 cabang Karawang sebanyak Rp 3.485.000.000,- (tiga miliar empat ratus delapan puluh lima juta rupiah). Dakwaan pertama atas perbuatan terdakwa ini adalah Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 Huruf a, b, c, dan d tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Sedangkan Dakwaan yaitu Pasal 6 Ayat 1 Huruf a, b, c, d, e, dan f UU No. 15 Tahun 2002 jo. UU No. 25 Tahun 2003 Huruf a, b, c. dan d tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

Analisis Penulis terhadap kasus di atas, yaitu tindak pidana asal/pokok terdakwa adalah korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 12 b UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang unsur-unsurnya terpenuhi, yaitu terdakwa sebagai pegawai negeri, menerima hadiah Rp 6.000.000.000 (enam miliar) dari PT. Broadband Multimedia, Tbk., dan diketahui bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat telah melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Sedangkan. tindak pidana sebagai akibat dari tindak pidana asal adalah tindak pidana pencucian uang sebagaimana diatur dalain Pasal 3 Undang-Undang PPTPPU telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal tersebut, yaitu terdakwa telah menempatkan, mentransfer, membelanjakan, menukarkan dengan mata uang atas harta kekayaan yang diketahuinya merupakan hasil tindak pidana korupsi (Pasal 2 Ayat I Undang.Undang PPTPPU).
Pada kasus ini, majelis hakim dalam tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung sudah tepat memberikan putusan bahwa tindak pidana yang dilakukan terdakwa adalah tindak pidana pencucian uang, bukan tindak pidana korupsi. Hal ini dikarenakan dasar hukum Pasal 69 Undang-Undang PPTPPU, yaitu "untuk dapat mclakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana pencucian uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya ",  Artinya, tindak pidana pencucian uang bersifat independent atau berdiri sendiri. Jadi, hukum pembuktian dalam tindak pidana pencucian uang menganut asas pembuktian terbalik, serta tindak pidana pencucian uang bersifat berdiri sendiri sehingga tindak pidana awalnya tidak perlu dibuktikan tcrlebih dahulu.



MODUL 9 
STUDI KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

KEGIATAN BELAJAR I 
STUDI KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)


A. KASUS 1: PUTUSAN MA NOMOR: 791 K/P1D.SUS/2010 

1. Identitas Terdakwa : 
Nama : YUDI HERMAWAN bln HADI SAMSUDIN 
Tempat lahir : Jakarta
Umur/tanggal lahir : 37 tahun103 September 1971
Jenis kelamin : laki-laki
Kebangsaan : lndonesia
Tempat tinggal : Dusun Sinarsari RT. 10102, D Desa Rengas Dengklok Kecamatan Rengas Dengklok Kabupaten Karawang.

2. Pasal Yang Didakwa: 

a. PERTAMA : Pasal 3 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Huruf a, b, c, dan Huruf d tentang Tindak Pidana Peneucian Uang.
b. KEDUA : Pasal 6 Ayat I Hund a, b, c, d, c dan f Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, scbagaimana tclah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Taltun 2003 Huruf a, b, c, dan Huruf d tentang Tindak Pidana Peneuciart Uang.


3. Kasus Posisi 
Bahwa ia Terdakwa Yudi Hermawan bin Hadi Sanuudin pada tanggal 06 Maret 2007 atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam bulan Maret 2007 atau setidak-tidaknya dalam tahun 2007, bertempat di Bank BNI Cabang Karawang atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Karawang, menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam jasa keuangan, mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu jasa penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain, menghibahkan atau menyumbanglcan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, menitipkan harta kekayaan yang diketaltuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama orang lain, perbuatan yang terdakwa lakukan dengan cara berikut ini :

a. Berawal bahwa Terdakwa bersama-sama dengan saksi R. Handaru Ismoyojati dan Agi Sugiono, S.E. (masing-masing diajukan dalam berkas terpisah) yang bertugas di kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus beralamat di Gedung Sucopindo No. 34 Jakana Selatan telah ditunjuk selaku Tim Pemeriksa Pajak pada sekitar bulan Mei 2006 s/d bulan Agustus 2007 untuk melakukan pemeriksaan pajak terhadap wajib pajak (WP) PT. Broadband Multimedia, Tbk.

b. Bahwa setelah berakhir pemeriksaan pajak terhadap WP PT. Broadband Multimedia, Tbk. sekitar bulan April 2007 terdakwa menyampaikan kepada saksi R. Handaru dan saksi Agi Sugiono, S.E. ada dana dari Pak Asri sebesar Rp. 6.000.000.000 (enam miliar rupiah) dalam bentuk valas, dalam selang beberapa waktu setelah menyampaikan kabar tersebut terdakwa menempatkan sejumlah harta kekayaan berupa uang dengan membuka rekening deposito di Bank BNI Cabang Karawang dengan Nomor Rekening: 119611235 A.n. Yudi Hermawan dengan menyetorkan uang valuta asing sebesar US S500.000 (I ima ratus ribu dolar Amerika Serikat) dalam pecahan US S100 (seratus dolar Amerika Serikat) kemudian dalam deposito dikonversikan ke dalam rupialt sebesar Rp. 4.590.000.000 (empat miliar lima ratus sembilan puluh juta rupiah) dan pada saat mengisi fonnulir aplikasi pembukaan rekening deposito di Bank BNI Cabang Karawang Nomor Rekening 119611235 Terdakwa menulis asal dana berasal dari komisi dan mencantumkan pekerjaan sebagai pcgawai Depkeu Rl.

c. Bahwa Terdakwa Yudi Hermawan telah membuka rekening-mkening atas namanya sendiri di BNI Cabang Karawang untuk menampung aliran dana yang berasal pencairan dana dari rekening deposito BNI Cabang Karawang dengan Nomor Rekening 119611235 senilai Rp. 4.590.000.000 (emput miliar lima ratus sembilan puluh juta rupiah) adapun mkening-rekening sebagai berikut.
1) Rekening Tabungan Nomor 119609509 dibuka tanggal 6 Maret 2007.
2) Rekening Deposito Nomor. 119611235 dibuka tanggal 6 Maret 2007.
3) Rekening Haji Nomor 119712471 dibuka tanggal 07 Maret 2007.

d. Bahwa bunga deposito nomor rekening 119611235 scbcsar kurang lebili Rp25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) beserta sebagian hasil pencairan sebesar Rp390.000.000 (tiga ratus sembilan puluh jula rupiah) ditempatkan di rekcning milik A.n. Terdakwa Yudi Hermawan di BN1 Cabang Karawang dengan Nomor Rekening 119609509 BNI Cabang Karawang. sedangkan senilai kurang lebib Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) diambil tunai oleh Terdakwa Yudi Hermawan untuk kepentingan schari-hari Terdakwa.

e. Bahwa terdakwa scjak tanggal 11 Juni 2007 sid 18 Juni 2007 tclah memmnsfer dana dari rekening di Bank BNI Nomor Rekening 119609509 A.n. terdakwa berturut-turut scbanyak 23 kali dcngan nilai total Rp432.000.000 (empat ratus tiga puluh dua juta rupiah) yang kemudian dibelikan 1 (satu) unit ruko dan I (satu) unit mobil Daihasu Xenia.

f. Baltwa Terdakwa dari tanggal 12 Juni 2007 s/d 06 Agustus 2007 kherapa kali telah mentransfer dari rekening BN1 Cabang Karawang nomor rekening 119609509 A.n. terdakwa ke rekening istrinya (saksi YANI RAKHMAWATI) senilai total RpI21.000.000 (seratus dua satu juta rupiah) dan setelah ditarik tunai dipergunakan untuk pembangunan gedung pcsantren bahwa pada tanggal yang sama terdakwa telah menuansfer pula sebanyak dua kali pada saksi WIDIYANTI pertama sejumlah Rp250.000.000 (dua ratus lima puluh juta rupiah) yang dipergunakan untuk membeli 1 (satu) unit ruko dan kedua sebesar Rp182.000.000 (seratus delapan pulub dua jula rupiah) dipergunalcan untuk membeli kendaraan Xenia.

g. Bahwa pada tanggal 25 Juni 2007 Terdakwa mentransfer dana sebesar Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dari rekening nomor 119609509 A.n. terdakwa kepada rekening istrinya (Sdri. YANI RAKHMAWATI) di Bank BNI Cabang Karawang yang setelah ditarik tunai dibelikan 14 (empat belas) bidang sawah/tanah di atas namakan istrinya (saksi YANI RAKHMAWAT1).

h. Bahwa terdakwa pernah mentransfer dana sebesar Rpl .000.000.000 (satu miliar rupiah) ke rekening istrinya (saksi YANI RAKHMAWAT1) di BNI Cabang Karawang dengan nomor rekening 012856009 yang kemudian dipergunakan umuk membeli tanah/sawah serta kegiatan operasional pesantren/sekolah TK. AISIYAH 4 yang dikelolanya.

i. Bahwa Terdakwa telah memberikan pula uang kepada saksi AGI SUGIYONO, S.E. sebesar US $100.000 yang kemudian diminta kembali olch terdakwa sebesar US S2.500, dan kepada saksi R. HANDARU ISMOYOJATI sebesar Rp113.000.000 (seratus tiga belas jum rupiah) yang diambil melalui rekening terdakwa di BNI Cabang Karawang nomor rekening 119609509, di mana saksi R. HANDARU ISMOYOJATI mengetahui saksi AGI SUGIYONO, S.E. diberi uang juga oleh terdakwa YUDI HERMAWAN yang berasal dari pemeriksaan WP (PT. Broadband Multi Media, Tbk.) sebesar Rp. 10.000.000.000.00 (sepuluh milyar rupiah) yang diambil dari rekening terdakwa.

j. Bahwa terdakwa dengan menerima uang sebesar Rp6.000.000.000 (enam miliar rupiah) dalam bentuk valas dan menyimpannya dalam rekening atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain, guna untuk membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain, ataupun menghilangkan atau menyumbangkan harta kekayaan tersebut pada orang lain telah menunjukkan bahwa dana tersebut adalah merupakan hasil tindak pidana sebagaimana tercantum pada saat membuka rekening pertama atas namanya terdakwa, terdakwa menyampaikan bahwa dana tersebut berasal dari komisi.

4. Tuntutan 
a. Menyatakan terdakwa Yudi Hermawan bin Hadi Samsudin terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dakwaan kedua jaksa penuntut umum, melanggar Pasal 6 Ayat 1 Huruf a, b, c, d, e dan f Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang.
b. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Yudi Hermawan bin Hadi Samsudin selanta 12 (dua belas) tahun, dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara, dengan perintah tetap ditahan.
c. Menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) subsider 4 (empat) bulan kurungan.
d. Menetapkan seluruh barang bukti dirampas untuk negara.

5. Putusan PN. Karawang Nomor: 446/Pid.B/2008/Pn. Krw 
a. Menolak Eksepsi Penasihat Hukum Terdakwa.
b. Menyatakan Terdakwa Yudi Hermawan bin Hadi Samsudin tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Pencucian Uang",
c. Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp. l00.000.000 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan hukuman kurungan selama 2 (dua) bulan.
d. Menetapkan masa penahanan Terdakwa dikurangkan segenapnya dari pidana yang dijatuhkan.
e. Menetapkan seluruh barang bukti dirampas untuk negara.

6. Putusan PT Bandung Nomor: 294/PID/2009/PT. Bdg 
a. Menerima permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.
b. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Karawang tanggal 09 Februari 2009. Nomor: 44/Pid.B/2008/PN.Krw. yang dimintakan banding tersebut dengan perbaikan sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan sehingga amar selengkapnya sebagai berikut:
1) menolak eksepsi penasihat hukum terdakwa;
2) menyatakan terdakwa Yudi Hermawan bin Hadi Samsudin tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Pencucian Uang":
3) menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp. 100.000.000 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan hukuman kurungan selama 2 (dua) bulan:
4) menetapkan masa penahanan terdakwa dikurangkan segenapnya dari pidana yang dijawhkan:
5) menetapkan seluruh barang bukti dirampas untuk negara.

7. Putusan MA 
Memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 294/PID/2009/PT. Bdg.. tanggal September 2009 yang telah menguatkan putusan Pengadilan Negeri Karawang Nomor: 446/Pid.B/2008/PN.Krw. tanggal 09 Februari 2009 sekedar mengenai pidana denda sehingga b.unyi sebagai berikut:
a. menolak eksepsi penasihat hukum terdakwa:
b. menyatakan terdakwa Yudi Hermawan bin Hadi Samsudin tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana "Pencucian Uang":
c. menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan hukuman kurungan selama 8 (delapan) bulan:
d. menetapkan masa penahanan terdakwa dikurangkan segenapnya dari pidana yang dijatuhkan;
e. menetapkan barang bukti disita untuk negara.

8. Pertimbangan Hukum Hakim Kasasi 
a. Mengenai alasan-alasan dari Jaksa Penuntut Umum.
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena tidak didasarkan atas alasan kasasi sebagaimana ditentukan undang-undang, di samping itu keberatan kasasi lainnya merupakan penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan-alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tinglcat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagalmana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, dan apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, scbagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981). Namun denakian, amar putusan judex facti tentang pidana denda perlu diperbaiki oleh karena ancaman pidana yang ditentukan sesuai ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 15 Taltun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang minimal sebesar Rp5.000.000.000 (lima miliar) sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.000,- (lima belas miliar), sehingga putusan/amar putusan judex facti harus diperbaiki sepanjang menyangkut pidana denda.

b. Mengenai alasan-alasan dari Terdakwa. 
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, olch karena judex facti tidak salah menerapkan hukum karena sudah tepat dalam perambangan hukum dan putusannya. Keberatan kasasi bahwa judex facti salah menerapkan hukum karena dalam perkembangannya judex facti tidak membuktikan lebih dulu tindak pidana asal (predicate crime) tidak berdasarkan alasan hukum yang benar oleh karena ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 mensyaratkan Terdakwa cukup mengetahui atau patut menduga bahwa harta yang di tempatkan dan seterusnya tersebut merupakan hasil tindak pidana yang disebut dalam Pasal 2 diperolch langsung atau tidak langsung dari kcjahatan korupsi, penyuapan, dan sebagainya.

Dengan demikian, tidak menjadi beralasan hukum untuk membuktikan terlebih dahulu terjadinya tindak pidana korupsi, penyuapan dan lain-lain sebagai predicate crime untuk terjadinya/dilakukannya tindak pidana pencucian uang, hal itu sesuai pendapat ahli Subiantoro, S.H.. M.M. yang telah terdengar di depan sidang.

Bahwa alasan-alasan lainnya merupakan penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, alasan-alasan semacam itu tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak diterapkan suatu peraturan hukum atau peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya, atau apakah cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang, dan apakah pengadilan telah melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-Undang No. 8 Tahun 1981).  Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang maka permohonan kasasi dari jaksa/penuntut umum dan terdakwa tersebut harus ditolak.

9. Analisis 
Kasus yang ini masih menggunakan ketentuan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana ketentuan tindak pidana pencucian uang menggabungkan definisi tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang ini, yang dikutip sebagai berikut.

Pasal 3
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya mempakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasi1 tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000  (lima belas miliar rupiah).

Pasal 6 Ayat (1)
Setiap orang yang menerima atau menguasai :
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (ilma belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah).

Bahwa konscp tindak pidana awal (predicate crime) yang tidak perlu dinyatakan tclah tcrbukti dapat langsung mcnciapkan terdakwa telah mclakukan tindak pidana pcncucian uang tclah diterapkan dalam kasus ini, Majclis Hakim yang moncriksa perkara ini tetap herpendapat hahwa judex facti salah mencrapkan hukum karcna dalam pertionbangannya judex facti tidak mcmhuktikan lcbik dulu tindak pidana asal (predicate crime) tidak berdasarkan alasan hukum yang benar oleh karcna ketentuan Pasal 3 Undang.Undang No. 15 Tahun 2002 mensyaratkan terdakwa cukup mengetahui atau patut menduga bahwa harta yang di tempatkan dan seterusnya tersebut merupakan hasil tindak pidana. Dengan dcmikian, penerapan tcrhadap Pasal 3 terscbut dapat ditcrapkan.

Dakwaan yang diajukan olch jaksa penuntut umum adalah jenis dakwaan alternatif, yaitu dakwaan yang jika dakwaan kesatu terpenuhi maka dakwaan yang lain tidak perlu dibuktikan kembali hal ini dapat diketahui jika dalam dakwaan tersebut menggunakan kata 'atau', sedangkan dakwaan 'komulatif', yaitu dakwaan yang memberikan pembuktian bukan hanya pada dakwaan pertama juga pada dakwaan yang berbeda karena jenis perbuatan yang berbeda, tetapi dalam satu kegiatan yang sama misalnya, perbuatan tindak pidana korupsi lalu hasil dari tindak pidana korupsi tersebut dilakukan tindak pidana pencucian uang maka dakwaan dapat dilakukan secara kumulatif dengan dakwaan pertama adalah tindak pidana korupsi, sedangkan dakwaan kedua adalah tindak pidana pencucian uang, dengan demikian hukumannya atas kedua tindak pidana tersebut juga dapat diakumulasi, jcnis dakwaan terakhir adalah dakwann yang berbentuk `altematif kumulatif' dalam dakwaan ini dapat dijatuhkan pidana salah satu atau kedua-duanya dari dakwaan yang didakwakan oleh Jaksa Pcnuntut Umum dcngan menggunakan kata 'dan atau' dalam kalimat dakwanya maka Jaksa Penuntut Umum dapat menentukan bahwa dapat menghukum dengan dakwann yang telah ditetapkan dalam dakwaan pertama atau kedua atau dihukum dengan kedua-duanya.


B. KASUS 2: PUTUSAN NOMOR: 25/PID/2013/PT.DKI 

1. Identitas Terdakwa 
a. Nama : 1r. TOTO KUNTJORO KUSUMA JAYA bin TEGUH SANTOSO
b. Tempat lahir : Pati
c. Umur/tanggal lahir : 59 Tahun / 17 Agustus 1953
d. Jenis kelamin : laki-laki
e. Kebangsaan : Indonesia
f. Tempat tinggal : Taman Aries Blok D-6110.R1005106 Kelurahan Meruya Utara Kee.Kembangan Jakarta Barat.

2. Pasal Yang Didakwa:
a. PERTAMA : Pasal 6 Ayat 1 Huruf a, b, c, d, c dan f Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002, sebagaimana tclah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Huruf a, b, c, dan Huruf d tentang Tindak Piclana Pencucian Uang.
b. KEDUA : Pasal 3 Ayat (1) Huruf (c) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebugaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 Huruf a, b, c, dan Huruf d tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

3. Kasus Posisi 
Bahwa ia terdakwa 1r. TOTO KUNTJORO KUSUMA JAYA bin TEGUH SANTOSO selaku Direktur PT. GRAHA NUSA UTAMA berdasarkan Akta Pendirian Nomor: 161 tanggal 24 Mei 2002, pada hari-. yang tidak dapat ditentukan lagi dengan pasti sejak tanggal 20 Agustus 2003 sampai dengan tanggal 9 lanuari 2009 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu tertentu dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2009, bertempat di Kantor PT. T1RTAMAS NUSA SURYA dan di Kantor PT. GRAHA NUSA UTAMA dan di Bank Century (C1C) di Gedung Scmml Scnayan 1 J1. Asia Afrika No. 8. Jakaria Pusat atau setidak-tidaknya di suatu tempat yang masih tennasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakaria Pusat, yang menerima atau menguasai penempatan. pentransferan. pembayaran harta kekayaan yang dikeiahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, yang dilakukan dengan rangkaian dan cara-cara berikut ini.
a. Bahwa terdakwa selaku Direktur PT. GRAHA NUSA UTAMA yang memiliki rekening nomor: 1022-0000221147-001 atas nama PT. GRAHA NUSA UTAMA pada Bank Century Senayan Jakana Pusat: kemudian rekening tersebut telah dipergunakan terdakwa untuk menerima atau menguasai penempatan atau pentransferan atau pembayaran dana-dana yang diketahui atau patut diduga oleh teixlakwa adalah dana-dana dari hasil tindak pidana perbankan, tindak pidana penipuan. tindak pidana penggelapan (yang masing-masing perkaranya dilakukan penuntutan secara terpisah);

b. Bahwa terdakwa melalui rekening nomor: 1022-0000221147-001 pada Bank Century. Senayan Jakarta Pusat ams nama PT. GRAHA NUSA UTAMA telah menerima pentransferan dana baik dalam bentuk bilyet giro, cek, maupun RTGS yang soeara kescluruhannya sebesar Rp152.859.737.420 (seratus lima puluh dua miliar delapan ratus lima puluh sembilan juta tujuh ratus tiga puluh tujuh ribu empat ratus dua puluh rupiah), dengan perincian sebagai berikut.
1) Bahwa terdakwa selaku Direktur PT. GRAHA NUSA UTAMA yang rekening nomor: 1022-0000221147-001 alas nama PT. GRAHA NUSA UTAMA pada Bank Century Senayan, Jakarta Pusat; kemudian rekening tersebut telah dipergunakan terdakwa untuk menerima atau menguasai penempatan atau pentransferan atau pembayaran dana-dana yang diketahui atau paiut diduga oleh terdakwa adalah dana-dana dari hasil tindak pidana perbankan, tindak pidana penipuan, tindak pidana penggelapan (yang masing-masing perkaranya dilakukan penuntutan secara terpisah);
2) Bahwa terdakwa melalui rekening nomor: 1022-0000221147- 001 pada Bank Century, Senayan Jakarta Pusat atas nama PT. GRAHA NUSA UTAMA telalt menerima pentransferan dana baik dalam bentuk Bilyet Giro, Cek, maupun RTGS yang secara keseluruhannya sebesar Rp152.859.737.420 (seratus lima pulult dua milinr delapan rams lima puluh sembilan jum tuj. ratus tiga puluh tujuh ribu empat ratus dua pulult rupiah). dengan perincian sebagai berikut.
a) Terdakwa selaku Direktur PT. GRAHA NUSA UTAMA, menerima dana dari hasil penjualan AYDA milik PT. Bank Century. Tbk. sebesar Rp64,0R.500,000 (enam puluh empat miliar empat belas juta lima ratus ribu rupiah) yang diterima melalui rekening nomor: 1022. 00005404812-010 atas nama PT. Tirtamas Nusa Surya pada PT. Bank Century, Tbk, yang scharusnya dana tersebut diserahkan terdakwa kepada pemilik AYDA, yaitu pada PT. Bank Century. Tbk. akan tempi, terdakwa tidak melakukannya, melainkan oleh ierdakwa sebagian dana hasil penjualan AYDA pada rekening nomor: 1022. 000054048.10 atas nama PT. Tirtamas Nusa Surya tersebut dipergunakan oleh terdakwa an. lain untuk ditransfer ke perusahaan terdakwa, yaitu ditransfer ke PT. GRAHA NUSA UTAMA rekening No.IO22-0000221147-001 ams nama FT. Graha Nusa Utatna di Bank Century Senayan Jakaria Pusat sebesar Rp14.000,000.000 (empat belas miliar rupiah), yaitu sebanyak 2 (dtta) kali nansaksi, antm, lain:
(1) tanggal 9 Mei 2006, sebesar Rp13.000.000.000;
(2) iTanggal 9 Mei 2008, sebesar Rp1.000,000.000;
(3) (Dalam perkam tindak pidana perbankan ini. terdakwa merupakan salah satu pelakunya dan telah divonis bersa(ah. terdakwa masih upaya hukum).

b) Terdakwa sclaku Direktur PT. GRAHA NUSA UTAMA, menerima dana dari PT. SINAR CENTRAL REJEKI pennahaan milik ROBERT TANTULAR yang dananya dari hasil kejahatan yang dilakukan oleh ROBERT TANTULAR, dIdc. pada PT. Antaboga Deita Securitas (telah divonis bersalah) hbih kurang sebesar Rp. 6.625.000.000.- (enam miliar enam ratus dua puluh lima jula rupiah), yaitu sebanyak 11 (sebelas) kali transaksi, antara lain: Tanggal 25 Juni 2004, CEK No.383594 dari PT. SINAR CENTRAL REJEKI kepada PT. GRAHA NUSA UTAMA, sejumlah Rp500.000.000; Tanggal 16 Juli 2004. BILYET GIRO No.326046 . PT. SINAR CENTRAL REJEKI kepacta PT. GRAHA NUSA UTAMA No. Rek. 00.00529.0 sejumlah Rp525.000.000; Tanggal 29 Juli 2(»4, BILYET GIRO No. 357929 dari PT. SINAR CENTRAL REJEKI kepada PT. GRAHA NUSA UTAMA No. Rek. 00.00529.0 sejurnlah Rp100.000.000,Tanggal 4 Agustus 2004, BILYET GIRO No.326049 dari vr. SINAR CENTRAL REJEKI kepada PT. GRAHA NUSA UTAMA No. Rek. 00.00529.0 sejumlah Rp150.000.000; Tanggal 24 Agustus 2004, BILYET GIRO No.017654 dari PT. SINAR CENTRAL REJEKI kepada PT. GRAHA NUSA UTAMA No. Rek. 00.00529.0 sejumlah Rp100.000.000; Tanggal 16 Desember 2004, BILYET GIRO No. 019398 dari FT. SINAR CENTRAL REJEKI kepada FT. GRAHA NUSA UTAMA sejumlah Rp500.000.000, Tanggal 14 Juli 2005, BILYET GIRO No.061775 dari PT. SINAR CENTRAL REJEKI kepada FT. GRAHA NUSA UTAMA sejumlah Rp600.000.000;...dst.

c) Terdakwa selaku Direktur PT. GRAHA NUSA UTAMA, menerima dana berasal dari Bilyet Giro PT. ANTABOGA DELTA SECURITAS yang merupakan dana hasil penipuan atau penggelapan dana nasabah yang dilakukan oleh ROBERT TANTULAR. dkk. rmasih dalam proses), yaitu sebanyak 5 (lima) kali transaksi keseluruhannya kurang lebih sebesar Rp7.900.000.000 (tujull miliar sembilan ratus juta rupiah).

d) Terdakwa selaku Direktur PT. GRAHA NUSA UTAMA, menerima dana dari ROBERT TANTULAR, yang merupakan hasil penggelapan dana nosabah PT. ANTABOGA DELTA SECURITAS yang dilakukan oleh ROBERT TANTULAR. dkk. (telah di vonis bersalald, sebesar Rp124.334337,420 (seratus dua pulult empat .liar tiga ratus tiga pulub empat juta tujuh ratus tiga puluh tujuh ribu empat ratus dua puluh rupiah).

e) Untuk melakukan pembayaran kepada YAYASAN FATMATI atas pengikatan pemindahan dan penyerahan hak atas tanah I yang masih dalam sengketa) sebagaimana Akta No.257 tanggal 20 November 2003, sebesar Rp. 25,000.000.000.- (dua pulu(t lima miliar rupiah) yang diserahkan terdakwa secara bertahap sebanyak 4 (empat) kali transaksi, dengan pembayaran melalui Bilyet Giro dari rekening nomor 1022-0000221147.1 atas nama PT. GRAHA NUSA UTAMA pada Bank Century Senayan kepada piliak Yayasan Fatmawati ke rekening Nomor 003- 01-51818-00-0 atas nania YAYASAN FATMAWATI pada Bank CIMB Niaga Cabang Falatehan Jakarta, dengan perincian, antara lain: bukti voucher sebesar Rp. 25.000.000 yang diterima olch PT. ARU dalam bentuk Bilyet Giro No. GI 090981; bukti voucher tanggal 15 Maret 2004 sebesar Rp1.500.000.000 yang diterima oleh ROBERT TANTULAR dalam bentuk Bilyet Giro No. GI 090983; bukti voucher tanggal 16 Maret 2004 sebesar Rp 300.000.000 yang diterima olch ROBERT TANTULAR dalam bentuk Bilyet Giro No, CE 305283; bukti voucher tanggal 1 April 2004 scbesar Rp7.000.033.000 yang diterima olch KIMBIE dalani bentuk Bilyet Giro No. GI 090984; bukti voucher tanggal 17 Mci 2004 sebesar Rp2.132.584.920 yang diterima oleh KIMBIE dalam bentuk Bilyet Giro No. GI 090994; bukti voucher tanggal 17 Mei 2004 sebesar Rp4.506.904.000 yang diterima oleh KIMBIE dalam bentuk Bilyet Giro No. Gl 090993; bukti Ivrucher tanggal 3 Septcmher 2004 sebesar Rp 500.000.000 yang diterima olch PT. CM1 dalam bentuk Bilyet Giro No. GI 358228; l'anggal 20 November 2003; melalui Bilyet Giro No. GI.090977 Bank CIC sebesar Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah) sebagai pembayaran uang muka sebagaimana perjanjian; dst.

f. Bahwa terdakwa seharusnya mengetahui atau setidak-tidaknya patut menduga bahwa dana•dana yang diterima oleh terdakwa pada rekening nomor 1022-0000221147- 001 pada Bank Ccntury Senayan Jakarta Pusat atas nama PT. GRAHA NUSA UTAMA adalah berasal dari hasil tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa sendiri dan oleh Robert Tantular. dkk.

4. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum 
a. Menyatakan Terdakwa lr. TOTO KUNTJORO KUSUMA JAYA bin TEGUH SANTOSO, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang. sebagaimana dalam dakwaan Pasal 3 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tenlang Tindak Pidana Pencucian Uang.
b. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa lr. TOTO KUNTJORO KUSUMA JAYA bin TEGUN SANTOSO dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) .un, dikurangi sclama Terdakwa dalam .anan rumah dan denda Icepada Terdakwa scbcsar Rp. 7.000.000.000 (tujuh miliar ruplah), subsider 6 (enam) bulan kuningan.
c. Menetapkan barang bukti berupa......dsL yang disita dari saksi NINDIRA MAYASURI: uang sejumlah Rp20.000.000.000 (dua puluh miliar rupialt) yang ditata usahakan di rekening Bank CIMB NIAGA Jakana Pusat nomor rekening: 003.01.51818.00.0 atas nama Yayasan Faimawati; DIPERGUNAKAN UNTUK PERKARA LAIN,......dst.
d. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp5.000 (lima ribu rupiah).

5. Putusan PN Jakarta Pusal No. 1260/PID.B/2012/PNJKT. PST. 
a. Menyatakan terdakwa: Ir. TOTO KUNTJORO KUSUMAJAYA bin TEGUN SANTOSO tersebut, telah terbukti secara sah dan mcyakinkan bersalah mclakukan tindak pidana: PENCUCIAN UANG. b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 5 (linta) tahun dan denda sebesar Rp. 4.000.000.000 (empat miliar rupiah ), subsider 3 (tiga) bulan kurungan. c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan segenapnya dari pidana yang dijatultkan.
d. Memerintahkan terdakwa tetap ditahan.
e. Menetapkan barang bukti berupa: Yang disita dari saksi NINDIRA MAYASURI: uang sejumlah Rp20,000.000.000 (dua puluh mfliar rupiah) yang ditata usahakan di rekening Bank CIMB NIAGA Jakarta Pusat nomor rekening: 003.01.51818.00.0 ntas nama Yayasan Fatmawati DIPERGUNAKAN UNTUK PERKARA LAIN.
f. ....dan seterusnya.


6. Putusan PT DKI Jakarta Pusat No. 25/PID/2013/PT.DKI.
a. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakana Pusal No. 1260/Pid.13/2012/ PN.Jkt.Pst tanggal 19 Desember 2012 yang dirnintakan banding.
b. Memerintahkan Terdakwa teiap berada dalam tahanan.
c. Membebankan Terdakwa untuk mentbayar biaya perkara dalarn dua tinglcat
d. Pengadilan. yang dalam tingkat banding sebesar Rp2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).

7. Pertimbangan Ilukum Haktm Pengadilan DKI Jakarta
a. Bahwa berdasakan bukti yang diajukan ke persidangan dan setelah pula memperhatikan hubungan maupun persesuaiannya antara alat-alat bukti tersebut, temyata fakta-fakta hukum yang disimpulkan majelis hakim tingkat pertama tersebut telah sesuai dan telah didasarkan pada alat-alat bukti yang diajukan ke persidangan sehingga majelis hakim tingkat banding berpendapat bahwa kesimpulan mengenai fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan tersebut sudah tepat dan benar.

b. Bahwa sesuai dengan fakta.fakta hukum yang terungkap di persidangan tersebut. dapat membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan altematif kedua, karena itu sudah tepat dan benar pendapat majelis hakim tingkat pertarna yang dan mempertimbangkan dakwaan altematif kedua.

c. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan yang dapat membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana yang diuraikan dalam dakwaan alternatif kedua, maka berdasarkan fakla hukum tersebut juga telah terbukti bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan Terdakwa tersebut telah cukup memenuhi seluruh unsur-Unsur Pasal 3 Ayat 1 Huruf C UU No. 25 Tahun 2003 yang didakwakan dalam dakwaan altematif kedua, karena itu kesimpulan dan pendapat Majelis Hakim Tingkat Pertama yang menyatakan perbuatan Terdakwa melanggar Pasal 3 Ayat 1 Huruf c UU No. 25 tahun 2003 sudah tepat dan benar.

d. Bahwa selama berlangsurignya pemeriksaan perkara, ternyata tidak terdapat hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan pembenar pada perbuatan Terdakwaa yang melanggar Pasal 3 Ayat 1 Huruf c UU No. 25 Tahun 2003 sehingga perbuatan tendakwa tersebut harus dinyatakan salah. karena itu tepat dan benar putusan majelis hakim tingkat pertama yang menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan mcyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang diatur dalam Pasal 3 Ayat 1 Huruf c UU No. 25 Tahun 2003

e. Bahwa selama berlangsungnya pemeriksaan perkara, juga tidak terdapat hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan pemaaf pada diri Terdakwa, hal demikian membuktikan bahwa Terdakwa adalah orang yang mampu bertanggung jawab atas perbuaiannya yang telah melanggar Pasal 3 Ayat 1 Huruf c UU No. 25 tahun 2003, karena itu sudah tcpat dan benar bilamana kepada terdakwa dijatubi pidana.

f. Bahwa mengenai pidana yang dijatuhkan majelis halcim tingkat pertama kepada terdakwa, setelah memperhatikan peran dan perbuatan terdakwa dalam tindak pidana yang terbukti tersebut serta setelah pula memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan meringankan sebagaimana tersebut dalam putusan majclis hakim tingkat pertarna. majelis hakim tingkat banding berpendapat bahwa pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa tersebut, selain sudah tepat dan adil juga telah setimpal dengan kesalahan terdakwa.

8. Analisis
Kasus yang ini masih menggunakan ketentuan Undang-Undang No. 15 Tabun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mana ketentuan tindak pidann pencucian uang menggabungkan definisi tindak pidana pencucian uang dalam Pasal 3 dan Pasal 6 Undang-Undang ini, yang dikutip sebagai berikut:

Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.

(1) Setiap orang yang dengan sengaja :
a. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang laln, baik atas nama sendirl maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau rnembelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain; d. menghibahkan atau menyurnbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasll tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahulnya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasll tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (Iima) tahun dan pating lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencueian Uang.

Setiap orang yang menerima atau menguasai :
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasli tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 (Iima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000 (seratus juta ruplah) dan paling banyak Rp15.000.000.000(lima belas millar rupiah).

Terdakwa telah terbukti dengan melakukan tindak pidana Pasal 3 Ayat (1) Huruf (c) sehingga Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarth Pusat. Terbuktinya dakwaan yang diputuskan olch majelis hakim adalah dakwaan kedua dari jaksa penuntut umum.

Dakwaan yang diajukan olch jaksa penuntut umum adalah jenis dakwaan altematif yaitu dakwaan yang jika dakwaan kesatu terbukti maka dakwaan yang lain tidak perlu dibuktikan kembali hal ini dapat diketahui jika dalam dakwaan tersebui menggunakan kaia 'atau', sedanglan dakwaan kumulatif, yaitu dakwaan yang rnemberikan pembuktian bukan hanya pada dakwaan pertama juga pada dakwaan yang berbeda karena jenis perbuatan yang berbeda, tetapi dalam satu kegiatan yang sama misalnya, perbuatan tindak pidana korupsi lalu hasil dari tindak pidana korupsi tersebut dilakukan tindak pidana pencucian uang maka dakwaan dapat dilakukan secara kumulatif dengan dakwaan pertama adalah tindak pidana korupsi, sedangkan dakwaan kedua adalah tindak pidana pencucian uang, dengan demikian maka hukumannya atas kedua tindak pidana tersebut juga dapat diakumulasi. jenis dakwaan temkhir adalah dakwaan yang berbentuk 'altematif kumulatif' dalam dakwaan ini dapat dijatuhkan pidana salah satu atau kedua-duanya dari dakwaan yang didakwakan olch jaksa penuntut umum dengan menggunakan kata 'dan atau' dalam kalimat dakwaannya maka jaksa penuntut umunt dapat menentukan bahwa dapat menghukum dengan dakwaan yang telah ditetapkan dalam dakwaan pertama atau kcdua atau dihukum dengan kedua-duanya.


KEGIATAN BELAJAR 2 
STUDI KASUS TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING)

A. KASUS 1: PUTUSAN MA NOMOR: 31 PK/PIDSUS/2011 

1. Identitas Terdakwa 
a. Nama : BONATUA SINAGA, S.E.
b. Tempat lahir Sukabumi
c. Umur/Tanggal lahir: 38 tahur/03 September 1971
d. Jenis kelamin : laki-laki
e. Kebangsaan : Indonesia
f. Tempai tinggal : Villa Bogor Indah B1 No. 7, Kelurahan Ciparigi, Kecamatan Kota Bogor

2. Pasal Yang Dildakwa: 

a. PERTAMA : Pasal 3 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 200 temang Tindak Pidana Pencucian Uang:
ATAU
b. KEDUA : Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3. Kasus Posisi: 
Bahwa ia terdakwa Bonatua Sinaga, S.E., pada waktu dan tempat sebagaimana terurai dalam dakwaan Kesatu tersebut di atas, dengan sengaja memiliki sesuatu barang yang scbagian atau scluruhnya adalah kcpunyaan orang lain, barang mana ada padanya bukan karcna kcjahatan yang dilakukan terdakwa ketika diberikan kepercayaan oleh Barita R. Napitupulu selaku pemilik Hotel Effita, sebagai karyawan dan bekerja di Hotel Effita dengan tugas untuk mengelola keuangan yang meliputi usaha perkebunan kelapa sawit, usaha sewa menyewa rumah serta melakukan pengelolaan terhadap keuangan hasil operasional Wisma Teladan yang telah berubah nama menjadi Hotel Effita, telah melakukan pembagian hasil operasional Hotel Effita, penjualan aset Hotel Effita berupa 1 (satu) unit mobil merek Nissan Serena Nomor Polisi B-2867- NJ di mana barang- barang tersebut di atas adalah kepunyaan Barita Napitupulu atau setidak-tidaknya bukan kepunyaan ia Terdakwa.

Bahwa jumlah keuangan yang dibagi terdakwa dengan perincian yang dilakukan sendiri oleh tenlakwa berupa Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dimasukkon terdakwa kc dalam rekening atas nama terdakwa sendiri yang disimpan pada penyedia jasa keuangan, yakni pada Bunk BNI Cabang Rawamangun Jakarta dengan nomor rekening 12840312. Bank Panin Cabang Pasar Anyar Bogor dengan nomor rekening dalam bennik giro 1355000476. Bank BNI 46 Cabang Juanda Bogor dengan nomor rekening 91186781, dan Citibank Cabang Kelapa Gading dengan No. Rek. 8006299666, dan sebagian lagi sebesar Rp7.200.000.000 (tujuh miliar dua ratus juu, rupiah) yang diberikan terdakwa kepada Deni Albert Sidabutar (menurut laporan tertulis yang dibuat terdakwa kepada Barita Napitupulu), biaya pembangunan vila dan suntikan untuk hotel dari Barita Napitupulu sebesar Rp980.000.000 (sembilan ratus delapan puluh juta rupiah) dan biaya balik nama hotel sebesar Rp 534.000.000 (lima ratus tiga puluh empat juta rupiah) di mana uang tersebut telah dibagi terdakwa sendiri dengan menggunakan perhitungan sendiri tanpa persetujuan dan seizin Barita Napitupulu dan sisa keuangan sebesar Rp 286.000.000 (dua ratus delapan puluh enam juta rupiah) yang dijadikan saldo akhir perhitungan dan menjadi bagian dari Barita Napitupulu.

Bahwa ia tcrdakwa sclaku karyawan hotel dan dipercaya untuk melakukan pengelolaan keuangan hotel dengan tugas dan tanggung jawab untuk menjalankan usalta hotel dengan baik, merawat hotel. dengan perolehan upah atau gaji yang diterima setiap bu. dari Barita Napitupulu scbesar Rp,100.(X)0 (empat ratu.s ribu rupiah) sampai dengan Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) yang diterima terdakwa setiap bulan melalui Kasir, tidak melakukan pelaporan soeara rutin kepada Barita Napitupulu selaku petnilik modal mengenai hasil operasional seltingga ia terdakwa menguasai keuangan dengan jumlali total kumng lebih Rp 12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah), seria barang-barang berupa rumah dan mobil operasional milik hotel.

Bahwa ia terdakwa bisa menguasai keuangan dan aset hotel tersebut karena terdakwa diberikan kepercayaan oleh Barita Napitupulu untuk melakukan pengelolaan dan pemeliharaan, akan tetapi tanpa seizin dan sepengetahuan pcmilik. yakni Barita Napitupulu, unng itu dikuasai terdakwa dengan cara menyimpannya dalam beberapa rekening yang seharusnya dilaporkan dan dipenangsungjawabkan oleh ia terdakwa secara tertulis dalam bentuk lapomn penerimaan dan pengeluaran keuangan. khususnya dalam masalah pentbelian kebutuhan hotel, lapomn peningkatan mutu pclayanan dan gaji karyawan scbanyak kurang Icbih 51 orang, kepada peinilik hotel, yakni Barita Napitupulu yang mengakibatkan kerugian kurang lebih sebesar Rp12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah).

4. Tuntutan 
a. Menyatakan terdakwa Bonatua Sinaga, SE bersalah melakukan tindak pidana "Pencucian Uang" sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Ayat (I) Huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. dalam Surat Dakwaan Kesatu Jaloa Penuntut Umum.
b. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun dikurangkan selurultnya selama terclakwa berada dalam masa penangkapan dan atau penahanan dengan denda sebesar Rp500.000.000 (lima mtus juta rupiah), subsider selama 6 bu. kurungan dan dengan Nrintah terdakwa tetap ditahan.
c. Menyatakan barang bukti berupa surat-surat berupa fotokopi yang disita Barita R. Napitupulu, berupa....dst diserahkan kepada Barita R. Napimpulu.
d. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000 (lima ribu rupiah).

5. Putusan PN Bogor No: 261/Pid .B/2009/PN.BGR. 
a. Menyatakan terdakwa Bonatua Sinaga, S.E. terbukii secara sah dan meyakinkan bersalah melakulom tindak pidana penggelapan. sebagaimana dalam dakwaan altematif kedua
b. Menjatuhkan pidana oleh katenanya terhadap terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 3 (figa) tahun.
c. Menyatalcan masa penahanan yang telah dijalani olelt terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
d. Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan.
e. Menetapkan bardng- barang bukti berupa surat-sumt berupa fotokopi yang disita dari Barita R. Napitupulu..dst.
f. Menghukum Terdakwa untuk mcmbayar biaya perkara sebesar Rp5.000 (lima ribu rupiah).

6. Putusan PT Bandung Nomor: 565/P1D/2009/PT. BDG. 
a. Mencrima permintaan banding dari jaksa penuntut umum dan terdakwa tersebut.
b. Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bogor tanggal 18 November 2009 No. 261 /Pid.B/2009/PN.Bgr. yang dimintakan banding tersebut.
c. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan.
d. Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam tingkai pemddan, yang dalam tingkat banding sebesar Rp 5.000.- (lima ribu rupiah)

7. Putusan MA (Kasasi) Nomor: 646 K/PID.SUS/2010 
a. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: JAKSA/PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI BOGOR dan Terdakwa: BONATUA SINAGA, S.E. tersebut.
b. Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor: 565/Pid/2009/PT.BDG, iansgal 03 Februari 2010 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor 261 /Pid.Bf2009/PN.BGR tanggal 18 November 2009 sekedar mengenai larnanya pidana sehingga berhunyi sebagai berikut:
1) menyatakan terdakwa BONATUA SINAGA, SE telah terbukti secara . dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “PENGGELAPAN":
2) menjatuhkan pidana terhadap terdakwa BONATUA SINAGA, SE tersebut dengan pidana penjara selama 4 (empat) tahunt
3) memerintahkan agar terdakwa tetap ditaban;
4) menetapkan bahwa lamanya terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan:
5) menetapkan barang- barang bukti berupa...dst,
6) membebankan pemohon kasasi II/terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini scbcsar Rp2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).

8. Putusan MA (Peninjauan Kembali) 
a. Menolak pennolionan peninjauan kembali dari: TERPIDANA/ BONATUA SINAGA, S.E. tersebut.
b. Menetapkan bahwa putusan Mahkamah Agung No. 646 K/Pid.Sus/2010 yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut tetap berlaku.
c. Membebankan pemohon peninjauan kembali untuk membayar biaya perkara dalam tingkat peninjauan kembali ini sebesar Rp2.500 (dua ribu lima ratus rupiah),

9. Pertimbangan Hukum Hakim Kasasi 
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. tidak ternyata ada kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan Mahkamah Agung No. 646 KIPid.Sus/2010, kartna hal-hal yang relevan secara yuridis telah dipertimbangkan oleh judex yuris dengan benar, yaitu terdakwalterpidana telah terbukti melakukan iindak pidana penggelnpan dan penggelapan yang dilakukan oleh terdakwa/te,idana telah merugikan saksi korban Barita Napitupulu:
b. bahwa dalam pernmhonan peninjauan kembali yang diajukan terdakwa/terpidana tersebut iidak temyata ada bukti baru (novum), tidak temyata ada pertentangan dalam pertimbangan putusan hakim, alasan- alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, olch karena tidak termasuk dalam salah satu alasan peninjauan kembali sebagaimana yang diinaksud dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHAP;
c. mcnimbang, bahwa dengan demikian bcrdasarkan Pasal 266 Ayat (2) a KUHAP permohonan peninjauan kembali harus ditolak dan putusan Mahkamah Agung No. 646 K/Pid.Sus/2010 yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut dinyatakan tetap berlaku;
d. menimbang, bahwa olch karena permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali terdakwaiterpidana ditolak, maka biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali dibebankan kepada pemohon penin)auan kembali;
e. memperhatikan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No.. Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang. Undang No. 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Urdmg No. 3 Tahun 2009, Pasal 263 Ayat (2) KUHAP serta peraturan perundang-undangan lainnya yang bersangkutan.

10. Anallsis 
Kasus yang ini masih menggunakan ketentuan Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atos Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Penetteian Uang yang mana ketentuan iindak pidana peneueian uang menggabungkan definisi lindak pidana pencucian uang dalam Pasal 3 Ayat 1 Huruf (a) dan Pasal 372 KUHP.

Pasal 3
(1) Setiap orang yang dengan sengaja :
a. menempatkan harta kekayaan yang dIketahulnya atau patut dfcluganya merupakan has11 tindak pidana ke datam penyedla jasa keuangan, balk atas nama sendld atau atas nama plhak tain;
b. mentransfer harta kekayaan yang diketahulnya atau patut diduganya merupakan hasll tIndak pldana darl suatu penyedla jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang laln, baik atas nama sendlrf maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang dIketahulnya atau patut diduganya merupakan hasi1 tindak pidana, balk perbuatan itu atas namanya sendiri rnaupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama plhak lain,
f. membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahulnya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud rnenyembunyikan atau menyarnarkan asal usul harta kekayaan yang cliketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipldana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (limaj tahun dan paling lama 15 (lima belasj tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000 (seratus juta rupiahj dan paling banyak Rp15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 372 KUHP
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendirl (zich toeelgenen, barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh n(plah (Moeljatno, 1996,132).

Bahwa apa yang dilakukan olch terdakwa merupakan didakwa telah melakukan tindak pidana peneucian uang dan tindak pidana penggclapan dakwaan alternatif yang berbeda rumpun ini tentu sangat tidak tepm untuk dijadikan dasar penerapan tindak pidana peneueian uang karena dakwaan yang diajukan adalah alternatif seharusnya, dakwaan yang didakwa adalah dakwaan kumulatif dengan dakwaan pertama adalah penggelapan dan dakwaan kedua adalah peneueian uang karena predicase crime adalah penggelapan dan tindak pidana tumeueian uang adalah dari hasil tindak pidana penggelapan tersebut schingga hukuman maksimum yang diberikan adalah gabungan kedua tindak pidana tersehm. Dengan dakwaan altematif seperti ini, dapat dipastikan bahwa tindak pidana peneucian uang sulit untuk dijadikan pengenaan hukum terhadap terdakwa karena jika satu dakwaan telah terpenuhi dalam hal ini dakwaan kedua penggelapan sebagaimana dimaksud Pasal 372 KUHP maka tindak pidana pencucian uang tidak dapat lagi diterapkan dengan dakwaan alternatif tersebut.

B. KASUS 2: PUTUSAN NOMOR: NO. 133 PK/PID.SUS/2010 

1. Identitas Terdakwa 
a. Nama : PA1MIN LANDUNG
b. Tempat lahir : Pematang Siantar
c. Umur/Tanggal lahir : 35 tahun / 20 Agustus 1972
d. Jenis kelamin : laki-laki
e. Kebangsaan : Indonesia
f. Tempai tinggal : Perumahan Permata Milanium Blok C 7 No. 9, Lippo Karawaci, Tangerang

2. Pasal Yang Didakwa: 
a. PERTAMA:
Primair : Pasal 46 Ayat (1) jo Ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. Pasal 55 Ayai (1) ke- I KUHP jo Pasal Ayat (1 ) KUHP; ATAU
Subsider : Pasal 378 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat ( I) KUHP: ATAU Lebih Subsider: Pasal 372 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal Ayat (1) KUHP.

b. KEDUA: Pasal 3 Ayat (1) jo Ayat (2) jo Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Peneucian uang sebagaimana telah diubalt dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 jo Pasal 55 Ayat (I) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

3. Kasus Posisi 
Bahwa mereka Terdakwa I. Krisno Abiyanto Soekamo selaku Direktur Utama. Terdakwa 2. Thomas Aquino Ganang Rindarko bin Haryadi selaku Direktur Keuangan, dan Terdakwa 3. Paimin Landung selaku Direktur Operasional PT. Wahana Bersama Globalindo yang selanjutnya akan disebut FT, WBG, secara berturut-turut sehingga dapat dipandang sebagai perbuatu yang diteruskan dari tanggal 23 Juli 1997 sampai dengan tanggal 28 Februari 2007 atau setidak-tidaknya pada waktu-waktu lain pada sckitar tahun 1997 sampai dengan tahun 2007, di Kamor PT. WBG, Gedung BRI 11. Lantai 18 Suite 1805, Jalan Jenderal Sudirman Kav. 44-46, Jakarta Pusat, atau setidak-tidalcnya di tempat-tempat lain dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mereka terdakwa, baik omng yang melakukan. menyuruh lakukan, ataupun turut serta melakukan, telalt menghimpun dana duri masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa usalm dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, yang dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut.
a. Bahwa pada tanggal 23 Juli 1997 Tcrdakwa I mendirikan PT. WBG berdasarkan Akta No. 149 tanggal 23 Juli 1997 yang dibuat olch Notaris Elliza Asmawel, S.H. notaris yang berkedudukan di Jakana dan terdaftar dan disahlmn di Departemen Kehakiman Rl. Direktorat Jenderal Adminisimi Hukum Umum dengan No. Reg. C2- 238.11T.01.01 Tahun 1998 tanggal 19 Januari 1998 yang bergerak di bidang usaha perdagangan umutn, pembangunan. pengangkutan, perindustrian. percetakan dan jasa, dengan susunan Direksi dan Pcmcgang Saham:
1) Krisno Abiyanto Soekamo (Terdakwa I) selaku pemegang saham sebesar 125 lembar atau senilai Rp12.500.000 (dua belas juta lima ratus ribu rupiah) dengan jabatan Direktur Utama: 2) lwan Wahyudin Sulterman selaku pemegang saham sebesar 625 lembar dengan nilai Rp62.500.000 (enam puluh dua juta lima ratus ribu rupiall) dengan jabatan Direktur (non-aktifipinjam nama):
3) Setio Wiratno selaku pemegang saham sebesar 500 lembar dengan nilai Rp50.000.000 (lima puluh juta rupiah), tidak setor. dengan Jabatan Komisaris (non-aktif / pinjam nama).

b. Bahwa pada sekitar tahun 1997 Terdakwa selaku Direktur Utoma PT. WBG, berdasarkan Agency Agreement yang dibtult antara PT. WBG dengan Dressel Imusment Limited yang berkedudulcan di Akara Building 24 de Castro Street, Wickhams Cay Road Town. Tortola British Virgin IslanJ dan 720 South River Road Suite A 210. St. George Utah 8470 USA, mengikat kerja sama, di mana FT. WBG akan bertindak sebagai Agen Pemasaran Investitsi yang disebut "Sportman Portfolio" dan "GMP Portfolio" dari Dressel Invesment Limited. Dalam pelaksanaan selaku Agen Pemasaran Investasi tersebut Terdakwa I selaku Direktur thama PT. WBG mclalui Tim Pemasaran PT. WBG, mencari atau menghimpun dana . masyarakat atau nasaball yang akan menyimpan dana dalam bentuk investasi untuk kedua produk tersebui di atas pada Dressel Invesment Limited melalui PT. WBG atau langsung mentransfer dana ke rekening Dressel Invesment Limited. Penunjukan sebagai Agen Pemasaran Investasi untuk produk "Sportman Portfolio" dan "GMP Portfolio" dari Dressel Invesment limited, kemudian diperbahanii dengan Agemy Agreemens pada tanggal 26 April 2001 dan disusul dengan dibuatnya Agemy Agreemem pada tanggal 01 September 2005.

c. Bahwa setelah FT. WBG beberapa kali mengalami perubahan susunan direksi maka mulai pada bulan September 2005, Terdakwa 2. Thomas Aquino Ganang Rindarko bin Haryadi diangkat menjadi Direktur Keuangan PT. WBG dengan tugas dan tanggung jawab melakukan pengawasan aliran keuangan berkaitan dengan investasi ke Dressel Invesment Limited, melakukan pengawasan aliran keuangan berkaitan dengan operasional FT. WBG dan melaporkan aliran keluar-masuknya keuangan Dressel Invesment Limited yang melalui PT. WBG, setelah Terdakwa II diangkat menjadi Direktur Keuangan kemudian disusul masuknya Terdakwa 3. Paimin Landung sclaku Direktur Operasional PT. WBG pada tanggal 01 November 2005 dengan tugas dan tanggung jawab membawahi Marketing Communication Divisi Operasional. membawahi Kepala Cabang, memacu penjualan produk, mengawasi marketing (penjualan), mengawasi fungsi kepegawaian dan informasi teknologi, dan selanjutnya pengangkatan dan jabatan Terdakwa 2 dan Terdakwa 3 tersebut di atas dikukuhkan melalui Akta Pernyataan Keputusan Rapat No. 26 tanggal 28 Februari 2006 yang diterbitkan olch Notaris Elliza Asmawel, S.H. dengan kedudukan Direktur utama tetap dijabat olch Terdakwa I. Krisno Abiyanto Soekarno dan disahkan oleh Departemen Hukum dan Ham RI dengan Keputusan Menteri Hukum dan Ham RI No. C-06582 HT.01.04.TH.2006 tanggal 08 Maret 2006 tentang Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas. 

d. Bahwa berdasarkan akta pendiriannya, PT. WBG bergerak di bidang usaha perdagangan umum, pembangunan, pengangkutan, perindustrian, percetakan dan jasa, dan surat-surat izin yang berupa SIUP, TDP yang dikeluarkan oleh Kantor Perdagangan dan Perindustrian Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan NPWP yang dikeluarkan olch Kantor Pajak, namun pada kenyataannya berdasarkan Agency Agreement antara PT. WBG dengan Dressel Invesment Ltd., para terdakwa tersebut di atas selaku direksi atau pengurus WBG telah mclakukan kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat untuk diinvestasikan ke dalam produk "Sportman Portfolio" dan "GMP Portfolio" dari Dressel Invesment Limited dengan cara dan persyaratan, yaitu Untuk produk:
1) sportman portfolio, yaitu produk investasi dengan minimum investasi scbcsar US.D. 5,000.00 dengan keuntungan (Yield) yang akan diperoleh nasabah / investor adalah sebesar 2% per bulan atau 24% per tahun dengan minimum investasi selama 6 (enam) bulan dan dana investasi dapat ditarik kembali secara utuh setelah jatuh tempo;
2) GMP portfolio, yaitu produk investasi dengan minimum investasi sebesar US.D. 10,000.00 dengan keuntungan (Yield) yang akan diperolch nasabah / investor adalah scbcsar 3% per-3 bulan atau 28% per tahun dengan minimum investasi sclama 6 (enam) bulan dan dana investasi dapat ditarik kembali secara utuh setelah jatuh tempo. 

e. Bahwa terhadap para investor atau para nasabah yang telah menanamkan atau menyimpan dana untuk diinvestasikan pada kedua atau salah satu dari jenis produk tersebut di atas dengan cara mentransfcr dana ke rekening PT. WBG atau langsung ke rekening Dressel Invesment Limited akan memperoleh tanda bukti berupa Invesment Certificate berikut nomor account yang diterbitkan oleh Dressel Invesment Ltd., dan sejak melakukan kegiatan usaha selaku agen pemasaran di bidang investasi produk Sportman Portfolio dan produk GMP Portfolio dari Dressel Invesment Ltd. secara berlanjut dan terus menerus terhitung sejak dari tahun 1997 sampai dengan 28 Februari 2007 para terdakwa selaku Direksi/Pengurus PT. WBG dan atau melalui Team Marketing PT. WBG antara lain saksi-saksi Vicky Hidayat Effendy, S.E.. Budi Setiawati. Suyanti. Hermawan. Sisilia Anwar, Prasetyo Nugroho. Dody Teguh, Sycnny Jeane Tampone. Dashiando Anindra Lubis, Yolinda Deshe Sahelangi telah berhasil menghimpun dana dari masyarakat untuk diinvestasikan ke dalam produk Sportman Partfolio dan produk GMP Portfolio dari Dressel Invesment Ltd. sejumlah Rp 3.500.000.000.000 (tiga triliun lima ratus miliar rupiah) dari jumlah kurang lebih 10.000 nasabah/invcstor dan terakhir sampai dengan tanggal 28 Februari 2007 jumlah nasabah/investor yang masih aktif tercatat sejumlah 4.070 nasabah/investor dan memiliki invesment certificate berikut nomor account kurang lebih 10.090 dengan jumlah inyestasi/simpanan sebesar US.D.143,667,114.00 (seratus empat puluh tiga juta enam ratus enam puluh tujuh ribu seratus cmpat bclas dolar Amcrika) atau 1.400.000.000.000 (satu triliun empat ratus miliar rupiali) antara lain adalah...dst. 

f. Bahwa untuk menampung dana dari masyarakat yang berhasil dihimpun oleh para terdakwa untuk diinvestasikan pada kedua atau salah satu produk dari Dressel Invesment Ltd. yang ditawarkan olch para terdakwa melalui Team Marketing PT, WBG. Terdakwa 1 selaku Dircktur Utama PT. WBG membuka rekening di bcbcrapa bank, yaitu:
1) Bank Central Asia Cabang Wisma GKBI Ground Floor, Suite G-01 di Jalan Jenderal Sudirman No. 28 Jakarta Pusat dengan A/C U$D 006.801.925 atas nama PT. Wahana Bersama Globalindo:
2) Bank ANZ Panin Bank Ground Floor, Panin Bank Centre di Jalan lenderal Sudirman (Senayan Jakarta Pusat) dengan A/C U$D No. 088062-20001 atas nama PT. Wahana Bersama Globalindo:
3) Bank Danamon di Wisma Suite GF-05 di Jalan Jenderal Sudirman Kav. 28 Jakarta Pusat dengan A/C U$D No. 04.712.0852 atas nama PT. Wahana Bersama Globalindo;
4) BII di Jalan Raya Bouleverd 1-3 No. 4 dengan A/C U$D No. 2- 222-100- 600 atas nama PT. Wahana Bersama Globalindo;
5) DBS N.A Ltd Enterprise Banking "Shenton Way# 11-08 DBS Tower 2 Singapore 068809 dengan A/C USD No. 0003001378014;
6) City Bank N.A Singapore Branck No. Rekening 0-821946-018 atas nama PT. Wahana Bersama Globalindo.

g. Bahwa selanjutnya dana dari masyarakat yang berhasil dihimpun, kemudian disimpan atau ditampung pada rekening tersebut di atas, ditarik kembali olch Tenlakwa I. Krisno Abiyanto Sockarno dan dipergunakan antara lain untuk membayar :
1) withdraw para nasabah:
2) yield atau keuntungan para nasabah;
3) komisi untuk PT. WBG, uang operasional PT. WBG seperti gaji pura Dircksi dan karyawan / karyawati, uang fee untuk para marketing, membayar pajak, listrik, sewa gedung, rekening telepon, membayar pembebasan lahan untuk proyek Banjir Kanal Timur, dan alat- alat tulis kantor, dan sebagainya.

h. Sedangkan dana milik nasabah yang disetorkan atau oleh para Terdakwa ke rekening Dressel Itivesment Ltd. pada Regal Financial Bank di Seattle, Wahington DC USA dengan No. Rekening 180003139 dan J.P. Morgan Bank di Seattle Washington DC USA hanya kurang lebih 10% atau senilai USD 14.366.716 (empat belas juta tiga ratus enam puluh enam ribu tujuh ratus enam belas dolar Amerika) dari jumlah USD 143.667.114 (seratus empat puluh tiga juta enam ratus enam puluh tujuh ribu seratus empat belas dolar Amerika) yang berhasil dihimpun dari masyarakat oleh para terdakwa melalui Team Marketing PT. WBG.

i. Bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan atau investasi yang dijalankan olch para terdakwa sclaku direksi atau pengurus dari PT. WBG sebagaimana iclah diuraikan di atas adalah merupakan kegiatan usaha yang memerlukan izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagai bank umum atau bank perkreditan rakyat, sedangkan pada konyataannya PT. WBG selaku badan hukum hanya memiliki izin berupa SIUP, TDP dari Kantor Perdagangan dan Perindustrian DKI Jakarta dan NPWP dari Kantor Pajak tanpa memiliki izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia.

4. Tuntutan Jakta Penuntut Umum 
a. Menyatakan Terdakwa I. Krisno Abiyanto Soekamo, Terdakwa 2. Thomas Aquino Ganang Rindarko bin Haryadi dan Terdakwa 3. Painan Landung telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Kesatu melanggar Pasal 46 Ayat (1) jo Ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 temang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-I KUHP jo Pasal 64 Ayat (l) KUHP dan dakwaan kedua melanggar Pasal 6 Ayat (1) jo Ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang sebagaimana tclah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.
b. Menjatuhkan pidana terhadap:
1) Terdakwa I. Krisno Abiyanto Sockarno dengan pidana penjara selama 15(lima belas) tahun potong tahanan dan denda sebesar Rp 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan:
2) Terdakwa 2. Thomas Aquino Ganang Rindarko bin Haryadi dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun potong tahanan dan denda sebesar Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan:
3) Terdakwa3. Paimin Landung dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) tahun potong tahanan dan denda sebesar Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan.
c. Barang bukti ...dst.
d. Para terdakwa membayar biaya perkara masing-masing sebesar Rp5.000 (lima ribu rupiah).

5. Pulusan PN Jakarta Pusat No. 1766 / PID. B/2007/ PN. JKT.PST. 
a. Menyatakan Terdakwa 1 Krisno Abiyanto Sockarno, Terdakwa II ThomasAquino Ganang Rindarko bin Haryadi dan Terdakwa III Paimin Landung telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbankan dan tindak pidana Pcncucian Uang secara bersama-sama dan berlanjut.
b. Menjatuhkan pidana terhadap:
1) terdakwa Krisno Abiyamo Soekarno dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun dan denda sebesar Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungam
2) terdakwa Thomas Aquino Ganang Rindarko bin Haryadi dengan pidana penjara selatna 11 (sebelas) tahun dan denda scbcsar Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan
3) terdakwa Paimin Landung dengan pidana penjara sclama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupial;) subsider 6 (enam) bulan kurungan.
c. Menetapkan lamanya para Terdakwa ditahan dikurangkan scpenuhnya dari pidana yang dijatuhkan.
d. Memerintahkan para terdakwa tetap ditahan.
e. Mcnetapkan barang bukti berupa..dst.
f. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebemr Rp5.000 (lima ribu rupia).

6. Putusan PT DKI Jakarta Nomor: 67/PID/2008/PT. DKI 
a. Menerima permintaan banding dari Jaksa / Penuntut Umum dan para terdakwa.
b. Mcnguatkan putusan Pengadilan Ncgcri Jakara Pusat tanggal 30 Januari.
c. 2008 Nomor 1766 / Pid / B / 2007 / PN.Jkt.Pst. yang dimintakan banding dengan perbaikan sekedar redaksi dikirim tentang barang bukti nomor urut 166 dan 167 yang selengkapnya seperti tersebut di bawah ini:
1) menyatakan terdakwa 1 Krisno Abiyamo Sockamo, terdakwa 11 ThomasAquino Ganang Rindarko bin Haryadi dan terdakwa III Paimin Landung telah terbukti sccara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana perbankan dan tindak pidana pencucian uang secara bersama-sama dan berlanjut:
2) menjatuhkan pidana terhadap:
a) terdakwa Krisno Abiyanto Soekarno dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun dan denda sebesar Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) subsider 6 (enem) bulan kurungan:
b) terdakwa Thomas Aquino Ganang Rindarko bin Haryadi dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun dan denda sebesar Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan:
c) terdakwa Paimin Landung dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan denda sebesar Rp10.000.000.000 (sepulult miliar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan.

d. Menetapkan lamanya para terdakwa ditahan dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan.
e. Memerintahkan para terdakwa tetap ditahan.
f. Menetapkan barang bukti berupa...dst.
g. Membebankan biaya perkara kepada terdakwa dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan scbesar Rp5.000 (lima ribu rupiah)

7. Putusan Mahkamah Agung RI Kasasi Nomor: 1117K/PID.SUS/2008 
a. Menolak permohonan kasasi dari para Pcmohon Kasasi: 1. KRISNO ABIYANTO SOEKARNO, 2. THOMAS AQUINO GANANG RINDARK0 bin HARYADI dan 3. PAIMIN LANDUNG tersebut.
b. Memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No. 67/Pid/ 2008/PT.DKI. tanggal 22 April 2008 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 1766/Pid.B/2007/PN.JKT.Pst. tanggal 30 Januari 2008 sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut :
1) Menyatakan Terdakwa I. Krisno Abiyanto Sockamo, Terdakwa II. Thomas Aquino Ganang Rindarko bin Haryadi dan Terdakwa III Paimin Landung telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama:
a) menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia
b) menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau nama pihak lain. 
2) Menjatuhkan pidana terhadap:
a) terdakwa Krisno Abiyanto Soekarno dengan pidana penjara selama 13 (tiga belas) tahun dan denda sebesar Rp10.000.000.000 (sepulub miliar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan,
b) terdakwa Thomas Aquino Ganang Rindarko bin Haryadi dengan pidana penjara selama 11 (sebelas) tahun dan denda sebasar Rp10.000.000.000 (sepulub miliar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan
c) terdakwa Paimin Landung dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun dan dcnda sebesar Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) subsider 6 (enam) bulan kurungan.
3) Menctapkan lamanya para terdakwa ditahan dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan.
4) Memerintahkan para terdakwa tetap ditahan.
5) Menetapkan barang bukti berupa...dst.
6) Membebankan para pemohon kasasi / para terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp2.500 (dua ribu lima ratus rupiah).

8. Pulusan MA Peninjauan Kembali No. 133 PK/P1D.SUS/2010 
a. Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali/TERPIDANA: PA1MIN LANDUNG tersebut.
b. Menetapkan bahwa putusan Mahkamah Agung Rl. No. 1117 K / Pid.Sus/2008 yang dimohonkan peninjauan kembali tersebut telap berlaku.
c. Membebankan Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali ini sebesar Rp1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah).

9. Pertimbangan Hukum Hakim Pengadilan DKI Jakarta 
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan dengan alasan sebagai berikut:
a. bahwa alasan-alasan dalam permohonan peninjauan kembali yang diajukan olch pemohon tidak berkualitas sebagai alasan-alasan untuk mengajukan peninjauan kembali sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 263 Ayat (2) Huruf a, b, dan KUHAP;
b. bahwa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali berupaPK-I sampai dengan PK-7 tidak dapat dikualifikasikan sebagai novum (bukti baru) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Ayat (2) KUHAP;
c. bahwa tidak ditemukan adanya kekeliruan/kekhilafan yang nyata-nyata dalam putusan hakim, yang ada adalah perbedaan pendapat antara majelis hakim dan jaksa/penuntut umum di satu pihak serta pendapat terdakwa di lain pihak.

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat permohonan peninjauan kembali dari pemohon peninjauan kembali terpidana Paimin Landung tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 266 Ayat (2) a KUHAP harus ditolak dan putusan Mahkamah Agung R1 No. 1117 K/Pid.Sus/2008 yang dimohonkan pcninjauan kembali tersebut dinyatakan tetap berlaku.

10. Analisis 
Kasus ini merupakan tindak pidana di bidang perbankan yang mana para terdakwa melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat yang tidak memiliki izin dari Bank Indonesia schingga dikenakan dakwaan Kesatu, Primair, adalah Pasal 46 Ayat (1) jo Ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP, sedangkan dakwaan kesatu atau subsider Pasal 378 KUHP tentang tindak pidana penipuan, atau dakwaan lebih subsider lagi Pasal 372 tindak pidana penggelapan.
Selain pasal tersebut, terdakwa juga didakwa dengan bentuk dakwaan 'alternatif kumulatif' pada dakwaan kedua dimasukkan Pasal 3 Ayat (1) jo Ayat (2) jo Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP.

a.  Pasal 46 Ayat (1) jo. Ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun l998 

Pasal 46 ayat (1):
Barang siapa menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan Pidana penjara sekurang-kurangnya 5 tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000 (dua puluh miliar rupiah).

Pasal 46 ayat (2)
Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperast maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagal pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya.

Sebagaimana dimaksud Pasal 16 adalah:
Pasal 16 Ayat (1)
Setiap pihak yang melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat datam bentuk simpanan wajlb terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.

Tugas menghimpun dana dari masyarakat adalah salah satu fungsi perbankan sehingga seluruh tindakan tersebut harus mendapatkan izin usaha sebagaimana bank umum atau bank perkreeditan rakyat penggalangan dana masyarakat olch suatu badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi dari Bank Indonesia dengan tidak adanya izin operasional perbankan tersebut maka negara akan melakukan penuntutan terhadap badan-badan dimaksud, baik terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap kodua-duanya.

b. Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukunt Pidana (KUHP) 
Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang ataupun menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

c. Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam, karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah (Mceljatno, 1996:132).

d. Pasal 3 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesio Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. 

(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menempatkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana ke dalam penyedia jasa keuangan, baik atas nama sendiri atau atas nama pihak lain;
b. mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c. membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
d. menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
e. menitipkan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f. membawa ke luar negeri harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana; atau
g. menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah).

Terdakwa tclah terbukti dengan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam Pasal 46 Ayat (1) jo Ayat (2) Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 Ayat jo Ayat (2) jo Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 tentang Pencucian uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003.

Dakwaan yang diajukan olch jaksa penuntut umum adalah Jenis dakwaan 'alternatif kumulatif' dalam dakwaan ini dapat dijatuhkan pidana salah satu atau kedua-duanya dari dakwaan yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum dengan menggunakan kata 'dan atau' dalam kalimat dakwaannya maka jaksa penuntut umum dapat menentukan bahwa dapat menghukum dengan dakwaan yang tclah ditetapkan dalam dakwaan pcrtama atau kedua atau dihukum dengan kcdua-duanya, schingsa dalam dakwaan ini terdakwa dikenakan pasal tindak pidana perbankan dan tindak pidana pencucian uang dalam hal ini hukuman yang diberikan merupakan akumulasi dari tindak pidana kedua dakwaan tersebut.