HUKUM ACARA PERDATA (HKUM4405)

 


TINJAUAN MATA KULIAH
MODUL   1 : SEJARAH, SUMBER, DAN ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
MODUL   2 : KEKUASAAN KEHAKIMAN
MODUL   3 : SENGKETA DAN GUGATAN
MODUL   4 : GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION)
MODUL   5 : PERMULAAN SIDANG
MODUL   6 : MEDIASI PENGADILAN
MODUL   7 : PEMERIKSAAN PERKARA
MODUL   8 : PEMBUKTIAN
MODUL   9 : PUTUSAN HAKIM
MODUL 10 : UPAYA HUKUM
MODUL 11 : EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM
MODUL 12 : SITA DAN LELANG


TINJAUAN MATA KULIAH

Mata Kuliah yang akan kita pelajari diberi nama Hukum Acara Perdata. Hukum Acara Perdata ini merupakan mata kuliah lanjutan dari Hukum Perdata. Ruang lingkup mata kuliah hukum acara perdata ini meliputi pokok-pokok pembahasan yang akan dikaji secara lebih terperinci dalam 12 modul sebagai berikut :

MODUL   1 : SEJARAH, SUMBER, DAN ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
a. Pengetahuan Hukum Acara Perdata
b. Sejarah Hukum Acara Perdata
c. Sumber Acara Hukum Perdata
d. Asas-asas Hukum Acara Perdata

MODUL   2 : KEKUASAAN KEHAKIMAN
a. Pengertian Kekuasaan Kehakiman\
b. Pelaku Kekuasaan Kehakiman
c. Susunan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum
d. Susunan Organisasi Pengadilan Negeri
e. Kekuasaan Mengadili Pengadilan Negeri (Wewenang Mutlak)
f. Kewenangan Mengadili Wewenang Relatif dan Asas Persidangan

MODUL   3 : SENGKETA DAN GUGATAN
a. Pengertian Sengketa
b. Macam-Macam Sengketa
c. Sebab-sebab Timbulnya Sengketa Hukum
d. Cara Menyelesaikan Sengketa Hukum
e. Pengertian Gugatan
f. Syarat Menggugat
g. Siapa Dapat Menggugat dan Digugat
h. Bentuk Gugatan
i. Syarat-Syarat Gugatan
j. Tempat Gugatan Diajukan

MODUL   4 : GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION)
a. Gugatan Perwakilan Kelompok
b. Surat Kuasa dalam Gugatan Class Action
c. Syarat Mengajukan Gugatan Perwakilan Kelompok
d. Syarat Bentuk dan Isi Permohonan Gugatan Class Action
e. Jenis dan Isi Jawaban Tergugat dalam Perkara Gugatan Class Action
f. Isi Prosedur Pemberitahuan
g. Surat Pernyataan Keluar dan Pernyataan Masuk serta Gugatan Perbaikan.

MODUL   5 : PERMULAAN SIDANG
a. Proses Pemanggilan Para Pihak
b. Gugatan Gugur dan Proses Acara Verstek
c. Upaya Hukum Melawan Putusan Verstek (Verzet)

MODUL   6 : MEDIASI PENGADILAN
a. Pengertian Mediasi
b. Model Mediasi
c. Tahapan Mediasi dan Mediator
d. Mediasi Pengadilan
e. Prosedur Mediasi Pengadilan dan Kendala Pelaksanaan Mediasi  Pengadilan

MODUL   7 : PEMERIKSAAN PERKARA
a. Pembacaan Gugatan dan Mengubah Gugatan
b. Pengajuan Jawaban oleh Tergugat
c. Macam-Macam Jawaban Tergugat
d. Syarat Mengenai Cara Mengajukan Jawaban
e. Kebenaran dalam Perkara Perdata
f. Replik, Duplik, dan Ikut Sertanya Pihak Ketiga

MODUL   8 : PEMBUKTIAN
a. Pengertian Membuktikan
b. Pentingnya Pembuktian dan Beban Bukti/Pembuktian
c. Macam-Macam Alat Bukti
d. Penilaian Pembuktian dan Kekuatan Pembuktian Alat Bukti

MODUL   9 : PUTUSAN HAKIM
a. Pengertian Putusan Hakim
b. Kewajiban Hakim dalam Menyusun Putusan
c. Bentuk dan Isi Putusan Hakim serta Jenis-Jenis Putusan Hakim
d. Sahnya Putusan Hakim
e. Sifat Amar Putusan Hakim
f. Bunyi Amar Putusan Hakim
g. Kekuatan Putusan Hakim
h. Putusan yang Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorraad)

MODUL 10 : UPAYA HUKUM
a. Pengertian dan Jenis-Jenis Upaya Hukum
b. Upaya Hukum Melawan Putusan  dan Jenis-Jenisnya
c. Upaya Hukum Melawan Ekseskusi dan Penyitaan serta Porogasi

MODUL 11 : EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM
a. Pengertian Eksekusi Putusan Hakim
b. Jenis-Jenis Eksekusi Hakim
c. Ruang Lingkup Eksekusi Putusan Hakim dan Prosedur Eksekusi Putusan Hakim
d. Prosedur Eksekusi Putusan Hakim

MODUL 12 : SITA DAN LELANG
a. Jenis-Jenis Sita
b. Proses Penyitaan dan Akibat Hukum Penyitaan
c. Pengertian Lelang
d. Lembaga Pelaksanaan Lelang
e. Proses Lelang



MODUL   1 : 
SEJARAH, SUMBER, DAN ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA

Setelah mempelajari segala sesuatu tentang  Hukum Acara Perdata Indonesia, diharapkan anda :
1. Memahami pengertian Hukum Acara Perdata
2. Menjelaskan sejarah terjadinya Hukum Acara Perdata Indonesia
3. Menjelaskan Sumber Hukum Acara Perdata Indonesia
4. Menjelaskan asas-asas Hukum Acara Perdata (Indonesia)


KEGIATAN BELAJAR 1 :
PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA, SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA, DAN SUMBER HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA

Hukum bukan hanya sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat, atau diketahui. melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Maka itu, dapat dikatakan secara singkat bahwa hukum harus dilaksanakan.
Siapakah yang melaksanakan hukum? Dapatlah dikatakan bahwa setiap orang melaksanakan hukum. Bahkan, tidak jarang orang tanpa sadar telah melaksanakan hukum. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan bahwa pelaksanaan hukum bukan monopoli dari orang-orang tertentu saja.

Pelaksanaan hukum materiil, khususnya hukum perdata materiil, dapat berlangsung secara diam-diam di antara para pihak yang bersangkutan tanpa bantuan pejabat atau instansi resmi, misalnya kita membeli seperangkat alat rumah tangga, membeli sebuah mobil, menyewa seperangkat alat pesta, atau meminjam sejumlah uang dari tetangga. 
Namun, sering kali terjadi hukum materiil perdata itu dilanggar sehingga ada pihak yang merasa dirugikan, lalu terjadilah gangguan keseimbangan kepentingan dalam masyarakat. Dalam hal demikian ini, hukum materiil perdata yang telah dilanggar itu perlu dipertahankan atau ditegakkan.

A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA

Untuk melaksanakan hukum materiil perdata, terutama apabila ada pelanggaran atau guna mempertahankan berlangsungnya Hukum Materiil Perdata, diperlukan adanya rangkaian peraturan-peraturan hukum lain, disamping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum ini yang dikenal dengan Hukum Formil atau Hukum Acara Perdata

Hukum Acara Perdata hanya dipergunakan untuk menjamin agar Hukum Materiil Perdata ditaati. Ketentuan-Ketentuan dalam Hukum Acara Perdata pada umumnya tidaklah membebani Hak dan Kewajiban kepada seseorang sebagaimana dijumpai dalam Hukum Materiil Perdata, tetapi melaksanakan serta mempertahankan atau menegakkan Kaidah hukum Materiil Perdata yang ada.

Hukum Acara Perdata adalah Peraturan Hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan Perkataan lain Hukum Acara Perdata adalah Peraturan Hukum yang menentukan bagimana caranya menjamin pelaksanaan Hukum Perdata Materiil.
Lebih konkret lagi, dapatlah dikatakan bahwa Hukum Acara Perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa, serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya. Tuntutan Hak adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting atau tindakan menghakimi sendiri.
Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan sehingga menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, tindakan menghakimi sendiri tidak dibenarkan jika kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.

akan tetapi Pasal 666 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) menentukan bahwa apabila dahan-dahan atau akar-akar sebatang pohon yang tumbuh diperkarangan seseorang tumbuh menjalar atau masuk ke perkarangan tetangganya, yang disebut terakhir ini dapat memotongnya menurut kehendaknya sendiri setelah pemilik pohon menolak permintaan untuk memotongnya.
Seakan-akan ketentuan UU ini membenarkan tindakan menghakimi sendiri. Namun, meski disini tidak ada persetujuan untuk melakukan pemotongan dahan-dahan tersebut, setidak-tidaknya yang bersangkutan telah minta izin shingga perbuatan itu dilakukan dengan pengetahuan pemilik pohon (Mertokusumo, 1993).

Perkataan "Acara" di sini berarti proses penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan), Proses penyelesaian perkara lewat hakim iyu bertujuan untuk memulihkan hak seseorang yang merasa dirugikan atau terganggu, mengembalikan suasana seperti dalam keadaan semula bahwa setiap orang harus mematuhi peraturan hukum perdata supaya peraturan hukum perdata berjalan sebagaimana mestinya. 
Secara teologis, dapat dirumuskan bahwa hukum acara perdata dalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata. Karena tujuannya memintakan keadilan lewat hakim, hukum acara perdata dirumuskan sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak dimajukannya gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.

Dalam peraturan hukum acara perdata itu, diatur bagaimana cara orang mengajukan perkaranya kepada hakim (pengadilan), bagaimana caranya pihak yang terserang itu mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap pihak-pihak yang berperakara, bagaimana hakim memeriksa dan memutuskan perkara sehingga perkara dapat diselesaikan secara adil, bagaimana cara melaksanakan putusan hakim dan sebagainya sehingga hak dan kewajiban orang sebagaimana telah diatur dalam hukum perdata itu dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Wirjono Prodjodikoro merumuskan Hukum Acara Perdata; itu sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan serta cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukumperdata.

Dengan adanya peraturan hukum secara perdata itu, orang dapat memulihkan kembali haknya yang telah dirugikan atau terganggu itu lewat hakim dan akan berusaha menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri.
Dengan lewat hakim, orang mendapat kepastian akan haknya yang harus dihormati oleh setiap orang, misalnya hak sebagai ahli waris, hak sebagai pemilik barang, dll. Dengan demikian, diharapkan selalu ada ketentraman dan suasana damai dalam hidup bermasyarakat.

Hukum Acara Perdata dapat juga disebut Hukum Perdata Formil; karena mengatur proses penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan) secara formil. Hukum Acara Perdata mempertahankan berlakunya HukumPerdata.

Hukum Acara Perdata juga disebut Hukum Perdata Formil, yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana diatur dalam hukum perdata materiil.

Hukum Acara Perdata menunjukkan jalan yang harus dilalui oleh seseorang agar perkara yang dihadapinya dapat diperiksa oleh pengadilan. Selain itu, Hukum Acara Perdata juga menunjukkan bagaimana cara pemerikasaan suatu perkara dilakukan, bagaimana caranya pengadilan menjatuhkan putusan atas perkara yang diperiksa, dan bagaimana cara agar putusan pengadilan itu dapat dijalankan sehingga maksud dari orang yang mengajukan perkaranya ke pengadilan dapat dapat tercapai, yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban-kewajiban menurut Hukum Perdata yang berlaku bagi orang tersebut.

Apabila kita membaca literatur-literatur tentang Hukum Acara Perdata, kita akan menemui beberapa macam definisi Hukum Acara Perdata ini dari para ahli (sarjana) yang satu sama lain merumuskan berbeda-beda. Namun, pada prinsipnya hal tersebut mengandung tujuan yang sama.

Soepomo; dalam bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, meskipun tidak memberikan batasan, dengan menghubungkan tugas hakim, menjelaskan bahwa dalam peradilan perdata tugas hakim ialah mempertahankan Tata Hukum Perdata (bugerlijke rechts orde) dan menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.


B. SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA

1. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda
Hukum Acara Perdata Indonesia yang berlaku saat ini berasal dari zaman Pemerintahan Hindia Belanda yang hingga saat ini ternyata masih dipertahankan keberadaannya. Oleh karena itu, membicarakan Hukum Acara Perdata ini dimulai sejak lahirnya Hukum Acara Perdata itu sendiri. Berbicara mengenai sejarah Hukum Acara Perdata di Indonesia, tidak dapat terlepas dari membicarakan sejarah peradilan di Indonesia. Hal ini disebabkan dari definisi Hukum Acara Perdata yang telah dikemukakan diatas, diketahui bahwa Hukum Acara Perdata hanya diperlukan apabila seseorang hendak berperkara di muka pengadilan.

a. Sejarah Singkat Lembaga Peradilan.
Pada zaman Pemerintah Hindia Belanda dahulu, terdapat beberapa lembaga peradilan yang berlaku bagi orang-orang atau golongan yang berbeda, yaitu :
1) peradilan gubernemen; lembaga peradilan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Hindia Belanda;
2) peradilan swapraja (zelfbestuurrechtspraak); yaitu suatu peradilan yang diselenggarakan oleh sebuah kerajaan, diatur dalam suatu peraturan Swapraja tahun 1938 (Zelfbestuursregelen);
3) peradilan adat (inheemse rechtspraak); diatur dalam Staatsblaad 1932-80 yang dalam Pasal 1-nya menyebut tidak kurang dari tiga belas karesidenan yang ada peradilan adat;
4) peradilan agama (godienstigerechtspraak);  diatur dalam pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling diatur lebih lanjut dalam S.1882-152, kemudian diubah dalam S.1937-116;
5) peradilan desa (dorpsjustitie) diatur dalam S.1935-102 yang dalam Pasal 3a RO (reglement op de rechterlijke organisattie) disebut hakim-hakim perdamaian desa (dorpsrechter).

1) Peradilan Gubernemen :
Peradilan gubernermen terdiri ats dua lembaga peradilan. Pertama, lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan, terdiri atas raad van justitie dan residentiegerecht sebagai pengadilan tingkat pertama atau hakim sehari-hari (dagerlijke rechter) dan hoggerechtshof sebgaai lembaga pengadilan tertinggi yang berkedudukan di Batavia (sekarang Jakarta). 
Kedua, lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi golongan bumiputra ayang dilaksnaakan oleh sebuah landraad sebagai pengadilan tingkat pertama didampingi oleh beberapa badan pengadilan untuk perkara kecil-kecil, misalnya pengadilan kabupaten, pengdilan distrik, dan beberapa lagi, sedangkan tingkat banding dilaksnakan oleh raad van justitie.
Adapun yang dimaksud pengadilan kabupaten dan pengadilan distrik hanya menyelesaikan perkara-perkara kecil, yaitu perkara-perkara perdata yang tuntutannya di bawah nilai seratus gulden menjadi wewenang dari kedua pengadilan tersebut untuk menyelesaikannya.

2) Peradilan Swapraja :
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pengadilan-pengadilan swapraja di Jawa, Madura, dan Sumatra dengan resmi dihapuskan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1947, Kemudian dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang mulai berlaku pada 14 Januari 1951, dan menyusul penghapusan pengadilan-pengadilan swapraja di daerah-daerah lain, misalnya Sulawesi dan Nusa Tenggara.

Ukuran tentang kekuasaan peradilan swapraja terletak pada permasalahan apakah tergugat adalah seorang kaula (onderhoogerige) dari swapraja di mana ia berada atau dari pemerintah pusat. Adapun mereka yang termasuk kaula pemerintah pusat menurut Pasal 7 ayat (3) dan (4) Peraturan Swapraja tahun 1938 adalah orang Eropa; timur asing (vreemde osterlingen), kecuali keturunan raja; pegawai-pegawai pemerintah pusat; dan buruh dari beberapa macam perusahaan. Sementara itu, orang-orang Indonesia asli yang bukan pegawai negeri dan bukan buruh semacam itu adalah kaula swapraja.

3) Peradilan Adat :
Peradilan adat hanya berada di daerah-daerah di luar Jawa dan Madura. Pada zaman Hindia Belanda, Pasal 130 Indische Staatsregeling memberi kemungkinan bahwasanya di beberapa daerah di Indonesia, ada peradilan adat, disamping peradilan yang diatur dalam reglement rechterlijke organisatie (RO), herziene inlandsch reglement (HIR), rechtsreglement buitengewesien, dan yang disebut gouvernment-rechtspraak. Kemungkinan pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon dan setelah Republik Indonesia merdeka, di beberapa daerah dari 13 karesidenan tersebut, secara de facto peradilan adat dihapuskan dan kekuasaan mengadili diserahkan kepada Pengadilan Negeri.

Akan tetapi, pada waktu itu di beberapa daerah masih ada dua macam pengadilan sebagai hakim sehari-hari, yaitu Pengadilan Negeri dan pengadilan-pengadilan dari pengadilan adat atau dari peradilan swapraja.
Di Palembang, peradilan adat ini pada tingkat pertama dilakukan oleh kerapatan besar dan kerapatan kecil yang diketuai oleh seorang pasirah atau wedana, sedangkan peradilan-peradilan yang dilakukan oleh kerapatan tinggi di Kota Palembang yang ketuanya dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri Palembang. Pada akhirnya, pengadilan adat di Palembang ini pada tahun 1961 telah dihapuskan.

Di Jambi, peradilan adat pada tingkat pertama dilakukan oleh pesirah dan pada tingkat banding pemeriksaan perkaranya dilakukan oleh kepala daerah swatantra tingkat I (gubernur Provinsi Jambi). Pengadilan adat di Jambi ini kemudian dihapuskan mulai 15 oktober 1962.

Pasal 4 sampai 9 Staatsblad 1932-80 mengatur pemberian kekuasaan (atributie van rechtsmacht) kepada pengadilan-pengadilan dari peradilan adat dan peradilan umum.

Peradilan adat dalam peraturan disebut inheemsche bevolking, yang in het genotgelaten van haar eigen rechtspleging (diizinkan untuk memiliki peradilan sendiri) yang biasanya diartikan bahwa segala perkara perdata terhadap orang-orang Indonesia asli sebagai tergugat masuk kekuasaan pengadilan adat dengan tidak memperhatikan siapa yang menggugat. Ini berarti pengadilan adat hanya mengenai atau diperuntukkan bagi orang-orang Indonesia asli. Oleh karena itu, apabila dalam suatu perkara perdata tergugatnya bukan orang indonesia asli , yang berwenang mengadili adalah Pengadilan Negeri.

Pasal 7 Peraturan Peradilan Adat (Staatsblad 1932-80) menentukan, apabila tergugat lebih dari satu orang dan orang-orang itu sebagian adalah orang-orang Indonesia asli dan sebagian bukan orang Indonesia asli; yang berwenang mengadili adalah pengadilan negeri, kecuali apabila salah satu dari orang-orang itu adalah penjamin dalam perjanjian utang-piutang (borg) dan orang lainnya adalah peminjam. Dalam hal demikian, perkara harus dipecah menjadi dua, yang satu diajukan kepada pengadilan dari penjamin (borg) dan yang lain diajukan kepada pengadilan dari orang yang meminjam uang.

Pasal 5 dari peraturan peradilan adat memberi kemungkinan kepada kepala daerah (hoofd van gewestelijk bestuur) menetapkan bahwa orang-orang Indonesia yang terlibat dalam beberapa macam perjanjian perburuhan  dan perjanjian pada umumnya, jika ada alasan-alasan mendesak, orang-orang Indonesia tertentu tidak dapat digugat di pengadilan adat.

4) Peradilan Agama Islam :
Baik pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon maupun setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah tidak pernah mempermasalahkan lembaga yang satu ini. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keadaan peradilan Agama Islam masih tetap seperti pada zaman Hindia Belanda.

Asal muasal dari peradilan Agama Islam adalah Pasal 134 ayat 2 Indische Staatregeling yang menentukan bahwa perkara-perkara perdata antara orang-orang yang Beragama Islam, apabila hukum adat menentukannya, masuk kekuasaan pengadilan agama Islam, kecuali apabila ditetapkan lain dalam suatu ordonansi.

Bagi Jawa dan Madura, menurut Pasal 2a Staatsblad 1937-116, pengadilan-pengadilan agama Islam memutuskan perkara-perkara perdata antara orang-orang Islam mengenai nikah, talak, rujuk, perceraian, menetapkan pecahnya perkawinan, dan pemenuhan syarat dari taklik.

Dari putusan-putusan pengadilan agama Islam ini dapat dimintakan pemeriksaan banding kepada mahkamah Islam tinggi yang dahulu berkedudukan di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Surakarta. Mahkamah Islam Tinggi ini menurut Pasal 7g dari Staatsblad 1882-152 juga berkuasa untuk mengadili sengketa antara pelbagai pengadilan agama Islam di Jawa dan Madura mengenai kewenangan mengadili.

Ketentuan semacam itu termuat dalam Pasal 3 Staatsblad 1937-638 bagi daerah Banjarmasin dan daerah Hulu Sungai di Kalimantan Selatan, kecuali daerah-daerah Pulau Laut dan Tanah Bumbu. Di daerah tersebut, terdapat hakim kadi yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan hakim kadi tinggi yang memeriksa dalam tingkat banding.

Bagi daerah-daerah yang masih terdapat peradilan adat, Pasal 12 Staatsblad 1932-80 menentukan bahwa peradilan Agama Islam dilakukan apabila menurut hukum adat peradilan itu merupakan sebagian dari peradilan adat, sedangkan hakim-hakim dari peradilan agama Islam tersebut akan ditentukan oleh hukum adat atau oleh kepala-kepala daerah yang bersangkutan. Oleh karena dalam peraturan ini tidak menentukan kekuasaan pengadilan Agama Islam, dapatlah disimpulkan bahwa hukum adalah yang harus menentukan hal tersebut.

Dalam daerah-daerah yang terletak dalam lingkungan peradilan swapraja, tidak satu pasal pun dalam peraturan swapraja tahun 1938 yang mengatur keberadaan peradilan agama Islam. akan tetapi, pada umumnya susunan dan kekuasaan peradilan swapraja pengaturannya diserahkan kepada kepala daerah. Dapat dilihat bahwa tidak ada larangan seorang kepala daerah mengadakan dan mengatur juga peradilan agama Islam.

Sekarang peradilan agama merupakan salah satu pelaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama. Hal ini diatur dalam UU No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

5) Peradilan Desa :
Peradilan desa ini hingga zaman Jepang dan setelah proklamasi  kemerdekaan Indonesia masih dipertahankan di desa-desa pada beberapa daerah di Indonesia. Hakim pada peradilan desa terdiri atas anggota-anggota pengurus desa atau beberapa tetua desa setempat. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 120a HIR Pasal 143a RBg, yang kemudian ditiadakan oleh UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
Hakim pada peradilan desa sebenarnya bukan hakim dalam arti kata sebenarnya, seperti hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan sebagainya yang dapat diketahui dari ketentuan ayat (2) Pasal 3a RO.


b. Sejarah Hukum Acara Perdata Indonesia.
Pada zaman pemerintahan hindia Belanda terdapat beberapa lembaga peradilan yang dibedakan dalam dua macam, yaitu peradilan gubernermen dan peradilan-peradilan lain yang berlaku bagi golongan bumiputera (orang indonesia asli).
Peradilan gubernemen dibedakan menjadi dua lembaga peradilan , yaitu peradilan bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan serta peradilan yang berlaku bagi golongan bumiputera.
Untuk peradilan yang berlaku bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan, sudah tersedia hukum acara perdata reglement op de bugerlijke rechtsvordering (BRv). Namun,  untuk lembaga peradilan bagi golongan bumiputera belum ada. Peraturan hukum acara perdata yang dipergunakan saat itu hanyalah beberapa pasal yang terdapat dalam Stb. 1819-20. Dalam praktik selanjutnya, Stb.1819-20 ini mengalami perubahan yang tidak begitu berarti.
Sementara itu, dibeberapa Kota besar di Jawa pengadilan gubernemen yang memeriksa perkara perdata bagi golongan bumiputra menggunakan peraturan acara perdata yang berlaku bagi pengadilan yang diperuntukkan golongan eropa, tanpa berdasarkan perintah undang-undang. Setelah diperjuangkan keberadaannya, lahirlah HIR dan RBg yang berlaku bagi lembaga peradilan yang diperuntukkan bagi golongan bumiputra.

1) Sejarah Singkat HIR
Mr. H.L. Wichers yang ditugaskan oleh Pemerintah Belanda untuk memangku jabatan presiden hoogerechtshof (Ketua pengadilan tertinggi di Indonesia pada zaman Hindia Belanda di Batavia tidak membenarkan praktik pengadilan yang demikian, tanpa dilandasi perintah undang-undang. 
Maka, dengan beslit dari Gubernur Jenderal (Gouverneur Generaal) Jan Jacob Rochussen pada 5 Desember 1846 Nomor 3, Mr. H. L. Wichers ditugaskan merancang sebuah reglemen tentang administrasi polisi dan acara perdata serta acara pidana bagi pengadilan yang diperuntukkan golongan bumiputra.

Setelah rancangan reglemen dengan penjelasannya dirampungkan, pada 6 Agustus 1847 rancangan tersebut disampaikan kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen. Dia mengajukan beberapa keberatan atas rancangan tersebut, terutama ketentuan Pasal 432 ayat 2 yang membolehkan pengadilan yang memeriksa perkara perdata bagi golongan bumiputra menggunakan peraturan hukum acara perdata yang diperuntukkan bagi pengadilan golongan Eropa.
Gubernur Jenderal menghendaki supaya peraturan hukum acara perdata yang diperuntukkan pengadilan bagi golongan bumiputra pada dasarnya harus bulat (volledig) sehingga kemungkinan menggunakan peraturan-peraturan yang berlaku untuk golongan orang Eropa itu dianggap melanggar prinsip tersebut.
Hanya bagi landraad di Jakarta, Semarang, dan Surabaya, Gubernur Jenderal Rouchussen tidak berkeberatan apabila badan-badan pengadilan itu memakai cara-cara yang berlaku bagi golongan Eropa.
Keberatan lain terhadap rancangan tersebut adalah adanya kekhawatiran bahwa dengan menggunakan peraturan hukum secara perdata yang diperuntukkan pengadilan bagi golongan eropa sebagaimana diatur dalam rancangan reglemen tersebut akan mempertinggi kecerdasan orang bumiputra yang sedikit banyak akan merugikan kepentingan Pemerintah Belanda.

Setelah dilakukan perubahan dan penyempurnaan, baik isi maupun susunan dan redaksinya, antara lain adanya perubahan dan penambahan suatu ketentuan penutup yang bersifat umum, yang setelah diubah dan ditambah kini menjadi pasal yang terpenting dari H.I.R, yaitu Pasal 393, Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen menerima rancangan karya Mr. H.L. Wichers itu, kemudian diumumkan dengan publikasi pada 5 April 1848 St. 1848-16 dan dinyatakan berlaku pada 1 Mei 1848 dengan sebutan reglement op de uitoefening van de politie, de bugerlijke rechtspleging en de strafordering onder de Inlanders, de vreemde Osterlingen op Java en Madura dengan singkat lazim disebut inlandsch reglement (IR). Inlandsch reglement ini kemudian disahkan dan dikuatkan oleh Pemerintah Belanda dengan firman raja  pada 29 september 1849 N.93 Stb. 1849-63.

Dari riwayat lahirnya Pasal 393  HIR, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a) Dilarang oleh pembentuk undang-undang untuk menggunakan bentuk-bentuk acara yang diatur dalam reglement op de bugerlijke rechtsvordering (BRv)
2) Dalam hal reglemen Indonesia (HIR) tidak mengatur, hakim wajib mencari penyelesaian dengan menciptakan bentuk-bentuk acara yang ternyata dibutuhkan dalam praktik. Dengan cara demikian, HIR dapat diperluas dengan peraturan-peraturan acara yang tidak tertulis, yang dibentuk dengan putusan-putusan hakim berdasarkan kebutuhan dalam praktik.
3) HIR sebagai hukum acara, hukum formil, merupakan alat untuk menyelenggarakan hukum materiil sehingga hukum acara itu harus dipergunakan sesuai dengan keperluasan hukum materiil dan hukum acara itu tidak boleh digunakan apabila hukum itu bertentangan dengan hukum material.

Dalam sejarah perkembangan selanjutnya selama hampir seratus tahun semenjak berlakunya, Inlandsch Reglement ini ternyata telah mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan praktik peradilan terhadap hal-hal yang belum diatur dalam reglemen itu.
Dengan demikian, ketentuan-ketentuan dalam Inlands Rglement ini hanya merupakan sebagian saja dari ketentuan-ketentuan hukum acara yang tidak tertulis. Adapun yang paling banyak mengalami perubahan dan penambahan itu sebenarnya adalah bagian hukum acara pidananya. 
Karena itu, dipandang perlu untuk mengundangkan kembali reglemen itu secara lengkap. Adapun kronologis dari perubahan itu sebagai berikut :
a) Perubahan dan penambahan sampai tahun 1926 setelah mengalami beberapa kali perubahan-perubahan dan penambahan maka Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan kembali isi Inlandsch Reglement itu dengan Stb, 1926-559 jo 496.
b) Perubahan dan penambahan dari tahun 1926 sampai tahun 1941 dilakukan secara mendalam, terutama menyangkut acara pidananya. Karena itu, dipandang perlu mengundangkan kembali isi Inlandsch Reglement secara keseluruhan. Perubahan itu dilakukan dengan Stb. 1941-32 jo. 98. Dalam Stb. 1941-32 ini, sebutan Inlandsch Reglement diganti dengan sebutan Het Herziene Indonesisch Reglement disingkat HIR.
c) Pengundangan secara keseluruhan isi Het Herziene Indonesisch Reglement itu dilakukan dengan Stb. 1941-44. Setelah itu, tidak ada perubahan lagi yang bersifat penyesuaian setelah Indonesia merdeka, yaitu dengan berlakunya UU Darurat 1951-1 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan sipil (Lembaran Negara 1951-9).

Dapat dikemukakan disini, perubahan atau pembaruan yang dilakukan terhadap IR menjadi HIR pada tahun 1841 sebenarnya hanya dilakukan terhadap ketentuan mengenai acara pidananya, yaitu mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penuntut umum (openbaar ministerie) yang berdiri sendiri. Maksudnya, anggota-anggotanya, para jaksa, dan yang dahulunya ditempatkan di bawah pamong praja diubah menjadi di bawah jaksa tinggi atau jaksa agung. Perubahan IR pada tahun 1941 tersebut sama sekali tidak mengenai acara perdata. Sebelum pembaruan tersebut dalam Inlandse Reglement, jaksa pada hakikatnya adalah bawahan dari assisten resident yang adalah pamong paraja.


2) Sejarah Singkat RBg
Uraian di atas itu mengenai hukum acara perdata yang berlaku bagi wilayah Jawa dan Madura (HIR). Bagaimanakah keadaan peraturan hukum acara perdata untuk daerah di luar Jawa dan Madura?

Dari ketentuan Pasal 6 firman raja Stb. 1847-23, dapat diketahui bahwa apabila gubernur jenderal memandang perlu, dapat dibuat peraturan-peraturan tentang pengadilan di daerah-daerah luar Jawa dan Madura untuk menjamin berlakunya Kitab undang-undang Hukum Dagang di daerah-daerah secara tertib.

Sebagai tindak lanjut pasal 6 firman raja tersebut dan juga untuk menjamin adanya kepastian hukum secara tertulis di muka pengadilan gubernermen bagi golongan bumiputra di luar Jawa dan Madura (daerah seberang), pada tahun 1927 gubernur jenderal Hindia Belanda pada waktu itu mengumumkan sebuah reglement hukum acara perdata untuk daerah seberang dengan Stb. 1927-227 dan dengan sebutan Rechtsreglement voor de Buitengewesten yang disingkat RBg.
Ketentuan hukum acara perdata dalam RBg ini adalah ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang sudah ada dalam Inlandsch Reglement yang sudah ada untuk golongan Bumiputra dan timur asing di Jawa dan Madura ditambah ketentuan hukum acara perdata yang telah ada dan berlaku dikalangan mereka sebelumnya.

Dengan terbentuknya RBg ini, di Hindia Belanda terdapat tiga macam reglement hukum acara untuk pemeriksaan perkara dimuka pengadilan gubernermen pada tingkat pertama sebagai berikut :
a) Reglement op de Bugerlijke Rechtsvordering (BRv) untuk golongan Eropa yang berperkara di muka raad van justitie dan residentie gerecht.
b) Inlandsch Reglement (IR) untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing di Jawa dan Madura yang berperkara di muka Landraad, reglement kemudian setelah beberapa kali mengalami perubahan dan penambahan disebut Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
c) Rechtsreglement voor de Buttengewesten (RBg) untuk golonag Bumiputra dan Timur Asing di daerah luar Jawa dan Madura, yang berperkara di muka Landraad.


c. Lembaga Peradilan dan Hukum Acaranya pada Zaman Hindia Belanda
Dari urutan diatas tentang lembaga peradilan dan hukum acaranya, dapat dirangkum sebagai berikut :
1) Peradilan gubernermen terdiri atas berikut ini :
a) Peradilan yang berlaku bagi orang-orang eropa dan yang dipersamakan.
Raad van justitie dan residentiegerecht sebagai pengadilan tingkat pertama atau hakim sehari-hari, hukum acara perdata yang dipergunakan adalah Reglement op de Bugerlijke Rechtsvordering.
b) Peradilan yang berlaku bagi golongan bumiputra dan yang dipersamakan.\
Landraad yang dalam perkara-perkara kecil dibantu oleh pengadilan kabupaten dan pengadilan distrik sebagai pengadilan tingkat pertama (hakim sehari-hari).
Hukum Acara Perdata yang dipergunakan sebagai berikut :
(1) Untuk Jawa dan Madura : Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
(2) Untuk luar Jawa dan Madura : Rechts Reglement voor de Buitengesten (Reglemen Tanah Seberang).

2) Peradilan-Peradilan Lainnya yang berlaku bagi golongan bumiputra; seperti peradilan adat, peradilan swapraja, dan peradilan agama Islam, mempergunakan hukum acara yang diatur pada reglemenyang mengatur masing-masing lembaga peradilan tersebut.


2. Zaman Pendudukan Jepang
Bagaimanakah keadaan Hukum Acara Perdata pada zaman Pendudukan Jepang? Apakah ada perubahan atau melanjutkan peraturan yang sudah ada pada zaman Hindia Belanda? Untuk mengetahui keadaan tersebut, marilah kita meninjau peraturan yang dikeluarkan oleh balatentara Dai Nippon.

Setelah penyelesaian kekuasaan oleh Pemerintah Belanda kepada Pemerintah Balatentara Dai Nippon pada Maret 1942, pada 7 Maret 1942 untuk daerah Jawa dan Madura pembesar balatentara Dai Nippon mengeluarkan Undang-undang 1942-1 yang pada pasal 3 mengatakan, semua badan pemerintah dan kekuasaaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap diakui sah dan untuk sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.
Atas dasar undang-undang ini, peraturan hukum acara perdata di Jawa dan Madura masih tetap diberlakukan HIR. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura, badan-badan kekuasaan dari pemerintah Balatentatara Dai Nippon pada dasarnya juga mengeluarkan peraturan yang sama seperti di Jawa dan Madura. Dengan demikian, untuk peraturan Hukum Acara Perdata di luar Jawa dan Madura masih tetap diberlakukan RBg.

Kemudian pada April 1942, Pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan peraturan baru tentang susuanan dan kekuasaan pengadilan, untuk semua golongan penduduk, kecuali orang-orang Bangsa Jepang, hanya diadakan satu macam pengadilan sebagai pengadilan sehari-hari, yaitu pengadilan tinggi alias kootoo hooin dalam pemeriksaan perkara tingkatan kedua. Mula-mula ada saikoo hooin sebagai ganti hooggrecehtshof, tetapi dengan undang-undang Panglima Balatentara Dai Nippon pada 1944, pekerjaan saikoo hooin dihentikan dan sebagian diserahkan kepada pengadilan tinggi.

Berdasarkan peraturan tentang susunan dan kekuasaan pengadilan tersebut, semua golongan penduduk, termasuk juga golongan Eropa, tunduk pada satu macam pengadilan untuk pemeriksaan tingkat pertama, yaitu tihoo hooin menggantikan landraad, sedangkan raad van justitie dan residentie-gerecht dihapuskan.
Dengan demikian, BRv sebagai Hukum Acara Perdata yang diperuntukkan bagi golongan Eropa juga tidak berlaku lagi. Ketentuan Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk pemeriksaan perkara di muka tihoo hooin adalah HIR untuk Jawa dan Madura, sedangkan RBg untuk daerah luar Jawa dan Madura (daerah seberang). Sementara itu, bagi mereka semua yang Hukum Materiilnya termuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) masih dapat mengikuti ketentuan dari RBg sepanjang itu dibutuhkan, ketentuan yang di dalam HIR dan RBg tidak diatur.


3. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Bagaimana keadaan hukum acara setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945? Pada dasarnya, keadaan yang telah ada pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon diteruskan berlakunya.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan IV Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tertanggal 18 Agustus 1945 jo Peraturan Pemerintah 1945-2 tertanggal 10 Oktober 1945.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa HIR dan RBg masih tetap berlaku sebagai peraturan Hukum Acara Perdata di muka Pengadilan Negeri untuk semua golongan penduduk (semua warga negara Indonesia).

Dengan diundangkannya Undang-Undang Darurat 1951-1 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, dan acara pengadilan-pengadilan sipil, pada 14 Januari 1951 dengan Lembaran Negara 1951-9, mulailah dirintis jalan menuju asas unifikasi dalam bidang pengadilan dan peraturan hukum cara yang sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Pemerintah Balatentara Dai Nippon.
Menurut ketentuan undang-undang ini, untuk semua warga negara Indonesia di seluruh Indonesia, hanya ada tiga macam pengadilan sipil sehari-hari :
a. pengadilan negeri yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana untuk tingkat pertama;
b. pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana untuk tingkat kedua atau banding;
c. Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana dalam tingkat kasasi.

Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Darurat 1951-1, acara pada pengadilan negeri dilakukan dengan mengindahkan peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk pengadilan negeri.
Adapun yang dimaksud dengan "peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku" adalah tidak lain daripada HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura.
Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Darurat 1951-1, ditentukan bahwa HIR seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil. Untuk perkara perdata tidak sisinggung-singgung. Ini berarti bahwa untuk perkara perdata HIR dan RBg bukanlah sebagai pedoman saja, melainkan sebagai peraturan hukum acara perdata yang harus diikuti dan diindahkan.

Walaupun ada dua peraturan hukum acara perdata untuk pengadilan negeri yaitu HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura; isinya sama saja sehingga secara material sudah ada keseragaman utuk peraturan hukum acara perdata bagi semua pengadilan negeri di seluruh Indonesia.
Karena itu asas unifikasi yang dikehendaki oleh Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Darurat 1951-1 dalam bidang hukum acara pidana dan acara perdata sudah tercapai. Kemudian, peraturan hukum acara perdata yang ada tersebut diperkaya dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia. Adapun yang ditunggu selanjutnya untuk masa akan datang adalah hukum acara perdata nasional ciptaan sendiri sebagai kodifikasi hukum yang akan menggantikan hukum acara perdata warisan zaman Pemerintah Hindia Belanda dahulu yang hingga sekarang masih berlaku.


C. SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

1. Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 UUDar 1/1951
Hukum Acara Perdata pada pengadilan negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang darurat 1951-1 tersebut menurut peraturan-peraturan Republik indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk pengadilan negeri dalam daerah Republik Indonesia. 
Adapun yang dimaksud oleh Undang-Undang Darurat tersebut tidak lain adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia yang diperbarui ; S. 1848 Nomor 16, S. 1941 Nomor 44) untuk daerah Jawa dan Madura, serta Rechtsglement voor de Buitengewesten (RBg atau Reglemen daerah seberang; S. 1927 Nomor 227) untuk daerah luar Jawa dan Madura.

Jadi untuk Acara Perdata yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura.
Reglement op de Bugerlijke rechtsvordering (BRv atau Reglemen Acara Perdata; yaitu Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa; S. 1847 Nomor 52, 1849 Nomor 63), merupakan sumber juga dari Hukum Acara Perdata.
Supomo berpendapat; bahwa dengan dihapuskannya raad van justitite dan hooggerechtshov, Rv sudah tidak berlaku lagi sehingga dengan demikian hanya HIR dan RBg sjalah yang berlaku. Keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan, hukum acara perdata manakah yang diberlakukan apabila seorang yang tunduk pada BW (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) mengajukan gugatan cerai? Dalam praktik, acara yang diatur dalam Rv akan diterapkan.

Kecuali itu, dapat disebutkan Reglement op de Rechterlijke Organisasie in het beleid der justitie in Indonesie (RO atau Reglemen tentang Organisasi Kehakiman; S. 1847 Nomor 23) dan BW buku IV sebagai sumber dari hukum acara perdata dan selebihnya terdapat dalam BW, WvK (Wetboek van Koophandel; Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan Peraturan Kepailitan.

2. UU Nomor 48 Tahun 2009
Tidak boleh dilupakan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157) tentang Kekuasaan Kehakiman yang diundangkan pada 29 Oktober 2009 yang memuat beberapa ketentuan tentang hukum acara perdata.

3. UU Nomor 3 Tahun 2009
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1983 tentang Mahkamah Agung. Undang Undang tersebut mengatur Susunan Mahkamah Agung, Kekuasaan Mahkamah Agung, serta Hukum Acara Mahkamah Agung, termasuk pemeriksaan kasasi, pemeriksaan tentang sengketa kewenangan mengadili, dan peninjauan kembali. Undang-Undang ini memuat ketentuan hukum acara perdata.

4. UU Nomor 49 Tahun 2009
Kiranya perlu juga diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009  tentang Peradilan umum yang mengatur susunan serta kekuasaan pengadilan di lingkungan peradilan umum juga sebagai sumber hukum acara perdata. 

5. Yurisprudensi
Sebagai perbandingan, perlu diketahui juga Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Lembaran Negara 77) tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang penerapannya selambat-lambatnya lima tahun sesudah diundangkannya.
Yurisprudensi merupakan sumber pula dari pada hukum acara perdata, antara lain dapat disebutkan putusan Mahkamah Agung tertanggal 14 April 1971 Nomor 99 K/Sip/1971 yang menyeragamkan hukum acara dalam perceraian bagi mereka yang tunduk pada BW dengan tidak membedakan antara permohonan  untuk mendapatkan izin guna mengajukan gugat perceraian dan gugatan perceraian itu sendiri yang berarti bahwa hukum harus mengusahakan perdamaian di dalam persidangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 53 HOCI;

6. Adat Kebiasaan Hakim dalam Memeriksa Perkara
Wirjono Prodjodikoro berpendapat; bahwa adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata juga sebagai sumber dari hukum acara perdata. Adat kebiasaan yang tidak tertulis dari hakim dalam melakukan pemeriksaan tiu akan beraneka ragam. Tidak mustahil adat kebiasaan seorang hakim berbeda, bahkan bertentangan dengan adat kebiasaan hakim yang lain dari pengadilan yang sama dalam melakukan pemeriksaan.
Mengingat bahawa hukum acara perdata dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakannya atau ditegakkannya hukum mperdata materiil yang berarti mempertahankan tata hukum perdata, pada asasnya hukum acara perdata bersifat mengikat dan memaksa. Sementara itu, adat kebiasaan hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan tidak akan menjamin kepastian hukum.

7. Perjanjian Internasional
Salah satu sumber hukum acara perdata ialah perjanjian internasional misalnya; "perjanjian kerja sama di bidang peradilan antara Republik Indonesia dan Kerajaan Thailand. Didalamnya terdapat kesepakatan mengadakan kerja sama dalam menyampaikan dokumen-dokumen pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam hal perkara-perkara hukum perdata dan dagang. Warga negara kedua belah pihak akan mendapat keleluasaan berperkara dan menghadap ke pengadilan di wilyah pihak yang lainnya dengan syarat-syarat yang sama seperti warga negara pihak itu. 
Masing-pmasing pihak akan menunjuk satu instansi yang berkewajiban untuk mengirimkan dan menerima permohonan penyampaian dokumen panggilan,  Instansi untuk Republik Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, sedangkan Kerajaan Thailand adalah Office of Judicial Affairs of the Ministry of Justice.

8. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan.
Doktrin atau ilmu pengetahuan merupakan sumber hukum acara perdata juga atau sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata. Akan tetapi, doktrin itu sendiri bukanlah hukum.
Kewibawaan ilmu pengetahuan karena didukung oleh para pengikutnya serta sifat objektif dari ilmu pengetahuan itu menyebabkan putusan hakim bernilai objektif juga.

9 Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung
Bagaimanakah dengan instruksi dan surat edaran Mahkamah Agung? Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) sepanjang mengatur hukum acara perdata dan hukum perdata materiil tidaklah mengikat hakim sebagaimana halnya undang-undang. Akan tetapi, instruksi dan surat edaran MA merupakan sumber tempat hakim yang dapat menggali hukum acara perdata ataupun hukum perdata materiil.

Sehubungan dengan ini, marilah kita perhatikan SEMA No 3 Tahun 1963 yang pada umumnya dianggap membatalkan BW.  Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif dengan SE No 3 Tahun 1963 tersebut tidak wenang membatalkan BW atau undang-undang.
Maksud MA dengan SEMA No 3 Tahun 1963 yang merupakan instruksi kepada para hakim memang baik, yaitu agar hakim menyesuaikan BW dengan perkembangan masyarakat. tetapi SEMA Nomor 3 tahun 1963 itu sendiri secara yuridis teoris tidak mempunyai kekuatan membatalkan BW. Kalau MA dengan SEMA No 3 Tahun 1963 bermaksud untuk membatalkan BW, MA melanggar ajaran tentang pembagian kekuasaan. Atas dasar kebebasannya, hakim cukup berwenang untuk menyesuaikan isi undang-undang dengan perkembangan masyarakat, tanpa menunjuk pada SEMA No 3 Tahun 1963.

Seperti juga halnya dengan doktrin, instruksi dan SE bukanlah hukum, melainkan sumber hukum. Ini bukan dalam arti tempat kita menemukan hukum, melainkan tempat kita dapat menggali hukum.

Dapat juga hakim menggunakan lembaga-lembaga hukum acara perdata yang disebut dalam instruksi atau SE, asal saja sebagai ciptaan sendiri tanpa menunjuk instruksi atau SE yang bersangkutan (bandingkan dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 17 Januari 1955, H 1966 Nomor 1-2 hlm,77).


KEGIATAN BELAJAR 2 : ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA (INDONESIA)

Seperti halnya dengan hukum-hukum pada bidang yang lain, Hukum Acara Perdata juga mempunyai beberapa asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam hukum acara perdata tersebut. Berikut beberapa asas penting dalam Hukum Acara Perdata :

1. Hakim Bersifat Menunggu
Asas dari Hukum Acara Perdata (sebagaimana halnya asas hukum acara pada umumnya) bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan gugatan, sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang berkepentingan. Ini berarti bahwa apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau gugatan akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang berkepentingan (yang merasa dirugikan).
Kalau tidak ada gugatan atau penuntutan, tidak ada hakim. Jadi, yang mengajukan gugatan adalah pihak-pihak yang berkepentingan, sedangkan hakim bersikap menunggu diajukannya suatau perkara atau gugatan (periksa Pasal 118 HIR, Pasal 142 RBg). Ini berrti bahwa hakim tidak boleh aktif mencari-cari perkara (menjemput bola) di masyarakat, sedangkan yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi, sekali suatu perkara diajukan kepada hakim, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya dengan alasan apa pun Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

2. Hakim Pasif
Hakim dalam memeriksa surat perkara bersikap pasif. Maksudnya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh pihak-pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Dengan perkataan lain, pihak yang merasa haknya dirugikan (penggugat) yang menentukan apakah ia akan mengajukan gugatan, seberapa luas (besar) tuntutan, serta juga tergantung pada (para) pihak (penggugat dan/atau tergugat) perakara akan dilanjutkan atau dihentikan (karena terjadi perdamaian atau karena gugatan dicabut). 
Semuanya tergantung pada (para) pihak, bukan pada hakim. Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak (secundum allegat iudicare). Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan, demikian ditentukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009.

Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para pihak. Dalam pembuktian para pihaklah yang diwajibkan membuktikan dan bukan hakim, hakim hanya menilai siapa di anatar para pihak yang berhasil membuktikan kebenaran dalilnya dan apa yang benar dari dalil yang dikemukakan pihak tersebut.

3. Hakim Aktif
Dalam beracara dengan HIR/RBg, hakim Indonesia harus aktif sejak perkara dimasukkan ke pengadilan, memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu para pihak dalam mencari kebenaran, penjatuhan putusan, sampai dengan pelaksanaan putusannya (eksekusi). Karena dalam sistem HIR/RBg tidak ada keharusan menunjuk kuasa hukum, seorang yang buta hukum pun dapat menghadap sendiri ke muka pengadilan.

Keharusan hakim aktif dalam beracara dengan HIR/RBg mulai tampak pada saat penggugat mengajukan gugatannya. Pasal 119 HIR, 143 RBg menentukan bahawa ketua pengadilan negeri berwenang memberi nasihat dan pertolongan waktu dimasukkannya gugatan tertulis, baik kepada penggugat sendiri maupun kuasanya.
Hal ini tidak berarti bahwa hakim memihak. Di sini, hakim hanya menunjukkan bagaimana seharusnya bentuk dan isi sebuah surat gugat. Selain itu, dalam sidang pemeriksaan perkara, hakim memimpin jalannya sidang agar dapat tercapai peradilan yang tertib dan lancar sehingga asas peradilan cepat dapat tercapai. Dalam menjatuhkan putusan, hakim wajib menambahkan dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak, Pasal 178 ayat (1) HIR, 189 ayat (1) RBg. Dalam pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) HIR, 206 ayat (1) RBg, bahwa ketua pengadilan memimpin jalannya eksekusi.

Dalam penyelesaian suatu perkara yang diajukan ke pengadilan , hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, 189 ayat 2 dan 3 RBg). Demikian pula halnya apakah pihak yang bersangkutan akan mengajukan banding atau tidak bukanlah kepentingan dari pada hakim (Pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1947, Pasal 199 RBg).

Asas hakim pasif dan aktif dalam hukum acara perdata disebut verhandlungsmaxime. Asas ini mengandung beberapa makna berikut :
a. Inisiarif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh hakim.
Hakim hanyalah membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) UU Nomor 48 tahun 2009). Hal ini mengatur cara-cara bagaimana para pihak mempertahankan kepentingan pribadi.
Berbeda dengan hukum acara pidana yang mengatur cara bagaimana mempertahanakan kepentingan publik, inisiatif dalam acara pidana dilakukan oleh pemerintah yang diwakili oleh jaksa sebagai penuntut umum serta alat-alat perlengkapan negara yang lain (kepolisian). Kalau dalam perkara perdata pihak-pihak yang berhadapan adalah pihak-pihak yang berkepentingan yaitu penggugat dan tergugat.
Dalam perkara pidana pihak-pihak yang berhadapan bukan orang-orang yang melakukan tindak pidana (terdakwa) dengan orang yang menjadi korban, tetapi terdakwa berhadapan dengan jaksa/penuntut umum selaku wakil negara. Selanjutnya, dalam perkara perdata, para pihak yang berperkara dapat secara bebas mengakhiri sendiri perkara yang mereka ajukan untuk diperiksa di pengadilan dan hakim tidak dapat menghalanginya. 
Berakhirnya, pemeriksaan perkara perdata dapat dilakukan dengan pencabutan gugatan atau dengan perdamaian pihak-pihak yang berperkara (Pasal 178 HIR/189 RBg). Dalam perkara pidana, kalau perkara sudah diperiksa oleh pengadilan (hakim), perkara tersebut tidak dapat di cabut lagi, melainkan harus diperiksa terus sampai selesai (ada putusan pengadilan).

b. Hakim wajib mengadili seluruh gugatan/tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (Pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR/Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg).

c. Hakim mengejar kebenaran formal; Yakni kebenaran yang hanya didasarkan pada bukti-bukti yang diajukan di depan persidangan, tanpa harus disertai keyakinan hakim.
Jika salah satu pihak yang berperkara mengakui kebenaran suatu hal yang diajukan oleh pihak lawan, hakim tidak perlu menyelidiki apakah yang diajukan itu sungguh-sungguh benar atau tidak. Berbeda dengan perkara pidana, hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana mengejar kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan harus ada keyakinan hakim.

d. Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak mengajukan verset, banding, dan kasasi terhadap putusan pengadilan.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa mereka hakim bersifat pasif dalam perkara perdata, yaitu hakim tidak menentukan luasnya pokok perkara. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya, tetapi tidaklah berarti hakim tidak berbuat apa-apa. sebagai pimpinan sidang pengadilan, hakim harus aktif memimpin jalannya persidangan sehingga berjalan lancar.
Hakimlah yang menentukan pemanggilan, menetapkan hari persidangan, serta memerintahkan supaya alat-alat bukti yang diperlukan disampaikan ke depan persidangan. Bahkan jika perlu, hakim karena jabatan (ex officio) memanggil sendiri saksi-saksi yang diperlukan. Sealin itu, hakim juga berhak memberi nasihat, menunjukkan upaya hukum, dan memberikan keterangan kepada pihak-pihak berperkara (Pasal 132 HIR/156 RBg). Karena itu, sering dikatakan oleh sementara ahli bahwa hakim dalam sistem HIR adalah aktif, sedangkan dalam sistem Rv adalah pasif.

Jadi, pengertian pasif di sini hanyalah berarti bahwa hakim tidak menentukan luas dari pokok perkara. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. Akan tetapi, tidaklah berarti bahwa hakim sama sekali tidak aktif. Selaku pimpinan sidang, hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara, tidak merupakan pegawai atau sekadar alat dari para pihak, serta harus berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan.

Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam persoalan bagi rakyat. Darinya, diharapkan ada pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa. Diharapkan, hakim adalah orang yang bijaksana dan aktif dalam pemecahan masalah.
Kiranya, asas hakim aktif, menurut HIR, sesuai dengan aliran pikiran tradisional Indonesia. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mengharuskan pula hakim aktif karena yang dituju dengan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 UUD 1945 adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.

4. Sidang Pengadilan Terbuka untuk Umum
Sidang pemeriksaan perkara di pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum. Ini berarti bahwa setiap orang dibolehkan menghadiri dan mendengarkan pemeriksaan perkara di persidangan. Adapun tujuan asas ini tidak lain adalah memberikan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak, serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini dapat kita jumpai dalam Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 48 tahun 2009.
Mengumumkan putusan hakim dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum (openbaar) adalah syarat mutlak Pasal 13 ayat (2) UU Nomor 48 Tahun 2009. Tidak dipenuhinya syarat ini mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan akibat putusan adalah batal demi hukum.
Dalam praktiknya meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, kalau dalam berita acara persidangan dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, putusan yang telah dijatuhkan tetap sah. Namun demikian, untuk kepentingan kesusilaan, hakim dapat menyimpang dari asas ini, misalnya dalam perkara perceraian karena perzinaan.

Secara formil, asas ini membuka kesempatan untuk social control. Asas terbukanya persidaangan tidak mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertulis. Kecuali, ditentukan lain oleh undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting dan yang dimuat dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim maka persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup. Dalam pemeriksaan perkara perceraian atau perzinaan, sering persidangan dilakukan dengan pintu tertututp. Meskipun sidang pemeriksaan perkara dapat dilaksanakan secara  tertutup, setiap persidangan harus dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu sebelum dinyatakan tertutup.

5. Mendengar Kedua Belah Pihak.
Dalam Hukum Acara Perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak, dan didengar bersama-sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang sebagaimana termuat dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970. Hal tersebut mengandung arti bahwa dalam hukum acara perdata, pihak-pihak berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil, serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas audi et alteram partem atau eines mannes rede ist keines mannes rede, man soll sie horen alle beide. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar apabila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal ini berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2)).

6. Putusan harus Disertai Alasan-Alasan
Semua putusan hakim (pengadilan) harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 23 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal 184 ayat (1) HIR, Pasal 195 RBg, 61 Rv). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim dari pada putusannya  terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga mempunyai nilai objektif. 
Karena adanya alasan-alasan itulah, putusan hakim (pengadilan) mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang telah menjatuhkannya. Putusan yang tidak lengkap atau kurang pertimbangannya (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan putusan demikian harus dibatalkan (MA. Tgl. 22-7-1970 Nomor 638 K/Sip/1969 dan tanggal 16-12-1970 Nomor 492 K/Sip/1970).

Untuk lebih dapat mempertanggungjawabkan suatu putusan, sering juga alasan-alasan yang dikemukakan dalam putusan tersebut didukung yurisprudensi dan doktrin atau ilmu pengetahuan. Hal ini bukanlah berarti hakim terikat pada putusan hakim sebelumnya, tetapi sebaliknya hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena itu, hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi atau undang-undang yang sudah tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
Contoh klasik yang dapat dikemukakan di sini adalah putusan Hooge Raad tertanggal 31 Januari 1919 tentang perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) yang meninggalkan pendapat Hooge Raad sebelumnya.

Dapat pula dikatakan bahwa mencari dukungan pada yurisprudensi tidaklah berarti bahwa hakim terikat atau harus mengikuti putusan mengenai perkara yang sejenis dan yang pernah diputus oleh Mahkamah Agung atau Pengadilan Tinggi atau yang telah pernah dijatuhkannya sendiri. Walaupun kita pada dasarnya tidak menganut asas the binding force of precedent, memang janggal kiranya kalau seorang hakim memutus bertentangan dengan putusannya sendiri atau dengan putusan pengadilan atasannya mengenai perkara yang sejenis karena hal ini kemudian menunjukkan tidak adanya kepastian hukum.
Akan tetapi, sebaliknya, hakim harus mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ia harus berani pada suatu ketika meninggalkan yurisprudensi yang ada kalau sekiranya sudah usang dan tidak lagi sesuai dengan zaman atau keadaan masyarakat.
Dalam putusannya tanggal 23 November 1961 Nomor 179 K/Sip/1961, Mahkamah Agung menetapkan kedudukan anak perempuan sama dengan anak laki-laki dalam mewaris. Tidak dapat dimungkiri bahwa tidak sedikit hakim yang merasa terikat atau berkiblat pada putusan pengadilan tinggi atau Mahkamah Agung mengenai perkara yang sejenis.
Namun, ini bukan karena kita mneganut asas the binding force of presedent seperti yang dianut di Inggris, melainkan terikatnya atau berkiblatnya hakim itu karena yakin bahwa putusan yang diikutinya mengenai perkara yang sejenis itu memang sudah tepat dan meyakinkan.

Ilmu pengetahuan hukum juga merupakan sumber pula untuk mendapatkan bahan guna mempertanggungjawabkan putusan hakim dalam pertimbangannya. Hal ini disebabkan ilmu pengetahuan didukung oleh para pengikutnya serta sifat objektif dari ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim bernilai objektif pula. Betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi hakim dikatakan oleh seorang sarjana ; "Hanya dengan mengikuti ilmu pengetahuan ini, hakim dapat memberikan tempat bagi putusannya di salah sistem hukum yang diperlukan. Tanpa itu, putusan akan mengambang, terlalu subjektif, dan tidak meyakinkan meskipun dapat dilaksanakan". Ilmu pengetahuan itu merupakan sumber dari Hukum Acara Perdata.

7. Hakim Harus Menunjuk Dasar Hukum Putusannya
Meskipun hakim tidak harus mencari-cari perkara di dalam masyarakat, sekali suatu perkara diajukan kepada hakim, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya dengan alasan apa pun Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan adanya anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya (ius curia novit). Seandainya dalam memeriksa suatu perkara hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 27 UU No 14 Tahun 1970 yang menentukan bahwa hakim harus mengadili menurut hukum.
Ketentuan demikian itu didasarkan pada ketentuan yang berada dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam HIR ataupun RBg, Oleh karena itu, dalam melaksanakan kewajibannya yang demikian itu, dituntut keterampilan dan intelektualitas seorang hakim.

Dalam kenyataannnya, tidaklah dapat diharapkan sepenuhnya bahwa hakim mengetahui segala peraturan hukum. Hakim dalam memeriksa suatu peristiwa yang menjadikan sengketa hukum sebenarnya hanyalah diharapkan atau diminta untuk mempertimbangkan benar tidaknya suatu perkara dan memberikan putusannya.
Oleh karena hanya mempertimbangkan benar tidaknya suatu peristiwa pada hakikatnya hakim tidaklah perlu tahu akan hukumnya. Sebagai contoh, seorang hakim yang berasal dari Madura kemudian di pindahkan ke Pengadilan Negeri Palembang dan harus mengadili suatu perkara adat.  Hakim tidak dapat menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dengan alasan tidak tahu hukumnya. Untuk mengetahui hukumnya, hakim dapat memanggil seorang kepala adat setempat yang mengetahui hukum adat setempat. Berdasarkan keterangan dari kepala adat itu, hakim dapat menjatuhkan putusannya. Namun berhubung dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum, pesatnya lalu lintas hukum, dan mengingat pula kedudukan hakim atau pengadilan sebagau tempat pelarian terakhir para pencari keadilan, hakim dianggap tahu akan hukum.

Para pihak tidak menunjuk dasar hukum gugatannya karena baik HIR maupun RBg tidak mengharuskan orang yang akan mengajukan perkara ke pengadilan menunjuk seorang kuasa. Maka itu, setiap orang, meskipun buta hukum, dapat maju sendiri ke muka pengadilan guna mengajukan perkaranya.

8. Hakim Harus Memutus Semua Tuntutan
Selain hakim dalam putusan harus menunjuk dasar hukum yang dipakai sebagai dasar putusannya, hakim harus pula memutus semua tuntutan dari pihak (Pasal 178 ayat (2) HIR, 189 ayat (2) RBg). Misalnya, penggugat mengajukan tuntutan-tuntutan ; 
1) Tergugat dihukum mengembalikan utangnya;
2) Tergugat dihukum membayar ganti rugi;
3) Tergugat dihukum membayar bunga;
maka tidak satupun dari tuntutan tersebut boleh diabaikan oleh hakim.
Mengenai hakim akan menolak atau mengabulkan tuntutan tersebut, hal itu tidak menjadi masalah, tergantung dari terbukti atau tidaknya hal-hal yang dituntut tersebut.

Meskipun hakim harus memutus semua tuntutan yang diajukan oleh penggugat dalam gugatannya, hakim tidak boleh memutus lebih atau lain dari pada yang dituntut, Pasal 178 ayat (3) HIR, 189 ayat (3) HIR.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam hakim memutus menurut hukum adat maka putusan hakim harus "tuntas". artinya bahwa putusan hakim tersebut harus sungguh-sungguh menyelesaikan atau menyudahi msalah atau sengketa antara para pihak itu. Oleh karena itu, putusan hakim Indonesia bisa disebut atau merupakan bemiddelende vonnis (putusan antara).

9. Beracara Dikenakan Biaya
Seseorang yang akan berperkara di pengadilan pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 182, 183 HIR, 145 ayat (4), 192-194 RBg).

Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan pemberitahuan para pihak, serta biaya materai. Disamping itu, apabila diminta bantuan seorang pengacara, harus dikeluarkan biaya. Sebagai contoh, Pengadilan Negeri Baturaja dalam putusannya pada 6 Juni 1971 Nomor 6/1971/Pdt menggugurkan gugatan penggugat karena penggugat tidak menambah uang muka biaya perkaranya sehingga penggugat tidak lagi meneruskan gugatannya.

Akan tetapi, mereka yang memang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari membayar biaya perkara dan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat setempat. 
Adapun yang dimaksud dengan pejabat setempat dalam praktek adalah camat yang membawahkan daerah tempat tinggal dari orang yang berkepentingan. Permohonan akan ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila pihak yang berkepentingan bukan orang yang tidak mampu.

Selanjutnya, mereka yang benar-benar tidak mampu dan kurang mengerti hukum pada saat ini dapat pula meminta bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada lembaga-lembaga atau biro-biro bantuan hukum yang ada di lingkungan fakultas hukum universitas-universitas negeri ataupun swasta serta yang bernaung dibawah organisasi-organisasi sosial dan politik, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Peradin, Lembaga Konsultasi dan Penyuluhan Hukum (LPPH) dibawah naungan Golongan Sosi, Lembaga Bantuan Hukum MKGR, dll.

10. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan orang untuk mewakilkan kepada orang lain apabila hendak berperkara di muka pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, sehingga pemeriksaan di persidangan dapat terjadi secara langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan.
Namun demikian, para pihak dapat juga dibantu atau diwakili oleh kuasanya apabila dikehendaki (Pasal 123 HIR/Pasal 147 RBg). Dengan demikian, hakim tetap wajib memeriksa perkara yang diajukan kepadanya meskipun para pihak tidak mewakilkannya kepada seorang kuasa.

Ketentuan dalam HIR/RBg yang demikian itu ada keuntungan dan kekurangannya. Dengan memeriksa secara langsung para pihak yang berkepentingan, hakim akan dapat mengetahui dengan jelas dan cepat duduk persoalannya karena bukankah yang mengetahui seluk beluk peristiwa yang terjadi adalah para pihak sendiri. Kalau para pihak menunjuk kuasa dalam berperkara di pengadilan, sering kali seorang kuasa tidak mengetahui dengan tepat peristiwa yang menjadi sengketa. Mereka hanya mengetahui sebatas apa yang diceritakan/dikemukakan oleh pemberi kuasa sehingga apabila ada pertanyaan dari hakim yang memeriksa perkaranya, kuasa ini harus berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya. Selain itu, berperkara di pengadilan tanpa seorang kuasa akan lebih menghemat biaya daripada menunjuk seorang kuasa.

Akan tetapi, keberadaan seorang kuasa dalam penyelesaian perkara di pengadilan banyak manfaatnya juga. Mereka yang belum pernah berhubungan dengan oengadilan dan harus berperkara di pengadilan sering menjadi kebingungan, baik pada saat mengajukan perkaranya maupun pada saat persidangan.
Oleh karena itu, penunjukkan kuasa (wakil) sangat bermanfaat. Hal ini akan tampak lebih bermanfaat lagi apabila kuasa atau wakil adalah orang yang mengetahui hukum dan beritikad baik. Mereka dapat memberikan bantuan yang tidak sedikit kepada hakim dalam memeriksa suatu perkara karena mereka dapat memberikan sumbangan pikiran dalam memecahkan suatu persoalan hukum. Karena mengetahui hukumnya, wakil ini dalam persidangan hanya akan mengemukakan peristiwa-peristiwa yang berkaitan erat dengan hukumnya sehingga dengan demikian akan memperlancar jalannya peradilan. 
Bagi mereka yang buta hukum, tetapi terpaksa harus berperkara di muka pengadilan, seorang kuasa/wakil yang tahu akan hukum sangat membantu mencegah penipuan atau perlakuan yang sewenang-weanang atau tidak layak.

Meskipoun Pasal 123 HIR menentukan bahwa seseorang dapat dibantu oleh seorang wakil, HIR tidak menentukan siapa yang dapat ditunjuk sebagai wakil sehingga setiap orang yang buta hukum pun dapat diminta/ditunjuk sebagai wakil di persidangan oleh mereka yang sama sekali buta hukum, lebih-lebih juga buta huruf. Kalau hal ini terjadi, dapatlah dibayangkan bahwasanya jalannya peradilan tidak akan berjalan selancar apabila para pihak berperkara diwakili oleh seorang kuasa yang sarjana hukum, setidak-tidaknya orang yang tahu hukum (ahli hukum).

Berbeda dari ketentuan dalam HIR maupun RBg mengenai kuasa/wakil dalam persidangan, Rv mewajibkan setiap orang yang hendak berperkara di muka pengadilan mewakilkan kepada orang lain (procureur). Penunjukkan seorang wakil dalam berperkara di muka pengadilan ini merupakan suatu keharusan dengan akibat batalnya gugatan (Pasal 106 ayat (1) Rv) atau diputusnya perkara di luar hadir tergugat (Pasal 109 Rv) apabila pihak ternyata tidak diwakili.

Pada hakikatnya, tujuan adanya perwakilan dari sarjana hukum (verplichte procureur stelling) ini tidak lain untuk lebih menjamin pemeriksaan perkara yang objektif, melancarkan jalannya peradilan, dan memperoleh putusan yang adil.


E. SIFAT HUKUM ACARA PERDATA

Sifat hukum acara perdata di Indonesia seyogyanya harus sesuai dengan sifat cara orang Indonesia dalam memohon peradilan yang pada umumnya sangat sederhana. Pada dasarnya, orang mengajukan perkaranya ke pengadilan begitu saja disebabkan merasa haknya dilanggar oleh orang lain. 
Kehendak orang yang sederhana demikian itu tidak akan terpenuhi apabila peraturan-peraturan acara sangat mengikat para pencari keadilan, bahkan mungkin merupakan hambatan atau rintangan bagi mereka untuk memperoleh peradilan.

Acara yang sangat mengikat (formalistis) sebagaimana dianut dalam BRv (hukum acara perdata bagi raad van justitie) akhirnya juga dirasakan oleh orang-orang Belanda sendiri tidak memuaskan sehingga di Belanda cara ini mendapat tentangan keras oleh aliran yang menghendaki penyederhanaan hukum acara perdata. 
Oleh karena itu, sangatlah keliru apabila Indonesia akan menerapkan ketentuan-ketentuan yang sangat mengikat dalam mengatur acara perdata sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata bagi raad van justitie.

Tampaknya para pembuat Undang-Undang menyadari sepenuhnya hal kesederhanaan tersebut. Ini terbukti dari ketentuan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman sejak pertama kali dikeluarkan, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 2 ayat (4) menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Menurut penjelasan undang-undang tersebut, yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif.
Sementara itu, yang dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Demikian pada Pasal 3 ayat (4) yang menentukan, "Dalam perkara perdata pengadilan membantu dengan sekuat tenaga para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya supaya segala hambatan dan rintangan untuk peradilan yang cepat, sederhana, dan murah disingkirkan".

Meskipun dengan kata-kata yang sedikit diubah, perubahan undang-undang tentang kekuasaan kehakiman dari tahun ke tahun hingga yang terakhir ini (UU Nomor 48 Tahun 2009) sifat kesederhanaan tersebut selalu ditampilkan.

Sebenarnya, sifat kesederhanaan tersebut memang sejak awal telah diwujudkan dalam hukum acara perdata (HIR) yang hingga kini tetap dipertahankan, misalnya bentuk pengajuan gugatan merupakan suatu permohonan kepada hakim (Pasal 118 ayat (1) HIR) dan ini sesuai sifat Bangsa Indonesia yang dalam mengajukan perkara ke pengadilan adalah mohon keadilan kepada negara.
Selain itu, juga adanya kewajiban pada hakim untuk sekuat tenaga mengusahakan perdamaian dalam penyelesaian perkara di pengadilan (Pasal 130 HIR) sesuai dengan jiwa Pancasila yang menjunjung tinggi prinsip musyawarah dan mufakat.
Demikian pula sistem pemeriksaan langsung terhadap para pihak berperkara atau wakil mereka  yang pada prinsipnya dilakukan secara lisan sesuai dengan hakikat peradilan yang bertujuan mencari dan menemukan kebenaran yang akan dijadikan dasar pemberian keadilan.


MODUL 2 :
KEKUASAAN KEHAKIMAN

Dibahas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Kegiatan Belajar 1 membahas pengertian kekuasaan kehakiman; pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia; Susunan  pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, susunan organisasi pengadilan negeri; serta kekuasaan mengadili pengadilan negeri (wewenang mutlak). Kegiatan Belajar 2 membahas kompetensi (wewenang) relatif dan asas persidangan.

Dengan mempelajari modul ini, akan dipahami tentang pengertian kekuasaan kehakiman, pelaku kekuasaan kehakiman, susunan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, susunan organisasi pengadilan negeri, kompetensi, yurisdiksi, dan asas-asas yang dianut dalam penyelesaian perkara perdata.

KEGIATAN BELAJAR 1 : PENGERTIAN KEKUASAAN KEHAKIMAN, PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN, SUSUNAN PENGADILAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN UMUM, SUSUNAN ORGANISASI PENGADILAN NEGERI, KOMPETENSI, DAN ABSOLUT.

Salah satu unsur dalam negara hukum modern adalah adanya pengawasan dari badan-badan peradilan yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh lembaga tinggi negara lainnya.
Superior hukum tidak akan pernah dapat terwujud manakala aturan-aturan hukum dijalankan oleh pemerintah saja. Oleh karena itu, dalam setiap negara hukum, keberadaan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman (yudikatif) adalah mutlak adanya. Kekuasaan Kehakiman diatur dalam UU No 48 Tahun 2009 yang merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar, asas-asas peradilan, serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

A. PENGERTIAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Hal tersebut ditentukan dalam Pasal 1 UU Kekuasaan Kehakiman baik yang terakhir Nomor 48 Tahun 2009 maupun yang pertama yaitu Nomor 14 Tahun 1964.

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan