HUKUM ACARA PERDATA

Hasil gambar untuk hukum acara perdata hkum 4405

DAFTAR ISI

TINJAUAN MATA KULIAH 
Mata kuliah yang akan kita pelajari diberi nama Hukum Acara Perdata. Hukum Acara Perdata ini merupakan mata kuliah lanjutan dari Hukum Perdata. Ruang lingkup mata kuliah Hukum Acara Perdata ini meliputi pokok-pokok pembahasan yang akan dikaji secara lebih terperinci dalam Modul 1 sampai dengan modul 12 sebagai beriktu :

MODUL 1   : SEJARAH, SUMBER, DAN ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA
a. Pengertian Hukum Acara Perdata
b. Sejarah Hukum Acara Perdata
c. Sumber Hukum Acara Perdata
d. Asas-asas Hukum Acara perdata

MODUL 2   : KEKUASAAN KEHAKIMAN
a. Pengertian Kekuasaan Kehakiman
b. Pelaku Kekuasaan Kehakiman
c. Susunan Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum
d. Susunan Organisasi Pengadilan Negeri
e. Kekuasaan Mengadili Pengadilan Negeri (Wewenang Mutlak)
f.  Kewenangan Mengadili Wewenang Relatif dan Asas Persidangan

MODUL 3   : SENGKETA DAN GUGATAN
a. Pengertian Sengketa
b. Macam-macam Sengketa
c. Sebab-sebab Timbulnya Sengketa Hukum
d. Cara Menyelesaikan Sengketa Hukum
e. Pengertian Gugatan
f. Syarat Menggugat
g. Siapa Dapat Menggugat dan Digugat
h. Bentuk Gugatan
i. Syarat-syarat Gugatan
j. Tempat Gugatan Diajukan

MODUL 4   : GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION)
a. Gugatan Perwakilan Kelompok
b. Surat Kuasa dalam Gugatan Class Action
c. Syarat Mengajukan Gugatan Perwakilan Kelompok
d. Syarat Bentuk dan Isi Permohonan Gugatan Class action
e, Jenis dan Isi Jawaban Tergugat dalam Perkara Gugatan Class Action
f. Isi Prosedur Pemberitahuan
g. Surat Pernyataan Keluar dan Pernyataan Masuk serta Gugatan Perbaikan

MODUL 5   : PERMULAAN SIDANG
a. Proses Pemanggilan Para Pihak
b. Gugatan Gugur dan Proses Acara Verstek
c. Upaya hukum Melawan Putusan Verstek (Verzet)

MODUL 6   : MEDIASI PENGADILAN
a. Pengertian Mediasi
b. Model Mediasi
c. Tahapan Mediasi dan Mediator
d. Mediasi Pengadilan
e. Prosedur Mediasi Pengadilan dan Kendala Pelaksanaan Mediasi Pengadilan

MODUL 7   : PEMERIKSAAN PERKARA
a. Pembacaan Gugatan dan Mengubah Gugatan
b. Pengajuan Jawaban oleh Tergugat
c. Macam-Macam Jawaban Tergugat
d. Syarat mengenai Cara Mengajukan Jawaban
e. Kebenaran dalam Perkara Perdata
f. Replik, Duplik, dan Ikut Sertanya pihak Ketiga

MODUL 8   : PEMBUKTIAN
a. Pengertian Membuktikan
b. Pentingnya Pembuktian dan Beban Bukti / Pembuktian
c. Macam-macam Alat Bukti
d. Penilaian Pembuktian dan Kekuatan Pembuktian Alat Bukti

MODUL 9   : PUTUSAN HAKIM
a. Pengertian Putusan Hakim
b. Kewajiban Hakim dalam Menyusun Putusan
c. Bentuk dan Isi Putusan Hakim serta Jenis-jenis Putusan Hakim
d. Sahnya Putusan Hakim
e. Sifat Amar Putusan Hakim
f. Bunyi Amar Putusan Hakim
g. Kekuatan Putusan Hakim
h. Putusan yang Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorraad)

MODUL 10 : UPAYA HUKUM
a. Pengertian dan Jenis-jenis Upaya Hukum
b. Upaya Hukum Melawan Putusan dan Jenis-jenisnya
c. Upaya Hukum Melawan Eksekusi dan Penyitaan serta Prorogasi

MODUL 11 : EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM
a. Pengertian Eksekusi Putusan Hakim
b. Jenis-jenis Eksekusi Hakim
c. Ruang Lingkup Eksekusi Putusan Hakim dan Prosedur Eksekusi Putusan Hakim
d. Prosedur Eksekusi Putusan Hakim

MODUL 12 : SITA DAN LELANG
a. Jenis-jenis Sita
b. Proses Penyitaan dan Akibat Hukum Penyitaan
c. Pengertian Lelang
d. Lembaga Pelaksanaan Lelang
e. Proses lelang



MODUL 1   : 
SEJARAH, SUMBER, DAN ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA

Kegiatan Belajar 1 : 
Pengertian Hukum Acara Perdata, Sejarah Hukum Acara Perdata Indonesia, dan Sumber Hukum Acara Perdata Indonesia


Hukum harus dilaksanakan; Setiap orand dengan atau tanpa sadar telah melaksanakan Hukum; Pelaksanaan Hukum bukan monopoli orang-orang tertentu saja.

A. PENGERTIAN HUKUM ACARA PERDATA
Untuk melaksanakan Hukum materiil perdata, terutama bila dilanggar atau untuk mempertahankan berlangsungnya Hukum materiil perdata, diperlukan adanya rangkaian peraturan-peraturan hukum lain disamping hukum materiil perdata itu sendiri; Peraturan ini dikenal sebagai Hukum Formil atau Hukum Acara Perdata.

Hukum Acara Perdata hanya digunakan untuk menjamin agar hukum materiil perdata ditaati, Ketentuan Hukum Acara Perdata adalah tidak membebani Hak dan Kewajiban kepada seseorang seperti halnya dalam Hukum materiil Perdata, tetapi melaksanakan serta mempertahankan atau menegakan kaidah hukum materiil perdata yang ada.

Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya Hukum Perdata materiil dengan perantaraan hakim; Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan Hukum Perdata Materiil; Hukum Acara Perdata mengatur bagaimana caranya mengajukan tuntutan Hak, memeriksa, serta memutusnya dan pelaksanaan daripada putusannya.

Tuntutan Hak adalah tindakan yang bertujuan untuk memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah eigenrichting atau tindakan menghakimi sendiri.

Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan sehingga menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan jika kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.  (Mertokusumo, 1993)

Pasal 666 (3) KUH Perdata : Apabila dahan-dahan atau akar-akar sebatang pohon yang tumbuh diperkarangan seseorang tumbuh menjalar atau masuk ke perkarangan tetangganya, yang disebut terakhir ini dapat memotongnya menurut kehendaknya sendiri setelah pemilik pohon menolak permintaan untuk memotongnya.
seakan-akan ketentuan undang-undang ini membenarkan tindakan menghakimi sendiri, Namun meski disini tidak ada persetujuan untuk melakukan pemotongan  dahan-dahan tersebut, setidak-tidaknya yang bersangkutan telah minta izin sehingga perbuatan itu dilakukan dengan pengetahuan pemilik pohon (Mertokusumo, 1993)

Perkataan "acara" berarti proses penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan); bertujuan untuk memulihkan hak seseorang yang merasa dirugikan atau terganggu dikembalikan seperti keadaan semula bahwa setiap orang harus mematuhi peraturan hukum perdata sehingga berjalan sebagaimana mestinya.

Secara Teologis ; dirumuskan bahwa Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang berfungsi untuk mempertahankan berlakunya hukum perdata karena tujuannya memintakan keadilan lewat hakim.
Hukum Acara Perdata dirumuskan : sebagai peraturan hukum yang mengatur proses penyelesaian perkara perdata lewat hakim (pengadilan) sejak dimajukannya gugatan sampai dengan pelaksanaan putusan hakim.
Dalam peraturan Hukum Acara Perdata mengatur bagaimana cara orang mengajukan perkaranya kepada hakim (pengadilan), bagaimana caranya pihak yang terserang mempertahankan diri, bagaimana hakim bertindak terhadap pihak-pihak yang berperkara, bagaimana hakim memeriksa dan memutus perkara sehingga perkara dapat diselesaikan secara adil, bagaimana cara melaksanakan putusan hakim dan sebagainya sehingga hak dan kewajiban orang sebagaimana telah diatur dalam hukum perdata itu dapat berjalan sebagaimana mestinya.

Wirjono Prodjodikoro merumuskan; Hukum Acara Perdata sebagai rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhdap dan di muka pengadilan serta cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.

Dengan adanya peraturan Hukum Acara Perdata ini orang dapat memulihkan kembali haknya yang telah dirugikan atau terganggu lewat hakim dan berusaha menghindarkan diri tindakan main hakim snendiri; Dengan lewat hakim orang mendapatkan kepastian akan haknya yang harus dihormati oleh setiap orang, misalnya sebagai ahli waris, pemilik barang, dll. ; Diharapkan selalu ada ketentraman dan suasana damai dalam hidup bermasyarakat.

Hukum Acara Perdata disebut juga Hukum Perdata Formil karena mengatur proses penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan) secara formil; Mempertahankan berlakunya Hukum Perdata (Muhammad)

Hukum Perdata Formil ; yaitu kesemuanya kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana diatur dalam hukum perdata materiil (Soetantio)
Hukum Acara perdata menunjukan agar perkara seseorang dapat diperiksa oleh pengadilan; Juga menunjukan cara bagaimana suatu perkara diperiksa, bagaiman cara pengadilan menjatuhkan putusan atasu suatu perkara, dan bagaimana cara agar putusan dapat dijalankan sehingga maksud orang mengajukan perkara ke pengadilan dapat tercapai., yaitu pelaksanaan hak dan kewajiban menurut hukum perdata yang berlaku bagi orang tersebut.  (Prodjodikoro)

Soepomo; bukunya Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri; tidak memberikan batasan, dengan menghubungkan tugas hakim; dalam peradilan perdata tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum perdata (bugerlijke rechts orde) dan menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.


B. SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA
1. Zaman Pemerintah Hindia Belanda
Hukum Acara Perdata yang berlaku sekarang adalah berasal dari zaman pemerintah hindia belanda yang masih dipertahankan keberadaannya, Oleh karena itu membicarakan Hukum Acara Perdata dimulai sejak lahirnya hukum acara perdata itu sendiri; Berbicara sejarah Hukum Acara Perdata tidak terlepas dari membicarakan sejarah peradilan di Indonesia; disebabkan dari definisi dari hukum acara perdata bahwa hukum acara perdata hanya diperlukan apabila seseorang hendak berperkara di muka pengadilan.

a. Sejarah singkat lembaga peradilan
Pemerintahan Hindia Belanda terdapat beberapa lembaga peradilan yang berlaku bagi orang-orang atau golongan yang berbeda, yaitu:
1. Peradilan Gubernemen ; Lembaga peradilan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda
2. Peradilan Swapraja (Zelfbestuurrechtspraak) ; Peradilan diselenggarakan oleh sebuah kerajaan, diatur dalam sebuah peraturan swapraja tahun 1938 (Zelfbestuursregelen 1938)
3. Peradilan Adat (inheemse rechtspraak) ; diatur dalam Staatsblad 1932-80 dalam pasal 1; menyebut tidak kurang tiga belas keresidenan yang ada peradilan adat
4. Peradilan Agama (godienstigerechtspraak) ; diatur dalam Pasal 134 ayat (2) Indische Staatsregeling duatur lebih lanjut dalam S.1882-152 kemudian diubah S.1937-116
5. Peradilan Desa (dorpjustitie) : diatur dalam S.1935-102 yang dalam pasal 3a RO (reglement op de rechterlijke organisatie) disebut hakim-hakim perdamaian desa (dorpsrechter)

Peradilan Gubernemen
Terdiri dua Lembaga Peradilan:
1. Diperuntukan bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan ; Terdiri atas raad van justitie dan residentiegerrecht sebagai pengadilan tingkat pertama atau hakim sehari-hari (dagelijkse rechter) dan hoggerechtshof sebgai lembaga pengadilan tertinggi yang berkedudukan di Batavia (Jakarta).
2. Diperuntukan bagi bumiputera yang dilaksanakan oleh Landraad sebagai pengadilan tingkat pertama didampingi oleh beberapa badan pengadilan untuk perkara-perkara kecil, misalnya pengadilan kabupaten, pengadilan distrik, dan beberapa lagi, sedangkan pengadilan tingkat banding dilaksanakan oleh Raad van justitie.
Adapun yang dimaksud pengadilan kabupaten dan pengadilan distrik hanya menyelesaikan perkara-perkara kecil, yaitu perkara-perkara perdata yang tuntutannya dibawah nilai seratus gulden menjadi wewenang dari kedua pengadilan tersebut untuk menyelesaikannya.

Peradilan Swapraja (Zelfbestuurrechtspraak)
Pasca Proklamasi , pengadilan-pengadilan swapraja di Jawa, Madura dan Sumatera dihapus dengan UU No. 23 Tahun 1947, kemudian dengan UU Darurat No.1 Tahun 1951 yang mulai berlaku 14 Januari 1951, dan menyusul kemudian penghapusan pengadilan swapraja di Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Ukuran peradilan ini terletak pada pemasalahan apakah tergugat adalah seorang kaula (inderhoogerige) dari swapraja dimana ia berada atau dari pemerintah pusat. Yang termasuk kaula pemerintah pusat menurut Pasal 7 ayat (3) dan (4) Peraturan Swapraja Tahun 1938 adalah orang Eropa; Timur asing (vreemde osterlingen), kecuali keturunan raja; pegawai-pegawai pemerintah pusat; dan buruh dari beberapa macam perusahaan.
Sementara orang Indonesia asli yang bukan pegawai negeri dan bukan buruh adalah kaula swapraja.

Peradilan Adat (inheemse rechtspraak)
Hanya berada di daerah-daerah luar Jawa dan Madura. Zaman Hindia Belanda Pasal 130 Indische Staatsregeling memberi kemungkinan bahwasanya dibeberapa daerah di Indonesia, ada peradilan adat, disamping peradilan yang diatur dalam reglement rechterlijke organisatie (RO), herziene inlandsch reglements (HIR), rechtsreglement buitengewesten, dan yang disebut gouvernments-rechtspraak.
Pada zaman pemerintahan Dai Nippon dan setelah Indonesia merdeka beberapa daerah dari 13 kerasidenan secara de facto peradilan adat dihapuskan dan kekuasaan mengadili adalah Pengadilan Negeri.
Tetapi di beberapa daerah masih ada dua macam pengadilan sebagai hakim sehari-hari yaitu pengdailan negeri dan pengadilan-pengadilan dari peradilan adat atau peradilan swapraja.
Di Palembang Peradilan adat tingkat pertama dilakukan oleh kerapatan besar dan kerapatan kecil yang diketuai oleh seorang pesirah atau wedana, sedangkan peradilan yang dilakukan kerapatan tinggi di Kota Palembang yang ketuanya dijalankan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Palembang, Pengadilan adat Palembang ini dihapus Tahun 1961.
Di Jambi peradilan adat tingkat pertama dilakukan oleh Pesirah dan tingkat banding oleh kepala daerah swantara tingkat I (Gubernur Provinsi Jambi). Pengadilan ini dihapus mulai 15 oktober 1962.

Pasal 4 sampai 9 Staatsblaad 1932-80 mengatur pemebrian kekuasaan (atributie van rechtsmacht) kepada pengadilan-pengadilan dari peradilan adat dan peradilan umum.

Peradilan adat dalam peraturan disebut inheemsche bevolking, yang in het genot gelaten van haar eigen rechtspleging (diizinkan untuk memiliki peradilan sendiri), yang biasanya diartikan bahwa segala perkara perdata terhadap orang-orang Indonesia asli sebagai tergugat masuk kekuasaan pengadilan adat dengan tidak memperhatikan siapa yang menggugat; pengadilan adat hanya mengenai atau diperuntukan bagi orang-orang indonesia asli. Jika perkara perdata tergugatnya bukan orang Indonesia asli maka yang berwenang mengadili adalah pengadilan negeri.

Pasal 7 Peradilan Adat (Staatsblaad 1932-80); apabila tergugat lebih dari satu orang dan salah seorangnya adalah Indonesia asli yang berwenang adalah pengadilan negeri, kecuali jika salah seorang tersebut adalah penjamin dalam perjanjian hutang piutang (borg) dan yang lainnya adalah peminjam maka yang satu diajukan ke pengadilan negeri terhadap sebagai penjamin dan yang satu diajukan ke pengadilan dari orang yang bertindak sebagai peminjam.

Pasal 5 memberi kemungkinan kepala daerah (hoofd van gewestelijk bestuur) menetapkan bahwa orang indonesia yang terlibat dalam beberapa macam perjanjian perburuhan dan perjanjian pada umumnya, jika ada alasan-alasan mendesak, orang-orang indonesia tertentu tidak dapat digugat di pengadilan adat.

Peradilan Agama Islam
Baik pada penjajahan Dai Nippon maupun setelah Proklamasi pemerintah tidak pernah mempermasalahkan peradilan agama; Peradilan Agama Islam tetap seperti sejak Penjajahan Belanda.

Asal mula Peradilan Agama Islam adalah Pasal 134 ayat 2 Indische Staatregeling yang menentukan bahwa perkara-perkara perdata antara orang-orang yang beragama Islam apabila hukum adat menentukannya masuk kekuasaan pengadilan agama islam, kecuali ditetapkan lain dalam suatu ordonansi

Bagi Jawa dan Madura menurut Pasal 2a Staatsblad 1937-116; Pengadilan Agama Islam memutuskan perkara-perkara perdata antara orang islam mengenai nikah, talak, rujuk, perceraian, menetapkan pecahnya perkawinan, dan pemenuhan syarat dari taklik.
Banding diajukan ke Mahkamah Islam Tinggi yang sebelumnya berada di Jakarta kemudian di pindahkan ke surakarta. Mahkamah Islam Tinggi ini menurut Pasal 7g Staatsblad 1882-152 juga berkuasa mengadili sengketa antara pelbagai pengadilan agama islam di Jawa dan Madura mengenai kewenangan mengadili.

Pasal 3  Staatsblad 1937-638 bagi daerah banjarmasin dan daerah Hulu Sungai di Kalimantan Selatan kecuali Pulau Laut dan Tanah Bumbu. didaerah tersebut terdapat Hakim kadi yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan hakim kadi tinggi yang memeriksa dalam tingkat banding.

Bagi daerah yang masih terdapat peradilan adat, Pasal 12 Staatsblad 1932-80 menentukan bahwa pengadilan agama islam dilakukan apabila menurut hukum adat peradilan itu merupakan sebagian dari peradilan adat, sedangkan hakim-hakim dari peradilan agama islam tersebut akan ditentukan oleh hukum adat atau oleh kepala-kepala daerah yang bersangkutan. Tidak menentukan kekuasaan pengadilan agama islam, karena hukum adatlah yang menentukannya.

Dalam daerah-daerah yang terletak dalam lingkungan peradilan swapraja, tidak satu pasal pun dalam peraturan swapraja tahun 1938 yang mengatur keberadaan peradilan Agama Islam. Tetapi pada umumnya susunan dan kekuasaan peradilan swapraja pengaturannya diserahkan kepada kepala daerah.Tidak ada larangan seorang kepala daerah mengadakan dan mengatur juga peradilan agama islam.

Sekarang peradilan agama merupakan salah satu pelaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan agama yang diatur dalam UU No 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Peradilan Desa (dorpjustitie)
Pada zaman Jepang dan setelah Proklamasi masih dipertahankan di desa-desa pada beberapa daerah di Indonesia. Hakim terdiri dari atas anggota-anggota pengurus desa atau beberapa tetua desa setempat. Dapat dilihat pada ketentuan pasal 120a HIR Pasal 143a Rbg, yang kemudian ditiadakan oleh UU Darurat No 1 Tahun 1951. Hakim pada peradilan desa sebenarnya bukan hakim dalam arti kata sebenarnya, seperti hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dsb yang dapat diketahui dari ketentuan ayat (2) Pasal 3a RO.


b. Sejarah Hukum Acara Perdata Indonesia.
Pada Pemerintahan Hindia Belanda terdapat beberapa lembaga peradilan yang dibedakan dalam dua macam, yaitu peradilan gubernemen dan peradilan-peradilan lain yang berlaku bagi golongan bumi putera (Indonesia asli).

Peradilan gubernemen dibagi menjadi dua lembaga peradilan, yaitu bagi golongan eropa dan yang dipersmakan, serta bagi bumiputera.Untuk peradilan bagi golongan eropa dan yang dipersamakan, sudah tersedia hukum acara perdata reglement op de bugerlijk rechtsvordering (BRv), namun untuk peradilan bumiputera bulam ada. Peraturan hukum acara perdata yang dipergunakan saat itu hanyalah beberapa pasal yang terdapat dalam Stb.1819-20 yang dalam prakte selanjutnya mengalami perubahan yang tidak begitu berarti.

Sementara dibebrapa kota besar di Pulau Jawa pengadilan gubernemen yang memeriksa perkara perdata bagi golongan bumiputera menggunakan peraturan acara perdata yang berlaku bagi pengadilan yang diperuntukan golongan eropa, tanpa berdasarkan perintah Undang-Undang. Setelah diperjuangkan keberadaannya, lahirlah HIR dan RBg yang berlaku bagi lembaga peradilan yang diperuntukan bagi golongan bumiputera.

1) Sejarah Singkat HIR
Mr HL Wichers yang bertugas memangku jabatan presiden hoogerechtshof (ketua pengadilan tertinggi ) di Indonesia pada zaman Hindia Belanda di Batavia tidak membenarkan praktik pengadilan yang demikian, tanpa dilandasi perintah undang-undang. Maka, dengan Beslit Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada 5 Desember 1846 Nomor 3, Mr HL Wichers ditugaskan merancang sebuah reglement tentang administrasi polisi dan acara perdata serta pidana bagi pengadilan yang diperuntukan golongan bumiputera.

Setelah rancangan reglement dengan penjelasannya dirampungkan, pada 6 Agustus 1847 rancangan tersebut disampaikan kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen.
Dia mengajukan beberapa keberatan atas rancangan tersebut, terutama ketentuan Pasal 432 ayat 2 yang membolehkan pengadilan yang memriksa perkara perdata bagi golongan bumiputera menggunakan peraturan hukum acara perdata yang diperuntukan bagi pengadilan golongan eropa. Gubernur Jenderal menghendaki supaya peraturan hukum acara perdata yang diperuntukan bagi golongan bumiputera pada dasarnya harus bulat (volledig) sehingga kemungkinan menggunakan peraturan-peraturan yang berlaku untuk golongan orang eropa itu dianggap melanggar prinsip tersebut.
Hanya bagi Landraad di Jakarta, Semarang, dan Surabaya Gubernur Jenderal Rochussen tidak berkeberatan apabila badan-badan pengadilan itu memakai acara-acara yang berlaku bagi golongan Eropa.
Keberatan lain terhadap rancangan itu adalah adanya kekhawatiran bahwa dengan menggunakan peraturan hukum acara perdata yang diperuntukan pengadilan bagi golongan Eropa sebagaimana diatur dalam rancangan reglemen tersebut akan mempertinggi kecerdasan orang bumiputera yang sedikit banyak akan merugikan kepentingan Pemerintah Belanda.

setelah dilakukan perubahan dan penyempurnaan, baik dari isi maupun susunan dan redaksinya, antara lain adanya perubahan dan penambahan suatu ketentuan penutup yang bersifat umum, yang telah diubah dan ditambah kini menjadi pasal yang terpenting dari H.I.R, yaitu Pasal 393, Gubernur Jenderal Jan Jacob Rechussen menerima rancangan karya Mr. H.L. Wichres itu, kemudian diumumkan dengan publikasi pada 5 April 1848 St 1848-16 dan dinyatakan berlaku pada 1 Mei 1848 dengan sebutan Reglement op de uitoefening van de politie, de bugerlijke rechtspleging en de strafordering onder de inlanders, de vreemde osterlingen op Java en Madura dengan singkat lazim disebut inlandsch reglement (IR), yang kemudian disahkan dan dikuatkan oleh Pemerintah Belanda dengan firman Raja pada 29 september 1849 N.93 Stb. 1849-63.

Dari riwayat lahirnya Pasal 393 HIR, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a) Dilarang oleh pembentuk UU untuk menggunakan bentuk-bentuk acara yang diatur dalam reglement op de bugerlijke rechtsvordering (BRv)
b) Dalam hal Reglemen Indonesia (HIR) tidak mengatur, hakim wajib mencari penyelesaian dengan mencipta bentuk-bentuk acara yang ternyata dibutuhkan dalam praktik. Dengan cara demikian, HIR dapat diperluas dengan peraturan-peraturan acara yang tidak tertulis, yang dibentuk dengan putusan-putusan hakim berdasarkan kebutuhan dalam praktik.
c) HIR sebagai Hukum Acara, hukum formil, merupakan alat untuk menyelenggarakan hukum materiil sehingga hukum acara itu harus dipergunakan sesuai dengan keperluan hukum materiil dan hukum acara itu tidak boleh digunakan apabila hukum itu bertentangan dengan hukum materiil (soepomo).

Dalam sejarah perkembangan selanjutnya hampir seratus tahun sejak berlakunya, IR ini ternyata telah mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan kebutuhan praktik peradilan terhadap hal-hal yang belum diatur dalam reglemen itu.
Dengan demikian ketentuan dalam IR hanya merupakan sebagian saja dari ketentuan-ketentuan hukum acara yang tidak tertulis. Adapun yang paling banyak mengalami penambahan dan perubahan adalah bagian hukum acara pidananya.. Karena itu dipandang perlu mengundangkan kembali reglemen itu secara lengkap. Kronologis dari peubahan itu sebagai berikut :
a) Perubahan dan penambahan sampai tahun 1926 setelah mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan maka Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan kembali isi IR itu dengan Stb. 1926-559 jo 496.
b) Perubahan dan penambahan dari tahun 1926 sampai tahun 1941 dilakukan secara mendalam terutama menyangkut acara pidananya. Karena itu dipandang perlu mengundangkan kembali isi IR secara keseluruhan. Perubahan itu dilakukan dengan Stb. 1941-32 jo 98. Dalam Stb ini IR diganti dengan sebutan Het Herziene Indonesisch Reglemen (HIR)
c) Pengundangan secara keseluruhan isi HIR dilakukan dengan Stb. 1941-44, setelah itu tidak ada perubahan lagi yang bersifat penyesuaian setelah Indonesia merdeka, yaitu dengan berlakunya UU Darurat 1951-1 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan, dan acara pengadilan sipil (Lembaran Negara 1951-9)

Perubahan atau pembaruan yang dilakukan terhadap IR menjadi HIR pada tahun 1941, sebenarnya hanya dilakukan terhadap ketentuan mengenai acara pidanya, yaitu mengenai pembentukan aparatur kejaksaan atau penuntut umum, Jaksa yang sebelumnya ditempatkan dibawah Pamong Praja diubah menjadi dibawah Jaksa Tinggi atau Jaksa Agung.
Perubahan IR tidak mengenai acara perdata. Sebelumnya jaksa berada dibawah assisten resident yang adalah Pamong Praja (Subekti).

2) Sejarah Singkat RBg
Untuk peraturan hukum acara perdata di luar Jawa dan Madura, berdasarkan ketentuan Pasal 6 firman Raja Stb. 1847-23 dapat diketahui bahwa apabila Gubernur Jenderal memandang perlu, dapat dibuat peraturan-peraturan tentang pengadilan di daerah-daerah diluar Pulau Jawa dan Madura untuk menjamin berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang di daerah-daerah secara tertib. (Tresna).
Sebagai tindak lanjut firman raja Pasal 6 tersebut dan juga untuk menjamin adanya kepastian hukum secara tertulis di muka pengadilan gubernermen bagi golongan bumiputera di Luar jawa dan Madura, pada tahun 1927 Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada waktu itu mengumumkan sebuah reglemen hukum acara perdata untuk daerah seberang (Luar Jawa dan Madura) dengan Stb. 1927-227 dan dengan sebutan Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg). Ketentuan hukum acara perdata dalam RBg ini adalah ketentuan-ketentuan hukum acara perdata yang sudah ada untuk golongan bumiputra dan Timur asing di Jawa dan Madura ditambah ketentuan hukum acara perdata yang telah ada dan berlaku dikalangan mereka sebelumnya.

Dengan terbentuknya RBg ini, di Hindia Belanda terdapat tiga macam reglemen hukum acara untuk pemeriksaan perkara di muka pengadilan gubernemen pada tingkat pertama seperti berikut.
a) Reglement op de Bugerlijke Rechtsvordering (BRv) untuk golongan eropa yang berperkara di muka raad van justitie dan residentie gerecht.
b) Inlandsch Reglemen (IR) untuk golongan bumiputera dan Timur asing di Jawa dan Madura yang berperkara dimuka landraad, reglemen kemudian setelah beberapa kali mengalami perubahan dan penambahan di sebut Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
c) Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) untuk golongan bumiputera dan timur asing di luar Jawa dan Madura yang berperkara di landraad


c. Lembaga Peradilan dan Hukum acaranya pada zaman Hindia Belanda.
1) Peradilan gubernemen ; terdiri atas :
a) Peradilan yang berlaku bagi golongan eropa dan yang dipersamakan.
Raad van justitie dan residentiegerecht sebagai pengadilan tingkat pertama atau hakim sehari-hari, hukum acara perdata yang dipergunakan adalah Reglement op de Bugerlijk Rechtsvordering.
b) Peradilan yang berlaku bagi golongan bumiputera dan yang dipersamakan.
Landraad yang dalam perkara-perkara kecil dibantu oleh pengadilan kabupaten dan pengadilan distrik sebagai pengadilan tingkat pertama (hakim sehari-hari)
Hukum Acara Perdata yang dipergunakan sebagai berikut :
(1) Untuk Jawa dan Madura : Herziene Indonesisch Reglement (HIR)
(2) Untuk Luar Jawa dan Madura ; Rechts Reglement voor de Buitengewesten (Reglemen tanah seberang)
2)  Peradilan-peradilan lainnya yang berlaku bagi golongan bumiputera, seperti peradilan adat, peradilan swapraja, dan peradilan agama islam, mempergunakan hukum acara yang diatur pada reglemen yang mengatur masing-masing lembaga peradilan tersebut.


2. Zaman Pendudukan Jepang
Bagaimana keadaan hukum acara perdata pada zaman pendudukan Jepang? apakah ada perubahan atau melanjutkan peraturan yang sudah ada pada zaman Hindia Belanda? untuk mengetahui keadaan tersebut, marilah kita meninjau peraturan yang dikeluarkan bala tentara Dai Nippon.

Setelah penyerahan kekuasaan dari Pemerintah Belanda Maret 1942, Maka pada 7 Maret 1942 untuk Jawa dan Madura Dai Nippon mengeluarkan UU 1942-1 yang pada pasal 3 mengatakan, semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan UU dari pemerintah yang dahulu tetap diakui sah dan untuk sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer.
Atas dasar UU ini peraturan hukum acara perdata di Jawa dan Madura masih berlaku HIR, untuk di luar Jawa dan Madura pada dasarnya juga mengeluarkan peraturan yang sama seperti di jawa dan madura yaitu masih diberlakukannya RBg.

Pada april 1942 pemerintahan Dai Nippon mengeluarkan peraturan baru tentang susunan dan kekuasaan pengadilan, Untuk semua golongan penduduk kecuali orang Bansa Jepang hanya diadakan satu macam pengadilan sebagai pengadilan sehari-hari yaitu pengadilan tinggi alias kootoo hooin dalam pemeriksaan perkara tingkatan kedua.
Mula-mula ada saikoo hooin sebaga ganti hooggrecehtshof, tetapi dengan UU panglima bala tentara dai nippon pada 1944, pekerjaan saikoo hooin dihentikan dan sebagian diserahkan kepada pengadilan tinggi.

Berdasarkan peraturan tentang susunan dan kekuasaan pengadilan tersebut, semua golongan penduduk termasuk golongan eropa tunduk pada satu macam pengadilan untuk pemeriksaan tingkat pertama, yaitu tihoo hooin menggantikan landraad, sedangkan raad van justitie dan residantie gerecht dihapuskan. Dengan demikian BRv sebagai hukum acara perdata bagi golongan eropa juga tidak berlaku lagi.
Ketentuan hukum acara perdata yang berlaku untuk pemeriksaan perkara dimuka tihoo hooin adalah HIR untuk Jawa dan Madura, sedangkan RBg untuk luar Jawa dan Madura.

Sementara itu bagi mereka semua yang hukum materiilnya termuat dalam Kitab Undang Undang Hukum  Perdata (KUHPerdata) dan Kitab Undang Undang Hukum Dagang (KUHD) masih dapat mengikuti ketentuan ketentuan dari BRv sepanjang itu dibutuhkan, ketentuan yang didalam HIR dan RBg tidak diatur.


3. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Keadaan seperti pada masa Dai Nippon masih tetap diteruskan berlakunya, Hal ini didasarkan pada Ketentuan aturan Peralihan Pasal II dan IV UUD RI tertanggal 18 Agustus 1945 jo PP 1945-2 tertanggal 10 Oktober 1945. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HIR dan RBg masih tetap berlaku sebagai peraturan hukum acara dimuka pengadilan negeri untuk semua golongan penduduk  (Warga Negara Indonesia).

Dengan diundangnya Undang Undang Darurat 1951-1 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, dan acara pengadilan-pengadilan sipil, pada 14 Januari 1951 dengan Lembaran Negara 1951-9, mulailah dirintis jalan menuju asas unifikasi dalam bidang pengadilan dan peraturan hukum acara yang sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Pemerintahan Dai Nippon.
Menurut ketentuan UU ini untuk semua WNI diseluruh Indonesia, hanya ada tiga macam pengadilan sipil sehari-hari :
a. Pengadilan Negeri; yang memriksa dan memutus perkara perdata dan pidana untuk tingkat pertama
b. Pengadilan Tinggi; yang memriksa dan memutus perkara perdata dan pidana untuk tingkat kedua atau banding
c. Mahkamah Agung; yang memriksa dan memutus perkara perdata dan pidana untuk tingkat kasasi

Menurut Ketentuan Pasal 5 UU Darurat 1951-1, acara pada pengadilan negeri dilakukan dengan mengindahkan peraturan-peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk pengadilan negeri. Adapun yang dimaksud dengan "Peraturan-Peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku" adalah tidak lain daripada HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura. selanjutnya, dalam Pasal 6 ayat 1 UU Darurat 1951-1 ditentukan bahwa HIR seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil. Untuk perkara perdata tidak disinggung-singgung. Ini berarti bahwa untuk perkara perdata HIR dan RBg bukanlah sebagai pedoman saja, melainkan sebagai peraturan hukum acara perdata yang harus diikuti dan diindahkan.

Walaupun ada dua peraturan hukum acara perdata untuk pengadilan negeri, yaitu HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg untuk luar Jawa dan Madura; isinya sama saja sehingga secara material sudah ada keseragaman untuk peraturan hukum acara perdata bagi semua pengadilan negeri di seluruh Indonesia.
Karena itu Asas unifikasi yang dikehendaki pasal 6 ayat 1 UU Darurat 1951-1 dalam bidang hukum acara pidana dan acara perdata sudah tercapai. Kemudian, peraturan hukum acara perdata yang ada tersebut diperkaya dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Adapun yang ditunggu selanjutnya untuk masa akan datang adalah hukum acara perdata nasional ciptaan sendiri sebagai kodifikasi hukum yang akan menggantikan hukum acara perdata warisan zaman pemerintahan Hindia Belanda dahulu yang hingga sekarang masih berlaku.


C. SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
1. Berdasarkan Pasal 5 Ayat 1 UUDar 1/1951
Hukum acara perdata di pengadilan negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UUDar 1951-1 tersebut menurut peraturan-peraturan Republik indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk PN dalam daerah RI.

Adapun yang dimaksud dalam UUDar tersebut tidak lain adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau reglemen Idonesia yang diperbaharui : S.1848 Nomor 16,  S.1941 Nomor 44 ) Untuk daerah Jawa dan Madura serta Rechtsglement voor de Buitengewesten (RBg atau reglemen daerah seberang : S.1927 Nomor 227) untuk daerah diluar Jawa dan Madura.
Jadi untuk acara perdata yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR untuk Jawa dan Madura, serta RBg untuk daerah diluar Jawa dan Madura.

Reglement op de Bugerlijke rechtsvordering (BRv atau reglemen acara perdata, yaitu hukum acara perdata untuk golongan Eropa: S.1847 Nomor 52, S.1849 Nomor 63), merupakan sumber juga dari hukum acara perdata.

Soepomo berpendapat: dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan hooggerechtshof, Rv sudah tidak berlaku lagi sehingga dengan demikian hanya HIR dan RBg saja yang berlaku.Keadaan tersebut menimbulkan pertanyaan hukum acara perdata manakah yang diberlakukan apabila seorang yang tunduk pada BW (Kitab UU Hukum Perdata) mengajukan gugatan cerai? Dalam praktek, acara yang diatur dalam Rv akan diterapkan.

Kecuali itu dapat disebutkan Reglement op de Rechterlijke Organisasie in het beleid der justitie in indonesie (RO atau reglemen tentang organisasi Kehakiman: S.1847 Nomor 23) dan BW Buku IV sebagai sumber dari hukum acara perdata dan selebihnya terdapat dalam BW, WvK (Wetboek van Koophandel: Kitab Undang Undang Hukum Dagang) dan Peraturan Kepailitan.

2. UU Nomor 48 Tahun 2009
UU No 48 Tahun 2009 (Lembaran Negara RI Tahun 2009 Nomor 157) tentang Kekuasaan Kehakiman yang diundangkan pada 29 Oktober 2009 yang memuat beberapa ketentuan tenatng Hukum acara perdata

3. UU Nomor 3 Tahun 2009
UU No 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua UU NO 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. UU tersebut mengatur tentang susunan MA; Kekuasaan MA; serta hukum acara MA, termasuk pemeriksaan Kasasi, pemeriksaan tentang sengketa kewenangan mengadili, dan Peninjauan Kembali, UU ini memuat ketentuan hukum acara perdata.

4. UU Nomor 49 Tahun 2009
UU No 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum yang mengatur susunan serta kekuasaan pengadilan dilingkungan peradilan umumjuga sebagai sumber hukum acara perdata.

5. Yurisprudensi
Sebagai perbandingan, UU No 5 Tahun 1986 (Lembaran Negara 77)  tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang penerapannya selambat-lambatnya lima tahun setelah diundangkannya.
Yurisprudensi juga sebagai sumber hukum acara perdata disebutkan dalam Putusan Mahkamah Agung tertanggal 14 April 1971 Nomor 99 K/Sip/1971 yang menyeragamkan hukum acara dalam perecraian bagi mereka yang tunduk pada BW dengan tidak membedakan antara permohonan untuk mendapatkan izin guna mengajukan gugat perceraian dan gugatan perceraian itu sendiri yang berarti bahwa hakim harus mengusahakan perdamaian dalam persidangan, sebagaimana diatur dalam pasal 53 HOCI / Ordonansi perkawinan Kristen.

6. Adat Kebiasaan Hakim dalam Memeriksa Perkara
Wirjono Prodjodikoro : bahwa adat kebiasaan yang dianut oleh para hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata juga sebagai sumber dari hukum acara perdata.
Adat kebiasaan yang tidak tertulis dari hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara itu akan beraneka ragam. Tidak mustahil adat kebiasaan seorang hakim berbeda, bahkan bertentangan  dengan adat kebiasaan hakim yang lain dari pengadilan yang sama dalam melakukan pemeriksaan. Mengingat bahwa hukum acara perdata dimaksudkan untuk menjamin dilaksanakannya atau ditegakkannya hukum perdata materiil yang berarti mempertahankan tata hukum perdata, pada asasnya hukum acara perdata bersifat mengikat dan memaksa. Sementara itu, adat kebiasaan hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara perdata yang tidak tertulis dalam melakukan pemeriksaan tidak akan menjamin kepastian hukum.

7. Perjanjian Internasional
Misalnya perjanjian kerja sama dibidang peradilan antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Thailand. Didalamnya terdapat kesepakatan mengadakan kerja sama dalam menyampaikan dokumen-dokumen pengadilan dan memperoleh bukti-bukti dalam hal perkara-perkara hukum perdata dan dagang.
Warga Negara keduabelahpihak akan mendapat keleluasaan berperkara dan menghadap ke pengadilan di wilayah pihak yang lainnya dengan syarat-syarat yang sama, seperti warga negara pihak itu.
Masing-masing pihak akan menunjuk satu instansi yang berkewajiban untuk mengirimkan dan menerima permohonan penyampaian dokumen panggilan. Instansi untuk Republik Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman, sedangkan Kerajaan Thailand adalah Office of Judicial Affairs of the Ministry of Justice.

8. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan
Merupakan sumber hukum acara perdata juga atau sumber tempat hakim dapat menggali hukum acara perdata. akan tetapi doktrin itu sendiri bukanlah hukum.
Kewibawaan ilmu pengetahuan karena didukung oleh para pengikutnya serta sifat objektif dari ilmu pengetahuan itu menyebabkan keputusan hakim bernilai objektif juga.

9. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung
Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) sepanjang mengatur Hukum Acara Perdata dan Hukum Perdata Materiil tidaklah mengikat hakim sebagaimana halnya UU, akan tetapi sebagai sumber tempat hakim yang dapat menggali hukum acara perdata ataupun hukum perdata materiil.
Sehubungan dengan ini SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang pada umumnya dianggap membatalkan BW. Mahkamah Agung sebagai Lembaga Yudikatif dengan SEMA tersebut tidak berwenang membatalkan BW atau UU.
Maksud MA dengan SEMA Nomor 3 Tahun 1963 yang merupakan instruksi kepada para hakim memang baik, yaitu agar para hakim menyesesuaikan BW dengan perkembangan masyarakat, akan tetapi SEMA tersebut sendiri secara yuridis teoritis tidak mempunyai kekuatan membatalkan BW.
Kalau MA dengan SEMA tersebut bermaksud membatalkan BW maka MA melanggar ajaran tentang pembagian kekuasaan.Atas dasar kebebasannya, hakim cukup berwenang untuk menyesuaikan isi UU dengan perkembangan masyarakat, tanpa menunjuk pada SEMA Nomor 3 Tahun 1963.

Seperti halnya Doktrin, Instruksi dan Surat Edaran bukanlah merupakan hukum, melainkan sumber hukum. Ini dalam arti bukan tempat kita menemukan hukum melainkan tempat menggali hukum.
Dapat juga hakim menggunakan lembaga-lembaga hukum acara perdata yang disebut dalam instruksi atau surat edaran, asal saja sebagai ciptaan sendiri tanpa menunjuk instruksi atau surat edaran yang bersangkutan (bandingkan dengan putusan PN Jakarta tanggal 17 Januaru 1955, H 1966 Nomr 1-2 hlm.77)



Kegiatan Belajar 2 : 
Asas-Asas Hukum Acara Perdata (Indonesia)

1. Hakim Bersifat Menunggu
Asas dari Hukum Acara Perdata (Asas hukum acara pada umumnya) bahwa pelaksanaannya, yaitu inisiatif untuk mengajukan gugatan, sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang berkepentingan. Berarti bahwa apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau gugatan akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada mereka yang berkepentingan (yang merasa dirugikan). Kalau tidak ada gugatan atau penuntutan, tidak ada hakim.
Jadi yang mengajukan gugatan adalah pihak-pihak yang berkepentingan (merasa dirugikan), Kalau tidak ada gugatan atau penuntutan maka tidak ada hakim. sedangkan hakim bersikap menunggu diajukannya suatu perkara atau gugatan (Pasal 118 HIR, Pasal 142 RBg), Berarti bahwa hakim tidak boleh aktif mencari-cari perkara (menjemput bola) di masyarakat, sedangkan yang meyelenggarakan proses adalah negara.
akan tetapi, sekali suatu perkara diajukan kepada hakim, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya dengan alasan apapun  (UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman)

2. Hakim Pasif
Dalam memeriksa perkara bersikap pasif maksudnya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh pihak-pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim.Pihak yang merasa haknya dirugikan (penggugat) yang menentukan apakah ia akan mengajukan gugatan, seberapa luas (besar) tuntutan, serta tergantung juga pada para pihak (penggugat dan atau tergugat) perkara akan dilanjutkan atau dihentikan (terjadi perdamaian atau karena gugatan dicabut).
Semuanya tergantung pada (para) pihak, bukan pada hakim. Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan para pihak (secundum allegat iudicare). Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan (Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009).

Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan para pihak. Dalam pembuktian para pihaklah yang diwajibkan membuktikan dan bukan hakim, hakim hanya menilai siapa diantara para pihak yang berhasil membuktikan kebenaran dalilnya dan apa yang benar dari dalil yang dikemukanan pihak tersebut.

3. Hakim Aktif
Dalam beracara dengan HIR/RBg, hakim Indonesia harus aktif sejak perkara dimasukan ke pengadilan, memipin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu para pihak dalam mencari kebenaran, penjatuhan putusan, sampai dengan pelaksanaan putusannya (eksekusi). Karena dalam sistem HIR/RBg tidak ada keharusan menunjuk kuasa hukum, seorang yang buta hukumpun dapat menghadap sendiri ke muka pengadilan.

Keharusan hakim aktip dalam beracara dengan HIR/RBg mulai tampak pada saat penggugat mengajukan gugatannya. Pasal 119 HIR, 143 RBg menetukan bahwa Ketua PN berwenang memberi nasehat dan pertolongan waktu dimasukannya gugatan tertulis, baik kepada penggugat sendiri maupun kuasanya.Hal ini tidak berarti bahwa Hakim memihak, Hakim hanya menunjukan bagaimana seharusnya bentuk dan isi sebuah surat gugat, selain itu dalam sidang pemeriksaan perkara, hakim memimpinnya jalannya sidang agar tercapai peradilan yang tertib dan lancar sehingga asas peradilan cepat dapat tercapai.

Dalam menjatuhkan putusan, Hakim wajib menambahkan dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh para pihak, Pasal 178 ayat (1) HIR, Pasal 189 ayat (1) RBg. Dalam pelaksanaan putusan pengadilan (eksekusi)  sebagaimana ditentukan dalam Pasal 195 ayat (1) HIR, Pasal 206 ayat (1) RBg, bahwa ketua pengadilan memimpin jalannya eksekusi.

Dalam penyelesaian suatu perkara yang diajukan ke pengadilan, Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR, Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg). Demikianpula halnya apakah pihak yang bersangkutan akan mengajukan banding atau tidak bukanlah kepentingan dari pada hakim (Pasal 6 UU Nomor 20 tahun 1947, Pasal 199 RBg).

Asas hakim pasif dan aktif dalam hukum acara perdata disebut Verhandlungsmaxime. Asas ini mengandung beberapa makna :
a. Inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh Hakim. Hakim hanyalah membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 4 ayat 2 UU No 48 Tahun 2009). Hal ini mengatur cara-cara bagaimana para pihak mempertahankan kepentingan pribadi.

Berbeda dengan Hukum Acara Pidana yang mengatur cara bagaimana mempertahankan kepentingan publik, inisiatif dalam beracara dilakukan oleh pemerintah yang diwakili oleh Jaksa sebagai penuntut umum serta alat-alat perlengkapann negara yang lain (kepolisian).

Kalau dalam perkara perdata pihak-pihak yang berhadapan adalah pihak-pihak yang berkepentingan yaitu penggugat dan tergugat, dalam perkara pidana pihak-pihak yang berhadapan bukan orang-orang yang melakukan tindak pidana (terdakwa) dengan orang yang menjadi korban, tetapi terdakwa berhadapan dengan jaksa/penuntut umum selaku wakil negara. Selanjutnya dalam perkara perdata, para pihak yang berperkara dapat secara bebas mengakhiri sendiri perkara yang mereka ajukan untuk diperiksa di pengadilan dan hakim tidak dapat menghalanginya.
Berakhirnya, pemeriksaan perkara perdata dapat dilakukan dengan pencabutan gugatan atau dengan perdamaian pihak-pihak yang berperkara (Pasal 178 HIR/Pasal 189 RBg). Dalam perkara pidana , kalau perkara sudah diperiksa oleh pengadilan (Hakim), perkara tersebut tidak dapat dicabut lagi, melainkan harus diperiksa terus sampai selesai (ada putusan pengadilan).

b. Hakim wajib mengadili seluruh gugatan/tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari yang dituntut (Pasal 178 ayat 2 dan ayat 3 HIR / Pasal 189 ayat 2 dan 3 RBg).

c. Hakim mengejar kebeanaran formal, yakni kebenaran yang hanya didasarkan pada bukti-bukti yang diajukan didepan persidangan tanpa harus disertai keyakinan hakim. Jika salah satu pihak yang berperkara mengakui kebenaran suatu halyang diajukan pihak lawan, hakim tidak perlu menyelidiki apakah yang diajukan itu sungguh-sungguh benar atau tidak.
Berbeda dengan perkara pidana, Hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara pidana mengejar kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang harus didasarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut UU dan harus ada keyakinan hakim.

d. Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan atau untuk tidak megajukan verset, banding, dan kasasi terhadap putusan pengadilan.

Hakim bersifat pasif dalam perkara perdata bermakna yaitu hakim tidak menentukan luasnyo pokok perkara. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya , tetapi tidaklah berarti hakim tidak berbuat apa-apa. sebagai pimpinan sidang pengadilan, hakim harus bersifat aktif memimpin jalannya persidangan sehingga berjalan lancar. Hakim yang menentukan pemanggilan, menetapkan hari persidangan, serta memerintahkan supaya alat-alat bukti yang dibutuhkan supaya disampaikan ke depan persidangan.
Bahkan jika perlu, hakim karena jabatan (ex officio) memanggil sendiri saksi-saksi yang diperlukan. Selain itu hakim juga berhak memberi nasihat, menunjukan upaya hukum, dan memberikan keterangan kepada pihak-pihak berperkara (Pasal 132 HIR/Pasal 156 RBg). Karena itu sering dikatakan oleh sementara ahli bahwa hakim dalam sistim HIR bersifat aktif, sedangkan dalam sistim Rv bersifat pasif.

Pengertian pasif disini hanyalah berarti bahwa hakim tidak menentukan luas pokok perkara, Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. akan tetapi tidaklah berarti bahwa hakim sama sekali tidak aktif. selaku pimpinan sidang hakim haruslah aktif memimpin pemeriksaan perkara, tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari para pihak, serta harus berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan.

Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi pencari keadilan dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala macam persoalan bagi rakyat. Darinya diharapkan ada pertimbangan sebagai orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa.
Diharapkan hakim orang yang bijaksana dan aktif dalam pemecahan masalah. Kiranya asas hakim aktif menurut HIR, sesuai dengan aliran pikiran tradisional Indonesia. UU Kekuasaan kehakiman yang mengharuskan pula hakim aktif karena yang dituju dengan kekuasaan kehakiman dalam Pasal 24 UUD 1945 adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Panca Sila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.


4. Sidang Pengadilan Terbuka Untuk Umum
Sidang pemeriksaan perkara di pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum. Ini berarti bahwa setiap orang diperbolehkan menghadiri dan mendengarkan  pemeriksaan perkara dipersidangan. Adapuntujuan asas ini tidak lain adalah memberikan perlindungan Hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak, serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini dapat kita jumpai pada Pasal 13 ayat (1) UU No 48 Tahun 2009. Mengumumkan putusan hakim dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum (openbaar) adalah syarat mutlak Pasal 13 ayat (2) UU No 48 Tahun 2009.
Tidak terpenuhinya syarat ini mengakibatkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum dengan akibat putusan adalah batal demi hukum. Dalam praktiknya meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, kalau dalam berita acara persidangan dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, putusan yang dijatuhkan tetap sah. Namun demikian untuk kepentingan kesusilaan, hakim dapat menyimpang dari asas ini, misalnya dalam perkara perceraian karena perzinaan.

Secara formil asas ini membuka kesempatan untuk social control, asas terbukanya persidangan tidak mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertulis, Kecuali ditentukan lain oleh UU atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting dan yang dimuat dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim maka persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup.
Dalam pemeriksaan perkara perceraian atau perzinaan, sering persidangan dilakukan dengan pintu tertutup. Meskipun sidang pemeriksaan perkara dapat dilaksanakan secara tertutup, setiap persidangan harus dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu sebelum dinyatakan tertutup.


5. Mendengar Kedua Belah Pihak
Keduabelah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang sebagaimana termuat dalam Pasal 5 ayat (1) UU No 14 Tahun 1970.  Mengandung arti bahwa dalam hukum acara perdata, pihak-pihak berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil, serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya.

Asas bahwa keduabelah pihak harus didengar dikenal dengann asas audit et alteram partem atau eines mannes rede, man sol sie horen alle beide. Hal ini berarti bahwa hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar apabila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal ini berarti juga bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan dimuka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (Pasal 158 ayat (1) dan ayat (2)).

6. Putusan harus disertai alasan-alasan
Semua putusan hakim (pengadilan) harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 23 UU No 14 Tahun 1970, Pasal 184 ayat (1) HIR, Pasal 195 RBg, Pasal 61 Rv). Alasan-alasan atau argumentasi ini dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim dari pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum sehingga mempunyai nilai objektif.

Karena adanya alasan-alasan itulah putusan hakim (pengadilan) mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang telah menjatuhkannya. Putusan yang tidak lengkap atau kurang pertimbangannya (onvoldoende gemotiveerd) merupakan alasan untuk kasasi dan putusan demikian harus dibatalkan (MA. Tgl. 22-7-1970 Nomor 638 K/Sip/1969 dan tanggal 16-12-1970 Nomor 492 K/Sip/1970).

Untuk dapat lebih dipertanggungjawabkan suatu putusan, sering juga alasan-alasan yang dikemukakan dalam putusan tersebut didukung yurisprudensi dan doktrin atau ilmu penegetahuan. hal ini bukan berarti hakim terikat pada keputusan hakim sebelumnya, tetapi sebaliknya hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena itu hakim harus berani meninggalkan yurisprudensi atau UU yang sudah tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. contohnya adalah putusan Hooge Raad tanggal 31 Januari 1919 tentang perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) yang meninggalkan pendapat Hooge Raad sebelumnya.

Dapat pula dikatakan bahwa mencari dukungan pada yurisprudensi tidaklah berarti bahwa hakim terikat atau harus mengikuti putusan mengenai perkara yang sejenis dan yang pernah diputus oleh MA atau pengadilan tinggi atau yang telah pernah dijatuhkannya sendiri.
Walaupun kita tidak menganut asas the binding force of precedent, memang janggal kalau kiranya seorang hakim memutus bertentangan dengan putusannya sendiri atau dengan putusan pengadilan diatasnya mengenai perkara yang sejenis karena hal itu menunjukan tidak adanya kepastian hukum.
Akan tetapi sebaliknya, hakim harus mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Ia berani pada suatu ketika meninggalkan yurisprudensi yang ada kalu sekiranya sudah usang dan tidak lagi sesuai dengan zaman atau keadaan masyarakat.
Dalam putusannya tanggal 23 November 1961 Nomor 179 K/Sip/1961 MA menetapkan kedudukan anak perempuan sama dengan anak laki-laki dalam mewaris. Tidak dapat dimungkiri bahwa tidak sedikit hakim yang merasa terikat atau berkiblat pada putusan pengadilan tinggi atau MA mengenai perkara yang sejenis.
Namun, ini bukan karena kita menganut asas the binding force of precedent seperti yang dianut di Inggris, melainkan terikatnya atau berkiblatnya hakim itu karena yakin bahwa putusan yang diikutinya mengenai perkara yang sejenis itu memang sudah tepat dan meyakinkan.

Ilmu pengetahuan hukum juga merupakan sumber pula untuk mendapatkan bahan guna mempertanggungjawabkan putusan hakim dalam pertimbangannya, Hal ini disebabkan karena ilmu pengetahuan didukung oleh para pengikutnya serta sifat objektif dari ilmu pengetahuan itu sendiri menyebabkan putusan hakim benilai objektif pula.
Betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi hakim dikatakan oleh seorang sarjana "Hanya dengan mengikuti ilmu pengetahuan ini, hakim dapat memberikan tempat bagi putusannya disalah satu sistem hukum yang diperlukan. Tanpa itu putusan akan mengambang, terlalu subjektif, dan tidak meyakinkan meskipun dapat dilaksanakan" Ilmu pengetahuan itu merupakan sumber dari hukum acara perdata.


7. Hakim Harus Menunjukan Dasar Hukum Putusannya
Meskipun Hakim tidak harus mencari-cari perkara didalam masyarakat, sekali suatu perkara diajukan kepada hakim, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya dengan alasan apapun (UU  No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan adanya anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya (ius curia novit). 
Seandainya dalam memeriksa perkara hakim tidak dapat menemukan hukum tertulis, hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang ada dalam masyarakat (Pasal 27 UU NO 14 Tahun 1970).  Hal ini didasarkan pada pasal 5 ayat  1 UU No 14 tahun 1970 yang menentukan bahwa hakim harus mengadili menurut hukum. Ketentuan demikian itu diddasarkan pada ketentuan yang berada dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam HIR dan RBg. Oleh karena itu dalam melaksanakan kewajibannya yang demikian itu, dituntut keterampilan dan intelektualitas seorang hakim,.

Dalam kenyataannya, tidaklah dapat diharapkan sepenuhnya bahwa hakim mengetahui segala peraturan hukum. Hakim dalam memeriksa suatu peristiwa yang menjadikannya suatu sengketa hukum sebenarnya hanyalah diharapkan atau diminta untuk mempertimbangkan benar tidaknya suatu perkara dan memberikan putusannya.
Oleh karena hanya mempertimbangkan benar tidaknya suatu peristiwa, pada hakikatnya hakim tidaklah perlu tahu akan hukumnya.  Sebagai contoh, seorang hakim yang berasal dari Madura kemudian dipindahkan ke PN Palembang dan harus mengadili suatu perkara adat. Hakin tidak dapat menolak untuk memeriksa dan mengadili perkara tersebut dengan alasan tidak tahu hukumnya. Untuk mengetahui hukumnya, hakim dapat memanggil seorang kepala adat setempat yang mengetahui hukum adat setempat.
Berdasarkan keterangan dari Kepala Adat itu, hakim dapat menjatuhkan putusannya. Namun, berhubungan dengan perkembangan ilmu pengetahuan hukum, pesatnya lalu lintas hukum, dan mengingat pula kedudukan hakim atau pengadilan sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan; hakim dianggap tahu akan hukum.

Para pihak tidak menunjuk dasar hukum gugatannya karena baik HIR maupun RBg tidak mengharuskan orang yang akan mengajukan perkara ke pengadilan menunjuk seorang Kuasa. Maka itu setiap orang meskipun buta hukum, dapat maju sendiri ke muka pengadilan guna mengajukan perkaranya.


8. Hakim Harus Memutus Semua Tuntutan.
Selain dalam putusan harus menunjuk dasar hukum yang dipakai sebagai dasar putusannya, hakim harus pula memutus semua tuntutan dari pihak (Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 Ayat (2) RBg). Misalnya penggugat mengajukan tuntutan -tuntutan  1) Tergugat dihukum mengembalikan utangnya; 2) Tergugat dihukum membayar ganti rugi; 3) Tergugat dihukum membayar bunga maka tidak satupun dari tuntutan tersebut boleh diabaikan oleh hakim.
Mengenai hakim akan menolak atau mengabulkan tuntutan tersebut, hal itu tidak menjadi masalah, tergantung dari terbukti atau tidaknya hal-hal yang dituntut tersebut.

Meskipun hakim harus memutus semua tuntutan yang diajukan oleh penggugat dalam gugatannya, hakim tidak boleh memutus lebih atau lain dari pada yang di tuntut, Pasal 178 ayat (3) HIR, Pasal 189 ayat (3) RBg.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam hakim memutus menurut hukum adat maka putusan hakim harus "tuntas". Itu artinya bahwa putusan hakim tersebut harus sungguh-sungguh menyelesaikan atau menyudahi masalah atau sengketa antara para pihak itu. Oleh karena itu, putusan hakim Indonesia bisa disebut atau merupakan bemiddelende vonnis (putusan antara).

9. Beracara Dikenakan Biaya
Seseorang yang akan berperkara di pengadilan pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 182, 183 HIR, 145 ayat (4), 192 - 194 RBg). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak, serta biaya materai. Disamping itu, apabila diminta bantuan seorang pengacara, harus dikeluarkan biaya. Sebagai contoh, PN Baturaja dalam putusannya pada 6 Juni 1971Nomor 6/1971/Pdt menggugurkan gugatan penggugat karena penggugat tidak menambahkan uang muka biaya perkaranya sehingga penggugat tidak lagi meneruskan gugatannya.

Akan tetapi, mereka yang memang benar-benar tidak mampu membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari membayar biaya perkara dan dengan melampirkan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat setempat.Adapun yang dimaksud dengan pejabat setempat dalam praktik adalah camat yang membawahi daerah tempat tinggal dari orang yang berkepentingan. Permohonan akan ditolak oleh Ketua PN apabila pihak yang berkepentingan bukan orang yang tidak mampu.

Selanjutnya, mereka yang benar-benar tidak mampu dan kurang mengerti hukum pada saat ini dapat pula meminta bantuan hukum dengan cuma-cuma kepada lembaga-lembaga atau biro-biro bantuan hukum yang ada dilingkungan fakultas hukum universitas-universitas negeri ataupun swasta serta yang bernaung dibawah organisasi-organisasi sosial politik seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Peradin, Lembaga Konsultasi dan Penyuluhan Hukum (LPPH) dibawah naungan Golongan Sosi, Lembaga Bantuan Hukum MKGR, dll.

10. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak mewajibkan orang untuk mewakilkan kepada orang lain apabila hendak berperkara dimuka pengadilan, baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, sehingga pemeriksaan dipersidangan dapat terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan. Namun demikian, para pihak dapat juga dibantu atau diwakili oleh kuasanya apabila dikehendaki (Pasal 123 HIR/Pasal 147 RBg). Dengan demikian hakim tetap wajib memeriksa perkara yang diajukan kepadanya meskipun para pihak tidak mewakilkannya kepada seorang kuasa.

Ketentuan dalam HIR/RBg yang demikian itu ada keuntungan dan kerugiannya, Dengan memeriksa secara langsung seluruh pihak yang berkepentingan, hakim akan dapat mengetahui dengan jelas dan cepat duduk persoalannya karena bukankah yang mengetahui seluk beluk peristiwa yang terjadi adalah para pihak itu sendiri. Kalau para pihak menunjuk kuasa dalam berperkara di pengadilan, sering kali seorang kuasa tidak mengetahui dengan tepat peristiwa yang menjadi sengketa. Mereka hanya mengetahui sebatas apa yang diceritakan/dikemukakan oleh pemberi kuasa sehingga apabila ada pertanyaan dari hakim yang memeriksa perkaranya, kuasa ini harus berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya. Selain itu, berperkara di pengadilan tanpa seorang kuasa akan lebih menghemat biaya daripada menunjuk seorang kuasa.

Akan tetapi, keberadaan seorang kuasa dalam penyelesaian perkaraa di pengadilan banyak manfaatnya juga. Mereka yang belum pernah berhubungan dengan pengadilan dan harus bereprkara di pengadilan sering menjadi kebingungan, baik pada saat mengajukan perkaranya maupun pada saat persidangan.
Oleh karena itu, penunjukan kuasa (wakil) sangat bermanfaat. Hal ini akan tampak lebih bermanfaat lagi apabila kuasa atau wakil adalah orang yang mengetahui hukum dan beriktikad baik. Mereka dapat memberikan bantuan yang tidak sedikit kepada hakim dalam memeriksa suatu perkara karena mereka dapat memberikan sumbangan pikiran dalam memecahkan suatu persoalan hukum.
Karena mengetahui hukumnya, wakil ini dalam persidangan hanya akan mengemukakan peristiwa-peristiwa yang berkaitan erat dengan hukumnya sehingga dengan demikian akan memperlancar jalannya peradilan.
Bagi mereka yang buta hukum dan harus berperkara di pengadilan, seorang kuasa/wakil yang tahu akan hukum sangat membantu mencegah penipuan atau perlakuan yang sewenang-wenang atau tidak layak.

Meskipun Pasal 123 HIR menentukan bahwa seseorang dapat dibantu oleh seorang wakil, HIR tidak menentukan siapa yang dapat ditunjuk sebagai wakil sehingga setiap orang yang buta hukum pun dapat diminta/ditunjuk sebagai wakil di persidangan oleh mereka yang sama sekali buta hukum, lebih-lebih juga buta huruf. Kalu hal ini terjadi, dapatlah dibayangkan bahwasanya jalannya peradilan tidak akan berjalan selancar apabila pihak-pihak berperkara diwakili oleh seorang kuasa yang sarjana hukum, setidak-tidaknya orang yang tahu hukum (ahli hukum).

Berbeda dari ketentuan dalam HIR dan RBg mengenai kuasa/wakil dalam persidangan, Rv mewajibkan setiap orang yang hendak berperkara di muka pengadilan mewakilkan kepada orang lain (procureur). Penunjukan seorang wakil dalam berperkara di muka pengadilan ini merupakan suatu keharusan denga akibat batalnya gugatan (Pasal 106 ayat (1) Rv) atau diputusnya perkara di luar hadir tergugat (Pasal 109 Rv) apabila pihak ternyata tidak diwakili.

Pada hakikatnya tujuan adanya perwakilan dari sarjana hukum (verplichte procureur stelling) ini ntidak lain untuk menjamin pemeriksaan perkara yang objektif, melancarkan jalannya peradilan dan memperoleh putusan yang adil.


E. SIFAT HUKUM ACARA PERDATA
Sifat Hukum Acara Perdata di Indonesia seyogyanya harus sesuai dengan sifat cara orang Indonesia dalam memohon peradilan yang umumnya sangat sederhana. Pada dasarnya, orang yang mengajukan perkaranya ke pengadilan begitu saja disebabkan merasa haknya dilanggaroleh orang lain. Kehendak orang yang sederhana demikian itu tidak akan terpenuhi apabila peraturan-peraturan acara sangat mengikat para pencari keadilan, bahkan mungkin merupakan hambatan atau rintangan bagi mereka untuk memperoleh peradilan.

Acara yang sangat mengikat (formalistis) sebagaimana dianut dalam BRv (hukum acara perdata bagi raad van justitie) akhirnya juga dirasakan oleh orang-orang Belanda sendiri tidak memuaskan sehingga di Belanda cara ini mendapat tentangan keras oleh aliran yang menghendaki penyederhanaan hukum acara perdata.
Oleh karena itu, sangatlah keliru apabila Indonesia akan menerapkan ketentuan-ketentuan yang sangat mengikat dalam mengatur acara perdata sebagaimana diatur dalam hukum aacara perdata bagi raad van justitie.

Tampaknya para pembuat UU menyadari sepenuhnya hal kesedrahanaan tersebut. Ini terbukti dari ketentuan dalam UU tentang Kekuasaan Kehakiman sejak pertama kali dikeluarkan, UU No 48 Tahun 2009 Pasal 2 ayat (4) menentukan bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Menurut penjelasan UU tersebut, yang dimaksud dengan sederhana adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilaksanakan dengan cara efisien dan efektif.
Sementara itu dimaksud dengan biaya ringan adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat.
Namun asas sederhana, cepat dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan.

Demikian pula Pasal 3 ayat (4) yang menentukan, "Dalam perkara perdata pengadilan membantu dengan sekuat tenaga para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya supaya segala hambatan dan rintangan untuk peradilan yang cepat, sederhana, dan murah disingkirkan" 

Meskipun dengan kata-kata yang sedikit diubah, perubahan UU tentang kekuasaan kehakiman dari tahun ketahun hingga yang terakhir ini (UU No 48 Tahun 2009) Sifat kesederhanaan tersebut selalu ditampilkan.

Sebenarnya, sifat kesederhanaan tersebut memang sejak awal telah diwujudkan dalam Hukum Acara Perdata (HIR) yang hingga kini tetap dipertahankan, misalnya bentuk pengajuan gugatan merupakan suatu permohonan kepada hakim (Pasal 118 ayat (1) HIR) dan ini sesuai sifat Bangsa Indonesia yang dalam mengajukan perkara ke pengadilan adalah mohon keadilan kepada negara.

Selain itu juga adanya kewajiban pada hakim untuk sekuat tenaga mengusahakan perdamaian dalam penyelesaian perkara di Pengadilan (Pasal 130 HIR) sesuai dengan jiwa Panca sila yang menjunjung tinggi prinsip musyawarah dan mufakat.
Demikian pula sistem pemeriksaan langsung terhadap para pihak berperkara atau wakil mereka yang pada prinsipnya dilakukan secara lisan sesuai dengan hakikat peradilan yang bertujuan mencari dan menemukan kebenaran yang akan dijadikan dasar pemberian keadilan.



MODUL 2   : 
KEKUASAAN KEHAKIMAN 

Kegiatan Belajar 1 : 
Pengertian Kekuasaan Kehakiman, Pelaku Kekuasaan Kehakiman, Susunan Pengadilan dalam Peradilan Umum, Susunan Organisasi Pengadilan Negeri, Kompetensi dan Absolut

Salah satu unsur dalam negara hukum modern adalah adanya pengawasan dari badan-badan peradilan yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada dibawah pengaruh lembaga tinggi negara lainnya. Superior hukum tidak akan pernah dapat terwujud manakala aturan-aturan hukum dijalankan oleh Pemerintah saja.
Oleh karena itu dalam negara hukum keberadaan Lembaga pemegang kekuasaan kehakiman (Yudikatif) adalah mutlak adanya. Kekuasaan Kehakiman diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 yang merupakan induk dan kerangka umum yang meletakan dasar, asas-asas peradilan, serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.

A. PENGERTIAN KEKUASAAN KEHAKIMAN
Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan negara yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia. Hal tersebut ditentukan dalam Pasal 1 UU Kekuasaan Kehakiman, baik yang terakhir No 48 Tahun 2009 maupun yang pertama yaitu UU No 14 Tahun 1964.

Kekuasaan Kehakiman yang merdeka mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali sebagaimana disebut dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang  Yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 18 UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Prinsip pokok kekuasaan Kehakiman adalah terdapatnya jaminan Independensi (Kemerdekaan dan sikap Impartiality/Tidak Memihak) dari pelaksanaannya. Peradilan umum sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman merupakan lingkungan peradilan yang berdiri sendiri dan terpisah dari peradilan militer, peradilan agama dan peradilan tata usaha negara.
Semenjak berlakunya UU No 8 Tahun 2004, segala urusan mengenai peradilan umum, baik menyangkut teknik yudisial maupun nonyudisial, yaitu urusan organisasi, administrasi, dan finansial, berada dibawah Kekuasaan Mahkamah Agung, tidak lagi berkaitan dengan Departemen Kehakiman (Sekarang Departemen Hukum dan HAM). Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar berikut:



B. SUSUNAN PERADILAN UMUM
Peradilan Umum merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU No 49 Tahun 2009).Peradilan ini dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi. Di lingkungan peradilan umum, dapat diadakan pengadilan khusus yang diatur dengan UU. Pengadilan-Pengadilan khusus yang telah ada saat ini :
1. Pengadilan Anak; UU No 3 Tahun 1997
2. Pengadilan Niaga; UU No 4 Tahun 1998
3. Pengadilan HAM; UU No 26 Tahun 2000
4. Pengadilan Hubungan Industrial; UU No 2 Tahun 2004
5. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR); UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001
6. Pengadilan Perikanan; UU No 31 Tahun 2004

Adapun yang dimaksud dengan rakyat pencari keadilan adalah setiap orang, baik WNI maupun orang asing, dan badan hukum perdata yang mencari keadilan pada peradilan umum.
Pembicaraan dalam perkuliahan ini adalah hukum acara perdata, khususnya yang berlaku di Pengadilan Negeri dalam lingkungan peradilan umum. Oleh karena itu pembahasan disini difokuskan pada pengadilan negeri.

1. Pengadilan Negeri
PN bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, serta menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama, Pasal 25 Ayat (2) UU No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Dalam UU tentang kekuasaan kehakiman, ditentukan bahwa pada dasarnya tempat kedudukan PN berada di ibu kota kabupaten/kota sehingga wilayah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya pengecualian. PN dibentuk dengan Keputusan Presiden. Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum kepada instansi pemerintah didaerahnya apabila diminta.

2. Susunan Organisasi Pengadilan Negeri
a. Pimpinan terdiri dari Seorang Ketua dan Seorang wakil ketua; Untuk menduduki jabatan ini berpengalaman sekurangnya 10 tahun sebagai hakim PN.
b. Hakim anggota; terdiri atas beberapa orang hakim
c. Seorang Panitera dibantu Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti
d. Juru Sita dibantu oleh Juru sita pengganti
e. Seorang Sekretaris

a. Pimpinan Pengadilan Negeri
Ketua dan Wakil Ketua PN harus berpengalaman minimal 10 tahun sebagai hakim PN; Ketua mengdakan pengawasan tugas dan tingkah laku hakim, panitera, sekretaris, dan juru sita didaerah hukumnya; Ketua mengatur pembagian tugas para hakim.

b. Hakim Pengadilan Negeri
Adalah Pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan kehakiman; Seleksi pengangkatan hakim PN dilakukan bersama oleh MA dan Komisi Yudisial Psl 14 a UU 49/2009 tentang Peradilan Umum.

c. Panitera Pengadilan Negeri
Ditetapkan adanya Kepaniteraan dipimpin seorang Panitera yang dibantu oleh Seorang wakil Panitera, bebrapa orang panitera muda dan beberapa orang panitera pengganti, serta beberapa orang Juru Sita. Untuk menduduki Jabatan Panitera harus memenuhi ketentuan dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Untuk diangkat sebagai Wakil Panitera harus berpengalaman sekurangnya tiga tahun sebagai Panitera muda atau empat tahun sebagai Panitera pengganti.
Untuk diangkat sebagai Panitera Pengganti harus berpengalaman sekurangnya tiga tahun sebagai Pegawai Negeri di Pengadilan Negeri.
Panitera bertugas menyelenggarakan administrasi perkara dan mengatur tugas wakil panitera, panitera muda, dan panitera pengganti.
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti bertugas membantu Hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya sidang pengadilan.
Dalam Perkara Perdata, Panitera bertugas melaksanakan Putusann Pengadilan;
Panitera Wajib Membuat daftar semua perkara perdata dan pidana yang diterima di Kepaniteraan; Setiap perkara diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya; Panitera membuat salinan putusan menurut UU yang berlaku.

d. Juru sita Pengadilan Negeri
Untuk dapat diangkat, seorang calon juru sita harus memenuhi syarat dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan berpengalaman sekurangnya tiga tahun sebagai juru sita pengganti.
Untuk diangkat sebagai Juru Sita pengganti harus memenuhi syarat ditentukan, berpengalaman sekurangnya tiga tahun sebgai Pegawai Negeri pada PN.

Tugas Juru Sita :
1. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh ketua sidang
2. Menyampaikan pengumuman, teguran, protes, dan pemberitahuan putusan pengadilan menurut cata berdasarkan ketentuan UU
3. Melaksanakan Penyitaan atas perintah Ketua PN
4. Membuat berita acara penyitaan, salinan resminya disrahkan pada para pihak berkepentingan.

e. Sekretaris Pengadilan Negeri
Ditetapkan adanya Sekretariat PN yang dipimpin seorang Sekretaris  (dirangkap oleh Panitera) dibantu seorang wakil sekretaris; untuk diangkat sebagai seorang wakil sekretaris harus memenuhi syarat yang ditentukan UU Kekuasaan Kehakiman. Wakil sekretaris diangkat dan diberhentikan MA.
Tugas Sekretaris adalah menyelenggarakan administrasi umum Pengadilan.


C. KEKUASAAN MENGADILI PENGADILAN NEGERI
Wewenang Mutlak (Kompetensi Absolut)
a. Berdasarkan sistem pembagian lingkungan peradilan, wewenang PN berhadapan dengan wewenang lingkungan peradilan lain.
Amandemen Pasal 24 ayat 2 UUD 1945; Psl 10 ayat 1 UU 14/1970 sebagaimana diubah dengan UU 35/1999 kemudian diganti UU 8/2004; dan UU 48/2009 : Kekuasaan kehakiman (judicial power) dibawah MA dilakukan dan dilaksanakan oleh lingkungan peradilan yang terdiri dari : 1) Lingkungan Peradilan umum; 2) lingkungan Peradilan Agama; 3) Lingkungan Peradilan Militer, dan 4) Lingkungan Peradilan TUN

b. Kompetensi Absolut extrayudicial berhadapan kewenangan khusus (specific jurisdiction) menurut UU
Selain Pengadilan Negara juga terdapat berbagai instansi yang menurut UU diberi wewenang menyelesaikan suatu sengketa; disebut Peradilan semu (extrajudicial) :
1) Arbitrase
Psl 377 dan 705 RBg mengakui eksistensi Arbitrase ; Jika Orang Indonesia atau Timur Asing menghendaki penyelesaian perselisiah dapat diputus oleh Arbitrase (Juru Pisah); Mereka wajib tunduk kepada Rv sebagaimana diatur dalam buku ketiga yang terdiri atas Psl 615 - 651 (UU Arbitrase Nasional).

2) Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Keberadaannya berdasar UU 22 / 1957 yang mengatur Kompetensi Absolut P4; Wewenang P4 terbatas mengenai : (a) Perselisihan perburuhan  - (b) Perselisihan Paham

3) Pengadilan Pajak
Semula penyelesaian sengketa pajak diatur dalam UU No 17 / 1997 dilakukan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP); berdasarkan UU 14 / 2002 tentang Pengadilan Pajak, BPSP diubah menjadi Pengadilan Pajak.


Kegiatan Belajar 2 : 
Kompetensi (Wewenang) Relatif dan Asas Persidangan

A. WEWENANG RELATIF PENGADILAN NEGERI
Tempat kedudukan atau daerah hukum menentukan batas wewenang suatu Pengadilan Negeri (relative kompetentie, distribution of authority).
Patokan atau Batasan pengajuan gugatan agar tidak salah atau keliru :
1. ACTOR SEQUITUR FORUM REI (Psl 118 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 RBg) : (a) Mengadili perdata adalah PN tempat tinggal tergugat - (b) Gugatan diajukan ke PN tempat tinggal tergugat.
a. Yang dimaksud tempat tinggal; 1) kediaman; 2) alamat tertentu; 3) kediaman sebenarnya
b. Sumber menentukan tempat tinggal tergugat; 1) KTP; 2) Kartu Rumah Tangga; 3) Surat Pajak; 4) AD Perseroan
c. Perubahan tempat tinggal setelah gugatan diajukan
d. Diajukan kepada salah satu tempat tinggal
e. Tidak didasarkan atas tempat kejadian peristiwa yang disengketakan
f. Penerapannya apabila objek sengketa bergerak dan tuntutan ganti kerugian atas perbuatan melawan hukum
2. ACTOR SEQUITUR FORUM REI dengan HAK OPSI
3. ACTOR SEQUITUR FORUM REI tanpa HAK OPSI, tetapi berdasarkan Tempat Tinggal Debitur PRINCIPAL
4. Pengadilan Negeri di Daerah Hukum Tempat Tinggal Penggugat
5. FORUM REI SITAE (Tempat Barang Sengketa)
6. Kompetensi Relatif Berdasarkan Pemilihan Domisili
7. Negara atau Pemerintah dapat digugat pada setiap PN



MODUL 3 : 
SENGKETA DAN GUGATAN

Kegiatan Belajar 1 : 
Pengertian Sengketa, Macam-macam sengketa, Sebab-sebab Timbulnya sengketa hukum, dan cara menyelesaikan sengketa Hukum

Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.

A. PENGERTIAN SENGKETA
Sengketa; Perselisihan yang timbul karena Kepentingan yang berbeda bahkan saling bertentangan.
Hukum; 

B. MACAM-MACAM SENGKETA
Sengketa Hukum; Perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya suatu perisitiwa Hukm.
Peristiwa Hukum; Suatu keadaan atau kejadian yang mampu menggerakkan peraturan perundang-undangan (Jual beli, sewa menyewa, dsb).
Sengketa Yang Bukan Sengketa Hukum; Sengketa yang tidak ada dasar hukumnya (Perselisihan akibat bercanda atau saling mengejek)

Jenis-Jenis Sengketa Hukum : 
1. Sengketa yurisdiksi (Geschillen Van Rechtsmacht); Sengketa antara satu pengadilan dan pengadilan yang lain tentang kewenangan mengadili (Kompetensi); (a) Sengketa Yurisdiksi positif dan (b)  yurisdiksi negatif.
2. Sengketa Eksekusi; Perlawanan Putusan Eksekusi; (a) Pihak tereksekusi dan (b) Pihak ketiga
3. Sengketa Prayudisial; (a) Sengketa mengenai tidak diikutinya tertib proses, dan (b) Voluntaria tidak dilakukan dalam sidang tertutup
4. Sengketa Pemerintahan (Bestuur Geschillen); Seseorang menggugat pemerintah karena tindakan pemerintah menyimpang
5. Sengketa Pemerintahan Berdasarkan Hukum Publik; Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan berdasar ketentuan hukum publik telah merugikan seseorang.
6. Sengketa Hukum yang diakibatkan adanya Perbuatan Melawan Hukum; Adanya perbuatan melawan hukum 
C. SEBAB-SEBAB TIMBULNYA SENGKETA HUKUM
Sesuatu yang diberikan Hukum kepada Subjek Hukum : (1) Hukum memberikan hak kepada seseorang (2) Hukum membebani kewajiban kepada seseorang (3) Hukum melindungi kepentingan seseorang (4) Perbuatan Melawan hukum.

D. CARA MENYELESAIKAN  SENGKETA HUKUM
(1) Damai diluar pengadilan (2) Bantuan lembaga tertentu (P4D/P4P) (3) Bnatuan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) (4) Melalui Pengadilan, dan tidak boleh main hakim sendiri (eigenrichting)


Kegiatan Belajar 2 : 
Pengertian Gugatan, Syarat Menggugat, Siapa dapat Menggugat dan di Gugat, Bentuk Gugatan, Syarat Gugatan, Serta Tempat Gugatan Diajukan.

Gugatan; adalah suatu tuntutan hak (Tuntutan Perdata/bugerlijke vordering - 118(1) HIR) yang mengandung sengketa Hukum.

A. SYARAT MENGAJUKAN GUGATAN
1) Syarat Materiil; berdasarkan hukum materiil yang harus dipenuhi
2) Syarat Formil; yang diberikan hukum formil yang harus dipenuhi.

B. SIAPA DAPAT MEBGGUGAT DAN DI GUGAT
Seriap orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin mempertahankan atau membelanya berwenang untuk bertindak selaku pihak, baik selaku penggugat maupun selaku tergugat (legitima persona standi in judictio)

Oang-orang yang dianggap tidak mampu bertindak sebagai pihak atau tidak mempunyai kemampuan prosesuil di muka pengadilan : 1) Belum cukup umur; 2)Berada dibawah pengampuan; 3) Pemboros dan Pemabuk; 4) Seorang isteri yang tunduk pada KUHPerdata; 5) orang yang telah meninggal dunia

C. BENTUK GUGATAN
1. Berbentuk Lisan; 120 HIR/144 RBg; Bilamana penggugat buta huruf  maka gugatannya dapat dimasukan dengan lisan kepada ketua PN yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya
2. Berbentuk Tertulis; 118 (1) HIR; Gugat harus diajukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya (Surat Gugat/Surat Gugatan); 
Yang berhak dan berwenang membuat dan mengajukan gugatan perdata : (a) Penggugat Sendiri (b) Kuasa

D. SYARAT BENTUK DAN ISI SURAT GUGATAN (Psl 8 No 3 Rv) ; 
Harus memuat tiga hal; 1) Identitas para pihak, harus terang - 2) Fundamentum Petendi, harus jelas dan tegas - 3) Petitum, harus terang dan pasti.
1. Identitas Para Pihak; a) Nama Lengkap - b) alamat atau tempat tinggal
2. FUNDAMENTUM PETENDI; Atau dasar gugatan dalam perkara perdata; yang isinya adalah dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan tuntutan  (middelen van den eis)
Terdiri dua bagian : Pertama; Menguraikan kejadian-kejadian atau peristiwa konkret yang menimbulkan sengketa hukum. Kedua; bagian yang menguraikan hukum 

3. PETITUM  / petita / petory / conclosum
Pokok Tuntutan; Petitum Gugatan berisi pokok tuntutan penggugat;  berupa deskripsi yang terang dan pasti menyebut satu persatu pada akhir gugatan tentang hal-hal uang menjadi pokok tuntutan penggugat yang harus dinyatakan dan dibebankan kepada tergugat oleh hakim didalam putusannya.
a. Bentuk Petitum: (1) Bentuk Tunggal; apabila deskripsi yang menyebut satu per satu pokok tuntutan tidak diikuti dengan susunan deskripsi petitum lain yang bersifat alternatif atau subsidiair. (2) Bentuk alternatif.
b. Petitum Yang tidak memenuhi syarat: (1) Tidak menyebut secara tegas apa yang diminta (2) Dalam petitum dituntut agar tergugat dihukum membayar ganti rugi tetapi tidak diperinci dalam gugatan tidak memenuhi syarat (3) Petitum yang bersifat negatif  (4) Tidak sejalan dengan dalil gugatan

4. Dimana Gugatan diajukan; (Pasal 118 HIR) : (1) Tingkat pertama PN - (2) Jika tergugat dua orang, gugatan disalah satu tempat tergugat - (3) Jika tempat tergugat tidak dikenal, maka di PN penggugat berada - (4) Jika ditentukan tempat diam, maka gugatan di tempat diam




MODUL 4 : 
GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION)

Kegiatan Belajar 1 : 
Gugatan Perwakilan Kelompok, Surat Kuasa dalam Gugatan Class Action, dan Syarat Mengajukan Gugatan Perwakilan Kelompok.

Gugatan Class Action; Gugatan Perwakilan Kelompok; Saat satu orang atau lebih dari pihak yang merasa dirugikan mengajukan gugatan untuk diri sendiri atau diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili orang yang jumlahnya banyak mempunyai kesamaan fakta, dasar hukum, dan tergugat yang sama.

A. GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION)
Class action diperkenalkan melalui Konsideran Peraturan MA RI Nomor 1 Tahun 2002.
1. Siapa dapat Menggugat
Yang mengajukan gugatan perwakilan kelompok adalah Wakil Kelompok ; yaitu seorang atau beberapa orang yang mewakili sebuah kelompok korban.
2. Dasar Hukum Perwakilan : (a) UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup  (b) UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen  (c) UU 41/1999 tentang Kehutanan
3. Pihak yang diwakili : Adalah sekelompok orang yang menjadi korban, sesama korban dengan wakil kelompok yang jumlahnya banyak.
4. Manfaat Gugatan Perwakilan Kelompok ; (a) Proses perkara yang bersifat komunis (yudicial economy)  (b) Akses pada pengadilan (acces to justice)  (c) Perubahan sikap pelaku pelanggaran (behavior modification).

B. SURAT KUASA DALAM GUGATAN DENGAN CARA PERWAKILAN KELOMPOK
1. Pengertian Pemberian Kuasa
2. Kepala Surat Kuasa 
3. Unsur-unsur dalam Surat Kuasa
4. Isi Surat Kuasa
5. Pemilihan Tempat Kediaman Hukum (Domisili)
6. Penerima Kuasa
7. Pernyataan "Bersama-sama atau Sendiri-sendiri"
8. Perkataan "KHUSUS"
9. Isi Pokok Pemberian Kuasa
10. Perincian Perbuatan Hukum yang dikuasakan
11. Honoraroum, Hak Retensi, dan Substitusi
12. Tempat dan Waktu Pembuatan Surat Kuasa
13. Tanda Tangan

C. SYARAT MENGAJUKAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK
1. Syarat Materiil; yaitu syarat berdasarkan hukum materiil yang harus dipenuhi : (a) Gugatan telah tiba saatnta  (b) Sudah ada teguran dari penggugat  (c) Beralasan dan berdasarkan hukum
2. Syarat Formiil; yaitu syarat yang diberikan hukum formiil (Hukum Acara) yang harus dipenuhi jika seseorang hendak mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata : (a) Memenuhi ketentuan bentuk dan isi  (b) Memenuhi ketentuan dimana diajukan  (c) Membayar biaya perkara 

Kegiatan Belajar 2 : 
Syarat Bentuk dan Isi Permohonan Gugatan Class Action, Jenis dan Isi Jawaban Tergugat dalam Perkara Gugatan Class Action, Isi Prosedur Pemberitahuan, Surat Pernyataan Keluar dan Pernyataan Masuk, Serta Gugatan Perbaikan

A. SYARAT BENTUK DAN ISI PERMOHONAN GUGATAN CLASS ACTION
1. Gugatan Biasa ; (a) Identitas para pihak  (b) Fundamentum Petendi  (c) Petitum (Gugatan)
2. Gugatan Perwakilan Kelompok ; (a) Identitas wakil kelompok  (b) Definisi Kelompok  (c) Keterangan tentang anggota Kelompok  (d) POSITA (Uraian Kejadian) dari seluruh kelompok  (e) Pengelompokan Gugatan  (f) PETITUM ; tuntutan ganti kerugian

B. TEMPAT MENGAJUKAN GUGATAN CLASS ACTION
Prinsip Actor sequitur forum rei yang berarti bahwa Gugatan harus diajukan pada Pengadilan Negeri tempat tergugat beralamat.

C. BENTUK DAN ISI JAWABAN TERGUGAT DALAM PERKARA DENGAN GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION)
1. Jawaban atas Permohonan Berperkara secara Gugatan Perwakilan Kelompok
2. Jawaban atas Pokok Perkara / atas gugatan yang telah diperbaikisetelah laporan pemberitahuan oleh panitera kepada majelis hakim.

D. PROSEDUR DAN ISI PEMBERITAHUAN
Apabila hakim memutuskan penggunaan prosedur gugatan perwakilan kelom,pok dinyatakan sah, segera setelah itu hakim memerintahkan penggugat mengajukan usulan model pemberitahaun untuk memperoleh persetujuan hakim.

E. SURAT PERNYATAAN KELUAR
Jika ada yang keluar sebagai anggota kelompok penggugat maka dalam jangka waktu tertentu, setelah pemberitahuan gugatan oleh wakil kelompok, diberi kesempatan untuk menyatakan dirinya keluar dengan membuat pernyataan tertulis.

F. GUGATAN PERBAIKAN.
Adalah perbaikan gugatan oleh pihak penggugat atas perintah hakim setelah hakim menerima laporan pelaksanaan pemebritahuan dari panitera.
Menurut MA ; Perubahan gugatan dapat dikabulkan sepanjang tidak melampaui batas-batas materi pokok pertama yang dapat menimbulkan kerugian pada hak pembelaan para tergugat.



MODUL 5 : 
PERMULAAN SIDANG

Kegiatan Belajar 1 : 
Proses Pemanggilan Para Pihak, Gugatan Gugur, dan Proses Acara Verstek

Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.

A. PROSES PEMANGGILAN PARA PIHAK
Sengketa; Perselisihan yang timbul karena Kepentingan yang berbeda bahkan saling bertentangan.
Hukum; 

B. GUGATAN GUGUR
Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.

C. PROSES ACARA VERSTEK
Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.


Kegiatan Belajar 2 : 
Upaya Hukum Melawan Putusan Verstek (Verzet)

Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.

VERZET TERHADAP PUTUSAN VERSTEK
Sengketa; Perselisihan yang timbul karena Kepentingan yang berbeda bahkan saling bertentangan.
Hukum; 






MODUL 6 : 
MEDIASI PENGADILAN 

Kegiatan Belajar 1 : 
Pengertian Mediasi, Model Mediasi, Tahapan Mediasi, dan Mediator

A. PENGERTIAN MEDIASI
Adalah Penyelesaian sengketa yang melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.

B. MODEL MEDIASI 
Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.

C. TAHAPAN MEDIASI
Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.

D. MEDIATOR

Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.



Kegiatan Belajar 2 : 
Mediasi Pengadilan, Prosedur Mediasi Pengadilan, dan Kendala Pelaksanaan Mediasi Pengadilan


Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.

A. MEDIASI PENGADILAN
Sengketa; Perselisihan yang timbul karena Kepentingan yang berbeda bahkan saling bertentangan.
Hukum; 

B. PROSEDUR MEDIASI PENGADILAN
Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.

C. KENDALA DALAM PELAKSANAAN MEDIASI PENGADILAN 
Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.






MODUL 7 : 
PEMERIKSAAN PERKARA

Kegiatan Belajar 1 : 
Pembacaan Gugatan dan Mengubah Gugatan

A. PEMBACAAN GUGATAN
Audi et alteram partem; Hakim tidak boleh menerima keterangan dari satu pihak sebagai benar jika pihak lawan tidak didengar atau diberi kesempatan memberikan keterangan.

B. MENGUBAH GUGATAN
(1) Mengubah atau mengganti isi gugatan ; (2) Menambah dengan yang baru ; (3) Mengurangi apa yang ada sebelumnya.


Kegiatan Belajar 2 : 
Pengajuan Jawaban oleh Tergugat, Macam-macam Jawaban Tergugat, Syarat mengenai Cara Mengajukan Jawaban, Replik, Duplik, dan Ikut Sertanya Pihak Ketiga


A. PENGAJUAN JAWABAN OLEH TERGUGAT
B. MACAM-MACAM JAWABAN TERGUGAT
(1) Eksepsi (Tangkisan) ; (2) Jawaban terhadap pokok perkara ; (3) Rekonvensi (Gugat Balik)

C. SYARAT MENGENAI CARA MENGAJUKAN JAWABAN
(1) Alasan dalam Jawaban ;  (2) Asas Pemusatan Jawaban

D. REPLIK DAN DUPLIK
Setelah tergugat mengajukan jawaban atas gugatan penggugat, giliran penggugat menanggapi (Replik).
Terhadap Replik Penggugat, Tergugat mengajukan Duplik. 

E. IKUT SERTANYA PIHAK KETIGA DALAM PROSES



MODUL 8 : 
PEMBUKTIAN

Kegiatan Belajar 1 : 
Pengertian Membuktikan, Pentingnya Pembuktian, dan Beban Bukti/Pembuktian

A. URAIAN DAN CONTOH
1. Pengertian Membuktikan
Sudikno; Mengandung beberapa pengertian :
(a) Dalam arti Logis; memberi kepastian yang bersifat mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan diajukannya bukti lawan
(b) Dalam arti Konvensional; Memberi kepastian
(c) Dalam Hukum Acara mempunyai arti yuridis.
2. Pentingnya Pembuktian
doktrin; Segala sesuatu yang tidak terbukti atau tidak dapat dibuktikan kebenarannya dianggap tidak benar; Bukti sebagai petunjuk adanya kebenaran  sangat penting.
3. Beban Bukti/Pembuktian
Pembagian beban pembuktian harus adil dan tidak berat sebelah; Beban bukti/pembuktian mempermasalahkan tiga hal : (a) siapakah yang harus membuktikan (b) apakah yang harus dibuktikan (c) bagaiman cara membuktikan

Kegiatan Belajar 2 : 
Macam-macam Alat Bukti, Penilaian Pembuktian, dan Kekuatan Pembuktian Alata Bukti

A. MACAM-MACAM ALAT BUKTI
(1) Tulisan atau Surat (1867 KUHPerdata) ; (2) Kesaksian (1895) ; (3) Persangkaan (1915) ; (4) Pengakuan (1923) ; (5) Sumpah (1929)
Alat-alat Bukti lain :
(1) Pemeriksaan setempat (153 HIR, 180 RBg) ; (2) Keterangan ahli / Expertise (154 HIR, 181 RBg) ; (3) Pembukuan (167 HIR, 296 RBg)

B. PENILAIAN PEMBUKTIAN
C. KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT-ALAT BUKTI


MODUL 9 : 
PUTUSAN HAKIM

Kegiatan Belajar 1 : 
Pengertian Putusan Hakim, Kewajiban Hakim dalam Menyusun Putusan, Bentuk dan Isi Putusan Hakim, Serta Jenis-Jenis Putusan Hakim

A. PENGERTIAN PUTUSAN HAKIM 
Sudikno; adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan dipersidangan, dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

B. KEWAJIBAN HAKIM DALAM MENYUSUN PUTUSAN
Pasal 178 (1) HIR, 189 (1) RBg : Hakim karena jabatan wajib menambah dasar-dasar hukum yang tidak diajukan para pihak.

C. BENTUK DAN ISI PUTUSAN HAKIM
(1) Judul ; (2) Nomor Putusan ; (3) Kepala Putusan ; (4) Identitas ; (5) Pertimbangan ; (6) Amar ; (7) Keterangan ; (8) Tanda tangan hakim (Majelis) dan Panitera Pengganti ; (9) Perincian biaya perkara

D. JENIS - JENIS PUTUSAN HAKIM
(1) Penetapan (beschikking) ; adalah yang lebih banyak digunakan oleh hakim dalam peradilan voluntair.
(2) Putusan (Vonnis) ; (a) Putusan Akhir ; (b) Putusan Sela


Kegiatan Belajar 2 : 
Sahnya Putusan Hakim, Sifat Amar Putusan Hakim, Bunyi Amar Putusan Hakim, Kekuatan Putusan Hakim, dan Putusan yang Dapat Dilaksanakan Lebih Dahulu (Uitvoerbaar Bij Voorraad)


A. SAHNYA PUTUSAN HAKIM 
Pasal 13 ayat 2 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ; Putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

B. SIFAT AMAR PUTUSAN HAKIM 
(1) Condemnatoir (Menghukum); Untuk memenuhi suatu prestasi
(2) Constitutif (Mengadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru);  misalnya perceraian
(3) Declaratoir (Menyatakan Hukumnya); Menerangkan atau menegaskan suatu keadaan hukum semata.

C. BUNYI AMAR PUTUSAN HAKIM 
(1) Menyatakan tidak dapat diterima ; (2) Menolak atau Mengabulkan tuntutan Penggugat

D. KEKUATAN PUTUSAN HAKIM
(1) Kekuatan Mengikat ; (2) Kekuatan Membuktikan ; (3) Kekuatan Eksekutorial

E. PUTUSAN YANG DAPAT DILAKSANAKAN LEBIH DAHULU (UITVOERBAAR BIJ VOORRAAD)
Dalam Keadaan tertentu suatu putusan pengadilan sudah dapat dieksekusi meskipun belum mencapai kekuatan tetap atau masih diajukan upaya hukum untuk melawan putusan itu; Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan eksekusi ini :
(1) ada akta autentik ; (2) Sudah ada keputusan dengan kekuatan hukum pasti ; (3) Ada putusan terhadap tuntutan provisionil ; (4) Ada suatu perselisihan Hak Milik.


MODUL 10 : 
UPAYA HUKUM

Kegiatan Belajar 1 : 
Pengertian dan Jenis-Jenis Upaya Hukum, Upaya Hukum melawan Putusan, dan Jenis-jenisnya

A. PENGERTIAN DAN JENIS-JENIS UPAYA HUKUM
1. Pengertian Upaya Hukum
adalah alat atau upaya yang diberikan oleh hukum kepada pihak dalam proses untuk mencapai sesuatu atau untuk bertindak menghadapi sesuatu.
Misalnya eksepsi adalah upaya hukum untuk menyanggah suatu gugatan; alat bukti adalah upaya hukum untuk membuktikan kebenaran suatu dalil; intervensi adalah upaya hukum untuk ikut serta dalam proses; demikian pula verset (Perlawanan). banding, dan kasasi adalah upaya hukum untuk melawan putusan.

2. Jenis-Jenis Upaya Hukum;
(a) Upaya hukum melawan gugatan ; (b) Upaya hukum mencampuri proses ; (c) Upaya pembuktian ; (d) Upaya hukum melawan putusan ; (e) Upaya hukum melawan sita ; (f) Upaya hukum melawan eksekusi.

B. UPAYA HUKUM MELAWAN PUTUSAN
1. Pengertian Upaya Hukum Melawan Putusan
Hukum memberikan cara melawan putusan kepada pihak yang merasa tidak puas atas putusan guna memperbaiki kekeliruan atau kehilafan demi keadilan dan kebenaran

2. Jenis-Jenis Upaya Hukum Melawan Putusan
(a) Upaya hukum biasa : 1) Perlawanan (verset) terhadap putusan verstek ; 2) Banding ; 3) Kasasi
(b) Upaya hukum luar biasa (Istimewa) : 1) PK (request civil) ; 2) Perlawanan pihak ketiga (derden verzet)

Kegiatan Belajar 2 : 
Upaya Hukum Melawan Eksekusi dan Penyitaan serta Prorogasi


A. UPAYA HUKUM MELAWAN EKSEKUSI DAN PENYITAAN
Yaitu melakukan Perlawanan (Verzet) terhadap :
1. Sita Eksekutorial
2. Sita Revindicatoir
3. Sita Jaminan 

B. PROROGASI
Adalah pengajuan suatu perkara (sengketa) berdasarkan suatu persetujuan antara kedua belah pihak bersengketa kepada pengadilan yang sesungguhnya tidak berwenang memeriksa perkara tersebut, yaitu kepada pengadilan dalam tingkat peradilan yang lebih tinggi; Putusan pengadilan perkara prorogasi tidak bisa banding tetapi hanya dapat dimintakan kasasi.

MODUL 11 : 
EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM

Kegiatan Belajar 1 : 
Pengertian Eksekusi putusan hakim, Jenis-jenis Eksekusi Hakim, dan Ruang Lingkup Eksekusi Putusan Hakim

A. PENGERTIAN EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM 
Pelaksanaan putusan hakim atau eksekusi adalah pelaksanaan putusan hakim secara paksa oleh pihak yang dimenangkan dalam putusan dengan bantuan pengadilan untuk merealisasi apa yang ditetapkan dalam putusan.

B. JENIS-JENIS EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM DAN PERBEDAANNYA
(1) Membayar sejumlah uang ; (2) Melakukan suatu perbuatan tertentu ; (3) Eksekusi Riil ; pelaksanaan putusan yang menuju hasil ytang sama seperti apabila dilaksanakan sukarela ; 
(4) Gijzeling atau penyanderaan; penjara untuk waktu terbatas ; (5) grosse akta ; akta hipotik dan akta notariil ; (6) Execute parate 


Kegiatan Belajar 2 : 
Prosedur Eksekusi Putusan Hakim

A. PROSEDUR EKSEKUSI PUTUSAN HAKIM
B. EKSEKUSI BEBERAPA PUTUSAN 


MODUL 12 : 
SITA DAN LELANG

Kegiatan Belajar 1 : 
Jenis-Jenis Sita, Proses Penyitaan, dan Akibat Hukum Penyitaan.
Demi kepentingan penggugat supaya haknya terjamin, sekiranya gugatannya dikabulkan dalam putusan hakim, UU menyediakan upaya untuk menjamin hak tersebut yaitu dengan penyitaan (arrest, beslag)
Penyitaan; merupakan tindakan persiapan guna menjamin dapat dilaksanakannya putusan dalam perkara perdata.
sifat Hukum Penyitaan adalah IN BEZIT NEMEN (Mengambil dalam penguasaan) ;
Asas Penyitaan adalah semua harta kekayaan debitur, menjamin utang-utangnya (1131 KUHPerdata)

JENIS-JENIS SITA
1. Sita Eksekusi / executorial beslag (197 HIR, 208 RBg); penyitaan yang merupakan permulaan dari pelaksanaan putusan hakim.
2. Sita Jaminan / conservatoir beslag (227 HIR, 261 RBg); terhadap barang milik debitur sebagai jaminan permohonan kreditor dikabulkan.
3. Sita revindikator / rtevendikatori beslag  (226 HIR, 260 RBg); terhadap barang bergerak agar tidak dipindahtangan oleh termohon.

Dua Jenis Sita Penjaminan :
(1). Sita Jaminan terhadap barang milik sendiri (2) Sita jaminan terhadap barang milik debitur.

AKIBAT HUKUM PENYITAAN
(1) Terhadap Barang / Hak Kebendaan ; jika dipindahtangankan, penyita berhak meminta pengembalian
(2) Terhadap Tersita / Menjadi pemilik ; boleh memakai barang tetapi tidak boleh menjual
(3) Terhadap Penyita / Pemohon sita ; Hak Revindikasi yaitu hak untuk menuntut pengembalian jika barang dipindahtangankan.


Kegiatan Belajar 2 : 
Pengertian Lelang, Lembaga PelaksanaLelang, dan Proses Lelang

A. PENGERTIAN LELANG
PERMENKEU 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksana Lelang; Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan pengumuman lelang.
Dua Macam Lelang :
1. Lelang Eksekusi : adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan.
2. Lelang Noneksekusi : (a) Wajib; adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang yang oleh UU harus secara lelang  (b) Sukarela; lelang barang milik swasta, orang, badan hukum/badan usaha  dilelang secara sukarela.

B. LEMBAGA PELAKSANA LELANG 
Lembaga dalam lingkungan Kementerian Keuangan, dengan susunan organisasi :
1. Susunan Organisasi Pelaksana Lelang; (a) MenKeu; (b) Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) / Unit Eselon I; (c) Dirjen; (d) Kanwil DJKN; (e) Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL); (f) Kantor Lelang Kelas II; (g) Balai Lelang /Perseroan Terbatas
2. Petugas Pelaksana Lelang ; (a) Pejabat Lelang; (b) Balai Lelang; (c) Pemandu Lelang (afslager); (d) Pengawas Lelang (Superintendens)
3. Pihak-pihak dalam Lelang ; (a) Pemilik Barang; (b) Peserta Lelang; (c) Penjual; (d) Pembeli

C. PROSES LELANG 


Penyebab menggugat di pengadilan; adalah adanya sengketa hukum antara penggugat dan tergugat; Gugatan di pengadilan harus dipenuhi sesuai syarat UU.


JALANNYA PEMERIKSAAN PERKARA PERDATA
PENDAHULUAN : Adanya gugatan yang diajukan oleh yustisiabel; dapat disertai dengan permohonan conservatoir beslag (Sita Jaminan)
PENENTUAN : dibagi dalam emoat tahap : 1) Permulaan Sidang : Gugatan gugur, verstek (Pemeriksaan perkara tanpa kehadiran tergugat), Perdamaian (Psl 130 HIR jo PERMA No 1 / 2008) ; 2) Sidang pemeriksaan perkara, saling menjawab antara penggugat dan tergugat ; 3) Pembuktian ; 4) Sidang Musyawarah dan Putusan
PELAKSANAAN PUTUSAN : diawali dengan permohonan eksekusi oleh pihak yang dimenangkan dalam putusan.