KPU TIDAK MELARANG MANTAN KORUPTOR MAJU PILKADA SERENTAK 2020


JAKARTA- Indonesia Corruption Watch (ICW) menyayangkan penerbitan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang di dalamnya tak terdapat larangan mantan terpidana korupsi untuk maju di pilkada. Hal itu dianggap ICW sebagai keputusan terburu-buru.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICWDonal Fariz mengatakan, KPU seharusnya menunggu putusan MK tentang boleh atau tidaknya mantan terpidana korupsi yang menurut rencana diputuskan pekan depan.
"KPU terburu-buru menurut saya. Pasalnya, Rabu depan merupakan putusan MK tentang boleh atau tidaknya mantan terpidana korupsi menjadi calon kepala daerah," kata Donal Fariz, Jumat (6/12). Menurut Donal, KPU harusnya menunggu putusan MK terlebih dulu sebelum menerbitkan aturan tersebut. Putusan MK itu nantinya bisa menjadi rujukan untuk menentukan aturan baru.
Diberitakan sebelumnya, KPU akhirnya menerbitkan PKPU tentang Pencalonan dalam Pilkada 2020. Dalam PKPU tersebut, mantan terpidana korupsi tak dilarang maju di Pilkada 2020. PKPU itu tercatat dengan Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. PKPU itu ditetapkan pada 2 Desember 2019.
Dalam Pasal 4 soal persyaratan calon kepala daerah, tidak ada larangan bagi mantan terpidana korupsi. Isi Pasal 4 ayat H tersebut masih sama dengan aturan sebelumnya, yakni PKPU Nomor 7 Tahun 2017, yang hanya mengatur larangan bagi dua mantan terpidana.
Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay menambahkan selama ini imbauan yang meminta mantan terpidana untuk tidak maju dalam kontestasi di daerah percuma dilakukan. "Imbauan akan menjadi percuma. Pimpinan pusat parpol menandatangani form pencalonan dan pakta integritas di Bawaslu pada Pemilu lalu, tetap saja mereka mengajukan bakal calon yang pernah terpidana korupsi," ujar Hadar, kemarin.
Namun, Hadar menilai larangan eks koruptor dapat dicantumkan bila terdapat perubahan pengaturan di Undang-undang Pilkada. Menurunya, bila tidak maka kejadian persoalan terkait larangan eks koruptor pada Pemilu 2019 akan terulang dan membuang tenaga. "Saya kira sekarang kita perlu melihatnya lebih proporsional. Karena kalau KPU tetap memasukan tanpa perubahan pengaturan di tingkat UU, akan berulang apa yang terjadi saat pencalonan Pemilu 2019 lalu. Energi terbuang percuma," ujar Hadar.
Hadar mengingatkan, pada saat Pemilu 2019 larangan tersebut pernah dicantumkan oleh KPU dalam PKPU. Namun, hal tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA) karena dianggap bertentangan dengan UU. "Menjelang Pemilu 2019, pengaturan di PKPU saja, akhirnya dibatalkan karena MA membatalkan pasal PKPU tersebut. Akhirnya parpol bisa mempertahankan bakal calon yang mantan terpidana korupsi," tuturnya.
Sementara itu, Direktur Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi) Titi Anggraini melihat, penerbitan PKPU tersebut terjadi karena KPU berada dalam posisi dilematis. "KPU berada dalam dilema, diperhadapkan pada kebutuhan mendesak untuk segera mengesahkan peraturan teknis pencalonan atau memaksakan pengaturan pencalonan mantan napi," kata Titi Anggraini, Jumat (6/12).
Dia mengatakan tak adanya aturan yang melarang eks koruptor maju sudah bisa diprediksi. "Tidak dicantumkannya pelarangan mantan napi korupsi di PKPU Pencalonan sudah bisa diprediksi, sebab KPU berhadapan dengan ekosistem hukum dan politik yang tidak mendukung terobosan yang ingin dilakukan KPU," ujarnya.
Titi mengatakan ada risiko berlarutlarut jika KPU memaksakan untuk melarang eks koruptor maju dalam Pilkada lewat PKPU. Salah satunya adalah penolakan dari Kemenkum HAM karena PKPU itu akan bertentangan dengan UU. "Dengan risiko berlarut-larutnya pengesahan PKPU Pencalonan, karena Kemenkum HAM pasti akan menolak mengundangkan PKPU Pencalonan dengan argumen bertentangan dengan UU dan Putusan MK," ucapnya.
Titi berharap Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi UU Pilkada nomor 10 tahun 2016, pasal 7 ayat 2 huruf g tentang pencalonan napi. Titi berharap nantinya putusan MK dapat memberikan kejelasan terkait larangan tersebut.
"Kami menaruh harapan besar bahwa Mahkamah Konstitusi akan mengabulkan permohonan uji materi kami atas pencalonan mantan napi. Kami berharap MK akan memberikan kejelasan dan angin segar, bagi upaya kita mendapatkan calon kepala daerah yang berintegritas," kata Titi. Menurutnya, bila MK tidak mengabulkan maka polemik pencalonan eks napi korupsi tidak akan selesai.
Titi mengatakan hal ini merupakan upaya untuk memberikan calon yang baik dalam Pilkada. "Kalau tidak dengan Putusan MK, di tengah kondisi DPR yang tidak ingin mengubah UU Pilkada, maka polemik soal ini tidak akan pernah berhenti. Ini upaya kami, untuk menjaga agar pencalonan Pilkada kita bisa terbebas dari calon-calon yang bermasalah dan berisiko bagi publik," tuturnya.