HUKUM KETENAGAKERJAAN (ADBI4336)

 




DAFTAR ISI

TINJAUAN MATA KULIAH
MODUL 1 : PERKEMBANGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA
MODUL 2 : HAK-HAK PEKERJA DAN SERIKAT PEKERJA
MODUL 3 : HUBUNGAN KERJA DAN PERJANJIAN
MODUL 4 : PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
MODUL 5 : KEBIJAKAN PENGUPAHAN
MODUL 6 : KEBIJAKAN OUTSOURCING
MODUL 7 : PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL
MODUL 8 : JAMINAN SOSIAL TENAGA KERJA DAN K3
MODUL 9 : PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG KETENAGAKERJAAN PASCAPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI


MODUL 1 : 
PERKEMBANGAN HUKUM KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA

KEGIATAN BELAJAR 1 :
MASALAH PERBURUHAN SEBELUM KEMERDEKAAN

A. MASALAH PERBURUHAN ZAMAN KERAJAAN NUSANTARA

Jika diteliti ke belakang, masalah perburuhan sebelum era kemerdekaan bisa dipelajari sejak berlakunya masa kerajaan di Indonesia dan pada masa penjajahan Belanda serta pendudukan Jepang sebelum berakhirnya Perang Dunia ke 2.

1. Kerajaan Hindu-Budha
Pada permulaan Tarikh Masehi, di wilayah Asia terdapat dua buah negara besar yaitu China dan India. Kedua negara ini memiliki pengaruh besar di kawasan Asia, Indonesia pada saat itu lebih banyak dipengaruhi oleh masuknya kebudayaan India.
Sekitar tahun 400 M bermunculan kerajaan Hindu seperti Kerajaan Hindu Kutai di Kalimantan Timur, Kerajaan Purnawarman dan Kerajaan Padjajaran. Sementara Kerajaan Budha bermunculan seperti Kerajaan Sriwijaya, Syailendra dan beberapa kerajaan lainnya. Peristiwa penting pada era kerajaan Hindu dan Budha adalah terbangunnya candi-candi besar seperti Borobudur dan Prambanan yang dikerjakan oleh masyarakat secara sukarela dan bergotongroyong. Sistem sosial pada saat itu telah terstruktur dalam bentuk kasta, meliputi kasta brahmana sebagai kasta atau golongan masyarakat tertinggi, Kemudian kasta Ksatria, Kasta Waisa, dan Kasta Sudra. Sedangkan kelompok masyarakat pinggiran yang tidak termasuk dalam struktur sosial disebut kelompok paria.
Kasta Brahmana merupakan kasta tertinggi terdiri atas tokoh-tokoh rohaniawan yang terdiri atas para pendeta. Kasta Ksatria terdiri atas kelompok Bangsawan dan tentara  yang dipandang sebagai lapisan kedua tertinggi. Kasta waisa merupakan kasta pedagang yang dianggap sebagai lapisan ketiga. Sementara itu, kasta sudra adalah kasta orang-orang biasa atau rakyat jelata. Orang yang tidak berkasta adalah golongan Paria.

Dengan terbentuknya sistem kasta, maka terbentuk pula hubungan kerja antara kasta tertinggi dan kasta terendah. Bagi kasta brahmana dianggap tabu jika melakukan pekerjaan kasar. Pekerjaan kasar seperti mengangkat batu membangun candi atau pekerjaan pertukangan merupakan pekerjaan yang dianggap pekerjaan rendah dan itu menjadi bagian dari pekerjaan kasta sudra dan golongan paria.
Dengan demikian kelompok masyarakat dalam kasta sudra dan golongan paria yang tidak berkasta melakukan pekerjaan pada orang yang berkasta. Pola hubungan kerja yang berlaku pada saat itu masuk dalam kategori perbudakan. Pada saat itu kasta sudra dan pria berkewajiban melakukan segala pekerjaan dan perintah dari kasta diatasnya tanpa punya hak untuk kepentingan pribadinya. Sementara itu, kasta tertinggi memiliki hak penuh pada penguasaan ekonomi serta memiliki kewenangan untuk menentukan terhadap nasib para budak termasuk hidup dan matinya para budak.

2. Kerajaan Islam
Setelah Islam masuk ke Indonesia, maka berdiri kerajaan-kerajaan Islam seperti Malaka, Demak, Banten, Cirebon, Aceh, Mataram, Makasar, dan kerajaan islam lainnya di kepulauan Maluku. Pada saat itu pengaruh agama Hindu dan Budha masih kuat di masyarakat. Di tanah Jawa misalnya terdapat kelas sosial yang disebutnya trah biru atau garis keturunan bangsawan. Kelompok ini mengidentifikasi dirinya dengan gelar pangeran atau raden yang menunjukkan trah biru. Bagi mereka yang bukan keturunan bangsawan atau raja umumnya merupakan masyarakat biasa yang bekerja sebagai tukang atau petani yang mengabdi kepada majikannya.
Dalam Buku Kaweruh Kalang yang digubah oleh ahli pertukangan Jawa Kuno, bahkan menegaskan betapa bentuk rumah untuk kalangan bangsawan memiliki pola arsitektur dan simbolik yang bersifat khusus dan tidak boleh dibangun oleh kelompok masyarakat biasa. Rumah Joglo, Limasan, serta rumah kampung memiliki bentuk yang khas dan mengidentifikasi derajat penghuninya. Misalnya bentuk umpak, bentuk ukiran, dan bentuk atap itu memiliki ketentuan yang berbeda dan pemakaiannya disesuaikan dengan derajat sosial si penghuninya. Rumah Joglo misalnya untuk kelas bangsawan, rumah limasan untuk kelas menengah dan rumah bentuk panggung P atau rumah kampung itu untuk rakyat biasa. Pola hubungan kerja pada waktu itu meskipun sebutannya bukan budak tetapi praktiknya mirip perbudakan. Karakter para hamba atau abdi raja ini begitu santun dan sangat menghormati majikannya. Mereka lebih banyak melaksanakan kewajiban dari pada menuntut haknya sebagai pekerja.

Konsep Islam sebagai agama yang mengajarkan persamaan hak hidup antar sesama manusia saat itu belum bisa dilaksanakan sepenuhnya karena terhalang oleh budaya sistem kelas sosial yang sudah berlaku berabad-abad lamanya.

3. Zaman Verenigde Ootindische Compagnie (VOC)
Pada abad ke 17 dan 18 Indonesia tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda, namun oleh perusahaan dagang bernama perusahaan Hindia Timur Belanda, yaitu Verenigde Oostindische Compagnie (VOC). Parlemen Belanda pada tahun 1602 memberi hak monopoli perdagangan dan aktivitas di wilayah kolonial Hindia Belanda pada VOC. Markas VOC berada di Batavia, yang kini bernama Jakarta.

VOC bertujuan mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempah-rempah di Nusantara. Cara yang ditempuh adalah dengan memberi ancaman kekerasan pada penduduk penghasil rempah-rempah dan terhadap orang-orang non Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Peristiwa penting pernah terjadi saat penduduk kepulauan Banda menjual biji pala kepada pedagang Inggris, pasukan Belanda membunuh dan mendeportasi hampir seluruh populasi kepulauan Banda. Setelah Pulau Banda di deportasi, kemudian Belanda mendatangkan pekerja dari luar Pulau Banda yang diperlakukan sebagai budak untuk bekerja di perkebunan pala. 
Mereka dituntut untuk menghasilkan rempah-rempah dalam jumlah besar untuk di bawa ke negeri Belanda. Pola hubungan kerja saat itu belum banyak berubah yakni berlaku sistem perbudakan. Hak-hak pekerja sama sekali tidak dihormati karena filosofi kerja yang dianut  VOC saat itu adalah bagaimana melakukan eksploitasi besar-besaran di wilayah kolonial Hindia Belanda.

4. Zaman Hindia Belanda dan Jepang
Pada masa Hindia Belanda, kelompok masyarakat berdasarkan Pasal 163 IS (Indische Staaregeling) di bagi ke dalam 3 golongan, meliputi golongan Eropa, golongan Bumiputera, dan golongan Timur Asing.
a. Golongan Eropa terdidi dari atas :
1) semua orang Belanda
2) semua orang Eropa lainnya
3) Semua orang Jepang yang berasal dari tempat lain yang di negaranya tunduk pada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum Belanda.
4) Anak sah dan diakui menurut UU dan yang dimaksud sub 2) dan 3) yang lahir di Hindia Belanda.

b. Golongan Bumiputera;
Semua orang yang termasuk rakyat Indonesia  asli yang tidak beralih pada golongan lain dan yang semula termasuk golongan lain yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia asli

c. Golongan Timur Asing;
Golongan Timur Asing adalah semua orang yang bukan golongan Eropa dan golongan Bumiputera. Menurut Pasal 131 IS dinyatakan bahwa bagi golongan Eropa berlaku hukum di negara Belanda, yaitu hukum Eropa dan Eropa Barat. Bagi golongan lainnya yaitu Bumiputera dan Timur Asing berlaku hukum adat masing-masing.
Apabila kepentingan umum serta kepentingan sosial mereka menghendaki, hukum golongan Eropa Barat dapat dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama yakni dengan cara penundukan diri.


B. MASALAH-MASALAH POKOK PERBURUHAN SEBELUM INDONESIA MERDEKA

Dalam lapangan hukum ketenagakerjaan pada periode masa penjajahan terdapat berbagai macam masalah antara lain :

1. Perbudakan
Pada masa kerajaan Hindu, Budha, dan Islam di Indonesia meskipun pola hubungan kerja masuk dalam kategori perbudakan namun para pekerja oleh majikannya umumnya disediakan pemondokan, makanan dan lainnya. 
Sedangkan pada masa Hindia Belanda, perbudakan sangat keji dan tidak berprikemanusiaan. Zaman perbudakan adalah zaman dimana orang melakukan pekerjaan di bawah pimpinan orang lain. Ciri yang menonjol adalah buruh/tenaga kerja tidak mempunyai hak apapun, bahkan hak atas hidupnya juga ditentukan oleh tuannya. Hal yang dipunya hanya kewajiban bekerja dan mengikuti perintah dan petunjuk tuannya. Yang sangat menyedihkan pada saat itu adalah belum ada peraturan dari pemerintah yang menetapkan bahwa pemeliharaan budak menjadi kewajiban pemiliknya.
Baru pada Tahun 1817 Pemerintah Hindia Belanda mengatur mengenai perbudakan dengan menetapkan peraturan-peraturan sebagai berikut :
a. Mengadakan larangan memasukkan budak-budak ke pulau Jawa
b. Harus diadakan pendaftaran budak
c. Mengadakan pajak atas pemilikan budak
d. Melarang pengangkutan budak yang masih anak-anak
e. Mengadakan peraturan tentang pendaftaran anak budak.

Kenyataannya, kelima peraturan tersebut di atas belum dapat merubah nasib para budak. Pada tahun 1825 diadakan perbaikan peraturan yang diharapkan dapat merubah nasib para budak tersebut yang intinya adalah bahwa hubungan pemilik dan budak tidak terletak pada baik buruknya perlakuan pemilik budak, tetapi terletak pada hakekat hukum perburuhan iotu sendiri, yaitu mendudukan mereka pada kedudukan yang merdeka secara yuridis, sosiologis, dan ekonomis. 
Secara Yuridis berarti budak menjalankan kewajiban dan diberi haknya sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada. Sedangkan secara sosiologis berarti hak dan kewajiban yang diterapkan tersebut diakui dalam masyarakat. Secara ekonomis beraarti hak yang diberikan pada budak tersebut mendapatkan imbalan yang cukup baginya.

Mengenai perbudakan ini menggugah Sir Thomas Stampord Raffles, Gubernur Jenderal Inggris (1811-1816 M) mendirikan The Java Benevolen Institution pada tahun 1816. Lembaga ini bertujuan untuk menghapuskan perbudakan. Maksud baik Raffles ini ditentang pemilik budak yang berpendirian bahwa penghapusan perbudakan merupakan pelanggaran terhadap hak para pemilik budak. Pendapat ini dapat mengesampingkan pendapat pihak lain, yang berbunyi perbudakan adalah kezaliman yang besar terhadap kemanusiaan, merendahkan manusia menjadi barang milik.

Setelah Indonesia kembali diserahkan kepada Belanda, usaha penghapusan perbudak yang dirintis oleh Raffles itu mendapat perhatian dari pemerintah Hindia Belanda. Produknya berupa Staatblad 1817 nomor 42 yang berisikan larangan untuk memasukkan budak-budak ke Pulau Jawa dan tahun 1818 ditetapkan pula UUD Hindia Belanda, yaitu Regeling Reglement (RR) 1818. Berdasarkan pasal 115 RR, menetapkan bahwa paling lambat tanggal 1 Januari 1860, perbudakan di seluruh Hindia Belanda dihapus. Namun niat baik itu tidak sepenuhnya terwujud.

2. Peruluran
Peruluran mulai terjadi setelah Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1621 dan 1622 memporakporandakan Pulau Banda, semua penduduk dibunuh atau diangkut keluar sebagai budak. Tanah yang menjadi kosong dibagi dalam kebun-kebun dan diberikan kepada bekas pegawai kompeni dan orang lain. Orang yang diberi kebun (perk) disebut parkenir atau ulur. Mereka itu,dengan dibantu oleh orang-orang Cina dan para budak diharuskan menanam pala yang harus dijual kepada kompeni dengan harga yang ditetapkan oleh kompeni secara sepihak. Wajib menanam dan menjual tanaman tertentu ini kemudian menjadi bagian dari cultur stelsel yang berlangsung sampai dengan tahun 1863.

3. Perhambaan
Perhambaan/pandelingschap yaitu memberikan piutang/gadai pada seseorang dan bila tidak dapat mengembalikan, maka si penerima gadai harus bekerja pada pemberi gadai sampai hutang dan bunganya terlunasi. Orang yang diberi gadai tadi diperlakukan sebagai hamba maka terwujudlah perhambaan.
Saat itu, untuk menebus hal yang digadaikan sebagai jaminan selama belum dilunasi bisa diganti dengan penghambaan pada si pemberi gadai. Perhambaan ini bisa dilakukan langsung oleh si penerima gadai atau orang lain yang  diserahkan untuk melakukan kerja sebagai hamba pada si pemberi gadai. Sepanjang gadai belum dilunasi maka penghambaan akan terus dilakukan karena bersifat sebagai jaminan.
Pekerjaan yang dilakukan oleh seorang hamba untuk kepentingan orang yang meminjamkan uang itu, bisa juga berfungsi untuk melunasi utangnya ataupun untuk mencicil utangnya dan ada juga yang hanya untuk membayar bunganya saja.
Pola perhambaan ini sesungguhnya sama dengan perbudakan. Seorang hamba semacam ini tetap berada dalam kekuasaan pemberi pinjaman. Penghapusan penghambaan ini juga memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu kira-kira satu abad. Di beberapa daerah di Tapanuli dan Sulawesi pola perhambaan masih berlaku hingga tahun 1920-an.

4. Rodi (Kerja Paksa)
Kerja Paksa atau Rodi mula-mula bentuknya adalah merupakan pekerjaan secara bersama-sama antara budak-budak atau anggota masyarakat desa. Namun, karena berbagai alasan dan keadaan, kerja bersama tersebut berubah menjadi kerja paksa untuk kepentingan seseorang dengan menerima upah. Kemudian, kepentingan tersebut beralih lagi yakni untuk Gubernemen. Misalnya, pekerjaan untuk mendirikan benteng, pabrik gula, jalan raya seperti antara Anyer sampai Panarukan yang biasa disebut Jalan Daendels. Guna melakukan kepentingan tersebut banyak pekerja yang mati.

Pada Tahun 1813 Raffles berusaha menghapuskan rodi namun usahanya menemui kegagalan. Setelah Indonesia dikembalikan pada Nederlands, kerja rodi bahkan makin diperhebat dan digolongkan menjadi beberapa kelompok yakni :
a. Rodi Gubernemen, yakni budak yang bekerja pada Pemerintah Hindia Belanda tanpa bayaran
b. Rodi perorangan, yakni budak yang bekerja pada pembesar-pembesar Belanda/Raja-Raja di Indonesia
c. Rodi Desa untuk pekerjaan di desa.

Proses hapusnya rodi ini memakan waktu yang lama dan pada tahun 1938 rodi baru dapat dihapuskan. Kerja rodi ini sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan Staatblad Nomor 10 Tahun 1819 yang sesungguhnya sudah mengatur masalah hubungan kerja. Syarat-syarat kerja waktu itu menetapkan :
a. Setiap perjanjian kerja harus dibuat secara tertulis dan harus didaftar dikator keresidenan
b. Pendaftaran baru akan diterima apabila ternyata dalam perjanjian kerja tersebut tidak terdapat unsur-unsur pemaksaan, ancaman pemerasan, dan lain sebagainya dan dengan demikian berarti semua persyaratan kerja harus mempunyai kelayakan.
c. Pengawasan terhadap pelaksanaan perjanjian kerja itu harus dilakukan oleh residen dan para pengawas pajak terutama mengenai atau untuk mencegah timbulnya tindakan-tindakan yang bertentangan dengan perjanjian-perjanjian kerja tersebut.
d. Jangka waktu perjanjian paling lama 5 tahun

Perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada pada waktu itu sulit untuk mendapatkan buruh disebabkan adanya kerja rodi maka pemerintah terpaksa mencabut peraturan di atas dan menggantikannya dengan Staatblad 1838. Berdasarkan peraturan ini pengusaha dberikan kekuasaan untuk mengadakan perjanjian kerja dengan penguasaan Kepala Desa. Para kepala desa diberikan hak untuk mengerahkan penduduk agar mau bekerja diperusahaan-perusahaan perkebunan.




KEGIATAN BELAJAR 2 :
PERKEMBANGAN HUKUM PERBURUHAN SETELAH KEMERDEKAAN     

Setelah Indonesia merdeka secara bertahap masalah perburuhan/ketenagakerjaan mulai mendapatkan perhatian khusus


KEGIATAN BELAJAR 3 :
ISU-ISU POKOK KETENAGAKERJAAN 

Sejumlah isu penting terkait dengan masalah perburuhan di Indonesia saat ini sekurang-kurangnya ada enam masalah /isu penting