HUKUM LINGKUNGAN

Image result for HKUM4210

MODUL 1   : KERUSAKAN LINGKUNGAN DI NEGARA MAJU DAN DI NEGARA BERKEMBANG
MODUL 2   : PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN : LATAR BELAKANG DAN PRINSIP-PRINSIPNYA
MODUL 3 : HUKUM LINGKUNGAN
MODUL 4 : PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN 
MODUL 5 : PERSPEKTIF SOSIOLOGIS PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
MODUL 6 : TANTANGAN PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN: URGENSI PELIBATAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN PERGESERAN PARADIGMA PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

MODUL 1   
KERUSAKAN LINGKUNGAN DI NEGARA MAJU DAN DI NEGARA BERKEMBANG
KB 1 : LATAR BELAKANG KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP
A. KERUSAKAN LINGKUNGAN DI NEGARA BARAT
Apabila ditelusuri dari kronologinya, kerusakan lingkungan, dan akibat yang ditimbulkannya pada era sekarang ini tidak lepas dari proses-proses yang terjadi di negara maju dan di negara berkembang.
Kedua kelompok negara-negara itu memiliki andil yang sama dalam kerusakan lingkungan global, tetapi berbeda latar belakang penyebabnya. Apabila ditelusuri berdasarkan sejarah, kerusakan lingkungan yang terjadi di negara-negara maju (pengertian negara maju dalam tulisan ini menunjuk pada negara-negara Eropa Barat) sebenarnya sudah terjadi di Eropa Barat pada Abad XV — XVI pasca runtuhnya Imperium Romawi pada sekiiar tahun 1453.
Runtuhnya Imperium Romawi Timur pada tahun 1453 menandai berakhirnya kekuasaan Romawi secara menyeluruh. Implikasinya tumbuh negara-negara baru di Eropa yang sebelumnya merupakan negara bekas jajahan Imperium Romawi.

Terbentuknya negara-negara baru di Eropa tersebut tidak scrta merta sekaligus melahirkan tatanan sosial kemasyarakatan sebagaimana tampak seperti sekamng ini. Ketika negara-negara ini baru lahir, hubungan antaranggota masyarakat di dalam negara maupun hubungan antarnegara masih didominasi pengaruh hukum-hukum Gereja yang telah berlaku selama berabad-abad.
Sistem perekonomian yang hidup dalam masyarakatnya merupakan sistem ekonomi berskala kecil, yang masyarakatnya merupakan masyarakat tradisional yang bersifat siklis dimana kehidupan sosial ekonominya berputar-putar pada lokasi setempat.
Kehidupan masyarakat seperti ini terpaku dengan kuat pada suatu wilayah yang relatif tetap, yang terdiri dari tanah pertanian atau petemakan, serta tertancap pada lingkungan perdagangan yang sempit. Semua barang dan makanan diproduksi untuk kepentingan sendiri, tidak dijualbelikan.
Dalam masa itu konsep pasar belum ditemukan.  Keadaan kemudian berubah ketika gelombang industrialisasi melanda negara-negara Eropa Barat. Di dalam masyarakat tradisional tersebut terjadi perubahan, di mana sistem ekonomi berskala kecil mulai diguncang oleh adanya industrialisasi sebagai sistem ekonomi berskala besar. Untuk kepentingan-kepentingan itu, dilakukanlah eksploitasi sumber daya alam, yang dilakukan demi berjalannya industrialisasi (sebagai dampak perkembangan rasionalitas bangsa Barat).
Eksploitasi dilakukan terus-menerus tanpa batas untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan industrialisasi . Ketika sumber daya alam itu benar-benar habis sementara kebutuhan untuk kepentingan menjadi tidak terbatas maka dicarilah sumber daya alam di tempat lain, melintasi samudera.
Dari sinilah kemudian dikenal sejarah imperialisme dan kolonialisme bangsa-bangsa Barat di dunia. Dengan demikian, imperialisme dan kolonialisme itu dilakukan dalam rangka pencarian sumber daya alam di wilayah yang ditundukkan. Selanjutnya, sumber daya alam dari wilayah lain itu, diangkut ke negara Barat selaku penakluk tersebut untuk kepentingan konsumsi yang didistribusikan secara mahal di Eropa.
Dengan demikian. negara Barat (terutama Eropa) dengan kedatangannya di wilayah-wilayah lain seperti di Asia, Amerika Selatan, maupun Afrika pada masa lalu juga andil dalam proses terjadinya degradasi lingkungan yang pengaruhnya juga dialami pada masa kini.
Seiring dengan perkembangan kcsadaran Hak Asasi Manusia dan kesadaran tentang kesederajatan umat manusia, (yang juga justru tumbuh di Eropa pada Abad XVII-XVIII) maka penguasaan negara-negara barat atas wilayah-wilayah itu dianggap bertentangan dengan semangat kesederajatan negara.
Tindakan-tindakan negara barat yang disebut melakukan penjajahan itu kemudian ditentang oleh pemikiran-pernikiran maju di dunia sebagai implikasi kesadaran HAM. Selain itu, dorongan untuk membebaskan negara-negara dari intervensi oleh negara lain (sebagai pengalaman buruk negara-negara Eropa sebelum Perang Dunia Kedua) semakin mempercepat kesadaran untuk mengakhiri penjajahan secara fisik tersebut.

Era imperialisme dan kapitalisme berlangsung pada abad ke - 18 dan ke — 19 tetapi pada pertengaltan abad ke-20 praktik imperialisme dan kolonialisme secara fisik sudah relatif hilang karena setelah Perang Dunia Kedua, mulailah negara-negara jajahan membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Mulai pertengahan abad ke-20 secara perlahan tetapi pasti muncullah bentuk baru dari imperialisme yang dikenal dengan sebutan neo-liberalisme. Berbeda dengan imperialisme lama, dalam bentuknya yang baru kekuaian militer bukan menjadi andalan utama dalam penaklukan negara bekas jajahan (pascakolonial). Kekuatan yang menjadi andalan utama sekarang adalah daya saing dalam sebuah sistem yang mengunggulkan perdagangan bcbas.

B. KERUSAKAN LINGKUNGAN DI NEGARA BERKEMBANG
Sebelum membahas kerusakan lingkungan yang terjadi di negara berkembang harus disepakati dulu pengertian negara berkembang dalam uraian ini. Istilah negara berkembang (Developing Countries) merupakan istilah dalam terminologi politik. Pengertiannya menunjuk pada ncgara-negara yang tumbuh sebagai negara baru yang lahir pascal945, sebagai negara-negara yang umumnya baru lepas dari kolonialisme negara-negam Barat.
Dalam kelompok negara-negara berkembang pada masa lalu dapat disebut misalnya, Indonesia, India, Pakistan, Myanmar (dulu Burma), Filipina, Mesir, Victnam, beberapa negara di Afrika dan Amcrika Latin. Sebagai negara-negara yang relatif baru (yang lahir pasca 1945) maka semangat untuk melepaskan diri dari pengaruh atau dominasi asing menjadi semakin kuat, di samping keinginan yang sangat besar untuk memberikan kesejahternan bangsanya.
Atas dorongan dari aspek eksternal dan internal itulah maka dilakukanlah percepatan proses-proses pembangunan yang sangat luar biasa. Semua itu, juga dilakukan untuk menimbulkan semangat bahwa negara-negara berkembang tersebut mampu berdiri di atas kaki scndiri untuk mempertahankan diri dan mensejahterakan bangsanya.
Untuk percepatan itu maka negara-negara berkembang mengajukan pinjaman kc lembaga-lembaga kcuangan intemasional, dan untuk mengembalikan pinjaman itu maka dilakukanlah eksploitasi sumber daya alam yang dijual atau dibuat produk yang kemudian dijual untuk kepentingan kemajuan pembangunan. Olch karena kemudian yang terjadi adalah berkurangnyakualitas lingkungan hidup dan berkurangnya kuantitas sumber daya alam.
Kesadaran tentang pentingnya lingkungan untuk menopang kehidupan bagi manusia bukan merupakan kesadaran yang ditopang oleh wawasan rasionalitas yang tinggi sehingga penghargaaan kepada lingkungan hidup tidak pemah ada. Lebih-lebih keuntungan yang diperoleh dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bukan merupakan sesuatu yang bersifat konkret (intangible), berbeda dengan keuntungan ekonomi yang dapat dirasakan manfaatnya secara konkret.
Sampai kini proses-proses pembangunan yang mengarah pada pengarusutamaan kesejahteraan ekonomi menjadi prioritas pembangunan di negara-negam berkembang. Pada umumnya pemicu utama kerusakan lingkungan di negara berkembang bersumber dari tingginya jumlah penduduk Sebagaimana dikelahui, pasca 1972, hampir sebagian besar negara berkembang mengalami pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Akibatnya, terjadilah permasalahan pendidikan, kesempatan (peluang) bekerja, serta pemukiman.
Secara logika sudah bisa diketahui dengan mudah relasi antara tingginya jumlah penduduk, pendidikan, kesempatan bekena, dan pemukiman. Jumlah penduduk yang tinggi akan menyebabkan distribusi kesejahteraan makin berkurang. lbarat dana Seratus Rupiah yang seharusnya diperuntukkan satu orang, harus dibagi untuk empat orang. Akibatnya, berbagai kebutuhan akan sulit dipenuhi, termasuk kebutuhan pendidikan. Ketika kebutuhan pendidikan tidak dapat dipenuhi, maka yang terjadi adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia. Akibat lebih lanjut maka mercka yang berpendidikan rendah atau bahkan tidak berpendidikan, akan gagal untuk mendapatkan kesempatan bekerja. Demikianlah maka penduduk tersebut didera olch kemiskinan. Di sisi lain, mereka tetap membutuhkan pemukiman. Demikianlah, maka akibatnya, mereka akan bermukim tetap di wilayah-wilayah atau ruang yang seharusnya tidak diperuntukkan untuk pemukiman. Akibat, yang terjadi, potensi banjir, longsor karena rusaknya tata ruang tadi, mengancam di setiap waktu. Keadaan tersebut menjadi semakin akut ketika terjadi pembiaran oleh Pemerintah, yang memang tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengatasi kemiskinan ini.
Keadaan seperti ini pun menjadi sangat dilematis: Pemerintah tidak memiliki kekuatan uniuk mengatasi persoalan ini berhubungan tidak memiliki sumber daya ekonomi, fasiltas yang memadai, di satu sisi, memaksa mereka untuk menaati peraturan tata ruang tidak akan bisa dipenuhi karena kebutuhan pemukiman yang tidak bisa dielakkan.
Persoalan lingkungan hidup di negara berkembang menjadi semakin berat, manakala terjadi kolaborasi antara penguasa-pengusaha dan pemerintah yang merugikan masyarakat. Kolaborasi sernacam ini sering sulit dibuktikan karena terkemas dalam kebijakan maupun peraturan perundandang-undangan yang diterima sebagai kebenaran oleh masyarakat sebagai sesuatu yang tidak terbantahkan.
Secara mudah dapat digambarkan misalnya, fenomena yang tedadi acapkali berkaitan dengan rencana pembangunan industri-industri besar di suatu daerah. Betapa sering kita mengetahui bahwa berdirinya industri-industri besar di suatu daerah, sesungguhnya merupakan hasil kolusi antara kepentingan penguasa, kepentingan pemerintahan daerah setempat dan kepentingan pengusaha (investor), yang ditunjang dengan analisis-analisis pembenaran keilmuan yang berpihak pada kepentingan invesiasi.
Pada saat yang sama. ketika masyarakat setempat ataupun masyarakat lokal (masyarakal adat) melakukan perlawanan, mereka justru ditindas. Lebih ironis lagi, penindasan itu mengatasnamakan kepentingan negara atau peraturan hukum. Hal yang terjadi kemudian di masa-masa berikutnya adalah kerusakan lingkungan dan akibat itu harus ditanggung masyarakat setempat.

Dalam hubungan kolaborasi antara kekuatan kapitalisme global dengan penguasa (negara) dan pengusaha, muncullah "koalisi kepentingan". Untuk kepentingan-keperilingan kelanggengan koalisi inilah maka rakyat dan lingkungan hidup akan mudah dikorbankan. Penguasa negara berkepentingan dengan keuntungan-keuntungan pribadi yang diperoleh karena kewenangannya, sedangkan kekuatan kapitalisme global (yang direpresentasikan oleh korporasi multinasional) berkepentingan dengan terus terjaganya pasokan bahan baku maupun hasil produksi yang terus-menerus diperbesar demi kepentingan akumulasi modal. Dalam kemngka ini maka pembuatan peraturan lingkungan di tingkat nasional tidak akan banyak melibatkan peran masyarakat, padahal sebagaimana diuraikan Sudharto P.Hadi ; mekanisme penyusunan peraturan perundang-undangan lingkungan hidup sesungguhnya tidak sekedar menyangkut prosedur, tetapi juga keterlibatan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) yaitu masyarakat, LSM, dan organisasi profesi.

Berdasarkan hasi1 penelitiannya atas beberapa Undang-Undang yang mcngatur masalah lingkungan hidup di Indonesia, Sudharto P. Hadi, kemudian menuliskan bahwu pada awal dan sumpai akhir tahun 1990— an, di Indonesia telah disusun dan atau telah diratifikasi perjanjian-perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan hidup, yang antara lain adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Perlindungan Keanekaragaman Hayati. Selanjutnya, dikatakannya, apabila dicermati dari substansi perundang-undangan tersebut, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :

1. Peran pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state—based resource management)
2. Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengeloltum sumber daya alam (indigenous property rights) yang belum diakui secara utuh:
3. Partisipasi masyarakat (public participation) dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatast
4. Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang bclum diatur secara utuh


C. PENYEBAB KERUSAKAN LINGKUNGAN DI INDONESIA
Indonesia pun tidak daput melepaskan diri dari persoalan-persoalan lingkungan sebagaimana diuraikan di atas. Dalam proses pembangunan di Indonesia, tidak dapat dipungkiri telah terjadi peningkatan pembangunan fisik bcrskala bcsar untuk kcperluan industri dan pcmukiman. Pcmbcbasan lahan untuk keperluan itu tidak lagi berskala puluham hektar, tetapi mencapai ribuan, sementara lahan yang ada semakin terbatas. Kondisi ini menyebabkan timbulnya ketimpangan antara pasokan dan permintaan lahan, sehingga mendorong kegiatan pembangunan yang merambah kawasan pertanian produktif dan kawasan-kawasan peka ekologis dan air pun menjadi semakin menyusut dan bahkan tercemar.


1. Jumlah Pendaduk Yang Makin Meningkat
Jumlah penduduk yang sangat tinggi merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Hal itu sebenamya bukan hanya di Indonesia tetapi sudah menjadi kesadaran global. Jumlah penduduk yang makin meningkat, sebagaimana diketahui, setelah tahun 1972, jumlah penduduk dunia mengalami peningkatan yang sangat signifikan.
Kontribusi terbesar atas peningkatan jumlah penduduk ini adalah negara-negara berkembang. Indonesia masuk di dalam kategori itu Dengan demikian, yang terjadi adalah peningkatan jumlah manusia, sementara lahan di bumi tidak bertambah.

Kebutuhan penduduk yang cukup penting tentu pemukiman. Akibatnya, lahan yang seharusnya (berdasarnya penataan ruang) bukan untuk pemukiman harus menjadi ruang pemukiman, akibat jumlah penduduk yang meningkat itu. Oleh karena semua lahan dihabiskan untuk pemukiman, maka semakin rendah pula ruang (daerah) resapan air. Akibatnya, banjir maupun tanah longsor menjadi mudah terjadi. Fenomena yang sangat logis ini sudah banyak terjadi di Indonesia. Akibat lain dari makin meningkatnya pemanfaatan lahan untuk pemukiman maka makin kecil pula ruang terbuka hijau, yang sesungguhnya amat penting dalam menyangga kehidupan secara ekosistem.

Jumlah penduduk yang sangat banyak ini tentu membuat kesulitan bagi pemerintah untuk dapat melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, terutama dalam penataan ruang. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan persoalan ini menjadi dilematis. Secara yuridis pemerintah tidak bisa melarang warganya untuk menentukan jumlah anggota keluarganya, di sisi lain masyaralcat (sering) tidak menyadari pentingnya pembatasan jumlah anak Selanjutnya, ketika pemerintah akan membatasi pembangunan pemukiman, tuntutan dari masyarakat akan semakin tinggi, yang bisa menimbulkan tindakan perlawanan terhadap kepemerintahan yang dianggap tidak mampu mewujudkan kesejahteraan.

2. Kemiskinan 
Kemiskinan merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan di dunia, termasuk di Indonesia. Diakui masih sering terjadi pro-kontra untuk menyatakan bahwa kemiskinan adalah penyebab kerusakan lingkungan. Tulisan ini mengikuti pendapat bahwa kemiskinan merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan lingkungan.
Kemiskinan juga berhubungan dengan masalah kependudukan. Jumlah penduduk yang sangat bcsar tentu berakibat pada distribusi kesejahteraan. Ibarat roti yang seharusnya untuk satu orang, tetapi harus dibagi untuk tiga orang, bahkan mungkin lebih tiga orang. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa jumlah penduduk yang besar berpotensi, mcnimbulkan kcmiskinan. Akibat, Iebih lanjut dari kcmiskinan, akses untuk mendapatkan pemukiman yang layak dan sesuai dengun tata ruang, tidak bisa diwujudkan.
Oleh karena itu, pemukiman terpaksa dibangun di wilayah-wilayah yang sebenarnya bukan untuk pemukiman, misalnya bantaran sungai. Ketika rumah dibangun di bantaran sungai, misalnya, maka timbul kerusakan lingkungan sehingga bisa timbul dampak yang merugikan orang lain. Ada hak orang lain yang terampas oleh perbuatan mereka yang mcmbangun rumah di bantaran sungai itu. Kemiskinan juga berdampak pada sulitnya akses pendidikan dikarenakan alasan biaya, padahal kesadaran tentang lingkungan ditumbuhkan disamping kebiasaan, juga melalui pendidikan.

3. Masih Rendahnya Tingkat Keadilan Sosial 
Rendahnya pemenuhan keadilan sosial juga menjadi salah satu pemicu tcrjadinya kerusakan lingkungan. Keadilan sosial dalam modul ini dikonsepsikan sebagai keadilan yang terbentuk olch peran struktur-struktur sosial. Keadilan sosial dengan demikian merupakan keadilan yang terciptanya tergantung bagaimana sebuah struktur di masyarakat baik struktur kelembagaan pemerintah maupun kelembagaan nonpcmcrintah.
Misalnya, seorang pegawai yang bekerja di sebuah instansi pemerintah: yang bersangkutan sudah bekerja dengun baik, sungguh-sungguh dan memberi manfaat kcpada pcmcrintah. Akan tetapi, dia tetap miskin karena pcmcrintah tidak bisa membcri gaji atau upah yang scimbang. Dalam hal ini yang bersangkutan menderita ketidakadilan sosial. Keadaan seperti itu dapat berdampak pada timbulnya persoalan-persoalan yang dekat dengan kemiskinan. Dampaknya pada persoalan lingkungan hidup juga scpcrti dampak yang muncul karena kemiskinan.


4. Belum Optimalnya Peran Kearifan Lokal 
Kearifan lokal di dalam modul ini dikonsepsikan sebagai pengetahuan-pengetahuan terbaik (terpilih) yang dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat dalam lokalitas tertentu dalam mempenahankan keberlanjutan hidupnya. 
Jadi kearifan lokal itu, dipelihara oleh masyaralcat dalam lokalitas tertentu untuk mempertahankan kehidupannya. Untuk dapat hidup dalam lokalitas tertentu tersebut, tentu harus dijaga hubungan yang baik antara masyarakat dengan lingkungan alam di lokalitas tersebut. Untuk menjaga hubungan yang baik dengan lingkungan alam sekitar itu maka ada pengetahuan-pengetahuan bagaimana memelihara dan mempertahankan keberadaan lingkungan alam sekitar itu, supaya tetap mampu menjadi penyedia jasa bagi kehidupan masyarakat tersebut. Pengetahuan-pengetahuan itu selanjutnya menjadi dasar pola hubungan manusia dengan lingkungannya sehingga masyarakat lokal secara budaya merasa menjadi bagian dari ekosistemnya, bukan terpisah.
Pola-pola hubungan antara masyarakat lokal dengan lingkungannya ini kemudian terus-menerus dikembangican sehingga terpilih pola-polanya yang terbaik. Pola-pola yang sudah terpumpun dengan baik dan telah teruji inilah yang kemudian dipahami sebagai kearifan lokal. 

Akan tetapi, di dalam faktanya kesadaran untuk melibatican peran kearifan dalarn pemeliharaan linglcungan belurn menjadi budaya dalam penegakan hukum lingkungan. Sekalipun, kedudukan masyarakat-masyarakat lokal diakui dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, tetapi dalam praktiknya budaya hukum yang mencerminkan peran dan kedudukan mereka dalam pengelolaan lingkungan hidup belum mendapatkan perhatian oleh negara. Pelibatan kearifan lokal sering masih sebatas wacana.
Kalaupun dilaksanakan tidak signifikan prosentasenya. Padahal dengan melibadcan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan, pemerintah negara akan sangat terbantu dalam mengurus pemeliharaan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan tidak adanya pelibatan masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan, tugas pemerintah sesungguhnya menjadi sangat berat


5. Ketidakmampuan Memahami Kasus Lingkungan 
Ketidakmampuan masyarakat memahami kasus lingkungan, artinya belum adanya pengetahuan berbasis hubungan sebab-akibat bahwa yang dilakukannya itu sesungguhnya berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan baik di masa kini dan di masa mendatang. Ini seperti digambarican oleh Edith Brown Weiss sebagaimana telah disebutkan di atas.": bahwa ada tiga tindakan generasi sekarang yang sangat merugikan generasi mendatang. Pertama, konsumsi yang berlebihan terhadap sumber 

daya berkualitas, membuat generasi mendatang harus membayar lebih mahal untuk dapat mengkonsumsi sumbor daya alam yang sama; Kedua, pcmakaian sumber daya alam yang saat ini belum diketahui manfaat terbaiknya secara beriebihan, sangat merugikan kepentingan generasi mendatang karena mereka harus membayar in-efisiensi dalam penggunaan sumber daya alam tcrscbut olch gencrasi dulu dan sckarang. Ketiga, pemakaian sumbcr daya alam secara habis-habisan olch generasi dulu dan sekarang membuat generasi mendatang tidak memiliki keragaman sumber daya alam yang tinggi. 
Fenomena sebagaimana dipaparkan oleh Edith Brown Weiss tersebut realitasnya masih terjadi hingga sekarang, lebih-lebih di negara-negara yang penduduknya sangat padat, masih dalam taraf hidup yang miskin dan pendidikan yung rendah. Uraian ini sekali lagi mengingatkan selalu ada korclasi antara tingkat kcpadatan pcnduduk, kcmiskinan serta pcndidikan yang rendah. Akibalnya, lingkungan hidup selalu menjadi korban hasil korelasi itu.


6. Ketidakefektifan Hukum Dan Penataan Ruang
Ketidakefektifan hukum dan penataan ruang merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan. Pada hakikatnya hukum mengandung ide atau konscp dan dengan demikian bolch digolongkan kepada scsuatu yang abstrak. Ke dalam kelompok yang abstrak ini termasuk idc tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial.
Dengan detnikian, apabila kita berbicara mengenal penegakan hukum maka pada hakikatnya kita berbicara mengcnat pcncgakan idc-idc atau konscp yang abstrak itu. Dirumuskan secara lain maka penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan.
Penegakan hukum lingkungan yang konsisten mcrupakan langkah yang secara ekonomis sangat efisien. Timbulnya pelanggaran peraturan perundang-undangan lingkungan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup secara potensial menjadi beban ekonomi masyarakat. Negara, dun jugu industri pelanggar yang bcrsangkutan.

Penegakan hukum lingkungan bukan sekadar menerapkan hukum (peraturan). Ia memerlukan dukungan secara akumulatif dan sinergis antara substansi peraturan, kelembagaan yang menegakkan serta kultur hukum yang mendukung. Penegakan hukum lingkungan menjadi rumit karena persoalan lingkungan di era tatanan sosial sekarang ini terkait dengan masalah ekonomi, sosial dan kepentingan daerah (maupun negara) di era globallsasi dan masalah kultur menghormati hukum. 
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa temyata penegakan hukum lingkungan di Indonesia merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Penegakan hukum lingkungan tidak sekadar mencrapkan peraturan. Apabila demikian cara bepikirnya niscaya ia tidak akan memberikan hasil, sebab ia memerlukan tiga syarat tersebut di atas secara serentak.

Di Indonusia kcsiapan ketiga hal tersebut bukanlah hal yang bisa diwujudkan secara cepat sehingga masalah lingkungan di Indonesia selalu terkesan berlarut-larut penyelesaiannya. Banyak hal yang harus dilakukan serentak apabila ada upaya perbaikan lingkungan di masa mendatang dcmi keberlanjutan kehidupan. Faktor yang paling utama adalah aspek ekonomi.

Implementasi peraturan-peraturan tentang penataan ruang baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah yang tidak konsisten sangai betpotensi mcnimbulkan kerusakan lingkungan. Sebagaimana diketahui, di tingkat pusat maupun di dacrah diberlakukan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), dan Peraturan Daerah tentang Tata Ruang (Perda Tata Ruang). RTRWN adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah negara, sedangkan tata ruang adalah wujud siruktur ruang dan pola ruang..

Akan teiapi, di dalam kenyataannya, ruang yang seharusnya digunakan untuk kepentingan tertentu, misalnya secara tata ruang seharusnya untuk ruang terbuka hijau, temyata digunakan untuk pemukiman. Ruang yang seharusnya untuk kawasan pertanian, ternyam digunakan uniuk pemukiman. Ruang yang scharusnya uniuk kawasan konservasi ternyata digunakan untuk pemukiman. Hal seperti ini banyak sekali terjadi di Indonesia, terutama terlihat di Pulau Jawa. Akibatnya pasti, yaitu terjadinya kerusakan lingkungan. Pihak yang dirugikan disamping lingkungan itu, tentu juga pada manusia.

Tidak sesuainya pemanfaatan lahan sesuai dengan penataan ruang (yang sudah diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan) bisa terjadi juga karena ketidakseimbangan hubungan antam kepentingan privat (usaha). Di satu sisi pemerintah (bisa pusat maupun daerah) diamanatkan harus memelihara keberlanjutan pembangunan, di satu sisi harus menjagakelestarian fungsi lingkungan hidup.
Keadaan yang dilematis ini menjadi sesuatu yang menyulitkan pemerintah (bisa pusat maupun daerah). Akibatnya, dalam kondisi tertentu kepcntingan lingkungan hidup kemudian dikorbankan demi keberlanjutan pembangunan, utamanya kepentingan ekonomi. Hal ini sebenamya fenomena yang sudah tidak bisa dipungkiri. Terjadi di negara maju maupun negara berkembang, hal mana sesuai dengan apa yang dijclaskan olch Talcott Parson bahwa: subsistem ckonomi sebenamya merupakan subsistem paling menentukan sistem dinamika masyarakat di dalam kehidupan nyatanya.
Subsistem ekonomi ini akan mempengaruhi bekerjanya subsistem yang lain. Bekerjanya hukum scbagai subsistem juga bisa dipengaruhi oleh subsistem ekonomi ini. Hal ini bisa dicontohkan misalnya demi kepentingan PAD (Pendapatan Asli Daerah) pernerintah daerah berkecenderungan untuk memperlunak peraturan-peraturan, termasuk peraturan di bidang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup, demi peningkatan pendapatan daerah.

Terpenuhinya target pendapatan daerah secara logika akan menjamin stabilitas ckonomi yang imbasnya stabilitas politik. Olch karenanya, bisa dipahami kalau kemudian di daerah terjadi kerusakan lingkungan karena ketaatannya tcrhadap hukum lingkungan ditenggang untuk kepentingan lain.


D. KERUSAKAN LINGKUNGAN DI ERA OTONOMI DAERAH
Fenomena kerusakan lingkungan di era otonomi daerah bukanlah hal yang baru. Hal tersebut merupakan cermin bahwa pengelolaan lingkungan belum sepenuhnya menjadi komitmen pemerimh daerah. Cara berpikir yang eksploitatif telah berkembang mewarnai penyclenggaraan pcmerintahan di era otonomi daerah. Pandangan penyclenggara pemerintah sumber daya alam dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari diri manusia sehingga bisa dieksploitasi untuk kepentingan peningicatan PAD.
Sumber daya alam tak lebih dari derivatif kebijakan ekonomi, sumber daya alam hanyalah bagian dari komoditas ekonomi untuk mendapatkan keuntungan. Belum banyak yang melihat bahwa sumber daya alam dan lingkungun memiliki kapasitas untuk mendukung segala kegiatan yang berlangsung di atasnya.

Dalam otonomi daemh pendekatan pluralis muncul sebagai antinomi terhadap pendekatan realis yang memandang pemerintah negara sebagai aktor paling penting dalam memberikan kesejahteraan masyarakat. Olch karena itu kekuatan-kekuatan industri menjadi penting perannya untuk bersama-sama rnemajukan kesejahteraan masyarakat setempat misalnya melalui pembukaan lapangan kerja baru dan penanaman modal. Kecenderungan yang terjadi kemudian, demi peningkatan Pendapat Asli Daerah (PAD) terjadilah kolaborasi antara penguasa dengan industri yang berpotensi merusak lingkungan, mereduksi sumber daya alam dan akhimya merugikan masyarakat .

Manakala kecenderungan meningkatkan PAD menjadi dominan dalam penyelenggarnan tata pemerintahan potensi terjadinya hubungan yang tidak seimbang (unequal relationship) antara pemerintah - pihak dunia usaha dan rakyat menjadi kian terbuka.
Kedudukan (peran) penting dunia usaha dalam memajukan kehidupan ekonomi lalu digunakan sebagai pressure untuk penerbitan peraturan daerah alau kebijakan daerah yang hanya menguntungkan kepentingan pasar tetapi merusak lingkungan.
Perusakan lingkungan tersebut bisa dilakukan antara lain dengan mengancam atau tidak mengindahkan kebijakan tata ruang yang harusnya menjadi acuan pengembangan wilayah. Penanaman modal daerah, penambangan di daerah (misalnya) dianggap lebih penting karena menghasilkan pajak, retribusi, tetapi tidak ada penghitungan manfaat lingkungan.
Perlindungan lingkungan tidak masuk dalam beaya produksi. Masyarakat lah yang kemudian menjadi korban, padahal mendapatkan lingkungan yang baik adalah bagian dari hak masi manusia yang seeara yuridis telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar.


E. DAMPAK SOSIAL DARI KERUSAKAN LINGKUNGAN
Dampak kerusakan lingkungan bukan saja menimbulkan kerugian pada lingkungan hidup sendiri (sehingga tidak mempunyai daya dukung terhadap kehidupan), tetapi juga menimbulkan kerugian pada manusia. Kerusakan lingkungan akan menimbulkan beaya ekonomi maupun beaya sosial yang tinggi. Berikut ini dipaparkan dampak sosial yaitu dampak yang bisa terjadi pada perilaku manusia karena adanya kerusakan lingkungan.

1. Muncul Potensi Konflik Industri— Masyarakat 
Manakala terjadi pelonggaran-pelonggaran aturan hukum dan kebijakan yang hanya berpihak pada dunia usaha, tetapi mengorbankan lingkungan. maka sesungguhnya telah terjadi pengabaian atas dan keadilan lingkungan. Hal ini berpotensi menimbulkan konflik sosial yang menghadapkan dunia usaha dengan masyarakat. Sesungguhnya, sikap yang konsisten dan tegas terhadap pihak yang tingkat ketaatannya rendah,sangat penting untuk mencegah pihak —pihak tersebut mengambil keuntungan dari pelanggaran yang dilakukan.
Di sisi lain, pihakpihak yang tingkat ketaatannya tinggi mengalami kerugian karena perlakuan diskriminatif. Sikap yang tidak konsisten dan tegas terhadap pihak pelanggar menimbulkan ketidak-adilan . Potensi konflik antara industri dengan masyarakat korban juga timbul karena proses litigasi (proses penyclesaian sengketa melalui Pengadtlan) yang scring menempatkan pihak industri sebagai pemenang (the winner) dan pihak masyarakat sclaku korban scbagai pihak yang kalah (the looser).

2. Munculnya Ancaman Terhadap Industri
Kasus-kasus lingkungan yang menghadapkan dunia usaha dengan masyarakat bisa menjadi kasus hukum yang penyelesaiannya harus melalui proses litigasi (proses penyelesaian melalui Pengadilan). Secara sosiologis karakteristik kasus lingkungan dideskripsikan sebagai kasus yang menghadapkan secara vertikal masyarakat yang memiliki akses lebih lemah, dengan kekuatan modal atau institusi yang memiliki akses sumber daya yang lebih kuat.
Di sisi lain, mekanisme penyelesaian sengketa jalur pengadilan akan menempatkan satu pihak menang dan pihak lain kalah, setelah beradu dalam proses pembuktian secara legal-formal. Dalam kaitan ini, walaupun sebenarnya (mungkin) masyarakat mcmang sesungguhnya benar-benar menjadi korban perusakan lingkungan tetapi karena tidak dapat membuktikan bahwa kerugian yang dideritanya akibat tindakan industri. maka secara legal formal masyarakat bisa dikalahkan.
Kebenaran hukum adalah kcbcnaran formul bukan kebenaran substansial. Jadi, scsungguhnya ini juga persoalan keadilan. Persoalan muncul ketika manyarakat tersebut tidak siap kalah secara hukum. Ancaman destruksi tidak tenutup kemungkinan bisa terjadi. Ancaman destruksi oleh masyarakat selaku korban bisa muncul karena masyarakat tidak siap kalah secara hukum. Tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena memang yang ditegakkan dalam proses pengadilan adalah kebenaran berbasis prosedur hukum (kebenaran formal).
Hal ini merupakan akibat dani dominasi tradisi hukum civil law, yang sangat mengedepankan peran hukum tenulis di Indonesia. Hakim, dengan demikian. secara kultur, akan tethengaruh dengan dominasi tradisi hukum law ini sehingga tidak mudah bagi hakim untuk berpikir out of the box dalam memutus kasus perkara lingkungan hidup,  untuk memberikan keadilan yang substansial. 


3. Ancaman Tekanan Massa 
Telah disebutkan di atas, sikap yang konsisten dan tegas lerhadap pihak yang tingkat ketaatannya rendah. sangat penting untuk mencegah pihak—pihak tersebut mengambil keuntungan dari pelanggaran yang dilakukan . Di sisi lain, yang tingkat ketaatannya tinggi mengalami kerugian karena perlakuan diskriminatif. Sikap yang tidak konsisten dan tegas terhadap pelanggar menimbulkan ketidak-adilan dan juga tekanan massa, yang bisa mempengaruhi dunia usaha dan pemerintah, baik pusat maupun daerah.
Berkurangnya kepercayaan masyarakat atas kredibiltas pemerintah dalam penanganan pelaku kerusakan lingkungan bisa menimbulkan tekanan massa. yang apabila tidak dapat direspon dengan baik akan menimbulkan tindakan anarkhis. Penanganan oleh pemerintah , alcan menjadi karena disatu sisi harus ada tindakan tegas mencegah anarkhi, di satu sisi harus ada penegakan keadilan. 






KB2 :
KEGIATAN BELAJAR 2 
Jenis-Jenis Kerusakan Lingkungan Global 
(u. irnatiacnztanj jen ids-zijeatnn is kerupcsnakananggluiinagnkguanngna tyla g obableZ zay a unmk memperkenalkan berbagai jenis kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh keganan-kegiatan baik di negara barat tnaupun negara berkembang, yang muaranya adalah terjadinya kerusakan lingkungan seperii: pemanasan global, pelobangan lapisan ozon, berkurangnya keragaman hayati, terjadinya hujan anam. Setelah diperkenalkan jenis-jenis kerusakan lingkungan tersebut di atas. selanjutnya akan diperkenalkan penyebab dan upaya penanggulangannya. Dengan memahami panyebabnya, diharapkan para mahasiswa dapat mengidentifikasi dorongan scsungguhnya yang dalam pmses-proses kegiatannya akhimya berdampak lingkungan. Setelan menyanari akibat dan dorongan itu pada akhimya diharapkan muncul kcsadaran bahwa andakan-tindakan manusia yang akhimya menimbulkan kerasakan lingkungan hidup. akan menimbulkan berkurangnya daya dukung lingkungan untuk menopang kehidupan generasi yang akan datang dalam mendanatkan kehidupan yang lebih baik. 
I. Pemanasan Global (Global Warming) Pemanasan global (global warming) adalah fenomena yang terjadi akibat banyaknya volume senyawa-senyawa kimia yang lebih dad 2 atom yang mengikat sinar panas matahari. Senyawa-senyawa iersebut misalnya SO2, NO2, NH3, dan lain-lain. Dalam hubungannya dengan pemanasan global, senyawa yang relevan dibicarakan adalah CO2 (Karbondioksida). Sinas panas matahari yang dimaksud di atas merupakan sinar-sinar yang memancarkan paans, bukan memantulkan. Sinar-sinar panas itu adalah: sinar alpha, sinar ganima, sinar betha juga sinar ul. violet. Sinar-sinar panas tersebut ketika sampai di bumi akan diikat oleh senyawa-senyawa yang lebih dari 2 (dua) atom. Oleh karena itu, ketika di bumi banyak gas CO2 dengan volume finggi maka akan banyak sinar panas yang diikat. Akibalnya, permukaan bumi menjadi semakin panas (bumi makin panas). 

• O • 
pl1.34

Meningkamya emisi CO2 ini discbabkan olch makin meningkamya kegiatan industri, di sisi lain, terjadi proses-proses deforestasi. Ada banyak alasan untuk melakukan deforwasi, salalt satunya adalah perluasan lahan untuk pertanian ataupun pemukiman. Ketika luasan hutan mAin berkurang maka. kegiatan pembakaran (fotosintesis) yang memerlukan CO2,oleh tumbuhan juga tidak ada. Jadi banyak CO2 yang berada di udara dan tidak discrap olch tumbuhan. Keberadaan CO2 yang mcningkat, akan meningkatkan pula penyerapan sinar panas. Terjadilah fenomena pemanasan global (global wanning).Upaya penanganan pentanasan global secara fonnil sudah disepakati melalui pembentukan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau secara sederhana dikenal sebagai Konvensi Perubahan Iklim. Konvensi ini diterima melalui Konperensi PBB Untuk Lingkungan dan Pcmbangunan (United Alations Conferenee on Environmem and Development) yang diadakan pada tahun 1992 di Rio de Janiero Brazilia. Sebenamya Konvensi itu sudah ditindaklanjuti dengan perjanjian teknis yang mengikutinya yaitu Protokol Kyoto 1998. Akan tetapi banyak perbedaan-perbedaan diantara negara-negara ierkait dengan upaya pengurangan emisi karbon. Sebagaimana dikciahui, persoalan cmisi karbon sangat terkait dengan proses-proses industri terutama di negaramegara maju. Scbagai negara industri maka tidak bisa dielakkan proses-proses industrialisasi yang implikasinya adalah pada terjadinya emisi karbon. Adalah hal yang sulit untuk mengurangi tingkat emisi scpeni yang ditargetkan melalui Protokol Kyoto. lni merupakan refleksi betapa sulitnya mengarusutamakan diskursus lingkungan hidup di dunia apalagi di negaramegara berkembang. Ini merupakan tantangan yang harus ditanggulangi bersama sehingga scharusnya ada kerjasama aniara negara industri dengan negaramegara yang secara potensial berjasa dalam mengurangi emisi karbondioksida melalui cara-caranya yang tradisional, scpeni mcreka yang masih memelihara kcluasan hutannya. 
2. Pelobangan Laplsan Ozmn (Ozon Depletion) Pelobangan lapisan Ozon (Ozon depletion) adalah fenomena berkurangnya ozon (03) di atmosfer bumi yang disebabkan oleh terurainya ozon tersebut, sehingga bukan senyawa 03 lagi. Peran lapisan ozon (03) di atmosfer adalah untuk melindungi bumi dari sinar panas matahari. Dengan adanya lapisan ozon (03) panas matallari bisa berubah sedemikian rupa schingga nuutusia di bumi tetap bisa Mdup, dengan panas matahari yung 
• O • 
pl1.35

masih bisa ditenggang. Akan lapisan ozon di atmosfer bumi makin menipis karena ozon (03) tersebut makin banyalc terumi. Adapun teruminya ozon (03) tersebut disebabkan oleh keberadaan senyawa CFC (chlorotluorocarbon) yang merupakan senyawa artificial (buatan manusia). Penggunaan CFC pada masa lalu terutama untuk lemari pendingin, pengatur udara dan yang lain-lain. Kelernallan CFC adalah bahwa senyawa ini tidak mudah terurai, dan ketika sampai di di udara, maka CFC akan mengurai senyawa ozon (03). Dengan demikian. semakin meningkat produksi CFC. semakin memungkinkan terjadinya penipisan lapisan ozon. Alcibai lebih lanjut panas matahari tidak dapat ditahan olch ozon yang memadai,schingga terjadilah fenomena yang disebut pemanman global, Demikianlah maka sebenamya ada keterkaitan antara pelobangan lapisan ozon dengan ierjadinya pemanasan global. Penggunaan CFC memang telah berkurang sekarang ini, namun akibat penggunaan masa lalu masih berakibat sampai sekarang, dimana efek dari pelobangan lapisan ozon masih menyisakan persoalan yaitu pemanasan global. Pcnanganan persoalan pemanasan global membutuhkan kerjasama negara-negara di dunia secara sungguh-sungguh, tidak bisa dilakukan hanya seeara spasial, keeil, dan iidak berpengaruh. Penanganannya melibatkan perubahan kebijakan ckonomi, serta politik kerjasama intemasional. 
3. Berkurangnya Keragaman Hayati (The Loss of Biodiversily) Pengertian keragaman hayati menunjuk pada jumlah jenis zat hidup (hayati) yang ada pada suatu kawasan. Makin titgi jumlah jenis hayatinya discbut makin tinggi keragaman hayminya Berkumngnya kemgaman hayati (the loss of biodimrsity) merupakan fenomena berkurangnya jurnlah jenis variasi zat-zat hidup hayati yang ada di bumi. Keragaman hayati yang dibahas dalam modul ini adalah keragaman hayati yang terfokus di humn-hutan di dunia. Hutan adalah pusat keragaman hayati dunia, tcrutama di hutan-humn iropis seperti di Indonesia. Pada masa kini luasan hutan di dunia makin berkurang, terutama di negara-negara berkembang karena pernerimah berkepentingan dengan pengembangan kawasan pertanian, kawasan pemukiman dan peruntukan lainnya. Akibatnya, keragaman hayati menjadi sangat berkumng. Dampaknya, manusia di masa kini tidak mendapat pilihan yang beragam (banyak) untuk mendapatkan bahan mentah obat-obatan sehingga ke depan banyak muncul jenis penyakit yang sulit mendapatkan obatnya. 
pl1.36

Berkurangnya keragaman hayati yang terjadi di negara-negara pemilik hutan tropis bisa terjadi karena dorongan faktor ekstemal dan dorongan faktor intemal. Faktor eksternal penyebab berkurangnya keragaman hayati terjadi karena kepentingan investasi besar yang akhimya harus menyingkirkan kawasan huian yang luas, seperti penambangan atau pemukiman aiau proyek-proyek lain, seperti pembangkit tenaga Penyebab terjadinya yang disebut faktor ekstemal itu sangat dimungkinkan karena adanya kolabomsi kepentingan penguasa-pengusaha dan pemerintah. Oleh karena ada kepentingan-kepentingan tersebut sangat dimungkinkan terjadinya kelonggaran-kelonggaran aturan hukum demi kehadiran investasi di suatu daerah. Kelonggaran-kelonggaran yang diberikan demi kepentingan sesaat itu, justru menyebabkm hilangnya keragaman hayati yang sebenamya sangat bernilai bagi kelangsungan hidup umat manusia. Faktor intemal penyebab berkumngnya keragaman hayati bisa terjadi penduduk setempat mengeksploitasinya sementara sebenamya belum mengetahui manfaat terbaiknya. Jadi, berkurangnya keragaman hayati bisa terjadi karena iindakan manusia atau penduduk setempat yang belum mengetahui manfaat terbaik dari keragaman lutyati itu. Untuk mengatasi berkurangnya keragaman hayati tentu bal yang paling penting adalah: (I) dikenalkannya manfaat kebemdaan kemgaman hayali di dunia bagi kehidupan manusia; (2) diperkuat peran lembaga-lembaga (institusi) di bidang lingkungan untuk melakukan perlindungan keragaman hayati: (3) ditegakkannya aturan-aturan hukum yang relevan dengan perlindungan keragaman hayati. Akan tetapi, kepentingan untuk melindungi keraganum hayati tidak bolch dimanipulasi untuk kcpentingan keuntungan pihak-pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain. 
4. Berkurangnya Daerah Resapan Air Dan Hilangnya Hak Mas Air Daerah resapan air merupakan kawasan yang sangat berguna untuk menyimpan air di dalam bumi dan mengawetkan keberadaan air dalam lanah. Sebenarnya fenomena banjir bisa tidak menjadi masalah besar, apabila daerah resapan masih meneukupi. Akan tetapi, keadaan yang terjadi sekarang, daerah resapan air menjadi semakin berkurang karena pembangunan kawasan-kawasan batu seperti pemukiman, lingkungan industri atau bentuk-beniuk baru yang menuntut ditutupnya lahan wsapan air. Kawasan pertanian dirubah menjadi kawasan pemukiman atau pabrik, 
pl1.37

demikian pula yang terjadi pada kawasan hutan. Semua hal hal itu menyebabkan terjadinya bencana alam. Apabila ditelusur lebih lanjut maka bencana alam yang terjadi karena berkurangnya daerah resapan air terjadi karena berawal dari tidak terkendalinya jumlah penduduk di suatu wilayah serta desakan kepentingan ekonomi. Berkurangnya daerali resapan air dengan demikian justru akan menimbulkan ekononii biaya tinggi. Sebenamya mcmbicara berkurangnya dacrah resapan air tidak bolch dipisahkan hal kontradiksinya yaitu hilangnya penguasaan hak publik atas sumber-sumber air yang ada. Hal ini terjadi karena globalisasi dan perdagangan bebas mendorong dilakukannya privatisasi sumber daya air. Fenomena sepeni ini jelas inerogikan masyarakat karena air adalah barang milik publik sepeni udara. Fenomena sepeni ini dicontohkan terjadinya di Indonesia yang sekarang telah masuk dalam arena pasar bebas. Di dalam faktanya, pemberlakuan mekanisme pasar bebas telah berimplikasi pada adanya akuisisi perwahaan-perusahaan dalam negeri oleh perusahaan-perusahaan asing. Salah satu fenomena (gejala) akuisisi dilakukan olch perusalman asing terhadap perusahaan dalam negeri adalnh akuisisi perusahaan multinasional asing terhadap perusahaan air minum dalam kemasan dari dalam negeri. Perusahaan air minum dalam kemasan merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam (dalam hal ini air). Dalam fakta empiriknya, sekarang ini terjadi eksploitasi sumber daya air yang terus meningkat demi kepentingan bisnis investor. Karakter pasar bebas adalah akumulasi keuntungan. Untuk kepentingan ini maka air sebagai bagian sumber daya alam akan terus menerus dicksploitasi. Secara yuridis normatif, pelaksanaan eksploitasi ini sangat diberi ruang oleh pernerintah Indonesia dengan diberlakukannya Un.g-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Beberapa Pasal yang relevan ditunjukkan dalam matrik sebagai berikut:






Pasal 
Ketentuan 
9ayat I 
Hak Guna Usaha Air dapat diberikan pada perseorangan atau badan hukum dengan izin dari peinerintali atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannyai 
9 ayat 2 
Petnegang Hak Guna Usaha Air dapat mengelola air di atas tanah orang lain berdasrkan persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang bersangkutan:  
52 ayat I 
Setiap orang/ b•dan usaha dilarang melakukan kegiatan 
PL1.38

yang dapal mengakibatkan terjadinya daya rusak ain 
83 ayat 1 
Kewajiban pemegang hak guna air memperhatikan kepentingan umum yang diwujudkan melalui peranannya dalam konservasi SDA serta perlindungan dan pengamanan prasarana SDA  





Dari fakta yang terjadi terkait dengan pengelolaan sumber daya air maka secara konscp bisa dikatakan perwujudan hak rakyat atas air menjadi terancam karena motivasi akumulasi keuntungan perusahaan asing tersebut berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat yang wilayahnya terkena kegiatan (proyek) pengambilan air bersih.
Masyarakat menjadi kekurangan air bersih, disisi lain perusahaan pengelola air tersebut merasa berhak dan benar secara hukum untuk mengeksploitasi sumber daya air. Keadaan seperti ini merefleksikan ketidak adilan dalam satu generasi (intragenemtional equity) yang harus dicarikan solusi yang memberi peluang ekonomi terhadap hak rakyat dan lingkungan yang keberlanjutan. Fenomena yang terjadi di Indonesia hanya merupakan salah satu contoh hilangnya hak rakyat atas sumber daya air yang terjadi akibat semakin dominannya mekanisme pasar bebas di dunia.

5. Terjadinya Hujan Asam (Acid Rain
Hujan asam (acid rain) adalah fenomena yang terjadi di beberapa negara maju di Asia, sekalipun sekarang sudah sangat berkurang. Penyebab hujan asam adalah bercampurnya SO2 (sulfuroksida) sebagai senyawa yang dihasilkan dari proses-proses produksi yang menggunakan bahan bakar fosil sebagai bahan bakarnya. Senyawa SO2 tersebut di udara bercampur dengan air (H20) schingga menjadi H2SO4 (asam sulfat). Kemudian, bersama hujan jatuh ke bumi. Inilah yang disebut sebagai hujan asam.

Dampaknya akan terjadi kerusakan-kerusakan pada zat-zat hidup, termasuk tumbuh-tumbuhan dan manusia. Kerusakan lingkungan yang terjadi sebagaimana disebut di atas mcnjadi keprihatinan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Disadari bahwa kerusakan lingkungan tersebut merupakan ekses dari proses pembangunan yang dilakukan negara-negara di dunia.
Berdasarkan keprihatinan itu maka PBB pada tahun 1972 menyelenggarakan Konperensi PBB Untuk Lingkungan dan Manusia (UN Conference on Human And Environment) yang diadakan di Stockholm Swedia. Konperensi ini tnerupakan konperensi intemasional yang pertama kali membahas masalah lingkungan hidup.
Di dalam konferensi itu disadari bahwa pembangunan merupakan proses yang tidak dapat dihindari, akan tetapi permasalahannya bagaimana menyelaraskan kepentingan pembangunan dengan kepentingan perlindungan lingkungan, agar lingkungan tetap dapat mendukung kehidupan ekosistem di dunia. 

Masih terdapat perbedaan pendapat yang tajam di antara negara maju (Barat) dengan negara-negara berkembang di dalam konperensi itu tentang bagaimana mcnyikapi kepentingan menyelaraskan pembangunan dengan perlindungan lingkungan. Akan tetapi, semua negara sepakat bahwa masalah penyclarasan itu menjadi komitmen bcrsama. Oleh karena itulah, konferensi ini tidak menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang mengikat secara hukum, tetapi mcnghasilkan Deklarasi Stockholm, sebuah kesepakatan secara garis besar tentang komitmen bersaina antara negara barat dan negara berkembang.

Bisa dikatakan sekalipun Konperensi Stockholm 1972 tidak menghasilkan keputusan yang mengikat secara hukum, tetapi konperensi ini merupakan upaya PBB untuk mencapai persepsi yang bahwa:
a. Mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak manusia yang fundamental;
b. Setiap orang berkewajiban mengelola lingkungan hidup agar generasi mendatang tetap memperoleh kualitas lingkungan yang memungkinkan keberlanjutan kehidupan.
Kedua hal tersebut di atas, kemudian dituangkan dalam Prinsip 1 Deklarasi Stockholm. Dalam perspektif hukum lingkungan pencantuman ini merupakan tonggak sejarah pengembangan hukum lingkungan di tingkat internasional dan di tingkat nasional.
Disebut demikian karena sesungguhnya hukum lingkungan baik yang ada di tingkat internasional maupun nasional, sesungguhnya bersumber utama pada ada hak dan kewajiban manusia terhadap lingkungan hidup, dan itu telah dituangkan dalam Prinsip 1 Deklarasi Stockholm 1972. 




MODUL 2   
KESIATAN BELAJAI, 1
Latar Belakang dan Pengertian Konsep Pembangunan Berkelanjutan
Q ebagai tindak lanjut dari Konferensi Stockholm 1972. PBB membentuk 0 World Concervation Union yang bertugas menyusun Rencana Aksi (Action Plan) Lingkungan Hidup Manusia. Rencana Aksi yang disusun World Conservation Union ini berjudul World Concervation Strategy. Rencana Aksi tersebut disusun berdasarkan pengelompokan sentua rekomendasi dan tindakan-tindakan yang dapat diterima oleh Konferensi, selanjutnya diadakan identifikasi program yang bersifai lintas batas guna kepentingan perlindungan lingkungan. Untuk melaksanakan program itu PBB membentuk United Nations Environnwnial Development (UNED) berkedudukan di Nairobi, Kenya. Akan tempi, di dalam perkembangannya, sedikit sckali resolusi-resolusi hasil kesepakatan dalam Konferensi Stockholtn yang dapat dlimplementasikan. Di sisi lain. kebutuhan pembangunan dan ekonomi terus mclaju untuk mcmcnuhi kebutuhan manusia yang kian mcningkat dan tidak mcngenal batas, seiring dengan bertumbahnya jumlah manusia di dunia. Konvergensi antara meningkatnya kebutuhan pembangunan dan ekonomi dengan meningkatnya jumlah penduduk dunia mengakibatkan penggunaan sumber daya alam makin meningkat. Sciring dengun itu maka ragam amu jenis kerusakan lingkungan sesudah adanya Konperensi Stockholm 1972 semakin banyak dan tidak dapat lagi di atasi dengan menggunakan instrumen hukum intcrnasional yang dibcrlakukan untuk kasus-kasus kcrusakan lingkungan yang -baru" tersebut. Sehubungan dengan itu. dibutuhkan konsep-konsep pengelolaan lingkungan yang dapat digunakan untuk mengurangi kerusakan lingkungan sekaligus telap menjamin keberlangsungan pembangunan. Untuk keperluan penyusunan konsep itu. PBB membentuk World Commission on Envimnment and Devel,ment (WCED) untuk melakukan penelitian dan pengkajian tcntang pcnyclarasan perlindungan lingkungan dan pcmbangunan. Hasil penelitian dan pengkajian WCED itu selanjutnya disusun dalam sebuah laportm yang berjudul Our Comnum Future pada tahun 1987. Di dalam Our Common Ftiture ini dimunculkan konsep Pembangunan Berkelanjutan
PL2.11

(Sustainable Development) 16. Di dalam laporannya ini, WCED mcndefinisikan Pcmbangunan Berkelanjutan scbagai: " Pembangwtan yang bentsaha mentenuhi kelnauhan hari inl, tan, mengurangi kenuunputin generasi mendwang untuk memenuhi kebutuhatt mereka" . Sesuai dengan definisinya maka oleh Expens Group dari WCED dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan bersifat jangka panjang untargenerasi. Agar pembangunan dupat terlanjutkan harus ada pemera.n perolehan ketersediaan sumber daya alam tidak hanya antar kelompok dalam scbuah gcncrasi, mclainkan juga harus ada pcmcrataan antar gcncrasi. Hal ini mengisyaratkan bahwa suatu generasi tidak boleh menghabiskan sumber daya alam sehingga tidak tersisa lagi untuk generasi yang akan datang 17. Dengan demikian. konsep Pembangunan Berkelanjutan menurut WCED mengandung maksud pcmbangunan bcrwawasan jangka panjang, yang meliputi jangka walctu antar genemsi dan berupaya menyedialcan sumber daya yang cukup dan lingkungan yang sehat sehingga dapat mcndukung kchidupan. Di dalam buku Seetoral Agenda 21 Book I : Guidebook for Sustaiturble Development Planning Establishbig Suswinable Development : An Effort to Achieve A Better Quality of Life (2000) disebutican bahwa:
"...unhke other existing development theories hm,ght up by econontic development thinkers. emergence of Sustainable Development concept has a different dimension. The emergenee was closely connected with the rise of the environmental awareness" Pcmyataan di atas menunjukkan bahwa “kemunculan” konsep Pembangunan Berkelanjutan sangat berkaitan erat dengan kesadaran tentang ingkungan. Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa Pembangunan
." Otto Soemarwoto. "Dari Stockholm Ke Rio: Implikasinya Bagi Pembangunan Nasional "daltun , Centre fn Strategic and Inkniatiolud Studicy (CSISt. ANALISIS. Tahun XXI No .6. 1992. hal. 498 - 513. Mas Achmad Santosa "Aktualisasi Pembangunan Berkelanjulan yang Berwawusan lingkungan Dalum Sistent Dan Praktek Hukum Nasional", dakun ICEL, lumul Lingbutput. Tahun No.I Tahun 1996, hal.0141. Exports Group on Environmattal Law of the World Commission on Environmem and Developmcm Envimnmental Prrgection mul Sustainabk Derdopment Legal Principles and Recommendations. Graham Trotman, Martinus Nijhoff, Dordrecht, 1986, Litic. Ministry for Environment - UNDP. Sectorul Agettda 21 Book I: Guidcbook for Sustainable Development Plarming t: Evablhhing SILSUlindbir Development An Effivt Achiew A Beurr Qiudity of Life. Jakaria,2800,p.9
PL2.12

Berkelanjutan masih berada pada tataran konsep. Neuman dan Sarantakos." 
mcnycbutkan bahwa konscp mcrupakan blok-blok dasar yang mcnyusun 
suatu tanri. Selanjutnya dikatakannya, konsep menganclung asumsi secara 
built-in yakni pernyataan mengenai sifat (dan ciri-ciri) berbagai hal yang 
tidak atau belum diobservasi maupun di rest. Apabila Pembangunan 
Berkelanjutan masih dikatakan scbagai konsep maka bentt bila dikatakan 
Pembangunan Berkelanjutan mengandung asumsi-asumsi berbagai hal 
menyangkut environmenwl awaresiess sebagaimana disebut di atas. 
A. ASPEK TERPADU DALAM PEMBANGUNAN 
BERKELANJUTAN 
Walaupun. dcfinisi Pembangunan Berkelanjutan mcnurut WCED 
tersebut di atas sudah jelas. namun tidak mudah untuk menentpkannya. Ada 3 
(tiga) aspek dalam pelalcsanaan Pembangunan Berkelanjutan yang harus 
dipadukan yaitu: 
1. Aspek Elconoml 
Harus disadarkan kepada semua bahwa pembangunan adalah bagian dari 
proses perubahan yang harus dilaksanakan olch bangsa manapun. negara 
manapun dalam rangka menuju kesejahtenum yang lebih baik. Kemajuan dan 
kesejahteraan. bagainunapun jug. harus diperjuangkan dalam rangica 
menuju kemaslahatan umat manusia. Akan tetapi pelalcsanaan pembangunan 
yang dilakukan pada masa kini tidak bolch mangorbankan kepentingan 
gencrasi yang akan datang. Di dalam konsep Pcmbangunan Berkelanjutan, 
kerugian dari sisi lingkungan hendaknya dibuat seminimal mungkin dengan 
tctap mcmperhatikan kcberadaan sumbcr-sumbcr daya alam dan kualitas 
lingkungan yang memungkinkan terpcnuhinya kepentingan gencrasi 
mendatang. 
2. Aspek LIngkungan 
Jumlah pcnduduk yang bcar dan pertumbuhannya yang pcsat 
menychabkan naiknya kebutuhan hiclup manusia. Hal ini berakihat pada 
penggunaan sumber daya alam menjadi berlebihan. Misalnya penggunaan 
bahan bakar fosil secara berlebihan, pasti akan menyebabkan meningkatnya 
Dikutip dmi Edyn Indarti."Paradkuna: ltti Diti Cenddc, Makalab Disampalkan pada D 
Progrant Doktor Ilmu Hukum Universitm Diponegoro. Sentarang. I 
Deuember 2000. 
PL2.13

emisi gas karbon di dunia. Dampaknya akan terjadi pemanasan global (global wanni.). Dcmikian pula pencbangan hutan yang tidak dilakukan secara benar akan menyebabkan pengsundulan hutan dan berkurangnya keragaman hayati. Terjaganya kualitas lingkung&ttt hidup sangat bernumf.t untuk menopang kehidupan manusia karena dari kualitas lingkungan yang baik dan daya dukung lingkungan yang memadat, kebutuhan-kcbutuhan manusia ak. terpenuhi. Dengan demikian. dilihat dari kepentingan manusia, usaha memelihara kualitas lingkungan yang baik, sesungguhnya diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam arti luas. Apabila aspek lingkungan semakin tidak diperhatikan maka sumber daya tdam dan kualitas lingkungan hiclup akan rusak dan kentampuan alcan semakin berkurang dalam mendukung kehidupan manusia. Oleh karena itulah, konscp Pembangunan Berkelanjutan mcnghcndaki bahwa setiap pengambilan keputusan dalam pembangunan, faktor kelestarian kualitus lingkungan hidup dan sumber daya alam harus selalu menjadi bahan pertimbangan. Inilah makna pembangunan yang berwawas. lingkungan. 
3. Aspek Sosial Budaya Pembahasan aspek sosial budaya dalam konsep Pembangunan Bcrkclanjutan tcrkait crat dcngan konscp hubungan manusia clengan keberadaun lingkungan hidup dan sumber daya alam. Konsep hubungan manusia dengan lingkungan hidup berdasarkan faktanya terbagi menjadi 3 (tiga) atiran: Pertanta, eco-ftwism. suatu paham tentang hubungan manusia dcngan lingkungan hidup. yang mcngkonscpsikan bahwa lingkungan hidup dan sumber daya alam adalith segala-galanya. Keberaduannya harus dijaga, tidak peduli apalcah untuk kepentingan itu harus mengorbankan keberadaan manusia atau tidak. Kedua. eco-populism, suatu paham tcntang hubungan manusia dengan lingkungan hidup yang mengkonsepsikan bahwa keberadaan lingkungan hidup adalah untuk kepentingte umat numusia. keberadaannya demi kepentingan hidup manusia. Dalam pengertian ini maka keberadaan manusia dikonscpsikan terpisah dengan lingkungan alam sekitarnya. Manusia bukan bagian dari ekosistemnya, tetapi terpisah schingga pandang&nt yang ditumbuhkan bahwa keberad.n lingkungan alam adalah untuk manusia. inilah sesungguhnya pandangan yang melandasi anthropocentrism. Ketiga. ecw-developmentalism, suatu paham tentang hubungan manusia dengte lingkungan hidup yang mengkonsepsikan bahwa pembangunan dan perlindungan lingkungte hidup harus berjalan secara 
PL2.14

harmoni lutrena pembangunan adalah proses yang dibutuhkan untuk kemajuan dan untuk kcpcntingan dapat mcmanfaatkan sumbcr daya alam. Akan teiapi. kelesturian daya dukung lingkungan dan sumber daya alam harus tetap terjaga. Demikianlah maka upaya perlindungan kualitas lingkungan hidup dan sumbcr daya alam tidak bolch dilakukan hanya dcmi kcpentingan perlindungan lingkungan hidup itu sendiri. Upaya-upaya tersebut tidak seharusnya dilakukan dalam konsep pikir eco-facis. tetapi lebih ke anth eco-developmentalism. Konsep eco-developmentalism ada1ah konsep yang mcmuat ideal-ideal yang bersifat keharusan-keharusan tetapi harus diwujudkan dalant dunia nyata. Untuk dapat mewujudkan ideal itu di dalam fakta maka harus dibangun pola-pola perilaku sosial yang harus dibangun dalam masyarakat. Pola-pola perilaku sosial yang icrus-mencrus, berulang-ulang ini dapat menjudi budaya masyarakat. yaitu budaya yang mencerminkan aplikasi eco-developmentalism. Upaya memadukan aspek ekonomi, a.spek lingkungan, dan aspek sosial budaya dulam Pembangunan Berkelanjutan pada suat sekarang diwujudkan dengan penataan ruang yang ada di tingkat pusat (diwujudkan dalam Undang-Undang Penataan Ruang dan Peraturan Pelaksanaannya) dan di dacrah dengan penerbilan Pcnuuran Dacrah Tentang Tata Ruang. 
11. SV hlttA T UNTUK WUJUDKAN PEMBANGUNAN B RKEL ANJUTAN 
Konsep Pembangunan Berkelanjulan merupakan konscp yang universal sehingga menjadi agenda bersama meskipun action antamegara berbeda. Dengan dcmikian, benar bila dikatakan bahwa Sustainable Development bukan diterima secura wken for granted karena negant-negara Dunia Ketiga secara formal andil dalam perundingan-perundingan guna .penyusunan konsep Pembangunan Berkelanjutan. Sudharto P.Fladi 4", dengan mendasarkan pada Agenda 21 menjabarkan bahwa Pembangunan Berkelanjutan menghendaki adanya perlindungan dan pemihakan bagi penduduk miskin, masyarakat lokal. demokrasi. transparansi. dan perlindungan lingkungan hidup. Artinya bahwa konsep Pembangunan 
Sudhado P.Had, Mikum Pembangunan Berkelatijuhm,Badan Penerbit UND1,2002,halaman 2. 
PL2.15

Berkelanjutan akan dapat memberikan hasil apabila di dalam implementasinya dilakukan secara simultan tindakan sebagai berikut: 
1. Upaya menghilangkan kemiskinam Kemiskinan merupakan penyebab terjadi berbagi permasalahan seperti, rendahnya akscs pendidikan, rendahnya akscs pckcrjaan, tingginya angka pengangguran, tumbuhnya pemukiman-pemukiman liar, rendahnya kesadaran lingkungan. Masalah-masalah tersebut langsung maupun tidak langsung alcan berkaitan dengan masalah kerusakan lingkungan hidup. Kemiskinan merupakan fenomena yang terjacli terutamit di negara-negara berkembang.seperti Indonesia. Kemiskinan bisa terjadi bersumber dari manusianya itu sendiri, misalnya karena memang dari dirinya sendirilah sumbernya yaitu kcmalasan. Kemiskinan juga bisa terjadi karena struktur-stmktur kepemerintahan maupun nonkepemerintahan yang tidak memberikan keadilan bagi manusia yang bersangkutan. Contoh: misalnya ada seorang abdi negara. yang dengan standar pendidikan yang memadai, bekerja keras demi kemajuan negara, tetapi abdi negara tersebut tidak mendapatkan upah autu imbalan yang layak untuk kchidupannya. Ketidaklayakan imbalan yang diterimakan kepadanya merupalcan retleksi ketidakadilan sosial y.g tercipta karcna tindakan dan kcbijakan struktur-struktur kcpcmcrintahan. 
2. Pemlhakan lerhadap masyarakat lokak Masyarakat lokal dalam hal ini menunjuk pada masyarakat yang hidup sccara turun-temurun di suatu wilayah tertentu dalam jangka waktu lama, dan olch karenanya mercka pasti mempunyai metode-metode bagaimana mempenahankan secara berkelanjutan lingkungan hidup di sekelilingnya agar tctap dapat mcndukung kchidupan mcrcka. Mctodc-mctodc yang sudah terpola ini terpumpun dalam hal yang disebut sebagai kearifan lokal. Masyarakat lokal secara umum selalu berkonsepsi bahwa keberadaan dirinya tidak terpisah dari alam sehingga dirinya merupalcan bagian dari alam, yang satu sama lain harus mendukung kchidupan. Secura akademik dikautkan masyantkat lokal dengan katrifan lokal tidak menganut waltropocertirisme. tetapi lebih ke deep ecology. Affihropoceldrisme adalah aliran pemikiran yang hidup dalam masyarakat. yang berbasis pada konsep baltwa keberadaan seluruh alam semesta beserta isinya diperuntukkan bagi kesejahteraan umat manusia. Jadi. kedudukan manusia terpisah dari alam sekitamya. Alam dan lingkungan hidup dalam 
PL2.16

pandangan wahropocentrisme bisa dieksploitasi untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia. Pandangan ini adalah pandangan yang lahir semasa abad pertengahan di Eropa Burat berseiring dengan kuatnya pandangan geo-centrism pada masa lalu. Sebaliknya, deep ecology adalah pandangan hidup yang didasarkan pada konsep bahwa manusia sejatinya merupakan bagian dari alam yang keberadaannya saling tergantung satu sama lain dengun lingkungan hidupnya. Alam dan manusia sesunggultnya merupakan penopang ekosistem. sehingga kehidupan manusia pun sesungguhnya tergantung pada keberadaan sub-sus ekosistem yang ada. Dengan demikian, di dalam kearifan lokal itu juga termuat cant-cara bagaimana masyarakat setempat memelihara kelestarian lingkungan agar dapat mendukung kehidupan masyarakat tersebut. Sebenarnya keberadaan masynakat lokal tersebut dapat membantu pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan, sehingga pemerintah tidak begitu bend tanggungjawabnya dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 
3. Penvujudan demokrasi, Diskursus demokrasi dalam hal ini lebih menunjuk pada eco-eracy atau bio•democracy. Eco•eracy berangkat dari pemikiran bahwa dalam penyclenggaraan pcmcrintahan kebenniaan lingkungan hidup harus mcnjadi bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan kcputusan. Sebenarnya hal itu secara implisit sudah menjadi bagian dari kebijakan hukum sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentwg Pcrlindungan Dan Pengclolaan Lingkungan Hidup. Amanatnya, adalah bahwa dalam setiap pembuatan perundang-undungan di bidang apapun harus mempertimbangkan bagaimana implikasi keberadaan perundang-undangan tcrscbut tcrhadap lingkungan hidup. 
4. Transparansi; Tnmsparansi dalam modul ini menunjuk pada transparansi (keterbukaan) dalam kaitannya dcngan kebijakan lingkungan hidup, penegakan hukum lingkungan lingkungan. Transparansi (keterbukaan) merupakan tuntutan masyarakat yang semakin sadar alcan hak-hak nya sebagai warganegara dalam negara yang bertipe hukum responsif. Ketiadaan transparansi dalam pengelolaan clan penegakan hukum lingkungan akan menimbulkan kecurigaan dan kesan masyarakat bahwa negara banyak menutupi berbagai kontroversi dalam pengelolaan dan penegakan hukum lingkungan. Secara 
PL2.17

empirik, ketidak-terbukaan pemerintah dalam menangani dan memutus kasus lingkungan dalam bcrbapi kesempatan mcnimbulkan kctidakpereayaan warga pada peran ncgara2 . 
5. PerlIndungan lingkungan Perlinclungan lingkungan jelas merupakan syarat mutlak kalau semua menyadari betuptt pentingnya peran daya dukung lingkungan bugi manusia dalam kondisi apapun termasuk ketika proses perubahan sosial (dalam hal ini pcmbangunan) dilaksanakan. Diakui bahwa pembangunan merupakan proses yang tidak bolch dihindari demi menuju kemajuan sebuah masyarakat. Pembangunan hakekatnya adalah proses perubahan sosial yang tiduk bisa dihindari. Di dunia tidnk ada yang Icbih abadi,sclain perubithan itu scndiri. Olch karcna itu, pembangunan tetap penting dilakukan, akan telapi yang harus diperhatikan adalah bahwa pelaksanaan pembangunan itu tidak boleh mengorbankan lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi daya dukung lingkungan yang akan menyungga kehidupan. Biuyu hidup dan biaya sosial akan menjadi semakin tinggi apabila lingkungan hidup dkorbankan hanya semata-mata untuk kepentingan pembangunan. Dcmikianlah, maka disusunnya konscp Pembangunan Berkelanjutan di latar belakangi olch kerusakan lingkungan yang ierjadi di negara-negara Barat maupun negara Berkembang. Di negara Berkembang teruttuna kerusakan lingkungan hidup terjadi karena dorongan pembangunan (modemistisi). Disadari bahwa tidak mungkin melarang suatu bangsa uniuk membangun cliri karena membangun sesunggulmya adalah bagian dari hak asasi manusia. Secara hakilcl pembangunan adalah bagian dari proses perubahan sosial, dan perubahan sosial adalah bagian dari perubahan. Selanjulnya perubahan adalah sesuatu yang abadi menuju scharusnya menuju perbaikan. Akun tetapi, pelaksanaannya tidak boleh merugikan kepentingan generasi mendatang. yang harus tetap memperoleh kualitas lingkungan hidup yang sama dengan gencrasi sekarang. 
Banyak kasus-kasus yang morcfickslkan bctitpu lcmahnya poncgukun hukum torkuit dengan persoalun.persoalan illegal loging ,tcrutanut yang terjadi di wiluyah perbatasan ncgunt. Kustuo kasusnya mcmung ditungani npurat pcnegak hukum. tcutpl kcputusan auts Icasus-kasus itu scring tiduk mcmuaskan musyarukut luas. karcnu kctidak-tc.ultaan atas pcnanganan kusus yang bersangkutan, Apubiln hal ini tcrjadi maka kredihillas pcmcrintah utau aparat pcncguk hukum ukan semakin turun di mata mattyarakat. Ketidakpercayaan Ini berpotensi tnettlmbulkan kontlik soslal. 
PL2.18

C. PERSPEKTIF KRITIS KONSEP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN 
2.19 
Mansour Fakih, aktivis dari INSIST (Instimi e JOr Social Translartnation, Yogyakarta) dalam wawancara dengan penulis menyatakan . bahwa lingkungan alam yang kemudian discbut scbagai " sumber daya alam tclah menjadi faktor penting dalam perkembangan kapitalisme, dari abad sembilan belas hingga sekarang. Dengan kata-kata yang lebih jelas dikatakannya, sesungguhnya persoalan lingkungan telah tumbuh seiring dengan perkembangan kapitalisme sejak abad kesembilan belas. Kapitalisme telah meinotivasi masyarakat dan negara negara-negara Eropa Barat pada masa itu untuk melakukan ekspansi wilayah ke wilayah-wilayah seberang laut. Ekspansi ini dilakukan untuk mcnguasai sumbcr daya alam di wilayah tersebut schingga terjamin pasokan bahan baku untuk pengembangan industri. Akan tetapi, kemudian disadari bahwa akibat penganthilan sumber daya alam itu, sumber daya alam menjadi sangat terbatas padahal dalam kaphalisme kebutuhan untuk mencari keuntungan tidak iikan terbatas. Lingkungan perlu dilestarikan karena hanya melalui pelestarian tersebut terjamln pula kekiegan pasokan bahan baku industrl sehingga pertumbuhan ekonomi akan terus berlangsung. Dcmikiunluh, maka terlihat bahwa konsep Pembangunan Berkelanjutan secara kronologi dirumuskan melalui proses yang panjang. Dittului dari Konperensi Stockholm 1972 yang secara formal melibatkan banyak negara termasuk negara-negara Dunia Ketiga scperti Indoncsia, Sudan, Arab Saudi Columbia, India, Zimbabwe, Brazilia, dan Chinu. Keterlibatan secara intensif dari negara-negara tersebut tentu mewarnai konsep Pembangunan Berkelanjutan serta Action Plan yang disusun kcmudian. Pada KTF Bumi 1992 di Rio de Janicro, Brazil, konsep Pembangunan Berkelanjutan dibahas kembali oleh lebite dari 179 negara termasuk Indonesia dan negara-negara Duniu Ketiga lainnya. Sekali lugi secara formal. keterlibatan secara intensif dari negara-ncgara tcrscbut tcntu mcwarnai konscp Pcmbangunan Berkelanjutan serta Action Plan yang disusun keinudian. Berdasarkan hal itu, benarlah bahwa konsep Pembangunan Berkelanjutan inerupakan konsep yang universal sehingga menjadi agenda bersama meskipun action antar negara berbeda. Dengan demikian, benar hiltt dikatakan bahwa Sustainable Development bukan diterima secara taken for granted karena negara-negara Dunia Ketiga secara formal andil dalam 
pl2.19

perundingan-perundingan guna penyusunan konsep Pembangunan Berkelanjutan. Sudharto P. •adi 22, dengan mendasarkan pada Agenda 21 menjabarkan bahwa Pembangunan Berkelanjutan menghenduki adanya perlindungan dun pemihakan bagi penduduk miskin, masyarakat lokal, demokrasi, transparansi, dan perlindungan lingkungan hidup sebagaimana disebut di atas. Akan tetapi, perkembangan kemudian, dalam Pertemuan Komite Persiapan (I'repCom) IV Konperensi Tingkat Tinggi mengenai l'embangunan Berkclanjutan (World Sumnat on Sustalnable Development) di Bali Mci 2002, terdapai perbedaan pandangan antara negara Barat dengan Dunia Ketiga tentang bagaimana konsep Pembangunan Berkelanjutan itu harus diimplementasikan. Paula J.Dobriansky dari Departemen Luar Negeri Amcrika Scrikat Urusan Masalah Global mcnyatakan Amcrika Scrikat memiliki pandangan bahwa Pembangunan Berkelanjutan harus dimulai dttri konsep menentukan nasib sendiri yang kemudian didukung dengan kebijakan dalam negeri yang efektif. Cara terbaik untuk melaksanakan kebijakan negara yang efektif adalah melalui pembinaan kemitnian antara swasta dengan publik di tingkat lokul, nasional, dan level internasional 23. Dalam pandangan Amerika Serikat, dengan cara ini l'embangunan Berkclanjutan diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi Ncgara Sedang Berkembang dan Negara Maju. Mttnitt dalam pandangan Amerika Serikat dan juga Kttnudu, Australia, dan Selandia Baru, basis utatna konsep Pembangunan Berkelanjutan adalah masyarakat yang dapat menentukan dirinya sendiri, yang disiapkan untuk berpartisipasi dalam perdagangan bebas multilateral dan itu setnua mensyaratkan adanya good pvernance (kepemerintahan yang baik). Good governance menurut Amerika Serikat Kanada,Australia dan Sclandia Bnru, adalah pcmcrintahan yang mcmiliki institusi-institusi demokratis serta sistem hukum y.g independen termasuk 
Sudhano P.Hadi, DImensl Hukum Penthangunan Berkelanjutan. Badan Penerbk UNDIP, Senutrang. 2002,hInt 2 . . Sumber: Maria HartinIngsilt, "Good Govemance Judi Isu Sentral Lapomn dari Perientuan Komite Perslapan (PrepCott0 Konperensi Tinskat Tinggi Mengenai Penthangunan Berkelarnman (Kompas CyherNet 29 Mel 2002), Data PBB taltun 2(100 menyelnakan sekitar 500 perusahann multinasional terbescir cli clunia menguasai 80 persen investasi asing, dan sernakin meningkat dari tahun ke tahtm. Selcitar sepertiga ekspor dari negura yang mengglobal seperti Mekslko berasal duri pausahaan multinasional yang beroperasi di negara itti. Sekkar 80 persen ekspor dari negara seperti Bangladesh dan Honduras Juga dikuasai perusahaan multinasional(Sumber: Badan Lkbang Kompas Kompus CyberNet, 
pl2.20

di dalamnya partisipasi semua anggota masyarakat. Good governance dalam konsep Amcrika Scrikut adalah kckuasaan pcmcrintah yang lebih terbatas dcmi pasar. Kekuasaan yang lebih bcsar harus dialihkan kepada korporasi-korporasi multinasional (multinational corporationsIMNC)'. Pandangan Amerika Serikat yang didukung beberapa negara maju terscbut menunjukkan bahwa good governance yang dapat menjamin terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan acialich kekuasuan pemerintah yang lcbilt terbatas demi kepentingan pasar, dan kekuasaan yang Icbih bcsar harus discrahkan kepacla swasta (dalam hal ini korporasi nasional maupun multinasional). Konsep inilah yang kemuclian dinyatakan olch Amerika Serikat dalam World Suntmli on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg pada bulan September 2002 dan dijadikan kondisionalitas untuk mcnckan ncgara-negant Dunia Ketiga dalam WSSD tersebut. Pandangan Amerika Scrikat tentang penjabaran good governance yang dapat menjamin pelaksanaan konsep Pembangunan Berkelanjutan (yang mengarah ke arah Corporcue Globalization) tersebut sangat berbeda dengan pandangan negara-negara Dunia Ketiga. Good govemanee yang dapat menjandn terlaksananya konsep Pembangunan Berkelanjutan menurut pandangan negara-negara Dunia Ketiga (yang dinyatakan dulam Pertemuan Komitc Persiapan (PrepCom) IV Konperensi Tingkat Tinggi mengenai Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development) di Buli Mei 2002, adalah pemerintahan yung mampu bertanggung jawab dan dipercaya (accountable), transparan, membuka partisipasi yang luas bagi masyarakat dan menjalankan penegakan hukum secara efektif. Akan tetapi, sesuai dengan pesan sebagaimana tertuang dalam Agenda 21, clibukanya partisipasi yang luas bagi masyarakat, tetap mengedepankan kemitraan, dan pcduli terhadap masalah kcmiskinan. Dalam artian ini maka pcmcrintah memang harus membatasi campur tangannya kepada rakyat tetapi bukun supaya kekuasaan ekonotni dialihkan kepadu swasta atau bahkan perusahaan multinasional. Dari Pcrtcmuan Komite Persiapan (PrepCont) IV Konferensi Tingkat Tinggi mengenai Pembangunim Berkelanjulan (World Summit on Sustainable Development) di Bali Mei 2002, terlihat bahwa WSSD yung diadakan kemudian tidak dapat diharapkan akan membawa dampak signifikan untuk dapat membawa dunia mcnuju arah pembangunan yang aclil dan 
. Loc.elt. 
pl2.21

berkelanjutan. Perbedaan pandangan tentang penjabaran konsep good govenumee untuk mcnjamin pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan tersebut di atas. jelas mempengaruhi Hasil Konperensi Tingkut Tinggi Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) yan? diadalcan di Johannesburg, Afrika Selatan 26 Agustus — 4 September 2002 2 . Konperensi yang diselenggarakan olch PBB ini sebenarnya bertujuan untuk meninjau kembali pencapaian yang telah dilakukun negara-negara sejak KTT Bumi 1992. Dalam Konperensi WSSD tersebut ditinjau kembali apa partisipasi negara-negara atau sejault mana ncgara-ncgara tclah mcngimplcmcntasikan Agenda — 21 scbagai hasil kesepakatan dalam KTT Bumi 1992. Larxiran :ikliir yang dikeluarkan HeInrleh Boll Foundation tentang World Summit 2002 Johannesburg antara lain menyatakan: I. The World Summit on Sustalnabie Development (WSSD) bcrakhir pada tanggal 4 September 2002. Beberapa pemerintah negara menilai Konperensi ini cukup berhasil, sementara hampir sebagian besar Civil Society Group sangat kecewa dengan hasil KTT ini khususnya menyangkut masulah kerangka waktu yung tidak tegas, serta pendanaan untuk mengimplementasikan Agenda-21. 2. Pemerintah negara-negara menambahkan sedikit target dari target yang telah disusun dalam ierr Rio 1992, namun tidak klarifikasi lebih tegas dan jelas tentang bagaimana mencapai dan pendanaan untuk mencapai target tersebut. 3. Dalam WSSD, negara-negara Dunla Ketiga (Kelompok G-77 ditambah China) rneminta negara-negara maju untuk lrhilt memberi perhatian pada kaitan antara pembangunan dengan kemisk inan yang tedadi di Duniu Ketiga, Dalam pandangan negara-negara Dunia Kctiga (Kclompok G-77 ditambah China) masalah pcmbangunan dan kemiskinan apabila tidak diatasi akan menghambat implementasi Pembangunan Berkelanjutan. Dalam pandangan negara-negara Dunia Ketiga untuk mengatmi masalah ini negara-ncgara maju harus mcmbcrikan bantuan untuk menjamin Pembangunan Berkelanjutan. Akan tetapi Amerika Serikat, Canada,
Indikasi baliwa Konperensi WSSD akun mangalami kebuntuan karena adanya perbcdaan pandungan antant ncgara maju dongan negara berkembang bcrkcnium dengan good governance yang dapal mcnjamin pcluksiumun konscp Pcmbangunun Berkclunjutan tclah dikemukakan scbclumnya oich LSM WWF, Friend of the Earth dan Grempeane dalarn penemuan Komile Persiamm KTT Jobannesburg, di Ball Mei 2002. (Sumber: Prediksi Lingkungan Hidup.WAL111. Jakarta.2003, Suara Penibaruan Sabru I Juni 2002)
pl2.22

Australia. Selandia Baru, Jepang, dan beberapa negara anggota Uni Eropa lcbilt mcmfokuskan pada pcngembangan pembangunan sebagai hasil perturnbuhan ekonomi mereka serta mementingkan pergerakan modal (the mobilisation of capital). Dari laporan ini tampak bahwa konsep Pembangunan Berkelanjutan yang awalnya merupakan konsep yang bersifat universal (sehingga disepakat( mcnjadi agcnda bersama global) pada perkembangannya mcnjadi konscp yang implementasinya tidak muclah karena adanya perbedaan pandangan antara negara maju dengan negara Dunia ketigu dalam menjabarkan konsep good governance untuk mcnjamin tcrlaksananya konscp Pcmbangunan Berkelanjutan, scmcntara konscp good govemancc yang dinyatakan olch Amerika Serikat dalam World Sittnnilt on Sustainable Developntent (WSSD dijadikan kondisionalitas untuk menekan negara-negara Dunia Ketiga dalam WSSD tcrscbut. Ficndahnya komitmcn pcmcrintah ncgara-ncgara maju (AS, Canada, Austmlia, New Zaeland, Jcpang dan bcbempa anggota Uni Eropa) ditunjukkan dengan tiduk tegasnya target serta batasan waktu yang jelas bagi pelaksanaan berbagai komitmen. Kuatnya agenda perdagangan bebas dan dominasi kapitalisme ditunjukkan dari sikap ncgara maju yang lebih memberi perhatian berdasarkan kepentingannya yuitu ekspansi pasar (pergerakan modal). Jelas untuk pergerakan tnodul ini perun korporasi internasional ukan Icbih dikcdcpankan, Bcrdasarkan hal ini maka dalam batas tertcntu WSSD 2002 tidak clapat diharapkan akan membawa clampak signifikan untuk dapat membawa dunia menuju arah pembangumtn yung udil dan berkelanjutan.




KEGIATAN BELAJAR 2 : PRINSIP - PRINSIP PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
KEGIATAN BELAJAR 2 Prinsip-Prinsip Pembangunan Berkelanjutan 
Te opniisbesp,,Pperimbsbiaprigau:anse,Baberbkteblanjdu!anbarselanjutnya dijabarkan dalam ei'prinsig.grinsig yang inYrkaRndang.IdaiaYina ktla dablam Itukum Imgkungan. dikemukakan secara lebih rinci dalam Deklarasi dan perjanjian intemasional yang dihasilkan melalui Konperensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (United Nations Conference ort Environment and Development) di Rio de laniero pada tahun 1992. Dari berbagai dokumen yang dihasilkan pada Konperensi secara formal terdapat 5 (lima) prinsip utama dari pembangunan berkelanjuian yaitu I. prinsip keadilan amargenerasi (irtrergenerarional equity); 2. prinsip keadilan dalam satu genemsi (intragenerationalequity), 3, prinsip kehati-hatian (precautionaty); 4. prinsip per(indungan keragaman hayati (consenution of biological diversity); 5. prinsip pencemar harus membayar (poiluter pays principle). 
Di bawah ini diuraikan secara garis besar isi dari prinsip-prinsip tersebut I. Prinsip Keadilan Anlar Generasi: Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap generasi umat manusia di dunia memilikt hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi yang buruk ddbai perbuatan generasi sebelumnya. Gagasan tentang keadilan antar generasi antara lain dipaparkan oleh Edith Brown Weiss . Amerilca Serikal Menurutnya ada 3 (lipa) tindakan Renerasi sekarang Yang sangai merugikan genernsi mendatang yabtr. Perttuna, konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya berkualitas. membuat generasi mendatang harus membayar lebih maltal untuk inefisiensi dalam penggunaan sumber 

Achmad Santosa, wahsasi Pnnsip.Prnuip thangunan::::1;eladtat: Bencawa,an Lingkungan Dalam Sislem dan Praki ukum Nav Hakum Lingbmgun. Tahun 111. I 996,halaman 1-21 
2.29

daya alam yang dilakukan generasi sekarang; Kedua, ada pemakaian sumber daya alam seeara berlebiltan yang sampai saat ini belum diketahui manfaat terbaiknya, tetapi sangat merugikan generasi mendatang.; Ketiga, pemakaian sumber daya alam seeam habis-habisan generasi sekamng membuat generasi mendatang tidak memiliki keragaman sumber daya alam27. Berdasarkan masalah yang terdapat dalam hubungan aniargenerasi sekarang dengan genemsi mendatang ini maka Edith Brown Weiss mengajukan konsep Prinsip Keadilan Antar Generasi (intergenerational equity). Ada tiga prinsip dasar yang terkandung dalam Prinsip Keadilan Antar Generasi 29, 
a. Conservation of Options Sedap generasi harus melakukan konsermsi kcanekaragaman sumber daya alam dan lingkungan agar generasi mendatang memiliki pilihan yang sama banyaknya dengan generasi sekarang dalam pemanfaman sumber daya alam dan lingkungan; b. Conservation onuality Setiap generasi harus menjaga kualitas lingkungan agar generasi mendatang dapat menikmati daya dukung lingkungan dengan kualitas yang sama, sebagaimana dinikmati genemsi sebelumnya; c. Conservation ofAety.ss Setiap generasi harus menjamin hak akses yang sama terhadap segala warisan kekayaan alam dari generasi sebelumnya dan harus melindungi akses ini untuk generasi mendatang. 
Tanggung jawab generasi sekarang untuk kelangsungan hidup generasi mendatang bukan hanya postulat yang bersifat moml saja, tetapi telah menjadi prinsip hukum29. Prinsip ini sudah menjadi kewajiban negara berdasarkun hukum intemasional. Hak intergenerational mempakan seperangkat hak yang berbeda dengan hak-hak individu, dalam pengertian bahwa suatu genousi memiliki hak ini sebagai kelompok.dalam hubungannya dengan generasi berikutnya. Keberadaan hak ini tidak terpengaruh olch jumlah dan identitas individu. Prinsip Keadilan Antar 
Edith 13rown We,s. "Our Rights and Obligations io the Future Generations for the Envirocunenr dalnm Ainen'aul Jounwl o Istiemaiional 4r, Vol.84.1991 p. 198.207. Loc.cit. Lothar Gundling:Our Responsibility to Future Generatiorts".dalam Amerinm komal nJ Intrwrimal 1..,Vol.M. 1990 p 202-212. 

97/329 
2.30

Gencrasi selanjutnya dijabarkan dalam kewajiban.kewajiban yang pada garis bcsarnya adalah: a. Kewajiban untuk mengurangi peneemaran sampai pada tingkat minimum 34):, b. Kcwajiban uniuk mengembangkan ieknologi yang tidak merusak lingkungan: c. Kewajiban untuk mengambil langkah pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan. 
Pertanyaannya, apakah Undang-Undang Lingkungan Hidup yang bcrlaku pada saat ini (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) telah memuat prinsip Keadilan Antar Generasi Pasal 3 pada butir (I) menyamkan:"Perlindungan don pengelokum lingkungan hidup bertujuan: menjamM terpenuhinya keadllan generasi masa kini dan generasi masa depan, Berdasukan pasal tcrsebut jelas bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 telah memuat amanat yang terkandung dalam prinsip Keadilan Antargenerasi. 
2. Prinsip Keadllan Dalam Satu Generasl: Prinsip kcadilan dalam satu gcncrasi (intragenemtional equity) merupakan prinsip yang bethicara tentang keadilan di dalam sebuah generasi umat manusia, dimana beban dari pertnasalahan lingkungan harus dipikul bersama oleh masyamkat dalam satu gencrasi. Prinsip itti sangat berkaitan dengan isu lifungan dan pembangunan berkelanjutan karena beberapa alasan berikui : a. Beban dan permasalahan lingkungan dipikul olch masyarakat yang lemah secara ekonomi dan sosial: 
Pencemaran lingkungan dibedak:m dern, peru,akan lingkungan hidup. Peneemaran lingkungan hidup adalah masuk athu dimasukkannya mathluk hidup. energi. daniatau komponen ke dalam lingkungan hidup oleh kegiamn manusia sehingga melampoui haku mutu lingkungan hidup yang lelah dimapkan (Didamukan pada Undang•Undang Nomor 32 Tahun Perusabm lingkungan hidup adalah lindakan urang yang menimbulkan perukhan langsung mou fidak langsung ierhadap sifai daniainu lingkungan hidup sehingga melampatd knieria haku kousakan lingkungan hidup lffidasiukan pada Undang.Undang Numur 32 Tahun 2009). Mas Aehmad Sanima."Akivalisasi Pnnsip.Primip Pembangunan Berkelanjumn yang Berwawasan Lingkurn, Dalam Sisiem Dan Paktek Hukum Nasionor dalam Jumal IlukumLingkong. Tahun I 11,1996.hlm . I . 

2.31

b. Kemiskinan menimbulkan akibat degradasi lingkungan. karena masyarakat yang masih pada taraf pemenuhan basic need pada umumnya terpaksa mengorbankan lingkungan hidup, sedangican kemiskinan itu bisa terjadi karena struktur-stmktur sosial justru membuka peluang ketidak adilan; c. Upaya-upaya perlindungan lingkungan dapat memberi dampak negatif pada seldor-sektor tertentu dalam masyarakat, namun disisi lain bisa menguntungkan sektor yang lain: d. Tidak semua anggota masymakat memiliki akses yang sama dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan. Pengetahuan, ketrampilan, keberdayaan serm struktur pengambilan keputusan dapat menguntungkan segmen masyarakat tertentu, tetapi merugikan segmen masyarakat lainnya. Misalnya, dalam pengambilan keputusan dalam penalaan ruang,seringkali masyarakat tidak diikumenakan dan akhirnya menjadi korban kebijakan penmaan ruang yang (bisa saja) berpihak pada kepentingan pemodal. 

3. PRINSIP KEHATI-HATIAN 
Prinsip pencegahan dini (precautionary principle) mengandung suatu pengertian bahwa apabila terdapat ancaman yang berarti, atau adanya ancaman kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, kctiadaan temuan atau pembuktian ilmiah yang konklusif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan.
Dalam menerapkan prinsip ini, pengambilan keputusan harus dilandasi oleh: Pertama, evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal mungkin kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan. Kedua, Penilaian (assessment) dengan melakukan analisis resiko dengan menggunakan berbagai opsi (pilihan).
Prinsip ini merupakan respon terhadap kebijakan lingkungan konvensional, dimana upaya pencegahan dan penunggulangan baru dapat dilakukan setelah risiko benar-benar terjadi dan terbukti secara meyakinkan.

Contoh dari penerapan prinsip Kehati-hatian bisa dipaparkan sebagai berikut: Pemerintah RI bermaksud membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Kabupaten Jepara sejak 1980-an. Sampai sekarang belum berdiri, karena banyak reaksi yang kontra maupun mendukung atas rencana itu. Banyak kalangan ilmuwan dalam dan luar negcri serta Lembaga Swadaya Masyarakat yang menentang rencana pembangunan PLTN itu.
Dalam hal ini sering terjadi sikap menentang rencana pembangunan PLTN olch beberapa pihak itu tidak dilandasi argumen yang kuat secara akademik Pertanyaan Hukumnya: apakah mereka berhak mengajukan keberatan rencana pendirian PLTN, walaupun tidak alasan yang kuat secara Jawabnya: mereka berhak mengajukan keberatan berdasarkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle). Dengan demikian, walaupun masyarakat belum mcmiliki bukti-bukti yang meyakinkan dan berdasarkan kajian ilmiah, hal itu tidak menghalangi hak mereka untuk mengajukan keberatan.
Sebaliknya, pemrakarsa (dalam hal ini Pemerintah) berhak pula mengajukan argumen pembenaran rencana pembangunan PLTN. Jalan yang paling baik adalah membuka dialog secara terbuka untuk mempertemukan kedua pendapat yang berbeda itu. Dalam hal ini peran mediator sangat penting. Mediator yang ideal adalah mediator yang memahami aspirasi kedua belah pihak dan paham dengan persoalan yang disengketakan.

4. Prinsip Perlindungan Keragaman Hayali Keragaman hayati dikonsepsikan sebagai jumlah jenis. Makin besar jumlah jenis, makin busar pula keragaman hayati. Melalui proses evolusi, dengan terus-menerus terjadilah jenis baru. Sebaliknya. dengan terus-mencrus terjadi kepunahan jenis. Apabila laju terjadinya jenis baru lebilt besar daripada laju kepunahan maka keragaman hayati akan bertambah. Sebaliknya, apabila laju kepunahan lebilt besar maka keragaman hayaii akan menurun. Kelangsungan kemgaman hayati terutama di hutan tropis mngat penting bagi umat manusia di seluruh dunia. Banyak alasan yang bisa dikemukakan alasan keragaman hayati itu perlu terus dijaga, antam lain karena disanalah sumber obat-obatan untuk pcnyembuhan pcnyakit manusia. Di samping itu, juga berguna bagi kepentingan pertanian dan hal-hal lain yang mensejahterakan umat manusia. Perlindungan keragaman hayati merupakan prasyarat dari berhasil-tidaknya pelaksanaan prinsip keadilan antargenerasi (btergeneratiotud equity principle). Perlindungan keragaman hayati juga merupakan prasyarai tenvujudnya keadilan dalam satu generasi (intmgenemtional equity). Berkurangnya keragaman hayati di dunia memberi dampak signifikan bagi ketersediaan bahan-bahan obat-obatan yang berguna bagi umat manusia. Bahkan, manusia sesungguhnya belum tahu 
2.33

manfaat terbaik dari keragaman hayatinya yang dihabiskannya. Berlatar belakang itulah PBB dalam Earth Sumnath /992 (Konferensi PBB Temang Lingkungan dan Pembangunan) mencrima Konvensi Kcragaman Hayati (United Nations Convention on Biological Diversity). Konvensi lersebui telah diratifilcasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 Taltun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi Keragaman Hayati. 

5. PENCEMAR HARUS MEMBAYAR 
Dalam jangka waktu lama, kerusakan lingkungan atau pencemaran lingkungan merupakan risiko yang harus ditanggung masyarakat dari kegiatan proses produksi. Pencemaran dan atau kerusakan lingkungan tidak dianggap sebagai bagian dari proses produksi yang juga harus ditanggung oleh perusahaan atau pemrakarsa. Fenomena itu, merefleksikan ketidakadilan yang diterima masyarakat selaku korban. Perusahaan atau pemrakarsa hanya melihat sisi keuntungan dari sebuah proses produksi, tidak mclihat pembuangan limbah (waste) scbagai bagian dari proses produksi yang juga harus dikelola oleh pengusaha.
Jadi, kerusakan lingkungan merupakan external cost yang harus ditanggung oleh pelaku kegiatan ekonomi. Oleh karena itu, biaya kerusakan lingkungan harus diintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penggunaan sumber-sumber alam tersebut. 
Untuk menentukan besamya external cost harus diukur besarnya kerusakan lingkungan yang terjadi. Uraian tersebut dapat diterangkan sebagai berikut : Masalah lingkungan pada hakikatnya timbul karena danya kegiatan ekonomi. Konsekuensi lebih lanjut upaya penanggulangan kerusakan lingkungan seharusnya dapat pula dilakukan melalui pendekatan ekonomi.
Kerusakan lingkungan dapat dilihat sebagai external cost dari suatu kegiatan ckonomi yang diderita olch pihak yang tidak terlibat dalam kegiatan ekonorni tersebut. Artinya, akibat yang ditimbulkan olch pembuangan limbah akibat kegiatan industri, akan dirasakan atau ditanggung pihak lain. Jika kerugian tersebut dikonversikan dalam bentuk beaya, maka beaya tersebut dikategorikan sebagai external cost dari suatu produksi.

Rasio pentingnya diberlukukan prinsip ini berangkat dari suatu keadaan dimana penggunaan sumber daya alam kini merupakan kecenderungan atau reaksi dari dorongan pasar. Sebagai akibatnya, kepentingan yang selama itu tidak terwakili dalam komponen pengambilan keputusan untuk penentuan harga pasar tersebut, menjadi terabaikan dan menimbulkan kcrugian bagi mereka. Dampak ini kemudian diistilahkan eksternalitas. 
Contoh dari penerapan prinsip ini: sebuah industri yang berproses produksi, tentu menghasilkan bahan hasil proses produksi yang akan dijual dan menghasilkan keuntungan. Akan tetapi, proses produksi juga akan menghasilkan waste (limbah). Keberadaan limbah bisa menimbulkan dampak pencemaran lingkungan atau kerusakan lingkungan, yang akhimya merugikan masyarakat. Dalam konsep internalisasi biaya lingkungan maka kerusakan lingkungan atau pencemaran yang akhirnya merugikan masyarakat itu,  sebcnarnya merupakan bagian proses produksi yang harus dibiayai olch pemrakarsa usaha. Dalam hal ini berarti pemrakarsa usaha harus menanggung biaya atas kerugian yang ditimbulkan pada masyarakat. 

Dengan demikian, kerugian pada masyarakat dan juga lingkungan, merupakan tanggung jawab pemrakarsa usaha. Dalam perkembangan kemudian diskursus internalisasi biaya lingkungan ini terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan hal yang disebut sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) atau disingkat CSR. Konsep CSR sccara akademik merupakan perluasan beban tanggung jawab, yang bisa dipaparkan sebagai berikut:

Pada awalnya wacana pertanggungjawaban kepada publik selalu dibebankan kepada negara. Hal ini karena negara dengan kekuasaannya mempunyai kewenangan di hampir semua bidang. Dengan demikian, negara bisa dituntut untuk bertanggungjawab karena tindakan-tindakan akibat kekuasaannya. Konsep pengutamaan tanggung jawab yang dibebankan kepada negara ini merupakan konsekuensi dari pandangan realism dalam ilmu politik. Pandangan realism ini merupakan pandangan klasik yang menempatkan negara sebagai satu-satunya aktor yang penting dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. 

Dalam perkembangan kemudian bukan hanya negara saja yang keberadaannya dapat memberikan dampak pada masyarakat tetapi kehadiran aktor-aktor nonnegara, kehadirannya juga dapat memberikan dampak kcpada masyarakat. Aktor-aktor nonnegara ini terutama menunjuk pada kehadiran perusahaan-pemsahaan swasta baik yang bersifai multinasional maupun  perusahaan dalam lingkup negara.
Apabila negara dapat dituntut bertanggung jawab secara publik karena kekuasaan politik dan hukumnya yang begitu luas maka perusahaan bisa dituntut bertanggung jawab secara publik karena aktivitas ekonominya yang bisa menimbulkan dampak pada lingkungan dan masyarakat. Pemikiran inilah yang kemudian bisa menjadi pembenar adanya konsep CSR. Konsep perluasan tanggung jawab yang bukan hanya dibebankan kepada negara ini (tetapi juga kepada perusahaan-perusahaan swasta) merupakan konsekuensi dari pandangan pluralism dalam ilmu politik.
Pandangan pluralism ini merupakan perkembangan yang menempatkan negara bukan scbagai satu-satunya aktor yang penting dalam memberikan kesejahteraan kepada masyarakat karena semakin berperannya aktor-aktor nonnegara. Tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pada hakekatnya merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh pemrakarsa usaha, karena kegiatannya bisa berpengaruh pada kehidupan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Perkembangan ini juga menjadi landasan disusunnya Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Pcrscroan Terbatas.

Kelima prinsip di atas kemudian dikenal sebagai prinsip pokok dari pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan yang kemudian oleh berdasarkan KTT Bumi 1992 dijadikan landasan hukum lingkungan baik di tingkat global (sebagaimana tertuang dalam Deklarasi dan dokumen-dokumen interasional yang dihasilkan melalui KTT Bumi 1992) maupun di tingkat nasional.

Dalam rangka Pembangunan Berkelanjutan, hukum (lingkungan) difungsikan untuk menjamin tetap terpeliharanya kelestarian kemampuan lingkungan hidup sehingga generasi mendatang tetap mempunyai sumber dan penunjang bagi kesejahteraan dan mutu hidupnya. Olch karena itu, dikatakan Satjipto Rahardjo dilihat dari dimensi perkembangan peradaban umat manusia gagasan hukum lingkungan sebenamya bersifat korektif terhadap berbagai kesalahan yang telah dilakukan umat manusia semasa perkembangan industrialisasi dan kapitalisme .

Di dalam buku yang diterbitkan oleh UNEP dan WWF yang berjudul Caring for the Earth; A Strategy for Sustainable Living dijelaskan bahwa peran hukum lingkungan antara lain meliputi : (1)memberi efek kepada kebijakan-kebijakan yang dirumuskan dalam mendukung konsep pembangunan berkelanjutan; (2) sebagai sarana pentaatan melalui penerapan aneka sanksi'.









MODUL 4 
PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN 

KEGIATAN BELAJAR 1 
Pendekatan Dalam Penegakan Hukum Lingkungan 

Te ciika terjadinya kerusakan lingkungan sudith pada taraf e/N., memprihatinkan sekarang, pethatian diaralikan pada penegakan hukum lingkungan. Ketika hukum lingkungan di negeri ini tidak dapat diandalkan lagi untuk mencegah pelanggaran hak-hak masyarakat untuk mempentleh lingkungan yang baik dan sehat, orang lalu mcmpertanynkan seberapa jauh efektifnas penegakan hukum lingkungan di negeri kna. Penegakan hukum lingkungan dilihat dari per,ktif akademik merupakan jembatan anura keharusan-kehantsan yang diperinialikan hukum Irlru sollen, dengan dihadapkan pada tatanan fakta yang dipengaruhi berbagai aspek Was sein, Dalam posisi itulah maka penegakan hukum mcrupakan proses mewujudkan eita-eita (das sollen) ke dalam alam fakta Was sein,, yang scharusnya dilakukan seeara konsisten , tegas, tidak bethihak. Terlebih-lebih untuk kepentingan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, ya, keberaduannya merupakan penyangga kehidupan bagi siapapun. Akan tetapi, kita juga mengetaltui bahwa di ranah realius penegakan hukum lingkungan akan menghadapi bethagai hal yang tidak bisa diprakirdkan sebelumnya oleh penthuat peraturan perundang-undangan. Selain nu, diudari bahwa di dalam thalitas kehidupan, hukum bukan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan kehidupan manusia menjadi lebih baik. Ban,k sub-sub sistem lain yang beketja di dalam masyarakat selain hukum. seperti sub-sistcm ekonomi, buda, agama politik . Di dalam ramah empiris dengan demiktan, hukum bukan satu-satu,a faktor ya, menentukan kehidupan mas,rakat Hal-hal inilah yang tidak bisa dipungkiri akan mempengaruhi penegakan hukum lingkungan. Dengan demikian, apabila kita melihat bahwa kondisi lingkungan makin bunik di suatu wilayah maka bisa jadi hal terjadi karena bekerjanya pencgakan hukum dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan lain yang dipandang Icbih prioritas olch masyarakat atau pemeriniah setempat. Hal ini sekaligus merelleksikan ketidgsadaran bahwa apabila terjadi pembiaran kerusakan lingkungan atau pembiaran degradasi lingkungan maka akan meninthulkan ekonomi biaya tinggi yang akan semakin menyulitkan kehidupan. Oleh karena itulah penegakan hukum 
4.11

lingkungan secara konsisten harus terus menems diupayakan untuk diwujudkan sehingga dapat memberi manMat bagi kehidupan di masa kini dan masa mendatang. Berdasarkan kesadaran ini maka penegakan hukum lingkungan scharusnya bisa mengatasi rimangan-riniangan yang bersumber dari kepentingan lain di dalam kehidupan seperti rintangan ekonomi, politik, budaya, dan sebagaimana. Dalam konteks kehidupan yang kompleks tersebut maka pencgakan hukum lingkungan tentu tidak bolch dilakukan sccara kaku, sempit pandangannya, tempi juga tidak lemah. Oleh karena itu, mngat dibutuhkan inovasi-inovmi progresif dalam penegakan hukum lingkungan. Hukum lingkungan merupakan sepcningkat kmentuan hukum yang bersifat fungsional karena penegakannya didmarkan pada pendekatan hukum administrasi negara, pendekatan hukum perdata dan pendekatan hukum pidana. Penegakan hukum lingkungan mencakup tindakan pencegahan (preventif) dan penindakan (represif). Di dalam Kegiatan Belajar I ini akan dibahas penegakan hukum . perspektif hukum adminismni, hukum penlata dan hukum pidana. Kajiannya mendasarkan pada substansi dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Temang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tujuan pembahasan tersebut, agar mahasiswa dapat mendeskripsikan dan membedakan pengenian penegakan hukum lingkungan dengan menggunakan instrumen: hukum administrasi, hukum perdata. dan hukum pidana. Hmil yang diharapkan mahasiswa dapat menjelaskan kembali bilamana sanksi administmsi dijatuhkan dan cara bemuk-bentuk sanksi administrasi; bilamana sanksi perdata dijatuhkan dan bagaimana bentuk-bentuk sanksi perdata dan akhimya bilamana sanksi pidana dijatuhkan . bagannana bentuk-bentuk sanksi pidana yang ada di dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 
A. PERSPEKTIF HUKUNI ADMINISTRASI 

F'enegakan hukum lingkungan dengan instrumen hukum administrasi mengatur tentang hak dan kewajiban dalam penegakan hukutn yang dilakukan oleh pejabat pemerintah yang bertindak stbagai pcjabat tata usaha negara. Misalnya pejabat perizinan. Penegakan hukum lingkungan dari perspektif administrasi diatur dalam Paral 76 santpai 83 UU Nomor 32 Tahun 2009. Fungsi utama penegakan hukum lingkungan . perspektif administrasi adalah fungsi pencegahan dan penanggulangan. Fungsi pencegahan dilakukan melalui pengawasan. Pengatumn hal-hal yang terkait 
4.12

dengan pengawasan diatur di dalam Pasal 71 hingga Pasal 75 UU Nomor 32 Tahun 2009. Dalam pasal-pasal tersebut diatur temang wewenang melakukan pengawasan terhadap kegiatan dan atuu usaha. Pengawasan dilakukan oleh Menteri, Gubemur, Bupati atau Walikota, sesuai dengan wilayah kewenangannya. Masing-masing Pejabat itu, di dalam pelaksanaannya, dapat mendelegasikan kewenangannya pada pejabat/instansi teknis di bidang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Selanjutnya. Gubemur. Bupati atau Walikota dapat metnberikan sanksi. Ketentuan tentang sanksi-sanksi administrasi pengaturannya ada di dalam Pasal 76 hingga 83 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Sanksi-sanksi tersebut dijamhkan secara beruruian sebagai berikut: 
I. Teguran Dalam hukum administrasi. teguran sudah merupakan sanksi. Teguran bisa lisan maupun tenulis. Dalam praktik, teguran yang diberikan oleh Pemerintah umumnya bisa dimaknai sebagai bagian dari pembinaan agar tidak terulang perbuatan pencemaran dan atau peru.sakan lingkungan oleh industri karena terjadinya pelunggaran ambang batas, atau tidak diterapkannya kdentuan tentang pengelolaan lingkungan scbagai mana temantutn dalam dokumen pengelolaan lingkungan. 
2. Puksaan Pemerintah; Paksaan petneriniah adalah sanksi administmsi yang berupa tindakan-tindakan konkret. Paksaan pemerintah tersebut berupa: a. Penghentian sementara kegiatan produksi: b. Pemindahan samna produksi; c. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau er.i; d. Pembongkaran; e. Penyitaan; f. Penghentian sernentara seluruh kegiatan; g. Tindakm lain uniuk menghentikan pelanggaran; 

Menteri, Gubemur, Bupati dan Walikota benvenang untuk memaksa pihak pencemar atau perusak lingkungan untuk melakukan pemulihan lingkungan. Dalam hal ini pcjabat-pcjabal tersebut dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan atas biaya penanggung jawab kegiatan usaha/kegiatan. 
4.13

3. Pembekuan Izin Pembekuan izin mengandung maksud dilakukan kewenangan pemeriniah uniuk membekukan izin yang telah diberikan kepada suatu industri yang terbukti melakukan pencemamn lingkungan. Dengan dibekukannya operasional maka perusahaan tersebut secara yuridis tidak dapat mengoperasikan pemsahaannya. 

4. Pencabutan Izin. Secara konsep penjatuhan sanksi dilakukan secam berturuian.Maksudnya paksaan pemerintah tidak bisa dijatuhkan apabila sebelumnya tidak ada teguran. Pembekuan izin tidak bim dijatuhkan kalau sebelumnya tidak ada tindakan paksaan pemerimah. Pada prinsipnya setiap orang dapat mengajukan gugatan keputusan Tata Usaha Negara. Misalnya ada pejabat TaM Usaha Negara (TUN) menerbitkan izin lingkungan unpa AMDAL dan atau UKL-UPL, atau pejabat TUN yang menerbitkan izin operasional tanpa izin lingkungan maka terhadap pejabat TUN tersebut bisa digugat (gugatan TUN).Tentang pengajuan gugatan administratif ini pengaturannya ada di dalam Pasal 93 UU Nomor 32 Tahun 2009. Dalam pralttik. penegakan hukum lingkungan melalui instrumen hukum administrasi merupakan pelaksanaan penegakan hukum lingkungan yang paling tinggi frekuensinya, sekalipun bukan berani hal ini yang paling penting. Beberapa hal ditunjukkan mengapa penegakan hukum lingkungan melalui instrumen hukum administrasi menjadi relevan: Pertama, penegakan dari sisi hukum adminisirasi berfungsi utama sebagai pcncegahan dan pengendalian agar tidak terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan, karena dampaknya bisa lebih beresiko tinggi dan menimbulkan beaya tinggi apabila pencemaran atau kerusakan lingkungan itu terjadi. Kedua, pencgakan dari sisi hukum administrasi mcrupakan instrumen yuridis yang penting dalam mengakhiri pelanggaran hukum lingkungan. Keriga, pcncgakan hukum administrasi sccara pmktik efisien mengingat penegakannya dilaksanakan olelt pihak pemerintah (eksekutif) (bisa pemerimah pusat maupun Nmerintah provinsi, kabupaten aMu kota). yang tidak tnelalui proses pengadilan. Oleh karena itu. sebagai perangkat pencegahan.penegakan hukum lingkungan dengan insImmen hukum administrasi dapat lebih efisien, jika ditinjau dari sisi pembiayaan dan waktu penyelesaian dibandingkan dengan penegakan melalui instrumen hukum 
4.14

perdaa dan pidana. Kenapa demikian, lurena biaya penegakan penegakan hukum lingkungan dengan instrumen hukum administrasi yang meliputi biaya pengawasan di lapangan dan pengujian di laboratorium tentu lebih murah dibanding pengujianpengujian di pengadilan, seperti biaya saksi ahli, biaya investigasi dan sebagainya. Mengingat bahwa penegakan hukum lingkungan dengan instrumen hukum administrasi sartgat mengedepankan peran eksekutif (pcmcrintah pusat maupun daerah) maka peran aparat pelaksana menjadi penting. Efekti, tidaknya penegakan sanksi adminstrasi ditentukan oleh beberapa hal: a. Kemampuan mengetahui secara cepat dan tepat terjadinya pelanggaran atas ketentuan Itukum lingkungan: b. Kecepatan dalam merespon adanyo pelanggaran atas terjadinya pencetnaran atau kerusakan lingkungan; c. Ketersediaan sarana yang memperlancar dalam penegakan hukum lingkungan melalui instrumen administrasi; d. Adanya koordinasi yang baik dalam sistem pengawasan secara berlapis. Dalam hal ini peran utama pcnegakan hukum administrasi adalah pejabat pemberi iim. Dalam konteks penegakan hukum lingkungan dia berperan sebagai pengawas pada lapis periama (first line inspeetor) selanjutnya peran kedua dijalankan oleh instansi pengelola lingkungan hidup. Perlu diketaltul. di dalam UU 32 Tahun 2009, peri•inan lingkungan terkait dengan berikut; I) Pembuangan limbah cair ke air atau sumber air; 2) Pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah; 3) Penyimpanan sementara limbah 133; 4) Pengumpulan limbah 133; 5) Pemanfaatan limbah B3 sebagai usaha utama: 6) Pengelolaan dan penimbunan 133; 7) Pembuangan limbah eair ke laut; 8) Dumping ke laut dan darat. c. Jundah personil dengan kemamptum memadai untuk kepentingan penegakan hukum lingkungan tnelalui instrumen administrasi; f. Penegakan hukum administrasi di bidang lingkungan. memiliki wawasan atau pengetahuan yang cukup dalam persoalan lingkungan. Diharapkan dengan pengetahuan yang cukup ini, terbangun kesadaran dan etos (semangat) dalam penegakan hukum lingkungan. 
4.15

B. PERSPEKTIF HUKUM PERDATA 
Penegakan Itukum lingkungan dengan instrumen Itukum perdata merupakan penegakan hukum mclalui preees maupun non-litigasi yang dilakukan Icarena adanya tindakan seseorang, industri baik swasm maupun pemerintah yang menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan dan mengakibatkan kerugian pada pihak lain. Selanjutnya pihak yang dirugikan tersebut diberi hak menggugat ntelalui pengadilan terhadap pihak pencemar alau pentsak lingkungan. Pengaturan penegakan hukum lingkungan dengan instrumen hukum pettlata dicantumkan dalant Pasal 84 hingga 120 Undang-Undang 32 Tahun 2009. Penegakan hukum lingkungan dengan instrumen hukum perdata berfungsi uniuk mcwujudIcan ganti rugi dan pemulihan lin gkungan akibat adanya pencemaran dan kerusalcan lingkungan. Sebenamya UU 32 Tahun 2009 lebih mengedepankan proses-proses penyelesaian sengketa lingkungan (antar para pihak) di luar pengadilan. Pendirian ini tersirat dalam ketentuan-ketentuan Pasal 84. Dalam Pasal 84 ayat (2) ditentuka,Pilikan penyelesaian sengketa lingkungan hidup dilakukan secara sukarela oleh para pihak yang bersengketa". Pasa. (2) tersebut sebaiknya dibaca secara tidak terpisah dengan ayat (3) nya yang menyatakam 
"Gugatan meland pengadihut hanya dapat ditempuh apabik upap penyelesaian sengketa luar pengadilan yang dinptakan thlak berhasil olek salah sata atau para pihak yang hersengket, 

1. Penyelmaian Sengketa Di Imar Pengadilan Dari ketentuan tersebut di atas jela.s baliwa UU 32 Tahun 2009 menckankan balma pcnyelesaian sengketa lingkungan dapat dilakukan mclalui pengadilan, apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berhasil. Ada alman sosiologis yang dapat dijadikan pembenaran mengapa UU 32 lahun 2009 mengedepankan penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan: Sengketa lingkungan hidup lebih banyak menghadapkan secara berseberangan amara industri / pengusaha sebagai pencemar / permak lingkungan dengan masyarakat selaku korban. Penyelesaian melalui pengadilan tentu dilakukan melalui pembuktian, karena keputusan tentu 
4.16

berbasis pembuktian (bersifat aposteriore). Di dalam pembuktian tentu harus ada deskripsi rangkaian sebab-aldbat yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan. Pihak yang membuktikan terutama adalah penggugat. Di dalam proses litigasi (pengudilan) pihk industri alcan menjadi tergugat dan masyarakat korban menjadi penggugat. Akan tetapi, pihak industri selaku tergugai pada umumnya justru memiliki kemampuan untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah. Hal ini karena indsutri memili. pengalaman, sena ekspertasi yang memadai untuk berproses di Pengadilan, walaupun sesungguhnya pihak industri benar-benar melakukan pcneemaran. Di sisi lain, masyarakat sclaku korban tidak memiliki kemampuan membuktikan secara ilmiah dan n)eyakinkan. berbasis hubungan sebab-akibat. Oleh karena tidak mampu memberikan pembuktian maka. sangat mungkin masyarakat akan kalah dalam proses di Pengadilan. walaupun sebenamya mereka benar-benar merupakan korban. Fenomena ini sangat mungkin terjadi karena penegakan hukum terutama dari sisi perdata, lebih mengedepankan pembuktian berbasis peraturan perundang-undangan dan doktnn-doktrin hukum yang sangat positivistik. Jadi sepanjang tidak bisa membuktikan, masyarakat korban akan kalah. Kekalahan pihak masyarakat korban selaku penggugat akan membuka potensi kekrnewaan. yang selanjutnya dapat meledak,mewujud dalam tindakan-tindakan anarkhis dan membahayakan baik kepentingan masyarakat sendiri maupun kepentingan umum. Oleh karena itu pilihan penyclesaian sengketa di luar pengadilan dipandang Icpat untuk dilakukan para pihak, karena pilihan penyelesaian sengketa di luar pengadilan didasarkan pada kesepalcatan para pihak yang secara yuridis berkedudukan sederajat. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagai bentuk alternatif penyelesaian sengketa diasumsikan dapat bersifat aspiratif aninya aspirasi ,keinginan kedua pihak yang bersengketa diupayakan untuk dipenuhi.Dalam hal ini tentu saja masing-masing pihak harus nucu memberi dan menerima perbedaan-perbedaan dan tidak bersikeras dengan pendapatnya Untuk itulah pentingnya peran mediator dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Mediator ideal yang dibu1uhkan adalah mediator yang memahami persodan lingkungan yang muncul, memahami aspirasi kedua pihak. dan menguasai persoalan-persoalan dan konsep-konsep terkait dengan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan mcdiator yang ideal seperti itu maka 
4.17

diharapkan penyelesaian sengketa di luar pengadilan terkait dengan pencemaran autu perusakan lingkungan akan membawa hasil mcmuaskan bagi para yang bersengketa. 

2. Hak Gugat Masyaralcat 
Pasal 91 UU 32 Tahun 2009 mengatur tentang Hak Gugat Masyarakat. Pada dasamya hak gugat masyamkat adalah gugatan perwaldlan atau yang lebih dikenal dengan istilah dass action. Gugatan Perwakilan (class action) adalah gugatan di pengadilan yang diajukan oleh sejumlah orang yang mcwakili jumlah orang Icbih banyak. yang mewakili disebut sebagai class represenuaires dan pihak yang diwakili disebut class member. Mereka yang tnewakili (class represenratives) pada prinsipnya harus bemsal dari para korban itu sendiri,sehingga antara yang mewakili dengan yang diwakili ada kesamaan kepentingan dan kesamaan gugatan. Oleh karena im. mereka yang mewakili harus benar-benar dapat dipereaya dan credible dan bertanggungjawab, dan benar-bcnar mendapat mandat dari masyarakat korban. yang dibuldikan secara tertulis. Gugatan perwakilan hanya dapat diajukan untuk kasus-kasus lingkungan yang bersirat keperdataan. Gugatan yang diajukan bcrupa permintaan pemberian ganti rugi, pengembalian kepada keadaan semula, perbaikan lingkungan dan sejenisnya. Demikianlah, maka gugatan perwakilan mcrupakan proses penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan (proses litigasi) yang menghadapkan pihak korban (dalam hal ini masyarakat) selaku penggugat, dan pihak peneemar atau pelaku kerusakan lingkungan sebagai tergugat. korban selaku penggugat harus membuktikan bahwa pihak pencemar (tergugat) telah melakukan tindakan pencemaran atau kerusakan lingkungan. Pembuktian dalam konteks lingkungan hidup adalah proses pembuktian sebagaimana dalam proses pembuktian kasus-kasus hukum di pengadilan. yaini berbasis hubungan sebab-akibat Owbungan kausa). Jadi, pihak korban harus bitttt mendeskripsikan kaitan-kaitan hubungan sebab-akibat yang akhimya menimbulkan kerugian pada pihak korban. Tidak tertutup kemungkinan dalam konteks lingkungan hubungan sebab-akibat itu harus dideskripsilcan berbasis kajian-kajian (scietaific approach). Permasalahannya tidak semua hal iiu bisa dideskripsikan oleh pihak korban, apalagi dengan tingkat pendidikan yang umumnya belum memadai. Bisa dibayangkan, ketika masyarakat selaku korban itu lalu tidak bisa membuktikan berbasis hubungan settab-aldbat yang diperkuat 
4.18

dengan pendekatan ilmiah. maka guguan itu akan dikalabkan di dalam pengadilan. Dengan demikian, walaupun sesungguhnya masyarakat tersebut benar-benar menderiu kerugian karena adanya pencemaran atau kerusakan lingkungan, akan tetapi karena tidak bisa membuktikan dalam deskripsi sebab-akibat yang meyakinlcan maka guga. itu bisa kalah di pengadilan. Sebaliknya, apabila pihak pencemar bisa membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan kesalahan. aiau berhasil mematahkan gugatan maka ia bisa bebas dari gugatan masyarakat itu. Inilah fenomena kebenaran formal dalam gugatan perdata. Karakter penyelesaian sengketa lingkungan hidup scbagaimana ada dalam gugatan perwakilan tersebut di atas, dengan demikian, bisa menimbulkan rasa tidak adil bagi korban yang hanya karena tidak bisa membuktikan secara akurat di pengadilan lalu dikalahkan dalam gugatan. Padahal korban memang benar-benar menderita kerugian akibat pencemaran atau kerusakan lingkungan itu. Diterimanya ketidakadilan ini secara sosiologis bisa memicu tindakan-tindakan anarkhis oleh masyarakat, lebih-dengan tipologi masyarakat yang realitasnya masih rendah secara pendidikan, pendapatan dan wawasan. Terjadinya tindakan anarkhis tersebut jclas bukan tindakan yang berkontribusi positif bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat. Dalam hubungan inilah kita bisa melihai pentingnya peran penyelesaian sengluta lingkungan hidup di luar pcngadilan. sebagaimana telah diumikan di atas. 

3. Hak Gugal Organisasi Lingkungan Hidup 
Pasal 92 UU Nomor 32 Tahun 2009 mengatur tentang Halc Gugat Organisui Lingkungan Hidup. Dalam pembahasan ini hak gugat organisasi lingkungan hidup disingkat sebagai hak gugat lingkungan. Scbenarnya pengaturan tentang hak gugat lingkungan hidup sudah diatur sebelumnya di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, dan kini diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Hak gugat lingkungan ada. hak yang dimiliki olch organisasi lingkungan Itidup untuk menggugat di pengadilan aus nama pihak lingkungan.Jadi berbeda dengan gugatan perwakilan, apabila di dalam gugatan penvakilan pihak yang mewakili mengsugat mewakili orang maka di dalam hak gugat lingkungan, penggugat mewakili lingkungan hidup yang leraniaya", bukan mewakili orang. Hal-hal yang bisa dimintakan oleh penggugat melalui gugatan adalah tindakan-tindakan konkret seperti, 
4.19

pengembalian keadaan scmula, penanaman kembali, perbaikan instalasi pembuangan limbah, perbaikan lingkungan. Hal-hal tersebut langsung berkaitan dengan kepentingan lingkungan. Pada prinsipnya di dalam hak gugat lingkungan tidak bisa dimintakan ganii rugi uang• kecuali karena telah dikeluarkan beaya-beaya untuk keperluan mendesak untuk menyclematkan lingkungan.Tidak semua organisasi lingkungan hidup biso disebut mempunyai hak gugat lingkungan.karena mereka harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana dituangkan pada Pasal 92 ayai (3) yang iminya menyatak•n: 
a. Organisasi terebut harus berbadan hukum: b, Anggaran dasar organisasi tersebut menyatakan bahwa organisasi tersebut didirikan uniuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungam c. Organisasi tersebut secara fakta, tclah melakukan kegiatan sesuai AD nya minimal 2 (dua) tahun. 

Syarat sebagaintana tercantum pada (a) dan (b) di atas disebut pemenuhan syarat formil. Selanjuinya, syarat sebagaimana tereantum pada (c) adalah pemenuhan syarat materiil. Syarat-syarat iersebut bersifat kumulatif. Dalam praktik untuk membuktikan syarat (a) dan (b) pengadilan bisa melihat bulai-bukti tenulis yang merupakan persyaratan pendirian suatu badan hukum, Tentang syarat (c) Pengadilan bisa membuktikan falnanya melalui koordinasi dengan pemerintah daerah setempat dalam hal ini dengan instansi yang mengelola lingkungan hidup atau institusi lainnya. Dalam pmktik kekinian tidak banyak organisasi lingkungan hidup yang benar-benar memiliki komitmen terhadap persoalan lingkungan hidup, kecuali organisasi lingkungan hidup yang sudah mapan dan eksis secara konsisten. Dalam membicarakan hak gugat lingkungan sebenamya ada satu komponen masyarakat yang tidak bisa dihilangkan begitu saja eksimensinya yaitu masyamkat adat atau masyarakat hukum adat. Secara fakta mereka memiliki peran besar dalam melindungi dan mengelola lingkungan hidup karena masyarakat adat hidupnya mengandalkan pada lingkungan alam di mana mereka bertempat tinggal. Olch karena itu, adalah logis apabila mereka sebenarnya boleh mengajukan hak gugat lingkungan. L•ngkah maju sudah dilakukan olch Mahkamah Konstitusi walaupun masih terbatw, untuk memberikan hak sebagai pemohon dalam perselisihan di depan Malikamah 
4.20

Konsirnsi Sebenarnya pengakuan oleh Mahkamah Konstitusi ini bisa menjadi pendorong untuk mengembangkannya dalam hubungannya dengan keberadaan hak gugat lingkungan hidup. Pembahasan leblh lengkap tentang Masyarakat Adat ini ada di dalam Modul Vl. 
C. PERSPEKTIF HUKUM PIDANA 
Penegakan hukum lingkungan dengan instrumen hukum pidana diatur dalam Pasal 83 hingga UU Nomor 32 Tahun 2009. Fungsi utama penegakan hukum lingkungan dengan instrumen hukum pidana adalah untuk menimbulkan efek jera dan efek derita. Menurut UU Nomor 32 Tahun 2009.findak pidana lingkungan adalah kejahatan. Di dalam penegakan hukum lingkungan,penggunaan insuumen hukum pidana bersifat dua, 
I. Hukurn pidana sebagal ukimum remidium Hukum pidana sebagai upaya terakhir. misalnya tindakan sudah dilakukan berkali-kali, tidak mentaati sanksi-sanksi administmsi. Jadi. disini hukum pidana dijatulikan sebagai upaya terakhir (ullimum remidium) karena sanksi-sanksi administrasi tidak dilaksanakan. 

2. flukum pkiana sebagal premum remidium Hukum pidana sebagai upaya memberikan efek derita sejak awal apabila terdapat perhuanin melawan aturan Pasal Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang memuat larangan, a. Melakukan perbuatan yg mengakibaikan peneemaran danlatau kerusakan LH, b. Memasukkan B3 yang dilarang menurut PUU ke wilayah NKRI; c. Memasukkan limbah B3 kedalam wilayah NKRI; d. Membuang limbah. limbah B3. dan B3 ke media LH; e. Melepaskan produk rekayasu genetik ke media LH yang bertentangan dengan PUU atau izin lingkungan; f. Melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar (memperhatikan kearifan lokal masing.masing daerah); 
4.21

g. Menyusun AMDAL tanpa memiliki kompeiensi penyusun amdal; datilamm h. Memberikan informasi palsu, meny.atkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar. 
Perbuatan-perbuamn lindak pidana tersebut merupakan kejahatan,dan ketentuan pidananya secara lengkap dicantuman di dalam Pasal hingga 120 pada UU Nomor 32 Tahun 2009. 
3. PenIngkalan Peran PPNS Sclain penyidik pcjabat POLRI, pejabat pcgawai negeri sipil terlentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan ianggungjawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang sebagai penyidik.yang disebut sebagai Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil.Tentu saja di dalam pelaksanaannya harus berkoordinasi dengan POLRI sebagai penyidik thama. Tug. Penyidik pcjabat pegawai negeri sipil ini tercantum dalam Pasal 94 UU Nomor 32 Tanun 2009 yang pada intinya dideskripsikan sebagai berikut, 

a. Mclakukan penwriksaan atas kcbenaran laponm atau keterangan berkaitan dengan tindak pidana lingkungan: b. Melakukan pemeriksaan terhadap meinka yang diduga mclakukan tindak pidana lingkungam c. Meminta keterangan dan bahan bukti berkaiian dengan tindak pidana tersebut; d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana lingkungan; e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan dan dokumen lain; f. Melakukan penyitnan terhadap barang dan bahan hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti; g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana lingkungan; h. Menghentikan penyidilcan; 
4.22

Memasuki tempat tertentu. inemotro mati membuat rekaman audio visual; j. Melakukan penggeledanan; k. Menangkap dan meanhan pelaku tindak pidana lingkungan hidup (dengan berkoordinasi dengan POLRI). 
4. Tindak Pidana Korporasi Ketentuan pidana terkaii dengan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh badan hukum atau lebih dikenaHengan kormirasi. diatur dalam Pasal 116 hingga 119 UU Nomor 32 Tahun 2009. Kasus-kasus pencemaran dan keruankan lingkungan hidup sangat erat hubungannya dengan perekonomian,bisnis dan industri yang kebanyakan dilakukan oleh badan hukum. Oleh karenanya adalah wajar apabila badan hukum harus dilibatkan dalam pertanggungjawaban pidananya apabila terjadi pencemamn dan kerusakan lingkungan hidup. Menurut pakar hukum pidana Muladi. pertanggungjawaban badan hukum dalam tindak pidana lingkungan hidup harus memperhatikan hal-hal sebagai beribi: 
a. Korporasi meneakup baik badan hukum (legal entify) maupun non-badan hukum seperti organisasi; b. Korporasi dapat bersifat privat maupun publik; c. Apabila diidentifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan diakukan dalam bentuk organisasional, maka secara alamiah (manager, agents employees) dan korporasi dapat dipidana sendiri-sendiri inaupun bersama-sama; d. Pertanggungjawaban hukum oleh korporasi dilakukan terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggungjawab dalam badan hukum berhasil dituntut atau tidak; e. Segala sanksi pidana dapat dijatuhkan. kanuali pidana mati dan penjara; f. Penerapan sanksi pidana pada korporasi tidak menghapusbn kesalahan sescorang. 

Tindak pidana yang dapat dipertanggungjawankan kepada korporasi adalah semua pabuman yang termasuk tindak pidana yang dilakukan olch orang-orng yang mempunyai kedudukan fungsional dalam badan hukum dan 
4.23

yang melakukan perbuatan dalam lingkungan usaha sesuai dengan anggaran dasamya dan tugosnya. Suatu korporasi dianggap telah melakukan tindak pidana lingkungan hidup,apabila tindak pidana lingkungan hidup tersebut dilakukan oleh orang-orang yang ada hubungan kerja dengari korporasi maupun hubungan lain dengan korporasi, yang benindak dalam lingkungan akiivitas usaha korporasi yang bersangkutan. Hubungan kerja disini adalah hubungan hukum antara pengusah.rang perseorangan (mempunyal badan usalia) dan pekerja yang didasarkan pada perjanjian kerja. Dal. hal ini baik korporasi maupun orang-orang yang memberi perimah atau benindak sebagai pcmimpin dalam lingkungan aktivitas usaha korporasi, dapat dituntui pidana dan dijawhi sanksi pidana besena tindakan tata tenib. Esensi penegakan hukum lingkungan adalah upaya preventif maupun represif dalam menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan. Upaya preventif berarti pengawasan aktif yang dilakukan terhadap kepatuhan atas peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut kejadian konkret. Upaya preventif dilakukan dengan penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan kewenangan yang bersifat pengawasan. Upaya represif dilaksanakan dalam hal ada perbuatan melanggar peraturan, dan upaya ini benujuan untuk mengakhiri perbuatan terlarang tersebut. Akan ietapi. upaya preventif maupun represif dalam penegakan hukum hanya akan efektif apabila penegakan hukum (lingkungan) tersebut benar-benar didukung olch substansi hukum. strulaur penegakan hukum dan kultur hukum yang memadai. 

4.24






MODUL 5 
PERSPEKTIF SOSIOLOGIS PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN 

A. DESKRIPSI S1NGKAT 

Tujuan  Modul ini adalah memaparkan penegakan hukum dari aspek sosiologis. Tujuannya agar mahasiswa bisa mengidentifikasi faktor-faktor di luar hukum lingkungan yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh bekerjanya hukum.
Hasil yang diharapkan mahasiswa paham bahwa hukum lingkungan bukanlah satu-satunya faktor yang paling berpengaruh dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup di skala global maupun di tingkat nasional.

Pembicaraan hukum lingkungan dan penegakannya tidak akan utuh apabila kita hanya membicarakan keharusan-keharusan hukum yang bersifat das sollen. Hukum lingkungan harus dibicarakan juga dari aspek-aspek realitasnya. Hal ini bukan berarti berbicara realitas lebih penting tetapi keseimbangan itu perlu.
Untuk membicarakan aspek sosiologis penegakan hukum lingkungan terlebih dahulu harus diubah mindset kita dalam mengkonsepsikan hukum lingkungan. Apabila kita membicarakan hukum lingkungan dalam perspektif pendekatan yuridis normatif (doktrinal) hukum lingkungan dikonsepsikan sebagai seperangkat peraturan hukum yang dikeluarkan oleh kekuasaan tertinggi (dalam hal ini negara) dan mengandung perintah.
Dalam konteks itu hukum lingkungan dibicarakan terkait dengan kesesuaiannya dengan nonna-norma di masnya serta sinkronisasinya dengan pemturan-peraturan lainnya secara vertikal dan horizomal. Akan tetapi, ketika membicarakan hukum lingkungan dalam perspektif sosiologis, hukum lingkungan dikomepsikan sebagai sebuah realitas yang keberlakuannya di ranah nyata akan dipengaruhi dan mempengaruld aspek-aspek yang lain. Dalam perspeklif sosiologis. hukum lingkungan bukan satu-satunya faktor 
5.1

yang mencntukan efektif-tidannya pengelolaan lingkungan hidup. Ada faktor-faktor lain yang berpengaruh. Untuk manahami makna hukum dalam paspektif sosiologis maka harus dipaparkan terlebih dahulu bagaimana sesungguhnya sosiologi mempersepsikan hukum. Pemahaman persepsi sosiologi tentang hukum akan menjadi pedonum untuk mempersepsikan hukum dalam Modd V ini. Sosiologi melihat atumn hukum scbagai sesuatu yang bersifat empirik, tiank mempersoalkan nilai-nilai abstran yang dibangun dibelakangnya karena sebagai cabang sosiologi, sosiologi sebagai ilmu didasarkan pada aliran positivisme dalam ilmu pcngetahuan alam. Positivismc hanya mendasarkan pada kenyataan (empirik) dan tidak menjclaskan osensi dibalik fakta. Di dalam aliran positivisme ini, gejala yang dikaji dikonsepsikan scbagai objek yang dapat dirasionalisasi. Denakiardah, maka sosiologi tnengkonsepsilcan hukum sebagai roalitas tanpa memperhatikan aspek normalifitas aturan hukum yang bersangkutan. 
Bagan Paparan Hukum Dalam Perspektlf Yuridts.Normatlf Dan Perspektlf Yuridis Emplrik (Soslologls) 
Hukurn Dalam Perspektif Yuridis-Normalif  Dibahas kelaa.ya (kesesuaiannya) pada Hukum Dalam Perspektif Yuridis-Sosiologis Dibahas pelaksanaan aturan hukum tersebut normanama yang lebh alas hingga sampai pada landasan fdosofinya. di masyaralcal Logikanya dilandasi nitaindai yang diterima secara aprion.  Kebenaran leorinya berbasis . hukum Lolkanya tidak dilandasi ni.11ai yang ditenma secara posteriore, Kebenaran teonnya berbasis teori soslal Merupakan suatu bangunan yang validaasnya didasarkan pada nilaf-nnai yang bersifat Merupakan suatu bangunan yang valith.ya dkfasarkan pada fakta (realltas). Ukuran fakta metaywick yang kemudian turun dalam asas. asas hukurn hingga ke bawah dalam wujud peraturan hukum sebagal dasar penguktean kebenaran, Hukum dikonseps. sebagai norma hukum yang bersifat otonom, dan menentukan. Hukum dikonsepsikan sebagai realltas yang kebertakuannya bisa mempengaruhl dan dipengaruhi oleh faktonfaktor yang lain. 

Positivisme yang dikembangkan Augusic Comte menjadi dasar cara berpikir Max Weber dalatn mengembangkan sosiologi. Pada awal abad XX ilmu sosiologi sangat besar pengarannya dan anlalu disempumakan tnewde ilmiahnya. Metode pendekatan di dalam sosiologi mengadopsi pendekatan-pendekatan ilmu empiris sehingga sosiologi, walaanun ilmu ini berkaitan dengun perilaku manusia, ia tidak dapat melepaskan diri dari sikap 
5.2

naturalisme sebagaimana dikembangkan penganut positivisme. Dalam memahami kehidupan, memahami perkembangan masyarak. Max Weber mengandalkan pada penyelidikan terhadap gejala.gejala Ocenymaan-kenymaan) yang bersifat hubungan sebab-akibat dari hal-hal yang bersifat empirik. Perlu ditekankan, hanya mengandalkan pada hal-hal yang tampak kasat mata saja, ranpa memasukkan unsur-unsur nilai (jadi bebas nilai). Bagi Max Weber jelas, dengan derrakian, bahwa sosiologi harus bebas nilai. Itulah maka. di dalam sosiologi, hukum dikonsepsikan sebagai gejala atau kenyataan bekdca. Cara berpikir sepeni ini tercermin pada pemikirampemikiran sosiolog sepeni Max Weber (18.-1920), dan Eugen Erlich. Sosiologi karena dinilai memiliki mutu ilmiah yang sangal tinggi (sesuai semangat Positivisme) maka dianggap dapat memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat. Dalam pada sosiologi menganggap tanpa bantuan pengetaltuan tentang masyarakat, ahli-ahli hulcum tidak akan dapai membual peraturan-peraturan yang dapat memenula tujuan hukum 
B. HUKUM DALAM PERSPEKT1F SOSIOLOGI: MAX WEBER 
Bagi Max Weber. hukum merupakan salah satu unsur yang hidup di dalam masyarakar. Oleh karena itulah, kita bisa memahami bagaimana Max Weber mendelinisikan tentang hukum: hukum adalah fakta-fakta atau kenyataan yang muncul sebagai perkembangan hubungan sebab-akibat. Dengan kata lain. hukum adalah bagian dari gejala sosial. Pandangan ini jelas berbasis landasan empirik, aninya hukum dilahirkan dari hubungan sebab-akibat. Dengan demikian, basisnya adalah adanya realita terlebih dahulu. dan dari realita itu dapat diverifikasi hubungan sebab-akibat yang logis. Dalam ranah sosiologi, »ketentuan normatir tersebut dipersepsikan sebagai realitas empirik, yang tidak perlu didalami nilai-nilai di belakangnya. Pemahaman sosiologi ierhadap hukum hanya mendasarkan pada kenyataan. dan hanya menggunakan metode ilmiah berbasis hubungan sebab-akibat (kausal). 
lahat Thaa Hunkrs. Fitrafar Hakum Daluni Lintwon Sejand, Kanisius,Yogyakana.1982, hlm 203,07. Pada abad sosiologi banyak membenkan sumbangannya dalam 

rp7nickinrianan'nellcuakii:::.11:2711:un!" se"sos7:7:ukniakm ""uki ump,. %"ekr hukum merupakan salah sauJ gejala di dalam masylarakakjan hukum dikaji dari perspektil uksiologi . Dengan demikian. wjuan madologi hukum harliah adalah uniuk menjelaskan masyarakm dengan insuumen hukum. 
5.3

Sosiologi, karenanya tidak akan disibukkan untuk menjelaskan mensi dart suatu aturan hukum. Bagi Max Weber. tidak ada manfaamya memecahkan problem-problem konkret dalum masyarakat dengan pendekatan deduktif 2. Penyelidikan empirik justru diperlukan untuk mengerti hal-hal yang ada di dalam masyarakat. Sebagaimana diketahui, pendekatan deduktif adalah pendekalan yang mewarisi cara berpikir hukum di era Aristotelian, dan benahan menjadi landasan pemikiran hukum dari perspektif filsafat positivisme seperti: John Austin dan Hans Kelsen. hukum yang holistik tidak bisa bekerja sendiri dengan memfokuskan pada peraturan (ntle) melainkan juga pada perilaku. Dalam ilmu hukum holistik, hukum adulah untuk manusia, dan . situ akan mengalir pendekatan, fokus studi. mmodologi, dan sebagainya. hukum yang mengisolasikan diri dari keterkaiiannya dengan disiplin ilmu lain akan memiliki penjelasan yang sangat kumng. Untuk mempermudah pemahaman tentang bagaimana sosiologi mengkonsepsikan hukum, di bawah ini dipaparkan bagan deskripsi hukum dalam pemahaman normatif dan sosiologis. 
C. HUKUM DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI: EUGEN ERLICH 
Tokoh sosiologi berikutnya yang juga berpengaruh adalah Eugen Erlich. Sama seperti Max Weber, Eugen Erlich adalah penganut paham positvisme sebagaimana dikembangkan Augurte Comte. Cara mengkonsepsikan hukum pun tidak berbeda dengan Weber, jadi hukum dikonsepsikan sebagai kenyataan belaka dan menyangkal sifat normatif hukum. Seperti Weber, Eugen Erlich juga mengkonsepsikan hukum sebagai kenyataan yang muncul dari hubungan sebab-alrtbat dalam kenyataan hidup. ladi, bagi Eugen Erlich. norma hukum sesungguhnya bersumber dari kenyataan-kenyaman. bukan dari nilai-nilai yang subjektif sifatnya. 

' Dalam ranah filsafat positivis e hukum dikonsepsikan terutama sebagai sanum kontrol sosial untuk menjamin kepamian agar perilaku selalu Idap dan dapat diprediksikan dogika normologik, Jadi. ladian utamanya adalab bermotivasi mengatur . replate, Norna hukum menjadi pembenar atau penolak perilaku atau dengan kata laln, nomm bukum digumdcan untuk melakukan jastifikasi apakah suatu fakta mentiliki dasar legitimasi atau tidak. Berdassarkan hal itu maka pola bespikir yang digunakan umuk melakukan persehtiarmya adalab silogisme deduktif. 
5.4

Akan tetapi. berbeda dengan Weber,Eugen Erlich menekankan pada signifikasi sistem ekonomi sebagai faktor yang penting dalam pembentukan hukum. Bagi Erlich, ekonomi merupakan faktor yang menentukan bagi kehidupan. Dalarn batas ini pendapat Eugen Erlich sama sepeni Karl Manc yang mengatalcan, dunia ini berubah karena ekonomi bukan karena politik. Pendapat Eugen Erlich yang pragmatis seperti itu tampaknya tidak bisa dipungldri apabila dibicarakan dalam konteks kelahiran sistem hukum rnodern di Eropa Barat pada abad ke-sembilan belas. Pendapat Eugen Erlich di masa lalu itu tampak kebenarannya. apabila kita menyimak karya David M.Trubek dan Alvaro Santos dalam bukunya: 77te New Law and Economic Development A Critical Appraisat Beberapa hal dikatakan dalam buku tersebut: (I) hukum dan ekonomi merupakan variabel yang saling mempengaruhi; (2) pada periode 1950-1960 an kebijakan pembangunan ekonomi dunia dipusatkan pada pemn negara eialam mengelola ekonomi dan harus dilakukan transformasi terhadap masyarakat tradisional; (3) pada periode 1980-1990-an hukum diabdikan pada pembuatan kebijakan pembangunan dan pemildr-pernikir neo-liberal menekankan pada peran mckanisme pasar dalam pertumbuhan ekonomi3. Dalam konteks itu hukum berperan dan menjadi landasan hukum mekanisme pasar. Selanjulnya, dikatakannya. teori maupun praktik-praktik hukum ekonomi dibentuk berbasis teori-teori ekonomi, teori hukum, dan praldik-praktik kelembagaan. Kiranya pendapai David M.Trubek dan Alvaro Santos itu dapat mempmkuat argumen Eugen Erlich yang (waktu itu) belum jelas melalui apa pengaruh ekonomi bekerja atas hukum. Demikianlah maka sosiologi hukum mengkonsepsikan hukum sebagai realitas apa adanya, tanpa memperhatikan aspek normatifitas aturan hukum yang bersangkutan. Tokoh sosiologi Max Weber menekankan pentingnya penyelidikan masyarakai melalui pemahaman sejarah dan budaya. Menurut Weber keduanya harus disinergikan untuk mengemhui betul keadaan masyarakat. Melalui budaya dapat dieksplorasi lebih lanjut untuk memperoleh pemahaman (verstehen). Berbeda dengan Weber, Eugen Erlich menekankan pada pentingnya penyelidikan masyarakat melalui pemahaman fenomena ekonond karena dinamika sosial sesungguhnya bcrsumber dari 
5.5

ckonomi. Kesamaan antara Max Weber dttt Eugen Erlich adalah bahwa keduanya berjnkir berbasis positivisme. Pemikiran-pemikiran Max Weber maupun Eugen Erlich bagaimanapun juga mempunyai jasa yang besar dalam pengembangan sosiologi hukum di masa-masa berikutnya. Ajaran-ajarannya telah memperkaya kajian ilmu hukum dan menjadi inspirasi untuk dikembangkan dan dipertajam sehingga benar-benar memberi manfaat bagi ilmu hukum, Dalam perkembangan kemudian disadari bahwa sosiologi dalam bingkai pendekatan positivisme tatnpaknya terlalu miskin metodologi untuk mengungkap kebenaran-kebenaran yang sesungguhnya karena mcmandang apa yang terlihat konkret adalah kebenaran yang sesungguhnya. Karaktertstik manusia, tidak dapat diobjektifikasikan karena tindakan yang tampak (eksternal) sama bisa saja menimbulkan imerpretaxi yang beragam. Ihnu-ilmu sosial. dengan demikian. alcan selalu menjadi pengetahuan yang subjektif dan rnenurut Sanios, di dalamnya harus ada pemahaman sikap dan arti tindakan. Inilah salah satu perkembangan dari landasan dalam cara berOkir posipositivisme yang merupakan kritik terhadap cara berpikir dalam positivisme. Berdasarkan uraian di alas maka secara ontologis. cara berpikir pos, posititirme mengkonsepsikan realitas sebagaimana adanya. namun disadart bahwa sesungguhnya banyak faktor yang mempengaruhi realitas Konsekuensinya, pos,positivisme mengkonsepsikan hukum sebagai sepemngkat peraturan yang berlaku dalam masyarakai yang keberlakuannya akan dipengaruhi faktor-faktor yang lain (faktor ekonomi. politik, budaya, dan lainnya). Muneul pandanganpandangan yang bersifat antipositivisme, yang terpumpun dalam aliran Crirical. Kritik.kritik terhadap positivisme sebagai paradigma dalam ilmu-ilmu sosial, dilakukan olch penganut pemikiran Frankfirrt School (Mai. Frankfurt) yang mulai elrtis kehadirannya pada tahun 1923. dengan mengembangkan teori kritis (critical theory). Landasan crirical theory adalah cara berpikir yang dibangun aliran Neo-Marxian. yang p. intinya melakukan kritik terhadap asunrti-asumsi dasar yang dibangun kaum pttitittitt. Teori-teori yang dibangun dalam Critical Theory kemudian digunakan sebagai dasar teorens pengembangan Crirical Legal Studies. Penganut Studi Hukum Kritis percaya bahwa logika-logika dan struktur hukum muncul dari adanya power relarionships dalam masyarakat. Keberadaan hukum adalah untuk mendukung (suppon) kepentingan-

231/329 Er 
5.6

kepentingan atau kelas dalam masyarakai yang membentuk hukum tersebut. Dalam kerangka pemikiran ini maka mereka yang kaya dan kuat, menggunakan hukum sebagai instrumen untuk melakukan penekanan—penekanan (oppression) kepada masyarakat sebagai cara untuk mempertahankan kedudukannya. Berdasarkan pendapat di atas maka diketahui bahwa, ide dasar (the basic idea) Studi Hukum Kritis adalalc pemikiran bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dari politik dan hukum tidaklah netral dan bebas nilai. Brou hukum yang holistik tidak bisa bekerja sendiri dengan memfokuskan pada peraturan (nde) Inclainkan juga pada poilaku. Dalam ilmu hukum holistik, hukum adalah untuk manusia, dan dari situ akan mengalir pendekatan. fokus studi, metodologi, dan sebagainya. hukum yang mengisolasikan diri dari keterkaitannya dengan disiplin ilmu lain alcan memilild penjelasan yang sangat kurang. Sehubungan dengan itu ilmu hukum pun harus membuka diri terhadap penggunaan paradigma penelitian dalam ilmu sosial, ketika penelitian hukum mulai menyentuh ranah cmpirik. Paradigma merupakan payung berpikir atau the wtty of thinking yang dipegang scorang peneliti dalam bidang sosial uniuk menemukan cara pencliti mengkonsepsikan sebuah realitas, cara hubungan pencliti dengan objek yang dan selanjuinya untuk menentukan metode penelitiannya. Berbuis paradigma diharapkan dapat diperoleh akurasi dalam pcnclitian sosialnya. yang sangat membantu dalam penclitian hukum di ranah empiris. Demikianlah, penegokan hukum lingkungan, lidak boleh menutup diri terhadap sumbangan-sumbangan pemildran dalam ilmu sosial. Pemahaman-pemahaman terhadap perkembangan dalam ilmu sosial penting bagi penegakan hukum lingkungan, agar hukum lingkungan dapat semakin mampu mewujudkan tujuannya, yaitu menciptakan keseimbangan amara kepentingan perlindungan lingkungan dengan pembangunan. Semaldn disadari bahwa penegakan hukum lingkungan sangat sulit untuk dilcpaskan dari basis sosialnya dan dengan demikian pembahasan penegakan hukum lingkungan juga akatt menjadi kurang berkualitas apabila tidak membicarakan hukum lingkungan bersama-sama dengan masyarakamya. Olch karena tidak dapat dicegah lerjadinya interaksi antaraspek hukum dengan aspek ekonomi, politik, budaya, dan lainnya dalam proses yang saling memasuki. Upaya penegakan hukum lingkungan yang holistik tidak bisa bekerja sendiri dengan memfokuskan pada peraturan (ru(e) melainkan juga pada perilaku. Dalam hukum hukum adalah untuk manusia, dan 
5.7

situ akan mengalir pendekatan, fokus studi. metodologi dan sebagainya. Pembahasan penegakan hukum lingkungan yang mengisolasikan diri dari keterkaitannya dengan aspek.aspek atau subsistem yang lain akan memiliki penjelasan yang sangat kurang. Kegiamn Belajar I membahas perspektif sosiologis penegakan hukum lingkungan di tingkat internasional Dari uraian di dalamnya, temyata tidak semua negara punya komitmen yang sama di bidang lingkungan hidup. Buktinya tidak semua negara memiliki komitmen yang sama terhadap pengurangan emisi karbon penyebab pemanasan global. Laporan Sekjen PBB pada Pembukaan Konperensi Dunia Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg pada lahun 2002 yang lalu menyatakan antara 1992 — 2002 terjadi kekosongan pelaksanaan Agenda-2I. Di dalam Kegiatan Belajar 1 diuraikan latar belakang terjadinya fenomena kerusakan lingkungan yang terjadi dalam level global tersebut. Kegiatan Belajar 2 membahas perspektif sosiologis penegakan hukum lingkungan di era otonomi daerah. Di dalamnya diuraikan dasar hukum dan pelaksanaan penegakan hukum di era monorni daeralf.Dengan demikian pembahasannya menyangkui aspek normatif (doktrinal) dan aspek empirik non.doktrinal. Berdasarkan konsep bahwa Otonomi Daerah memberi ruang yang cukup bagi pengambilan keputusan di daerah. maka diharapkan kemudian lingkungan hidup menjadi lebih baik. Akan tempi dalam perspektif empirik (kenyataan) di cra otonomi daerah. lingkungan. dan sumber daya alam masih sering sebagai sesuatu yang tetpisah . diri manusia sehingga bisa dicksploitasi untuk kepentingan peningkatan Pendapatan Asli Dacrah (PAD). Hasil yang diharapkan dari pembahasan perspektif sosiologis penegakan hukum lingkungan ini adalah mahasiswa dapat memahami bahwa berbicara penegakan hukum lingkungan tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan bekajanya hukum lingkungan di ranah empirik. Mahasiswa atau pembaca diharapkan menyadari bahwa di ranah empirik (kenyataan di masyarakat) bekeijanya hukum lingkungan akan dipengaruhi dan mempengaruhi faktor-faktor yang lain. Pembaca atau mahasiswa harus menyadari bahwa membicarakan penegakan hukum lingkungan, bukanlah sekadar membicarakan keharusan-keharusan hukum belaka, ietapi membicamkan di mnah kenyataan sehingga dapat diketahui seberapa jauh efektifitas hukum lingkungan itu di dalam kenyataan. 
5.8

KEGIATAN BELAJAR 1 
PERSPEKTIF SOSIOLOGIS PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI TINGKAT INTERNASIONAL 

Dari perspektif yuridis-normatif, hukum lingkungan internasional (International Environmental Law) didefinisikan sebagai seperangkat aturan hukum (a set of rules) yang terdiri dari prinsip-prinsip atau asas-asas maupun penjabarannya dalam ketentuan hukum untuk mengatur perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang bcrsifat lintas batas negara.
Perspektif sosiologis ini memaparkan implementasi berbagai ketentuan internasional di bidang lingkungan hidup di dunia. Dari uraian berbasis fakta ini diharapkan mahasiswa bisa menyebutkan kembali faktor-faktor yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh hukum lingkungan internasional.

A. REAL1TAS KETIDAK-EFEKTIFAN HUKUM LINGKUNGAN 

Perjanjian intemasional di hidang lingkungan hidup sudah diuraikan sebelumnya di dalam Modul 3. Perjanjian-perjanjian internasional tersebut sceara normatif bisa diklasifikasi berdasarkan sifal mengikatnya yaitu; perjanjian yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding) dan yang tidak mengikat secam hukum (non-legally hinding).
Perjanjian intemasional yang bersifat legally binding memerlukan tindakan ratifikasi oleh negara-negara peserta perjanjian. Perjanjian dalam kategori mengikat secara hukum inilah yang disebut sebagai hard law.
Selanjutnya perjanjian intemasional yang bersifat non-legally binding tidak memerlukan ratifikasi oleh negara peserta perjanjian. Perjanjian dalam kategori tidak mengikat secara hukum inilah yang disebut sebagai soft law.

Sekalipu,. secara normatif (dalam perspektif positivisme-hukum) ada kategori perjanjian internasional yang harus diratifikasi dan ada yang tidak diratifikasi, di dalam prakteknya perjanjian-perjanjian internasional yang bersifat soft-law (yang tidak memerlukan ratifikasi) tersebut tetap dihormati olch negara.negara.
Komitmen negara-negara pada perjanjian internasional yang bersifat soft-law di bidang lingkungan, sebenarnya menunjukkan ukuran seberapa jauh negara-negara terscbut mempunyai komitmen atau kepedulian bersama atas masalah lingkungan hidup.
Secara logika akademik komitmen seperti ini secara sosiologis adalah penting, apabila negara bersangkutan tidak ingin dikucilkan dari pergaulan dunia. Akan tetapi, ternyata tidak semua negara punya komitmen yang sama di bidang lingkungan hidup. Buktinya tidak semua negara memiliki komitmen yang sama terhadap pengurangan emisi karbon penyebab pemanasan global. Hal itu antara lain terlihat dari tidak efektifnya pelaksanaan mekanisme pengurangan emisi karbon sebagaimana telah ditentukan dalam Protokol Kyoto. Hingga perjanjian internasional ini habis masa berlakunya pada tahun 2012.
Demikian pula, laju berkurangnya luasan hutan tropis semakin meningkat sehingga berkurangnya keragan)an hayati telah meningkat tajam. Akibatnya, sudah bisa diduga, kerusakan lingkungan di era pasca Konperensi Rio 1992 bukan menurun, tetapi semakin meningkat Laporan Sekjen PBB pada Pembukaan Konperensi Dunia Untuk Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg pada tahun 2002 yang lalu menyatakan antara 1992 - 2002 terjadi kekosongan pelaksanaan Agenda-21. Kondisi lingkungan justru semakin buruk. Agenda 21 adalah dokumen yang berisi rencana-rencana aksi yang disepakati negara-negara di dunia termasuk Indonesia dalam 1M Buna 1992 untuk mengimplementasikan konsep Pembangunan Berkelanjutan di abad 21. Di sisi lain, Era 1992 - 2002 adalah em paham globalisasi sedang mendunia, dimana aktor nonnegara seperti korporasi multinasional semakin didayagunakan sebagai kepanjangan tangan kepentingan negara.negara pemilik kapital. Laporan Sekjen PBB tersebut secara tidak langsung membuktikan bahwa dominannya peran korporasi multinasional dalam ekonomi dunia tidak paralel dengan membaiknya kondisi lingkungan. Benarlah bila dikatakan, globalisasi dengan segala implikasinya dapat mengubah tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Pertanyaannya, kenapa hal itu bisa tedadi? Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam perspektif sosiologis, hukum (di mnah empiris) bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi perilaku negara maupun individu, karena perilaku itu bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor atau subsistem yang lain dalam kehidupan, baik dalam skala global maupun nasional. Cara berpikir tersebut sangat bisa dibenarkan kita landaskan pada hasil temuan Talcott Parson berbasis teorinya yang sangai terkenal: icori siruktural fungsional. Dalam bahasa sederhana, teori struktural fungsional menyatakan bahwa, sesungguhnya masyarakai ilu merupakan sebuah dinamika yang terjadi karena beketjanya subsistem kehidupan yang saling mempengaruhi 
5.10

sebagai hubungan sebab-akibat. Dengan kaia lain, satu subsistem mempunyai fungsi kepada sub-sistem lainnya, atau ada hubungan fungsional satu sama lain. Sub-sub sistem tersebut meliputi subsistem ekonomi, politik, budaya, dan subsistem lainnya. Berdasarkan penelitiannya. Talcott Parson menyatakan bahwa di antam subsistem tersebut yang paling kuat adalah subsistem ekonomi. Dengan demikian, subsistem ekonomi menjadi subsistent yang akan mempengaruhi bekerjanya subsistem yang lain. Hukum pun, sebagai subsistem akan dipengaruhi oleh subsistem ekonomi. Dengan demikian, kalau hukum lingkungan (baik di tingkat intemasional maupun nasional) tidak efektif dalam perannya untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di cra globalisasi seperti sekarang ini, bim jadi sumber penyebabnya berkaitan dengan aspek ekonomi dalam kehidupan global. Untuk menunjukkan hubungan sebab-akibat antara terjadinya kerusakan lingkungan hidup dengan fenomena globalisasi dipaparkan logika scbab-akibat settagai berikut di bawah ini. 
B. GLOBALISASI DAN PENGARUHNYA PADA PERSOALAN LINGKUNGAN HIDUP 

Pendorong utama terjadinya globalisasi adalah ekspansi kapitalisme global yang menuntut agar tata perekonomian seluruh dunia "diserahkan" kepada mekanisme pasar bebas. Untuk menjelaskan bahwa globalisasi identik dengan ekspansi kapitalisme global maka penjelasannya dimulai dari pengertian kapitalisme. Di atas telah dinymakan bahwa kapitalisme merupakan paham y, bertujuan untuk melakukan pemupukan tnodal (capital accumulation) melalui proses-proses penanaman modal fropital investmenij. Konstruksi globalismi telah menumbuhkan kesadaran-kesadaran dan dcsakan-desakan uniuk membangun pemerintalum yang baik (good governance) berupa: (1) pelaksana•n demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia; (2) perlindungan lingkungan hidup: (3) perbaikan standar perburuhan; (4) peningkatan peran perempuan; (5) pemberantasan korupsi dan penekanan etika moral untuk mewujudkan pemerintahan yang baik (clean gownunent). Kelima masal•h tersebui di atas kini menjadi perhatian intemasional yang dikatakan sedang bergemk menuju mtaran global community dengan pemicu ummanya teknologi komunikasi. Kemajuan teknologi komunikasi memungkinkan orang dengan mudah akan mengetahui 
5.11

apa yang terjadi dan dilakukan olch orang lain. Pada tingkat lebih lanjut, kon, kewarganegaraan (secara sosial) bergerak dari warga suatu negara menjadi warga dunia (global community). Implikasinya tidak menutup kemungkinan gagasan-gasan hegemonis yang dikeluarkan oleh suatu pemerintah, (yang kemudian diinunbikan sebagai public conseru oleh warganya) dapat diapresiasi kembali oleh warga negara bersangkwan setelah berimerdimi dengan warga dunia. Konampuan kelompok-kelompok masyarakat untuk berkomunikasi dengan kelompok lain di luar batas wilayah negara akhimya melahirkan pendekatan baru dalam sistem imemasional yan tidak lagi memandang negara sebagai aktor tunggal dalam hubungan internasional. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan pluralis. Pendekatan ini berangkat dari asumsi bahwa sclain negara terdapat pula kelompok-kelompok masyarakat baltkan individu, yang juga berperan dalam menciptakan kmejahteraan melalui jalinan hubungan internasional, dan bahwa negara bukanlah aktor tunggal yang kebijakannya dianggap selalu dapat memenuhi kepentingan seluruh anggota masyarakat. Jadi, dengan paradigma baru ini, peran aktor-aktor nonnegara di tingisat intemasional dan nasional menjadi penting pula. Multinutional Co,mtion, LSM, Pemerintah Daerah bahkan individu kini cukup berperan dalam menentukan isu-isu global sepeni masalah keadilan sosial. demokrasi, buruh, gender, dan lingkungan hidup. Akan tetapi, habhal yang muncul sebagai implikasi globalisasi ilu tidak boleh dimaknakan begitu saja secara taken for granted karena bagaimanapun tidak bisa dipungkiri bahm hukum, dalam pembuatannya hingga pemberlakuannya bisa memuat pemiliakan-pemihakan, sekalipun ia dikatakan telah diterima berdasarkan kesepakatan. "Kesepakatan" atau apapun istilahnya, menunjukkan bahwa isi ketentuan hukum intemasional telah disetujui bersama karena diyakini bersifat netral tidak berpihak dan objektif, semata-mata demi ketertiban bersama. Akan tetapi analisis atas pasabpasal yang ada dan implementasinya sering menunjukkan bahwa suatu ketentuan hukum temyata banyak memberi keuntungan negara-negara tertentu, dan merugikan yang lain. Roberto M.Unger menyatakan bahwa sebenamya para ahli hukum abad ke sembilan belas telah berusaha untuk menciptakan struktur hukum yang dida.sari ide demokrasi dan pasar bebas, ada komitmen terhadap republik yang demokratis dan simem pasar sebagai bagian yang harus ada dalam 
5.12

republik 4. Dengan demikian, ada semacam simbiosis mutualisma antara tuntutan diberlakukannya sistem demoknui dengan mekanisme pasar bebas, yaitu bahwa pasar bebas akan memberikan keuntungan bagi kepentingan kapitalisme apabila di dalam wilayah dimana permintaan dan penawaran berlangsung dijamin adanya detnokrasi. Berdasarkan hal itu maka globalisasi. sebagai bentuk baru ekspansi kapimlisme, akan bisa berlangsung baik apabila di kawasan manapun diiumbuhkan demokmsi. Umuk itulah sejak globalismi digulirkan pada tahun 1990.an (bersamaan dengan runtuhnya Uni Soviet dan berakhimya Perang Dingin) digulirkan pula isu ( I ) pelakmnaan demokrasi dan penghormatan hak asasi manusia, (2) perlindungan lingkungan hidup, (3) perbaikan standar perbunthan; (4) peningkatan peran petempuant (5) pembemmasan korupsi dan penekanan etika moml untuk mewujudkan pemerimahan yang baik (clean govemment) ke seluruh dunia dengan dukungan sarana telmologi komunikasi yang mampu menyebarkan isu demolcratisasi ke scluruh dunia dengan cepat. Mengingat kepentingan pemupukan modal menjadi tidak terbatas maka penjajahan yang sudah tidak mungkin lagi dilakukan harus digami dengan sistem penjajahan baru yang tujuannya tetap untuk ekspansi kapitalisme global oleh negara-negam maju. Untuk bulalt (sebagaimana tela) ditulis sebelumnya) dibuat strategi baru menghadapi negara-negara Dunia Ketiga yang baru merdeka. Pembentukan Bank Dunia (World Bank), IMF (huernational Moneany Fund) dan GATT (General Agreement on Tartff And Trade) merupakan jawaban untuk melanggengkan dominasi Di dalam maktiknya. World Bank dan IMF. yang semula direncanakan sebagai lembaga keuangan untuk membantu pembangunan negara.negara, ternyata dipakai sebagai alat bagi negaramegara maju uniuk memaksakan model pembangunan yang justru hanya menguntungkan negara-negara maju. Sekarang )MF bersama-sama dengan World Bank dan teralchir dengan pembentukan WTO (World Tmde Organhation), tnenemukan diterapkannya persyaratan-persyaratan yang mengarah pada upaya mcmfasilitasi pemberlakuan ekonomi pasar bebas di negara manapun. Hasil penelitian dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kompas menunjukkan bahwa perundingan - pemndingan Putaran Uruguay telah menciptakan peraturan hukum yang ketat, di dalam masalah Hak Milik Inielektual, jasa, pertartian, dan perdagangan yang terkait dengan investusi. 

Robeno NI.Unger. The Crilical Legal Snde.1 Movemeni, llnivenityPrt. 1986, p.I 
5.13

Kenyaman-kenymaan itulah yang mewamai perubahan-perubahan tatanan sosial dalam cra globalisasi. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, lembaga-lembaga WTO dan IMF semakin jauh kekuatannya dibanding PBB, karena kekuasaan dan pengaruh PBB di bidang sosial dan ekonomi semakin menurun sekarang ini Pendekatan kebijakan PBB dalam isu-isu sosial—ekonomi dunia sangat berbeda dengan WTO dan IMF. Perbedaan-perbedaan ini dideskripsikan dalam tabel berikui, 
Bagan Perbedaan Pendekatan Kebijakan Dalam lsu Sosial-Ekonomi Dunta Di Era Globallsosi 
Lembaga-Lembaga PBB 
IMF da VVTO (Perserikatan Bangsa Bangsa) 
Memprom.kan pemberdityaan Beroperam dengan keyakman bahwa pasar intervensi publik baik di lingkat dan peran minimal negara ,sena nasional maupun intemasional pelaksanaan liberalisasi yang sangat penting untuk memenuhi cepm. kebutuhan dasar dan hak asasi manusia (HAM). 
PBB berkeyakinan bahwa pasar saja tidak mampu memecahkan berbagai masalah kordaet dalam masyaraluit, sebaliknya justru akan menciptakan masalah baru. 
Model globalisasi yang dipromosikan adalah globalisasi dengan prinsip-prinsip liberalisasi dan model pasar laissalaire serta prioritas tinggi untuk kepentingan perdagangan intemasional. 

Model globallsas1 yang dipromosikan adalah mengedepankan kemitraan . Menganjurkan agar negara kaya membantu negara yang lebih miskin 
5.14

guna memenuhi hak-hak manusia untuk pembangunan dan memenuhi kebutuhan sosial. 
Mengingat kedudukan WTO dan IMF secara riil lebih kuat pengaruhnya dibanding PBB pada masa kini, maka model globalisasi yang dipromosikan olch IMF dan WTO itulah yang mendominasi wacana globalisasi di dunia, sementam model globalisasi yang dikembangkan PBB justru semakin terpinggirkan. Anjumn PBB agar negara kaya membantu negara miskin tidak terlalu menurik bagi negara maju. Oleh karena itu, ketika berbagai Konperensi Intemasional yang Madakan oleh PBB sangat intensif membahas tata ekonomi dunia yang timpang. dan bersepakat untuk mengurangi ketimpangan sejak awal .un 1990-an seluruh mpek libemlisasi perdagangan malah melaju. Indikatomya ada. dengan meningkatnya konsentmsi dan monopoli olch korporasi-korporasi internasional, perusahaan-perusahaan keuangan, dan dominasi lembaga-lernbaga keuangan intemasional Dalam perkembangan sekarang PBB pun alchirnya tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh korporasi-korporasi internasional itu. Berdasarkan penelitiannya Martin Khor Kok Peng krsama organisasi non-pemerintah Third World Net Nia(ngan Dunia Ketiga), menymakan bahwa PBB kini semakin dekat korporasi-korpormi multinasional dalam Business Action for Sustainable Development (BASD) yang di dalam faktanya ternyata justru melakulcan praktek-praktek pembangunan yang merusak lingkungan. Korporasi-korporasi itu antara lain, Rio Thao, Shell, BP, Procter, and Gambier, Fiat dan TotalFina-Elf. Besarnya peran korporasi multinasional di cra global sekarang mempakan implementasi konsep good governance ala negara-negara Bmat sejak awal globalisasi pada tahun 1990-m. Dalam konsep ini kekuasaan negara dibuat lebih terbaim demi kepentingan pasar. Kekuaman lebih besar dialihkan kepada korporasi multinmional untttk berpartisipasi dalam pasar 

K. Kok Pens. flubangan than2 Sekaan: Kon Mau Kerjasama ? , Gramedin Pusuka Uuuna, lakana. 1993. Khor Kok Peng, Manin , Innwialinne nonand Bann Plaanan Unquay dan Kniaalatan Dania Ketiga. Gnumedia Pugaka UtamaJokana. I 993 . 
5.15

bebas dunia. Maka korporasi multinasional semakin didesak oleh negamnya untuk menancapkan dominasinya di wilayah manapun. Hasil peneliiian . Greer dan Kenny Bruno(1999) ams perilaku korporasi-korporasi multinasional, menghasilkan kesimpulan bahwa dalam masa 1990-an korporasi-korporasi multinasional telah berhasil meraih pengaruh alas berbagai urusan iniernasional. Korporasi-korporasi multinasional yang semakin menguasai ekonon6 dunia sedang berusaha melestarikan dan memperluas pasar mereka dengan menampiLkan diri seperti pelindung dan pelestari lingkungan dan pemimpin penghapusan kemiskinan. Isillah yang digunakan oleh Jed Greer dan Kenny Bruno unta tindakan korporasi multinasional itu adalah kamuflase hijau Melalui dukungan kerjasama pemerintah dan organisasi non-pemerin., dengan kamullase hijau yang dilakukannya, korporasi-korporasi multinasional itu berhasil mengendalikan pendekatan lingkungan dalam sistem PBB terutama dalam Konperensi PBB 1992 Mengenai Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janiero. Tetjadinya kerusakan lingkungan merupakan ancaman dunia yang kemudian melahirkan konsep Pembangunan Berkelanjutan. Konsep Pembangunan Berkelanjutan secara kronologi dimmuskan melalui proses yang panjang dimulai dari Konperensi Stockholm 1972 yang secara formal melibatkan banyak negara termasuk negara-negara Dunia Ketiga. Pada KTT Bunti 1992 di Rio de Janicro .Brazil . konsep Pembangunan Berkelanjutan dibahas kembali oleh lebih dari 179 negara termasuk Indonesia dan negara-negara Dunia Ketiga lainnya. Berdasarkan hal itu benarlalt bahwa konsep Pembangunan Berkelanjuian merupakan konsep yang universal sehingga menjadi agenda bersama meskipun action antar negara berbeda. Akan tetapi. sesudah World Summith on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg pada September 2002, konsep Pembangunan Berkelanjutan yang awalnya merupakan konsep yang bersifat universal pada perkembangannya menjadi konsep yang implementasinya iidak mudah karena adanya kepentingan ekonomi dalam cra globali.i, yang mekanismenya di dasarkan pada konsep pasar bebas. Perbedaan pandangan antara negara maju dengan negara Dunia Kmiga dalam menjabarkan konsep pa. bebas temyata menjadi penghalang terlaksananya implementasi konsep 

Jed Greer dan Kenny Bruno,Kanudlase Hijau, 7he Reninv Behind Corponate fi:,innnuenndim Wenetjemah: Soulim). Yaywun Obnr Indnne,a, Jaarta. halaman 2 - 
5.16

Pembangunan Berkelanjutan. Faktor atau dorongan kepentingan ekonomi ternyata menjadi pemicu berbagai tindakan negara-negara untuk tidak mengarus-utamakan aspek perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
5.17



KEGIATAN BELAJAR 2 
Perspektif Sosiologis Penegakan Hukum 
Lingkungan di Era Otonomi Daerah 
ra Otonomi Daerah pada hgikatnya merupakan tatanan baru yang 
seharu.snya bisa menciptakan kesejahteraan kepada masyarakat 
setempat melalui pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia. 
Dengan demildan, pelaksanaan otonond daerah harusnya dapat 
menumbuldcan demokrasi, meningkatkan prakarsa, dan kreatilitas dalam 
kerangka pembangunan berkelanjutan. Scbagaimana dikeitthui di dalam 
penyclenggaran pemerintahan, di Indonesia telah diterapkan otonomi daerah 
sejak tdun 1999. Keberlangsungannya didasarkan pada Undang Undang 22 
Tahun 1999,yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 
Tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini menentukan adanya 
desentmlisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desenualisasi 
merupakan penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada 
daeralt otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam 
sistem NKRI. Esensinya, pengambilan keputusan dilakukan di daerah dan 
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat di wilayahnya. Pemberian 
Otonomi Daerah dalam penyclenggaraan berbagai urusan pemerintahan 
bertujuan untuk: (l) Meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan; 
(2) Menumbuhkan demokrasi; (3) Menumbuhkan pemerataan dan keadilan. 
Berdasarkan konsep bahwa Otonomi Daerah memberi ruang yang cukup 
bagi pengambilan keputusan di daerah maka diharapkan kentudian 
lingkungan hidup menjadi lebih baik. Skenario tersebut sangai logis karena: 
(a) Otonomi Dacrah mendekatkan pengambilan kcputusan dan kebijakan 
sesuai dengan kondisi lingkungan hidup di daerah; (b) Ot000mi Dac.) 
memungkinkan pengawasan yang lebih cepat. lebih murah: (c) Otonomi 
Daerah memungkinkan terakomodasinya kcpcntingan masyarakat lokal; (d) 
Nasib daerah ditentukan olch daerah itu sendiri. 
5.23

I. Dasar Hukum 
Menurut Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan 
Daerah, sebagian kewenangan urusan pemerintahan disemIlkan kepada 
Pemerintah Daerah. Dasar hukumnya adalah Pasal 10 (1) UU 32 Tahun 2004. 
Didalam pasal tersebut dinyatakan bahwa: Pemerimahan DaerMl 
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, 
sedangkan yang tetap diurus Pemerintah Pusat politik luar negeri; 
penahanan; keamanan; ymtisia (Kehakiman); moneter fiskal; dan agama. 
Di luar itu semua menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Unwri 
pemerintahan di bidang lingkungan hidup, dengan demikian discmhkan 
kepada Daerah. Dalam soal lingkungan hidup, pernerintah ptsat lebill 
condong pada penyusunan kebijakan makro dan penetapan standar-standar 
UMUM. 
Akan tetapi, ketentuan Pasal 10 (I) tersebut di atas "dimentahkan“ 
sendiri oleh Pasal I I (I) UU 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa di luar 
enam unsan pemerintahan yang merupakan wewenang Peinerintah Pusat, 
(urusan di luar 6 itu) akan diurus bersama antara pemerintah pusat dengan 
pemerintah daerall. Berdasarkan adanya urusan bersama ini maka diadakan 
pembagian kewcnangan urusan Pcmcrintah dan Pcmcrintah Daerah. Hal itu 
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah 38 Tahun 2007 Teniang Pembagian 
Urusan Pemerintahan. Berdasarkan PP Nomor 38 Tahun 2007 ini ada 31 
urusan pemerintahan yang menjadi urumn bersama, yang terdiri dari; Urusan 
wajib (wajib dilaksanakan semua dacrah) dan Urusan pilihan (tergantung 
pada kondisi daerah masing-masing. Bisa melaksanakan atau tidak). Jadi, 
kewenangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup, tidak sepenuhnya 
kewenangan pemerintah daemh. Dia masuk urusan wajib menurut PP Nomor 
38 Tahun 2007. 
Dalam mngka pelaksanaan kewenangan di bidang perlindungan dan 
pengelolaan lingkungan hidup tentu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 
harus dijadikan damr pembentukan peraturan daemh berkaitan dengan 
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peratumn daerah di bidang 
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan pertjabaran dari 
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (dalam hal ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009) yang tetap memperhatikan kondisi daerah 
masing-masing. Sekalipun hanis memperhatikan kondisi dacrah bahkan 
kekhman, tempi yang harus ditaati adalah bahwa pemturan daerah harus tetap 

bemda dalam kesatuan sistem hukum nasional. 
5.24

2. Kajlan Kritis Terhadap Penegakan Hukum Lingkungan 
Sebagaimana telah disampaikan scbclumnya, membahas penegakan 
hukum lingkungan identik dengan rnembahas hukum di dahun 
pelaksanaannya. Apabila berbicara hukum lingkungan di tingkat pelaksanaan 
maka dalam hal ini tidak dipermasalahkan apakall seperangkat aturan hukum 
lingkungan itu memenuhi rasa keadilan atau tidak. Membahas hukum di 
dalam pelalmanaan adalah membahas hukum lingkungan akan mempengarulti 
dan dipengaruhi olch faktor-faktor lain, yang ada di dalam kehidupan 
masyarakat mperti faktor ekonomi, faktor politik, faktor budaya, faktor 
social. dan sebagainya. 
Di era otonomi daerah, lingkungan dan sumber daya alam sering 
dilihal sebagai smuatu yang terpisah dari diri manusia sehingga bisa 
dieksplobasi uniuk kepentingan peningkatan Pendapatan Asli Daemh (PAD). 
Sumber daya alam tak lebih dari derivatif kebijakan ekonomi, sumber daya 
alam hanyalah bagian dari komoditas ekonomi uniuk mendapatkan 
keuntungan. Belum banyak yang melihat bahwa sumber daya alam dan 
lingkungan memiliki kapasitas untuk mendukung segala kegiatan yang 
berlangsung di atasnya. Fenomcna kerusakan lingkungan di cra otonorra 
daerah bukanlah hal yang baru. Hal tersebut merupakan cermin bahwa 
pengelolaan lingkungan belum sepenuhnya menjadi komitmen pemerintah 
dacmh. Cara berpikir yang reduksionis dan eksploitatif telah berkembang 
mcwamai penyelenggaman pemerintahan di ert monomi dacrah. 
Esensi pcnegakan hukum lingkungan adalah upaya preventif maupun 
repre,sif dalam menanggulangi pencemaran dan perumkan lingkungan. Upaya 
preventif berani pengawasan aktif yang dilakukan terlmdap kepatuhan ams 
peraturan tanpa kejadian langsung yang menyangkut kejadian konlcret. Upaya 
preventif dilakukan dengan penyuluhan, pemantauan, dan penggunaan 
kewenangan yang bersifat pengawasan. Upaya represif dilalmanakan dalam 
hal ada perbuatan melanggar peraturan, dan upaya ini bertujuan untuk 
mengakhiri perbuakss terlarang tersebut. Akan tetapi, upaya preventif 
maupun represif dalam penegakan hukum hanya akan efektif apabila 
penegakan hukum (lingkungan) tersebut benar-benar didukung oleh 
substansi hukum. struktur penegakan hukum. dan kultur hukum yang 
memadai. Masalahnya apakah ketiga komponen tersebut di era otonomi 
daerah telah benar-benar dapat diandallcan untuk mengefektifkan penegakan 

hukum lingkungan. Di bawah ini dikaji komponen-komponen tersebut 
5.25

schinga diharapkan didapatkan gambaran yang cukup tentang sesungguhnya efektifitas hukum lingkungan bisa dipengaruhi berbagai hal. 
a. Ketentuan yang Tidak Terintegrasi Di Indonesia. ketentuan pengelolaan lingkungan hidup diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut pasal 125 UU Nomor 32 Tahun 2009 dengan berlakunya IJU ini maka UU Nomor 23 Tahun 1997 dinyatakan tidak berlaku. Didalam Pasal 124 Undang — Undang 32 Tahun 2009 dinyaialcan bahwa: 
"Pada saat Undang-Undang int berlaku,semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peratumn pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor23 Tahun 1997 Temang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68...) dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertenmngan atau belum diganti dengan peraturan yang baru berdasarkan Undang-Undang 

Dengan dennkian, sistem hukum lingkungan berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009 dapat diterangkan sebagai berikut: Pertama, UU Nomor 32Th 2009 ietap mengakui berlakunya ketentuan hukum yang dimuat dalam setiap perundang-undangan pada masing-masing sektor, misalnya sektor penambangan, sektor keltuianan, perindustrian, kesehatan, pengairan dan sebagainya termasuk peraturun pelaksanaannya di daerah. selama ketentuan hukum tersebut belum dicabut atau diganti dengan ketentuan hukum baru benlasarkan UU Nomor 32 tahun 2009. Kedua, ketentuan hukum sektoral yang mengatur aspek lingkungan hidup harus ditafsirIcan dan disesuaikan dengan asas dan kaidah hukum menurut UU Nomor 32 Tahun 2009. Dengan demikian, ketentuan hukum sektoral tidak boleh dibaca semata-mata menurut rumusan yang lama, yang dibuat dalam keadaan yang berbeda jauh dengan keadaan sckarang. Persoalannya justru pada peraturan,raturan lebih bawah yang sifatnya sektonil yang bisa dikeluarkan dari babagai Departemen. Apakah peraturan-peraturan yang bersifat sektoral yang dikeluarkan Kementerian maupun Pemerintah Daeralt telah sinkron secara vertilcal maupun horisontal ? Dengan adanya desentralisasi berbagai pelaksanaan piranti pengawasan lingkungan juga dilakukan di da., antara lain pelaksanaan evaluasi studi AMDAL(Environmentai Asessment). Akan tetapi, sulit rnenjamin bahwa 
5.26

deq, •io), uup umednqu, undnew !suMmd mdup ip ungunqAun qedmea uepupuduad uepug uminpnp, twmpe puwaq umuosid qowo, •equutpwad, new (ennumuns udupund, qmun undwnps) ump,8wmp mu, ,s-•masuo, ungupund, :umpd pqwe, wns mum iw levuepa tud'ds muun supmgd worunw uup uuuguop umeosiad weruaw wegau puouop uumns, uqpnq pms werunw uXuunwound •ugu,S, umeweidund dudn ,deqns um, udunpuwad uqmpqaw qmun mwm, egnf um,Suum, 8tid ueumunw, •pq !ms Ip plum sguoump unmos MVIum, umw,waw tedup qnwn weibu mwmw uwimuawn), qunqas •s, mes grspuwapp ueposiad epu nium nn ,uadas w!sud wema •uudul,, utwatuawn,,,C uwes 2ued( dequ, nSucunm, wewp epe, •pq uemq uegunpull.ind uep Isls mes wsiatu, uunfru qmun u•mq umemumud wuniasuo, dedn dupqnja qupp gew uudeqw, qad•e yep mmeue, upqedy •mpn a>f unqm gep umedwnd Ill,8113L11 !mnsmojap nfr, •m, ay unqui pep Smunw, upww, duum, uum, Sud eiugau ugedmmu wouopui um, puplahow upq tionm5 whqas 0011/21/1 UJll33S dusunpmq uup wsnuew depinqwns uesidummdtunw quim .11111, inuaq (tunep Ip undnew msnd mdup Ip ffleq) 01, pagau ip uM,Imdu, um, wrSaund uuudu undimwdr, menas ququde •huudtmund •u,nq uudap Ip uwes unwas wpq d!supd uewusewaq ppu CJIMS uegunduq wmpui ue,dou3w qmun (•eqpsep eutres uv•andwmu, ,gos pup dms nuaq,eu, 3uutunw Sud ueduqwni, qop umwdm, mqnsim wn, upqede ps, unqumw udu,8w, wmpm umiegnuad umbqui,ay uodugijoppay 
•wes mtclp gud qnfqo pumped •pq ewes mes uemuquu, guum fiud (suwa new ueumunwa, dep yup) IC.10,0S uequfwaq -umwfw, Jem, umpnw, 3wins nu, uunimi 1,3,0 •npuns eXuudupuad, umusup, wca ClUSDS uduap aguns dem,n. e4•.9 Isnulsul Smsew-Smsaw udnu wupp unpu, uep pusquqmg wudud wq(>Iu) iw ,s,suen inpunq ipsew Sud !mpuo, wewp ufflundw mdep qupa. ,unq whes oduw urp wunq sumenqi, quidp m2mpaq udu,Swi ,s,unq •eqqnfunuatu Sud ueppauml ps, pseq-pseq wduea •dundun unietwawd wepp ppue umpudw 111113, m(wasw qe, Sud Qualussas, unuusqupd 
s lnaowo r sywn..1 • 
5.27

secara organisatoris bersifat Badan, yang tidak memiliki kewenangan ekskhnif s.ingga sulit untuk melakukan pengendalian kerusakan lingkungan. Untuk melakukannya Badan Pengendalian Dampak Lingkungan harus berkoordinasi dengan Dinas lain yang terkait sehingga scring tumpang-tindih dalam penanganan kasus lingkungan. Persoalannya menjadi semakin sulit ketika. masing-masing sektor masih mengutamakan kepentingannya sendiri. Lagipula. pengendalian kerusakan lingkungan belum bisa diarusutamakan di bebempa daerah. Persoalan kerusakan lingkungan belum menjadi priorilas di beberapa daerah. Kelembagaan yang menangani masalah pengendalian dampak lingkungan ataupun masalah lingkungan hidup, sering masib digabungkan dengan aspek lain misalnya di beberapa Kabupaten di Jawa. lembaga yang menangani lingkungan digabung menjadi Dinas Lingkungan Hidup, Penambangan dan Energi, atau Lingkungan Hidup dan Penamanan. 
c. Kultur yang Belum Mendukung Persoalan penegukan hukum lingkungan tidak sekadar penyiapan substansi hukum dan kelembagaan yang memadai, tetapi juga menyangkut kuhur (dalam hal ini kultur hukum). Persoalan pertanw, apakah pemerimah, masyarakat dan pclaku usaha (bisnis) benar-benar mempunyai kesadaran untuk mengedepankan kepentingan perlindungan lingkungar, Apakah kepentingan melindungi lingkungan selalu menjadi bahan penimbangan setiap tindakan yang akan diputmkan oleh pemerimah maupun dunia usaha di era yang mengedepankm kepentingan ekonomi ini? Barangludi dari kacamata para industrialis, pencegahan pencemaran oleh industri adalah pekerjaan yang tidak murah dan memperpanjang rantai produksi. Persoalan kedua, berbicara masalah penegakan hukum lingkungan. akan lebih mcmiliki greget kalau melihatnya bukan dari kacamata keharusan-keharusan hukum. Kalau melihat dari keharusan-keharusan peraturan maka hasilnya akan mengecewakan, karena ketentuan hukum sering finggal ketentuan hukum saja. Kita melihatnya dari karakteristik kasus-kasus lingkungan yang terjadi di lapangan, bahwa kasus-kasu.s lingkungan umumnya merupakan perkara yang menghadapkan pihak indusiri dan atau pemerin. (sebagai pihak yang kwit) dengan masyarakat selaku korban ( yang berada pada pihak yang lemah). Apabila kmusnya harus menjadi kasus hukum yang memeriukan proses litigasi, maka hasil althirnya akan 
5.28

menempatkan I (satu)pihg di posisi menang dan pihak lain di posisi kalah. Penentuan siapa kalah dan siapa menang dalam proses yang formal, terau didasarkan siapa yang dapat mmtherikan bukti paling meyakinkan. Bagi kepentingan litigasi, pembuktian penting. Pada umumnya pihak yang kuartah (baik indmtri dan atau pernerintah) yang dapat memberikan bukti secara meyakinkan dartpada pihak korban. Pihak yang kuat selalu memiliki aksm, sumberdaya dan ekspertasi yang dapat mendukung argumennya. sedangkan masyarakat (walaupun scring dibantu LSM) tetap lemah dalam pembukrtan. Pertanyaannya apabila dalam pernbuktian ini pihak yang kum (baik industri atau pemerintah) dinyatakan tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum lingkungan apakah masyarakat siap kalah secara yuridis? Apakah masyarakat siap menerima konsekuensi bahwa kesadaran hukum tidak sekedar mentaati peraturan tetapi juga menerima dan menghormati keputusan Pengadilan ? Penegakan hukum lingkungan bukan sekedar menerdpkan hukum (peraturan). la memerlukan dukungan secara akumulatif dan sinergis antara substansi peraturan, kelembagaan yang menegakkan serta ku. hukum yang mendukung. Penegakan hukum lingkungan menjadi rumit karena persoalan lingkungan di erd tatanan smial sekarang ini terkait dengan masalah ekonomi, sosial dan kepentingan daerah (maupun negara) di cra globalisasi dan masalah kultur menghormaii hukum. Dari uraian di aias, dapat dipahana bahwa temyata penegakan hukum lingkungan di Indonesia merupakan hal yang tidak mudah dilakukan. Penegakan hukum lingkungan tidak sekedar menerapkan peraturan. Apabila demikian cara bepikimya niscaya ia tidak akan memberikan hasil, sebab ia memerlukan tiga syarat tersebut di alas secara serentak. Di Indonesia kesiapan ketiga hal tersebut bukanlah hal yang bisa divmjudkan secara cepat sehingga masalah lingkungan di Indonesia selalu terkemn berlarta-larui penyelesaiannya. Banyak hal yang harus dilakukan serentak apabila ada upaya perbaikan lingkungan di ma.sa mendatang derni keberlanjuian kehidupan. Faktor yang paling utama adalah mpek ekonomi. Sekalipun komitmen lingkungan di Indonesia tergolong awal dibanding negara-negara berkembang lainnya, tetapi kondisi lingkungan makin hari makin beriambah buruk. Era monomi daerah yang cenderung berorientasi pada peningkatan PAD temyata makin memperburuk kondisi lingkungan. Menjaga dan memelihara lingkungan untuk menjamin keberlanjutan kehidupan, temyata belum menjadi kepcdulian apalagi prioritas. Persoalan-
5.29

perso. lingkungan di Indonesia kini semakin meningkat frekuensinya dan kompleks. Jadi tidak mengherankan jika kontlik (perselisihan) yang berkaitan dengan masalah lingkungan alcan semakin benambah. 
d. Pemerbnahan Belum Berbasis Kebenaran Ekologis Bencana alam yang terjadi beberapa waktu terakhir, terjadi antara lain karena orientasi berpildr kita yang menyangkal kebenaran ekologis (ecological trtuh). Kebenaran ekologis adalah kebenaran yang didasarkan pada sesuatu yang diyaMni bahwa, manusia adalah bagian . proses ekologis. Tanpa alam, tanpa makhluk hidup lain, manusia tidak akan dapat benahan hidup. Kalau manusia melakukan pennakan alam, niscaya akan terjadi gangguan kehidupan dan akan berdampak pada ekonomi. Kesulitan ekonomi yang dialami masyarakat pasti akan berpengaruh pada stabilitas politik penyelenggaraan negara. Inilah basis kebenaran ekologis. Perilaku yang tidak memperhaiikan kebenaran ekologis menunjukkan dominannya pandangan antroposentrisme. Antroposentrisme adalah pandangan tentang hubungan manusia dengan lingkungan hidup, yang menempatkan kepentingan manusia sebagai pusatnya. Secam ekstrem, pandangan antroposentrisme menolak keberadaan nilai-nilai intrinsik alam. Muncullah kemudian sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian terhadap alam dengan segala isinya. Manusia mengingkari kebenaran-kebenaran ekologis dan akibatnya terjadilah pemanasan global, bencana banjir, tanah longsor lainnya. Sinyal-sinyal yang telah disampaikan oleh alam rnelalui kejadian bencana alam, mengharuskan kita untuk menemukan kembali mlasi yang benar dalam perspektif yang tidak saling mematikan antara manusia dengan lingkungan. Kalau manusia (dan masyarakat) tidak mau merusak dasar-dasar eksistensinya sendiri, ia hams berubah. Perlu dikembangkan silcap dan kesadamn baru tentang hubungan manusia dengan lingkungan. termasuk tanggung jawab manusia terhadap kelestarian lingkungan hidupnya. Jadi yang harus dilakukan adalah pergeseran pemildran dari perilaku yang eksploitatif menuju sikap yang lebih menghargai eInistensi lingkungan sebagai penopang kehidupan yang tak terbantahkan. Oleh karena itu, penyelengsaraan kepemerintahan yang menyangkal kebenaran ekologis harus segera diakhiri. Tentu disini dibutuhkan tindakan konkret. Maka pembenahan kelembagaan, aturan hulcum dan peningkatan wawasan tentang ancanum kerusakan lingkungan, menjadi keharusan. Ciri 
5.30

kepemerimahan seperti itulah yang harus dipenuhi untuk menuju penyelenggaraan demokrasi berbasis kebenaran ekologis. Kebenaran ekologis. sebagai realita yang tak terbantahkan harus menjadi dasar pertimbangan penyelenggaraan kepemerintahan di masa kini. Mengingat makin kritisnya kondisi Fmgkungan yang bisa mengancam kehidupan, maka sudah saatnya dilakukan pengintegrasian dimensi lingkungan hidup dalam penyelenggaraan demokrasi di negara kitu 
3. Apa yang Harus Dllakukan, Melihat alasawalasan itu penanyaan kemudian adalah apa yang harus dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sebagaimana dimaksud diatas? Ada beberapa usulan yang bisa dipertimbangkan untuk memperkuat kelembagaan institusi lingkungan di daerah sebagaimana diuraikan di bawah ini: 
a. Memperteg a s Kewenangan Di dalam uraian ini tidak dilakukan pengkajian tentang status institusi pengendali lingkungan di daerah, yang bisa selingkat kantor. dinas atau badan. Persoalan yang dikedepankan adalah cakupan kewenangan institusi tersebut. Selama ini terlihat seolah kewenangan instbusi pengendali lingkungan di dae. ada persimpangan jalan. Pertanyaan yang patut diajukan adalah apakah kewenangan tersebut bersifat eksklusif atau bersifat ifficlusif ? Dengan mengikuti pendapat Bobi B. Setiawan kewenangan bersifai eksklusif berani adanya kewenangan penuh pada institusi lingkungan di daerah untuk melakukan pengelolaan lingkungan (termasuk konservasi). Ini bisa dikonolasikan baluva Depanemen atau Dinus lain tidak harus bertanggung jawab untuk mengelola lingkungan hidup. Kewenangan institusi pengendali lingkungan den, demikian bersifat subordinatif dan harus kuat. Akan teiapi kewenangan inslitusi lingkungan didaerah tidaklah bersifat elcsklusif seperti itu. 
Selanjutnya kewenangan bersifat inklusif berarti mewajibkan sedap seMor Departemen atau Dinas untuk melakukan upaya pengelolaan 
5.31

lingkungan lingkungan hidup sesuai dengan kegiatan bidang sektomya. Denm demikian kewenangan tembut merupakan kewenangan yang bersifat koordinatif. Apabila dilihat di dalam faktanya, kewenangan inilah yang dimiliki olch instbusi pengelola lingkungan di daerah. Efektivitas kewenangan yang bersifat koordinatif mensyaratkan ada, kesadaran bersama dan persepsi yang sama temang bagaimana menghargai lingkungan. Secara teoretik sifat koonlinatif bisa efektif dilaksanakan apabila masing-masing sektor tersebut bersedia untuk dikoordinasi dan tidak ada ego-sektoral. Menghilangkan sikap egosektoral demi terlindunginya kepentingan lingkungan bukanlah hal yang mudah dilakukan.karcna ia menyangkut masalah kultur yang sudah mengakar di masing-masing institusi jault sebelum dibcntuknya institusi-institusi pengendali lingkungan. Persoulan bisa menjadi rumit ketika urusan pengelolaan lingkungan harus digabungkan dengan urusan lain seperti mambangan, sehingga institusi yang mengurusnya bisa menjadi Dinas Lingkungan Hidup dan Penambangan misalnya. Beberapa Kabupaten di Jawa Tengah menggabungkan dua urusan itu dalam saui institusi. Penanyaan yang muncul, apakah tidak ada konflik kepentingan didalam kineija institusi tersebut? 
b. Alempentat Peran Keiembrigaan Telah disebutkan bahwa dalam implementasi Pembangunan Berkelanjutan (Sumainabie Dewlopment), seluruh kegintan pembangunan harus betul-betul didasarkan atau sesuar dengan perencanaan penataan ruang. Kebijakan umum yang berkenaan dengan penataan ruang merupakan hal yang penting mengingat sejak tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia telah meningkat pesat hingga mencapai 220 juta jiwa, sementara lahan yang ada tidak benambah sehingga membawa beban besar bagi penyediaan lahan. Kebijakan penataan ruang diharapkan dapat memenuhi tuntutan berbagai kebutuhan manusia secara adil dan wajar. Terlihat bahwa penataan ruang merupakan faktor penting dalam pengendalian lingkungan agar tidak terjadi degradusi lingkungan. Proses-proses perubahan lingkungan dimulai dari penataan ruang. Dalam hal ini perlu dipenanyakan apakah dalam kewenangan yang bersifat koordinasi tersebut, kewenangan institusi pengendali lingkungan juga mencakup penataan ruang yang meliputi, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang? Dengan kata lain, apakah institusi tersebut juga dilibatkan dalam penataan ruang di daerahnya? 
5.32

c. Pengembattgan Kapasi t a SDM Penekanan pentingnya melakukan peningkatan kapasitas kelembagaan tentu berimplikasi pada penguatan sumber daya manusia. Pengembangan kapasims sumber daya manusia merupakan hal penting dalam pengelolaan lingkungan hidup, lebih-lebih untuk kepentingan masa mendatang mengingat ke depan, permasalahan lingkungan semakin kompleks dan tidak hanya berskala lokal tetapi berskala global sepeni masalah pencemaran bersifat limas batas (tmnsboundary pollution) dan tnasalah bahan beracun dan berbahaya (B3). Dalam kaitan ini maka wawasan aparat institusi pengelola lingkungatt harus menjadi priorims, Pengembangan sumber daya manusia, selain diaralikan pada pengembangan kepemimpinan, juga mencakup pengembangan semangat corporate (cmporate culture). Semangat corporate yang dimaksud adalah semangat menjalankan visi dan misi institusi dengan paradigma berpikir yang tidak sekedar menjalankan tugas (menjalankan pe)ntah atas,u) tetapi benar-benar profesional dan etos melindungi lingkungan demi kepentingan pembangunan berkelanjutan. Perlindungan lingkungan (dan juga penegakan hukum lingkungan) dapat berjalan efektif apabila aparat institusinya mempunyai integritas dan komitmen tinggi dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, ada kesiapan struktur yang mendukung kinerja institusi pengendali lingkungan. 
d. Mendorong nunbultnya Dukungan Legislatif dan Eksekutif pBlilik Selain masalah ketidakpastian hukum dan tata ruang, penyebab kerusakan lingkungan di cra monomi daerah adalah kurangnya kekuatan yang memilki sense of rhe environment (kekuatan politik yang peka terhadap lingkungan). Untuk menumbuhkan sense of the environment ini maka institusi pengelola lingkungan mau ti. mau lmus melakukan advokasi kepada lembaga legislatif maupun eksekutif untuk mendorong adanya perhatian terhadap environmental rights and justice. Dari hasil advokasi ini diharapkan akan muncul dukungan dari pihak legislatif dan eksekutif terhadap upaya perlindungan lingkungan di daerah. Dukungan ini merupakan faktor ekstemal yang berperan penting dalam menentukan kinerja institusi pengelola lingkungan. Dukungan ini akan semakin melegitimasi pemn institusi tersebut dalam menjalankan tugasnya. 
5.33

e. Pensembangan Sinem Moniforing dan Evaluasi Salah satu aspek penting dalam memperkuat kelembagaan lingkungan daerah adalah adanya sistem monitoring dan evaluasi yang dapat digunakan untuk mengetahui kapasitas dan kinerja institusi lingkungan hidup dalam menjalankan misi dan fungsinya9. Dengan adanya sisiem monitoring dan evaluasi ini akan dapat diukur seberapa besar kekuatan dan kelemahan institusi ..ladi ia berfungsi sebagai sarana self.evaluation yang selanjutnya berguna untuk merumuskan programprogram peningkatan kapasitas institusi yang bersangkutan. 
f Peninskatan Peran Seria Masyaraku Uraian di atas cukup menggambarkan hal yang harus dilakukan dalam rangka penguatan kelembagaan institusi pengelola lingkungan didaerah. Akan tetapi, penguatan kelembagaan harus dibamngi dengan upaya-upaya pembenahan struktur-struktur internal. pembenahan kuhur lama yang (mungkin, tidak mendukung dan pembuatan peraturan-peraturan sebagai landasan legitimasi Idnerja baru. Tantangannya pun tidak ringan. Betapa tidak karena masalah perlindungan lingkungan makin terasa jauh di pinggiran. terdesak oleh pengarus-utamaan kepentingan ekonomi. Pengelolaan lingkungan pun sesungguhnya mcrupakan urusan bersama pemerintah — pelaku usaha dan masyarakat. Urusan pengelolaan lingkungan hidup terlalu penting untuk diserahkan begitu saja kepada pemerintah. Masyarakat (publik) dan pelaku usaha juga berhak untuk ikut mengelola dan melindungi lingkungan. Partisipasi masyarakat tersebut dapat dilakukan melalui perannya di tingkat: 
I. Peran serla di tingkat penyusunan subsiansi peraturan (hukum) Sudharlo P.HadiM menyatakan hukum yang baik sesunggulmya merupakan kontrak sosial di antara pihak-pihak yang berkepentingan yang dirumuskan bersama dan ditaati untuk 
Bobby B.Sctiawan. Mengapa Diperlukan Kementrian Lingkungan tttdtttt ang Kune..dirnuat dalam PSLH Newsletter. Edisi 8 Mei. Agustus 2004. Pusat Studi igdatuiPK. "". `,17. 1:(aird,2;: 'Ir<deilentZsgia: L..rditi.isiiksL,,,e;tetibaga,g7n;feilEinnLingkungan Di Daemb", dimuat dalam PSIii Newsletter Sudbarto P. liadi. flukree Potthongtoutt, Iterkel,rwer, . Badan Penerbit UNDIP. Semarang, 
5.34

dilakukan. Dalam konteks inilah maka mekanisme penyusunan suatu peraturan perundang-undangan menjadi suatu hal yang penting. Penyusunan suatu peraturan hukum dengan demikian tidak hanya menyangkut prosedur tempi juga keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeho)der). Salah satu makeholder tersebut adalah masyarakat. Berkaitan dengan kedudukan masyaralcat ini maka issu yang muncul adalah tingkat keterwakilan (representativeness); tingkat keterlibatan (degree of participation) dan pengaruh input yang diberikan pada produk akhir dari peraturan perundang-undangan.Dengan demikian masyarakat merupakan mitra dalam pengambilan kebijakan. bersama-sama membahas dan mencari solusi. 2. Advokasi di tingkat kelembagaan; Advolcasi dalam hubungan ini diartikan sebagai tindakan untuk memberikan kesadaran atau pencerahan yang bisa diberikan kepada masyarakat maupun pcmerintahan. Advolcasi bisa dilakukan olch masyarakat kepada pihak legislatif maupun eksekutif agar mereka peka terhadap tuntutan perlindungan lingkungan dan mendorong adanya perhatian terhadap environmentai rights and justiee (tennasuk akses mendapatkan informasi tentang lingkungan). Ada sinyalemen bahwa pcnycbab kerusakan lingkungan aniam lain dissbsbkssslshkssssgsysksksslsspslilikyssgsssssiliki sense of the environment dan adanya ketidak efektifan hukum lingkungan dan pengaturan tam ruang. Oleh karena itu, advokasi semacam ini dillarapkan dapat mendorong adanya peninglmian kapasitas sumber daya manusia, penguatan peran kelembagaan seperri lembaga perijinan dan peningkatan koordinasi antar dinas atau lembaga kepemerintahan. Advokasi semacam ini ientu harus dilakukan secara cerdas. 
g. Mendomng terbentuk, kuhur pentaatanterhadop hukundingkungan . Pentaatan terhadap hukum lingkungan tidak semam-mata harus mengandalkan pada pendekatan yang formalistik-legalistik tetapi juga harus memperhatikan aspek lain yang peming yaitu budaya sadar lingkungan (budaya yang bersumber dari persepsi menghargai lingkungan) yang harus ditumbuhkan di kalangan pemerimallan maupun masyarakat dan pengusaha. 
5.35

Prinsip umum yang harus dijadikan landasan dalam menumbuldcan kultur hukum ini adalah bahwa:
1. Mendapatkan lingkungan yang baik adalah bagian dari hak asasi manusia;
2. Perusakan dan mau pencemaran lingkungan adalah perampamn hak asasi manusia;
3. Tindakan pemsalcan atau pencemaran lingkungan adalah pelanggaran hukum. 

Persoalan perlindungan lingkungan tidak sekadar penyiapan substansi hukum dan kelembagaan yang memadai, teiapi juga menyangkut kultur.
Persoalan Pertama, apakah pemerintah, masyarakat dan pelaku usaha (bisnis) benar-benar mempunyai kesadaran untuk mengedepankan kepentingan perlindungan lingkungan? Apakah kepentingan melindungi lingkungan sclalu menjadi bahan pertimbangan setiap tindakan yang akan diputuskan oleh pemerintah maupun dunia usaha di era yang mengedepankan kepentingan ekonomi ini? Barang kali dilihat dari kacamata para industrialis, pencegahan pencemaran oleh industri adalah pekerjaan yang tidak murah dan memperpanjang rantai produksi.
Persoalan kedua, berbicara masalah penegakan hukum lingkungan, di sini dibahas dari perspektif realitas bukan dari kacamata keharusan-keharusan hukum. Kalau melihat dari keharusan-keharusan peraturan maka hasilnya akan mengecewakan karena ketentuan hukum sering tinggal ketentuan hukum saja. Apabila dilihat dari karakteristik kasus-kasus lingkungan yang terjadi di lapangan, kasus-kasus lingkungan umumnya merupakan kasus atau perkara yang menghadapedges pihak industri dan atau pemerintah (sebagai pihak yang kuat) dengan masyamkat selaku korban (yang berada pada pihak yang lemah).

Apabila kasusnya harus menjadi kasus hukum yang mernerlukan proses maka hasil akhimya akan menempatkan 1 (satu) pihak di posisi menang dan pihak lain di posisi kalah. Penentuan siapa kalah dan siapa menang dalam proses litigasi yang formal, tentu didasarkan siapa yang dapat memberikan bukti paling meyakinkan. Bagi kepentingan litigasi, pembuktian adalah penting.
Dalam hubungan ini perlu disampaikan kepada pembaca bahwa berdasarkan realitas, pada umumnya pihak yang kuatlah (baik industri dan atau pemerintah) yang dapat memberikan bukti secara meyakinkan daripada pihak korban. Pihak yang kuat selalu memiliki akses, sumber daya dan ekspertasi yang dapat mendukung argumennya, sedangkan masyarakat (walaupun scring dibantu LSM) temp lemah dalam pembuktian.
Kasus Buyat dapat merefleksikan fenomena ini. Pertanyaanya apabila dalam pembuktian ini pihak yang kuat (baik industri atau pemeriniah) dinyatakan tidak lerbukti melakukan pelanggaran hukum lingkungan apakah masyarakat siap kalah secara yuridis? Apakah masyarakat siap mencrima konsekuensi bahwa kesadaran hukum tidak sekadar mentaati peraturan tetapi juga mencrima dan menghormati keputusan Pengadilan? Di sinilah pentingnya peran pemeriniah daerah yang bisa memprakarsai dilakukannya langkah mediasi untuk mencapai penyelesaian lingkungan yang lebih aspiratif. 

h. Penyusunan Perda Perlindungan Lingkungan Ilidup 
Isu kerusakan lingkungan hidup kini sedang maraknya dibahas oleh kalangan masyarakat, LSM, pemerintah, dan tak ketinggalan pula DPRD. Hangatnya pembahasan masalah kerusakan lingkungan akhir-akhir ini setidaknya membuktikan bahwa isu lingkungan mulai disadari sebagai persoalan penting karena menyangkut masa depan keberadaan suatu wilayah 
sebagai penopang kchidupan masyarakatnya. Kerusakan lingkungan pada masa mendatang tentu akan menambah beban ekonomi bagi masyarakatnya. 

Untuk mengatasi isu-isu lingkungan, tentu dibutuhkan landasan hukum yang berfungsi memberi dan memperkuat mandat serta otoritas bagi aparat terkail di pemerintah untuk menjalankan perannya. Dalam hubungan inilah kita menyambut baik disusunnya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Lingkungan Hidup yang telah lahir di beberapa Propinsi, Kota, dan Kabupaten. Namun, sebelum Raperda ini disahkan sebagai Perda, ada baiknya mendengarkan suara dari berbagai pihak agar kelak bila menjadi Perda, aturan ini bisa berjalan cfcktif, dapat mengatasi persoalan yang spesifik dan khas di kota Scmarang. 

Sudharto P. Hadin , menyebutkan bahwa hukum lingkungan yang baik :
Pertama,  harus memuat prinsip-prinsip pembangunan krkelanjutan. Artinya bahwa konsep pembangunan berkelanjutan (yang menyeleraskan kepentingan pembangunan dengan pengelolaan lingkungan) harus menjadi spirit penerbitan Raperda Lingkungan Hidup ini.
Kedua, menggunakan pendekatan ekosistem. Raperda ini sebagai bagian dari hukum lingkungan. aturan-aturan didalamnya agak berbeda dengan Raperda yamg lain. Dalam mengarustamakan persoalan lingkungan, jelas substansi Raperda ini harus scientific driven atau mengutamakan pendekatan ilmiah. Persoalan lingkungan tidak bisa didekati hanya secara legal formal seperti pada aturan lainnya.
Ketiga, Berkeadilan; artinya sasaran pengaturan Raperda ini tentu bukan saja pengusaha atau kalangan industri. Pelaku perusak lingkungan bisa oleh siapa saja : individu, masyarakat, konsultan bahkan negara. Jadi sasaran pemberlakuan Perda ini tidak bisa diskriminatif.
Sekarang tinggal kita lihat saja, apakah ideal dan peran-peran diatas sudah terefleksikan dalam peraturan daerah di bidang lingkungan hidup yang telah di susun oleh pemerintah kota maupun kabupaten sekarang ini. Untuk membuktikannya harus dilakukan kajian terhadap aturan yang sudah tertulis secara pasal per pasal dan tentu saja catatan-catatan persiapan yang menjelaskan maksud pencantuman pasal pasal itu. Sekiranya, memang belum merefleksikan ideal dan peran-peran itu maka pintu perbaikan kembali terhadap peraturan daerah ini harus dibuka lebar-lebar.


MODUL 6
MODLJL. 6 
Tantangan Penegakan Hukum Lingkungan: Urgensi Pelibatan Masyarakat Hukum Adat dan Pergeseran Paradigma Pengelolaan Lingkungan Hidup 
Prof. Dr. Adji Samekto, S.H., M.Hum 
PENDAHULLJAN 
DESKRIPSI SINGKAT 

Penegakan hukum lingkungan di era globalisasi dan Monomi daerall tentu berbeda pelaksanaannya dengan penegakan hukum lingkungan di masa lalu. Penjelusannya, karakter hukum yang berlaku di era globalisasi sangat dipengaruhi oleh semangat mengglobalkan pasar bebas multilateral, semangat privatisasi, semangat demokrasi, dan semangat menjunjung Hak Asasi Manusia. Implikasinya berbagai peraturan hukum di Indonesia terkait dengan tersebut terbit di Indonesia, sekalipun, dalam batas tenentu diperdebatkan kesesuaiannya dengan semangat Konstitusi. Demikian pula karakter hukum yang berlaku di cra monorth daerah, sangat dipenganthi semangat penyelenggaraan pemerintah daerah yang tidak ingin banyak dicampuri oleh kewenangan pemerintah pusat, semangat untuk meningkaikan pendapatan asli daerah. Implikasinya berbagai peraturan daerah terkait dengan hal-hal tersebut kemudian diterbitkan yang kadang-kadang dalam balas tenentu berteniangan dengan semangat Konstitusi. Pernymaan tersebut di atas mengindikasikan bahwa karakter hukum dan bagaimana penegakannya tentu disesuaikan dengan tatanan sosial yang ada. Pemyaman tersebut juga mengindikasikan bahwa pembicaraan hukum dan penegakannya tidak dapat dilepaskan dari tatanan sosialnya. Demiktan pula dengan karakter hukum lingkungan dan penegakannya tentu menyesuaikan dengan kebutuhan dan tatanan sosial yang ada. Dalam menyesuaikan dengan kebutuhan dan tatanan sosial baru di era globalisasi dan otonomi daerah itu, 
6.1

penegakan hukum lingkungan menghadapi tantangan-tantangan baru yang harus mendapatkan perhatian para pelaku penegakan hukum lingkungan. Tantangan tersebut adalah, ( I) pelibatan masyarakat adat atau masyarakat hukum adat, sena, (2) adanya pergeseran paradigma pengelolaan lingkungan hidup, dari yang semula didominasi oleh peran negara berkembang adanya peran masyarakat itu sendiri dalam pengelolaan lingkungan hidup. Kedua hal tersebut menjadi fokus pembahasan dalam Modul VI ini. Pada hakikatnya penegakan hukum lingkungan merupakan upaya mewujudkan keharusan-keharusan hukum yang bersifai id6 (das sollen) ke dalam alam nyata. Dengan demikian, penegakan hukum lingkungan sesunggultnya merupakan tindakan yang akan dapat berjalan efektif apabila telah terbentuk kultur hukum yang mendukung sikap Iindak seseorang dalam penegakan hukum lingkungan. Kultur hukum tersebut bukanlah kultur hukum yang bersifat pasif (dalam arti diterima masyarakat sebagai keharusan-keharusan belaka) melainkan kultur hukum yang bersifat aktif (ditcrima masyaralsat karena dorongan moral dan kesadarannya mengharuskan adanya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup). Dalam pengcriian penerimaan sccara aktif, berani penerimaan masyarakat terhadap kesadaran perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus selalu menyesuaikan dengan perkembangan tataInan sosial yang ada. Tatanan sosial dalam hal ini dikonsepsikan scbagai dinamika masyarakat yang berkembang menjadi pola.pola hidup masyarakat warga maupun negara dan akhimya mempengaruhl kebijakan-kebijakan pemeriniah negara dalam berbagai bidang. Tatanan sasial yang secara signifikan mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah pusat maupun pemerintah daeralf adalah fenomena globalisasi dan otonomi daerah. Sebenarnya, globalisasi dengan monomi dacrah fysendid mcrupakan dua gcjala (fenomentl) ygsaling terimit sebagai hubungan sebab-akibat. Pendorong utama terjadinya globalismi adalah ckspansi kapitalisme global yang menuniut agar tata perekonomian seluruh dunia "diserahkan" kepada mekanisme pasar bebas. Di dalam Modul V Kegiatan Belajar I telah dibahas globalisasi dan pengaruhnya terlmdap lingkungan hidup. Dengan demikian, Nfodul V tidak dapat dipisahkan dari pembahasan dalam Modul VI. Tujuan dari Modul VI ini adalah menguraikan implikasi dari perubahan tatanan sosial yang ada terhadap penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Laiar belakang umian ini didasari fakta bahwa di era globalisasi sekarang ini, penegakan hukum lingkungan di iingkat nasional maupun daemh mendapat 
6.2

tekanun sangat signifikan dianiara tuntutan: (I) pasar bebas: (2) kesadaran 
masyarakat temang hak-haknya atas lingkungan hidup yang baik sehat sena: 
(3) kepentingan politik pemerintahan di tingkat pusat maupun daemh. Boleh 
dikatakan persoalan penegakan lingkungan hidup berada di dalam pusaran 
ketiga hal tersebut. Menghadapi hal-hal tersebut ternyma terdapat berbagai 
tantangan yang justm menjadi persoalan sendiri. Di antaranya, belum 
tumbuhnya kesadaran ecological Irudi, belum tumbuhnya pcmahnman 
tentang kebijakan publik benvawasan lingkungan. Dampak dari hal-hal 
tersebui kemudian muneul dalam berbagai fenomena, misalnya terkait 
dengan proses litigasi di bidang lingkungan hidup. Sulit menemukan 
Keputusan Hakim dalam penyelesaian kasus lingkungan hidup yang 
mempertimbangkan dasar pendekatan ilmiab (scientific appmach) dalam 
keputusannya. Sulit menemukan Keputusan Hakim dalam penyelesaian kasus 
lingkungan hidup yang mendasarkan pada pandangan yang holistis tentang 
keberadaan lingkungan hidup. Sulit menemukan politisi di Parlemen di 
tingkat pusat maupun daerah, yang bersemangat tinggi membela kepentingan 
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Akibatnya, pembeniukan 
perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, melalui Parlemen menjadi 
sangai lamban. 
Sckalipun demikian. dunia penegakan hukum lingkungan tidak harus 
dianikan selalu dalam pikiran pesimis, scolah.olah tidak ada harapan dalam 
upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sebenarnya ada satu 
komponen masyarakat di Indonesia yang memiliki peran penting dalam 
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yailu masyarakat hukum 
adat atau juga disebut masyarakat adat. Dari sisi empirik tidak bisa dipungkiri 
bahwa keberadaan mereka sangat penting dalam membantu tugas pemerintah 
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Keberadaan 
mereka sudah jault sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri. 
Mereka memiliki pengetahuan tradisional yang kemudian terpumpun dalam 
seperangkat kearifan lokaHan akhimya menjadi pedoman hidup, dilakukan 
terpola dan menimbulkan msa psikologis untuk dilaksanakan. Akhirnya. 
Nla-pola tetap yang dikehendaki bersama ini menjadi bagian hukum adat 
Kedudukan masyarakat hukum adat seeara formal di berbagai pemturan 
perundang-undangan di Indonesia, namun realitanya tiduk bisa dipungkiri 
bahwa mereka scring dimarginalkan atau tidak diperhatikan keberadaannya 

ketika, negara berkepentingan dengan pembangunan. Hal ini sesungguhnya 
6.3

tidak bolch terjadi karena marginalisasi ierhadap mercka sesungguhnya 
merupakan pelanggaran hak asasi manusia. 
Dalam perkembangan sekarang, upaya perlindungan, dan pengelolaan 
lingkungan hidup juga datang atas prakarsa masyarakat, bukan hanya karena 
perintah undang-undang. Kenyaman ini menunjukkan bahwa persoalan 
lingkungan hidup, bukan persoalan negara saja, tempi juga persoalan 
masyarakat. Kenyataan ini merupakan perkembangan positif yang harus 
diapresiasi bersama. Prakarsa-prakarsa masyarakat Icrscbut tentu "lebih 
meringankan" beban negara dalam upaya perlindungan dan pengelolaan 
lingkungan hidup. Tidak bisa dipungkiri bahwa peran negara dalam upaya 
perlindungan dan pengelolaan lingkungan. melalui penegalmn peraturan 
hukum, belum memberikan hasil yang signifikan. Oleh karena prakarsa-prakarsa masyarakat yang mencerminkan selFregulation ini menjadi kajian 
yang harus dipaparkan di dalam Modul ini. 
Berdasarkan hal-hal itu maka di dalam Kegiatan Belajar I yang berjudul 
Urgensi Pelibtaan Masyamkat Hukum Adat Dalam Pengelolaan Lingkungan 
Hidup diuraikan urgensi pentingnya pengakuan terhadap masyamkat adat 
yong terdapat di berbagai wilayah di Indonesia. Penyusunan Kegiatan Belajar 
I ini dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan dan sludi dokumcn. 
Data mcngenai kondisi cmpirik eksistensi masyarakat hukum adat. kearifan 
lokal, dan hak ma.syamkat hukum adai yang Icrkait dengan perlindungan dan 
pengelolaan lingkungan hidup diperoleh mclalui studi kepustakaan yang 
meliputi lileratur dan laporan penelitian. Selain itu, dilakukan analisis krilis 
mengenai karakteristik hukum yang berkaitan dengan eksistensi masyargat 
hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait 
dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Di dalam 
kenyataannya, upaya masyarakat hukum adat dalam perlindungan dan 
pengelolaan lingkungan hidup masih mengalami hambatan-hambatan baik 
yang berasal dari luar (ekstern) maupun . dalam (intern). 
Di dalam Kegiatan belajar 2 yang berjudul Perkembangan Paradignia 
Pengelolaan Lingkungan Hidup dipaparkan pergeseran paradigma 
pengelolaan lingkungan hidup dari peran negara yang dominan menuju peran 
masyamkat yang mulai berkembang. Paradagima Atur Dan Awasi 
(Command and Control Paradigm) mem fleksikan peran negara yang 
dominan dalam upaya perlindungan dan pengeloban lingkungan hidup. 

Upaya ini diwujudkan da. bentuk penerbitan peraturan pemndang-undangan besena sagsi-sanksinya. Akan tetapi, banyak persoalan darl aspek 
6.4

hukum yang menyebabkan upaya ini tidak efektif. Temyam kesadaran umuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup juga tumbuh sendiri di dalam masyarakat. Mereka memiliki pola-pola sendiri yang mencerminkan pengaturan sendiri untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup. lnilah yang mclatar bclakangi kemunculan Paradigma Atur Diri Sendiri (Self Regulaiion Paradigm)dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hasil yang diharapkan dengan paparan Kegiatan Bclajar l dan 2 tersebut. mahasiswa dapat inenyebutkan atau memaparkan kembali tantangan-iamangan sekaligus pelu•ng dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia pada cra tatanan sosial yang terus berkembang seperti sekarang ini. Berdasarkan hal itu selanjutnya diharapkan tumban kesadaran bahwa sesungguhnya cra globalisasi dengan segala implikasinya, dapai menumbuhkan peluang-pcluang baru yang bersumber dari kesadaran masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan menempatkan kedudukan manyarakat hukum adat yang harus mendapmkan peran penting sebagai unsur masyarakat yang melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berbasan pada keadan lokalnya. Selain itu, diharapkan tumbuh kesadaran bahwa masalah lingkungan hidup bukan persoalan negara atau pemeriniah mja, tetapi persoalan bersama, yang panyelesaiannya harus melibatkan panisipasi dan pranarsa masyamkat. Pendekatan untuk membahan tantangan dan peluang dalam penegakan hukum lingkungan ini menggunakan metode pendekatan nondoktrinal atau yuridis empiris. Dalam pendekaUm ini pemtunm hukum lingkungan dikonsepsikan sebagai realitas hukum yang dalam pelaksanaannya dapat mempengaruhi dan dipengaruhi faktor-faktor lain di dalam masyarakat. Dengan pendekatan ini maka kajian-kajian yang bersifat empiris menjadi faktor penentu (menjadi masukan penting) umuk mclakukan perubahan-peranahan dalam panyusunan kebijakan di bidang lingkungan hidup. 
6.5

KEGIATAN BELAJAR 1 
Urgensi Pelibatan Masyarakat Hukum Adat 
dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup 
16, embangunan yang dilak.nakan di berbagai bidang, bertujuan untuk 
rneningkatkan kesejahteraan umat manusia, demikian juga pembangunan 
yang dilaksanakan di Indonesia. Permasalahan yang kemudian muncul adalah 
meningkatnya jwnlah penduduk dan perkernbangan pembangunan y.g tidak 
dapat dipungkiri menimbulkan dampak negatif pada sebagian masyarakat, 
tennasuk di amaranya adalah pada masyarakat hukum adat. 
Muncul berbagai pernmsalahan sosial menyangkw kcbcradaan 
masyarakat tersebut. Banyak terjadi konflik sosial berkaitan dengan berbagai 
penyebab, sepeni mi.lnya ierbit dengan lanah alau hutan adat, tumpang 
tindih pemanfaatan kawa.n karena wilayah yang diklaim oleh masyarakat 
hukum adat sebagai wilayah mereka merupakan kawasan hutan yang juga 
mcnarik banyak pihak untuk mclakukan pemanfaatan terhadapnya. 
Swungguhnya sumber daya alam merupakan kekayaan Indonesia yang perlu 
dimanfaatkan dan dikclola derni kepentingan pembangunan, yang 
memprioritaskan manfaatnya kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia. 
Di sisi lain, di kalangan masyarakat hukum adat scndiri juga terjadi 
bebcrapa hal terkait dengan keberadaan mereka, misalnya .ja terjadi 
degradasi kearifan lokal sehingga sebagian kemudian menghilang dan 
sebagian y, lain perlu dilakukan revitalisasi. Babagai bencana lingkungan 
kemudian juga mengancam keberad.n masyarakat hukum adat. 
Sesungguhnya kebcradaan masyarakat hukum adat perlu dilindungi dan 
dikembangkan karena walaupun merupakan minoritas akan tetapi mereka 
juga mempunyai hak yang .ma dengan warga masyarakat yang lainnya 
untuk hulup dan memenuhi kebutuhannya di wilayah negara Indonesia. 
Secara hukum pun, keberadaan masyarakat adat atau masyarakat hukum adat 
juga tclah diakui dalam Konstitusi. UUD NRI 1945, pasal 18 b menetapkan 
bahwa Negara mengakui dan rnenghormati kesatuan-kcsatuan masyarakat 
hukum adat beserta hak-hak .disionialnya .panjang masih hidup dan 
scsuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan 

Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang dan pasal 28 i ayal 
6.6

(3) bahwa identilas budaya dan hak masyarakat dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengclolaan Lingkungan Hidup, terdapai ketentuan-ketentuan berkaitan dengan keberadaan masyarakat hukum adat. Pasal 63 ayat (l)hff. Pasal 63 ayat (2) huruf n, dan Pasal 63 ayat (3) huruf k Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 rnenyatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pcmerintah. dan Pemerintah Daerah bertugas dan berwenang: menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai tata eara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal. dan hak masyarakat hukum adai yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pembangunan yang dikonsepsikan dalam Kegiaian Belajar I ini adalah pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup, yaitu pembangunan yang dilaksanakan sebagai upaya sadar dan berencana, mengelola sumber daya alam seeara bijaksana, dengan menjaga kescrasian antarberbagai usaha atau kegiatan dan dengan mengikutsertakan berbagai elemen masyarakat. Proses ini dilaksanakan dengan meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif. Aspek-aspek lingkungan yang diperhatikan termasuk di antaranya adalah lingkungan sosial, yaitu lingkungan masyarakal. Salah satu cara untuk mcminimalkan dampak negatif pcmbangunan pada masyarakat adat adalah dengan mclakukan implemcntasi Pasal 63 ayat (I) point I huruf (t) Undang-Undang Nomor 32 Taltun 2009 teniang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyebutkan perlunya dilakukan penetapan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup telah diatur dalarn undang-undang yang mcnycbutkan bahwa masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk ber,ran serta dalarn pengendalian lingkungan hidup. Salah satu upaya pengendalian lingkungan hidup yang dilakukan oleh Pemerintd adalah dengan membuat peraturan bidang lingkungan hidup yang dapat mengikat semua pihak. Tujuan dari paparan Modul I ini adalah untuk memberikan pemahaman tentang urgensi pentingnya pengakuan terhadap masyarakat adat yang terdapat di berbagai wilayah di Indonesia. Penyusunan Kegiaian Belajar I ini dilakukan dengan mclakukan studi kepustakaan dan studi dokumen. Data 
6.7

mengenai kondisi empiris eksistensi masymakat hukunt adat. kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diperoleh melalui studi kepustakaan yang meliputi literatur dan laporan penclitian. Selain itu, dilakukan analisis kritis mengenai karakterisa hukum yang berkaitan dengan eksistensi masyarakut hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Paparan ini juga mendasarkan hasil konsultasi publik untuk memperolch masukan dan tanggapan dari berbagai pemangku kepentingan (stakehohlers) guna mcmperkaya materi terkait dengan eksistensi dan peran masyarakat hukum adat dalant pengelolaan lingkungan hidup. 
A. PENGERTIAN 

Pengertian inasyarakat hukum adat, secara garis bemr menunjuk pada masyamkat yang dapat diidentifikasikan sebagat (1) penducluk asI• (2) ka_tun minorita.s; dan (3) kaum tertindas atau termarjinal karena identitas mereka yang berbeda dari identitm yang dominan di suatu negara atau wilayah. Sclain itu, masymakat hukum adat dopat juga discbut sebagai kelompok orang yang hidup dattni kesatuan•kesatuan wilayah yang bersifat lokal dan terpencar sena kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan, baik sosial, ekonomi, maupun politik. Bertolak dari sejumlah deskripsi tersebut, masyarakat hukum adat dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang mempunyai ciri•ciri sebagai berikut ( I) berbentuk komunitas ktxil, tenutup dan homogen; (2) pranata sosialnya benumpu pada hubungan kekerabatan: (3) pada umumnya terpencil secara geografts dan relatif sulit dijangkau; (4) pada unnIninY. ,11(.1 sistem ekonomi subsisten; (5) pemlatan dan teknologi sederhana; (6) kciergantungan pada lingkungan hidup dan sumberdaya alam setempat rclatif tinggi; dan (7) terbalasnya akses pelayanan sosial, ekonomi, dan benolak . ciri-ciri tcrscbut, maka demi peningkatan kualitus hidup dan kesejahientan masyarakat hukum adat secara bertahap — sebagaimana mattyarakat Indonesia pada umumnya mereka berhak memperolch kesempatan untuk berperan aktif dalam pembangunan. Dari perspektif sosiologis, masyamkat hukum adat merupakan masyarakat yang kuat dalam memegang teguh budaya (culture), adat istiadat (tradition) dan kepercayaan (belieJ) yang diwariskan dan ditumbul, 
6.8

kembangkan icrus-menents secara turun temurun. Ketergantungan ierhadap sumberdaya alam sangat bcsar untuk pemennhan kebutuhan hidup masyarakat sehingga mendorong warga masyarakat untuk memanfaatkan dan mengelola alam dengan sebaik-baiknya. Warga masyarakat mencipiakan aturan-aturan tentang bagaimana berrindak dan bertingkah laku terhadap lingkungan yang kemudian disebui sebagai sebagai kearifan lokal (frwal wisdom). Kcarifan lokal terwama dalam hal pengambilan sumberdaya alam diatur dalam aturan-aturan hukutn adat masyarakat setempat. Pengaturan tersebui mengandung hak, kewajiban dan sanksi terhadap terjadinya pelanggaran. Dengan dcmikian dalam pengambilan sumberdaya alam iidak hanya dipikirkan segi ekonomi• tetapi juga diperhatikan .gi pengelolaan seria konservasi sumberdaya alam dan lingkungannya, sehingga secara tradisional mereka senantiasa menjaga lingkungannya. Keberadaan suku. budaya dan adat istiadat membentuk keragaman hukum adat. Hukum adat lahir, tumbuh dan berkembang dari masyarakat sehingga diketahui, dikenal• dihargai sekaligus ditaati oleh tnasyarakat. Dasar berlakunya hukum adat diatur dalam Pasal 1 Aturan Pcraliltan UUD 1945. Dalam aturan hukum adat terkandung nilai-nilai filosofis dari kelima sila Pancasila yang dijunjung tinggi olch masyarakat hukum adat. Pengakuan terhadap keberadaan dan kedudukan hukum adat sebagai bagian dari hukum nasional secara teoretik mengharuskan adanya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beseria hak-haknya. Bertolak dari keragaman sistetn kearifan lokal• terdapat beberapa prinsip yang senantiasa dihormati dan dipraktekkan olch komunitas-komunitas masyarakat hukunt adat. yaitu: I. ketergantungan manusia dengan alam yang mensyaratkan keselarasan hubungun dimana manusia merupakan bagian dari alam itu sendiri yang harus dijaga keseimbangannya; 2. penguasaan atas wilayah adat merupakan kepcmilikan bersama komunitas (communal propert• resources) atau kolektif sehingga mengikat semua warga untuk menjaga dan mengclolanya untuk keadilan dan ke.jahteraan bersama serta mengamankannya dari eksploitusi pihak luar• 3. hukum adat memberikan kemampuan untuk memecahlum masalah-masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya alann 
6.9

4. sistem alokasi dan penegakan hukum adat untuk mengamankan sumberdaya alam milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat sendiri maupun olch orang luar komunims. 
B. URGENSI PELIBATAN MASYARAIUT HUKUM ADAT 
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menumt Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 adalah upaya sistematis dan ierpadu yang dilakultan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya peneemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi pereneanaan, pemanfaman. pengendalian. pemeliharaan, pengawasan. . penegakan hukum. Upaya sislematis tersebut dilandaskan pada konsep pembangunan berkelanjulan, suatu konsep yang mendasari hukum lingkungan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Pembangunan berkelanjutan merupakan konsep pengelolaan lingkungan hidup yang didefinisikan sebagai upaya sadar dan tereneana yang memadultan aspek lingkungan hidup, sosial dan ckonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan. kernampuan kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Konsep ini mengandung dua unsur I. Kebutuhan. khususnya kebutuhan dasar bagi golongan masyarakat yang kurang berumung, yang amat perlu mendapatkan prioritas tinggi dari semua negara. 2. Keterbatasan. Penguasaan teknologi organisasi sosial harus memperhatikan keterbatasan kernampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa depan 

Secara teoretik keberhasilan implementasi Pembangunan Berkelanjutan smungguhnya memerlukan dipenuhinya 4 (empai) syarai, (a) pemeliharaan lingkungan; (b) perr,rmjudan keadilan sosial; (c) demokratisasi dan (d) pemenuhan kebutuhan dasar. Sudharto P.Hadi menjabarkan syarat tersebut dengan menymakan bahwa keberhasilan pembangunan berkelanjutan menghendaki adanya pemihakan kepada: (a) perlindungan lingkungan; (b) 
6.10

penduduk miskin; (c) demokrasi; (d) transparansi dan (e) masyarakat lokal 2. Dengan perkataan lain, keberhasilan implementasi pembangunan berkelanjuian antara lain diteniukan oleh pelibatan masyarakat lokaHengan kearifan lokalnya. Berangkat dari pemikimn inilah terlihat bahwa sesungguhnya keberadaan masyarakat lokal dengan kearifan lokalnya menjadi penting. Mengingat pentingnya peran masyarakat hukum adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, maka adalah menjadi keharusan bagi pemerintah untuk melibatkan masyamkat hukum adat dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Berkaitan dengan hal di atas nuka Pasal 63 ayat (() huruf t, Pasal 63 ayat (2) huruf n. dan Pasal 63 ayat (3) huruf k Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa dalam perlindungun dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dan Pemerintah Daerah benugas dan berwenang: menetapkan dan melaksanabn kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal. dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini bemni bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 ini mengamanatkan agar Pemerintah segera menetapkan dan melaksanakan kebijakan yang berkaitan dengan tala cara pengakuan masyarakat hukum adat. kearifan lokal, serta hak-hak yang dimiliki masyarakat hukum adat dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Secara terpitt&lt dalam kajian teoretik terdapat 3 (tiga) landasan utama perlunya pengakuan dan penghargaan terhadap peran masyarakat hukum adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu: 

I. Landasen Filasofis Sebagai bagian dari manusia pada umumnya masyarakat hukum adat merupakan makhluk ciptaan Tuhan Yang Malla Esa yang mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketakwaan dan tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia. Masyarakat hukum adat juga memiliki hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat 
6.11

kemuliaan dirinya sena keharmonisan lingkungannya. Hak ini tidak dapat dinlihkan. Dalam kontelcs lingkungan hidup setiap manusia berhak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Selain mcmiliki hak amsi, setiap orang juga memiliki kewajiban untuk memelihara lingkungan untuk kepentingan generasi kini dan mendatang. Hal itu sudah disepakati secara intemasional melalui Deklarasi Stockholm 1972. Adalah kenyantan bahwa masyarakat Itukum adat adalah unsur pembentuk bangsa schingga upaya perlindungan dan penghormatan terhadap mereka harus dilmakkan dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan bukan dalam rangka mclakukan konservasi sosial. Justru pemerintah memiliki kewajiban untuk mengembangkan dan memajukan kehidupannya. Pandangan deep ecology sangat tercermin di dalam sikap hidup dan budaya tnasyarakat hukum adat. Pandangan deep ecology yang dipegang memberi implikasi bahwa masyarakat hukum adat merupakan satu kesatuan dengan alam seknarnya sehingga mereka memiliki peran yang sangat penting dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pandangan deep ecology yang sepeni inilalt yang scharusnya disosialisasikan oleh pemerintah kepada warganya. 
2. Landasan Yuridis Secara tersebar, sebenamya hukum nasional Indonesia telah memberi pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat. Bekrapa peraturan perundangan tersebut di aniaranya dipaparkan dalarn beniuk matrik sebagai berikut: 
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 

Pengakuan negara ams keberadaan masyarakat Itukum adai beserta dengan hak-haknya secara tegas selain dinyatakan dalam Pasal 18 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa "Negam mengakui dan menghonnati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat sena halc-bak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesaman Republik Indonmia. yang diatur dalam undang-
6.12

undang", juga ditegaskan pada Pasal 28 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyebutkan bahwa "Identitas budaya masyarakat tradisional diltormati sclaras dengan perkembangan zaman dan peradaban." 
Unclang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria 
Pasal 3 menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dengan itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasio. dan negara. yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bolch bertentangan dengan undimg-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Dari ketentuan diatas dapat diketahui bahwa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan tanah uluyat dilakukan sepanjang menurut kenyataan masih eksis serta sesuai dengan kepentingan nasional dan selaras det, perundang-undangan yang berlaku. Konsep pengakuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria ini tidak berbeda dengan konsep pengakuan dalam UUD 1945 karena menggunakan konsep pengakuan bersyarat. 
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 

Pengaturan yang berkaitan der, masyarakat hukum adnt terdapat pada penjelasan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1). Undang-undang ini mengatur pengelolaan zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisaia alam melalui pemberian hak penguasaan kepada koperasi, badan usaha milik negara, perusahaan msta, dan 
6.13

perorangan. 
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi Keragaman Hayati 
Dalam preambule dinyatakan adanya ketergantungan komunitas lokal terhadap sumber daya hayati yang mewujud dalam cara hidup tradisional. 
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) 
Undang-Undang ini secam tegas menyatakan dalam Pasal 6 ayal ( I) bahwa: "Dalam rangka penegakan hak asasi mammia. perbedaan dan kebutultan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakaL dan pemerintah." 
Penjelasan pasal ini menyatakan bahwa halc adat yang secara nyata masih berlaku dan dijunjung tinggi dalam lingkungan masyttrakat hukum adat harus dihormati dan dilindungi dalam rangka perlindungan dan pencgakan hak asasi manusia dalam masyarakat yang bemangkutan, dengan memperhatikan hukum dan perundang undangan. 
Lebih lanjui Pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa: "Identi. budaya masyarnkat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan jaman." Perlindungan penghormatan ini diberikan kepada identitas budaya masyarakat hukum adat dan hak-hak adat yang masih nyata dipegang teguh olch masyarakat hukum adai setempat sepanjang tidak berieniangan dengan asas-asas Itukum negara yang berintikan keadilan dan kesejahteraan rakyat. 
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang 

Undang-Undang ini tidak menegaskan siapa yang dimaksud dengan masyarakat Hukum adat tetapi secara 
6.14



tegas memberikan hak kepada mereka, sebagaimana terdapat dalam Pasal 67 ayat ( I ) yang menyatakan: "Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, herhale I melakukan pemungutan hasil hulan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dari masyarakat adat yang bersangkutan: 2) melakukan kegiatan pengelolaan hutan berda.sarksin hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan: 3) mendapatkan pemberdayaan dalam rdngka meningkalkan kesejahteraannya." Penjelasan Pasal 67 ayat ( I) di mas menyatakan bahwa sebagai mmyarakat hukum adat, diakui keberadaannya jika menurut kenyataannya memenuhi unsur-unsur sebagai berikui: 
I masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rec)sgemernschap), 2) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya. 3) ada wilayah hukum adat yang jela.s. 4) ada pranata dan perangkal hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati. 5) masih mengadakan pemungumn hasil humn di wilayah hutan sekiiamya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. 
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Teniang Otonon6 
Pasal 64 ayat ( I ) menyebutkan bahwa pemerintah Provinsi Papua 
6.15

Khusus Bagi Papua berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara temadu dengan memperhatikan penataan ruang, melindungi sumber daya alam haymi, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati serta perubahan ildim dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besamya bagi kesejahteraan penduduk. 8 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Pasal 51 ayat (1 ) undang-undang ini menyebutkan bahwa salah satu kategori Mahkamah Konstitusi pemohon adalah "kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang". Berdnsarkan putusan perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 3I/PUU-V12007 tanggal 18 Juni 2008 dan putusan perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 61PUU-VI/2008 tanggal 18 Juni 2008, untuk disebut sebagai masyarakat hukum adat harus memenuhi syarat: I) Ma.syarakai hukum adat tersebut harus masih hidup. Kesatuan masyarakat hukum adat dikatakun secara de facto hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis maupun fungsional setidaknya harus memenuhi unsur a) adanya masyarakat yang memiliki perasaan kelompok 
6.16

(in grou p feeling); b) adanya pranata pemerintahan adatt c) adanya harta kekayaan daniatau benda-benda adalt d) adanya perangkat norma hukum adatt e) adanya wilayah tertentu (khusus umuk yang teritorial) 2) Kesatuan masyamkat hukum adat beserla hak tradisonalnya dipandang sesuai dengan perkembangan masyarakat bila kesatuan masyarakat hukum adat tersebut: 
a) keberadaannya telah diakui olch undang-undang yang berlaku sebagai pencerminan perkembangan nilai-nilai yang dianggap ideal dalam masyarakat dewasa ini, baik undang-undang yang bersifat umum maupun sektoral, maupun dalam peraluran daerah. 
b) substansi hak-hak nadisional tersebut diakui dan dihormati olch warga kesatuan masyrunkat YanS bersangkutan maupun masyarakat yang lebih luas, serta fidak benemangan dengan HAM. 

3) Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang, aninya bahwa kesatuan masyarakat hukum adat tersebui tidak mengganggu eksimcnsi 
6.17

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai kesatuan politik dan hukum. 4) Yang diatur dalam Undang-Undang. Hal ini bemrti substansi norma hukum adatnya juga harus sesuai dan tidak benentangan dengan peraturan perundang-undangan. 9 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Pasal 9 ayat (2) undang-undang ini menyatakan bahwa "Dalam hal lanah Perkebwum yang diperlukan merupakan tanalt hak ulayat masyarakat hukum adat yang menwin kenyataarmya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib mclakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak ams tanah yang bersangkwan, untuk memperolch kesepakatan mengenai penyemhan tanah dan imbalannya". Dari keientuan tersebut dapat diketahui adanya pengakuan eksistensi masyarakat hukum adat beserta hak yang dimilikinya. 10 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 jo Nomor 45 Pasal 6 undang-undang ini menyatakan bahwa pengelolaan perikanan untuk Tahun 2009 Tentang Perikanan kepentingan penangkapan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan haktun adat dan kearifan lokal sena inemperhatikan peran serta masyarakai. Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumberdaya alam sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6 ayat (2) ictap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dalam 
6.18

Peraturan Daerah/Perda setempat sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (3). 
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemeriniahan Daerah 
Pasal 2 ayat (9) undang-undang ini menegaskankan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat besena hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 
Selanjutnya, pada bagian pemerintahan desa terkait dengan pemilihan kepala desa dinyatakan bahwa pemilihan kepalu desa dalam kcsatuan masyaralcat hukum adat beseria hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah sebagaimana diatur dalam Pcnal 203 ayat (3). 
12 
Undang-Undang Nomor I I Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 
Undang-undang yang meratifilcasi Kovenan Intemasional tentang Hak Ekonomi, Sosial. dan Budaya ini antara lain mengakui secara umum hak-hak yang dimiliki olch masyaraka6 tennasuk masyarakat hukum adat, yaitu hak untuk tidak didiskriminasi sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2). Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3. Hak ams kebudayaan dan hak untuk berpartisipasi diatur dalam Pasal 15, hak atas lingkungan yang sehat diatur dalam Pasal 12. 
13 
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 temang Pengesahan Kovenan 

Undang-undang yang meratifikast Kovenan Intemasional tentang Hak Sipil dan Politik ini secara tegas 
6.19

Intemasional Terliang Hak Sipil dan Poliiik 
mengakui hak untuk tidak didiskriminasi bagi setiap orang sebagaimana diatur dalam Posal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Hak untuk menikmati seluruh hak, termasuk hak atas tanah dan sumber daya alam diatur dalam Pasal 26, hak untuk menikmati cara hidup yang yang berhubungan dengan penggunaan tanah dan sumber daya alam diatur dalam Pasal 27, serta hak untuk berpcusisipasi yang diatur dalam Pasal 25. 
14 
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil 
Undang-undang ini menggunakan masyarakat adat untuk menyebut kelompok masyarakat pesisir yang secara turun-temurun bennuMm di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Undang-undang ini dengan jelas mengakui eksistensi ma.syarakat adat dan melindungi hg-hak merelca sebagaimana diatur dalam Pasal 61, bahkan kepada mereka diberikan hak pengusahaan perairan pesisir yang diatur dalam Pasal 18. 
15 
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara 
Undang-undang ini memberikan hak kepada masyarakat termasuk masyarakat hukum adat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat ( 1 ) untuk: 

I) memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan 
6.20

pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 2) mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan perhunbangan yang menyalahi ketentuan. 
16 
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Temang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 
Pasal 63 ayat (1) huruf L Pasal 63 aym (2) huruf n, dan Pasal 63 ayat (3) huruf k undang-undang ini menentukan bahwa dalam perlindungan dan pengeloban lingkungan hidup, Pemerintah dan Pernerintah Dacrah bertugas dan berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai taia cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan masyarakat hukum adat yang teMan dengan perlindungan dan pengeloban lingkungan hidup. 
17 
Peraturan Menteri Negam Agmria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulaym Masyarakat Hukum Adat 
Pasal 1 ayat (3) menentukan bahwa masyandcat hukum adat adalah sekelo,ok orang ynng terkah dengan talanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempar tinggal atau keturunan. Penenruan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh pemerintah daerah melalui proses penehtiun dengan mengikutsenakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang di daerah bersangkutan, L,embaga Smdaya Masymakar dan insransi-instansi yang mengclola sumberdaya alam. Hal ini diatur didalam Pasal 5 ayat (1). 

3. Landasan Sosiologis Masyarakat hukum adat merupakan masyarakat dengan bentuk komunal, dimana segala bidang kehidupan selalu dilandasi oleh kebersamaan. 
6.21

Masyarakat hukum adat menunjukkan hubungan yang erai dalam hubungan antar personal dan proses interaksi sosial yang tetjadi antarmanusia tersebut menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut dengan adat (a unifonn or customary of behavingwithin a social group)3 . Manusia pada dasarnya ingin hidup teratur dan kemudian setiap kelompok dalam masyarakat tersebut memiliki pengenian yang berbeda terhadap pengenian teratur. Keteraturan tersebut diperlukan untuk mengatur perilaku manusia dalam kelompok manusia, dan hal inilah yang menguatkan konsep-konsep dan nilai-nilai komunal dalam masyarakai tersebut4. Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sampai saat ini jumlth masyarakat hukum adat thperkirakan terdapat seldtar 50-70 juta orang yang tersebar dalam 1.163 komunitas masyarakat hukum adat di selurult Indonesia. Sementara itu, menurui Depanemen Sosial, sampai iahun 2006 jumlah Komunitas Adat Terpeneil (KAT) terdapal sckitar 267.550 KK atau sekhar 1,1 juta jiwa. Mereka mengelola tidak kurang . 5 juta hektar lahun Data dari Deputi MenLH Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat, yang bersumber dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantam (AMAN), sampai pada tahun2010 diperkirakan tenlapat sekitar 50-70 juta jiwa masyarakat hukum adat atau sekhar 1.163 komunitas masyarakat hukum adat yang tinggal di Indonesia 4. Tantangan Pelibatan Masyaralcal Adat6 Di dalam kenyataannya ntasyamkat hukum adat sangat rentan terhadap bethagai konflik sosial. Pada tthun 2009, diperkindcan tetjadi sekitar 5.900 konflik dan 20% diamaranya menyangkut konflik tanah atau hutan adat. Terdapat sekitar 5 juta hektar wilayah kearifan lokal yang tumpang iinclih 

' Pendapal ini dikutip dari:Theodunon datam Hendra Nunjahjo Fokky Fuad„ 4gal Smading Kesaman Masywykra Adot dalam 13(1, k ij di Moldannah Konsfirusi. JakanaSalemba Humanika, 2012.111m. 12. Socrjonn Sockanm. dan Tancko. Solcman B., HukunAdat Indonesia. CV. Rajawali. Jalcana. 1.1.hlm54.64. Sumbcr. Deputi NenLN Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pcmberdayaan Masyaralai. 2010. ° Umian tcritang mmangan pclibacan mmyarakat adal ini hcrsumber dari Naskah Akadcmik RA:a711:12in= Pd:F:nct1:1Z>,:nik' Ta%2:tl'AZtDa"Inanii<l'ber'In'iddsu'injig'anasDanamP';I:gHle:klaanum Lingkungan Hidup. Disu.cun oleh Tim yang diketuak Su.no P. Hadi dari UND1P.Semarang. Naskah Akademik ini dismon ams nama Kememenan Lingkungan Hidup. pada mhun 2010- 2011. 
6.22

dengan kawasan huian (AMAN). Masyaralcat hukum adat yang dikenal teguh mengembangkan kearifan lokal juga ditengarai mengalami degradasi, sehingga perlu adanya upaya revitalisasi terhadap kearifan lokal yang mereka miliki. Disamping im, masyarakat hukum adat juga sangat renian terhadap perubahan lingkungan yang terjadi. Sebenamya berdasarbn uraian di ams, keberadaan masyarakat hukum adat dilindungi olch Konmitusi dan peraturan perundang-undangan yang lain, namun hingga saat Modul ini disusun, belutn ada peraturan perundangan yang secara khusus mengatur eksistensi masyarakat hukum adat dan hak-hak tmdisionalnya. Demikian pula kcarifan lokal mereka juga belum diatur sccara khusus. Rumuan Pasal 18B ayat (2) menunjukkan bahwa pemikiran penyusun Konstitusi memandang masyarakat hukum adat sebagai suatu komunhas masyarakat yang berbeda dengan komunitas yang lain. Sehubungan dengan hal-hal tersebut maka sangat penting bahwa masyarakat hukum adot diatur dalam suatu peraturdn perundang-undangan, agar kearifan lokal mereka dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat tcrus lestari dan terjaga. Demikianlah maka di dalam kenyataannya, upaya masyarakat hukum adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup masih mengalami hambatan-hambatan baik yang berasal dari luar (ekstem) maupun dari dalam (intem). Faktor dari luar diamaranya adalah oriemasi pembangunan yang terfokus pada pertumbuhan ekonomi dan pengelolaan lingkungan yang bersifat sektoral. Pola ini tidak menghargai pemn sumberdaya alam sebagai fungsi publik, misalnya tidak pemah diperhatikan hutan yang menjadi penentu penting kualitas dan keberlanjutan daemh aliran sungai. Penguasaan sumberdaya alam olch negara diberikan kepada perusahaan swasta dalam bentuk Hak Penguasaan Huian (HPH) dan kuasa penambangan tidak menghargai keberadaan masyamkat lokal yang telah turun menurun tnengelola sumberdaya alam. Sernentara itu. pelaksanaan monomi daerah realitanya condong menjadi replikasi pendekaian sektoral di daerah dengan orientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dominasi kepentingan ekonon6 mengakibatkan program-program pembangunan lebih banyak menekankan pada sektor ekonomi dan membuka kesempabm seluas-luasnya kepada investor unuk menanamkan modal di daerah. Kebijakan ini berdampak pada keberadaan masyamkat hukum adat yang seringkali terabaikan dan kurang mendapat perhathm. 
6.23

Faktor dari dalam masyarakai hukum adat aniara lain disebabkan oleh pengaruh tingkat pertumbuhan penduduk, pola pikir sederhana serta keterhatasan pengetahuan mereka dalam upaya pernenuhan kebuianan hidup. membuat masyarakat hukum adat sulit beradaptasi dengan perubahan lingkungan sosiaMya. Harus diakui bahwa keberadaaan masyarakat hukum adat justru termajinalkan, kalaupun ada pengakuan eksistensi mereka, di dalam praktik boleh disebut pengakuan yang setengah hati. atau pengakuan hukum yang semu (pesudo legal recognition). Pada Orde Baru misalnya, arah kebijakan yang lebih mengutamakan pembangunan ekonomi justru kurang mengakomodasi keberadaan masyarakat hukum adat. Penguasaan sumberdaya alam oleh negara dan diberikan kepada perusahaan wasta dan pemeriman dalam bentuk hak penguasaan hutan dan kuasa penambangan menggusur keberadaan masyarakat hukum adan Demikian juga pada era cannomi daerah saat ini, masing-masing Pemerintah Daerah justru lebih berlomba mengejar Pendapatan Asli Dacrah (PAD) daripada meningkatkan kualitas hidup masyarakat hukum adan Padahal, dengan meningkatkan kualitas hidup mereka diharapkan dapat memelihara ilmu pengetanuan, kearifan lokal, serta tereiptanya pelayanan sosial dasar yang menjadi hak setiap warga negara. Comoh kasus-k.us yang memarjinalkan masyarakat hukum adat antara lain: a. Konflik antara masyaranat Silat Hulu Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Bangun Nusa Mandiri (BNM) yang masuk ke wilayah mereka dimulai dan tahun 2008. Kegigihan masyarakat adat dalam mempertahankan wilayan adalnya tidak pernah surut. Di amaranyar mereka memasang patok pembatas wilayalr, membuat kesepakatan dengan pihak perusahaan: dan rnenjatuhkan sanksi adat. Akan tetapi semua usaha masyarakat tersebut tidak dihiraukan oleh perusahaan bahkan perusahaan terus melanearkan aksinya menggusur kawasan adat milik masyarakat Silat Hulu. Akhimya, perlawanan masyarakat tersebut menyeret Andi wariawan Kalimantan Review yang juga ketua Aliansi Masyaranat Adat Jalai Kendawangan dan Japin tokoh masyarakat adat Dayak Kendawangan-Silat ke persidangan karena dianggap sebagai provokator yang menggerakkan massa menahan alanalat berat milik perusahaan. 
6.24

b. Modus luiminalisasi masyarakai hukum adat terlihat dalam penetapan suatu Inhan milik masyarakat hukum adat sebagai kawasan hutan negara. Akibatnya. apabila anggoia masyarakat hukum adat memanfaatkan lahan leluhur, mereka dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Contoh masyaralcat hukum adat di desa Kontu kabupaten Muna dan desa Cisiih kabupaten Lebak. c. Konflik antara PT. London Sumatera (Lonsum) dengan masyarakat Kajang, Makasar-Sulawesi Selatan tahun 2003 yang dikenal dengan kasus Bulukamba. Masyarakat adat Kajang berusaha memperjuangkan pengembalian hak-hak adatnya. Sebaliknya. pihak kepolisian sebagai aparat negara yang seharusnya mengayomi dan melindungi rakyat, justru telah memilih jalan kekerasan bersenjaia untuk membela hak guna usaha (HGU) PT. London Sumatera. Sementara secara tutur sejarah masyarakat adat setempat bisa menunjukkan fakta adanya lokasi-lokasi dalam HGU ini yang merupakan tanah-tanah adat yang 1idak pemah diserahkan secara sah -sesuai hukum adat yang berlaku - kc pihak manapun. termasuk FT. London Sumatera. 

Kekosongan hukum selama ini Iclah menyebabkan kcbcradaan masyarakat adat dalam semua dimensi semakin terpinggirkan dan hak-haknya terkebiri. Undang-Undang yang ada hanya memberi aturan sebagai pengakuan, tetapi implememasi dari undang-undang tersebut hanya menggantung atau ada ambivalensi pengakuan masyarakat hukum adat. Hal ini terlihat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, an. lain dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria yang menyatakan .Dengan mengingat ketentuan Pasal dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang scrupa dari masyamkat hukum adat, sepanjang menurut kenya.mya masih ada, harus sedemikirm rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan mas kesatuan bruigsa serta tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi". Kalimat .kata-kata tidak berteMangan" sering dijadikan alasan penguasa umuk menyingkirkan upaya perlindungan masyarakal hukum adat. Kriteria lidak bertentangan" juga tidak ada kejelasan sampai wkarang. 
6.25

Draft naskah akademik Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Sumberdaya Alam menegaskan bahwa peran pemerintall dalam konservasi sumberdaya alam dan ekosistcmnya dipahami scbagai konsekuensi dari penguasaan negara pada sumberdaya alam, sehingga hak masyarakat hukum adat tidak mendapat tempat yang memadai. Hal ini tidak berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Elcosiste.ya yang me1.1 urusan ini juga sebagai urusan negara yang dilaksanakan Pemerintah Pusal. Pemerintah daerah hanya dapat menjalankan urusan ini jika mendapat pendelegasian wewenang dari pemerintah pusat atau menjalankan tugas pembantuan. Undang.undang ini lebih banyak mengatur hak negara tapi hanya sedikit memberikan pengaturan tentang hak rakyat. Apalagi dalam komeks pengakuan hak asasi marwsia, karena pengaturan yang diberikan kepada rakyat semata-mata berkaitan dengan kewajiban dan larangan-larangan yang diancam dengan hukuman pidana. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan yang menempatkan negara sebagai pemegang peran sentral dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 yang menetapkan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai olch negard untuk sebesar-bcsarnya untuk kemakmurdn rakyat. Penguasaan hutan olch ncgara memberikan wcwenang kepada Pemerimah untuk mengatur dan rnengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil humn: menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutam mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hulcum antara orang dengan hutan, serta perbuman hukum mengenai kehutanan. Dalam hal ini Pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi ijin, pereneana, pengelola, pencliti, pendidik, penyuluh, dan pengawas. Dentikian pula halnya dengan Pasal 5 yang tidak mengakui keberadaan hu. adat. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 hanya mcrumuskan adanya 2 (dua) jenis hutan yakni hutan negara dan hutan hak. Hutan adat dimana didalamnya ierdapat masyamkat hukum adat dimasukkan sebagai Itutan negard. Hak masyarakat hukum adat atas sumberdaya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak negara. Hutan adat ditelapkan Pemerintah sepanjang dalam kenyamannya masyarakat Itukum adat masih ada dan diakui keberadaannya. Kedua pasal ini, tidak memberi konsep yang jelas terhadap perlindungan hukum masyarakat hukum adai. 
6.26

Pengukuhan keberadam dan hapusnya hak masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Dacrah yang disusun dengan mempertimbangkon hasil penclitian para pakar hukum adat, aspirmi masyarakat dan tokoh adat serta instansi terkait. Ketentum ini berpotensi mengingkari keberadaan masyarakat hukum adat secara faktual yang berakibat menegasikan hak masyarakat hukum adat untuk mengidentifikasi dirinya sendiri (self identifieation) dan hak menentukan kchidupannya sendiri (self deferminntion). Undang-undang ini dipandang telah mengingkari hak asasi tnasyarakat hukum adat untuk memiliki sumberdaya alamnya. Hak-hak masyarakat hukum adat yang diakui hanyalah hak memanfaatkan sumberdaya alam dan mengclola dalam skala terbatas untuk keperluan sehari-hari. Perkembangan terbaru sehubungan dengan upaya pengurangan emisi karbon dalam program REDD yang dibiayai oleh Bank Dunia justru melibatkan masyarakat adati. Program REDD ini dalam pelaksanaannya akan melibatkan peran Bank Dunia sebagai pcmberi dana dan masyarakat adat sebagai pelaksana. Jadi pihak masyarakat adat dapat diberi imentif pendanaan olch Bank Dunia atas jasanya telah ikui serta dalam mengurangi ennsi karbon karena kchidupannya tclah banyak menyelamatkan hutan.Untuk kepentingan itu harus diajukan proposal terlebih dahulu kepada Bank Dunia dan sclanjutnya akan dilakukan site-visit olch tim Bank Dunia untuk memastikan kebenaran peran itu Fakta di atas tnenunjukkan bahwa kearifan lokal dan masyarakai bukum adat dimarjinalkan perannya dalam perlindungan dan pengclolaan lingkungan hidup. Padahal dampak penting dari madinalisasi peran masyarakat hukum adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengakibatkan terjadinya percepatan kerusakan lingkungan di Indonesia. Berlatar belakang kcnyataan tersebut, kini saatnya Pcmcrintah Indonesia harus menempatkan masyargat hukum adat dan kearifan lokal pada posisi penting untuk berperan sena dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peraturan itu perlu disusun lebih lanjut schingga memungkinkan dilakukannya kegiatan-kegiatan yang berOhak pada masyarakat hukum adat seperti hal-hal sebagai berikut: a. Penetapan kriteria serta mctodc identifikasi dan Yerifikasi keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak-hak 

Temang REI,D wdah dipapiukan secam ,ingkut dulam Modul III Kegiaion Relajur I. 
6.27

manyarakat hukum adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. Penyusunan bentulc hukum dan kelembagaan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup: c. Perumusan metode monitoring dan evalansi pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup: d. Penetapan bentuk-beniuk insentif dan disinsentif pengakuan keberadaan masyarakat hukum adan kearifan lokal dan hak manyarakat hukum adat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. 
'\1>LATIHAN 
Uniuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas, kerjakanlah latihan berikut, 

I) Deskripsikan menurut logika dan pengeialluan Anda, bagaimana hubungan antara masyarakat hukum adat — penge.uan tradisional dan kearifan lokal. 2) Di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dicantumkan ketentuan tetanng perlunya dilakukan penelapan mengenai tata cara pengakuan keberadaan manyarakat hukum adat, kearifan lokal dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.Buatlah deskripsi kendala-kendala atau faktor-faktor yang dapat rnenjadi kendala dalam penegakan hukum lingkungan dengan instrumen hukum administrasi negara di daerah Anda. 3) Program REDD dalam pelaksanaannya akan melibatkan peran Bank Dunia sebagai pemberi dana dan masyarakat adat sebagai pelaksana. Jadi pihak masyarakat adat dapat diberi insentif pendanaan olch Bank Dunia atas jananya telah ikut serta dalam mengurangi emisi karbon karena kehidupannya telah banyak menyelamatkan hutan.Untuk kepentingan itu haran diajukan proposal terlebih dahulu kepada Bank Dunia dan selanjutnya akan dilakukan site-visit oleh tim Bank Dunia untuk 
6.28

KEGIATAN BELAJAR 2 Perkembangan Paradigma Pengelolaan Lingkungan Hidup 

rt, aradigma merupakan payung berpikir atau the way of thinking yang dipegang seomng seseorang dalam untuk menentukan bagaimana yang bersangkutan mengkonsepsikan sebuah realitas, bagaimana hubungan seseorang tersebut dengan objek yang ditelid dan selanjutnya untuk menentukan meiode penelitiannya. Makna realitas itu tentu tergantung dari paradigma apa yang dia pilih untuk mclakukan penclitian sosial itu. Sesuai dengan itu, Paradigma dalam Kegiatan Belajar 2 ini dikonsepsikan sebagai pedoman berpikir atau the way of thinking yang memandu penggunanya untuk rnengkonsepsikan sebuah malitas dan bagaimana sikap pengguna paradigma tersebut terliadap realitas yang dikonsepsikannya. Pergeseran paradigma dengan demiMan bisa diarlikan sebagai pergeseran the wtr• of thinking. Implikasinya tentu teijadi pergeseran dalam memaknai realitas dan metode-metode penelidan dan analisisnya. Di dalam pengelolaan lingkungan hidup secara akademik dapat diabstraksikan adanya command and control paradigm yang diterjemahkan sebagai ptundigma atur dan awasi (A dan A) yang sekarang bergeser menuju selkegulation paradigm yang diterjemahkan sebagai paradigma atur diri sendiri. Istilah pergeseran dalam Kegiatan Belajar 2 ini dimaknai sebagai proses-proses pembahan yang semakin melengkapi dari yang sudah ada. Sesuai dengan itu mga dengan munculnya paradigma baru , tidak berarti paradigma yang lama akan hilang sama sekali. Tujuan dari Kegiatan Belajar 2 ini adalah untuk menunjukkan adanya pergeseran paradigma pengelolaan lingkungan hidup dad paradigma atur dan awasi (ADA) menuju paradigma atur dM sendiri (ADS). Hosil yang diharapkan, para pembaca dapat mcmahami latar belakang alasan terjadi pergeseran paradigma itu. Strategi untuk mencapai tujuan itu dilakukan melalui pengenalan terhudap masing-masing paradigma atur dan awasi dan paradigma atur diri sendiri. Pengenalan itu meliputi, pengertian, latar belakang, seria implementasinya. Selanjutnya setelah diperkenalkan fenomena masing-masing paradigma, diharapkan para pembaca mengetahui 
6.34

mengapa bisa terjadi pergeseran paradignia pengelolaan lingkungan hidup tersebut. 
A. PARADIGNIA ATUR DAN AWAS1 (ADA) 

Paradigma Atur Dan Awasi (ADA) merupakan paradigma pengelolaan lingkungan hidup yang mengkonsepsikan bahwa pengelolaan lingkungan hidup harus dilakukan oleh negara dengan menggunakan instrumen peraturan-peraturan hukumnya. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa negara adalah penguasa tedinggi di suatu wilayah yang tidak tunduk pada kekuasaan manapun. Dalam kedudukan seperti itu negara dapat mengeluarkan pemturan yang bersifat memaksa dan harus ditaati. Cara berpikir ini sepeni yang diajarkan John Austin tokoh positivisme hukum. Dengan mendasarkan pada keyakinannya tentang filsafat positivisme, John Austin menyatakan bahwa yang disebut hukum positif harus mengandung 3 (tiga) karakter scbagai berikut: Peruuna, hukum adalah perintah dari penguusa yang berdaulatt Kedua, perintah tersebut disertai ancaman (dan sanksi); Ketiga, otoritas tersebut tidak tunduk pada siapapun, tetapi ditaati masyarakat. Demikianlah maka pantdigma ADA dalam pengeloloan lingkungan hidup sangat mengandalkan peran negara ,dengan instrumen peraturan hukumnya. Paradigma ADA ini sebenarnya bukan hanya berlaku dalam pengelolaan lingkungan Itidup saja, tetapi juga menyangkut sektor-sektor lainnya dalam kehidupan masyarakat. Hal itu sebenarnya merupakan refleksi dari dianutnya paham Negara Kesejahteraan (Welfire State) yang sudah menjadi konsep penyelenggaraan negara scjak tahun 1937. Kita mengetahui bahwa paham Negara Kesejahteraan (Welfrur Stnie) merupakan paham yang menyatakan bah» negara tidak boleh hanya sekedar berperan seperti penjaga malam saja. yang hanya menjaga dinamikan.dinamika yang terjadi dan menjaga supaya diantara masyarakat tidak ada tindakan yang saling merugikan, tempi lebih dari itu. Negara harus beiperan bukan sekedar menjaga dinamika tersebut, tetapi juga harus melakukan tindukan untuk melindungi mereka yang tertindas, lemah dan terpinggirkan. Negara harus menciptakan kesejalueraan dan keamanan bagi warganya. Paham Negara Kesejahteraan (Welfare State) merupakan respon terhadap paham Negara Penjaga Malam, suatu paham penyelenggaraan negara yang lahir dari semangat kapitalisme dan pasar bebas pasca Revoltui Perancis 1879. 
6.35

Berlandaskan paham Negara Kesejahteraan, maka negara harus mengambil prakarm-prakarsa untuk melakukan tindakan-tindakan dalam mngka kewenangannya menciptakan kesejahteraan dan keamanan bagi warganegaranya. Hal inilah yang kemudian, secara langsung atau tidak langsung, menempatkan posisi negara dalam kekuatan yang dominan atas rakyatnya. Dominasi negara ini bisa dipersepsikan baik dan bisa juga dipersepsikan buruk, tergantung dari penyelenggara negara. Dengan denakian.dominasi negara itu tidak boleh hanya diperscpsikan secara negatif. Lagipula paradigrna yang melaltirkan dominasi negara au juga tumbult karena tuntutan sosial yang ada pada masanya dan dibenarkan keberadaannya. Dalam rangka dominasi itulah negara kemudian melakukan tindakan mengatur dan mengawasi thulakan-tindakan warga masyarakatnya maupun organ negara itu sendiri. Dalam rangka mengatur dan mengawasi ini, negara menerbitkan peraturan perundang-undangan di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Peraturan-peraturan hukum lingkungan sudah kita bahas sebelumnya. Peratunut hukum terkait dengan pengelolaan lingkungan yang berlaku di Indonesia dilandaskan pada peraturan yang bersifai pokok sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, hingga yang sekarang berlaku, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009. Masing-masing ketentuan yang bersifat pokok dilengkapi dengan peraturan-penauran pclaksanaannya. Sebagai tindak lanjutnya pun, di daerah-daerah Provinsi maupun Kabupaten/Kota juga diteMitIcan Peraturanperaturan Daerah sebagai tindak lanjut Undang-Undang di tingkat pusat tersebut. Ke depan, tentu akan ada perubahan atas undang-undang di bidang lingkungan hidup tersebut. Hal ini wajar dan bahkan adalah keharumn, perundang-undangan apapun tennasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, harus selalu relevan dengan perkendanngan tatanan sosialnya. Akan tetapi di dalam kenyataannya, walaupun sudah ada peraturan perundang-undangannya di tingkat pusai maupun di daerah, kerusakan lingkungan semakin meningkat. Bukan hanya di tingkat nasional, teiapi juga di tingkat global. Artinya bahwa adanya pemturan-peraturan hukum pun tidak menjamin bahwa kerusakan lingkungan dapat dicegah. Ternyata kerusalcan lingkungan semakin meningkat. Hal itu menandakan bahwa instrumen Itukum pun tidak efektif untuk mengurangi kerusakan lingkungan hidup. Sebagaimana telah di bahas dalam Modul IV dan V, membicarakan 
6.36

keefektifan dan ketidak-efektifan hukum adalah membiearakan hukum di dalam realitas. Ada faktor intemal dan faktor ekstemal penyebab terjadinya ketidak-efektifan berlakunya hukum lingkungan. Dari sisi faktor internal, efektif atau tidak efektifnya hukum lingkungan sangat ditentukan oleh sub-sistem kelembagaannya; sub-sistem aturan hukum itu sendiri; serta sub-sistem kultur hukumnya. Secara teoretik, ketiga sub-sistem itu membentuk satu sistem hukum. Dengan kata lain, hukum lingkungan sebagai sistem, sebenamya ditentukan oleh bekerjanya subsub sistem tersebut dalam hubungan fungsional, satu sama lain mling mempengaruhi. Dari Modul V Kegiatan Belajar 2 yang sudah dipaparkan sebelumnya, maka dari perspektif bahasan faktor intemal, ketidak-elektifan hukum lingkungan bisa dipaparkan dalam bagan mbagai berikut: 

Ragaan Faktor Penyebab Ketidak-Efektifan Penegakan Hukum Lingkungan 

S. Sis. Kelembagaan  Kelidaksiapan surnber daya manuna. Sub Sistem Aluran Hukurn Peraturan perundang. ada .k 'relde:(21ande; keadaa„ yang ada ch wilayah setempat. Sub Sestem Budaya Hukum Tdak adanya pemahaman n cuku tenta redgnasalahan P lingkung: dan ancamannya bagi kehick.an. Keficlaknapan peralatan. sarana dan prasarana. Peraturan yang ada .k sinkron dan hamioni dengan peraturan yang lain. baik Tdak a.ya pemahaman tenlang karakter hukum lingkungan yang dalam secara vertikal rnaupun horizontal penegakannya leblh dad sekedar mer,dal. pada pembuktian. Ketidakcukupan dana u. penegak hukum Peraturan yang ada .k memenuhi syarat,rat Tdak adanya komitmen plhak negara di tingkal pusat lingkungan da. proses penyusunannya. maupun daerah untuk men.kkan hukum lingkungan. Ke.karkupan kewenangan seara formd Peraturan yang ada bersifat tidak arill. tdak melindungi Tdak k.stennya tindakan pemerintah dalam (kedudukannya menyetebkan ketiadaan kewenangan). HAN, dan atau memiliki agenda tersem.yi (hirlden agenda). penegakan hukum lingkungan. 

Selanjutnya dari perspektif bahasan faktor eksternal keberlakuan hukum di tengah-tengah realitas, akan dipengaruhi dan mempengaruhi sub-sub sistem yang lain, sebagaimana telah dibahas dalam Modul V Kegiatan Belajar I. Dari sub-sub sistem tersebut sudah diketahui bahwa sub-sistem ckonomi mempakan sub-sistem yang menentukan dalam upaya pengelolaan lingkungan hidup maupun bekerjanya hukum lingkungan, baik di tingkat nasional maupun daerah. Demikianlah maka sekalipun mengandalkan pada kekuatan pemerintah negara, tetapi pengeloban lingkungan hidup dengan menggunakan instrumen peraturan-peraturan hukum tidak sclalu memberi hasil pada upaya perlindungan dan pengeloban lingkungan hidup.

Akan tetapi dinamika kcsadaran bahwa kerusakan lingkungan hidup merupakan persoalan penting yang ancamannya bisa berimplikasi jangka panjang dari sisi-sisi lingkungan hidup, kependudukan dan ekonomi. Langsung atau tidak langsung, kesadaran itu telah mcndorong munculnya prakarsa-prakarsa masyarakat untuk melakukan sendiri upaya perlindungan dan pengeloban lingkungan hidup, tanpa harus dipandu oleh negara. Inilah yang mendorong lahirnya paradigma atur diri sendiri (self-regulation paradigm) yang bisa disebut sebagai jawaban atas ketidak-efektifan paradigma atur dan awasi (command and control paradigm). 

B. PARAD1GMA ATUR DIR1 SENDIRI (ADS) 
Paradigma Atur Diri Sendiri (self regulation paradigm) mengandung pengertian bahwa pengelolaan lingkungan hidup didasarkan pada kesadaran di luar campur tangan negara. Kesadaran tentu dilandasi rasionalitas dan ajaran-ajaran (preceipt) yang menuntun pada pilihan-pilihan tindakan yang bertanggung-jawab dan tindakan yang tidak bertanggung-jawab. Kesadaran untuk melakukan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam konsep paradigma ADS menuntun orang pada pilihan-pilihan tindakan yang berkehendak baik untuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup.

1. Eksistensi Paradigma ADS Dalam Masyarakat Adat 
Diskursus tentang paradigma ADS dalam pcngelolaan lingkungan hidup menjadi mengemuka setelah diketahui bahwa paradigma ADA dalam pengelolaan lingkungan hidup tidak efektif dalam menurunkan terjadi kerusakan lingkungan hidup. Akan tetapi di dalam kehidupan masyarakat adat , paradigma ADS sudah sangat menjadi bagian integral dalam menjalankan kehidupannya. Dengan kata lain, apabila dilihat dari kehidupan masyarakat adat, paradigma ADS dalam pengelolaan lingkungan hidup bukan hal baru, jauh sudah eksis sebelum sekarang diwacanakan dalam dunia akademik.

Sccara akademik, masyarakat adat atau masyarakat hukum adat merupakan pengertian yang menunjuk pada masyarakat yang secara temurun hidup menetap dalam suatu wilayah (lokalitas) tertentu. Kehidupan mereka atau keberlanjutan hidup mereka sangat mcngandalkan pada lingkungan hidup dan keberadaan sumber daya alam yang ada di wilayah (lokalitas) tertentu dimana mereka bertempat tinggal. Oleh karena itu timbul kcsadaran yang kemudian menjadi ajaran (preceipt) di dalam masyarakat adat bahwa: lingkungan hidup dan sumber daya alam merupakan bagian tidak terpisahkan dari keberadaan manusia dalam alam semesta. Bahwa lingkungan hidup dan manusia mcrupakan unsur-unsur dalam ekosistcm kehidupan yang harus saling menjaga demi keberlanjutan kehidupan.

Penghargaan terhadap nilai-nilai intrinsik lingkungan hidup dan sumber daya alam, bukan karena lingkungan hidup dan sumber daya alam dapat dimanfaatkan masyarakat adat untuk kehidupann, tetapi karena ada ajaran bahwa manusia dan lingkungan hidup merupakan komponen-komponen dalam alam semesta yang harus saling menghargai demi keberlanjutan kchidupan. Inilah pandangan tentang hubungan manusia dengan lingkungan yang disebut sebagai pandangan biocentris sebagai koreksi terhadap pandangan anthropocentris. Kajian secara singkat tentang pandangan anthropocentris sudah dibahas di dalam Modul I.

Demikianlah maka kesadaran untuk melindungi lingkungan hidup berangkat dari suatu ajaran yang dilaksanakan oleh masyarakat adat, jauh sebelum negara (termasuk NKRI) ada. Penjabaran paradigma ADS dalam kehidupan sehari-hari ini yang dilaksanakan terus-menerus ini kemudian membentuk pola yang tetap dan teratur. Inilah yang mcnjadi Iandasan terbentuknya apa yang disebut sebagai kearifan lokal.

Olch karena itu adalah benar apabila dikatakan bahwa untuk memenuhi target-target dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan maka salah satu syaratnya adalah penghargaan terhadap eksistensi masyarakat adat. Tanpa peran mereka, keberlanjutan kehidupan bisa terancam atau setidaknya akan berkualitas buruk. Tanpa peran mereka beban negara untuk melakukan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup akan menjadi berat Oleh karena itu, adalah kewajiban negara maupun masyarakat untuk menghargai peran-peran dan mengakui keberadaan masyarakat adat atau masyarakt hukum adat secara konsisten, baik secara yuridis-formil maupun seeara yuridis materiil.


2. Eksistensi Paradigma ADS Dalam Masyarakat Modern 
Terminologi masyarakar modern disini sekedar untuk menunjuk pada suatu tatanan masyarakat yang kehidupannya tidak lagi didominasi pengaruh keillahian tetapi sudah memberdayakan rasionalitas dalam kehidupan untuk diri sendiri dan masyarakatnya.
Masyarakat modem tersebut, ada dalam lingkungan masyarakat negara. Paradigma ADS untuk pengelolaan lingkungan hidup dalam masyarakat modern, juga sama dengan masyarakat adat, yaitu didasarkan pada suatu pemikiran bahwa pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam dilakukan berbasis kesadaran manusia itu sendiri, di luar campur tangan negara. Akan tetapi, berbeda dengan masyarakat adat, kesadaran perlindungan, dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut kemudian diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan yang lahir dari masyarakat di tingkat global maupun nasional.

Di tingkat global implementasi paradigma ADS dalam pengelolaan lingkungan paling terlihat dari berperannya lembaga-lembaga nonnegara (lembaga swadaya masyarakat) baik yang murni bergerak di bidang lingkungan atau di bidang lain, tetapi mempunyai kepentingan terhadap perlindungan lingkungan. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat ini mempunyai semangat, baik karena ideologi lingkungannya seprti Greenpeace, atau karena kepentingannya seperti International Organization for Standardization disingkat ISO. 
Berkanan dengan ISO, meskipun merupakan organisasi nonpemerintah, ISO sangat berpengaruh dalam dunia perdagangan antar negara. Standar-standar mutu serta perlindungan perdagangan yang menghindari kecurangan terhadap konsumen. Standar-standar itu walaupun secara hukum tidak mengikat, teiapi sangat berpengaruh dalam hubungan perdagangan dunia. Olch karenanya dalam praktik, ISO menjadi konsorsium yang mempunyai hubungan kuat dengan negara-negara. Terkait dengan perlindungan lingkungan dan implemeniasi pembangunan berkelanjutan 1S0 telah menerbakan ISO 14001.

ISO 14001 adalah standar internasional untuk Sistem Manajemen Lingkungan (SML) berlaku dalam perdagangan dunia. Secara sederlmna ISO 14001 dapat dijelaskan sebagai sertifikasi yang diberikan kepada suatu perusahaan yang dalam proses produksinya terbukti tidak menimbulkan dampak lingkungan dan permasalahan hukum terkait misalnya dengan asal-muasal bahan mentahnya serta penggunaan tenaga kerjanya.
ISO 14001 dengan demikian merupakan standardisasi sistem manajemen yang berfokus pada upaya perlindungan lingkungan hidup dengan memperhatikan pada setidaknya tiga komponen yaitu :  (1) pencegahan polusi; (2) kesesuaian proses-proses produksi dengan peraturan hukum yang ada, (3) ada upaya terus-menerus meningkatkan sistem manajemen lingkungan.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa, pada masa kini pengaruh pemberlakuan ISO 14001 dalam perdagangan dunia sudah begitu kuat. Negara-negara produsen mau tidak mau harus tunduk pada persyaratan sebagaimana ditentukan dalam skema ISO 14001 apabila menginginkan produk bisa dijual, khususnya ke Eropa Barat.

Masih di tingkat global, lembaga nonpemerintah yang sangat memegang sangat teguh ideologi perlindungan lingkungan seperti Greenpeace, sudah mempunyai pengaruh besar dalam upaya-upaya perlindungan lingkungan. Greenpeace merupakan lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan global. yang memiliki cabang di lebih dari 40 negara dengan kantor pusat di Amsterdam, Belanda . Dilihat dari perspektif historis, Greenpeace didirikan di Vancouver, British Columbia, Kanada pada 1971.
Greenpeace pada awalnya bemama Don't Make a Wave Committee, sebuah nama yang digunakan sekelompok orang lingkungan, untuk menghentikan percobaan nuklir yang dilakukan pemerintah Amerika Serikat di Amchitka, Alaska. Para aktivis terebut mengirimkan kapal scwaan, Phyllis Cormack, yang diubah namanya menjadi Greenpeace, ke lokasi pengujian nuklir. Sclanjutnya mcrcka lalu mcngadopsi nama Greenpeace menjadi nama organisasi.
Sekarang Greenpeace menerima pendanaan melalui kontribusi langsung dari individu maupun yayasan, tetapi tidak menerima pendanaan dari pemerintah. Kegiatan-kegiatan mereka pun juga dilakukan di daerah-daerd di Indonesia. Advokasi maupun gerakan-gerakan yang sifatnya langsung merupakan aktifitas Greenpeace yang sesungguhnya bermaksud menyadarkan kita semua bahwa perlindungan lingkungan hidup merupakan persoalan pemerintah saja, tetapi persoalan bersama yang harus diatasi bersama.

Di tingkat nasional implementasi paradigma ADS dalam pengelolaan lingkungan paling terlihat dari berperannya lembaga-lembaga nonnegara (lembaga swadaya masyarakat) serta upaya-upaya yang dilakukan oleh perseorangan ataupun mereka-mereka yang sangat peduli pada persoalan lingkungan hidup di Indonesia. Dibandingkan dengan kegiatan Greenpeace misalnya, memang terobosan-terobosan perbaikan lingkungan hidup yang diprakarsai oleh gerakan-gerakan di luar pemerintah ini, memang belum menunjukkan hasil yang signifikan. Akan tetapi, sebagai sebuah inisiasi yang datang dari masyarakat, kcberadaan, dan peran mcreka ke depan layak diprhitungkan.
Di dalam perundang-undangan lingkungan hidup pun dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 juga di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, eksistensi mereka pun telah diakomodasi dan mcwujud misalnya dalam pngaturan tentang hak gugat organisasi lingkungan hidup. Di dalamnya diatur tentang penggunaan hak gugat oleh organisasi lingkungan hidup yang dapat mclakukan gugatan atas nama lingkungan hidup.